You are on page 1of 19

Masalah HAM di Indonesia

Oleh : Moch. Yunus. Safa’at


Di Indonesia sekarang ini arti hak Asasi Manusia (HAM) sudah kurang berarti di kalangan
masyarakat. Pada dasarnya Hak Asasi Manusia (HAM) terdapat pada UUD 1945 BAB X-A
pasal 28-A sampai dengan pasal 28-J. adanya dasar hukum HAM tersebut membuat masyarakat
Indonesia berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama dihadapan hukum ( UUD 1945 Amandemen ke-2 pasal 28-D ayat 1).
Menteri Hukum dan HAM menyatakan,”Di Indonesia tercatat banyak sekali kasus yang terjadi
khususnya di bidang HAM. Kasus pelanggaran HAM yang terjadi, contohnya : penggusuran
rumah-rumah warga yang dibangun di sekitar jembatan layang di Jakarta dan pembersihan para
pedagang kaki lima yang sering meresahkan para pengguna jalan raya seperti para pengguna
kendaraan bermotor dan para pejalan kaki”.
Adapun contoh lain dari pelanggaa HAM di Indonesia yang sekarang ini adi permasalahan atau
persoalan di kalangan aktifis HAM, yaitu pembebasan Adelin Lis dari lembaga
permasyarakartan tempat dia ditahan pada beberapa waktu yang lalu. Menteri Hukum dan HAM
menegaskan, “ Bahwa bebasnya Adelin Lis dari lembaga permasyarakatan tersebut beberapa
waktu yang lalu tlah di atur oleh petugas lembaga permasyarakatan yang bekerja di tempat
Adelin Lis di tahan.
Berikut adalah penuturan dari petugas penjaga lembaga permasyarakatan yang membantu
bebasnya Adelin Lis, “ saya membantu Adelin Lis karna dia akan memberikan uang bila saya
dapat mengatur surat pembebasan dirinya”. dari penuturan tersebut kenyataannya adalah aparat
keamanan di Indonesia masih kalah dengan sistem kolusi yang sering digunakan oleh para
peabat yang faktanya bersalah. Disamping itu, penjaga lembaga pemasyarakatan yang terkait
dengan pembebasan Adelin Lis sekarang ini tlah dinyatakan sebagai tersangka. Yang menjadi
perdebatan para aktivis HAM adalah, “Mengapa aparat keamanan yang berada dilembaga
pemasyarakatan tempat Adelin Lis ditahan mudah sekali terbujuk oleh sebuah kenikmatan dunia
sesaat yang dijanjikan oleh Adelin Lis?
Tidak lama setelah Adelin Lis bebas, akhirnya aparat kepolisian berhasil kembali menangkap
Adelin Lis. Adelin Lis adalah salah satu contoh tersangka kasus pembalakan liar yang banyak
terjadi di Indonesia. Adanya kasus Adelin Lis tersebut, maka di masyarakat terdapat kiasan
seperti, “mengapa pembalakan liar harus terjadi?” untung memang buat para pelaku pembalakan
liar tetapi bahayanya tetap masyarakat tidak berdosa yang tertimpa. Maka dari itu, pemerintah
mengimbau kepada masyarakat Indonesia, maka kita hijaukan kembali tanah air tercinta!. Itulah
salah satu imbauan dikalangan masyarakat. Saya selaku penulis sekali lagi mengimbau, “mari
kita cegah kegiatan pembalakan liar di Indonesia!”. Tujuan dari imbauan itu agar indonesia
mejadi hutannya hijau bukan dikenal sebagai negara yang hutannya gundul tanpa pepohonan.

Identifikasi Permasalahan Penelitian HAM


March 13, 2008 by doonukuneke
Pengetahuan Sumber HAM
Untuk mengidentifikasi permasalahan, penting untuk mengetahui definisi HAM. Berdasarkan
Pasal 1 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM (UUHAM), HAM adalah:
“Seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan
Yang Maha Esa dan yang merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan
dilindungi oleh negara hukum, Pemerintahan, dan setiap orang demi kehormatan serta
perlindungan harkat dan martabat manusia.”
Dari uraian tersebut, HAM sebagai seperangkat hak tentunya terdiri dari banyak hak. Di samping
itu melekatnya HAM pada manusia bukan dilekatkan oleh negara, orang, korporasi, atau entitas
lainnya, namun oleh Allah SWT. Misalnya ada ketentuan di sebuah instansi negara bahwa PNS
(Pegawai Negeri Sipil) berhak untuk dinaikkan gajinya secara berkala setiap dua tahun, itu bukan
HAM karena diberikan oleh negara. Namun jika dalam aturan atau pelaksanaan aturan tersebut
terdapat diskriminasi, maka ini masuk ke dalam kategori pelanggaran HAM. Karena Allah
menciptakan semua manusia sama sehingga anti diskriminasi melekat pada manusia.
Ditilik dari sejarah HAM, sebenarnya rezim HAM mencoba untuk mereposisi hubungan antara
negara dan masyarakat. Jika semula pada abad pertengahan masyarakat diperlakukan seperti
budak oleh negara (baca: raja-raja), maka mulai menjelang Abad XVIII negaralah yang
melindungi dan mensejahterakan rakyatnya. Rakyatlah yang memberikan kedaulatan
(sovereignty) mereka kepada negara untuk memenuhi hak-hak mereka yang dikenal dengan Du
Contrat Sociale. Kemudian lahirlah The Declaration of Independence pada tanggal 4 Juli 1776 di
Amerika Serikat lalu La Declaration des Droits de l’Homme et du Citoyen atau yang dikenal
singkat dengan Declaration des Droits 1789 di Perancis.
Dalam UUHAM dikenal adanya 10 kelompok HAM, yang jika diuraikan lebih detil bisa menjadi
sekitar 100 subkelompok. Dalam International Covenant on Economic, Social, and Cultural
Rights 1966 (ICESCR), khususnya dilihat dari hak-hak sosialnya, ada 10 hak-hak sosial yang
dapat diturunkan lagi menjadi sekitar 60an HAM. Pun di International Covenant on Civil and
Political Rights 1966 (ICCPR) juga terdapat banyak kelompok HAM, seperti hak untuk tidak
disiksa, hak untuk mendapatkan kewarganegaraan, hak untuk hidup, dan sebagainya.
Jadi UUD 1945, UUHAM, Bill of Human Rights (Deklarasi Universal HAM, ICCPR dan
ICESCR), dan konvensi-konvensi internasional HAM lainnya menjadi sumber dalam penelitian
HAM. Landasan yang digunakan tidak sekedar terbatas pada landasan yuridis saja, yaitu hukum
HAM positif (ius constitutum) yang berlaku di Indonesia, seperti produk hukum HAM dan
konvensi-konvensi internasional yang telah diratifikasi. Namun, landasan yang digunakan adalah
landasan teori. Yang dimaksud dengan landasan teori HAM yaitu:
” Hasil cara berpikir yang telah disistematisasi dan mengandung paradigma dan nilai-nilai yang
seharusnya ada dalam realitas hubungan antara negara dengan masyarakat.”
Termasuk dalam landasan teori, misalnya untuk menganalisa penyebab kekerasan kepada
tersangka pelaku kejahatan di masyarakat karena tidak percaya pada institusi peradilan dapat
digunakan teori “Relative Deprivation” dari Tedd R. Gurr, yaitu bahwa disparitas yang terlalu
jauh antara tingkat ekspektasi (harapan ideal seperti apa peradilan seharusnya) dengan realita
yang terjadi (banyaknya tersangka dibebaskan, adanya praktek mafia peradilan, dst)
menyebabkan pembakaran tersangka oleh masyarakat setelah diambil paksa dari kepolisian.
Atau untuk menganalisa banyaknya perusahaan multinasional yang melanggar HAM dapat
digunakan teori “The Fragmentation of International Law” dari Martti Koskenniemi.
Cara Mengidentifikasi Permasalahan Penelitian HAM
Ada tiga identifikasi permasalahan penelitian HAM, yaitu:
1. adanya kesenjangan antara teks HAM sebagai sebuah das sollen dengan konteks realita
yang terjadi sebagai das sain-nya;
2. ketiadaan mekanisme perlindungan, pemenuhan atau pemajuan HAM; dan
3. faktor pengambat perlindungan, pemenuhan atau pemajuan HAM.
Untuk yang pertama, misalnya, dapat dilihat soal keterwakilan perempuan di parlemen. Pasal 65
ayat (1) UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPRD, dan DPD
mensyaratkan minimal 30% dari calon anggota DPR, DPRD, dan DPD adalah perempuan.
Namun jika kita lihat susunan anggota DPR saat ini yang dipilih tahun 2004, dari 550 anggota
DPR, hanya 20 orang saja yang perempuan atau sekitar 3,63% saja. Ini artinya ada permasalahan
antara teks (minimal 30% perempuan) dengan konteks realita (hanya 3,63% anggota DPR saja
yang perempuan).
Untuk yang kedua, misalnya, ketiadaan mekanisme pendidikan dasar dari pemerintah
menyebabkan banyak masyarakat belum mampu mengenyam pendidikan dasar gratis.
Sedangkan yang ketiga, yaitu hambatan, dapat diuraikan misalnya faktor manusianya, faktor
instrumen HAMnya atau faktor alam.
Setelah mengetahui permasalahan HAM yang ada, maka kemudian perlu dirumuskan
permasalahannya sesuai dengan tujuan penelitian tersebut. Dari perumusan permasalahan inilah
dapat diketahui obyek permasalahannya, entah pada peraturannya, manusianya, atau kondisi riil
yang dihadapi.
Penelitian yang Cocok bagi Penelitian HAM
Ada tiga macam penelitian, yaitu:
1. ground research, yaitu penelitian yang digunakan untuk menghasilkan kebijakan atau
pengembangan ilmu pengetahuan;
2. applied research, yaitu penelitian yang dapat diterapkan pada realita; dan
3. experimental research, yaitu penelitian yang dilakukan dengan eksperimen-eksperimen
Penelitian HAM hanya cocok untuk penelitian yang kedua karena hasil penelitian tersebut dapat
diterapkan untuk mengatasi permasalahan HAM yang ada. Untuk yang pertama kurang cocok
karena tidak terlalu signifikan kegunaannya dalam memecahkan permasalahan HAM. Sedangkan
yang terakhir tidak relevan karena biasanya penelitian eksperimental digunakan untuk penelitian-
penelitian di bidang ilmu pengetahuan eksak, misalnya penelitian untuk mengetahui cangkok
jantung dari hewan apa yang paling cocok ditransplantasikan pada manusia.
Penutup
Identifikasi permasalahan penelitian HAM seyogianya dimulai dari pengetahuan terhadap
instrumen HAM dan teori-teori terkait lainnya yang dapat digunakan sebagai landasan teori.
Permasalahan HAM kemudian dapat diidentifikasi adanya kesenjangan antara das sollen dengan
das sain, absennya mekanisme HAM, atau faktor penghambat terwujudnya HAM. Di samping
itu, penelitian HAM hendaknya merupakan applied research sehingga dapat diterapkan untuk
mengatasi permasalahan HAM di Indonesia
Inspirasiku dari: Muhammad Nur Rasyid, S.H., M.H. (Kepala Pusat Hak-Hak Ekonomi, Sosial,
dan Budaya di Badan Penelitian dan Pengembangan HAM)

BAB I
Masalah Hak Asasi Manusia (Human RightS)
oleh: permen
Pengarang : Ester Putri

• Summary rating: 2 stars (47 Tinjauan)


• Kunjungan : 2702
• kata:300

More About : permasalahan ham di indonesia
Masalah Hak Asa

HAM adalah hak yang melekat pada diri manusia yang bersifat kodrati dan
fundamental yang harus dihormati, dijaga, dilindungi oleh setiap individu,
masyarakat, dan negara.

HAM terdiri dari :


1. Hak Sipil = hak diperlakukan sama dimuka umum, hak bebas dari kekerasan, hak
khusus bagi klompok anggota masyarakat tertentu, hak hidup dan kehidupan.
2. Hak Politik = hak berserikat dan berkumpul, hak kemerdekaan mengeluarkan
pikiran, hak menyampaikan pendapat di muka umum.
3. Hak Ekonomi = hak jaminan sosial, hak perlindungan kerja, hak perdagangan,
hak pembangunan berkelanjutan
4. Hak SosBud = hak memperoleh pendidikan, hak kekayaan intelektual, hak
kesehatan, hak memperoleh perumahan dan pemukiman.

HAM dianggap sangat penting di Indonesia karena itu ada pengaturan HAM dalam
ketatanegaraan Republik Indonesia. i. UUD, II Tap MPR, III. Undang-undang, IV.
Peraturan pemerintah, keputusan presiden, dll.

Pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan seseorang atau sekelompok orang yang
mengurangi, membatasi atau mencabut HAM seseorang atau sekelompok orang
yang dilindungi atau dijamin oleh undang-undang.
Pelanggaran HAM dibagi 2 :
1. Pelanggaran HAM ringan
2. Pelanggaran HAM berat (kejahatan genosida dan kejahatan manusia).
Kejahatan genosida adalah perbuatan yang sengaja dilakukan dengan maksud
menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok etnis, ras,
bangsa dan kelompok agama. Kejahatan kemanusiaan adalah perbuatan yang
sengaja dilakukan sebagai bagian dari serangan sistematik terhadap penduduk
sipil.

Wajah HAM di Indonesia

Posted: Oct. 22, 2008 04:20:07 WIB

Sebuah gereja di Poso yang dibakar. (Foto: Doc)


Sebuah gereja di Poso yang dibakar. (Foto: Doc)
Wajah HAM di Indonesia kelihatannya masih buram walau secercah harapan sebenarnya telah
tergoreskan secara pasti dalam konstitusi yang menyiratkan bahwa HAM tersurat dan menjadi
ketentuan hukum yang kuat dan mengikat bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa diskriminasi.
Namun dalam tataran implementasi masih jauh panggang daripada api. Ketentuan hukumnya
sudah sangat baik, tetapi pelaksanaannya masih sangat jauh dari harapan. Korban-korban HAM
masih terus bertambah, berbagai kasus HAM tidak terselesaijan secara tuntas.
Komnas HAM yang diharapkan sebagai lembaga yang dibangun untk menyelesaikan masalah
HAM di Indonesia dengan slogannya yang kelihatan indah, “HAM untuk SEMUA” kelihatan
perannya hanya sebatas tempat mengadu dan kolektor berbagai persolan HAM di Indonesia.
Demikian juga Departeman Kehakiman dan Hak Asasi Manusia yang hadir di tengah-tengah
lautan persoalan HAM di Indonesia dengan otoritas yang sangat kuat dan slogannnya yang
sangat luar biasa, “Semua untuk HAM-HAM untuk Semua” ternyata juga lemah dalam
menyelesaikan masalah-masalah HAM di negeri ini, apalagi kalau pelanggar-pelanggar HAM
melibatkan petinggi-petinggi negeri maka ketidakberdayaan itu semakin jelas dan keberpihakan
muncul secara telanjang.
Kalau terjadi pelanggaran HAM di lapangan, yang sering terjadi adalah tindakan aparat hukum
yang melakukan pembiaran atas tindak pelanggaran dan baru turun tangan setelah pelanggaran
HAM terjadi, dan ironisnya pelanggarnya dibiarkan pergi dan korbanlah yang berurusan dengan
aparat.
Salah satu contoh yang marak terjadi adalah pelanggaran HAM dalam hal kebebasan beribadah
dan beragama. Korban yang sudah menderita karena teror, intimidasi, dan penganiayaan, tambah
menderita lagi, karena “demi” keamanan dan ketertiban”korban diharuskan menutup tempat
ibadahnya dan dilarang melakukan kegiatan ibadah di tempat tersebut.
HAM juga kelihatan lebih menarik dijadikan komoditas politik terutama menjelang Pemilu 2009,
HAM mulai dilirik dan diangkat kepermukaan oleh parpol-parpol peserta Pemilu 2009 tentunya
dengan janji-janji manis untuk menuntaskan berbagai persoalan HAM di Indonesia. Tetapi nanti
dulu, mari kita lihat janji Presiden kita pada Pemilu 2004, pada tahap awal pemerintahannya.
SBY berpidato dengan semangat yang luar biasa dan meyakinkan dalam tema pidato yang juga
luar biasa meyakinkan dan menjanjikan: “INDONESIAKU UNTUK SEMUA, MAJU
BERSAMA, MAKMUR BERSAMA.”
Dalam pidatonya, Susilo Bambang Yudhoyono yang saat ini adalah Presiden Republik Indonesia
mengatakan: “Setiap orang memiliki hak dan kewajiban yang sama, secara hukum tidak boleh
lagi ada perlakuan yang diskriminatif dalam kehidupan kita sebagai bangsa. Oleh karenanya di
tahap awal pemerintahan saya nanti, saya pastikan dilakukan evaluasi dan penghentian setiap
aturan dan praktek kehidupan dikriminatif, baik yang terjadi di tingkat pusat maupun di tingkat
daerah. Kita harus bersama-sama menjalankan gerakan “DISKRIMINASI-NO!” (Disampaikan
dalam HUT Partai democrat di Istora Senayan, 9/9 2004).
Janji haruslah ditepati, apalagi janji-janji yang diucapakan di hadapan rakyat dan sesungguhnya
untuk rakyat yang juga memilihnya, janji, bukan hanya harus tetapi wajib untuk ditepati.
Kelihatannya menjelang akhir pemerintahannya masih banyak PR yang belum terselesaikan.
Misalnya berbagai pelanggaran HAM yang masih banyak terjadi dan belum terselesaikan secara
tuntas, seperti: kejahatan terhadap kemanusiaan, diskriminasi, penindasan, intimidasi,
pemberangusan kekerasan terhadap anak, trafficking, perusakan lingkungan dan perusakan serta
penutupan rumah ibadah.
Regulasi yang diharapkan dapat menyelesaikan masalah ketidak-rukunan dalam masyarakat
seperti SKB 1969 dan Perber 2006 ternyata tidak ada korelasinya dengan kerukunan dan ketidak-
rukunan di dalam masyarakat, karena terbukti berdasarkan data yang menggambarkan Korelasi
Perusakan dan Penutupan Rumah ibadah dengan SKB 1969 dan Perber 2006, terbukti intensitas
penutupan rumah ibadah justru semakin meningkat. Sebelum diterbitkannya SKB 1969 rata-rata
penutupan Gereja 1 gereja per 4,8 tahun, sedangkan pada masa pemberlakuan SKB selama 37
tahun rata-rata gereja yang ditutup 2-3 gereja per bulan dan pada masa Perber yang baru berjalan
17 bulan 3-4 gereja per bulan.
Intensitas penutupan/perusakan tertinggi terjadi pada masa pemerintahan BJ Habibie.
Begitu banyak data dan cukup bukti atas terjadinya pelanggaran HAM, terutama terhadap rumah
ibadah dan hak untuk beribadah, namun aneh tapi nyata, tidak seorang pun pelanggar hukum dan
HAM ini ditangkap, diadili dan dihukum!
Hak Atas Kebebasan
“Hak atas kebebasan beragama dan beribadah adalah kebebasan dasar (fundamental freedom
rights) yang melekat (inherent) dalam diri setiap manusia yang tidak boleh direnggut oleh siapa
pun dan tidak terbatas oleh ruang dan waktu.”
REGULASI YANG MENDASARI HAK ATAS KEBEBASAN
•Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28e
(1) Setiap orang berhak memeluk agama dan ber-ibadah menurut
agamanya,memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan,
Memilih kewarganegaraan,memilih tempat tinggal di wilayah negara
dan meninggalkannya, serta berhak kembali.
(2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan,
menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.
• Undang-Undang RI No 39 tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Pasal 22
(1) Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk
beribadat menurut agama dan kepercayaannya.
• Pernyataan Umum Tentang Hak-Hak Asasi Manusia Pasal 18. “Setiap orang
berhak atas kebebasan pikiran, hati nurani dan agama;dalam hal ini
termasuk kebebasan berganti agama atau kepercayaan, dan kebebasan
untuk menyatakan agama atau kepercayaan dengan cara mengajarkannya,
mempraktekkannya, melaksana-kan ibadahnya dan mentaatinya, baik
sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain,dimuka umum maupun
sendiri”
• Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik Pasal 18.
(1) Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan
beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menganut, atau menerima suatu agama atau
kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara individu maupun bersama-sama
dengan orang lain, dan baik di tempat umum maupun tertutup, untuk menjalankan agama atau
kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, ketaatan, pengamalan dan pengajaran.
(2) Tidak seorangpun boleh dipaksa sehingga meng-ganggu kebebasannya
untuk Menganut atau menerima suatu agama atau keper-cayaanya sesuai dengan pilihannya
JAMINAN ATAS KEBEBASAN
• UUD 1945 Pasal 29 Ayat 2
“Negara menjamin kemerdekaan tiap tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing masing dan ber-ibadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu”
• UU RI No 39 Tahun 1999 Pasal 22 ayat 2.
“Negara menjamin kemerdekaan setiap orang me-meluk agamanya masing-
masing dan untuk beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu”
• Sejauh mana Negara melakukan kewajibannya memberikan perlindungan
yang memadai? Sejauh mana negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap pen-
duduk beragama dan beribadah ?
• Penutupan, Perusakkan dan Pembakaran tempat ibadah dimanapun dan
dengan alasan apapun adalah Pelanggaran terhadap hak-hak dasar atas
kebebasan beragama dan berkeyakinan
Ketentuan-ketentuan HAM menjadi ketentuan-ketentuan konstitusi di dalam Undang-Undang
Dasar 1945. Hal ini tentunya mengandung konsekuensi bahwa ketentuan-ketentuan tersebut
harus dilaksanakan secara konsisten dan harmonis dalam segala bentuk kebijakan, peraturan dan
administrasi penyelenggaraan Pemerintahan Negara Republik Indonesia dari tingkat Pusat,
daerah, kabupaten/kota sampai ke kelurahan/desa.
Tugas, wewenang dan kewajiban pemerintah adalah menjamin kepastian terlaksananya
Kebebasan Beragama dan Beribadah menurut Agama dan kepercayaannya itu” (UUD 1945 Pasal
29 ayat 2).
“Sungguh betapa bahagia bila setiap insan di negeri yang kita cintai ini bebas memeluk agama
dan dapat menjalankan ibadahnya dengan aman dan damai tanpa gangguan, intimidasi ataupun
teror!”
Penulis adalah Wakil Sekretaris Umum Pengurus Pusat Persekutuan Gereja-gereja dan Lembaga-
lembaga Injili Indonesia (PGLII), Wakil Ketua Umum Lembaga Advokasi Hukum dan Hak
Asasi Manusia (DPP ELHAM) dan Sekretaris Jenderal Jaringan Layanan Damai (Jala Damai).

You might also like