You are on page 1of 2

Hening itu tak kuduga datang sendiri dan kemudian pergi sendiri tanpa diminta.

Ia berasa
kala telah berlalu. Bahkan kala baru saja hendak kutengok, ia telah beranjak pergi. Dalam
hening tamu-tamu pikiran berlalu lalang datang dan pergi, tak kukenali wajah-wajah
mereka, darimana mereka datang, kemana mereka hendak pergi, mengapa dan
bagaimana.

Hening bagaikan wilayah tanpa tuan. Dalam kawasan jiwa yang tanpa batas. Apapun bisa
terjadi apapun bisa menjadi. Bila kita menanamkan pikiran, maka ia akan tumbuh
menjadi sesuatu yang tak seorangpun kan mengira. Bila demikian, maka akan sangatlah
mudah tersesat hilang arah. Meskipun demikian, ku tak tahu mengapa aku begitu betah
disana. Walaupun telah hilang berkali-kali terhanyut, tapi pun masih kukunjungi. Apakah
yang aku cari? Rasanya tidak satu pun yang aku cari, tetapi sekedar menjalani. Entah apa
tau siapa yang mendorongku. Barangkali itulah panggilan jiwa?
Di tempat hening itu, segala sesuatu datang dan pergi. Kuamati satu persatu. Ada yang
indah dan ada pula yang mengerikan. Tapi ku tak tergerak, semuanya berlalu.
Dalam gurun tak bertuan ini, sebutir benih ambisi dapat tumbuh menjadi jalinan belitan
semak belukar yang melilit berduri. Menjerat kita dalam racunnya yang siksa. Bila
burung antah berantah menjatuhkan benih itu kepangkuanmu, segeralah hanguskan
dengan api kesadaran.

Dalam kesunyian hening itu, terkadang terdengar suara yang berbicara. Terdengar begitu
jelas, secepat kilat dan segera lenyap tanpa bekas. Bahkan kala ingin kurenungi, bekas-
bekasnya pun telah tiada. Yang terdengar hanyalah suara kesunyian. Disini, aku tak
berkuasa lagi. Yang selalu memberikan sesuatu yang baru dan segar.

Kadang kursakan ketakutan, mana kala sendiri berbeda dari kelompok kawanan. Menjadi
bukan seorang manusia umumnya lagi. Yang memilih jalan sepi sendiri di kawasan gurun
tak bertuan ini. Dalam kengerian itu, ingin rasanya tuk sejenak bertemu Sang Guru atau
Sang Kakak. Mengharapkan setetes pengayoman, kepastian dan jawaban pelepas dahaga
keraguan. Atau seorang Ibu, yang membisikkan kata-kata bahwa semua ini pasti berlalu.
Tapi tak seorang pun mengerti.
Sehingga dengan menggunakan kecerdasan otakku, ku putar pikiranku kembali sekedar
untuk menjelaskan semua ini. Demi sejumput label kewarasan di mata mereka.

Dalam kerapuhanku ini, ingin rasanya kudapatkan setetes air sejuk agar diri ini memiliki
kekuatan kembali untuk menuntaskan perjalanan. Tetapi bukankah perjalanan ini untuk
memadamkan diri? Bukankah kala diri ini memuaskan dahaganya maka ia akan kembali
berjaya? Bila demikian maka apalah artinya perjalanan berputar-putar ini?
Kala kusadari ini, tak ada pilihan lain kecuali menerima rasa dingin dan ketersendirian
ini, sembari menahan siksa sekaratnya diri. Oleh karena itu, kucoba pahami mengapa
segala sesuatunya seperti meninggalkanku sendiri. Sang Pemberi Hidup, dimanakah
Engkau?
Celakanya, kala kusadari kesendirian ini. Pun adalah permainan licik sang ego. Yang
dengan kapasitas “warping”-nya, membungkusi setiap bungkusnya sendiri. Manakala
terkelupas satu persatu, sampailah pada ketiadaan yang tak terucapkan : wa tammat
kalimatu.

You might also like