You are on page 1of 27

REFERENDUM:

JALAN TERAKHIR PENYELESAIAN MASALAH TIMOR TIMUR

(Tinjauan Terhadap Disintegrasi Timor Timur dari Wilayah NKRI Tahun


1999)

Draft Makalah

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Sejarah Indonesia
Masa Orde Baru dan Reformasi

Oleh:
Arif Gusmayadi 0705753
Fauz Nur’alim 0705559
Kurnia S. Adisifa 0705520
Lia Meliani 0705439
Noviyani 0705443

JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH


FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
2010

1
Rumusan Masalah:
Bagaimana awal integrasi Timor Timur terhadap wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia tahun 1975?
Apa latar belakang terjadinya disintegrasi Timor Timur dari wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia?
Bagaimana keterlibatan atau intervensi Australia dalam penyelesaian
persoalan Timor Timur?
Bagaiamana proses berlangsungnya referendum sebagai jalan terakhir
penyelesaian persoalan Timor Timur?
Bagaimana dampak terjadinya disintegrasi Timor Timur bagi Indonesia,
Timor Timur maupun bagi hubungan Indonesia dengan Australia?

1. Awal Integrasi Timor Timur terhadap Wilayah NKRI.


Pada tahun 1975, ketika terjadi Revolusi Bunga di Portugal dan Gubernur
terakhir Portugal di Timor Leste, Lemos Pires, tidak mendapatkan jawaban dari
Pemerintah Pusat di Portugal untuk mengirimkan bala bantuan ke Timor Leste
yang sedang terjadi perang saudara, maka Lemos Pires memerintahkan untuk
menarik tentara Portugis yang sedang bertahan di Timor Leste untuk
mengevakuasi ke Pulau Kambing atau dikenal dengan Pulau Atauro. Setelah itu
FRETILIN menurunkan bendera Portugal dan mendeklarasikan Timor Leste
sebagai Republik Demokratik Timor Leste pada tanggal 28 November 1975.
Menurut suatu laporan resmi dari PBB, selama berkuasa selama 3 bulan
ketika terjadi kevakuman pemerintahan di Timor Leste antara bulan September,
Oktober dan November, Fretilin melakukan pembantaian terhadap sekitar 60.000
penduduk sipil (sebagian besarnya wanita dan anak-anak karena para suami
mereka adalah pendukung faksi integrasi dengan Indonesia). Dalam sebuah
wawancara pada tanggal 5 April 1977 dengan Sydney Morning Herald, Menteri
Luar Negeri Indonesia Adam Malik mengatakan bahwa "jumlah korban tewas
berjumlah 50.000 orang atau mungkin 80.000". Tak lama kemudian, kelompok
pro-integrasi mendeklarasikan integrasi dengan Indonesia pada 30 November
1975 dan kemudian meminta dukungan Indonesia untuk mengambil alih Timor
Leste dari kekuasaan FRETILIN yang berhaluan Komunis.
Ketika pasukan Indonesia mendarat di Timor Leste pada tanggal 7
Desember 1975, FRETILIN didampingi dengan ribuan rakyat mengungsi ke
daerah pegunungan untuk melawan tentara Indonesia. Lebih dari 200.000 orang
dari penduduk ini kemudian mati di hutan karena pemboman dari udara oleh
militer Indonesia serta ada yang mati karena penyakit dan kelaparan. Banyak juga
yang mati di kota setelah menyerahkan diri ke tentara Indonesia, namun Tim
Palang Merah International yang menangani orang-orang ini tidak mampu
menyelamatkan semuanya.
Selain terjadinya korban penduduk sipil di hutan, terjadi juga pembantaian
oleh kelompok radikal FRETILIN di hutan terhadap kelompok yang lebih
moderat. Sehingga banyak juga tokoh-tokoh FRETILIN yang dibunuh oleh
sesama FRETILIN selama di Hutan. Semua cerita ini dikisahkan kembali oleh
orang-orang seperti Francisco Xavier do Amaral, Presiden Pertama Timor Leste
yang mendeklarasikan kemerdekaan Timor Leste pada tahun 1975. Seandainya
Jenderal Wiranto (pada waktu itu Letnan) tidak menyelamatkan Xavier di lubang
tempat dia dipenjarakan oleh FRETILIN di hutan, maka mungkin Xavier tidak
bisa lagi jadi Ketua Partai ASDT di Timor Leste Sekarang.
Selain Xavier, ada juga komandan sektor FRETILIN bernama Aquiles
yang dinyatakan hilang di hutan (kemungkinan besar dibunuh oleh kelompok
radikal FRETILIN). Istri komandan Aquilis sekarang ada di Baucau dan masih
terus menanyakan kepada para komandan FRETILIN lain yang memegang
kendali di sektor Timur pada waktu itu tentang keberakaan suaminya.
Selama perang saudara di Timor Leste dalam kurun waktu 3 bulan
(September-November 1975) dan selama pendudukan Indonesia selama 24 tahun
(1975-1999), lebih dari 200.000 orang dinyatakan meninggal (60.000 orang secara
resmi mati di tangan FRETILIN menurut laporan resmi PBB). Selebihnya mati
ditangan Indonesia saat dan sesudah invasi dan ada pula yang mati kelaparan atau
penyakit. Hasil CAVR menyatakan 183.000 mati di tangan tentara Indonesia
karena keracunan bahan kimia dari bom-bom napalm, serta mortir-mortir (Nevins,

3
2008: 72).
Integrasi Timor Timur kepada wilayah NKRI ditandai dengan lahirnya
Deklarasi Balibo pada tanggal 30 November 1975. Intinya, Deklarasi Balibo
adalah pernyataan kesepakatan mereka atas nama rakyat Timor Timur,
memproklamasikan pengintegrasian bekas Timor Portugis ke negara kesatuan
Republik Indonesia sebagai provinsi ke-27, Timor Timur.
Timor Timur resmi menjadi bagian dari Indonesia tahun 1976 sebagai
provinsi ke-27 setelah gubernur jendral Timor Timur terakhir Mario Lemos Pires
melarikan diri dari Dili setelah tidak mampu menguasai keadaan pada saat terjadi
perang saudara. Portugal juga gagal dalam proses dekolonisasi di Timor Timur
dan selalu mengklaim Timor Timur sebagai wilayahnya walaupun
meninggalkannya dan tidak pernah diurus dengan baik. Secara konstitusional,
integrasi Timor Timur menjadi wilayah Republik Indonesia ditetapkan melalui
Ketetapan MPR No. VI/MPR/1978, tanggal 22 Maret 1978, setelah sebelumnya
diatur dengan UU No. 7/1976 tanggal 17 Juli 1976.
Amerika Serikat dan Australia "merestui" tindakan Indonesia karena takut
Timor Leste menjadi kantong komunisme terutama karena kekuatan utama di
perang saudara Timor Leste adalah Fretilin yang beraliran Marxis-Komunis. AS
dan Australia khawatir akan efek domino meluasnya pengaruh komunisme di Asia
Tenggara setelah AS lari terbirit-birit dari Vietnam dengan jatuhnya Saigon atau
Ho Chi Minh City.

2. Latar Belakang Disintegrasi Timor Timur


Posisi Timor Timur yang terselip di sela kebulatan wilayah
Indonesia memang menjadikannya seperti kerikil dalam sepatu. Membuatnya
serba canggung. Dalam masa perang dingin, Amerika Serikat sering
menggembosi kekuatan komunisme di seluruh penjuru dunia. Mereka khawatir
Timor Portugis (nama Timor Timur pada masa lampau) menjadi salah satu basis
komunisme di Asia Tenggara sebagai perpanjangan poros Pyongyang - Ho Chi
Minh City yang gagal dieliminasi melalui perang Korea dan perang Vietnam.
Maka, sangat wajar jika Indonesia dibuat sedikit paranoid sehingga mau
dijadikan bumper oleh Amerika Serikat. Apalagi Indonesia senantiasa dibayang-
bayangi kisah G-30-S yang menempatkan komunisme sebagai bahaya laten.
Dengan dukungan terselubung Amerika Serikat, Indonesia akhirnya berhasil
menjadikan Timor Timur sebagai propinsi ke-27. Australia bahkan termasuk
negara yang mendukung lobby Indonesia di PBB.
Australia tidak menentang Indonesia karena Australia pun berkepentingan
atas keberadaan Timor Timur yang berada di pintu Utaranya. Kisah Timor Timur
ternyata tidak berjalan semulus dugaan dan rencana. Setidak-tidaknya ada 3
macam keinginan yang mulanya menjadi sebab perang saudara di Timor Timur
setelah Portugal angkat kaki dari bumi Loro Sae, yakni:
setuju bergabung dengan Indonesia (yang bukannya tanpa reserve,
melainkan ada kesepakatan-kesepakatan khusus).
tetap menjadi bagian Portugal sebagai koloni seperti halnya Macao.
merdeka sebagai negara baru yang berdiri sendiri.
Masing-masing keinginan tersebut terkristalisasi dalam kekuatan partai-
partai politik seperti Apodeti, UDT, KOTA, Trabalhista, dan Fretilin berikut
fraksi-fraksi bersenjatanya. Setelah Timor Timur bergabung dengan Indonesia,
kekuatan yang tidak menginginkan bergabung dengan Indonesia terus melakukan
aksi yang memperlihatkan bahwa mereka masih eksis. Dalam pandangan mereka,
yang terjadi bukanlah integrasi melainkan INTERVENSI (seperti Uni
Sovyet terhadap Afghanistan pada masa itu). Upaya mereka didukung oleh
lobby politik di tingkat dunia.
Berbeda dengan penanganan kasus front separatis Moro (MNLF) di
Philipina dimana Indonesia sukses dalam perannya sebagai penengah dan
pendamai sehingga Moro mendapat otonomi khusus, Indonesia justru menerapkan
tangan besi terhadap gerakan separatis di Timor Timur. Prinsip Kaisar Nero yang
berusaha meredakan keresahan rakyat Romawi dengan "memberi roti dan hiburan
gladiator" hendak diterapkan di Timor Timur. Pembangunan fisik digalakkan
dimana-mana termasuk berusaha merebut hati umat Katholik dengan
membangun patung Yesus terbesar ke-2 di dunia setelah Brasil. Dilain
pihak, kekerasan terus berlangsung secara terselubung.

5
Jika pada awalnya lebih banyak rakyat Timor Timur yang setuju
berintegrasi dengan Indonesia dengan harapan berakhirnya kekerasan berdarah
perang saudara, pada perkembangan selanjutnya justru kekuatan anti-integrasi
kian bertambah. Hal ini dapat dilihat dari usia generasi muda Falintil yang lebih
muda usianya dibanding masa integrasi itu sendiri. Kecewa dan dendam. Itulah
jawabannya. Bisa jadi, mereka bahkan pendukung integrasi. Mereka berbalik
akibat kebiadaban militer yang paranoid terhadap ulah gerilyawan Fretilin
sehingga tidak pandang bulu membabat warga sipil Timor Timur yang tidak
bersalah.
Banyak anak yang mendendam pada pihak militer karena anggota keluarga
mereka dianiaya, diperkosa, diculik, dibunuh. Akibatnya, banyak anak muda yang
bergabung dengan pihak anti-integrasi bukan karena kesamaan ideologi,
melainkan dendam pada militer. Bukanya mengurangi jumlah pembangkang,
justru semakin bertambah deretan orang yang antipati. Upaya memberi
keleluasaan unjuk rasa dalam koridor demokrasi yang dicoba diterapkan oleh
Sintong Panjaitan (Pangdam Wirabhuana saat itu) sebenarnya sudah membuka
peluang angin segar. Menurutnya, lebih baik membiarkan riak-riak kecil yang
terpantau daripada memendam magma yang bisa meletus tanpa kendali. Namun
upaya harmonisasi ini ditekuk habis oleh aksi di luar jalur komando yang
meledakkan tragedi Santa Cruz.
Berikut adalah beberapa faktor pendorong yang menyebabkan munculnya
ide disintegrasi Timor Timur dari wilayah NKRI yang penulis tinjau dari beberapa
aspek, yaitu:
Keadaan politik
Pada tahun 1976 merupakan tahap penyesuaian system pemerintahan yang
berlaku dengan Indonesia, setelah berintegrasi disahkan oleh pemerintahan pusat
di Jakarta. Kemudian di Timor-Timur di bentuk pemerintahan sementara dan
sebagai pelaksana pemerintahan sementara diangkatlah putra Timor-Timur yaitu
Arnaldo Dos Res Aranjo, secara yuridis formal Timor-Timur sudah sah menjadi
bagian negara kesatuan Republik Indonesia dengan dikeluarkan UU VII/1976 dan
peraturan no 19 tahun 1976 tentang Pemda Timor Timur yang kemudian menjadi
propinsi Indonesia ke-27.
Timor Timur baru saja bergabung maka pemulihan keamanan merupakan
hal yang pokok terutama sisa FRETILIN yang masih menguasai 75% dari seluruh
penduduk Timor-Timur.
Dalam perkembangan sisa FRETILIN dapat ditumpas oleh TNI (batalyon
744 dan 745) walau tidak habis. Dikarenakan mereka berada di gunung, kemudian
rakyat Timor Timur dituduh oleh TNI sebagai GPK. Maka akibatnya rakyat
Timor Timur merindukan kedamaian yang menjadi korban kdua belah pihak.
Setelah terjadinya insiden Santa Cruzdan diberikan nobel perdamaian kepada
pemimpin FRETILIN yaitu “Xanana Gusmao” dan Uskup Belo. Dukungan rakyat
untuk merdeka semakin besar, oleh Presiden Habibi dianggap sbagai beban politik
dan mahal secara ekonomi kemudian Timor Timur diberikan kebebasan untuk
merdeka.
Keadaan sosial
Antara tahun 1976-1978 keadaan sosial masyarakat Timor Timur belum
menentu dan banyak diantara mereka yang hidup di kamp-kamp pengungsian.
Kehidupan sehari-hari belum stabil masih terus diawasi oleh militer. Bangunan
fisik peninggalan Portugis tidak banyak berarti bagi rakyat Timor Timur,
masyarakatnya hidup miskin, buta huruf, maka dari itu pemerintah Indonesia
membangun segala sarana hidup untuk rakyat Timor Timur.
Hambatan adalah tidak memahami bahasa Tetum (TimTim) sebagai
tenaga guru atau medis enggan kesana. Dikarenakan adanya konflik yang berbau
ras dan agama muncul, mereka juga mengambil tanah rakyat. Akibatnya terjadi
kerenggangan ekonomi dan puncaknya pada insiden Santa Cruz 12 November
1991 yang mirip tragedi kemanusian dan mengundang reaksi Internasional
(Kuntari, 2008: 110).
Agama
Mayoritas penduduk Timor Timur beragama katolik. Para imigran datang
ke wilayah Timor Timur dan mulai masuk dan bekerja pada instansi disana
dikarenakan para imigran beragama Islam, Protestan, Hindu dan Buddha,
kenyaman rakyat Timor timur terganggu. Perkembangan hingga tahun 1994

7
jumlah penganut agama lain terutama Islam menyamai penganut agama katolik.
Selain itu umat Islam menutup hubungan mreka dengan sangat fanatik dan hidup
mengelompok, hal itu menambah kemarahan masyarakat Timor Timur, yang
kemudian berakibat kerusuhan SARA dan agama itu diangkat oleh Komnas Ham
PBB.

3. Intervensi Australia dalam Penyelesaian MasalahTimor Timur


Keterlibatan negara asing dalam suksesi Timor Timur memang tak dapat
dipungkiri. Berbagai kepentingan tentunya mendasari sikap dan kebijakan asing
dalam menyikapi kasus Timor Timur. Ada yang mengubah sikapnya yang dahulu
mendukung Indonesia menerima Timor Timur menjadi menentangnya, ada yang
menutup mata terhadap hujatan maupun sikap negatif yang diterima Indonesia
dari pihak internasional, dan ada pula yang mencederai posisi netralnya dengan
berpihak. Motif yang mungkin mendasari semua konspirasi tersebut adalah
ekonomi dan politik.
Australia merupakan salah satu negara yang banyak melakukan campur
tangan dalam penyelesaian masalah Timor Timur. Intervensinya sudah terlihat
ketika Timor Timur akan berintegrasi dengan Indonesia tahun 1975. Pada saat itu
Australia mendukung penuh integrasi Timor Timur kepada Indonesia. Ausralia
dan Amerika Serikat gusar ketika FRETILIN memproklamasikan kemerdekaan
Timor Timur. Mereka khawatir munculnya negara Timor Timur yang diusung
oleh partai FRETILIN yang berhaluan komunis ini dapat menimbulkan bahaya.
Mereka khawatir ideologi komunis ini menyebar ke seluruh wilayah khususnya di
kawasan Asia tenggara. Rasa khawatir tersebut memang beralasan sebab
sebelumnya Amerika telah mengalami kekalahan dari golongan komunis di
Vietnam.
Ketika tentara Indonesia memasuki wilayah Timor Timur pada tahun
1975, pemerintah AS dan Australia bersikap mendukung langkah yang diambil
oleh pemerintahan Indonesia tersebut. Hal ini di pengaruhi oleh beberapa faktor
yang mendukung kepentingan mereka khususnya bagi Australia. Ketakutan
Australia terhadap bahaya komunisme yang berada di wilayah Timor Timur ini
memang memiliki alasan yang kuat karena mereka berbatasan langsung dengan
wilayah ini selain ada kepentingan lain dari pihak Australia sendiri. Hingga
akhirnya Timor Timur berintegrasi dengan Indonesia pada tahun 1976 dengan
diadakannya Deklarasi Balibo kemudian selanjutnya Australia mengakui
bergabungnya Timor Timur menjadi wilayah Indonesia yang diakui secara de jure
pada tahun 1979.
Namun, 24 tahun kemudian Australia malah merubah sikap dan
kebijakannya, mereka sangat gencar menginginkan Indonesia segera menuntaskan
masalah Timor Timur.Intervensi Australia dalam persoalan Timor Timur tidak
lain dilakukan karena Austalia memiliki banyak kepentingan terhadap Timor
Timur, diantaranya adalah:
a. Kepentingan Ekonomi
Minyak merupakan kepentingan ekonomi Australia yang paling utama di
Timor-Timur. Perjanjian kerjasama Celah Timor (Timor Gap Zone of
Cooperation Treaty) yang ditandatangin pada tanggal 11 Desember 1989 antara
pemerintah Australia dengan pemerintah Indonesia, telah memberikan posisi yang
sangat menguntungkan bagi Australia. Selama ini dengan pemasukan sebesar 1,1
juta dollar Amerika pada tahun 1989 dan diperkirakan akan menghasilkan
pemasukan sebesar 2,2 juta dollar Amerika pada tahun 1999.
Celah Timor memang menjanjikan keuntungan yang besar bagi Autralia karena
berdasarkan estimasi industry, cadangan minyak di celah Timor mempunyai niali
potensi sebesar 11 milyar dollar Australia.
b. Kepentingan Keamanan
Sejak berdiri sebagai sebuah negara pada tahun 1901, Australia diliputi
rasa ketakutan atau kekhawatiran terhadapa serangan asing, khusunya Asia.
Perang dengan Jepang pada tahu 1941-1945 menunjukan bahwa rakyat Australia
bahwa ketakutan mereka terhadap “bahaya kuning” (yellow peril) terbukti. Saat
itu tentara Jepang hamper saja mendekati wilayah terluar Australia dan sejarah ini
membuat Australia peduli terhada kepentingan pertahanan dan keamanan
kawasannya.
Ketakutan dan kekhawatiran Australia sebenarnya dapat dipahami. Posisi

9
geografis Australia yang berada dekat dengan kawasan Asia dan mayoritas
penduduknya memliki ras dan budaya yang berbeda, menjadi alasan utama
kekhawatiran Australia. Selain itu, Australia merupakan sebuah negara yang
berdiri sebagai hasil migrasi terbesar datang dari Eropa, terutama dari Inggris dan
Irlandia. Para imigran ini membawa cara pandang dan perilaku Eropa dalam
melihat dunia, termasuk rasa takut terhadap invasi negara tetangga, ketakutan
yang telah ada di Inggris sejak 1066.
c. Kepentingan Politik Domestik
Krisis kepemimpinan yanmg terjadi di Indonesia dan pengaruhnya pada
pengambilan keputusan atas Timor-Timur, telah membuat banyak kesempatan
bagi para Perdana Menteri John Howard untuk mengembangkan pemikirannya
tentang kedudukan Australia di dunia. Sejak 1996, Howard dengan partai
koalisinya telah menekankan perbedaan dari pemerintah Australia sebelumnya
dari partai buruh dengan menyatakan bahwa pemerintah koalisi akan
menyeimbangkan kembali kebijakan Luar Negeri Australia dengan tidak hanya
terobsesi dengan Asia saja, melainkan kebijakan yang mendahulukan Asia.
Dari uraian di atas dapat kita lihat begitu besar kepentingan Australia terhadap
Timor Timur sehingga tidak aneh jika selama persoalan Timor Timur bergulir
Australia sangat gencar untuk turut campur secara langsung. Dalam hal ini dapat
kita lihat upaya yang dilakukan oleh Australia untuk mengintervensi Indonesia
dalam masalah Timor Timur. Campur tangan Australia terhadap penyelesaian
masalah Timor Timur diantaranya sebagai berikut.
Surat PM Howard yang mendesak Presiden Habibie untuk segera
menyelenggarakan referendum diikuti oleh serangkaian lobi intens.
Australia segera membuka kantor konsulat di Dili.
Meningkatnya frekuensi Dubes Australia ke Dili, melebihi negara sahabat
lainnya
Kontribusi Australia yang cukup besar dalam UNAMET, hingga mencakup
60%.
Alokasi 2.500 pasukan di Darwin yang sewaktu-waktu siap dimobilisasi
masuk ke Timor Timur.
Australia sangat berambisi untuk memimpin Civpol UNAMET.
Aktivitas intelijen Australia ASIS yang menyadap informasi komunikasi TNI
dan mencuri dokumen rahasia Indonesia. Mereka terlibat secara aktif, baik
melalui opini maupun militer, hal ini dilakukan dalam upaya untuk
melepaskan Timor Timur dari tangan Indonesia. Selama berbulan-bulan
sebelum jajak pendapat di Timor timur pun pasukan-pasukan intelijen dan
helikopter-helikopter Australia mondar-mandir masuk ke wilayah
Indonesia, bahkan sampai masuk ke kawasan Maluku Tenggara.

Pengumuman hasil referendum dengan hasil kemenangan untuk kelompok


pro kemerdekaan, diikuti dengan kekerasan yang meluas oleh unsur-unsur pro-
integrasi. Australia kemudian diminta oleh PBB untuk memimpin kekuatan
internasional di Timor Timur atau International Force in East Timor (INTERFET)
dalam menjalankan tugasnya untuk mengembalikan perdamaian dan keamanan di
kawasan Timor Timur. Bahwa pada akhirnya, pasukan Australia lah yang menjadi
pahlawan dalam kasus ini. Australia telah memperhitungkan semua ini secara
cermat dan tepat. Australia memainkan peranan pokok dalam memobilisasi
tanggapan internasional terhadap krisis kemanusiaan .
Australia mendukung kemerdekaan Timor Timur bukan tanpa maksud.
Australia mempunyai kepentingan politik dan ekonomi. Timor Timur merupakan
wilayah strategis selain itu disana pun banyak terdapat kandungan minyak bumi
bagi perkembangan ekonomi masa depan Australia. Maka tidak heran jika
Australia berupaya keras agar Timor Timur depat lepas dari tangan Indonesia

4. Pelepasan Timor Timur (Referendum)


Lengsernya Presiden RI ke-2, Soeharto dari tandu kekuasaan telah
menyisakan persoalan yang pelik mengenai kasus Timor Timur. Harus diakui
segala usaha yang dilakukan pemerintah RI di bawah kepemimpinan Soeharto

11
tidak mampu menuntaskan masalah Timor Timur. Sampai akhirnya, ketika
tanggal 21 Mei 1998 B.J. Habibie yang baru saja mendapat limpahan kewenangan
sebagai presiden langsung dihadapkan kepada masalah Timor Timur.
Persoalan Timor Timur telah menyedot perhatian dunia kala itu, bekas
provinsi Indonesia itu tetap menjadikan Indonesia sebagai bulan-bulanan dunia.
Banyak pihak yang menggunakan isu Timor Timur sebagai salah satu sarana
”memukul” atau ”memalukan bangsa di percaturan politik internasional. Tak
jarang pula masalah Timor Timur digunakan sebagai sarana menyukseskan
kepentingan domestik sebuah negara di forum internasional. Portugal misalnya,
bekas kolonial Timtor Timur itu selalu menggunakan isu pelanggaran HAM di
Timtim untuk menarik simpati komunitas internasional, khususnya Eropa (Hadi,
2007: 128).
Penyelesaian status Timor Timur dengan jalan referendum sesungguhnya
sudah bertahun-tahun diajukan oleh berbagai pihak dalam forum internasional
kepada Indonesia, dan juga tokoh rakyat Timor Timur seperti Xanana Gusmao,
Uskup Carlos Felipe Ximenes Belo, dan Jose Ramos Horta. Alasan yang
mendasar adalah karena setiap bangsa berhak menentukan nasibnya sendiri (right
to self-determination) yang juga diamanatkan dalam pembukaan UUD 1945.
Munculnya tekanan-tekanan dari masyarakat internasional menanggapi
kasus-kasus yang terjadi di Timor Timur itu memaksa Indonesia untuk
mengeluarkan kebijakan guna mengakomodasi aspirasi masyarakat Timor Timur.
Tekanan ini juga mendorong Pemerintah Indonesia untuk membahas masalah ini
ke tingkat internasional. Akhirnya, pada Juni 1998, Pemerintah Indonesia
memutuskan untuk memberikan status khusus berupa otonomi luas kepada Timor
Timur. Usulan Indonesia itu disampaikan kepada Sekjen PBB. Sebagai tindak
lanjutnya, PBB pun mengadakan pembicaraan segitiga antara Indonesia, Portugal,
dan PBB. Selama pembicaraan ini, masih terjadi kerusuhan antara pihak pro-
kemerdekaan dan pro-integrasi di Timor Timur. Kerusuhan ini semakin
manambah kecaman dari dari masyarakat internasional.
Di akhir 1998, Habibie mengeluarkan kebijakan yang jauh lebih radikal
dengan menyatakan bahwa Indonesia akan memberi opsi referendum untuk
mencapai solusi final atas masalah Timor Timur. Dalam bukunya, Detik-detik
yang Menentukan Habibie mengungkapkan alasan mengapa ia begitu berani
mengambil jalan referendum.
“Setelah 22 tahun kita mengalami sejarah kebersamaan dengan rakyat
Timor Timur, ternyata tetap tidak mencukupi bagi rakyat Timor Timur
untuk menyatu dengan kita, dan jakalau itikad dan niat baik kita selama
22 tahun tidak dapat diterima oleh rakyat Timor Timur, maka kiranya
adalah wajar dan bijaksana, bahkan demokratis dan konstitusional, bila
wakil-wakil rakyat yang kelak akan terpilih di MPR, diusulkan untuk
mempertimbangkan, agar dapat kiranyaTimor Timur secara terhormat,
secara baik-baik berpisah dengan NKRI” (Habibie, 2006: 231)

Beberapa pihak meyakini bahwa keputusan radikal itu merupakan


akibat dari surat yang dikirim Perdana Menteri Australia John Howard pada
bulan Desember 1998 kepada Habibie yang menyebabkan Habibie
meninggalkan opsi otonomi luas dan memberi jalan bagi referendum. Akan
tetapi, pihak Australia menegaskan bahwa surat tersebut hanya berisi dorongan
agar Indonesia mengakui hak menentukan nasib sendiri (right of self-
determination) bagi masyarakat Timor Timur
Pada 27 Januari 1999, dilakukan Sidang Kabinet di Bina Graha, Menteri
Luar Negeri Ali Alatas mengumumkan keputusan sidang bahwa Indonesia akan
menerima pemisahan diri Timor Timur dari Republik Indonesia jika Timor Timur
menolak Opsi I, yaitu tawaran otonomi khusus yang sangat diperluas. Sebelumnya
sidang berjalan alot, dua menteri yaitu Menlu Ali Alatas dan Mensesneg Akbar
Tandjung menolak keputusan tersebut sebaliknya Menhankam/Panglima TNI
Jenderal Wiranto menerima keputusan tersebut.
Muncullah dua opsi penyelesaian masalah Timor Timur melalui sebuah
referendum oleh Presiden B.J Habibie pada 27 januari 1999. Opsi pertama adalah
pemberian otonomi khusus dan opsi kedua adalah pemisahan Timor Timur dari
Indonesia. Ide pelepasan Timor Timur sendiri diikuti dengan munculnya sejumlah
polemik tentang urgensi Timor Timur melepaskan diri dari Indonesia. Pihak yang
menolak ide pemisahan berargumentasi bahwa selama ini propinsi Timor Timur
secara de facto telah menjadi wilayah Indonesia. Lebih dari itu, Timor Timur telah

13
diperlakukan sebagai “the golden boy” dibandingkan propinsi lainnya. Propinsi
ke-27 ini paling banyak mendapatkan dana bantuan pembangunan dari pusat,
yaitu sebesar Rp. 144,7 M pada Tahun Anggaran 1997/1998 dan Rp. 139,7 M
pada Tahun Anggaran 1998/1999. Bantuan besar tersebut menimbulkan
kecemburuan rakyat di sejumlah propinsi.
Ketika ide pemisahan diri kian meruncing dan telihat tak bisa dibendung
lagi, kelompok yang anti-pelepasan Timor Timur dari wilayah Indonesia juga
membangun wacana yang lebih hebat dan cenderung jadi fatalis. Antara lain
dengan mengatakan bahwa dunia Internasional telah terlalu jauh campur tangan
dalam urusan politik dalam negeri Indonesia. Juga bahwa Timtim selama ini
hanya menimbulkan masalah, padahal Timtim tidak pernah menyumbangkan apa-
apa bagi masyarakat Indonesia, “Rakyat Timor Timur tidak tahu berterima kasih”.
“pemerintah RI sebetulnya tak pernah menginginkan Timor Timur, bergabungnya
Timor Timur ke Negara kesatuan RI lebih merupakan permintaan orang Timor
Timur sendiri”, “rakyat Timor Timur selalu bertikai, bila Timor Timur dilepas
akan terjadi perang antar rakyat Timor Timur lagi” dan sebagainya.
Selanjutnya, pada tanggal 5 Mei 1999, PBB, Indonesia dan Portugal
menandatangani Perjanjian Tripartit di markas PBB, New York. Indonesia
diwakili oleh Menlu Ali Alatas, Portugal oleh Menlu Jaime Gama dan Sekjen
PBB Kofi Annan. Keputusan dari pertemuan tersebut menghasilkan kesepakatan
mengenai pelaksanaan penentuan jejak pendapat pada tanggal 8 Agustus 1999 di
Timor Timur. Rakyat diminta memilih apakah Timor Timur tetap menjadi bagian
dari Indonesia ataukah Timor Timur menjadi negara merdeka. Perjanjian tersebut
disebut pula dengan Kesepakatan New York. Dalam perjanjian tersebut
disebutkan bahwa Indonesia masih bertanggung jawab terhadap keamanan
pelaksanaan tersebut. Hal tersebut tertuang dalam dua kesepakatan, yaitu:.
1). Kesepakatan tentang modalitas pelaksanaan penentuan pendapat melalui jajak
pendapat.
2). Kesepakatan tentang Polisi (Polri) sebagai penanggung jawab keamanan.
Berdasarkan Resolusi Nomor 1246 Dewan Keamanan PBB dan sebagai
tindak lanjut Perjanjian Tripartit, pada tanggal 11 Juni 1999 dibentuk UNAMET
(United Nations in East Timor). UNAMET bertanggung jawab untuk
melaksanakan dan menyukseskan jajak pendapat di Timor Timur secara rahasia,
langsung, dan bebas sesuai dengan perjanjian Tripartit. Tugas UNAMET berakhir
dengan diratifikasinya hasil jajak pendapat oleh Sidang Umum MPR.
Sesuai dengan Perjanjian Tripartit tersebut, jajak pendapat akan
dilaksanakan tanggal 8 Agustus 1999, namun mengalami penundaan sehingga
Sekjen PBB memutuskan bahwa jajak pendapat akan dilaksanakan tanggal 30
Agustus. Tanggal 30 Agustus merupakan tanggal yang sangat sakral dalam
dinamika perpolitikan Negara yang baru seumur jagung itu. Pada hari itu
diadakan jajak pendapat di Timor Timur. Sebelumnya terlihat antusiasme
rakyat Timor Timur untuk mendaftarkan diri dalam jajak pendapat tersebut.
Sebanyak 98,60 % pemilih menggunakan haknya dengan baik. Ian Martin,
Ketua UNAMET mengumumkan bahwa jumlah peserta mencapai 451.792
orang, sebanyak 438.513 pemilih menggunakan hak pilihnya di Timor Timur
dan 13.279 menggunakan hak pilihnya di 13 tempat lain, di luar Timor Timur.
Sabtu, 4 September 1999, pukul 09.00 WITA, hasil jajak pendapat
diumumkan secara bersama-sama di Dili dan New York. Pro-kemerdekaan
dinyatakan menang telak, dengan mendapatkan 78,5% prmilih, sedangkan
otonomi, hanya 21%. Dengan kata lain, dari 450.000 pemilih, 344.580 memilih
pro-kemerdekaan, 94.388 menerima tawaran oronomi, dan 7.985 suara (1,8%)
dinyatakan tidak sah.
Setelah pengumuman hasil jajak pendapat tersebut bukannya ada sorak-
sorak kegembiranaan justru keteganganlah yang menghiasi kota Dili Ratusan
anggota pro-integrasi sambil berkendaraan motor menyerbu jalan-jalan di kota
Dili. Kekecewaan di pihak pro-integrasi semakin membara karena dinilai
kebijakan Habibie tidak menguntungkan perjuangan pro-integrasi, misalnya
dalam hal keberatan pro-integrasi mengenai ketidaknetralan dan pelanggaran
UNAMET selama penentuan jajak pendapat. Dinilai pihak pro-integrasi bahwa
pemerintah seharusnya membantu mengklarifikasi pengaduan-pengaduan itu
sebelum UNAMET mengumumkan hasil penentuan pendapat. Namun,
Presiden Habibie menyatakan menerima hasil jajak pendapat. Ia menganggap

15
penentuan pendapat sudah berlangsung dengan sukses. Sabtu, 4 September
1999 tersebut menjadi awal pertempuran berdarah Timor Timur. Bentrok antar
kedua kelompok tak bisa dihindarkan.
Kerusuhan pasca diumumkannya hasil jajak pendapat tersebut memaksa
pemerintah Indonesia menerapkan sistem Darurat Militer yang awalnya ditolak
berbagai pihak mengingat sejarah kelam keberadaan militer di Timor Timur
yang membuat banyak pihak khawatir, sistem itu dinilai justru memberi
peluang bagi pembunuhan dan pembumihangusan Timor Timur. Selain itu
gencarnya isu tentang TNI di balik milisi yang notabene menjadi pelaku
kerusuhan di Timor Timur pasca-jajak pendapat, memang semakin menciut
nyali. Di sisi lain, Habibie menilai sistem Darurat Militer telah dikonsultasikan
sebelumnya dengan Sekjen PBB, Kofi Annan (Kuntari, 2008: 63).
Bagaimana pun juga, hasil jajak pendapat tersebut mencerminkan
bahwa mayoritas masyarakat Timor Timur sesuai dengan hati nuraninya telah
menyatakan pendapat yakni menolak otonomi luas dengan status khusus, maka
sebagai bangsa yang besar harus menerima dan menghormati hasil jajak
pendapat itu. Selanjutnya pada tanggal 19 Oktober 1999 melalui TAP MPR
Nomor V/MPR/1999 tentang Penentuan Jajak Pendapat di Timor Timur, MPR
mengakui pemisahan Timor Timur dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.

5. Dampak Disintegrasi Timor Timur dari Wilayah NKRI


5.1 Bagi Timor Timur
a. Politik
Segera setelah pengumuman hasil jejak pendapat pada 4 September 1999
merebak berbagai aksi kekerasan. Aksi kekerasan berkembang meluas dengan
diikuti aksi pembumi-hangusan, penjarahan, serta pengungsian besar-besaran.
Tindakan kekerasan dilakukan oleh berbagai kelompok para militer bersama
dengan tentara dan polisi Indonesia. Kekerasan terjadi setelah upaya
memenangkan polihan otonomi gagal total.sepanjang September hingga Oktober
1999, di berbagai wilayah di Timor Timur terjadi berbagai tindak kejahatan
terhadap kemanusiaan.
KPP HAM Timor Timur melaporkan terjadi berbagai tindakan
pembunuhan massal, penyiksaan dan penganiayaan, penghilangan secara paksa,
perbudakan seksual dan pemerkosaan, pembumi-hangusan dan pemusnahan,
pemindahan dan pengungsian paksa, serta perusakan dan penghilangan barang
bukti. Sejumlah kasus yang paling menonjol antara lai pembantaian di gereja
Liuquica, pembunuhan warga Kailako di Bobonaro, penghadangan rombongan
Manuel Gama, eksekusi penduduk sipil di Bobonaro, penyerangan rumah Manuel
Carrascalao, juga kerusuhan di Dili. Secra garis besar, laporan tim KPP HAM
Timor-Timur ini bisa dikatakan tidak jauh berbeda dengan laporan yang dibuat
oleh para pelapor khusus PBB (Kuntari, 2008: 174).
Masyarakat Timor Leste dalam dua tahun terakhir merasakan hidup tidak
aman di negaranya sendiri, karena pertikaian antara kelompok khusunya
masyarakat Timor Leste bagian Timur dengan masyarakat Timor Leste bagian
Barat hingga saat ini belum reda. Sehingga hampir setiap hari terjadi pertikaian
kelompok yang menyebabkan tewasnya sejumlah warga Timor Leste, suasana itu
telah menyebabkan banyak pengusaha dari Indonesia (Jakarta, Surabaya, Kupang
dan Atambua) yang terpaksa meninggalkan kota Dili.

b. Ekonomi
Biaya hidup di negara Timor Leste yang baru merdeka tersebut cukup
tinggi, harga BBM jenis premium maupun minyak tanah harganya lebih dua kali
lipat dari harga yang ada di Indonesia. Harga eceran premium bisa mencapai 2,5
dolar US atau setara dengan Rp15.000 perliter, demikian juga harga minyak tanah
bisa mencapai hampir Rp10.000/liter, sehingga minyak tanah tersebut banyak
yang didapat dari daerah perbatasan melalui para pelintas batas. Kondisi
kehidupan mereka yang kian sulit itu, menyebabkan sebagian dari mereka sering
mengungkapkan rasa penyesalan berpisah dengan NKRI, karena dimasa integrasi
masyarakat Timor Leste memiliki kehidupan yang lebih baik padahal tujuan
mereka merdeka sebelumnya agar mendapatkan kehidupan yang lebih dibanding
sebelumnya.
Kini belum ada perubahan pembangunan yang dilakukan pemerintahan

17
Presiden Xanana Gusmao, karena bangunan-bangunan yang terbakar dimasa jajak
pendapat tahun 1999, tidak satupun yang diperbaiki. Bangunan peninggalan
orang-orang Indonesia tersebut hingga kini masih tampak jelas, tidak ada upaya
rehabilitasi sehingga sekarang situasinya semakin kacau karena disaat terjadi
konflik hingga lengsernya Perdana Menteri Mari Al-Katiri.

5.2 Dampak Bagi Indonesia


a. Politik
Dampak disintegrasi Timor Timur dalam politik Indonesia diantaranya
adalah menurunnya citra Indonesia di mata Internasional, karena Indonesia
dianggap tidak memberikan kebebasan politik, ekonomi dan social budaya selama
23 tahun, Habibi sendiri menurun citranya sebagai presiden karena telah gagal
dalam mengambil langkah.Dampak lainnya berpengaruh terhadap daerah lainnya
seperti: Ambon, Sambas, Aceh, Irian dan Maluku ingin lepas dan merdeka dari
Indonesia.
Aksi kekerasan yang terjadi sebelum dan setelah referendum kemudian
memojokkan pemerintahan Habibie. Legitimasi domestiknya semakin tergerus
karena beberapa hal.
1). Habibie dianggap tidak mempunyai hak konstitusional untuk memberi opsi
referendum di Timor Timur karena ia dianggap sebagai presiden transisional.
2). Kebijakan Habibie dalam isu Timor Timur merusakan hubungan saling
ketergantungan antara dirinya dan Jenderal Wiranto, panglima TNI pada masa
itu.
3). Habibie kehilangan legitimasi baik dimata masyarakat internasional maupun
domestik. Di mata internasional, ia dinilai gagal mengontrol TNI, yang dalam
pernyataan-pernyataannya mendukung langkah presiden Habibie menawarkan
refendum, namun di lapangan mendukung milisi pro-integrasi yang berujung
pada tindakan kekerasan di Timor Timur setelah referendum.
Lepasnya Timor Timur dari wilayah NKRI tidak saja menimbulkan
sentimen negatif terhadap Presiden BJ. Habibie yang memilih jalan referendum
sebagai akhir dari penyelesaian masalah Timor Timur sehingga ia dianggap
tidak mampu mempertahankan keutuhan wilayah NKRI. Lepasnya Timor
Timur dari pangkuan NKRI juga dikhawatirkan akan menimbulkan pergolakan-
pergolakan di daerah lain yang menuntut kemerdekaan serupa.
Diantara gerakan-gerakan separatis tersebut adalah Gerakan Aceh
Merdeka yang pada saat ini sudah menempuh jalan damai dan mau bergabung
kembali sebagai bagian dari NKRI, gerakan RMS yang menuntut kemerdekaan
di wilayah Maluku, dan gerakan-gerakan lainnya yang dikhawatirkan akan
muncul seiring dengan disintegrasi yang dilakukan Timor Timur.
b. Ekonomi
Sewaktu Timor Leste menyatakan “perpisahannya” dari RI, yang
segera timbul adalah bagaimanakah status hukum aset-aset pemerintah RI yang
ada di dalam wilayah negara tersebut. Pendirian RI dan Timor Leste
berbeda. RI berpendapat bahwa aset-asetnya di wilayah itu tidak secara
otomatis beralih, tetapi status tersebut harus atau tunduk kepada aturan-
aturan hukum internasional yang berlaku. Sebaliknya Timor Leste berpendapat
bahwa aset tersebut adalah milik negaranya sesuai dengan Konstitusinya.
Sudah diakui umum, suksesi terhadap harta benda (aset) publik dari
negara yang diambil alih adalah suatu prinsip hukum kebiasaan internasional.
Praktek negara-negara mengakui suksesi negara baru terhadap aset atau harta
kekayaan milik negara sebelumnya. Sarjana terkemuka yang memiliki otoritas
di bidang kajian ini, yakni D.P. O'Connell, mengemukakan bahwa negara
pengganti (successor state) memiliki hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari
hak milik dari negara yang digantikannya.
Berdasarkan Konvensi Wina1983(http://www.bloggerkolaka.co.cc/2010/0
4/suksesi-negara-dalam-kasus-timor-timur.html.), harta benda negara (State
property) adalah harta benda negara adalah harta benda, hak dan kepentingan
(dalam arti hukum) yang dimiliki oleh negara pada waktu terjadinya suksesi
negara. Dalam hal negara pengganti (succession States) tersebut bukan suatu
negara baru merdeka, maka para negara akan berupaya mencari kesepakatan
(agreement). Manakala para pihak tidak berhasil mencapai kesepakatan, pada
prinsipnya benda-benda bergerak yang berada di dalam wilayah negara

19
pengganti beralih kepada negara tersebut.
Ketentuan yang sama juga berlaku terhadap harta benda bergerak
yang semula dimiliki atau dibentuk oleh wilayah yang sekarang merdeka.
Konvensi internasional memberi hak kepada negara yang baru merdeka
untuk mengklaim dirinya sebagai pemilik baru atas aset negara lama. Dalam
hal ini, Timor Leste sebagai negara baru merdeka menjadi pemilik atas aset
negara RI yang berada di sana.
Pada umumnya, negara-negara mempunyai hukum nasional-nya yang
mengatur masalah suksesi negara ini. Hukum nasional Timor Leste telah
dikemukakan di atas. Hukum Indonesia mengatur suksesi negara dalam Undang-
Undang Nomor 24 tahun 2000 mengenai Perjanjian Internasional. Namun
UU ini hanya mengatur suksesi negara dalam kaitannya dengan status
hukum perjanjian internasional di negara baru (pasal 20). RI tidak punya
aturan suksesi negara mengenai status aset negara di suatu wilayah Negara baru.
Pertama, Konvensi 1983 pada prinsipnya tidak berlaku terhadap
Indonesia karena Indonesia tidak meratifikasinya. Meskipun demikian,
Konvensi 1983 dapat berfungsi atau dianggap sebagai sumber hukum berupa
doktrin. Dalam hal ini ketentuan dalam Konvensi 1983 adalah hasil dari
pendapat dari para ahli hukum internasional terkemuka (para anggota ILC).
Kedua, status hukum nasional yang mengatur masalah suksesi negara.
Hukum nasional Timor Leste dan hukum AS sudah barang tentu tidak
berlaku keluar atau mengikat pihak lainnya. Hukum nasional tersebut tidak
mengikat RI. Namun demikian, apabila dilihat seksama, tampak bahwa bunyi
ketentuan mengenai suksesi negara antara hukum nasional (Konstitusi Timor
Leste) dengan hukum internasional tidak jauh beda. Artinya, klaim
pemerintah Timor Leste terhadap aset Negara RI memiliki dasar hukum yang
cukup kuat.

Bagi Hubungan antara Indonesia dengan Australia


Dampak Positif
Indonesia adalah negara penerima bantuan nomor dua dari pihak Australia.
penerima bantuan ini adalah Papua Nugini dalam bentuk bantuan proyek,
bantuan pangan dan program latihan. Selain itu di Papua Nugini, Australia
juga membangun proyek, Antara lain pembangunan jaringan jalan di
Kalimantan Barat, proyek irigasi Gimanuk, lembaga penelitian peternakan,
penyediaan air bersih, pengembangan perawatan intensif di RSUP Cipto
Mangun Kusumo di Jakarta.proyek ini dibedakan menjadi 28 macam.
Indonesia mendapat grant atau pemberian hadiah, jadi bukan pinjaman yang harus
dibayar kembali oleh Indonesia.
Indonesia- Australia bekerjasama dalam pertahanan (Defence Cooperation),
dalam rangka Indonesia mendapat bantuan 25 juta dolar Australia untuk masa
3 tahun
Penduduk Indonesia 140 juta jiwa, Indonesia bukanlah sekedar tetangga langsung
Australia melainkan negara terbesar dalam ASEAN. Australia
menyelenggarakan kerjasama dengan ASEAN, maka Australia perlu menjaga
hubungan baik dengan Indonesia jika hendak bekerjasama dengan ASEAN.
Australia satu-satunya negara selain Indonesia yang mengajarkan bahasa
Indonesia di sekolah-sekolah sebagai contoh pengajaran yang diberikan di
New South Wales, dan juga di universitas Monash di Melbourne.
Secara garis besar dampak positif dari hubungan kedua negara adalah
keamanan dan kepentingan masing-masing negara terjamin, karena hubungan
keduanya baik.
Dampak Negatif
Dengan lepasnya Timor-Timur dari wilayah RI, Indonesia (termasuk Timor
Barat) tidak lagi mempunyai hak terhadap landas kontinen di daerah
“Timor Gap” berdasarkan hukum internasional.
Perjanjian Timor Gap (Timor Gap Treaty) mengikat Indonesia setelah
diundangkan dengan Undang-Undang No. 1 tahun 1991. Perjanjian ini
merupakan pengaturan sementara antara RI – Australia yang ditempuh
mengingat upaya kedua negara dalam menetapkan garis batas landas
kontinennya di wilayah Timor Gap gagal meskipun perundingan untuk itu telah
berlangsung cukup lama (sekitar 10 tahun).

21
Kendala utamanya adalah perbedaan pandangan para pihak mengenai
prinsip hukum yang diterapkan di Timor Gap dan mengenai situasi
geomorfologis landas kontinen di wilayah Timor Gap. Daripada masalah
penetapan garis batas berlarut-larut, kedua pihak sepakat untuk mengadakan
pengaturan sementara. Pengaturan sementara ini sesuai dengan ketentuan
Pasal 83 ayat 3 Konvensi Hukum Laut 1982 yang antara lain menyatakan:
“Pending agreement as provided for in paragraph 1, the Sates
concerned, in a spirit of understanding and co-operation, shall
make every effort to enter into provisional arrangements of a
practical nature and, during this transitional period, not to
jeopardize or hamper the reaching of the final agreement. Such
arrangements shall be without prejudice to the final delimitation...“

Wilayah yang menjadi sengketa dibagi ke dalam tiga zona, yakni


zona A, B, dan C. Zona A adalah wilayah tumpang tumpang tindih
(overlapping) atau daerah sengketa (disputed area). Di zona ini kedua pihak
sepakat untuk membagi keuntungan “fifty-fifty”. Zona ini adalah daerah
landas kontinen yang di Selatan dibatasi oleh klaim maksimum Indonesia
(median line), dan di utara dibatasi oleh klaim maksimum Australia (di
Palung Timor atau Timor Trough). Berdasarkan Konvensi Hukum Laut
1982, dan sesuai dengan praktek negara, negara-negara yang bersangkutan
dapat membuat perjanjian untuk menjadikan disputed area tersebut sebagai
joint development zone atau zona pengembangan bersama dengan pembagian
keuntungan “fifty-fifty”.
Zona B adalah zona di mana Indonesia menuntut bagian dari
keuntungan yang diperoleh Australia atas daerah landas kontinen yang
memang berada di bawah yurisdiksi Australia karena terletak di luar batas
klaim maksimal Indonesia (terletak di sebelah selatan median line). Hal ini
dimaksudkan untuk kompensasi bagi garis batas landas kontinen berdasarkan
Perjanjian tahun 1972 yang kurang menguntungkan Indonesia (terlalu dekat
dengan pantai Indonesia). Sebabnya adalah ketentuan hukum laut yang
berlaku waktu itu kurang menguntungkan Indonesia. Karena itu, Zona B
merupakan keuntungan tambahan bagi Indonesia karena di samping
memperoleh separuh dari hasil di Zona A, Indonesia memperoleh 16% dari hasil
yang diperoleh Australia di daerah yang seharusnya merupakan daerah
yurisdiksi eksklusif Australia.
Namun untuk dapat menerima usulan Indonesia mengenai Zona B
tersebut, dan atas dasar permintaan Australia untuk keseimbangan, Australia
menuntut agar ada daerah kecil di sebelah utara klaim maksimal Australia (di
utara Palung Timor) di mana Australia akan “memperoleh” 10% dari
“keuntungan” di daerah tersebut, yang kemudian dinamakan Zona C yang
sejak semula sudah diketahui oleh kedua belah pihak sebagai daerah yang
tidak prospektif. Jadi sebenarnya Zona C ditetapkan dan disepakati sekedar
untuk menampung keinginan Australia untuk menciptakan suatu keseimbangan
tanpa merugikan Indonesia.
Menyusul jejak pendapat di Timor Timur tanggaal 30 agustus 1999 di
mana penduduk Timor Timur memilih untuk berpisah dari RI, pemerintah
mengeluarkan TAP MPR No V/MPR/1999 yang menerima jejak pendapat
tersebut. TAP MPR ini sekaligus juga mencabut TAP MPR No VI/MPR/1976
tentang integrasi Timor Timur ke dalam wilayah RI. Dengan keluarnya
TAP MPR tahun 1999 tersebut, pemerintah RI berpendapat Perjanjian Timor
Gap telah kehilangan hukumnya.
Dasar hukum yang digunakan pemerintah untuk pendapatnya tersebut
adalah berdasarkan pada sumber hukum perjanjian internasional tentang
berakhirnya perjanjian internasional. Pemerintah berpendapat bahwa apabila
obyek dari suatu perjanjian berubah, maka perubahan tersebut dapat dijadikan
dasar oleh kedua belah pihak untuk mengakhir perjanjian.
Menurut hemat penulis, pendapat pemerintah RI ini kurang tepat.
Memang benar salah satu alasan untuk mengakhiri perjanjian internasional
adalah karena berubahnya obyek perjanjian {Sic!]. Namun masalahnya adalah,
obyek perjanjian ini yaitu wilayah Timor Gap tidak berubah. Alasan yang
tampaknya lebih tepat adalah alasan suksesi negara, yaitu terpisahnya wilayah
Timor Timur dari wilayah RI dan hilangnya kedaulatan RI atas wilayah
Timor Timur. Dengan beralihnya kedaulatan atas wilayah Timor Timur ini

23
kepada Timor Leste, maka kejadian ini dapat dijadikan alasan untuk
mengakhiri Perjanjian Timor Gap.
Kedua negara melalui penandantangan Exchange of Letters tanggal 1
Juni 2000 sepakat untuk mengakhiri Timor Gap Treaty yang mulai berlaku
sejak tanggal 1 Juni 2000. Dengan demikian, perjanjian tersebut tidak
berlaku lagi dan wilayah Timor Gap karenanya bergantung kepada
perjanjian atau kesepakatan antara Timor Timor dan Australia. Terserah
kepada kedua negara ini apakah mereka akan merundingkan penetapan garis
batas landas kontinennya atau juga membuat pengaturan sementara seperti
yang dilakukan antara RI – Australia.
Masalah hukum kedua adalah apakah Timor Barat mempunyai hak atas
sumber daya alam di wilayah landas kontinen Timor Gap berdasarkan
hukum internasinal, khususnya Konvensi Hukum Laut 1982.
Daerah yang dinamakan Timor Gap adalah daerah landas kontinen di
antara Timor-Timur dan Australia, yaitu daerah yang terletak di antara dua
titik dasar pada pulau Timor, yaitu di sebelah timur pada titik median line
antara pulau Leti (Indonesia) dan pulau Yako (Timor-Timur), dan di
sebelah barat pada titik mulut sungai Mota Masin di perbatasan Timor-Timur
dan NTT, yang ditetapkan berdasarkan Perjanjian RI-Australia tahun 1972.
Daerah tersebut dinamakan Timor Gap karena adanya gap atau celah di mana
garis batas landas kontinen kedua negara belum dapat ditetapkan karena
adanya perbedaan posisi antara Portugal dan kemudian Indonesia dengan
Australia mengenai cara menarik garis batas landas kontinen di daerah itu.
Australia ikut campur tangan beberapa masalah dalam negeri Indonesia antara
lain: Masalah Papua Akibat adanya Organisasi Papua Merdeka (OPM) di
perbatasan Irian Jaya dan Papua Nugini membawa akibat hubungan Australia
dengan Indonesia agak renggang dikarenakan Australia khawatir bahwa
Indonesia menolak Papua Nugini
Masalah Irian Barat merupakan salah satu persoalan yang masih mengganjal
dalam penyelesaian kemerdekaan Indonesia dari tangan Belanda. Pernyataan
Australia tentang masalah Irian Barat, setelah invasi Jepang ke Papua New
Guinea(Irian Barat dan Irian Timur)menjelang perang dunia II, masyarakat
dan pemerintahan Australia lebih yakin bahwa pulau tersebut sangat penting
bagi keamanan Australia. Australia sendiri merasa keamanan wilayahnya akan
terjamin bila pulau tersebut berada di bawah kekuasaan Belanda.

DAFTAR PUSTAKA

Sumber Buku:
Habibie, BJ. (2006). Detik-Detik yang Menentukan: Jalan Panjang Indonesia
Menuju Demokrasi. Jakarta: THC. Mandiri.
Kuntari, CM Rien. (2008). Timor Timur Satu Menit Terakhir: Catatan Seorang
Wartawan. Bandung: Mizan.
Nevins, Joseph. (2008). Pembantaian Timor Timur: Horror Masyarakat

25
Internasional. Yogyakarta: Galangpress.
Hadi, Syamsul. (2007). Disintegrasi Pasca Orde Baru. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.

Sumber Internet:
Adolf, Huala. (2000). Beberapa Masalah Suksesi Negara dalam Kasus Timor
Timur.
[Online].Tersedia:http://www.library.ohiou.edu/indopubs/2000/08/07/0019.
html. [2 Oktober 2010].
Alan. (2000). Selamat Jalan Timor Timur. [Online]. Tersedia:
http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/2000/08/08/0017.html. [4
Oktober 2010].
Avicenna. (2008). Pembantaian Timor Timur (Jawa Pos): Hasil Referendum
1999. [Online]. Tersedia: http://id.shvoong.com/society-and-news/news-
items/1835636-pembantaian-timor-timur-jawa-pos/. [4 Oktober 2010].
Dachroni, R. (2007). Menguak Kembali Lepasnya Timor Timur. [ Online].
Tersedia: http://blograj3s4.blogspot.com/2007/10/menguak-kembali-
lepasnya-timor-timur.html. [2 Oktober 2010].
Fronpetil. (1998). Petisi Front Nasional Pemuda Timor Leste. [Online]. Tersedia:
http://www.minihub.org/siarlist/msg00136.html. [4 Oktober 2010].
Koesoemawiria, Edith. (2009). 10 Tahun Referendum Timor Leste.[Online].
Tersedia: http://www.dw-world.de/dw/article/0,,4603346,00.html. [4
Oktober 2010].

Nurfitriana, Eva. (2010). Keterlibatan Australia terhadap Referendum Timor


Timur 1999-2000. [Online]. Tersedia: http://www.facebook.com/topic.php?
uid=67954569922&topic=13972. [4 Oktober 2010].
____ (2010). Sejarah Timor Leste. [Online]. Tersedia:
http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Timor_Leste. [4 Oktober 2010].
____ (2010). Suksesi Negara dalam Kasus Timor Timur. [Online]. Tersedia:
http://www.bloggerkolaka.co.cc/2010/04/suksesi-negara-dalam-kasus-timor-
timur.html. [2 Oktober 2010].
____ (2010) Masyarakat Timor Leste Mulai Sesali Perpisahan dengan NKRI.
[Online].Tersedia:http://berita.kapanlagi.com/politik/internasional/masyarak
at-timor-leste-mulai-sesali-berpisah-dengan-nkri-0qosbcm_print.html. [2
Oktober 2010].
____ (2010). Masalah Timor Timur dan Plitik Luar Negeri RI. [Online].
Tersedia:http://www.unhchr.ch/huridocda/huridoca…
341dfcda5b802567ef003d3101?OpenDocument. [4 Oktober 2010].
____ (2010). Secuil Kenangan Buram Jelang Referendum Timor Timur 1999.
[Online]. Tersedia: http://politik.kompasiana.com/2010/09/19/secuil-
kenangan-buram-jelang-referendum-timor-timur-1999/. [2 Oktober 2010].

27

You might also like