You are on page 1of 9

JANJI DAN AMANAT

Tafsir Al-Misbah

Q.S. Al-Ma’arij: 32












 


“Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya”

Tafsir :
Setelah mengecam siapa yang melampaui batas, ayat di atas melanjutkan dengan
memuji mereka yang berada dalam batas yang dibenarkan, yakni akan memperoleh surge
dan terpuji pula orang-orang yang terhadap amanat yang dipikulkan atas mereka oleh
Allah atau manusia baik yang berkaitan dengan urusan dunia maupun akhirat juga
perjanjian yang mereka jalin dengan pihak lain adalah pemelihara-pemeliharanya
sehingga menunaikan sebaik mungkin tidak menyia-nyiakan atau menghilangkan tidak
juga mengurangi/merusak.

Q.S Al-Anfal : 27




 








 
 



 


“Hai orang-orang yang beriman, jangankah engkau menghianati Allah dan Rasul
(Muhammad) dan (juga) janganlah kamu menghianati amanat-amanat yang
dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.”

Tafsir:
Kata () takhunu terambil dari kata ((‫ الخون‬al-khaun yakni
“kekurangan”, antonomnya adalah (‫ )الوفففاء‬al-wafa’ yang berarti “kesempurnaan”.
Selanjutnya kata “khianat”digunakan sebagai antonym dari “amanat” karena jika
seseorang menghianati pihak lain, maka dia telah mengurangi kewajiban yang harus ia
tunaikan. Kata (‫ )أمنات‬amanat adalah bentuk jamak dari kata (‫ )أمنة‬amanah yang terambil
dari kata (‫ )أمفن‬amina yang berarti “merasa aman” dan “percaya”. Siapa yang dititipi
amanat, maka itu berarti yang menitipkannya percaya kepadanya dan merasa aman bahwa
sesuatu yang dititipkan itu akan dipelihara olehnya – secara aktif – atau paling tidak
secara pasif sehingga bila tiba saatnya diminta kembali oleh yang menyerahkan, ia akan

1
mendapati titipannya tidak kurang, tidak rusak, tetap sebagaimana ketika diserahkan
sebagai hasil pemeliharaan aktif.
Pengulangan kata () takhunul/menghianati oleh al-Biqa’I
dipahami sebagai isyarat bahwa khianat kepada Allah berbeda dengan khianat kepada
selain-Nya. Khianat kepada Allah bersifat hakiki, karena segala sesuatu termasuk yang
diamanatkan oleh manusia kepada manusia kepada manusia lain bersumber dari-Nya,
sedang khianat kepada selain-Nya bersifat majazi.
Thabathaba’I memahami penggalan kalimat () takhunu
amanatikum/mengkhianati amanat-amanat kami sebagai satu kesatuan yang berkaitan
dengan khianat kepada Allah dan Rasul. Ada amanat Allah kepada manusia seperti
hukum-hukum yang disyariatkan-Nya agar dilaksanakan, ada amanat Rasul saw kepada
manusia, seperti keteladanan yang beliau tampilkan, ada amanat antar sesama manusia
seperti penitipan harta benda dan rahasia. Ada lagi amanat yang merupakan amanat
bersama – Allah, Rasul, dan kaum mukminin, yaitu persoalan – persoalan yang
diperintahkan oleh Allah dan dilakukan oleh Rasul saw, dan diraih manfaatnya oleh kaim
mukminin seluruhnya. Amanat ini melahirkan tegaknya kemlasahatan masyarakat. Ini
antara lain seperti rahasia-rahasia militer atau politik yang bila dibocorkan, merugikan
kaum muslimin sekaligus melanggar hak Allah dan Rasul saw.
Firmannya : () wa antun
ta’lamun/sedang kamu mengetahui, dipahami oleh Thabathaba’I sebagai bertujuan
membangkitkan fitrah dan rasa kepedulian yang muncul dari lubuk hati mitra bicara, agar
menghindari khianat itu. Penggalan akhir ayat ini, menurutnya, bukanlah syarat larangan
berkhianat.

Q. S. Al-Ahzab : 72

 
 

 

 
 



  

 


 

 

  

 


“Sesungguhnya kami Telah mengemukakan amanat1 kepada langit, bumi dan gunung-
gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan

1
yang dimaksud dengan amanat di sini ialah tugas-tugas keagamaan.

2
mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu
amat zalim dan amat bodoh”,

Tafsir:
Kata () ‘aradhna terambil dari kata ()
‘aradha yakni memaparkan sesuatu kepada pihak lain agar ia memilih untuk menerima
atau menolaknya. Ayat di atas mengemukakan satu ilustrasi tentang tawaran yang
diberikan Allah kepada yang disebut oleh ayat ini. Tawaran tersebut bukanlah bersifat
pemaksaan. Tentu saja siapa yang ditawari itu –dinilai oleh yang menawarkannya
memiliki potensi untuk melaksanakannya. Atas dasar itu, sementara ulama menambahkan
bahwa tawaran Allah kepada langit, bumi dan gunung-gunung itu, dan informasi-Nya
bahwa mereka menolak, merupakan pertanda bahwa sebenarnya mereka semua bukanlah
makhluk yang dapat memikul amanat itu.
Berbeda-beda pendapat ulama tentang yang dimaksud oleh ayat di atas dengan kata (‫)المنة‬
al-amanah. Ada yang mempersempit sehingga menentukan kewajiban keagamaan
tertentu, seperti rukun Islam, atau puasa dan mandi jinabah saja, ada juga yang
memperluasnya sehingga mencakup semua beban keagamaan. Ada lagi yang
memahaminya dalam arti akal karena dengannya makhluk atau manusia memikul
tanggung jawab.
Ibnu ‘Asyur cenderung memahami kata amanah pada ayat ini dalam arti hakiki,
yaitu apa yang diserahkan kepada seseorang untuk dipelihara dan ditunaikan sebaik
mungkin, serta menghindari segala bentuk penyia-nyiaannya, baik secara sengaja maupun
karena alpa atau lupa. Yang sengaja menyia-nyiakannya itulah yang ditunjuk oleh ayat di
atas dengan kata () dzaluma, sedang yang tengah dan alapa itulah
yang dimaksud dengan kata () jahulah.

Q.S. Al-Imran : 26

 
 
 
 

  

 


 
  
 
 

    




  
 
 
 


 

3
Katakanlah: "Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada
orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau
kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang
yang Engkau kehendaki. di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau
Maha Kuasa atas segala sesuatu.”

Tafsir:
Kata () allahumma, merupakan doa. Asalnya adalah (‫ )يا ال‬ ya
allah, tetapi guna menghindari kata “ya” atau “wahai” yang merupakan panggilan untuk
jarak yang jauh, maka sbagai gantinya ditambahlah huruf Mim bertasydid sehingga
berbunyi “allahumma”. Memang lafaz mulia itu, yakni hurf dari lafaznya, ia tetap
menunjuk kepada Yang Maha Kuasa itu. Hapuslah hurufnya yang pertama, ia akan
terbaca (‫ )ل‬li-llah yakni “milik Allah” selanjutnya hapus lagi hurufnya yang kedua, dia
akan menjadi (‫ )له‬lahu yakni “bagi-Nya” atau “milik-Nya”, dan bila Anda menghapus
hurufnya yang ketiga, Anda akan membacanya Hu yang menunjuk kepada “Nya” dan bila
ini pun Anda persingkat, maka yang akan terucapkan adalah “Ah”, yakni keluhan yang
disampaikan kepada Allah Yang Maha Kuasa dan Maha Penolong itu. Demikian Allah
diseru oleh makhluk suka atau tidak suka, serta diharapkan bantuan-Nya oleh manusia
dalam keadaan sadar atau tidak.
Keunikan lafaz Allah terlihat pula dalam sumpah. Dalam bahasa Arab ada tiga huruf
yang dapat digunakan untuk bersumpah; (‫ )و‬wau misalnya (‫ )والفف‬wa-llahi; (‫ )ب‬Ba
misalnya (‫ )بال‬bi-llah; dan ketiga (‫ )ت‬Ta seperti (‫ )تال‬Ta-llahi. Dua huruf yang pertama
dapat digunakan untuk bersumpah dengan menyebut nama Allah atau sifat-Nya, bahkan
sebelum datangnya tuntunan Nabi saw yang melarang bersumpah kecuali dengan
menunjuk kepada yang maha Esa, orang-orang Arab menggunakannya untuk bersumpah
dengan nama makhluk-mkhluk. Kendati demikian, Al-Qur'an sebagaimana pula pengguna
bahasa Arab jauh sebelum turunnya Al-Qur'an tidak memakai huruf "ta" untuk bersumpah
kecuali bila lafaz yang mereka gunakan adalah lafaz mulia Allah. Demikian terlihat
keunikannya yang kedua. Keunikannya yang ketiga adalah dalam lafaz atau kata-kata
biasa, Anda tidak dibenarkan oleh kaidah bahasa untuk menggabungkan antara "ya" dan
kata yang berbentuk difinite (makrifah). Adalah keliru dalam tata bahasa jika misalnya
Anda berkata : (‫ )ياالّرجففل‬ya ar-rajul atau (‫ )يالولففد‬ya al-walad. Tetapi bila Anda

4
menggunakan lafaz allah, maka tidak ada halangan kebahasaan untuk bermohon dengan
berkata "ya Allah".
Demikian lafaz Allah, dan karena itutidak heran jika dalam Q.S Maryam [19]: 65
Allah berfirman: (‫ )هل تعلم له سميا‬hal ta'lamu lahu samiyyan yang antara lain bermakna
"apakah engkau mengetahui ada yang berhak memperoleh keagungan dan kesempurnaan
seperti Pemilik nama itu?"
(‫ )ملك الملك‬Malik al-Mulk. Kata majmuk ini terambil dari kata yang rangkaian huruf-
hurufnya Mim, Lam, dan Kaf, yang mengandung makna "kekuatan dan keshahihan", yang
pada mulanya berarti "ikatan dan penguatan". Kata "malik" yang berarti "raja" atau
"malik" yang berarti "pemilik", mengandung penguasaan terhadap sesuatu disebabkan
oleh kekuatan pengendalian dan keshahihannya. Allah adalah pemilik. Ayat ini
menjelaskan bahwa yang dimiliki-Nya adalah al-Mulk. Ketika kita berkata bahwa Allah
adalah malik al-mulk maka itu bermakna segala sesuatu yang dapat dikatakan milik
seseorang atau sesuatu - sejak dari yang terkecil seperti pensil sampai yang terbesar
seperti kerajaan langit dan bumi - semuanya adalah milik Allah, karena Dia adalah
Pemilik dari segala kepemilikan. Jika demikian halnya, tiada sesuatu pun yang bukan
milik-Nya. Apa yang kita namakan milik si A - betapa pun besarnya - pemilik sebenarnya
yang hakiki adalah Allah swt.
Ketika seseorang mengucapkan (‫ )اللهّم ملك الملك‬allahumma malikal mulk, maka pada
hakikatnya dia menyeru Allah dengan dua nama-Nya, yaitu Allah dan Malik al-Mulk.
Dengan menyebut nama Allah yang lafaznya menyiratkan makna ketaatan dan Ibadah
yang hanya wajar diarahkan kepada-Nya semata, pengucap do'a ini diharapkan dapat
meraih kekhusukan serta menyandangkan segala sifat terpuji kepada Allah dan
menyucikan-Nya dari segala sifat tercela. Dengan menyeru malik al mulk diharapkan
dapat tercermin kekuasaan dan kebesaran Allah swt serta kelemahan seluruh makhluk di
hadapan-Nya.
Salah satu bentuk dan bukti kekuasaan dan kepemilikan-Nya adalah apa yang
diucapkan itu yakni Engkau berikan kerajaan kepada orang-orang yang Engkau
kehendaki. Apabila kita memperhatikan, Dia tidak mengajarkan kita berkata "Engkau
milikkan", tetapi "berikan", karena apa yang diberikan-Nya bukan menjadi milik, tetapi
pemberian yang sifatnya hanya sementara, karena pada saat yang sama pemberian-Nya
dapat diambil dapat diambil-Nya kembali, baik yang diberi rela maupun tidak.

5
Seandainya apa yang diberikan dijadikan milik yang diberi, tentu tidak wajar Allah
mengambilnya kembali, apalagi dengan mencabut, yalni memaksa mengambil.
Kerajaan, yakni kekuasaan yang berada dalam gemnggaman tangan seseorang
bukanlah miliknya. Karena itu, bila yang bersangkutan enggan menyerahkannya ketika
Allah memintanya kembali, maka Engkau cabut kerajaan yang pernah Engkau berikan itu
dari orang yang Engkau kehendaki, untuk Engkau cabut kerajaan darinya. Pemberian dan
pencabutan itu melalui faktor-faktor atau hukum-hukum yang ditetapkan Allah yang
berlaku dalam kehidupan masyarakat, tidak beda dengan hukum-hukum alam yang
ditetapkannya dalam perjalanan alam raya ini.
Kata "cabut" memberi isyarat bahwa sering kali penguasa ingin mempertahankan
kekuasaannya sepanjang mungkin. Kalaupun harus mengalihkan, maka pengalihan itu
adalah kepada anak keturunan atau teman terdekatnya, sehingga kekuasaannya dapat
langgeng. Memang lebih tepat memahami kata "al-Mulk" pada ayat ini dalam arti
"kekuasaan memerintah", bukan "aneka anugerah Allah", seperti pandangan sementara
mufassir yang memasukkan anugerah kenabian, akal, kesehatan, akhlak, harta benda dan
lain-lain dalam pengertiannya.
Penggalan kedua doa ini juga menunjukkan betapa menyeluruh kepemilikan-Nya,
kata (‫ )تعفز‬tu'izzu yang di atas diterjemahkan "Engkau memuliakan", pada hakikatnya
mengandung arti kekuatan yang menjadikan pemiliknya dibutuhkan sekaligus tidak
terkalahkan. Allah maha mulia karena ia dibutuhkan oleh semua makhluk, sedangkan Dia
tidak butuh kepada siapa atau apapun. Dia mengalahkan segala sesuatu dan tidak dapat
dikalahkan oleh segala sesuatu. Dia sedemikian mulia, sehingga tidaka ada yang bisa
menyentuh bahkan mengetahui hakikat-Nya. Lawan dari kata tu'izzu adalah (‫ )تذل‬tudzillu,
yaitu "menghina". Yang hina selalu butuh kepada banyak pihak, terkalahkan dan tidak
berwibawa.
Menganugerahkan kekuasaan atau mencabutnya, memuliakan atau menghinakan, itu
semua akan berakibat baik, bahkan hanya di tangan Engkaulah segala kebajikan. Allah
yang menciptakan dan mengatur alam raya, ciptaan dan pengaturan-Nya sungguh baik.
Apa yang diduga buruk pada hakikatnya lahir dari keterbatasan manusia sendiri; atau
dapat juga dikatakan bahwa yang buruk - kalaupun ada - hanya terbatas menyentuh sekian
makhluknya, dan keburukan itu pada hakikatnya adalah untuk kebaikan - banyak sekali
makhluk-Nya yang lain, sehingga pada akhirnya yang buruk itu pun adalah baik untuk
alam raya, paling tidak untuk sebagian besar mereka.

6
Q.S. Al-Baqarah : 247
  
   

 
 
 

  
 
 

 
  
   
  
   

 

 
   
  
  
   
 
 
Nabi mereka mengatakan kepada mereka: "Sesungguhnya Allah Telah mengangkat
Thalut menjadi rajamu." mereka menjawab: "Bagaimana Thalut memerintah kami,
padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang diapun
tidak diberi kekayaan yang cukup banyak?" nabi (mereka) berkata: "Sesungguhnya Allah
Telah memilih rajamu dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa."
Allah memberikan pemerintahan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan Allah Maha
luas pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui.

Tafsir :
Memenuhi permohonan mereka, Nabi mereka menyampaikan wahyu Illahi sambil
menguatkan penyampaian itu dengan kata "Sesungguhnya" , karena rupanya sang Nabi
telah melihat gejala keengganan mereka. Nabi itu berkata, “Sesungguhnya Allah telah
mengutus untuk kamu Thalut menjadi raja,” yakni pengangkatan tersebut bukan
penunjukan saya. Mendengar nama itu, mereka menjawab: “Bagaimana mungkin dia
memiliki wewenang memerintah kami.”
Mereka mengenal Thalut karena beliau seorang yang sangat menonjol tinggi
badannya, karena itu pula ia dinamai Thalut, seakar dengan kata thawil yang berarti
panjang/tinggi. Mereka menolaknya dengan alasan, kami lebih berhak mengendalikan
pemerintahan daripada dia. Ini mereka kemukakan karena Thalut bukan keturunan
bangsawan, sedang para pemuka masyarakat itu adalah bangsawan yang secara turun-
temurun memerintah. Disisi lain, lanjut mereka sedang dia pun tidak diberi kelapangan
dalam harta.

7
Keberatan mereka dibantah oleh Nabi mereka bahwa Allah telah memilih atas kamu
dan melebihkan untuknya keluasan dalam ilmu serta keperkasaan dalam jasmani.”
Demikian sekali lagi sang Nabi mengukuhkan bahwa yang memilih adalah Allah yang
maha Mengetahui, pilihan yang diseleksi dari semua anggota masyarakat, termasuk para
pemimpin yang keberatan itu.
Selanjutnya dijelaskan keistimewaan Thalut dalam tugas yang akan diembannya, yaitu
kelebihan dalam keluasan ilmu dan keperkasaan dalam jasmani.
Nabi tersebut melanjutkan bahwa seandainya kamu dan aku tidak mengetahui alasan
pengangkatan itu, maka kita semua tidak dapat berkeberatan, karena Allah adalah pemilik
kekuasaan, Allah memberikan kekuasaan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya
berdasar hikmah dan kebijaksanaan-Nya. Dan Allah maha Luas kekuasaan, keagungan
dan rezeki-Nya, lagi maha Mengetahui segala sesuatu, termasuk dalam menetapkan
pilihan tentang siapa yang berkuasa.
Dari ayat ini dipahami, bahwa wewenang memerintah bukanlah atas dasar
keturunan, tetapi atas dasar pengetahuan dan kesehatan jasmani, bahkan di sini
diisyaratkan bahwa kekuasaan yang direstui-Nya adalah yang bersumber dari-Nya, dalam
arti adanya hubungan yang baik antara penguasa dan Allah swt. Disisi lain, ayat ini
megisyaratkan bahwa bila Anda ingin memilih, janganlah terperdaya oleh keturunan,
kedudukan sosial, atau popularitas, tetapi hendaknya atas dasar kepemilikan sifat-sifat dan
kualifikasi yang dapat menunjang tugas yang akan dibebankan kepada yang Anda pilih
itu.

SUMBER MASALAH KE-5


JANJI DAN AMANAH

8
Tafsir Al-Qur’an ini disusun guna memenuhi Tugas
Mata kuliah Bimbingan Konseling Islam
Dosen Pengampu : Moh. Munadi

Oleh:
Farida Fitriani (30.06.3.1.026)
Farida Rahmawati (30.06.3.1.027)
Fatimah Fajar S (30.06.3.1.028.)
Fitriyanto (30.06.3.1.023)

JURUSAN TARBIYAH – PAI


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAIN)
SURAKARTA
2009

You might also like