Professional Documents
Culture Documents
Minggu I
Minggu I
BAGIAN I
(Disarikan sebagian dari tulisan Agus Sachari, 2002)
CAKUPAN ISI
Pengantar estetika desain akan dibahas pada modul minggu pertama, kedua
dan ketiga. Dalam modul minggu pertama ini, akan dibahas hal-hal umum yang
terkait dengan estetika dalam dunia desain, yang meliputi pengertian dasar
tentang estetika.
TUJUAN PEMBELAJARAN
KRITERIA PENILAIAN
PENDAHULUAN
yang modem sebagai upaya perlawanan terhadap wacana yang tidak adil itu.
Dalam paparan ini, penulis berupaya memosisikan kedayaan estetika yang
telah terbangun di tengah-tengah perkembangan budaya nasional secara lebih
proporsional.
Agus (2002) berkeyakinan bahwa dalam menilai dan mengkaji nilai estetis, tetap
harus diposisikan dalam tiga pilar daya kebudayaan, yaitu daya penyadaran,
daya pembelajaran, dan daya pesona. Menilai karya estetis di negara timur
melalui teoriteori estetika Barat, sebenarnya merupakan pernaksaan yang
kurang bermakna. Karena dalam konteks pemikiran modem, nilai estetika di
Timur, terutama negara berkembang telah mengalami tekstualisasi sebagai
sebuah wacana yang tak memiliki arti apa-apa dalam membangun peradaban
dunia.
Jika sebuah bentuk mencapai nilai yang betul, maka bentuk tersebut dapat
dinilai estetis, sedangkan pada bentuk yang melebihi nilai betul, hingga
mencapai nilai baik penuh arti, maka bentuk tersebut dinilai sebagai indah.
Dalam pengertian tersebut, maka sesuatu yang estetis belum tentu indah dalam
arti sesungguhnya, sedangkan sesuatu yang indah pasti estetis. Banyak pemikir
Seni berpendapat bahwa keindahan berhubungan dengan rasa yang
menyenangkan seperti Clive Bell, George Santayana, dan R.G Collingwood
(Sutrisno,1993).
Terdapat beberapa pendapat mengenai definisi dari estetika sendiri, salah satu
definisi yang cukup lengkap diberikan oleh Hospers, "aesthetics is the branch of
philosophy that is concerned with the analysis of concepts and the solutions of
problems that arise when one contemplates aesthetic objects. Aesthetic objects,
in turn, comprise all the objects of aesthetic experience; thus, it is only after
aesthetic experience has been sufficiently characterized that one is able to
delimit the class of aesthetic objects" (Sutrisno,1993. Hal 16)
Jika mengacu pada pendapat Hospers, maka diperlukan satu sikap khusus bagi
seseorang agar dapat mencari pengalaman estetik, termasuk pengamatan
objek estetik ataupun penciptaan objek estetik itu sendiri. Dalam kajian filsafat,
menurut Sutrisno, pemahaman mengenai estetika dapat dibagi menjadi dua
pendekatan yaitu,
1. Langsung meneliti keindahan itu dalam obyek-obyek atau benda-benda
atau alam indah serta karya Seni.
2. Menyoroti situasi kontemplasi rasa indah yang sedang dialami oleh
pengamat ( pengalaman keindahan yang dialami seseorang).
Ketika peradaban Mesir menghasilkan banyak objek yang kita sebut hari ini
sebagai indah, kata keindahan secara nyata tidak pernah hadir pada tulisan
tulisan saat itu. Di Mesir, ahli bangunan dan pematung/seniman menggunakan
teori proporsi yang berkaitan dengan rumus-rumus matematik untuk mencapai
keindahan, sebagai dasar untuk mengkonstruksikan sistem proporsi seperti
yang kemudian dipergunakan secara luas.
Filosof lain yang terkenal adalah Thomas Aquino (1225 - 1274), menulis
mengenai esensi dari keindahan. Rumusannya yang terkenal adalah
"keindahan berkaitan dengan pengetahuan". Sesuatu disebut indah jika
menyenangkan mata sipengamat, namun disamping itu terdapat penekanan
pada pengetahuan bahwa pengalaman keindahan akan bergantung pada
pengalaman empirik dari pengamat. Hal yang selalu mencolok adalah kondisi
dan sikap terhadap subyek keindahan, persiapan individu untuk memperoleh
pengalaman estetik. Selanjutnya, ia berpikir bahwa keindahan adalah hasil dari
tiga sarat: keseluruhan (lat. Integritas) atau kesempurnaan, keselarasan yang
benar (lat. Proportio) dan kejelasan atau kecemerlangan.
Ketika mengkaji secara empirik obyek yang sulit untuk didefinisikan atau diukur
secara langsung, pendefinisian dapat dipermudah dengan perbandingan
dengan obyek objek atau benda lain, yang lebih mudah untuk dikaji, karena
telah dikenal. Kemudian, daripada menggunakan real definition untuk
sementara dapat digunakan definisi nominal untuk objek atau benda tersebut.
Cara ini telah dimanfaatkan dalam pengkajian tentang keindahan oleh
St.Augustinus dan Thomas Aquino.
Dari "Timaeus" dapat dikutip bahwa sesuatu yang dipahami oleh akal dan
pengetahuan akan tetap, akan tetapi sesuatu yang dipahami oleh pendapat
yang menolong sensasi, dan tanpa pengetahuan, akan selalu dalam proses
menjadi dan binasa yang tidak pernah mencatat hal-hal yang benar benar ada.
Esensi yang tetap dari keindahan akibat dari proporsi proporsi yang tepat yaitu
dari perbandingan ukuran. Gagasan ini dihubungkan pada penelitian dan
Vitruvius, dalam hal ini tampak mengadopsi teori Plato dan Epicurus dan
mencoba menggabungkan keduanya dalam teorinya sendiri. Pada
kenyataanya, ia sependapat dengan Epicurus yang mengatakan bahwa
keindahan sama dengan keanggunan, akan tetapi sensasi keanggunan akan
dihasilkan artefak jika telah memiliki proporsi yang benar. Hal ini tidak identik
dengan gagasan yang dibawa dari Plato. Vitruvius menulis dalam bukunya
instruksi-instruksi praktis bagi rancangan yang memungkinkan seniman
mencapai keindahan dalam karya, ia menyajikan teori Desain yang mengikut-
sertakan faktor faktor kualitatif, tidak saja faktor konstruktif.
Vitruvius mengatakan bahwa bangunan adalah indah bila rupa penampilan dari
pekerjaan menyenangkan, dalam cita-rasa yang baik, dan ketika setiap bagian
sesuai dengan proporsi yang mengacu pada prinsip-prinsip yang tepat, seperti
simetri (simetri dalam pengertian 'persetujuan yang tepat antara bagian bagian
karya itu sendiri, dan hubungan antara bagian bagian yang berbeda dengan
skema umum secara keseluruhan, dalam kesesuaian dengan standar yang
terpilih).
Seorang arsitek besar pada masa Renaissance, Leon Battista Alberti (1404
-1472), menekankan pada aspek formal dari bangunan dan detailnya, proporsi
dan ornamen. Ia menyelidiki syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam karya
Seni lukis, Seni pahat dan Arsitektur dari sudut pengolahan materi, untuk
mencapai kesatuan dari bagian bagian karya Seni sehingga menjadi utuh.
Keindahan (lat. Pulchritrudo) adalah 'harmoni dari semua bagian, dalam bentuk
apapun, dipasangkan bersama dalam proporsi dan hubungan yang tepat,
sehingga tidak ada lagi yang dapat ditambahkan, dikurangi atau dirubah, selain
untuk bertambah buruk', hal inilah yang dicari melalui bentuk bentuk pada
latihan latihan Nirmana Ruang . Hal ini sebagai perkataan bahwa sesuatu
supaya menyenangkan harus harmonis, proporsional, dan hubungan antara
bagian bagian dari objek tersebut harus seimbang. Dasar yang disusun oleh
Alberti kemudian dielaborasi lebih luas sebagai teori Desain Arsitektur oleh
generasi generasi berikutnya hingga sekarang, seperti dapat dilihat pada materi
tugas Nirmana Ruang di pendidikan Arsitektur dan Desain (Fundamental
Principles of Architecture).
bahwa cita rasa keindahan bukanlah semata berasal dari sifat-sifat objek saja,
akan tetapi juga tergantung pada kondisi pengamat dan lingkungan.
Kajian mengenai keindahan sebagai kualitas objek Seni telah dilanjutkan lebih
sistematis dalam pendekatan modern tahun 1928 ketika matematikawan
Amerika George David Birkhoff mempresentasikan persamaannya;
M=O/C
Dua elemen terakhir dari persamaan Birkhoff memang dapat dihitung dan diberi
angka. Seperti yang dipakai oleh Birkhoff sendiri, dimana ia menguji
persamaannya pada suatu vas bunga, dengan jumlah elemen yang terbatas
(hanya terdiri dari tiga garis lengkung), tingkat keberaturan yang rendah
(disusun secara simetris saja), maka nilai keindahan dari vas menjadi tidak
tinggi (angka kecil dibagi tiga).
Pada saat ini, "mainstream" dari penelitian estetika lebih melihat keindahan
bukan sebagai sifat dari objek itu sendiri, tetapi sebagai hasil sensasi atau
interaksi antara persepsi dan obyek. Masalah keindahan ternyata kadang
kadang dikaitkan dengan ajaran agama, seperti lukisan lukisan geometris Islam
yang dipengaruhi oleh ajaran yang mengharamkan penggambaran makhluk
hidup.
Persepsi karya Seni sebagai kesenangan indra tidak sesuai dengan filosofi
gereja kristen muda. Definisi keindahan sebagai sesuatu yang layak dikaji telah
ada dalam Kitab Injil , dikarenakan tekanan Gereja hal ini tidak dapat
berkembang. Baru setelah jaman Renaissance, teoritikus Arsitektur pertama
yang menonjol, Philibert de l'Orme (sekitar 1510 - 1570) mempengaruhi
perkembangan yang memunculkan psikologi modern dari persepsi.
Pada tahun 1750, Alexander Gottlieb Baumgarten melihat adanya syarat syarat
tertentu dalam menafsirkan pekerjaan-pekerjaan Seni. Ia ingin mengetahui
secara pasti mengapa seseorang dapat mengalami keindahan dan sanggup
mengapresiasi pekerjaan Seni. Selanjutnya ia melakukan penelitian psikoogi
Seni. Baumgarten tidak menggunakan lagi kata keindahan melainkan
mengambil istilah "estetika" dari bahasa Yunani 'aisthekos', yang dihubungkan
dengan persepsi.
Hipotesis yang lebih baik disajikan oleh Immanuel Kant (1724 - 1804), yang
membuat estetika menjadi bagian dari sejarah umum filsafat, dalam bukunya
"Kritik der Urteilskraft"(1790). Mengikuti langkah Epicurus, ia menetapkan
bahwa “keindahan adalah segala sesuatu yang menyenangkan semua orang
dan menghargai opini mereka bahwa objek yang menyenangkan adalah indah".
Gagasan Baumgarten mengenai keindahan secara empirik telah diletakkan oleh
George Th.Fechner. dalam eksperimen laboratoriumnya. Ia mengkaji preferensi
dari masyarakat biasa yang tidak dilatih mengenai estetika terhadap karya Seni.
Eksperimen-eksperimennya kemudian diikuti oleh peneliti lain, seperti Weber,
yang menemukan bahwa terdapat beberapa ketetapan pada ulasan masyarakat
mengenai keindahan objek dan bentuknya, dimana proporsi Phytagoras, dan
proporsi yang disebut Golden Section tidak digunakan.
Sebuah pola atau figur dapat menyenangkan mata bila dengan mudah dapat
dimengerti, dan ini selanjutnya memberikan kepuasan. Perancang tidak boleh
menimbulkan ketidak jelasan pada pengamat. Ia menemukan dasar dasar yang
bersifat psikologis bagi sejumlah hukum arsitektural, sebagai contoh dasar
mengenai kontras.
Dalam kehidupan sehari hari, hal yang luar biasa adalah refreshmen yang
didasarkan pada kontras. Panas dan dingin, malam dan siang, bayang dan
kilap, air dan api, gunung dan lembah, kerja dan bermain adalah konsep dan
fenomena penting tanpa dimana kehidupan kita akan menjadi lebih
menyedihkan. Kebutuhan yang sama akan rangsangan, umumnya terdapat
didalam Desain.
Ketika seniman sedang menarik outline, bagian bawah sadar ternyata mematuhi
aturan aturan tertentu, yang dikenal dengan hukum-hukum Gestalt. Sebagai
contoh, ketika manusia melihat sebuah figur yang tidak sempurna, akan
dilengkapi menjadi figur yang dapat dikenal (asosiasi). Manusia cenderung
untuk melengkapi bagian bagian yang tidak lengkap berdasarkan kemiripan
gambaran dalam memorinya.
Tanda tanda yang dekat satu sama lain cenderung bergabung dalam pikiran
untuk membuat kesatuan yang lebih besar. Jika terdapat kemiripan pada
beberapa tanda, maka tanda-tanda tersebut akan saling bergabung membentuk
satu kesatuan.
Dengan melihat uraian diatas, maka dapat dilihat beberapa sudut pandang dan
sikap manusia terhadap keindahan. Pada masa Yunani, kemudian pada abad
pertengahan, keindahan ditetapkan sebagai bagian dari teologi.
Pada abad pertengahan di Barat, tekanan diletakan pada subjek, proses yang
terjadi ketika seseorang mendapatkan pengalaman keindahan. Pada jaman
modern, tekanan justru diletakkan pada obyek, sehingga tampak bahwa
estetika dipertimbangkan sebagai dari cabang dari sains, khususnya filsafat dan
psikologi.
RAUT ESTETIKA
Dimulai dengan istilah yang kerap tidak tepat dipergunakan, Berta definisi yang
sangat beragam, maka bangun estetika itu pun dapat ditarik ulur. Istilah
tersebut semakin mengabur ketika nama Estetika dan Filsafat Seni dipakai
sebagai nama bidang ilmu untuk hal yang sama. Para ahli pendidikan seni
semakin bersilang pendapat ketika bangun praksis seni rupa, desain produk
industri, desain interior, desain komunikasi visual, dan Icriya seni ditarik ke arah
bidang kajian estetika. Kejadian itu menunjukkan simpang siurnya pemahaman
estetika sebagai filsafat, dan estetika sebagai praksis dalam berkesenian di
Indonesia. Pada tahun 80-an, penulis pemah membuat buku beduclul
Estetika Terapan yang mencoba memposisikan persoalan ini agar tidak
bias, yaitu antara, estetika sebagai praksis dan estetika sebagai kajian filsafat.
Dalam praksis kesenirupaan dan desain, diposisikan adanya unsur-unsur yang
melibatkan aspek estetis (kepekaan, keterampilan, pengalaman, proses
kreatif, dan seterusnya) yang diimplementasikan pelbagai wujud berkarya,
balk tematis maupun bebas. Namur sampai beberapa tahun terakhir ini,
di lingkungan perguruan tinggi seni, istilah "estetika" tetap
dipergunakan untuk keduanya, yaitu dalam pengertian praksis ataupun filsafat.
PENGERTIAN ESTETIKA
Kedayaannya dapat diamati melalui wajah teraga peradaban Barat yang kini
tetap menjadi bangsa yang memiliki eksistensi kuat di dunia. Nilai-nilai estetik
yang menyertai hampir semua bends, gagasan, dan proyeksi, dipiuhkan oleh
para ahli estetika Barat menjadi wacana yang "tersembunyi" dalam materialisma
dan eksistensialisma, kemudian diadopsi oleh negara-negara berkembang
sebagai suatu orientasi baru menjadi "Barat'. Namur kenyataannya, selama
lebih dari satu abad berorientasi menjadi masyarakat makrnur yang rasional,
dan kemakmuran itu hanya mampu sebatas pads kulit, dan negara ketiga,
kemudian menjadi sangat tergantung dan berupaya meleburkan diri dalam
situasi yang kebaratan.
Namun, kerap juga pemikiran Barat masuk ke tanah air terpiuh oleh
penoemahan yang tidak lengkap ataupun salah tafsir, termasuk dalam
kajian-kajian estetika. Kondisi tersebut dapat disimak dalam tulisan-tulisan
yang membahas tentang .estetika di Indonesia seperti terdapatnya tumpang-
tindih pengertian antara seni (art), karya seni (work of arts), filsafat seni
(philosophy of art), nilai estetik (aesthetic value), estetis estetik (aesthetic),
dan estetika (aesthetics). Istilah tersebut sering dipergunakan untuk pengertian
yang sama, padahal semuanya memiliki perbedaan yang penting. Kondisi itu
berlangsung terns dalam buku-buku estetika di Indonesia sehingga maknanya
kemudian membias.
Dalam wacana posmodern, karya seni tidak lagi dipandang sebagai karya
artistik, tetapi dipandang dari aspek tends, jejak, dan makna. Dengan dernikian
kajian-kajian estetika pun menjadi meluas, tidak sebatas pads artifak yang
disepakati sebagai suatu karya seni, tetapi pads sate artifak yang
mengandung makna.
DAFTAR PUSTAKA