You are on page 1of 23

1

A. JUDUL
Sebaran Potensi Deposit Emas dengan Penginderaan Jauh dan Sistem
Informasi Geografis (Studi Kasus di Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat)

B. LATAR BELAKANG MASALAH


Emas merupakan logam yang banyak digunakan sebagai perhiasan dan
cadangan devisa negara. Hal ini dikarenaka sifat emas yang lunak dan mudah
ditempa. Emas memiliki kekerasan berkisar antara 2,5 – 3 (skala Mohs) dan berat
jenis yang tergantung pada kandungan logam dan jenis logam lain yang berpadu
di dalam emas. Mineral pembawa emas biasanya berasosiasi dengan mineral
ikutan (Gangue Minerals). Mineral ikutan umumnya berupa kuarsa, karbonat,
turmalin, flourpar dan sejumlah kecil mineral non logam. Mineral pembawa emas
juga berasosiasi dengan endapan sulfida yang telah teroksidasi. Mineral pembawa
emas terdiri dari emas nativ, elektrum, emas telurida, sejumlah paduan senyawa
emas dengan unsur-unsur belerang, antimon dan selenium. Elektrum sebenarnya
jenis lain dari emas native yang memiliki kandungan perak di dalamnya > 20%.
Cebakan emas di dalam bumi terdapat dua jenis, yaitu pertama emas
alluvium (emas sekunder) terdapat bersama endapan sungai berupa pasir atau
kerakal. Emas alluvium merupakan obyek tambang rakyat karena
penambangannya yang sangat sederhana dan sangat mudah ditambang. Kedua
adalah emas primer yang juga terbagi menjadi dua jenis, yaitu dalam bentuk
porphiry copper (tembaga porfiri) merupakan mineral ikutan dari logam utama
tembaga. Tipe porfiri biasanya volumenya besar. Profiri copper merupakan
cebakan emas dalam batuan massif (gunung). Emas primer yang lain adalah
berupa endapan emas epitermal yang bentuk vein (urat) dan biasanya memiliki
cadangan yang kecil. Indonesia termasuk dalam 7 atau 8 produsen emas penting di
dunia. Sumber daya emas Indonesia sebesar 10.000 ton, sedangkan cadangannya
sebesar 3.450 ton. Angka ini belum termasuk endapan alluvial yang diperkirakan
sebesar 167 ton dengan angka produksi rata-rata 90 ton per tahun. Maka emas
Indonesia dapat ditambang hingga 100 tahun ke depan.
Kabupaten Mamuju merupakan salah satu kabupaten yang ditetapkan
sebagai Ibu kota Provinsi Sulawesi Barat (berdasarkan UU No. 26 Tahun 2004).
2

Secara astronomis, Kabupaten Mamuju terletak di 118°45’21,55” –


119°45’46,79” BT dan 2°12’25,47” – 2°55’28,1” LS. Sedangkan secara geografis,
Kabupaten Mamuju berbatasan dengan Kabupaten Mamuju Utara di utara,
Kabupaten Luwu Utara (Provinsi Sulawesi Selatan) di timur, Kabupaten Majene,
Polmas dan Tator (Provinsi Sulawesi Selatan) di selatan serta Selat Makasar
(Provinsi Kalimatan Timur) di barat. Luas wilayah Kabupaten Mamuju yang
mencapai 801.406 Ha memiliki potensi sumber daya alam yang belum
dieksplorasi.
Perkembangan aplikasi SIG dan penginderaan jauh dalam pemetaan
wilayah potensi dilakukan dengan mengintegrasikan berbagai jenis data spatial,
kemudian menentukan model yang tepat untuk mengetahui wilayah potensi
mineral tersebut. Sensor yang digunakan untuk mengidentifikasikan deposit
mineral adalah Advanced Spaceborne Thermal Emission Radiometer (ASTER).
Salah satu kelebihan citra ASTER dalam memetakan sebaran mineral permukaan
adalah ketersediaan saluran (band) yang lebih banyak (VNIR saluran 1-3, SWIR
saluran 4-9 dan TIR saluran 10-14) dengan resolusi spasial yang lebih baik
dibandingkan citra sejenis, seperti Landsat. Oleh karena itu, ASTER cocok dalam
memetakan berbagai jenis batuan dan mineral. Kelebihan lainnya yaitu harga citra
ASTER yang jauh lebih murah dibandingkan menggunakan satelit hyperspectral
ataupun pemetaan udara. Kelebihan-kelebihan ini menjadikan ASTER menarik
untuk digunakan lebih jauh. Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan
kemampuan ASTER yang baik dalam pemetaan geologi (Alam Primada 2008)

C. PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan penjelasan di atas tentang kemampuan Penginderaan Jauh dan
Sistem Informasi Geografis dalam mendeteksi kandungan deposit emas, serta
keterkaitan antara karaktersitik wilayah yang berupa variabel fisik seperti batuan
induk, struktur geologi dan lereng menggunakan sensor TERRA/ASTER, maka
dibuat beberapa perumusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana pemanfaatan Sistem Informasi Geografis dan
Penginderaan Jauh untuk mengetahui sebaran deposit emas di
Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat ?
3

2. Bagaimana asosiasi antara variable fisik berupa batuan induk, struktur


geologi dan lereng terhadap deposit emas?
3. Dimana daerah deposit emas potensial di Kabupaten Mamuju,
Sulawesi Barat ?

D. TUJUAN
1. Mengetahui pemanfaatan Sistem Informasi Geografis dan
Penginderaan Jauh untuk mendapatkan sebaran deposit emas di
Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat.
2. Mengetahui asosiasi antara variabel fisik yang berupa batuan induk,
struktur geologi dan lereng terhadap deposit emas.
3. Mengetahui daerah yang memiliki deposit emas potensial di
Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat

E. LUARAN YANG DIHARAPKAN


Diperolehnya peta sebaran deposit emas di Kabupaten Mamuju, Sulawesi
Barat.

F. KEGUNAAN
Hasil penelitian ini dapat bermanfaat dalam memberikan informasi kepada
pemerintah daerah Sulawesi Barat tentang potensi emas di daerahnya, sehingga
diharapkan dapat menarik minat investor lokal maupun asing untuk melakukan
eksplorasi di daerah tersebut serta mengembangkan penggunaan Penginderaan
Jauh dan Sistem Informasi Geografis (SIG) dalam mengeksplorasi mineral
tambang yang ada di Indonesia.
4

G. TINJAUAN PUSTAKA
Emas dalam bentuk cebakan
(mineral deposit) di alam dijumpai dalam
dua tipe, yaitu cebakan emas primer dan
emas sekunder. Cebakan emas primer
terbentuk oleh aktifitas hidrotermal yang
membentuk tubuh bijih dengan kandungan
mineral utama silika. Cebakan emas primer
mempunyai bentuk sebaran berupa urat atau
tersebar pada batuan. Proses erosi,
transportasi dan sedimentasi yang terjadi
terhadap hasil disintegrasi cebakan emas
pimer akan menghasilkan cebakan emas
sekunder. Emas sekunder dapat berada pada
Gambar 1. Karakteristik Emas
tanah residu dari cebakan emas primer
sebagai endapan koluvial, kipas aluvial dan
umumnya terdapat pada endapan sungai.
Emas merupakan logam yang bersifat lunak dan mudah ditempa,
kekerasannya berkisar antara 2,5 – 3 (skala Mohs), serta berat jenisnya tergantung
pada jenis dan kandungan logam lain yang berpadu dengannya. Mineral pembawa
emas biasanya berasosiasi dengan mineral ikutan (gangue minerals). Mineral
ikutan tersebut umumnya berupa kuarsa, karbonat, turmalin, flourpar dan
sejumlah kecil mineral non logam. Mineral pembawa emas juga berasosiasi
dengan endapan sulfida yang telah teroksidasi. Mineral pembawa emas terdiri dari
emas nativ, elektrum, emas telurida, sejumlah paduan dan senyawa emas dengan
unsur-unsur belerang, antimon, dan selenium. Elektrum sebenarnya jenis lain dari
emas nativ, hanya kandungan perak di dalamnya > 20%.
Emas terbentuk dari proses magmatisme atau pengkonsentrasian di
permukaan. Beberapa endapan terbentuk karena proses metasomatisme kontak
dan larutan hidrotermal, sedangkan pengkonsentrasian secara mekanis
menghasilkan endapan letakan (placer). Genesa emas dikatagorikan menjadi dua
yaitu:
5

1. endapan primer;
2. endapan plaser (sekunder).
Kandungan emas dalam cebakan bijih logam dapat dikategorikan sebagai
komponen utama atau bisa juga merupakan komoditas ikutan, hal ini tergantung
pada tipe cebakannya. Pada cebakan Cu-Au tipe porfiri komoditas utama berupa
tembaga, sedangkan emas dan perak sebagai mineral ikutan. Cebakan bijih emas
tipe urat kuarsa epitermal, emas merupakan komoditas utama dan perak sebagai
bahan ikutan. Sebaran cebakan bijih emas yang berupa urat kuarsa pada satu
wilayah dapat dijumpai dalam bentuk beberapa urat tunggal atau berupa zona urat.
Panjang bijih emas urat kuarsa dapat mencapai tubuh bijih dan sekitarnya,
membentuk beberapa kilometer dan ketebalan beberapa kumpulan butiran emas
dengan tekstur meter, dapat pula lebih kecil berupa urat dengan permukaan kasar.
Akibat proses tersebut, panjang hanya beberapa meter, tebal beberapa butiran-
butiran emas pada cebakan emas sentimeter.
Bijih emas selain mengandung unsur lain sebagai komoditas ikutan yang
dapat bernilai ekonomi, sering juga dijumpai berasosiasi dengan mineral dengan
kandungan unsur berbahaya bagi lingkungan. Unsur-unsur tersebut antara lain Hg
As, Cd dan Pb. Cebakan bijih emas dengan karakteristik fisik dan kimianya
memungkinkan untuk ditambang dan diolah menggunakan peralatan dan
teknologi sederhana, sehingga banyak dijumpai pertambangan emas yang
diusahakan oleh masyarakat setempat.
Emas sekunder (alluvial) pada umumnya alluvial menempati cekungan
Kuarter berupa lembah sungai yang membentuk morfologi dataran atau undak.
Cebakan terdiri dari bahan bersifat lepas atau belum terkonsolidasi secara
sempurna, berukuran pasir kerakal, dapat berselingan dengan lapisan lempung
atau lanau. Lapisan pembawa emas berupa lapisan tunggal atau perulangan
memiliki kemiringan relatif datar, ketebalan hingga beberapa meter dengan
kedalaman relatif dangkal. Kelimpahan kandungan emas ke arah vertikal dan
lateral sangat heterogen (erratic). Bentuk butiran emas umumnya cenderung
pipih. Potensi sumber daya emas aluvial di Indonesia banyak dijumpai di
Kalimantan, Sumatera, Sulawesi dan Papua. Endapan pembawa emas alluvial
disusun oleh fragmen dan matriks, terpilah buruk sampai baik. Fragmen
6

berukuran kerikil sampai kerakal, kadang disertai berangkal sampai bongkahan


yang umumnya berbentuk membulat. Matriks terdiri dari mineral berat dan
mineral ringan.
Cebakan emas alluvial dapat dijumpai berupa tanah lapukan dari cebakan
bijih emas primer (eluvial), endapan koluvial, endapan fluviatil dan endapan
pantai. Cebakan emas pada tanah lapukan dari cebakan emas primer mempunyai
sumber daya kecil, bijih emas primer merupakan batuan resisten cenderung
membentuk morfologi terjal, sehingga tanah penutup cenderung tipis dan mudah
tererosi. Cebakan emas koluvial mempunyai pemilahan buruk, fragmen penyusun
berukuran bervariasi hingga dapat mencapai ukuran bongkah. Penyebaran pada
daerah sempit di sekitar tekuk atau punggung lereng perbukitan.
Pada alur sungai stadium muda, cebakan emas alluvial dijumpai berupa
endapan dengan sebaran sempit pada sepanjang badan sungai dengan fragmen
penyusun yang umumnya berukuran kasar, sebagian besar mengandung bongkah.
Pada endapan sungai stadium dewasa sampai tua dapat dijumpai cebakan emas
dengan sebaran luas. Ketebalan alluvial mengandung emas dapat mencapai
beberapa meter, lebar beberapa ratus meter dan panjang beberapa kilometer.
Selain umumnya terdapat pada endapan berumur Resen - Kuarter, cebakan emas
letakan dapat dijumpai juga pada batuan lebih tua berupa konglomerat. Cebakan
emas alluvial yang umum ditemukan di Indonesia dalam bentuk endapan kipas
alluvial, endapan gravel bars, endapan channel, endapan dataran banjir dan
endapan pantai.
Secara fisiografi, wilayah Provinsi Sulawesi Barat termasuk dalam
Mandala Geologi Sulawesi Barat atau merupakan bagian tengah dari Busur
Volkanik Sulawesi Barat yang didominasi oleh batuan plutonik-volkanik
Paleogen-Kuarter serta batuan-batuan sedimen dan metamorfik Mesozoik-Tersier.
Geologi umum daerah Kabupaten Mamuju dan Majene, di samping disarikan dari
kerangka geologi Indonesia (Herman Darman dan Hasan Sidi, 2000) yang
diterbitkan Ikatan Ahli Geologi Indonesia, juga dari Geologi Lembar Mamuju
(Ratman dan Atmawinata, 1993) dan Geologi Lembar Majene dan Bagian Barat
Lembar Palopo (Djuri, dkk., 1998), Sulawesi, skala 1:250.000 yang diterbitkan
oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi.
7

Sejarah geologi daerah penyelidikan di Kabupaten Majene dan Mamuju,


Provinsi Sulawesi Barat dimulai pada zaman Kapur dengan pengendapan Formasi
Latimojang (Kls) yang terdiri dari batu sabak, kuarsit, filit, batu pasir, kuarsa
malih, batu lanau malih dan pualam, setempat batu lempung malih. Formasi
Latimojong ditutupi secara tidak selaras oleh Formasi Toraja (Tet) yang terdiri
dari perselingan batu pasir kuarsa, serpih dan batulanau, dengan sisipan
konglomerat kuarsa, batu lempung karbonan, batu gamping, napal, batu pasir
hijau, batu pasir gampingan dan batubara, setempat dengan lapisan tipis resin
dalam batulempung, berumur Eosen.
Anggota Rantepao, Formasi Toraja (Tetr) diendapkan bersamaan dengan
Formasi Toraja (Tet) terdiri dari batu gamping numulites dan batu gamping
terhablur ulang, sebagian tergerus dan berumur Eosen. Formasi Mapi (Tmpm)
diendapkan secara tidak selaras di atas Formasi Toraja dan Anggota Rantepao,
Formasi Toraja terdiri dari batu pasir tufaan, batu lanau, batu lempung, batu
gamping pasiran dan konglomerat. Kandungan fosil foraminifera menunjukkan
umur Miosen Tengah-Pliosen. Formasi Mapi tersingkap di S. Mapi, setebal  ±
100 m. Secara bersamaan, pada kala Miosen Tengah diendapkan Batuan Gunung
Api (Tmv) dan Tuf Beropa (Tmb). Batuan Gunung Api terdiri dari breksi gunung
api, tuf dan lava andesitik-basaltik, sisipan batu pasir, napal dan setempat
batubara, sedangkan Tuf Beropa terdiri dari perselingan tuf dan batu pasir tufaan,
sisipan breksi gunungapi dan batupasir wacke.
Formasi Sekala (Tmps) diendapkan menjari dengan Batuan Gunung Api
(Tmv) terdiri dari batu pasir hijau, grewake, napal, batu lempung dan tuf, sisipan
lava bersusunan andesit-basal, berumur Miosen Tengah – Pliosen. Formasi
Mandar (Tmm) terdiri dari batu pasir, batu lanau dan serpih, berlapis baik,
mengandung lensa lignit yang berumur Miosen Akhir. Tebalnya mencapai 400 m,
diendapkan dalam lingkungan laut dangkal sampai delta. Pada Lembar Mamuju
formasi ini disebut Formasi Mamuju (Ratman dan Atmawinata, 1993), didominasi
oleh napal dan batu gamping dengan sisipan tuf, batu pasir dan konglomerat.
Formasi Mamuju diendapkan bersamaan dengan Anggota Tapalang
Formasi Mamuju (Tmmt) yang terdiri dari batu gamping terumbu, batu gamping
kepingan dan napal. Keduanya menjemari dengan formasi Batuan Gunung Api
8

Talaya (Tmtv). Disusul oleh Formasi Lariang (Tmpl) yang terdiri dari perselingan
antara konglomerat dan batu pasir, sisipan batu lempung dan setempat tuf,
berumur Miosen Akhir – Pliosen.
Formasi-formasi di atas diterobos oleh granit, granodiorit, riolit, diorit dan
aplit (Tmpi). Napal Pambuang (Qpps) diendapkan diatas Formasi Mapi (Tmpm),
Formasi Mandar atau Mamuju (Tmm), Anggota Tapalang, Formasi Mamuju
(Tmmt), Formasi Batuan Gunung Api Talaya (Tmtv) dan Formasi Sekala (Tmps),
terdiri dari napal tufan, serpih napalan mengandung nodul, batu pasir tufan dan
lensa-lensa konglomerat; mengandung fosil foraminifera yang menunjukkan umur
Plistosen. Tebal satuan sekitar 300 m dan kemungkinan terendapkan di
lingkungan laut dangkal. Formasi Budong-Budong (Qb) diendapkan secara
selaras di atasnya, terdiri dari konglomerat dan batu pasir, setempat sisipan batu
gamping dan batu lanau, berumur Plistosen – Holosen.
Batu Gamping Koral (Ql) diendapkan menjari dengan Formasi Budong-
Budong (Qb), terdiri dari batu gamping terumbu dan batu gamping bioklastika,
berongga, setempat dengan moluska, berumur Plistosen – Holosen. Endapan
Aluvial dan Endapan Pantai (Qal) yang terdiri dari lempung, lanau, pasir dan
kerikil merupakan endapan termuda berumur Holosen.  
Pengaruh tumbukan lempeng Pasifik, Benua Asia dan Australia terhadap
Pulau Sulawesi adalah bersatunya bagian barat dan bagian timur Sulawesi yang
berbentuk K, terbentuknya jalur gunungapi dalam Mandala Geologi Sulawesi
Barat, serta terjadinya sesar Palu-Koro yang berarah barat laut – tenggara. Di
daerah Kabupaten Mamuju dan Majene berkembang beberapa sesar ikutan atau
sesar sekunder yang berarah hampir barat – timur.
Keadaan topografi Kabupaten Mamuju didominasi oleh daerah curam dan
tidak curam dengan kelerengan antara 15 - 45 persen. Kondisi ini berpengaruh
terhadap topografi wilayah sehingga bervariasi mulai dari daerah datar, landai
hingga agak curam, sehingga tingkat kepekaan tanah terhadap erosi juga
bervariasi. Kabupaten Mamuju secara umum memiliki topografi yang bergunung-
gunung dan berbukit-bukit berada pada ketinggian 395 meter dari permukaan laut.
Berdasarkan data statistik bahwa kemiringan lereng yang memiliki porsi terbesar
adalah kemiringan antara 12 - 25 persen dengan luas cakupan sebesar 224.910 Ha.
9

Kemiringan lereng seperti ini terdapat hampir di semua kecamatan dalam wilayah
Kab.Mamuju, tetapi wilayah Kec.Tapalang yang memiliki porsi terbesar seluas
32.613 Ha disusul Kec.Budong-Budong seluas 31.034 Ha dan kec.Topoyo seluas
17.150 Ha.
Kemiringan antara 25 - 40 persen mencakup wilayah seluas 206.387 Ha.
Kemiringan seperti ini dominan terdapat di Kec. Topoyo seluas 21.553 Ha,Kec.
Karossa seluas 20.906 Ha dan Kec. Kalukku seluas 20.748 Ha. Sedangkan di
wilayah kecamatan lain juga ada namun luasannya tidak seberapa. Kemiringan
diatas 40 Persen mencakup wilayah seluas 186.336 Ha. Kemiringan seperti ini
dominan terdapat di wilayah Kec. Kalumpang dan Bonehau dengan luasan
mencapai 77.890 Ha disusul Kec. Karossa seluas 50.589 Ha dan Kec. Topoyo
dengan luas 33.686 Ha. Kemiringan antara 0 - 2 persen dengan luas cakupan
113.134 Ha. Dominan terdapat di Kec. Budong-Budong seluas 30.048 Ha, Kec.
Kalukku 19.069 Ha dan Kec. Topoyo seluas 15.781 ha. Kemiringan seperti ini
terdapat di seluruh wilayah Kab. Mamuju, sedangkan kemiringan antara 2 - 15
persen hanya mencakup wilayah seluas 82.122 Ha tersebar di seluruh wilayah
Kab. Mamuju, Kec.Budong - Budong mempunyai wilayah yang terluas sekitar
31.034 Ha.
Advanced Spaceborne Thermal Emission Radiometer (ASTER)
merupakan salah satu dari lima sistem sensor yang terdapat pada satelit Terra.
Satelit ini dikembangkan oleh konsorsium yang terdiri dari National Aeronautics
and Space Administration (NASA) dan Kementrian Ekonomi Perdagangan dan
Industri Jepang. Sensor ASTER terbagi atas tiga jenis seperti pada gambar Visible
and Near Infrared Radiometer (VNIR), Short Wavelength nfrared Radiometer
(SWIR), dan Thermal Infrared Radiometer (TIR) dengan lebar cakupan sebesar
60 km x 75 km.
10

Gambar 2. Spektrum Citra ASTER


sumber : asterweb.jpl.nasa.gov/images/spectrum.jpg

Ketersediaan dan aksesibilitas 14 saluran multispektral menjadikan


ASTER memiliki potensi untuk diterapkan pada berbagai aplikasi, seperti analisis
spektral, global warming, area hidrologi, investigasi sumber daya alam, klasifikasi
tumbuhan, eksplorasi daerah pesisir dan pemantauan bencana alam. Untuk
pertambangan banyak aplikasi yang dapat dilakukan, antara lain photogeological
dan generasi basemap untuk pertambangan.
Selain itu, bertambahnya resolusi spektral dan spasial saluran SWIR dan
TIR disertai resolusi spasial meningkatkan kemampuan untuk mengidentifikasi
mineralogi dipermukaan melalui diagnosa nilai spektral dibandingkan dengan
satelit Landsat TM (Gozzard, 2006). Karena spesifikasinya yang lebih baik
dibandingkan dengan satelit Landsat TM, terutama pada tipe saluran SWIR dan
TIR, ASTER memiliki mampu memetakan mineral dengan jumlah yang lebih
banyak. Seperti yang ditunjukkan pada gambar 2.4 saluran SWIR dapat
membedakan mineral alunit, piropilit, kaolinit, ilit-muskovit-serikrit dan MgOH-
mineral karbonat. Sedangkan TIR dapat mengidentifikasi felspar, kuarsa,
karbonat, amfibol dan clay (Gozzard, 2006).
11

Gambar 3. Jenis mineral yang dapat diidentifikasi oleh aster (Rokhmatullah, 2007)

Tabel 1. Karakteristik Sensor ASTER

Spatial
Radiometer Band Wavelength
Resolution
1 0,52-0,6
2 0,63-0,69
VNIR 15m
3N 0,76-0,86
3B 0,76-0,86
4 1,6-1,7
5 2,145-2,185
6 2,185-2,225
SWIR 30m
7 2,235-2,285
8 2,295-2,365
9 2,36-2,43
10 8,125-8,475
11 8,475-8,825
TIR 12 8,925-9,275 90m
13 10,25-10,95
14 10,95-11,65
12

Gambar 4. Grafik Refleksi Spektral Mineral Emas Kuarsa

Pemanfaatan Sistem Informasi Geografis (SIG) dalam kegiatan eksplorasi


mineral terutama mineral logam telah dikenal sejak awal tahun 1980-an oleh
industri pertambangan dan lembaga-lembaga pemerintah di Indonesia. Dalam hal
ini, SIG pada umumnya hanya diaplikasikan sebagai alat bantu dalam pembuatan
peta dan sebagai sistem penyimpanan data (basis data) hasil eksplorasi. Sementara
itu perkembangan pemanfaatan SIG dalam kegiatan eksplorasi saat ini telah
berkembang dengan pesat terutama di negara-negara maju seperti Australia,
Kanada dan Amerika Serikat. Di negara-negara tersebut SIG tidak saja hanya
dimanfaatkan sebagai alat bantu pengganti manusia dalam menghasilkan peta,
tetapi juga sudah dimanfaatkan sebagai suatu sistem informasi terpadu yang
ditujukan untuk pengambilan keputusan terutama dalam analisis kuantitatif dan
integrasi data spasial. Mengingat belum banyaknya kajian mengenai aplikasi SIG
seperti tersebut di Indonesia, maka studi ini dilakukan dengan tujuan utama adalah
untuk mempelajari metoda dan teknik dalam SIG yang umum diterapkan dalam
analisis kuantitatif dan integrasi data spasial, terutama data spasial yang
berhubungan dengan kegiatan eksplorasi mineral logam seperti data geologi,
geokimia, geofisika dan penginderaan jauh (remote sensing).
Aplikasi penginderaan jauh dalam eksplorasi mineral memiliki banyak
keuntungan, antara lain cakupan wilayahnya luas, hemat biaya, data yang mudah
diperbaharui (up date) dan memungkinkan integrasi dengan berbagai jenis data
13

satelit, geofisika, geokimia, Digital Elevation Model (DEM) dan sebagainya.


Sehingga proses analisa semakin efisien, cepat dan akurasi yang meningkat.
Penggunaan penginderaan jauh dalam eksplorasi pertambangan telah lama
digunakan dan sudah berkembang luas, beberapa pendekatan yang banyak
diaplikasikan antara lain, pemetaan lithologi, struktur dan alterasi (Rajesh, 2004;
Siegal dan Gillespie, 1991). Pemetaan lithologi merupakan pemetaan sumberdaya
mineral dengan menarik kesimpulan dari beberapa parameter utama yang
diperoleh melalui observasi penginderaan jauh, seperti mengidentifikasi nilai
spektral batuan, penampakan struktural, pelapukan dan bentuk daratan (landform),
serta pola aliran sungai. Pemetaan struktur didasarkan pada hubungan antara
deposit mineral dengan beberapa tipe deformasi, seperti patahan, lipatan atau
struktur geologi lainnya. Sedangkan pendekatan alterasi merupakan teknik
pemetaan mineral yang mengasosiasikan deposit mineral dengan alterasi
hidrotermal dan batuan sekitar, jenis dan luasnya zona alterasi menggambarkan
tipe dari deposit mineral (Rajesh, 2004). Distribusi spasial dari batuan hasil
alterasi hidrotermal merupakan kunci utama untuk mengetahui zona aliran dari
hidrotermal dan sebagai petunjuk penting untuk mengenali deposit mineral
(Pirajno, 1992 dalam Rajesh, 2004).
Metode yang digunakan untuk mendeteksi mineral tersebut yaitu Defoliant
Technique atau Directed Principal Component (DPC). Pemilihan metode tersebut
didasarkan pada karakteristik wilayah tropis yang bervegetasi rapat sehingga
menjadi hambatan tersendiri dalam mendeteksi deposit mineral. Untuk itu metode
yang mampu meminimalisir pengaruh vegetasi, seperti Defoliant Technique
sangat cocok untuk digunakan (Carranza, 2003; Rojas, 2003).
Defoliant Technique pada dasarnya adalah teknik penajaman yang
dilakukan dengan menggabungkan dua rasio saluran (Carranza, 2002; Fraser dan
Green, 1987 dalam Rojas, 2003), adapun hasil dari proses ini adalah sebaran
mineral permukaan yang digambarkan dalam citra skala keabuan (grayscale).
Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa Defoliant Technique
mampu mengidentifikasi keberadaan alterasi hidrotermal di daerah bervegetasi,
seperti yang dilakukan oleh Carranza dan Hale pada tahun 2001 di wilayah
14

Baugio, Filipina. Kemudian untuk menguji tingkat akurasi, hasil pencitraan akan
diverifikasi dengan data titik bor.

H. METODE PELAKSANAAN
Pemetaan potensi deposit mineral emas ini didasarkan pada identifikasi
model untuk deposit mineral dan kondisi lingkungan terkait. Oleh karena itu,
penerapan model yang paling baik adalah mendekati konsep eksplorasi (Rojash,
2003). Konsep model eksplorasi tersusun atas variabel-variabel yang menjadi
penciri keberadaan mineral emas, seperti geologi, geokimia dan interpretasi citra
satelit. Garis besar metodologi penelitian meliputi empat tahap, yaitu :
1. pengumpulan dan pemasukkan data yang akan digunakan sebagai
variabel;
2. pembuatan model yang didasarkan pada studi empiris dan penentuan
kriteria umum untuk mengenali deposit emas;
3. ekstraksi, penajaman dan integrasikan data;
4. asosiasi antara variabel fisik dengan deposit emas dan pola sebaran
potensi deposit emas.
Adapun data yang digunakan dalam penelitian untuk mendapatkan sebaran
mineral permukaan dan kerapatan vegetasi adalah Citra ASTER yang diambil
pada musim kemarau, hal ini bertujan agar dapat diperoleh citra yang bebas dari
gangguan awan. Faktor fisik struktur geologi dari foto udara; batuan induk berasal
dari peta geologi detail wilayah Mamuju terbitan Badan Survey Geologi Bandung;
sedangkan wilayah kelerengan didapatkan dari pengolahan peta RBI skala
1:50.000. (Hal 26 Universitas Indonesia Sebaran Potensi..., Alam Primanda,
FMIPA UI, 2008).
H.1. SUMBER DATA
Sumber data pada penelitian ini antara lain :
1. Citra ASTER
Citra ASTER digunakan level 1B yang sudah terektifikasi
diperoleh dari Earth Remote Sensing Data Analysis Centre
(ERSDAC) Jepang.
2. Peta Rupabumi Indonesia (RBI)
15

Bersumber dari Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan


Nasional (BAKOSURTANAL) skala 1:50.000
3. Peta Geologi
Peta Geologi wilayah Mamuju Sulawesi Barat, skala 1:100.000
diperoleh dari Badan Survey Geologi Bandung.

I. JADWAL KEGIATAN

Bulan Ke-
No Jenis Kegiatan
I II III IV V
1. Pembelian Citra ASTER,
Peta Geologi dan Peta RBI

Daerah Mamuju, Sulawesi
Barat.
2. Pembuatan Peta Lereng
Daerah Mamuju, Sulawesi 
Barat.
3. Pengolahan Peta Geologi,
Peta Lereng dan Citra

ASTER Daerah Mamuju,
Sulawesi Barat.
4. Analisis asosiasi antara
variable fisik berupa batuan

induk, struktur geologi dan
lereng terhadap deposit emas.
5. Analisis daerah deposit emas
potensial di Kabupaten 
Mamuju, Sulawesi Barat
6. Pembuatan Laporan dan
Artikel tentang daerah
deposit emas potensial di 
Kabupaten Mamuju, Sulawesi
Barat
16

J. RANCANGAN BIAYA
J.1. Honorium
1. Dosen Pembimbing
2 org @ Rp 500.000,00 x 3 bulan Rp 3.000.000,00
2. Peneliti
5 org @ Rp 200.000,00 x 3 bulan Rp 3.000.000,00+
Jumlah Rp 6.000.000,00
J.2. Data Penelitian
1. Citra Satelit ASTER Rp 2.500.000,00
2. Peta Geologi Rp 100.000,00
3. Peta RBI 2 lembar @ Rp 45.000,00 Rp 90.000,00
4. Biaya Transportasi Pembelian Peta Rp 100.000,00 +
Jumlah Rp 2.790.000,00
J.3. Lain-lain
1. Biaya Print
1) Print Peta 3 buah @ Rp 72.000 Rp 216.000,00
2) Print Laporan Rp 200.000,00
2. Fotokopi Rp 150.000,00
3. ATK Rp 100.000,00+
Jumlah Rp 666.000,00
J.4 Rekapitulasi Biaya
1. Honorium Rp 3.000.000,00
2. Data Penelitian Rp 2.790.000,00
3. Lain-lain Rp 666.000,00+
Total Rp 9.456.000,00

K. DAFTAR PUSTAKA

Carranza, E.J.M., 1999. Geological-Constrained Probabilistic Mapping of Gold


Potensial, Baguio District, Pilipines. Delft, The Netherland: International
Instititute for Aerospace Survey and Earth Sciences.
17

Gozzard, J.R., 2006. Image Processing of ASTER Multispectral Data. Australia:


Geological Survey of Western Australia.
Lillesand, T.M., Kiefer, R.W., dan Chipman, J.W. 2004. Remote Sensing and
Image Interpretation. Fifth Edition. New York : John Willey
Primanda, Alam. 2008. Skripsi Sebaran Potensi Deposit Nikel Laterit di
Sorowako, Sulawesi Selatan (Studi Kasus Areal Eksplorasi Tambang PT.
International Nickel Indonesia, Tbk.). Depok
Raines, G.L., dan Canney, F.C., 1998. Remote Sensing in Geology. New York:
John Wiley & Sons.
Rajesh, H.M., 2004. Aplication of Remote Sensing and GIS in Mineral Resource
Mapping- An Overview. Australia: University of Quensland.
Rojas, S.A., 2003. Prediction Mapping of Massive Sulphide Potensial in The
Western Part of The Escamby Terrain, Cuba. Enschede, Netherland:
International Instititute for Geo-Information Science and Earth Observation.
Rokhmatulloh. 2008. Bahan Ajar Aplikasi Sistem Informasi Geografis 2 :
Aplikasi Penginderaan Jauh untuk Geologi/Mineral dan Untuk Pemetaan
Vegetasi. Departemen Geografi, Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia.
Undang-Undang Republik Indonesia. 2004. UU no 24: Mamuju sebagai Ibukota
Sulawesi Barat. Indonesia.

L. LAMPIRAN

1) BIODATA KETUA DAN ANGGOTA KELOMPOK


18

CURRICULUM VITAE

Nama : Sesa Wiguna

Tempat, Tanggal Lahir : Pandeglang, 28

Desember 1990

Jenis Kelamin : Pria

Agama : Islam

Program Studi : Geografi

NPM : 0806328732

Kewarganegaraan : Indonesia

Alamat Rumah : Kampung Pematang


Sempur, Cikeusik, Banten

No.HP : 085695266747

E-mail : sesa.wiguna@ui.ac.id

Motto : “Hidup sekali, Hiduplah yang berarti”.

CURRICULUM VITAE
19

Nama : Mila Khaerunnisa R

Tempat, Tanggal Lahir : Serang, 21 Juli 1990

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Program Studi : Geografi

NPM : 0806328594

Kewarganegaraan : Indonesia

Alamat Rumah : Taman Pinang indah Blok H/30 Rt.04/04,

Neroktog Pinang, Tangerang 15148

No.HP : 085710420422

E-mail : mila.khaerunnisa@ui.ac.id

Motto : “ Cintailah apa yang kamu kerjakan ”

CURRICULUM VITAE
20

Nama : Osmar Shalih

Tempat, Tanggal Lahir : Jakarta, 1 Oktober 1990

Jenis Kelamin : Pria

Agama : Islam

Program Studi : Geografi

NPM : 0806328663

Kewarganegaraan : Indonesia

Alamat Rumah : Jalan I No. 14 Kebon Baru, Tebet,

Jakarta Selatan

No.HP : 085714763046

E-mail : osmar.shalih@ui.ac.id

Motto : “impossible is nothing”

CURRICULUM VITAE
21

Nama : Alvian Safrizal

Tempat, Tanggal Lahir : Jakarta, 14 Mei 1989

Jenis Kelamin : Pria

Agama : Islam

Program Studi : Geografi

NPM : 0806328221

Kewarganegaraan : Indonesia

Alamat Rumah : Jalan raya Bojong Gede, Puri


Artha Sentosa Blok

C6 No.28, Bojong Gede,Bogor

No.HP : 08561149954

E-mail : alvian.safrizal@ui.ac.id

Motto : “ Selalu berprasangka baiklah terhadap

Tuhanmu, maka Ia akan lebih Menyayangi dan

meridhoi hidupmu”.
22

CURRICULUM VITAE

Nama : Muhammad

Faeyumi

Tempat, Tanggal Lahir : Ciamis, 10

Juli 1990

Jenis Kelamin : Pria

Agama : Islam

Program Studi : Geografi

NPM : 0806453900

Kewarganegaraan : Indonesia

Alamat Rumah : Jl.Pangandaran No.76 Rt.03/01 Cangkring

Ratawangi, Banjar sari, Ciamis, Jawa Barat

No.HP : 085718060591

E-mail : muhammad.faeyumi@ui.ac.id

Motto : “Kejarlah duniamu seakan-akan

kau mati besok dan raihlah akhiratmu seakan-


akan

kau hidup selamanya”.

2) BIODATA DOSEN PENDAMPING


23

Nama : Dr. Rokmatulloh, M. Eng


Jenis Kelamin : Pria
Agama : Islam
NIP : 132 172 208
Kewarganegaraan : Indonesia
Alamat Rumah : Puri Beta Jl. Tanjung III No. 33 Larangan Utara,
Tangerang 15154
No.Telp/HP : 0818986464

You might also like