You are on page 1of 2

PEMERTAHANAN BAHASA

Pemertahanan Bahasa berhubungan dengan perubahan bahasa (language change),


peralihan bahasa (language shift) dan kematian bahasa (language death). Hoffman (1991) dalam
Fauzi (2008) menjelaskan bahwa ketika sebuah komunitas bahasa tidak mampu mempertahankan
bahasanya, dan secara gradual memungut kosa kata bahasa yang lain, maka hal itu sudah
mengarah kepada pergeseran bahasa (language shift). Sementara itu, ‘pemertahanan bahasa’
(language maintenance) lebih mengacu kepada sebuah situasi di mana anggota-anggota sebuah
komunitas bahasa mencoba untuk menjaga bahasa yang mereka miliki dengan cara selalu
menggunakannya. Jika pada suatu keadaan menginginkan adanya pemertahanan bahasa yang
terjadi, maka pada saat itu masyarakat memutuskan untuk meneruskan pemakaian bahasa (atau
unsur kebahasaan) yang selama itu digunakan.

Masalah pemertahanan bahasa tidak menjadi isu pada kelompok penutur bahasa besar
dan kuat. Arka (2009) dalam penelitiannya memaparkan pemertahanan tidak dilakukan
sepenuhnya secara sadar. Untuk bahasa minoritas, terpinggirkan, dan terancam punah, masalah
pemertahanan bahasa menjadi isu dan mesti dilakukan penuh kesadaran dan dengan berbagai
upaya. Karenanya, definisi pemertahanan bahasa yang ada biasanya dikaitkan dengan
pemertahanan bahasa untuk bahasa terdesak/minoritas, yang didalamnya terkandung usaha
terencana dan sadar untuk mencegah merosotnya penggunaan bahasa dalam kaitan berbagai
kondisi tertentu, yang bisa mengarah ke perpindahan bahasa (language shift) atau ke kematian
bahasa (language death)

Kepunahan bahasa akhir-akhir ini semakin mencemaskan banyak pihak. Bahasa yang
punah itu umumnya adalah bahasa ibu kaum minoritas. Oleh sebab itu, sejak tahun 1991
UNESCO menetapkan Hari Bahasa Ibu Sedunia yang diperingati setiap tanggal 21 Februari.
Peringatan itu dimaksudkan untuk senantiasa menyadarkan kita akan pentingnya
mempertahankan bahasa ibu dan mengupayakan terhindarnya kepunahan yang, jika tidak
dicegah, cenderung kian laju prosesnya. Tulisan Andrew Dalby, Language in Danger (2003)
menyebutkan bahwa setiap dua minggu dunia kehilangan satu bahasa. Separuh dari 5.000 bahasa
di dunia saat ini akan lenyap dalam satu abad ke depan. Dia mengingatkan bahwa kepunahan
bahasa berarti hilangnya khazanah ungkapan yang mencerminkan cara pandang penuturnya
terhadap dunia. Beralihnya penggunaan bahasa minoritas ke beberapa bahasa dominan dapat
mengubah penafsiran terhadap dunia. Keprihatinan itu sudah menjadi perhatian
dunia.Pemertahanan bahasa (language maintenance) lazim didefinisikan sebagai upaya yang
disengaja untuk mempertahankan penggunaan bahasa tertentu di tengah “ancaman” bahasa yang
lain. Upaya pemertahanan bahasa itu penting karena, menurut Crystal (1997), dapat mewujudkan
diversitas kultural, memelihara identitas etnis, menjaga adaptabilitas sosial, dan meningkatkan
kepekaan linguistis serta secara psikologis dapat menambah rasa aman bagi anak.
Dalam konteks Indonesia, yang sebagian besar penduduknya bilingual (menggunakan bahasa
lebih dari satu), pemertahanan bahasa sebenarnya tidak cukup hanya diterapkan pada bahasa
daerah, tetapi juga pada bahasa Indonesia. Harus diakui bahwa terpaan arus globalisasi dan
berhembusnya gerakan reformasi telah menciptakan keparadoksan pada dinamika kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di Indonesia. Globalisasi dan reformasi itu ternyata
tidak hanya telah membuat masyarakat menjadi semakin seragam (homogen), tetapi juga telah
membentuk cara pandang masyarakat terhadap dunia (terhadap identitas, citra diri, hingga nilai-
nilai hidup) berubah. Bangsa Indonesia sudah tersihir untuk selalu mengagumi segala hal yang
berbau asing, tidak terkecuali dalam berbahasa. Lihatlah, betapa riuhnya kata-kata asing
(terutama Inggris) telah menghiasi semua bentuk komunikasi bangsa ini. Celakanya, kata-kata
asing itu berjejal tidak mewakili konsep-konsep baru (yang memang belum kita miliki), tetapi
berjejal menggusur kata-kata yang sudah ada. Kata pertemuan, istirahat, dan kudapan, misalnya,
saat ini semakin jarang disebut orang karena kata-kata itu telah digusur oleh kata meeting, break,
dan snack. Misalnya Bahasa Melayu Riau dan bahasa standar Dapat dikatakan bahwa bahasa
Melayu Riau memang masih jauh dari ancaman kematian atau kepunahan. Bahasa Melayu Riau
masih digunakan secara lisan ataupun tulis, baik dengan aksara Latin maupun dengan aksara
Arab Melayu. Tradisi tulis juga telah menghasilkan naskah yang kaya, baik yang bersifat sastra
maupun nonsastra, yang merupakan dokumentasi yang dapat dijadikan rujukan. Selain itu,
jumlah penutur yang tergolong besar agaknya juga tidak menyusut drastis dalam hitungan 100
tahun. Apalagi pada praktiknya, penggunaan bahasa Melayu Riau menjadi suatu kewajiban
untuk keperluan-keperluan tertentu, terutama dalam upacara-upacara adat. Sekalipun demikian,
perlu dicatat bahwa pergeseran penggunaan bahasa dari bahasa minoritas ke bahasa mayoritas
telah menjadi bagian dari alasan untuk memprediksi bahwa dalam satu abad ke depan, separuh
dari enam ribuan bahasa di dunia saat ini akan punah (Crystal 2000: 19).
Keadaan dan masalah yang dihadapi bahasa Melayu Riau dewasa ini sudah banyak diungkapkan
dalam berbagai diskusi, baik dalam bentuk tulisan maupun lisan, di forum akademik maupun
nonakademik. Di satu sisi, dari waktu ke waktu muncul keprihatinan (baik dari pakar, pemerhati,
maupun pecinta bahasa Melayu) akan menyusutnya jumlah penutur dan pemakaian bahasa
Melayu Riau serta menyurutnya minat masyarakat mempelajari bahasa Melayu Riau. Di sisi
yang lain, muncul pula keinginan untuk menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa resmi
Perserikatan Bangsa-Bangsa (dalam Konvensi Kebudayaan yang digelar pada 5 Desember 2007
di Hotel Aryaduta, Pekanbaru).

Untuk mengatasi persoalan itu diperlukan identifikasi akar masalahnya. Salah satu penyebab
“terpinggirkannya” bahasa Melayu dalam “pergaulan keseharian” masyarakat Melayu Riau,
terutama generasi mudanya, adalah kekurangmampuan bahasa Melayu Riau untuk memenuhi
kebutuhan penuturnya dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dengan kondisi seperti
itu ada kecenderungan penutur “lari” ke bahasa lain, biasanya bahasa kedua (bahasa Indonesia),
sebagai wahana penyampai gagasan yang memungkinkan komunikasi berjalan lebih lancar. Jika
bahasa kedua yang dipilih adalah bahasa yang lebih dominan —misalnya, jumlah penuturnya
lebih besar atau fungsi pemakaiannya lebih luas—pergeseran itu dapat berlangsung sangat
intens. Dalam banyak kasus kematian bahasa, dominasi bahasa besar menjadi faktor penting.

You might also like