Professional Documents
Culture Documents
ABSTRACT
To protect the human right in Indonesia, some of regulations had been formulated, either
material and formal law. Both regulations focused on the protection of the value and prestige of
human comprehensively. The formal law is the Status Number 26 2000 on cort of human right.
Both regulations in the level of national status are the oprational explanation of the constituion
1945. Meanwhile the material law is the Status Number 39 1999 on sanctions of crime.
* Dosen Hukum Pada Jurusan Muamalat dan Prodi Keuangan Islam (KUI) Fakultas Syari’ah
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Candidat Doktor (CDR.) pada Program Pasca Sarjana Ilmu Hukum
(S3) Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta.
1Dahlan Thaib, “Menuju Parlemen Bikameral: Studi Konstitusional Perubahan Ketiga UUD
1945”, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Madya dalam Hukum Tata Negara, (Yogyakarta: UII, 4 Mei
2002), hlm. 5.
digunakan oleh kelompok ini adalah mengubah atau mengganti UUD 1945 berarti
tidak memiliki rasa nasionalisme, kenapa ? Karena materi UUD 1945 adalah hasil
penilaian para founding fathers yang matang sehingga UUD 1945 tidak perlu diotak-atik.
Bagi kelompok ini spirit of nationalism jauh lebih penting daripada spirit of constitution
itself. Kedua, Mereka yang berpendirian bahwa UUD 1945 tidak perlu disentuh, karena
secara konseptual UUD 1945 sudah baik, yang salah dan tidak mampu adalah faktor
manusianya. 2
Kondisi ini memunculkan pendapat yang pro dan kontra terhadap keberadaan
UUD 1945. Kelompok yang pro dibagi 2 (dua), yaitu pertama, mereka yang
berketetapan bahwa UUD 1945 sudah selayaknya diubah. Kedua, mereka yang
menginginkan UUD 1945 diganti sama sekali dengan konstitusi baru karena tanpa
penggantian akan terjadi stagnasi dalam bernegara.3
Berdasar pro-kontra di atas, setidaknya terdapat tiga kelompok yang saling
berhadapan yaitu kelompok anti amandemen konstitusi yang berjuang menggagalkan
amandemen dan kembali ke UUD 1945. Kelompok ini merupakan kubu status quo
yang ingin mengembalikan rezim anti demokrasi sejenis orde baru. Kelompok
berikutnya adalah kelompok yang terdiri dari anggota MPR yang mendukung
amandemen dan menganggap perubahan dilakukan sekarang sudah cukup baik,
sehingga harus dilanjutkan. Kelompok ketiga lebih progresif dibandingkan yang
terakhir, yaitu mendukung tuntasnya seluruh hasil amandemen sebagai kasus yang
harus diperbaiki dan karenanya bersifat transisional.4
Berdasar adanya berbagai kepentingan yang melingkupi proses amandemen
UUD 1945, tulisan ini akan menjabarkan lebih jauh tentang politik hukum yang ada
pada akar, cabang dan ranting dari hasil amandemen UUD 1945, khususnya terhadap
Pasal 28 tentang Hak Asasi Manusia (HAM).
Pembahasan mengenai HAM penting mengingat beberapa kebijakan
termasuk di dalamnya peraturan perundang-undangan tentang HAM telah
dikeluarkan sebelum Undang-undang Dasar 1945 diamandemen. Hal ini berarti
2 Sobirin Malian, Gagasan Perlunya Konstitusi Baru Pengganti UUD 1945, (Yogyakarta: UII Press,
2001), hlm. 89-91.
3 Ibid.
4 Udiyo Basuki, “Dinamika konstitusi Indonesia” ( Refleksi Yuridis atas Proses dan hasil
amandemen UUD 1945, Sosio-Religia Jurnal Ilmu Agama dan Sosial, (Yogyakarta: LinkSAS), Vol. 1, No.
4 Agustus 2002, hlm. 25.
2
kebijakan yang ada dalam Pasal 28 UUD 1945 antara lain dilatarbelakangi oleh
kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan sebelum amandemen.
Di Indonesia penghormatan atas hak-hak asasi manusia telah dijamin oleh
Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, sebagai pandangan hidup, falsafah dan
dasar konstitusional bagi Negara Kesatuan RI. Walaupun perwujudan secara materiil
dan formil baru ada setelah dikeluarkannya undang-undang No. 39 Tahun 1999
tentang HAM dan Undang-undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Undang-undang tersebut dikeluarkan sebagai salah satu rangkaian rencana aksi
nasional hak asasi manusia berdasarkan Keputusan Presiden No. 129 tahun 1998.
Sebagaimana diketahui, keluarnya undang-undang tersebut setelah berbagai
peristiwa kekerasan terjadi di Indonesia terutama pada masa pemerintahan Orde
Baru, seperti kasus Tanjung Priok, Tim-Tim, Semanggi dan sebagainya. Kasus-kasus
tersebut sampai saat ini masih dalam proses penyelesaian. Paling tidak ada dua
kendala utama dalam penyelesaian kasus-kasus HAM di masa lalu, yaitu kendala
teknis prosedural yang menyangkut pembuktian secara hukum dan kendala politis
yang ditandai oleh adanya kekuatan yang besar untuk menghambat upaya
penyelesaian melalui pengadilan. 5
B. Batasan Pembahasan
Dalam kerangka melacak akar, cabang dan ranting politik hukum Undang-
undang Dasar 1945 pasca mandemen ini, penulis membatasi pada bidang-bidang
tertentu. Hal ini dimaksudkan agar pembahasan lebih mendalam, mengingat Undang-
undang Dasar 1945 pasca amandemen tidak tepat kalau disebut amandemen, karena
realitasnya tidak mengubah bagian-bagian tertentu dalam Undang-undang Dasar,
akan tetapi “merubah dan merombak”. Alasan lain yang mendasari pembatasan ini
adalah tidak semua perubahan dalam Undang-undang Dasar 1945 ada politik
hukumnya.
Dengan demikian yang dimaksud dengan UUD 1945 yang berlaku sekarang
adalah UUD yang ditetapkan berdasarkan atau melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959
5 Moh. Mahfud MD, “Politik Hukum Hak Azasi Manusia di Indonesia”, Pidato Pengukuhan
dalam jabatan Guru Besar”, Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, 23 September 2000.
3
beserta perubahan-perubahannya. Perubahan inilah yang merupakan hasil dari
amandemen sejumlah 4 (empat kali).
Lebih jauh tulisan ini akan difokuskan pada bidang Hak Azasi Manusia,
khususnya yang terdapat dalam Pasal 28 Undang-undang 1945 dan undang-undang
organiknya (Undang-undang). Dalam hal ini, kebijakan-kebijakan apa yang
melatarbelakangi dan mendasari diberlakukannya peraturan perundang-undangan
tentang HAM.
6 LJ. van Appeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum (terjemahan Supomo), (Jakarta: Pradnya
Paramitha), cet. Ke-18, 1981, hlm. 390.
7A.S.S. Tambunan, Politik Hukum Berdasarkan UUD 1945, (Jakarta: Puporis Publishers, 2002),
hlm. 9.
8 David Kairsy (ed). The Politics of Law, A Progressive Critique, (New York: Pantheon Books,
hlm. 4.
10A.S.S. Tambunan, Ibid. Lihat referensi aslinya Abdul Hakim Garuda Nusantara, Politik
4
ketentuan hukum yang telah ada termasuk penegasan fungsi lembaga dan pembinaan
para penegak hukum.11 Berdasar pengertian tersebut menurut Moh. Mahfud terlihat
politik hukum mencakup proses pembuatan dan pelaksanaan hukum yang dapat
menunjukkan sifat dan ke arah mana hukum dibangun dan ditegakkan. 12
Pengertian lain tentang politik hukum yang aplikatif juga disampaikan oleh
Hikmahanto. Menurutnya, peraturan perundang-undangan (legislation) merupakan
bagian dari hukum yang dibuat secara sengaja oleh institusi negara. Oleh karena itu
pembuatan dari peraturan perundang-undangan tersebut memiliki tujuan dan alasan
tertentu yang dapat beraneka ragam. Berbagai tujuan dan alasan yang menjadi dasar
dibentuknya peraturan perundang-undangan ini disebut dengan politik hukum.13
Politik hukum dapat dibedakan menjadi dua dimensi. Pertama adalah politik
hukum yang menjadi alasan dasar diadakannya peraturan perundang-undangan.
Dimensi yang pertama disebut dengan “kebijakan dasar” atau basic policy. Dimensi
yang kedua adalah tujuan atau alasan yang muncul dibalik pemberlakuan peraturan
perundang-undangan. Dimensi yang kedua ini disebut dengan kebijakan
pemberlakuan atau enactment policy. 14
Berdasarkan pengertian tentang konsepsi politik hukum di atas, dalam kajian
ini politik hukum dimaksudkan sebagai kebijakan yang menjadi dasar dari perubahan
maupun pemberlakuan Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 dan peraturan
perundang-undangan di bawahnya.
11Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Cet. Kedua, (Jakarta: LP3ES, 2001). Lihat
referensi aslinya dalam Abdul Hakim Garuda Nusantara, “Politik Hukum Nasional”, makalah pada
Kerja latihan bantuan Hukum, LBH, Surabaya, September 1985.
12 Ibid.
13 Hikmahanto Juwono, “Politik Hukum Undang-undang Bidang ekonomi di Indonesia”.
Hand Out kuliah Kebijakan Pembangunan Hukum Program Doktor (S3) UII.
14 Ibid.
5
1945. Perubahan tidak formal adalah perubahan yang terjadi melalui praktek
ketatanegaraan (konvensi) atau putusan hakim (yurisprudensi).15
Dalam sejarah ketatanegaran Indonesia merdeka, telah tercatat beberapa
upaya yaitu pertama, pembentukan Undang-Undang Dasar, kedua, penggantian
Undang-Undang Dasar, dan ketiga, perubahan dalam arti pembaruan Undang-
Undang Dasar. Dalam arti yang ketiga ini baru terjadi setelah bangsa Indonesia
memasuki era reformasi pada tahun 1998 yaitu setelah Presiden Soeharto berhenti
dan digantikan oleh Presiden Habibie, barulah pada tahun 1999 dapat diadakan
perubahan terhadap Undang-undang dasar 1945 sebagaimana mestinya.16 Dengan
kata lain perubahan Undang-undang baru terjadi setelah 54 tahun Indonesia merdeka
yaitu dalam sidang Umum MPR 1999, UUD 1945 yang merupakan perubahan
pertama terdiri dari 9 Pasal, perubahan kedua yang disahkan dalam sidang tahunan
MPR tahun 2000 sebanyak 24 pasal(termasuk penambahan pasal baru).17 Sisanya
dilakukan perubahan pada sidang berikutnya yaitu ketiga tahun 2001 sebanyak 23
pasal dan keempat tahun 2002 sebanyak 15 pasal ditambah aturan peralihan dan
aturan tambahan.
Dorongan memperbaharui atau mengubah UUD 1945 ditambah pula dengan
kenyataan bahwa UUD 1945 sebagai subsistem tatanan konstitusi dalam
pelaksanaannya tidak berjalan sesuai dengan staatsidee mewujudkan negara
berdasarkan konstitusi seperti tegaknya tatanan demokrasi, negara berdasarkan atas
hukum yang menjamin hak-hak azasi manusia; kekuasaan kehakiman yang merdeka;
serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Namun demikian, justru yang
terjadi adalah etatisme, otoritersme atau kediktatoran yang menggunakan UUD 1945
sebagai sandaran.18
15 Bagir Manan, Perkembangan Undang-undang Dasar 1945, (Yogyakarta: FH UII Press, 2004),
hlm. 1-2.
16 Jimli Assiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia dan Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Jakarta, 2004),
hlm. 41-42.
17Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 1945,
11.
6
Beberapa alasan yang mendasari perlunya pembaharuan Undang-undang
Dasar 1945 antara lain:19
1. Alasan historis, sejak dalam sejarahnya UUD 1945 sengaja di desain oleh para
pendiri negara Republik Indonesia (BPUPKI, PKI) sebagai UUD yang bersifat
sementara, karena dibuat dan ditetapkan dalam suasana ketergesa-gesaan.
2. Alasan filosofis, dalam UUD 1945 terdapat pencampuradukkan berbagai gagasan
yang saling bertentangan, seperti faham kedaulatan rakyat dengan faham
integralistik antara faham negara hukum dengan faham negara kekuasaan.
3. Alasan teoritis, berdasar sudut pandang teori konstitusi (konstitusionalisme0,
keberdaan konstitusi bagi suatu negara pada hakekatnya adalah untuk membatasi
kekuasaan negara agar tidak bertindak sewenang-wenang, tetapi justru UUD 1945
kurang menonjolkan pembatasan kekuasaan tersebut, melainkan menonjolkan
pengintegrasian.
4. Alasan yuridis, lazimnya setiap konstitusi UUD 1945 juga mencamtumkan klausula
perubahan seperti dalam pasal 37.
5. Alasan praktis politis bahwa secara sadar atau tidak, langsung atau tidak langsung
dalam praktek UUD 1945 sudah sering mengalami perubahan dan atau
penambahan yang menyimpang dari teks aslinya yakni masa 1945-1949, maupun
1959-1998.
Ada 3 tiga tradisi yang digunakan dalam prosedur perubahan Undang-undang
Dasar, yang berbeda antara satu negara dengan negara lain:20
1. Perubahan materi Undang-undang Dasar dengan langsung memasukkan (insert)
materi perubahan ke dalam naskah Undang-undang Dasar. Dalam kelompok
negara ini dapat disebut, misalnya negara Republik Perancis, Jerman dan Belanda.
2. Penggantian naskah Undang-undang Dasar. Naskah konstitusi sama sekali diganti
dengan naskah yang baru. Hal ini pernah terjadi di Indonesia dengan konstitusi
Ris tahun 1949 dan UUDS tahun 1950.
3. Perubahan konstitusi melalui naskah yang terpisah dari teks aslinya yang disebut
sebagai amandemen. Seperti yang terjadi di Amerika Serikat.
19A.Mukthie Fadjar, Reformasi Konstitusi Dalam Masa Transisi Paradigmatik, (Malang: n-Trans,
7
Dari ketiga tradisi prosedur perubahan konstitusi di atas, yang terjadi di
Indonesia dengan melakukan amandemen pertama, kedua, ketiga dan keempat,21
yang bila kita lihat sesungguhnya juga mengikuti mekanismne perubahan gaya
Amerika.yakni naskah asli Undang-undang Dasar tetap utuh, tetapi kebutuhan akan
perubahan hukum dasar dapat dipenuhi melalui naskah tersendiri yang dijadikan
adendum tambahan terhadap naskah asli tersebut. 22
21 Perubahan pertama pada tahun 1999, perubahan kedua pada tahun 2000, perubahan ketiga
199. Kutipan aslinya dapat dilihat dalam James W. Nickel, Hak Asasi Manusia: Refleksi Filosofis atas
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia,, Titi S. Dan Eddy Arini (alih Bahasa), (Jakarta: Gramedia,
1996).
8
takut, hak nyawa, hak rohani, hak kesadaran, hak untuk tentram, hak untuk memberi,
hak untuk menerima, hak untuk dilindungi dan melindungi dan sebagainya.24
Hak Asasi Manusia merupakan hak-hak universal yang dimiliki oleh manusia
semata-mata karena posisinya sebagai manusia. Pandangan ini menunjukkan secara
tidak langsung bahwa karakteristik seperti ras, jenis kelamin, agama, kedudukan sosial
dan kewarganegaraan tidak relevan untuk mempersoalkan apakah seseorang memiliki
atau tidak memiliki hak asasi manusia. Hal ini menyiratkan bahwa hak-hak tersebut
dapat diterapkan di seluruh dunia. Salah satu ciri khusus dari hak asasi manusia yang
berlaku sekarang adalah bahwa hal itu merupakan hak internasional. Kepatuhan
terhadap hak serupa itu telah dipandang sebagai obyek perhatian dan aksi
internasional yang sah.25
Piagam PBB Tahun 1948 Pasal 1 Deklarasi HAM sedunia menyebutkan
bahwa seluruh umat manusia dilahirkan merdeka dan setara dalam martabat dan hak.
Mereka dikaruniai akal serta nurani dan harus saling bergaul dalam semangat
persaudaraan. Deklarasi PBB memberikan penjelasan seperangkat hak hak dasar
manusia yang tidak boleh dipisahkan dari keberadaannya sebagai manusia.26 HAM
juga berarti hak-hak yang melekat pada manusia berdasarkan kodratnya, jadi hak-hak
yang dimiliki manusia sebagai manusia.27 Atau ada juga yang mengatakan HAM
adalah hak hukum yang dimiliki setiap orang sebagai manusia. Hak-hak tersebut
bersifat universal dan dimiliki setiap orang, kaya maupun miskin, laki-laki atau pun
perempuan. Hak tersebut mungkin saja dilanggar tetapi tidak pernah dapat
dihapuskan.28
Louis Henkin mengatakan ”…human rights are claims asserted recognized “as of
right”. not claims upon love, or grace, or brothehood or charity: one does ot have to earn or deserve
24 Mansoor Faqih dkk, Panduan Pendidikan Politik Untuk Rakyat, Yogyakarta: Insist, 1999, hlm.
17.
25 James W. Nickel, Making Sense of Human Rights Philosophical Reflection on the Universal
Declaration of Human Rights, Alih bahasa: Titi S. Dan Eddy Arini , Jakarta: Gramedia, 1996, hlm. 10.
26T.Mulya Lubis, Hak Asasi Manusia dan Pembangunan, (Jakarta: Yayasan LBHI 1987), hlm. 5
27A.Gunawan Setiardja, Hak-Hak Asasi Manusia Berdasarkan Ideologi Pancasila, (Yogyakarta:
9
them. They are not merely aspirations or moral assertions but, increasingly, legal claims under some
applicable law29.
Dalam bukunya yang berjudul Right of Man pada tahun 1972, Thomas Paine,
ahli teori politik serta penulis Amerika mengemukakan pengertian HAM, adalah hak-
hak yang dimiliki oleh seseorang karena keberadaannya, di antara hak-hak jenis ini
tercakup segala hak intelektual, atau hak berfikir, dan juga segala hak untuk bertindak,
sebagai individu demi kenyamanannya sendiri dan kebahagiaannya sendiri, asalkan
tidak merugikan hak-hak asasi orang-orang lain.30
Berdasar uraian tentang konsepsi HAM yang telah tersebut di atas, dapat
disebutkan bahwa ciri-ciri HAM sebagai berikut: 31
a. Hak tidak perlu diberikan, dibeli ataupun diwarisi. HAM adalah bagian dari
manusia secara otomatis.
b. Hak asasi berlaku dan dimiliki untuk semua orang, tanpa memandang jenis
kelamin, ras, agama, etnis, pandangan politik, atau asal usul sosial, bangsa. Semua
manusia lahir dengan martabat yang sama.
c. HAM tidak bisa dilanggar. Tidak seorang pun mempunyai hak untuk membatasi
atau melanggar hak orang lain, orang tetap mempunyai HAM, walaupun sebuah
negara membuat hukum yang tidak melindungi atau melanggarnya.
29 Philipus M.Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Sebuah Studi tentang Prinsip-
prinsipnya, Penanganannya oleh Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan
Administrasi Negara, (Surabaya: Bina Ilmu, 1987), hlm. 39
30 George Clark dan Kathleen Hug, Hak Asasi, hlm. 20
31 Demokrasi, Hak Asasi Manusia, Masyarakat Madani, (Tim ICCE UIN Jakarta, 2003), hlm.
201-202. Kutipan aslinya dapat dilihat dalam Mansour Fakih, et.al, Menegakkan Keadilan dan
Kemanusiaan, (Yogyakarta: Insist, 2003), hlm 40
10
kunci dari kalimat ini adalah bangsa dan kemerdekaan. Esensinya dari kata kunci itu
adalah kemerdekaan sebagai hak. 32
32 Zulfirman, “Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Hukum Indonesia”, Makalah, 2005.
33Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Deklarasi Viena Program Aksi, Konferensi Dunia Hak
11
pembaharuan kebijakan hukum di Indonesia, yang pada mulanya perlindungan hak
asasi sangat sumir dan implisit diakui, menjadi secara eksplisit.
Pengaturan tentang HAM dalam konstitusi Indonesia terlihat di dalam Bab
XA tentang Hak Asasi Manusia Amandemen UUD 1945 yang diatur pada Pasal 28A
amandemen sampai dengan Pasal 28J Amandeman UUD 1945.
Pasal 28 A amandeman sampai dengan Pasal 28J amandemen UUD 1945 itu
merupakan ketentuan pokok HAM yang termuat di dalam Pembukaan UUD 1945.
Penjabaran hak kebebasan tentang:
a. Hak kebebasan memeluk agama dijabarkan pada Pasal 28E ayat (1), ayat (2), dan
ayat (3) amandeman UUD 1945;
b. Hak kebebasan untuk hidup dijabarkan dalam Pasal 28A, Pasal 28G ayat (1), dan
ayat (2), Pasal 28 H ayat (1), Pasal 28I ayat (1), ayat (2), Pasal 28J ayat (1)
Amandeman UUD 1945;
c. Hak kebebasan untuk berkumpul dijabarkan dalam Pasal 28B ayat (1), Pasal 28C
ayat (2), Pasal 28D ayat (4), Pasal 28E ayat (1), dan ayat (3), Pasal 28F
Amandeman UUD 1945;
d. Hak kebebasan untuk berpolitik dijabarkan dalam Pasal 28D ayat (3), Pasal 28E
ayat (2), dan ayat (3) Amandemen UUD 1945;
e. Hak kebebasan memperoleh keadilan dan diperlakukan adil dijabarkan dalam
Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1), ayat (2), Pasal 28G ayat (1), Pasal 28H ayat
(1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) Amandeman UUD 1945;
c. Ketetapan MPR
Konsep tentang HAM lebih lanjut dijabarkan dalam TAP MPR Nomor
XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia. Pada dasarnya pengakuan,
penghargaan dan perlindungan HAM telah menjadi agenda MPR sejak awal orde
baru tahun 1966. Melalui surat Nomor 1/Pan.IV/ MPRS/1966 tanggal 7 Desember
1966 Panitia Ad Hoc IV MPRS. Panitia ini dibentuk berdasarkan ketetapan MPRS
No.A3/1/23/MPRS/1966, telah menyelesaikan Rancangan Keputusan Pimpinan
tentang Piagam Hak Asasi Manusia dan Hak-hak serta kewajiban warganegara.
12
Pengertian tentang HAM ditegaskan apa yang dimaksud dengan Hak Asasi
Manusia sebagaimana tertera pada Pasal 1 angka 1 yang menyatakan: “Hak Asasi
Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia
sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib
dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan
setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”.
Berdasar pengertian tentang HAM dalam UUHAM, maka dapat dicermati
bahwa HAM termasuk hak yang datangnya berasal dari pemberian Tuhan. Tidak ada
HAM yang datang dan diberi oleh kesepakatan suatu masyarakat manusia atau yang
diberi oleh alam maupun penguasa. Artinya adanya hak yang melekat pada diri
manusia, yang berasal dari ting-kat yang lebih tinggi ketimbang hukum yang
dikeluarkan oleh alam atau penguasa duniawi. Jelasnya tidak ada hak bagi penguasa
duniawi untuk mencabut atau mengurangi, apa pun alasannya, ketentuan hak yang
diatur oleh ketentuan yang lebih tinggi (Ilahi).35 Dengan demikian HAM melekat
kepada manusia baik ia sebagai makhluk individu maupun ia sebagai makhluk sosial.
Ketentuan tentang rincian HAM dapat dilihat dalam Undang-undang Nomor
39 Tahun 1999 tentang HAM yaitu:
a. Hak untuk hidup sebagaimana tertera pada Pasal 9;
b. Hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan pada Pasal 10;
c. Hak mengembangkan diri tertera pada Pasal 11 sampai dengan Pasal 16;
d. Hak memperoleh keadilan tertera pada Pasal 17 sampai dengan Pasal 19;
e. Hak kebebasan pribadi tertera pada Pasal 20 sampai dengan Pasal 27;
f. Hak atas rasa aman tertera pada Pasal 28 sampai dengan Pasal 35;
g. Hak atas kesejahteraan tertera pada Pasal 36 sampai dengan Pasal 42;
h. Hak turut serta dalam pemerintahan tertera pada Pasal 43 sampai dengan Pasal
44;
i. Hak wanita tertera pada Pasal 45 sampai dengan Pasal 51 dan hak anak tertera
pada Pasal 52 sampai dengan Pasal 66;
35Dadang Juliantara, Jalan Kemanusiaan Panduan Untuk Memperkuat Hak Asasi Manusia,
(Yogyakarta: Pustaka Lapera, 1999), hlm, 98
13
Secara yuridis formal di Indonesia, pengertian HAM dapat dilihat pada Pasal
1 Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU-HAM) yang
menyatakan, bahwa hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada
hakikat keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan
anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara,
hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat
dan martabat manusia.
Apabila dicermati lebih dalam definisi HAM yang terdapat di dalam UUHAM
maka tidak dapat disangkal HAM, termasuk hak, datangnya berasal dari pemberian
Tuhan. Tidak ada HAM yang datang dan diberi oleh kesepakatan suatu masyarakat
manusia atau yang diberi oleh alam mau pun penguasa. Artinya adanya hak yang
melekat pada diri manusia, yang berasal dari tingkat yang lebih tinggi ketimbang
hukum yang dikeluarkan oleh alam atau penguasa duniawi. Jelasnya, tidak ada hak
bagi penguasa duniawi untuk mencabut atau mengurangi, apa pun alasannya,
ketentuan hak yang diatur oleh ketentuan yang lebih tinggi (Ilahi).36
36 Ibid., hlm. 98
14
ini dapat diketahui kebijakan hukumnya, yaitu ingin melindungi, mengembangkan
dan memelihara kebebasan mengemukakan pendapat sebagai HAM,
pelaksanaannya harus dilak-sanakan dengan penuh tanggungjawab. Jadi
pelaksanaan kebebasan mengemukakan pendapat haruslah pula memperhatikan
dan pengakuan terhadap hak serta kebe-basan orang lain. Undang-undang ini
bersifat regulatip, pada satu sisi dapat melin-dungi hak warga negara, dan pada
sisi lain dapat mencegah tekanan tekanan, baik fisik mau pun psikis, yang dapat
mengurangi jiwa dan makna dari proses keterbukaan dalam pembentukan dan
penegakan hukum. Sifat regulatip undang-undang ini dapat terlihat dalam
substansinya yang mengatur bentuk dan tata cara penyampaian pen-dapat dimuka
umum dan tidak mengatur penyampaian pendapat melalui media masa, baik cetak
maupun elektronika dan hak mogok pekerja di lingkungan kerjanya.
c. Undang-Undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Apabila dicermati ketentuan yang termuat di dalam undang-undang ini dapat
diketahui kebijakan hukumnya, adalah untuk menjaga lingkungan hidup agar
manusia dapat berkembang sesuai dengan harkat dan martabatnya, Di samping
itu, undang-undang ini menegaskan bahwa hak untuk memperoleh lingkungan
yang baik dan sehat adalah merupakan hak dasar manusia, agar manusia dapat
berkembang. Undang-undang ini sebenarnya merangkum hak untuk hidup, hak
ekonomi, hak sosial, dan budaya sebagai HAM yang mendapat perhatian sejak
decade 1970-an.
d. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Politik hukum dari undang-undang ini dapat dilihat dari penjelasan umumnya.
Pada alinea kedua jelas disebutkan politik hukum dari undang-undang sistem
pendidikan nasional ini yaitu dalam rangka menjunjung tinggi HAM. Undang-
undang menentukan visi dan misi pendidikan yang diarahkan untuk membentuk
watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara
yang demokratis serta bertanggung jawab. Undang-undang ini menjabarkan
15
tentang HAM tentang setiap orang berhak mendapat pendidikan dan
mengembangkan diri, budaya, dan masyarakatnya.
Perlindungan HAM yang berkaitan dengan hak ekonomi, sosial dan budaya
lebih khusus diuraikan lebih rinci lagi dalam:
a. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Dalam
Penjelasan Umum undang-undang ini jelas disebutkan bahwa lahirnya undang-
undang ini adalah guna meningkatkan harkat, martabat, dan harga diri tenaga
kerja dan pengakuan tentang HAM pekerja. Perlindungan HAM tenaga kerja
dalam undang-undang ini meliputi hak untuk memperoleh pekerjaan, hak
berserikat, memperoleh upah yang layak, jaminan sosial, dan hak untuk mogok.
Politik hukum yang terlihat dalam undang-undang ini adalah melindungi HAM
pekerja sangat kuat sekali, hal ini dapat dilihat dari ketentuan tidak boleh
mempekerjakan buruh didasarkan diskriminasi, memperlindungi hak untuk
memperoleh pekerjaan, dan menegaskan mogok adalah sebuah hak bagi pekerja.
Padahal perbuatan mogok dalam sejarah hubungan perburuhan di negara maju
pada saat masa industrialisasi adalah perbuatan kriminal dan perbuatan yang
dilarang. Pengaturan mogok secara tidak langsung ini didasarkan pada pola
pikiran yang dipengaruhi faham liberalisme, di mana buruh dianggap mempunyai
kedudukan yang sama dengan pengusaha.37
b. Undang-undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh.
Apabila dicermati pada alinea pertama Penjelasan Umum jelas terlihat bahwa
undang-undang ini adalah sebagai penjabaran lebih jauh tentang HAM yang
berhubungan dengan hak kebebasan untuk berserikat dan berkumpul. Politik
hukum yang terlihat dalam pen-jelasan umum tersebut adalah bahwa hak
berserikat dan berkumpul tersebut harus dijamin namun pelaksanaan hak ini
haruslah dilaksanakan dalam kerangka hubungan industrial yang harmonis,
dinamis, dan berkeadilan. Dari pernyataan ini, pelaksanaan hak ini haruslah
diimbangi pula dengan kewajiban tidak dilaksanakan secara sebebas-bebasnya.
Jadi di Indonesia pelaksanaan HAM selalu diikuti dengan kewajiban asasi
manusia.
37Aloysius Uwiyono, Hak Mogok di Indonesia, (Fakultas Hukum, Program Pascasarjana, Jakarta
16
Peraturan tentang persamaan hak bagi semua warga negara terlihat telah
diatur secara lebih teknis lagi dalam Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 26
Tahun 1998 tentang Menghentikan Penggunaan Istilah Pribumi dan Nonpribumi
dalam Semua Perumusan dan Penyelenggaraan Kebijakan, Perencanaan Program,
ataupun Pelaksa-naan Kegiatan Penyelenggaraan Pemerintahan. Instruksi ini sangat
jelas menjabarkan tentang HAM manusia yang berkaitan dengan persamaan
kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan hak yang demikian ini berkaitan
dengan hak politik dan sosial di bidang HAM.
Perlindungan HAM di bidang hak ekonomi, sosial, dan budaya terlihat
dijabarkan lebih rinci dan lebih tehnis dalam Surat Keputusan Menteri Tenaga Kerja
dalam upaya melindungi upah buruh atau pekerja, sebagaimana dimaklumi bahwa
upah adalah bagian yang esensi bagi HAM pekerja. Dalam Surat Keputusan Menteri
Tenaga Kerja Nomor 150/Kep-Men/2000 ditegaskan bahwa penyelesaian
pemutusan hubungan kerja yang dilakukan harus melalui izin Depnaker, pembayaran
uang pesangon, penghargaan dan ganti rugi yang diatur secara ekspilit. Dari sini
terlihat bahwa politik hukum dari ketentuan ini adalah dalam rangka menghargai dan
menghormati serta melindungi HAM buruh tentang memperoleh pekerjaan,
menerima upah yang layak sebagai hak yang paling perlu pelindungan bagi buruh.
17
sebagai HAM yang tertuang di dalam Pembukaan UUD lebih didominasi oleh
pemegang kekuasaan, biasanya penafsiran itu dilakukan hanya guna mempertahankan
kekuasaan penguasa semata-mata.
2. Ketetapan MPR
Konsep tentang HAM lebih lanjut dijabarkan dalam TAP MPR Nomor
XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia. Pada dasarnya pengakuan,
penghargaan dan perlindungan HAM telah menjadi agenda MPR sejak awal orde
baru tahun 1966. Melalui surat Nomor 1/Pan.IV/ MPRS/1966 tanggal 7 Desember
1966 Panitia Ad Hoc IV MPRS, Panitia ini dibentuk berdasarkan ketetapan MPRS
No.A3/1/23/MPRS/1966, telah menyelesaikan Rancangan Keputusan Pimpinan
tentang Piagam Hak Asasi Manusia dan Hak-hak serta kewajiban warganegara.
Berdasarkan Mukadimah Rancangan Piagam tersebut dapat dilihat kebijakan
tentang HAM pada waktu itu yaitu melindungi hak kebebasan sebagai HAM
sebagaimana terlihat di dalam alinea ketiga Rancangan Piagam tersebut yang
menyatakan:
“Oleh karena kebebasan serta tanggungjawab itu sifatnya hakiki bagi setiap
manusia, baik dalam kehidupan pribadi maupun dalam kehidupan sosial, maka
kemerdekaan itu adalah menjadi hak semua manusia dan semua bangsa dan
penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena berlawanan dengan
perikemanusiaan dan perikeadilan”. Namun, sangat disayangkan, bahwa Rancangan
Piagam Hak Asasi Manusia tersebut tidak ditindak lanjuti dengan Ketetapan MPR,
barulah pada tahun 1998 MPR sesuai dengan tuntutan reformasi MPR membuat
ketetapan tentang perlunya perlindungan HAM di Indonesia.
TAP MPR Nomor XVII/MPR/1998 dari segi isinya memberi arahan tentang
politik hukum tentang HAM di Indonesia guna memberikan pengertian,
perlindungan dan penghargaan yang ditujukan kepada negara dan aparatur
pemerintah. Hal ini dimaklumi karena kewajiban untuk melindungi dan menghargai
HAM merupakan tanggungjawab pemerintah sebagai pihak pemerintah. Sebab tidak
jarang terjadi pelanggaran HAM secara vertikalah yang sering terjadi, karena
pemahaman negara atau pemerintah memiliki kekuasaan yang terkadang mengarah ke
absolut sehingga HAM terkadang tidak diperhitungkan demi kepentingan dan tujuan
negara. Konsekuensi dari ketentuan ini dapat dimaklumi, karena pelanggaran HAM
18
secara vertikalah lebih banyak terjadi dan berdampak luas bila dibandingkan dengan
pelanggaran HAM secara horizontal.
Dengan lahirnya TAP MPR ini maka semakin jelaslah, bahwa negara
Indonesia adalah negara hukum sehingga seluruh aparatur negara dan seluruh
institusi negara menjalankan fungsi dan tugasnya haruslah berdasarkan hukum bukan
berdasarkan kekuasaan semata-mata.
3. Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM
Sejarah bangsa Indonesia hingga kini telah mencatat berbagai penderitaan,
kesengsaraan dan kesenjangan sosial yang disebabakan oleh prilaku tidak adil dan
dikriminatif atas dasar etnik, ras, warna kulit, budaya, bahasa, agama, golongan, jenis
kelamin dan status sosial lainnya. Prilaku tidak adil dan diskriminatif tersebut
merupakan pelanggaran hak asasi manusia, baik yang bersifat vertikal (dilakukan oleh
aparat negara terhadap terhadap warga negara atau sebaliknya). Maupun horizontal
(antara warga negara sendiri) dan tidak sedikit yang masuk dalam kategori
pelanggaran hak asasi manusia yang berat (gross violation of human right).38
Pada kenyataannya selama lebih lima puluh tahun usia Republik Indonesia,
pelaksanaan penghormatan, perlindungan, atau penegakan hak asasi manusia masih
jauh dari memuaskan. Hal ini tercermin dari kejadian-kejadian berupa penangkan
yang tidak sah, penculikan, penganiayaan, perkosaan., penhilangan paksa, bahkan
pembunuhan, pembakaran rumah tinggal dan tempat ibadah penyerangan pemuka
agama beserta keluarganya.39 Selain itu terjadi pula penyalahgunaan kekuasaan oleh
pejabat publik dan aparat negara yang seharusnya menjadi penegak hukum40.
Kebijakan tentang Hak Asasi Manusia dapat dilihat dalam penjelasan umum
Undang-undang HAM. Pada alenia pertama penjelasan umum ditegaskan bahwa
merupakan kewajiban bagi negara, pemerintah, atau organisasi apa pun untuk
mengakui dan melindungi HAM pada setiap manusia tanpa kecuali. Ini berarti HAM
harus selalu menjadi titik tolak dan tujuan dalam penyelenggaraan kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pelaksanaan penghormatan dan
yang tidak mungkin disembuhkan dalam jangka waktu singkat. Apalagi jika tidak disertai dengan
tindakan nyata dengan menghukum orang-orang yang terlibat dalam pelanggaran HAM, khususnya
dari pihak aparat.
19
penghargaan terhadap HAM di Indonesia bahwa Pertimbangan UUHAM
memberikan penjelasan tentang politik hukum tentang HAM di Indonesia ditegaskan
bahwa negara Indonesia sebagai anggota PBB menyadari tanggungjawabnya untuk
menjunjung tinggi dan melaksanakan Deklarasi Universal tentang HAM. Sebagai
tindak lanjut pertanggungjawaban itu, negara Indonesia melahirkan UUHAM.
Berdasar pertimbangan ini terlihat jelas komitmen negara Indonesia untuk menjaga
dan menghormati serta menegakkan HAM di Indonesia.
Berdasar uraian di atas, hal-hal yang menjadi dasar pemikiran terbentuknya
undang-undang Hak Asasi manusia adalah sebagai berikut:41
a. Tuhan Yang Maha Esa adalah pencipta alam semesta dengan segala isinya;
b. pada dasarnya manusia dianugerahi jiwa, bentuk, struktur, kemampuan,
kemauan serta berbagai kemudahan oleh Penciptanya, untuk menjamin
kelanjutan hidupnya;
c. untuk melindungi, mempertahankan, dan meningkatkan martabat manusia,
diperlukan pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia, karena tanpa hal
tersebut manusia akan kehilangan sifat dan martabatnya , sehingga dapat
mendorong manusia menjadi serigala bagi manusia lainnya (homo homini lupus);
d. karena manusia merupakan makhluk sosial maka hak asasi manusia yang satu
dibatasi oleh hak asasi manusia yang lain, sehingga kebebasan atau hak asasi
manusia bukanlah tanpa batas;
e. hak asasi manusia tidak boleh dilenyapkan oleh siapapun dan dalam keadaan
apa pun;
f. setiap hak asasi manusia mengandung kewajiban untuk menghormati hak
asasi manusia yang lain, sehingga di dalam hak asasi manusia manusia
terdapat kewajiban dasar;
g. hak asasi manusia harus benar-benar dihormati, dilindungi dan ditegakkan
dan untuk pemerintah, aparatur negara dan pejabat publik lainnya
mempunyai kewajiban dan tanggungjawab menjamin terselenggaranya
pernghormatan, perlindungan dan penegakan hak asasi manusia.
20
4. Undang-undang No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM
21
kekuasaan dan pelanggaran hak asasi manusia pada masa lampau, dan melaksanakan
rekonsiliasi dalam perspektif kepentingan bersama sebagai bangsa.
G. Penutup
Berdasar uraian di atas, dapat disebutkan bahwa hak telah terpatri sejak
manusia lahir dan melekat pada siapa saja, diantaranya adalah hak kemerdekaan, hak
makhluk dan harkat kemanusiaan, hak cinta kasih sesama, hak indahnya keterbukaan
dan kelapangan, hak bebas dari rasa takut, hak nyawa, hak rohani, hak kesadaran, hak
untuk tentram, hak untuk memberi, hak untuk menerima, hak untuk dilindungi dan
melindungi dan sebagainya.
Oleh karena manusia merupakan makhluk sosial, maka hak-hak asasi
manusia yang satu dibatasi oleh hak asasi manusia yang lain, sehingga kebebasan
atau hak asasi manusia bukanlah tanpa batas.
Hak asasi manusia tidak boleh dilenyapkan oleh siapapun dan dalam keadaan
apapun. Dengan demikian setiap hak asasi manusia mengandung kewajiban untuk
menghormati hak asasi manusia yang lain, sehingga di dalam hak asasi manusia
manusia terdapat kewajiban dasar.
Dalam rangka melindungi hak asasi manusia, maka dibentuklah peraturan
perundang-undangan tentang HAM yaitu untuk hukum materiilnya dengan
Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. Undang-undang ini
menitikberatkan pada perlindungan harkat dan martabat manusia secara terinci dan
komprehensif. Sedangkan hukum formilnya adalah Undang-undang No. 26 Tahun
2000 Tentang Pengadilan HAM. Kedua peraturan ini dalam tingkatan peraturan
perundang-undangan nasional merupakan penjabaran operasional dari Undang-
undang Dasar 1945.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Hakim Garuda Nusantara, Politik Hukum Indonesia, Yayasan LBHI, Jakarta,
1988.
Aloysius Uwiyono, Hak Mogok di Indonesia, Universitas Indonesia, Fakultas Hukum
Program Pascasarjana, Jakarta, 2001.
22
A.S.S. Tambunan, Politik Hukum Berdasarkan UUD 1945, Jakarta: Puporis
Publishers, 2002,
A. Gunawan Setiardja, Hak-Hak Asasi Manusia Berdasarkan Ideologi Pancasila,
Kanisius, Yogyakarta, 1993.
Bagir Manan, Perkembangan Undang-undang Dasar 1945, Yogyakarta: FH UII Press,
2004.
Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi, Yogyakarta: FH UII Press, cet. Kedua, 2004.
Bambang Sunggono, Aries Hartanto, Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia, Mandar
Maju, Bandung, 2001.
Dadang Juliantara, 1999, Jalan Kemanusiaan Panduan Untuk Memperkuat Hak Asasi
Manusia, Pustaka Lapera, Yogyakarta.
Dahlan Thaib, “Menuju Parlemen Bikameral: Studi Konstitusional Perubahan Ketiga
UUD 1945”, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Madya dalam Hukum Tata
Negara, Yogyakarta: UII, 4 Mei 2002.
David Kairsy (ed). The Politics of Law, A Progressive Critique, New York: Pantheon
Books, 1990.
George Clack dan Kathleen Hug, ed., Hak Asasi Manusia, Suatu Pengantar,
terjemahan, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1998.
Hikmahanto Juwono, Politik Hukum Undang-undang Bidang ekonomi di
Indonesia, Hand Out kuliah Kebijakan Pembangunan Hukum Program
Doktor (S3) UII.
James W. Nickel., Making Sense of Human Rights Philosophical Reflection on the Universal
Declaration of Human Rights, Terjemahan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,
1996.
Jimly Asshiddiqie, Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat, Pusat
Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002.
Jimly Assiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta: mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia dan Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas
Hukum Universitas Jakarta, 2004.
Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD
1945, Yogyakarta: FH UII Press, 2004.
LJ. van Appeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum (terjemahan Supomo), Jakarta: Pradnya
Paramitha, cet. Ke-18, 1981.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Deklarasi Viena Program Aksi, Konferensi Dunia
Hak Asasi Manusia, Jakarta, 1997.
Mansour Fakih, et.al, Menegakkan Keadilan dan Kemanusiaan, Insist, Yogyakarta, 2003.
Mukthie Fadjar, Reformasi Konstitusi Dalam Masa Transisi Paradigmatik, Malang:
In-Trans, 2003.
Mulyana W. Kusumah, “Kalkulasi Seputar Reformasi Konstitusi”, Radar Jogya, 24 Juli
2002.
Moh. Mahfud MD, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta, 2000.
Moh. Mahfud MD, “Politik Hukum Hak Azasi Manusia di Indonesia”, Pidato
Pengukuhan dalam jabatan Guru Besar”, Universitas Islam Indonesia
Yogyakarta, 23 September 2000.
-----------------, Politik Hukum di Indonesia, cet. Kedua, Jakarta: LP3ES, 2001.
-----------------, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, cet. Pertama, Yogyakarta:
Gama Media, 1999.
23
-----------------, Hukum dan Pilar-pilar Demokrasi, Yogyakarta: Gama Media, 1999.
Philipus M.Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Sebuah Studi tentang
Prinsip-prinsipnya, Penanganannya oleh Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan
Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi Negera, Bina Ilmu, Surabaya,
1987.
Sobirin Malian, Gagasan Perlunya Konstitusi Baru Pengganti UUD 1945, Yogyakarta: UII
Press, 2001.
Teuku Muhammad Radhie dalam majalah PRISMA, no. 6 tahun keI-II, Desember
1973.
Tim ICCE UIN Jakarta, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, Masyarakat Madani, 2003.
T.Mulya Lubis, Hak Asasi Manusia dan Pembangunan, Yayasan LBHI, Jakarta, 1987.
Udiyo Basuki, “Dinamika konstitusi Indonesia” ( Refleksi Yuridis atas Proses dan
hasil amandemen UUD 1945, Sosio-Religia Jurnal Ilmu Agama dan Sosial,
Yogyakarta: LinkSAS, Vol. 1, No. 4 Agustus 2002.
Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.
Undang-undang No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Zulfirman, “Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Hukum Indonesia”, Makalah, 2005.
24