You are on page 1of 13

SEMISAL TELANJANG ITU FIKSI

HENDRIK MB

2008 – 2010 --- An Collection

SEMISAL
Semisal menghabiskan siang di sahara
Begitulah kita terbuang pada pedihnya hidup pada tanah penuh madu
Hari-hari penuh sampah, penuh rasa mual dan rasa sakit terpenjara air mata
Anak cucu kita duduk di bawah tiang-tiang pemujaan berhala dengan perut
kerontang
Terbunuh sesah jumawa terik digdaya
Sementara sang musafir duduk di bawah kemah beralaskan permadani yang dijarah
dari keringat moyang
Tetua diam dengan perut-perut berlemak yang terus lapar
Kemana kita akan mencari oase?
Kita terus saja tersesat pada tanda tanya pada setiap pesta rakyat yang penuh
dongeng

Semisal berlari di savana afrika


Kita telah lama terpenjara pada fotamorgana kisah-kisah rekaan
Dan pada mantra dukun-dukun yang menyebut dirinya reforman
Menjadikan kita penjara-penjara jiwa yang abadi dan ketakutan
Terjerembab pada kubang kebodohan yang mengabad
Kita terasing, terusir sebagai tuan dan kembali sebagai budak

Semisal menuruni lembah bromo


Begitulah sekujur hidup kita bagai pasir yang terinjak kaki-kaki
Angin!Dan terbang hendak mencium langit
Itulah mimpi, dan kita selalu bermimpi dengan malam yang terjajah
Haruskah kita memaki moyang atau kembali mendengar dongeng di setiap pesta
rakyat yang menguras keringat?
Kita bukan sapi dan mereka bukan dewa.

HENDRIK MB
KAU KENAL AKU?

Kau kenal aku?


Tidak!, singkat kau menjawab

Aku yakin kau kukenal. Dengan jelas itu pada sekujur wajahmu
Tertera, waktu kita bertemu.

Ya aku ingat! Kau yang kemarin berjanji untuk mencintaiku

Tidak! Aku tidak mengenalmu, singkat kau membantah.

Oh….!!!sial! aku telah memilih penipu.

Hendrik MB

DI GERBANG NERAKA (I)

Tuhan apa jadinya bila kau takdirkan aku menjadi monster?


Ataukah aku sendiri telah mengalap ilmu hitam?

Ah..!bingung aku.

Aku lahir dari rahim perempuan yang kupanggil emak


Bernafas biasa-biasa saja. Kanak-kanak yang renyah dengan tawa
Sampai pada titk itu. Aku terbangun pada keseluruhan derap langkah yang jadi
sesajen untuk-Mu
Bernafas sebagai manusia beriman. Dicekoki idealism iblis.
Sampai pada sebuah pelataran bumi kutancapkan dendam-dendam kesumatku
Ku cecarkan saudara-saudaraku di atas amarahku
Bak pahlawan perang aku menyebut nama-Mu
Aku menang!!!

Tuhan apa jadinya aku setelah gerbang ini?

Neraka!!!

Bilakah aku iblis?

Ya, kau bukan laskarku.

Hendrik MB
DI GERBANG NERAKA (II)

begitu lenggangnya hari pembantaian


derap gemeretak gigi yang pasif dan sia-sia
ku lihat kau berdoa dengan bangga atas darah-darah yang kau isap
duduk bersimpuh dan berdialog dengan logat yang pintar dan penuh pemahaman
“ setan-setan itu telah kiamat!”
kau andaikan suaramu gema terompet perang atas iblis
tapi apa gunanya mencabik kejahatan dengan akal setan?
dan lihai kau menggeliat dengan namaku

seterumu tertawa puas


dengan jiwa tersesah kau terpenjara kemilau kebohongan
mencari jalan emas menuju khayangan
aku menatapmu dengan kuyuh, jejal jiwaku dengan sesunguk
apa tanyamu kini di gerbang neraka?
mengapa diam?
Oh, tidak!!! telah lama kau berdoa dengan keyakinan semu
ataukah risau pada saudara-saudaramu yang mengekorimu?

Hendrik MB

“ BU, BIAR ADIK SAJA…”


(Mengenang BOM BALI 2000)

kau tau bagaimana sakitnya hidup terserak tanpa badan?


Itulah aku.

kuceriterakan ini padamu :


aku seorang perempauan, bersuami satu dengan anak yang masih bocah dua.
hidup biasa saja sebagaimana yang jelata di negeri edun ini.
apakah kau akan menangis bila kau denagarkan ini?
tidak!! jawabku tidak. kau telah doktrinkan itu sebagai kurban kebenaran
hanya maaf. hanya itu, sembari kau sebut-sebut nama yang Agung itu
tapi ada apa denganku?

kemarin bocahku yang SMP harus pulang dengan air mata. “Bu, SPP-ku belum
lunas. esok ujian.”

ah! Made sudah tidurkah kau? ku harap hanya debumu yang pergi.
jiwaku tersesah. air mata telah lama kering, telah lama tandus bola mataku
di pelupuk ada gamabar pelaminan yang teduh. di pelupuk ada tawa dan senyum
bahagia
tergiang kami berceritera tentang rumah yang utuh. dua anak.
itu hanya cita-cita, tapi yang Agung telah memberiakannya

kemudian di sebuah kisah yang lain semuanya hilang. hanya debu. tak ada air mata.
semuanya kering
rumah itu runtuh
ah, dia begitu mungil dan secepat itukah?
kau katakana itu kemauan yang Agung
lalu haruskah aku bersimpuh dan meminta yang sama?

“ bu, aku mau berhenti sekolah saja. adik saja. aku kerja saja bantu ibu , “ anaku
katakan itu dua jam kemudian.
begitulah dunia dan cita-citanya diambil

kini kau tau rasanya sakit hidup tanpa badan?


Itulah aku dan cita-cita pernikahanku.

Hendik MB

SEBUAH FIKSI
(Ceritera yang (telah) menjadi lelucon)

Ini sebuah ceritera fiksi


Selalu menjadi fiksi penuh lelucon dengan tokoh-tokoh badut yang tak lucu

: pada cita-cita yang berbeda orang-orang itu berkumpul pada panggung yang sama
Benar-benar menjadi lelucon ketika semuanya sama-sama menceriterakan
Sebuah dongeng yang sama, yang berbeda pesannya
Terbalut kain yang terlalu tipis oleh pandangan mata-mata katarak

Mereka sering berpikir sebagai pendongen handal


Dengan atribut bak penjual jamu
Dengan gaya badut mereka memampangkan diri
Seolah (akan) menjadi penghibur
Saputangan yang menyeka air mata yang telah lama menjadi basi

Selalu menjadi tontonan menarik setiap kali pesta rakyat :


Sebuah fragmen badut
Aktor-aktor badut
Pendongeng-pendongeng badut
Leucon yang tak pernah lucu
Karena badut menampilkan kisah perih
Membagikan saputangan kumal yang tak pernah bisa menyeka air mata penonton
yang tertipu

Mereka sering begitu


Selalu sama dengan ceritera yang sama
Mungkin mereka telah lupa panggung mereka pernah roboh oleh marahnya
penonton
Sial!!
Memang! Karena penonton gerah oleh terik dan rasa haus
Menangis di bawah panggung pentas badut-badut yang tak lucu

Mereka bukan pemalu


Karena mereka sering malu-maluin
Dan berani untuk selalu dipermalukan
Itulah badut-badut yang beriklan hebat : akulah sang penghibur!
Dan inilah penontonnya kini : kami lebih suka menonton konser Rolling Stones.

TAMAT

Sekian kisah fiktifnya


Tak ada kesengajaan untuk kesamaan dalam segala halnya.
Ini hanya sebuah ceritera yang sayang kalau tak diceriterakan

Hendrik MB

TIP

Kalo kau ke situ, tepat di aula itu


Mereka di sana
Orang-orang pintar yang kau pilih
Kau beli kursi-kursi empuknya, kau jahiti jubahanya
Ternyata mereka pongah
Dibawa juga ranjang sendiri. Kata mereka :
“ malu minta melulu padamu.”

Mereka lelah dan ngantuk kalau terlalu lama berpikir


Bahkan lebih lelah dari seorang pengemis yang bekerja siang-malam tanpa nasi
Bahkan Koran bekas sekalipun untuk tidur
Tapi mereka memang lelah
Membawa kantung perut mereka yang penuh sesak.

Mereka rakus!!
Begitu rakusnya di depan meja yang penuh lauk dari ladangmu
Masih juga mereka suapi isteri anaknya dengan sedikit tip dari kantung-kantungmu
Bahkan anakmu yang perempuan akan mereka makan bak buaya

Ingat! Tubuh mereka besi.


Bom sang adil tak mampu merusaknya
Tapi ia akan memporakporandakan barisan anak-anakmu yang muda
Lantas mereka berkamuflase menempel ditubuhmu
Darahmu habis.
Mereka lintah. Mereka ngantuk. Mereka lelah
Mereka minta tip!

Hendrik MB

PENGECUT

Memang pengecut
Karena kita selalu sedemikian rupa
Berdecak kagum pada omongan yang sama
Menjilati ludah kembali
Kita bukan kumpulan penipu
Kita adalah tertipu

Sedemikian pintarkah kita?

Generasi terdahulu menceriterakan kepada kita


Tontonan yang mereka lihat
Saat tubuh tercabik-cabik
Dan tulang terpisah-pisah
Lantas mereka dibungkam sedemikian lama
Sejarah menjadi bisu

Kita ini apa?


Kita ini durjana. Dengan derai tawa dalam suasana duka
Mulut-mulut yang mati
Tangan, kaki
Mata tuli, telinga buta

Bah!!
Tak malukah kita kepada batu-batu yang jujur?
Seenak mulut kita bercerocos
Menceriterakan kebenaran
Yang kebetulan terlintas di ide

Apa yang kita tau dengan tuli dan buta?


Pembungkaman, pembunuhan
Pencurian, perkosaan, penipuan.
Kita ini orang mati
Yang hidup karena takut neraka

Jalan-jalan telah kosong saat ini


Tapi berderet-deret mereka yang berseragam pongah
Dengan perut-perut yang keroncongan
Penipu-penipu masih saja bermuka dua
Dan kita hanya penonton?
Atawa bersembunyi dengan mengumpat?
Kita memang pengecut
Kita!

Anak-anak kita mati dijalanan berdebu


Berjibaku dengan keadilan yang dipikirkan para pendongeng
Terjebak di tengah sempitnya rasa malu manusia-manusia belang
Hendakkah kita letakan tubuh anak-anak kita di atas altar kurban?

Mereka kira mereka benar.


Giliran orang-orang benar yang terkena asma oleh debu ketakutan yang telah
menjelaga
Mereka berikan umpan-umpan kecil
Ada apa ini?
Membuka mata kita yang buta dan pengecut?
Mereka bilang : “ kami konsisten.”
Mereka bahakan membunuh pemulung karena dituduh membobol brankas.

Haruskah kita tetap menjadi pengecut?

Hendrik MB

TELANJANG

Seberapa pintar kau tau bila kau telanjang?


Atau seberapa besar malumu untuk tidak melakukannya lagi?
Kebiasaanmu itu seperti sebuah cita-cita kecil
Kau tanam begitu lama dalam benak keinginanmu
Itu yang terlihat dan kau pertontonkan kepada kami seumur ubanmu
Seolah kami sedemikian tololnya

Seberapa pintar dia pikir bahwa dia telanjang?


Sudah kukatatakan berulang kali
Dia tak punya cukup malu untuk tau itu
Ia hanya punya takmalu untuk meraih apa yang ia cita-citakan
Semenjak dulu ketika ia ku sekolahkan
Ketika telat membayar SPP dan pulang dengan menangis

Seberapa pintar saya tau bahwa saya telanjang?


Atau seberapa besar malu saya untuk tau hal itu?
Saya lebih memilih untuk tak tau malu
Untuk tak lapar. Untuk tak biarkan isteri saya lari
Sebab sudah terbiasa meminta uang dan tip lebih
Setelah berjibaku denganku, sebuah ritual biasa

Seberapa pintar ia tau bahwa ia telanjang ?


Atau seberapa bodohnya ia untuk tidak tau itu?
Kami mengatakan kepadanya telah sekian lama
Menjalari hari dengan puing rasa lelah dan sebuah keinginan
Banyak memaki dan meludahi sekujur dirinya yang telanjang
Tapi ia lebih memilih telanjang, memilih tak tau malu

Seberapa pintar ia untuk katakan ia telanjang?


Atau seberapa hebatnya ia untuk berkata jujur?
Ia bukan sosok yang lembek untuk hedonisme
Ia hedonis dan menikahi wanita hedonis
Ketika kutanyakan mengapa
Ia hanya ingin wanita yang tak humanis apalagi religi
Ia takut Tuhan membuatnya jujur
Dan ia lebih percaya pada setan yang memberinya kemenangan berlapis air mata
Tapi aku bangga padanya karena cita-citanya terpenuhi
Paling tidak itu.

Seberapa pintar saya tau bahwa saya telanjang?


Atau seberapa siap saya untuk tidak telanjang?
Sudah terlanjur. Ketelanjangan ini akhirnya menjadi wadas cita-cita
Menjadi secuil dalam kronologi dalam hidup saya
Saya patut berbangga
Paling tidak anak saya tidak akan pulang dengan SPP belum lunas

Sang anak:
“ Ayah aku minta duit. Teman-teman nunggu di mall.“

Sang selingkuhan:
“ Say, aku sangat mencintaimu. Aku puas.“

Sang isteri:
“ say, uang arisannya? Pameran berliannya juga hampir tutup, loh.”

Sang ayah:
“ Ujang, Tuhan itu tidak buta. Sayang Ia terlalu baik.”

Sang rakyat:
“ Turunkan badutnya. Kami mau potong kue!”
Seberapa lama kau akan tak tau bahwa kau telanjang?
Mungkin kau menunggu kami menggelandangmu ke rumah RW
Atau lurah?
Oh, sial!! Kau memang tak tau malu.

Ayahku tau malu?

Suamiku telanjang?

Anakku telanjang.

Hendrik MB

MORAL

Dirimu dilukis dengan tinta cina


Ku dengar dibeli dengan murah di pecinanan
Sebegitu murahnya sampai kertas pun diirit
Akhirnya hanya wajahmu yang terlukis
Begitu yang kutahu, kudengar
Kulihat dengan mataku yang tak buta

Hendrik MB

AIR MATA TIMUR TENGAH

Sejak kapan kau akan mengganti kemarau dengan hujan?


Kemarau selalu tergantikan debu olehmu
Memanggang lusuhnya wajah-wajah pasi
Oleh panasnya hujan mortil di atas rumah-rumah hijau
Tercecer butir-butir mimpi di malam racun
Menunggui mentari dari balik pelupuk yang sembab
Di pagi jingga

Pilar-pilar piatu terongok pada jenuhnya rasa yang menguap


Ketika membakar sekam untuk sebuah jarum kecil
Mengorek lubang tikus di pasir

Berjalan tanpa jejak


Begitulah menapaki cahaya tanpa ceritera
Hari jadi piatu
Jantung terseret pada desah sunyi yatim
Sejak kapan kau peduli pada ratap nafas yang tejebak dalam bilah pilihan?

Bilur-bilur pada bumi moyang tercecer


Menjadi sisa-sisa hari yang ramai
Menjadi stigma penuh kata-kata tanya
Jelang saat kesekian di setiap kemunafikan yang dipertontonkan
Kesekian kalinya : bisakah kau putar bumi kembali pada jejaknya?

Bermacam tawa menjadi stereotip rasa benci


Membiarkan egoisitas menyetubuhi rasionalitas
Hari berjelaga pada kubangan pemikiran
Yang terkurung kerangkeng dendam
Gengsi. Takut. Pengecut.
Benci. Egois.

Bertutur seribu kata yang kehilangan makna


Menjawabi pertanyaan dengan satu tutur beraneka dialek
Begitulah kesekiankalinya penipu berdiri membual
Seperti itulah nereka membanjiri rahim-rahim damai
Bayi-bayi bibirnya kering, teteknya kering
Menjadi yatim piatu
Di rinai kertas-kertas dan debu kerikil
Penuh jelaga racun aroganis

Menangislah bumi
Sekuat engkau bisa, sebisa kelenjar airmatamu
Sekuat pelupuk menahan perih
Betapa bilur-bilur membanjiri tanah-tanah asing bak tak berumah
Begitu jelaskah kesemuanya itu? Atau begitu sulit bertindak pintar?
Derai air mata telah menjadi mortil tak bernyawa
Berkeping-keping menjadi kertas yang hangus
Kaki-kaki harapan telah lelah berlari mengitari arena tak berujung

Kau sirami rerumputan itu dengan air laut


Hanya karena seekor semut menggigit pantatmu?

Hendrik MB

BOROK

Ada anjing di jalan. Ada borok-borok tak malu-malu buka baju


Berpikir bahwa parfum mereka wangi
Di sela-sela borok yang mulai menanah
Jangan heran!
Juga hidungmu tak boleh melongo
Mendengus mencari-cari di balik bau dan nanah
Hanya racun. Hanya cendawan

Jangan pikir, sobat


Atau sesaki benakmu dengan tanya-tanya
Buang jauh-jauh ke jurang terdalam
Pekat. Gelap. Mati
Borok itu tetap hidup bak benalu
Tak malu-malu, di tubuh yang tak kenal malu

Ada anjing, sobat. Menjilati borok-borok


Anjing itu borok. Makan borok

Ada hari borok. Hari memilih borok-borok


Aku benci, sobat
Benci karena sering muntaber
Makan di rumah penuh borok!

Hendrik MB

SESEMBAH MAGIS

Duhai sesembah magis


Begitu elok rupamu di kuil beratap zamrud hijau
Ku sembah dengan segala kehendak
Cita-cita yang telah kurangkai dengan indah
Dengan perjuangan penuh basa-basi dari tapa ke tapa

Duhai sesembah magis


Di bawah pilar-pilar kepuasan penuh prahara
Ku bawa padamu sesajen penuh dupa
Sertaan mahal-mahal penuh asa birahi

Duhai sesembah magis


Ku temui mu dengan peluh penuh darah
Terpompa cita-cita pribadi yang telah lama hendak membuncah
Dengat bulat tekad yang membatu
Kudaki terjal tebing menuju kuil beratap zamrud hijau

Duhai sesembah magis


Di jalan-jalan kusuai sesajen menujumu
Suara-suara tanpa koma
Harapan-harapan tanpa jeda
Ku telan beberapa memuliakan darah yang ke luar terseret peluh

Duhai sesembah magis


Kau bagai perawan yang memompah birahi
Yang akhirnya isteri hanyalah rerupa renta
Oh.....sesembah magis.....

Hendrik MB

You might also like