Professional Documents
Culture Documents
Draft Makalah
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Sejarah Indonesia
Masa Orde Baru dan Reformasi
Oleh:
Arif Gusmayadi 0705753
Fauz Nur’alim 0705559
Kurnia S. Adisifa 0705520
Lia Meliani 0705439
Noviyani 0705443
1
Rumusan Masalah:
Bagaimana awal integrasi Timor Timur terhadap wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia tahun 1975?
Apa latar belakang terjadinya disintegrasi Timor Timur dari wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia?
Bagaimana keterlibatan atau intervensi Australia dalam penyelesaian
persoalan Timor Timur?
Bagaiamana proses berlangsungnya referendum sebagai jalan terakhir
penyelesaian persoalan Timor Timur?
Bagaimana dampak terjadinya disintegrasi Timor Timur bagi Indonesia,
Timor Timur maupun bagi hubungan Indonesia dengan Australia?
3
2008: 72).
Integrasi Timor Timur kepada wilayah NKRI ditandai dengan lahirnya
Deklarasi Balibo pada tanggal 30 November 1975. Intinya, Deklarasi Balibo
adalah pernyataan kesepakatan mereka atas nama rakyat Timor Timur,
memproklamasikan pengintegrasian bekas Timor Portugis ke negara kesatuan
Republik Indonesia sebagai provinsi ke-27, Timor Timur.
Timor Timur resmi menjadi bagian dari Indonesia tahun 1976 sebagai
provinsi ke-27 setelah gubernur jendral Timor Timur terakhir Mario Lemos Pires
melarikan diri dari Dili setelah tidak mampu menguasai keadaan pada saat terjadi
perang saudara. Portugal juga gagal dalam proses dekolonisasi di Timor Timur
dan selalu mengklaim Timor Timur sebagai wilayahnya walaupun
meninggalkannya dan tidak pernah diurus dengan baik. Secara konstitusional,
integrasi Timor Timur menjadi wilayah Republik Indonesia ditetapkan melalui
Ketetapan MPR No. VI/MPR/1978, tanggal 22 Maret 1978, setelah sebelumnya
diatur dengan UU No. 7/1976 tanggal 17 Juli 1976.
Amerika Serikat dan Australia "merestui" tindakan Indonesia karena takut
Timor Leste menjadi kantong komunisme terutama karena kekuatan utama di
perang saudara Timor Leste adalah Fretilin yang beraliran Marxis-Komunis. AS
dan Australia khawatir akan efek domino meluasnya pengaruh komunisme di Asia
Tenggara setelah AS lari terbirit-birit dari Vietnam dengan jatuhnya Saigon atau
Ho Chi Minh City.
5
Jika pada awalnya lebih banyak rakyat Timor Timur yang setuju
berintegrasi dengan Indonesia dengan harapan berakhirnya kekerasan berdarah
perang saudara, pada perkembangan selanjutnya justru kekuatan anti-integrasi
kian bertambah. Hal ini dapat dilihat dari usia generasi muda Falintil yang lebih
muda usianya dibanding masa integrasi itu sendiri. Kecewa dan dendam. Itulah
jawabannya. Bisa jadi, mereka bahkan pendukung integrasi. Mereka berbalik
akibat kebiadaban militer yang paranoid terhadap ulah gerilyawan Fretilin
sehingga tidak pandang bulu membabat warga sipil Timor Timur yang tidak
bersalah.
Banyak anak yang mendendam pada pihak militer karena anggota keluarga
mereka dianiaya, diperkosa, diculik, dibunuh. Akibatnya, banyak anak muda yang
bergabung dengan pihak anti-integrasi bukan karena kesamaan ideologi,
melainkan dendam pada militer. Bukanya mengurangi jumlah pembangkang,
justru semakin bertambah deretan orang yang antipati. Upaya memberi
keleluasaan unjuk rasa dalam koridor demokrasi yang dicoba diterapkan oleh
Sintong Panjaitan (Pangdam Wirabhuana saat itu) sebenarnya sudah membuka
peluang angin segar. Menurutnya, lebih baik membiarkan riak-riak kecil yang
terpantau daripada memendam magma yang bisa meletus tanpa kendali. Namun
upaya harmonisasi ini ditekuk habis oleh aksi di luar jalur komando yang
meledakkan tragedi Santa Cruz.
Berikut adalah beberapa faktor pendorong yang menyebabkan munculnya
ide disintegrasi Timor Timur dari wilayah NKRI yang penulis tinjau dari beberapa
aspek, yaitu:
Keadaan politik
Pada tahun 1976 merupakan tahap penyesuaian system pemerintahan yang
berlaku dengan Indonesia, setelah berintegrasi disahkan oleh pemerintahan pusat
di Jakarta. Kemudian di Timor-Timur di bentuk pemerintahan sementara dan
sebagai pelaksana pemerintahan sementara diangkatlah putra Timor-Timur yaitu
Arnaldo Dos Res Aranjo, secara yuridis formal Timor-Timur sudah sah menjadi
bagian negara kesatuan Republik Indonesia dengan dikeluarkan UU VII/1976 dan
peraturan no 19 tahun 1976 tentang Pemda Timor Timur yang kemudian menjadi
propinsi Indonesia ke-27.
Timor Timur baru saja bergabung maka pemulihan keamanan merupakan
hal yang pokok terutama sisa FRETILIN yang masih menguasai 75% dari seluruh
penduduk Timor-Timur.
Dalam perkembangan sisa FRETILIN dapat ditumpas oleh TNI (batalyon
744 dan 745) walau tidak habis. Dikarenakan mereka berada di gunung, kemudian
rakyat Timor Timur dituduh oleh TNI sebagai GPK. Maka akibatnya rakyat
Timor Timur merindukan kedamaian yang menjadi korban kdua belah pihak.
Setelah terjadinya insiden Santa Cruzdan diberikan nobel perdamaian kepada
pemimpin FRETILIN yaitu “Xanana Gusmao” dan Uskup Belo. Dukungan rakyat
untuk merdeka semakin besar, oleh Presiden Habibi dianggap sbagai beban politik
dan mahal secara ekonomi kemudian Timor Timur diberikan kebebasan untuk
merdeka.
Keadaan sosial
Antara tahun 1976-1978 keadaan sosial masyarakat Timor Timur belum
menentu dan banyak diantara mereka yang hidup di kamp-kamp pengungsian.
Kehidupan sehari-hari belum stabil masih terus diawasi oleh militer. Bangunan
fisik peninggalan Portugis tidak banyak berarti bagi rakyat Timor Timur,
masyarakatnya hidup miskin, buta huruf, maka dari itu pemerintah Indonesia
membangun segala sarana hidup untuk rakyat Timor Timur.
Hambatan adalah tidak memahami bahasa Tetum (TimTim) sebagai
tenaga guru atau medis enggan kesana. Dikarenakan adanya konflik yang berbau
ras dan agama muncul, mereka juga mengambil tanah rakyat. Akibatnya terjadi
kerenggangan ekonomi dan puncaknya pada insiden Santa Cruz 12 November
1991 yang mirip tragedi kemanusian dan mengundang reaksi Internasional
(Kuntari, 2008: 110).
Agama
Mayoritas penduduk Timor Timur beragama katolik. Para imigran datang
ke wilayah Timor Timur dan mulai masuk dan bekerja pada instansi disana
dikarenakan para imigran beragama Islam, Protestan, Hindu dan Buddha,
kenyaman rakyat Timor timur terganggu. Perkembangan hingga tahun 1994
7
jumlah penganut agama lain terutama Islam menyamai penganut agama katolik.
Selain itu umat Islam menutup hubungan mreka dengan sangat fanatik dan hidup
mengelompok, hal itu menambah kemarahan masyarakat Timor Timur, yang
kemudian berakibat kerusuhan SARA dan agama itu diangkat oleh Komnas Ham
PBB.
9
geografis Australia yang berada dekat dengan kawasan Asia dan mayoritas
penduduknya memliki ras dan budaya yang berbeda, menjadi alasan utama
kekhawatiran Australia. Selain itu, Australia merupakan sebuah negara yang
berdiri sebagai hasil migrasi terbesar datang dari Eropa, terutama dari Inggris dan
Irlandia. Para imigran ini membawa cara pandang dan perilaku Eropa dalam
melihat dunia, termasuk rasa takut terhadap invasi negara tetangga, ketakutan
yang telah ada di Inggris sejak 1066.
c. Kepentingan Politik Domestik
Krisis kepemimpinan yanmg terjadi di Indonesia dan pengaruhnya pada
pengambilan keputusan atas Timor-Timur, telah membuat banyak kesempatan
bagi para Perdana Menteri John Howard untuk mengembangkan pemikirannya
tentang kedudukan Australia di dunia. Sejak 1996, Howard dengan partai
koalisinya telah menekankan perbedaan dari pemerintah Australia sebelumnya
dari partai buruh dengan menyatakan bahwa pemerintah koalisi akan
menyeimbangkan kembali kebijakan Luar Negeri Australia dengan tidak hanya
terobsesi dengan Asia saja, melainkan kebijakan yang mendahulukan Asia.
Dari uraian di atas dapat kita lihat begitu besar kepentingan Australia terhadap
Timor Timur sehingga tidak aneh jika selama persoalan Timor Timur bergulir
Australia sangat gencar untuk turut campur secara langsung. Dalam hal ini dapat
kita lihat upaya yang dilakukan oleh Australia untuk mengintervensi Indonesia
dalam masalah Timor Timur. Campur tangan Australia terhadap penyelesaian
masalah Timor Timur diantaranya sebagai berikut.
Surat PM Howard yang mendesak Presiden Habibie untuk segera
menyelenggarakan referendum diikuti oleh serangkaian lobi intens.
Australia segera membuka kantor konsulat di Dili.
Meningkatnya frekuensi Dubes Australia ke Dili, melebihi negara sahabat
lainnya
Kontribusi Australia yang cukup besar dalam UNAMET, hingga mencakup
60%.
Alokasi 2.500 pasukan di Darwin yang sewaktu-waktu siap dimobilisasi
masuk ke Timor Timur.
Australia sangat berambisi untuk memimpin Civpol UNAMET.
Aktivitas intelijen Australia ASIS yang menyadap informasi komunikasi TNI
dan mencuri dokumen rahasia Indonesia. Mereka terlibat secara aktif, baik
melalui opini maupun militer, hal ini dilakukan dalam upaya untuk
melepaskan Timor Timur dari tangan Indonesia. Selama berbulan-bulan
sebelum jajak pendapat di Timor timur pun pasukan-pasukan intelijen dan
helikopter-helikopter Australia mondar-mandir masuk ke wilayah
Indonesia, bahkan sampai masuk ke kawasan Maluku Tenggara.
11
tidak mampu menuntaskan masalah Timor Timur. Sampai akhirnya, ketika
tanggal 21 Mei 1998 B.J. Habibie yang baru saja mendapat limpahan kewenangan
sebagai presiden langsung dihadapkan kepada masalah Timor Timur.
Persoalan Timor Timur telah menyedot perhatian dunia kala itu, bekas
provinsi Indonesia itu tetap menjadikan Indonesia sebagai bulan-bulanan dunia.
Banyak pihak yang menggunakan isu Timor Timur sebagai salah satu sarana
”memukul” atau ”memalukan bangsa di percaturan politik internasional. Tak
jarang pula masalah Timor Timur digunakan sebagai sarana menyukseskan
kepentingan domestik sebuah negara di forum internasional. Portugal misalnya,
bekas kolonial Timtor Timur itu selalu menggunakan isu pelanggaran HAM di
Timtim untuk menarik simpati komunitas internasional, khususnya Eropa (Hadi,
2007: 128).
Penyelesaian status Timor Timur dengan jalan referendum sesungguhnya
sudah bertahun-tahun diajukan oleh berbagai pihak dalam forum internasional
kepada Indonesia, dan juga tokoh rakyat Timor Timur seperti Xanana Gusmao,
Uskup Carlos Felipe Ximenes Belo, dan Jose Ramos Horta. Alasan yang
mendasar adalah karena setiap bangsa berhak menentukan nasibnya sendiri (right
to self-determination) yang juga diamanatkan dalam pembukaan UUD 1945.
Munculnya tekanan-tekanan dari masyarakat internasional menanggapi
kasus-kasus yang terjadi di Timor Timur itu memaksa Indonesia untuk
mengeluarkan kebijakan guna mengakomodasi aspirasi masyarakat Timor Timur.
Tekanan ini juga mendorong Pemerintah Indonesia untuk membahas masalah ini
ke tingkat internasional. Akhirnya, pada Juni 1998, Pemerintah Indonesia
memutuskan untuk memberikan status khusus berupa otonomi luas kepada Timor
Timur. Usulan Indonesia itu disampaikan kepada Sekjen PBB. Sebagai tindak
lanjutnya, PBB pun mengadakan pembicaraan segitiga antara Indonesia, Portugal,
dan PBB. Selama pembicaraan ini, masih terjadi kerusuhan antara pihak pro-
kemerdekaan dan pro-integrasi di Timor Timur. Kerusuhan ini semakin
manambah kecaman dari dari masyarakat internasional.
Di akhir 1998, Habibie mengeluarkan kebijakan yang jauh lebih radikal
dengan menyatakan bahwa Indonesia akan memberi opsi referendum untuk
mencapai solusi final atas masalah Timor Timur. Dalam bukunya, Detik-detik
yang Menentukan Habibie mengungkapkan alasan mengapa ia begitu berani
mengambil jalan referendum.
“Setelah 22 tahun kita mengalami sejarah kebersamaan dengan rakyat
Timor Timur, ternyata tetap tidak mencukupi bagi rakyat Timor Timur
untuk menyatu dengan kita, dan jakalau itikad dan niat baik kita selama
22 tahun tidak dapat diterima oleh rakyat Timor Timur, maka kiranya
adalah wajar dan bijaksana, bahkan demokratis dan konstitusional, bila
wakil-wakil rakyat yang kelak akan terpilih di MPR, diusulkan untuk
mempertimbangkan, agar dapat kiranyaTimor Timur secara terhormat,
secara baik-baik berpisah dengan NKRI” (Habibie, 2006: 231)
13
diperlakukan sebagai “the golden boy” dibandingkan propinsi lainnya. Propinsi
ke-27 ini paling banyak mendapatkan dana bantuan pembangunan dari pusat,
yaitu sebesar Rp. 144,7 M pada Tahun Anggaran 1997/1998 dan Rp. 139,7 M
pada Tahun Anggaran 1998/1999. Bantuan besar tersebut menimbulkan
kecemburuan rakyat di sejumlah propinsi.
Ketika ide pemisahan diri kian meruncing dan telihat tak bisa dibendung
lagi, kelompok yang anti-pelepasan Timor Timur dari wilayah Indonesia juga
membangun wacana yang lebih hebat dan cenderung jadi fatalis. Antara lain
dengan mengatakan bahwa dunia Internasional telah terlalu jauh campur tangan
dalam urusan politik dalam negeri Indonesia. Juga bahwa Timtim selama ini
hanya menimbulkan masalah, padahal Timtim tidak pernah menyumbangkan apa-
apa bagi masyarakat Indonesia, “Rakyat Timor Timur tidak tahu berterima kasih”.
“pemerintah RI sebetulnya tak pernah menginginkan Timor Timur, bergabungnya
Timor Timur ke Negara kesatuan RI lebih merupakan permintaan orang Timor
Timur sendiri”, “rakyat Timor Timur selalu bertikai, bila Timor Timur dilepas
akan terjadi perang antar rakyat Timor Timur lagi” dan sebagainya.
Selanjutnya, pada tanggal 5 Mei 1999, PBB, Indonesia dan Portugal
menandatangani Perjanjian Tripartit di markas PBB, New York. Indonesia
diwakili oleh Menlu Ali Alatas, Portugal oleh Menlu Jaime Gama dan Sekjen
PBB Kofi Annan. Keputusan dari pertemuan tersebut menghasilkan kesepakatan
mengenai pelaksanaan penentuan jejak pendapat pada tanggal 8 Agustus 1999 di
Timor Timur. Rakyat diminta memilih apakah Timor Timur tetap menjadi bagian
dari Indonesia ataukah Timor Timur menjadi negara merdeka. Perjanjian tersebut
disebut pula dengan Kesepakatan New York. Dalam perjanjian tersebut
disebutkan bahwa Indonesia masih bertanggung jawab terhadap keamanan
pelaksanaan tersebut. Hal tersebut tertuang dalam dua kesepakatan, yaitu:.
1). Kesepakatan tentang modalitas pelaksanaan penentuan pendapat melalui jajak
pendapat.
2). Kesepakatan tentang Polisi (Polri) sebagai penanggung jawab keamanan.
Berdasarkan Resolusi Nomor 1246 Dewan Keamanan PBB dan sebagai
tindak lanjut Perjanjian Tripartit, pada tanggal 11 Juni 1999 dibentuk UNAMET
(United Nations in East Timor). UNAMET bertanggung jawab untuk
melaksanakan dan menyukseskan jajak pendapat di Timor Timur secara rahasia,
langsung, dan bebas sesuai dengan perjanjian Tripartit. Tugas UNAMET berakhir
dengan diratifikasinya hasil jajak pendapat oleh Sidang Umum MPR.
Sesuai dengan Perjanjian Tripartit tersebut, jajak pendapat akan
dilaksanakan tanggal 8 Agustus 1999, namun mengalami penundaan sehingga
Sekjen PBB memutuskan bahwa jajak pendapat akan dilaksanakan tanggal 30
Agustus. Tanggal 30 Agustus merupakan tanggal yang sangat sakral dalam
dinamika perpolitikan Negara yang baru seumur jagung itu. Pada hari itu
diadakan jajak pendapat di Timor Timur. Sebelumnya terlihat antusiasme
rakyat Timor Timur untuk mendaftarkan diri dalam jajak pendapat tersebut.
Sebanyak 98,60 % pemilih menggunakan haknya dengan baik. Ian Martin,
Ketua UNAMET mengumumkan bahwa jumlah peserta mencapai 451.792
orang, sebanyak 438.513 pemilih menggunakan hak pilihnya di Timor Timur
dan 13.279 menggunakan hak pilihnya di 13 tempat lain, di luar Timor Timur.
Sabtu, 4 September 1999, pukul 09.00 WITA, hasil jajak pendapat
diumumkan secara bersama-sama di Dili dan New York. Pro-kemerdekaan
dinyatakan menang telak, dengan mendapatkan 78,5% prmilih, sedangkan
otonomi, hanya 21%. Dengan kata lain, dari 450.000 pemilih, 344.580 memilih
pro-kemerdekaan, 94.388 menerima tawaran oronomi, dan 7.985 suara (1,8%)
dinyatakan tidak sah.
Setelah pengumuman hasil jajak pendapat tersebut bukannya ada sorak-
sorak kegembiranaan justru keteganganlah yang menghiasi kota Dili Ratusan
anggota pro-integrasi sambil berkendaraan motor menyerbu jalan-jalan di kota
Dili. Kekecewaan di pihak pro-integrasi semakin membara karena dinilai
kebijakan Habibie tidak menguntungkan perjuangan pro-integrasi, misalnya
dalam hal keberatan pro-integrasi mengenai ketidaknetralan dan pelanggaran
UNAMET selama penentuan jajak pendapat. Dinilai pihak pro-integrasi bahwa
pemerintah seharusnya membantu mengklarifikasi pengaduan-pengaduan itu
sebelum UNAMET mengumumkan hasil penentuan pendapat. Namun,
Presiden Habibie menyatakan menerima hasil jajak pendapat. Ia menganggap
15
penentuan pendapat sudah berlangsung dengan sukses. Sabtu, 4 September
1999 tersebut menjadi awal pertempuran berdarah Timor Timur. Bentrok antar
kedua kelompok tak bisa dihindarkan.
Kerusuhan pasca diumumkannya hasil jajak pendapat tersebut memaksa
pemerintah Indonesia menerapkan sistem Darurat Militer yang awalnya ditolak
berbagai pihak mengingat sejarah kelam keberadaan militer di Timor Timur
yang membuat banyak pihak khawatir, sistem itu dinilai justru memberi
peluang bagi pembunuhan dan pembumihangusan Timor Timur. Selain itu
gencarnya isu tentang TNI di balik milisi yang notabene menjadi pelaku
kerusuhan di Timor Timur pasca-jajak pendapat, memang semakin menciut
nyali. Di sisi lain, Habibie menilai sistem Darurat Militer telah dikonsultasikan
sebelumnya dengan Sekjen PBB, Kofi Annan (Kuntari, 2008: 63).
Bagaimana pun juga, hasil jajak pendapat tersebut mencerminkan
bahwa mayoritas masyarakat Timor Timur sesuai dengan hati nuraninya telah
menyatakan pendapat yakni menolak otonomi luas dengan status khusus, maka
sebagai bangsa yang besar harus menerima dan menghormati hasil jajak
pendapat itu. Selanjutnya pada tanggal 19 Oktober 1999 melalui TAP MPR
Nomor V/MPR/1999 tentang Penentuan Jajak Pendapat di Timor Timur, MPR
mengakui pemisahan Timor Timur dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
b. Ekonomi
Biaya hidup di negara Timor Leste yang baru merdeka tersebut cukup
tinggi, harga BBM jenis premium maupun minyak tanah harganya lebih dua kali
lipat dari harga yang ada di Indonesia. Harga eceran premium bisa mencapai 2,5
dolar US atau setara dengan Rp15.000 perliter, demikian juga harga minyak tanah
bisa mencapai hampir Rp10.000/liter, sehingga minyak tanah tersebut banyak
yang didapat dari daerah perbatasan melalui para pelintas batas. Kondisi
kehidupan mereka yang kian sulit itu, menyebabkan sebagian dari mereka sering
mengungkapkan rasa penyesalan berpisah dengan NKRI, karena dimasa integrasi
masyarakat Timor Leste memiliki kehidupan yang lebih baik padahal tujuan
mereka merdeka sebelumnya agar mendapatkan kehidupan yang lebih dibanding
sebelumnya.
Kini belum ada perubahan pembangunan yang dilakukan pemerintahan
17
Presiden Xanana Gusmao, karena bangunan-bangunan yang terbakar dimasa jajak
pendapat tahun 1999, tidak satupun yang diperbaiki. Bangunan peninggalan
orang-orang Indonesia tersebut hingga kini masih tampak jelas, tidak ada upaya
rehabilitasi sehingga sekarang situasinya semakin kacau karena disaat terjadi
konflik hingga lengsernya Perdana Menteri Mari Al-Katiri.
19
pengganti beralih kepada negara tersebut.
Ketentuan yang sama juga berlaku terhadap harta benda bergerak
yang semula dimiliki atau dibentuk oleh wilayah yang sekarang merdeka.
Konvensi internasional memberi hak kepada negara yang baru merdeka
untuk mengklaim dirinya sebagai pemilik baru atas aset negara lama. Dalam
hal ini, Timor Leste sebagai negara baru merdeka menjadi pemilik atas aset
negara RI yang berada di sana.
Pada umumnya, negara-negara mempunyai hukum nasional-nya yang
mengatur masalah suksesi negara ini. Hukum nasional Timor Leste telah
dikemukakan di atas. Hukum Indonesia mengatur suksesi negara dalam Undang-
Undang Nomor 24 tahun 2000 mengenai Perjanjian Internasional. Namun
UU ini hanya mengatur suksesi negara dalam kaitannya dengan status
hukum perjanjian internasional di negara baru (pasal 20). RI tidak punya
aturan suksesi negara mengenai status aset negara di suatu wilayah Negara baru.
Pertama, Konvensi 1983 pada prinsipnya tidak berlaku terhadap
Indonesia karena Indonesia tidak meratifikasinya. Meskipun demikian,
Konvensi 1983 dapat berfungsi atau dianggap sebagai sumber hukum berupa
doktrin. Dalam hal ini ketentuan dalam Konvensi 1983 adalah hasil dari
pendapat dari para ahli hukum internasional terkemuka (para anggota ILC).
Kedua, status hukum nasional yang mengatur masalah suksesi negara.
Hukum nasional Timor Leste dan hukum AS sudah barang tentu tidak
berlaku keluar atau mengikat pihak lainnya. Hukum nasional tersebut tidak
mengikat RI. Namun demikian, apabila dilihat seksama, tampak bahwa bunyi
ketentuan mengenai suksesi negara antara hukum nasional (Konstitusi Timor
Leste) dengan hukum internasional tidak jauh beda. Artinya, klaim
pemerintah Timor Leste terhadap aset Negara RI memiliki dasar hukum yang
cukup kuat.
21
Kendala utamanya adalah perbedaan pandangan para pihak mengenai
prinsip hukum yang diterapkan di Timor Gap dan mengenai situasi
geomorfologis landas kontinen di wilayah Timor Gap. Daripada masalah
penetapan garis batas berlarut-larut, kedua pihak sepakat untuk mengadakan
pengaturan sementara. Pengaturan sementara ini sesuai dengan ketentuan
Pasal 83 ayat 3 Konvensi Hukum Laut 1982 yang antara lain menyatakan:
“Pending agreement as provided for in paragraph 1, the Sates
concerned, in a spirit of understanding and co-operation, shall
make every effort to enter into provisional arrangements of a
practical nature and, during this transitional period, not to
jeopardize or hamper the reaching of the final agreement. Such
arrangements shall be without prejudice to the final delimitation...“
23
kepada Timor Leste, maka kejadian ini dapat dijadikan alasan untuk
mengakhiri Perjanjian Timor Gap.
Kedua negara melalui penandantangan Exchange of Letters tanggal 1
Juni 2000 sepakat untuk mengakhiri Timor Gap Treaty yang mulai berlaku
sejak tanggal 1 Juni 2000. Dengan demikian, perjanjian tersebut tidak
berlaku lagi dan wilayah Timor Gap karenanya bergantung kepada
perjanjian atau kesepakatan antara Timor Timor dan Australia. Terserah
kepada kedua negara ini apakah mereka akan merundingkan penetapan garis
batas landas kontinennya atau juga membuat pengaturan sementara seperti
yang dilakukan antara RI – Australia.
Masalah hukum kedua adalah apakah Timor Barat mempunyai hak atas
sumber daya alam di wilayah landas kontinen Timor Gap berdasarkan
hukum internasinal, khususnya Konvensi Hukum Laut 1982.
Daerah yang dinamakan Timor Gap adalah daerah landas kontinen di
antara Timor-Timur dan Australia, yaitu daerah yang terletak di antara dua
titik dasar pada pulau Timor, yaitu di sebelah timur pada titik median line
antara pulau Leti (Indonesia) dan pulau Yako (Timor-Timur), dan di
sebelah barat pada titik mulut sungai Mota Masin di perbatasan Timor-Timur
dan NTT, yang ditetapkan berdasarkan Perjanjian RI-Australia tahun 1972.
Daerah tersebut dinamakan Timor Gap karena adanya gap atau celah di mana
garis batas landas kontinen kedua negara belum dapat ditetapkan karena
adanya perbedaan posisi antara Portugal dan kemudian Indonesia dengan
Australia mengenai cara menarik garis batas landas kontinen di daerah itu.
Australia ikut campur tangan beberapa masalah dalam negeri Indonesia antara
lain: Masalah Papua Akibat adanya Organisasi Papua Merdeka (OPM) di
perbatasan Irian Jaya dan Papua Nugini membawa akibat hubungan Australia
dengan Indonesia agak renggang dikarenakan Australia khawatir bahwa
Indonesia menolak Papua Nugini
Masalah Irian Barat merupakan salah satu persoalan yang masih mengganjal
dalam penyelesaian kemerdekaan Indonesia dari tangan Belanda. Pernyataan
Australia tentang masalah Irian Barat, setelah invasi Jepang ke Papua New
Guinea(Irian Barat dan Irian Timur)menjelang perang dunia II, masyarakat
dan pemerintahan Australia lebih yakin bahwa pulau tersebut sangat penting
bagi keamanan Australia. Australia sendiri merasa keamanan wilayahnya akan
terjamin bila pulau tersebut berada di bawah kekuasaan Belanda.
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Buku:
Habibie, BJ. (2006). Detik-Detik yang Menentukan: Jalan Panjang Indonesia
Menuju Demokrasi. Jakarta: THC. Mandiri.
Kuntari, CM Rien. (2008). Timor Timur Satu Menit Terakhir: Catatan Seorang
Wartawan. Bandung: Mizan.
Nevins, Joseph. (2008). Pembantaian Timor Timur: Horror Masyarakat
25
Internasional. Yogyakarta: Galangpress.
Hadi, Syamsul. (2007). Disintegrasi Pasca Orde Baru. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
Sumber Internet:
Adolf, Huala. (2000). Beberapa Masalah Suksesi Negara dalam Kasus Timor
Timur.
[Online].Tersedia:http://www.library.ohiou.edu/indopubs/2000/08/07/0019.
html. [2 Oktober 2010].
Alan. (2000). Selamat Jalan Timor Timur. [Online]. Tersedia:
http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/2000/08/08/0017.html. [4
Oktober 2010].
Avicenna. (2008). Pembantaian Timor Timur (Jawa Pos): Hasil Referendum
1999. [Online]. Tersedia: http://id.shvoong.com/society-and-news/news-
items/1835636-pembantaian-timor-timur-jawa-pos/. [4 Oktober 2010].
Dachroni, R. (2007). Menguak Kembali Lepasnya Timor Timur. [ Online].
Tersedia: http://blograj3s4.blogspot.com/2007/10/menguak-kembali-
lepasnya-timor-timur.html. [2 Oktober 2010].
Fronpetil. (1998). Petisi Front Nasional Pemuda Timor Leste. [Online]. Tersedia:
http://www.minihub.org/siarlist/msg00136.html. [4 Oktober 2010].
Koesoemawiria, Edith. (2009). 10 Tahun Referendum Timor Leste.[Online].
Tersedia: http://www.dw-world.de/dw/article/0,,4603346,00.html. [4
Oktober 2010].
27