You are on page 1of 6

Vol. II.

17/I/P3DI/September 2010

KONTROVERSI PEMBERIAN REMISI DAN GRASI


KEPADA TERPIDANA KASUS KORUPSI

Pendahuluan

Sebagaimana peringatan Hari Kemerdekaan sebelumnya, pada Hari Ulang Tahun (HUT) ke-
65 Republik Indonesia (RI) juga ada pemberian remisi dan grasi bagi para narapidana, baik
narapidana yang melakukan tindak pidana umum maupun tindak pidana khusus, seperti korupsi.
Remisi yang diberikan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia kepada sejumlah terpidana
korupsi yang merupakan mantan pejabat birokrat dan parlemen menuai kontroversi dan kritikan tajam.
Pemberantasan korupsi kemudian dinilai hanya menjadi kosmetik pencitraan Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono (Presiden SBY)
Pada pidato kenegaraan di Gedung Majelis Permusyawaratan Rakyat/Dewan Perwakilan
Rakyat (MPR/DPR) baru-baru ini, Presiden SBY berulang kali mengatakan bahwa pemberantasan
korupsi menjadi prioritas. Oleh karena itu, pemberian grasi bagi koruptor menuai kekecewaan publik.
Instrumen grasi, amnesti, abolisi, maupun rehabilitasi telah diatur di dalam konstitusi. Begitu juga
asimilasi dan remisi juga telah diatur dalam peraturan pemerintah. Namun instrumen tersebut telah
menimbulkan kontroversi dan dinilai menyinggung rasa keadilan publik karena koruptor turut
menikmati fasilitas “diskon” penjara.

Terpidana Penerima Grasi dan Remisi

Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) memberikan remisi (potongan masa tahanan)
kepada 58.400 narapidana (napi) di seluruh Indonesia pada peringatan Hari Ulang Tahun Ke-65 RI. Di
antara napi tersebut, 11 napi tindak pidana korupsi yang menerima Remisi Umum (RU) langsung
dinyatakan bebas pada 17 Agustus kemarin. Menteri Hukum dan HAM, Patrialis Akbar menyebutkan,
napi tindak pidana korupsi itu termasuk dalam 4.788 napi di seluruh Indonesia yang menerima Remisi
Umum (RU). Sedangkan yang menerima Remisi Umum I, yaitu potongan masa tahanan selama 1-6
bulan berjumlah 53.612 napi.
Dalam suatu kesempatan, saat melakukan siaran pers usai pengumuman remisi di hadapan
sejumlah napi di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Kelas I Tangerang, Banten, Patrialis Akbar
menjelaskan bahwa napi tindak pidana khusus yaitu korupsi, terorisme, narkotika, dan kejahatan
transnasional juga mendapat remisi. Beliau kemudian menyebutkan rincian jumlah terpidana tindak
pidana khusus yang mendapat remisi antara lain sebagai berikut:
1. Narapidana kasus korupsi berjumlah 471 orang dan tahanan korupsi (belum inkraacht) 307
orang. Narapidana tindak pidana korupsi yang mendapat Remisi Umum (RU) II dan langsung
bebas berjumlah 11 orang, dan narapidana tindak pidana korupsi yang mendapat Remisi
Umum (RU) I yaitu potongan masa tahanan selama 1-6 bulan berjumlah 330 orang.
2. Narapidana kasus terorisme berjumlah 113 orang. Narapidana tindak pidana terorisme yang
mendapat Remisi Umum (RU) I berjumlah 53 orang dan tidak ada yang langsung dinyatakan
bebas.
3. Narapidana kasus narkotika berjumlah 21.209 orang. Narapidana tindak pidana narkotika yang
mendapat Remisi Umum (RU) II dan langsung bebas berjumlah 466 orang, dan narapidana
tindak pidana narkotika yang mendapat Remisi Umum (RU) I berjumlah 9.547 orang.
4. Narapidana untuk kejahatan transnasional seperti illegal logging dan human trafficking saat ini
berjumlah 505 orang. Narapidana untuk kejahatan ini mendapat Remisi Umum (RU) I
berjumlah 1.373 orang dan Remisi Umum II berjumlah 22 orang.
Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) juga memberikan remisi kepada Warga
Negara Asing (WNA) dari sejumlah negara yang menjadi napi di Tanah Air. Di antaranya, 22 napi dari

1
Malaysia, 18 dari Singapura, 29 dari Republik Rakyat Cina (RRC), 38 dari Taiwan, 20 dari Vietnam,
10 dari Papua Nugini, dan dari sejumlah negara lainnya 246 napi.
Menurut Patrialis, tidak ada pertimbangan lain pemberian remisi selain masa penahanan dan
perilaku di bui, termasuk untuk para koruptor. Pertimbangan itu berdasarkan aturan hukum saja.
Artinya, semua orang yang memenuhi kategori kualifikasi, haknya harus diberikan oleh negara.
Beberapa nama besar terpidana kasus korupsi yang mendapat grasi dan remisi tahun ini
antara lain:
1. Mantan Bupati Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, Syaukani Hassan Rais, terpidana
penyalahgunaan dana studi kelayakan Bandara Kutai, dana pembangunan Bandara Kutai, dan
penyalahgunaan dana pos anggaran kesejahteraan masyarakat, sepanjang 2001-2005
sejumlah Rp 93,204 miliar. Vonis: 6 tahun penjara. Grasi: 3 tahun.
2. Mantan Gubernur Jawa Barat, Danny Setiawan, terpidana kasus korupsi pengadaan mobil
pemadam kebakaran pada 2003. Vonis: 4 tahun penjara. Remisi: dua bulan 10 hari.
3. Mantan anggota DPR, Al Amin Nur Nasution, terpidana proyek alih fungsi hutan lindung
menjadi pelabuhan Tanjung Api-api, Sumatera Selatan. Vonis: delapan tahun penjara. Remisi:
tiga bulan.
4. Mantan Dirut Perum Bulog, Widjanarko Puspoyo, terpidana kasus korupsi ekspor beras ke
Afrika Selatan dan menerima hadiah dari rekanan. Vonis: 10 tahun penjara. Remisi: satu
bulan.
5. Mantan Anggota Komisi Yudisial, Irawady Yunus, dinyatakan bersalah menerima gratifikasi
dalam kasus penjualan lahan untuk pembangunan gedung Komisi Yudisial. Vonis: delapan
tahun penjara. Remisi: lima bulan.
6. Mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia, Aulia Pohan, terpidana kasus korupsi aliran dana BI.
Vonis: tiga tahun penjara. Remisi: tiga bulan.
7. Mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia, Maman Soemantri, terpidana kasus korupsi aliran
dana BI. Vonis: tiga tahun penjara. Remisi: tiga bulan.
8. Mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia, Bunbunan Hutapea, terpidana kasus korupsi aliran
dana BI. Vonis: tiga tahun penjara. Remisi: tiga bulan.
9. Mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia, Taslim Tadjudin, terpidana kasus korupsi aliran
dana BI. Vonis: tiga tahun penjara. Remisi: tiga bulan.
10. Mantan Gubernur Riau, Brigjen (Purn) TNI, Saleh Djasit, mantan anggota DPR terpidana
kasus korupsi pengadaan mobil pemadam kebakaran. Vonis: empat tahun penjara. Bebas.
11. Mantan anggota Komisi V DPR, Bulyan Royan, terpidana kasus suap proyek pengadaan kapal
patroli. Vonis: 6 tahun penjara. Remisi: dua bulan.

Kontroversi Pemberian Remisi dan Grasi Kepada Koruptor

Menteri Hukum dan HAM (Menkumham), Patrialis Akbar, menegaskan, pemberian remisi dan
grasi kepada para koruptor dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yaitu
diantaranya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Lembaga Pemasyarakatan, Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi, dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006
tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara
Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.
Patrialis mengatakan bahwa remisi merupakan hak semua orang dan dilakukan atas dasar
kemanusiaan. Patrialis tidak keberatan jika koruptor tidak diberi remisi, namun peraturan perundang-
undangan harus diubah terlebih dahulu di mana DPR RI memiliki wewenang untuk mengubah UU.
Remisi merupakan hak narapidana dan kewajiban pemerintah adalah memberikan remisi tersebut
dengan berlandaskan pada hukum. Pemerintah dapat digugat jika tidak memberikan remisi. Hal
tersebut pernah terjadi, yaitu pemerintah digugat di Pengadilan Tata Usaha Negara dan kalah.
Sedangkan mengenai grasi, Kepala Biro Humas Hubungan Luar Negeri dan Hak Asasi
Manusia, Martua Batubara dalam siaran pers menyatakan bahwa pemberian grasi kepada narapidana
adalah kewenangan presiden dengan pertimbangan Mahkamah Agung. Hal tersebut diatur dalam
Undang-Undang (UU) No 22 tahun 2002 tentang Grasi yang menyebutkan presiden diberi

2
kewenangan untuk memberikan pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan atau
penghapusan pelaksanaan pidana seseorang dengan pertimbangan Mahkamah Agung.
Martua mengemukakan bahwa kebijakan pemberian grasi, remisi, dan pembebasan bersyarat
kepada sejumlah napi korupsi sampai Agustus 2010 sudah sesuai dengan hukum dan prinsip-prinsip
universal Hak Asasi Manusia yang termuat dalam resolusi sidang majelis umum PBB tahun 1990.
Resolusi tersebut mengamanatkan bahwa setiap narapidana harus diperlakukan sesuai dengan
prinsip-prinsip kehormatan dan kemuliaan manusia yang universal. Selain itu, setiap narapidana harus
terbebas dari segala bentuk diskriminasi dengan alasan etnis, agama, latar belakang budaya,
termasuk jenis kasus pidananya.
Beberapa tokoh menanggapi secara kritis pemberian remisi kepada terpidana kasus korupsi,
diantaranya Anggota Komisi III asal Fraksi Partai Gerindra, Martin Hutabarat, yang mengatakan,
bahwa pemerintah seharusnya tidak memberikan remisi kepada para koruptor. Menurut Martin,
pengurangan hukuman mengurangi efek jera kepada para koruptor. ”Dalam memberikan remisi
ataupun bentuk keringanan hukuman lain, pemerintah diminta untuk menyampaikan secara
transparan ukuran-ukurannya sehingga seorang koruptor berhak mendapatkannya. Hal tersebut perlu
dilakukan untuk mengantisipasi pemberian remisi menjadi mata pencaharian orang dalam”. Anggota
Komisi III DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Nasir Djamil juga memberi pandangan
serupa, ia mengatakan, "kebijakan pemberian remisi oleh presiden kepada para koruptor dapat
mengakibatkan langgengnya perilaku koruptif, sebab kebijakan tersebut akan menghilangkan efek
jera bagi koruptor. Kebijakan itu juga membuka peluang korupsi di lingkungan Lembaga
Pemasyarakatan.”
Dalam satu kesempatan di gedung DPR, Senayan, Anggota Komisi III DPR lainnya, Bambang
Soesatyo, meminta Menteri Hukum dan HAM, Patrialis Akbar, menjelaskan kepada DPR mengenai
remisi yang diberikan presiden kepada sejumlah koruptor. Bambang mengecam keras pemberian
keringanan hukuman tersebut kepada para koruptor.
Wakil Ketua DPR Pramono Anung juga menyampaikan hal senada, Politisi senior PDI
Perjuangan ini pun mengaku terkejut dengan pemberian remisi terhadap sejumlah koruptor seperti
Arthalyta Suryani. Untuk itu, DPR akan meminta klarifikasi kepada Patrialis. Pramono menilai sikap
pemerintah ini adalah kado yang buruk bagi penegakan hukum di Indonesia. Padahal, pada pidato
kenegaraan 16 Agustus 2010, SBY telah menyatakan perang melawan korupsi.
Organisasi masyarakat seperti Indonesia Corruption Watch (ICW) juga menyesalkan
pemberian remisi bagi narapidana kasus korupsi di Hari Ulang Tahun (HUT) RI ke-65. Wakil
Koordinator ICW, Emerson Yuntho menegaskan bahwa terpidana kasus korupsi sama sekali tidak
layak mendapat remisi karena korupsi adalah kejahatan luar biasa, sama dengan terorisme.
Menurut Emerson, remisi para koruptor sangat potensial untuk dikorupsi. Maksudnya, para
koruptor bisa saja ”bermain” dengan petugas Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) atau pejabat di
Dirjen Pemasyarakatan. Emerson melihat ada praktek jual beli hukum di balik pemberian remisi ini.
Oleh karena itu, ia meminta Satgas Anti Mafia Hukum untuk turun tangan, kalau perlu membatalkan
pemberian remisi bagi para koruptor kakap. Menurutnya, pemberian remisi seharusnya melalui
mekanisme wajar dengan melihat tingkat kejahatan terpidana dan tidak begitu saja memberikan
remisi, apalagi kepada koruptor. Untuk itu pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat perlu
mengevaluasi tata cara pemberian remisi, baik di HUT RI maupun hari besar keagamaan.

Usul Perubahan Peraturan Perundang-Undangan Terkait Remisi dan Grasi

Pemberian remisi dan grasi sebenarnya bukan hal baru. Setiap tahun, saat hari kemerdekaan
dan hari-hari besar keagamaan, ratusan bahkan mungkin ribuan narapidana menerima remisi meski
tak banyak pula yang menerima grasi. Pertimbangannya tentu banyak hal, antara lain bersikap baik
selama di tahanan dan sudah menjalani sepertiga masa hukumannya. Semua pertimbangan itu lazim
diperhatikan bagi pelaku kejahatan atau tindak kriminal biasa.
Persoalan muncul manakala pertimbangan remisi dan grasi yang diatur dalam Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2006, juga diberlakukan kepada narapidana tindak pidana korupsi,
padahal korupsi tergolong extraordinary crime (kejahatan yang luar biasa). Alhasil, sejumlah tervonis

3
koruptor yang sudah menjalani masa hukumannya ikut masuk dalam kategori penerima remisi,
apalagi berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2006, narapidana koruptor bisa
memperoleh remisi jika uang negara yang dikorupsi nilainya di bawah Rp 1 miliar. Selain itu, hukuman
yang diterimanya di bawah dua tahun penjara.
Kontroversi pun muncul. Koruptor adalah kejahatan yang merusak tatanan negara dan
bangsa, maka tidak sepantasnya para tervonis menerima remisi, apalagi grasi. Pemberian remisi dan
grasi bagi narapidana korupsi sama halnya dengan memperberat upaya pemberantasan korupsi.
Sudah vonis hukumannya tidak berefek jera, mendapat remisi pula. Dengan kondisi tersebut, sulit
diharapkan korupsi di negara ini bisa diberantas. Pandangan lain melihat apa yang dilakukan
pemerintah sudah mempunyai dasar hukum yang kuat, yaitu PP No. 28 Tahun 2006.
Pemberantasan korupsi tidak semestinya terus-menerus dihantui kontroversi remisi dan grasi.
Kekhawatiran terkait keseriusan pemerintah memberantas korupsi jika remisi dan grasi diberikan
tanpa pertimbangan matang sudah sepatutnya diperhatikan. Untuk itu, sudah selayaknya aturan
tentang hukuman serta persyaratan penerima remisi dan grasi ditinjau ulang dan direvisi.
Revisi itu bisa dimulai dengan mengkaji seberapa berat ancaman hukuman bagi para terdakwa
korupsi. Semakin berat ancaman hukumannya, boleh jadi semakin kuat efek jera yang timbul,
misalnya penjara seumur hidup. Bersamaan dengan itu, supaya efek jera bisa benar-benar efektif,
sudah saatnya aturan tentang persyaratan penerima remisi, apalagi grasi, bagi narapidana korupsi
diperberat sehingga pemerintah tidak setiap tahun memberikan remisi dan grasi. Jangan sampai
pemberian remisi dan grasi justru melemahkan semangat untuk memberantas korupsi lantaran
tervonis korupsi bisa dengan mudah kembali bebas.
Dalam kasus-kasus tertentu, misalnya sakit, aturannya tetap bisa dibuat seketat mungkin.
Alasan kemanusiaan saja (karena sakit parah dan sebagainya) tidak cukup menjadi satu-satunya
pertimbangan pemberian remisi dan grasi. Sebelum memutuskan memberi remisi atau grasi,
pemerintah bisa saja merujuk pada rumah sakit tertentu atau tim dokter independen untuk memeriksa
sekaligus memberikan pertimbangan medis. Ini bisa diperkuat lagi, misalnya, dengan meminta
pertimbangan Mahkamah Agung.
Pemberantasan korupsi tak boleh surut, adalah kewajiban seluruh elemen bangsa khususnya
pemerintah, untuk menjaga itu. Aturan persyaratan pemberian remisi dan grasi tak pelak perlu direvisi.
Demi keadilan, rasanya, tervonis korupsi tak bisa disamakan dengan pelaku kriminal biasa. Terkait hal
ini, berbagai kalangan telah mendesak pemerintah agar segera merevisi aturan pemberian remisi bagi
para terpidana kasus korupsi, diantaranya:
1. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI)
Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Marzuki Alie, setuju terhadap usulan penghapusan
remisi bagi terpidana kasus korupsi. Beliau mengatakan, pemberian remisi, termasuk yang diberikan
kepada terpidana kasus korupsi sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan, oleh karenanya
pemberian remisi bukan merupakan pelanggaran. Peraturan perundang-undangan tersebut dapat
diubah jika remisi dikatakan menyakiti rasa keadilan.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Nasir Jamil juga memiliki
pandangan tentang hal ini, Nasir bahkan meminta pemerintah merevisi PP No. 28 Tahun 2006 yang
mengatur soal pemberian remisi bagi koruptor. Menurut Nasir, aturan remisi untuk koruptor yang ada
saat ini bertolak belakang dengan semangat pemberantasan korupsi yang didengung-dengungkan
pemerintah. Peraturan Pemerintah tersebut perlu direvisi karena kurang tegas terhadap koruptor.
Nasir menilai, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2006 yang mengatur soal
pemberian remisi saat ini mencerminkan dua wajah pemerintah. Satu wajah mencitrakan semangat
tinggi pemberantasan terhadap korupsi, namun sisi lain bersifat permisif terhadap koruptor. Nasir
yakin, sejak awal, Peraturan Pemerintah tersebut dibuat kompromistis bagi koruptor. Hal ini terlihat
dalam Pasal 34 ayat (3) Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2006 yang berbunyi sebagai
berikut:
“Bagi Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme, narkotika dan

4
psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara dan kejahatan hak asasi manusia yang
berat, dan kejahatan transnasional terorganisasi lainnya, diberikan Remisi apabila memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
a. berkelakuan baik; dan
b. telah menjalani 1/3 (satu per tiga) masa pidana.”
Sependapat dengan Marzuki Alie dan Nasir Jamil, Anggota Komisi III DPR dari FPDIP, Gayus
Lumbuun juga mengatakan “Peraturan Pemerintah tentang remisi memang sudah harus diubah,
penekanannya pada faktor deterrent untuk menjerakan pelaku kejahatan". Selama ini remisi diusulkan
oleh pembina napi di Lembaga Pemasyarakatan dengan syarat kelakuan baik dan lama masa
tahanan. Dalam PP yang sama, selain remisi diatur pula hak napi untuk mendapat tiga bulan cuti
masa tahanan serta pembebasan bersyarat.

2. Indonesia Corruption Watch (ICW)


Koordinator Investigasi Indonesia Corruption Watch (ICW), Tama S Langkun menegaskan,
remisi dan grasi tidak diberikan kepada koruptor karena pemberian keringanan hukuman atau bahkan
pengampunan untuk koruptor akan meniadakan efek jera bagi pelaku korupsi, padahal korupsi
tergolong kejahatan kemanusiaan luar biasa yang berdampak pada segala aspek.
Anggota Indonesia Corruption Watch (ICW), Febri Diansyah juga mengatakan, semua regulasi
tentang remisi dan grasi yang menguntungkan koruptor harus direvisi secara komprehensif karena
banyak mengandung celah hukum. Sebagaimana diketahui, aturan pemberian remisi selama ini
didasarkan pada PP No. 28 Tahun 2006, ditentukan bahwa narapidana tindak pidana korupsi berhak
mendapat remisi apabila memenuhi persyaratan berkelakuan baik dan telah menjalani 1/3 (satu per
tiga) masa pidana. Narapidana korupsi juga dapat diberi grasi oleh Presiden berdasarkan Undang-
Undang (UU) No 22 tahun 2002 tentang Grasi, semua terpidana dapat diberi Grasi, tak terkecuali
terpidana kasus korupsi. Selain itu, narapidana kasus korupsi juga dapat diberi cuti menjelang bebas
selama tiga bulan, hal ini secara eksplisit diatur dalam Pasal 42A ayat (3) PP No. 28 Tahun 2006 yang
berbunyi sebagai berikut:
“Bagi Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme, narkotika dan
psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara dan kejahatan hak asasi manusia yang
berat, dan kejahatan transnasional terorganisasi lainnya, diberikan Cuti Menjelang Bebas oleh Menteri
apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. telah menjalani sekurang-kurangnya 2/3 (dua per tiga) masa pidana, dengan ketentuan 2/3 (dua
per tiga) masa pidana tersebut tidak kurang dari 9 (sembilan) bulan;
b. berkelakuan baik selama menjalani masa pidana sekurang-kurangnya 9 (sembilan) bulan terakhir
dihitung dari tanggal 2/3 (dua per tiga) masa pidana;
c. lamanya Cuti Menjelang Bebas sebesar Remisi terakhir, paling lama 3 (tiga) bulan; dan
d. telah mendapat pertimbangan dari Direktur Jenderal Pemasyarakatan.”

3. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)


Selain Dewan Perwakilan Rakyat dan Indonesia Coruption Watch, Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) juga tidak ketinggalan dalam menyuarakan agar dilakukan revisi terhadap peraturan
tentang remisi ini. Haryono Umar, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),
menyampaikan, aturan pemberian remisi yang ada sekarang tak memenuhi rasa keadilan
masyarakat. Untuk itu perlu dipikirkan bagaimana agar supaya aturan tersebut bisa lebih baik.
Haryono mencontohkan harapan masyarakat soal hukuman berat bagi koruptor yaitu munculnya
wacana hukuman mati bagi koruptor beberapa waktu lalu. Sebagian ulama bahkan berpendapat jasad
koruptor tak boleh disalatkan. Menurut Haryono, jika hukuman koruptor diringankan, hal itu bisa
mempengaruhi persepsi masyarakat soal korupsi, faktanya indeks persepsi korupsi, dari tahun ke
tahun nilainya tetap rendah.

Prianter Jaya Hairi


yanter_0610@yahoo.com

5
Rujukan:
1. Undang-Undang (UU) No 22 tahun 2002 tentang Grasi
2. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Lembaga Pemasyarakatan.
3. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah
Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan
Pemasyarakatan.
4. Pemberantasan Korupsi Hanya Kosmetik SBY, http://www.inilah.com/news/read/politik/2010/
08/21/759041/http://www.inilah.com/news/read/politik/2010/pemberantasan-korupsi-hanya-
kosmetik-sby/http://www.inilah.com/news/read/politik/2010/, diakses tanggal 30 Agustus 2010.
5. Koruptor Tak Layak Dapat Remisi, http://nasional.kompas.com/read/2010/08/20/17573346/
Koruptor.Tak.Layak.Dapat.Remisihttp://nasional.kompas.com/read/2010/08/20/17573346/,
diakses tanggal 30 Agustus 2010.
6. Koruptor, Aulia Pohan Tak Layak Dapat Remisi, http://jakartapress.com/www.php/news/
id/http://jakartapress.com/www.php/news/ 15645/http://jakartapress.com/www.php/news/PKS-
Koruptor-Aulia-Pohan-Tak-Layak-Dapat-Remisi.jphttp://jakartapress.com/www.php/news/,
diakses tgl 30 Agustus 2010.
7. Bambang Soesatyo: Menkumham Harus Jelaskan Obral Remisi Koruptor,
http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/politik/10/08/22/131285-bambang-soesatyo-
menkumham-harus-jelaskan-obral-remisi-untuk-koruptor, diakses tanggal 30 Agustus 2010.
8. Pramono Pertanyakan Bebasnya Aulia Pohan, http://www.metrotvnews.com/index.php/
metromain/news/2010/08/23/26824/Pramono-Pertanyakan-Bebasnya-Aulia-
Pohanhttp://www.metrotvnews.com/index.php/, diakses tanggal 30 Agustus 2010.
9. 341 Koruptor Dapat Remisi, http://bataviase.co.id/node/346446, diakses tgl 30 Agustus 2010.
10. Dapat Remisi, 11 Napi Korupsi Bebas, http://www.mediacenterkopukm.com/detail-berita.php?
bID=8613, diakses tanggal 30 Agustus 2010.
11. Perketat Aturan Remisi Koruptor!, http://korupsi.vivanews.com/news/read/172511-perketat-
aturan-remisi-koruptor-, diakses tanggal 30 Agustus 2010.
12. Patrialis: Remisi Koruptor Sesuai UU, http://www.republika.co.id/berita/breakingnews/hukum/
10/08/20/131115-patrialis-remisi-koruptor-sesuai-uu, diakses tgl 30 Agustus 2010.
13. Kemenkumham: Pemberian Grasi kepada Napi Wewenang Presiden,
http://bataviase.co.id/node/355561, diakses tanggal 30 Agustus 2010.
14. Revisi Aturan Remisi, http://koran.republika.co.id/koran/0/117844/Revisi_Aturan_Remisi,
diakses tanggal 30 Agustus 2010.
15. Marzuki Alie Sepakat Remisi Koruptor Dihapus, http://news.id.msn.com/
okezone/regional/article.aspx?cp-documentid=4291907http://news.id.msn.com/, diakses
tanggal 30 Agustus 2010.
16. Pemerintah Didesak Revisi Peraturan Soal Remisi, http://www.republika.co.id/berita/breaking-
news/nasional/10/08/23/131451-pemerintah-didesak-revisi-peraturan-soal-remisi, diakses
tanggal 30 Agustus 2010.
17. Remisi dan grasi koruptor dipersoalkan, http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/
2010/08/100820_grasiremisifoul.shtmlhttp://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/,
diakses tanggal 30 Agustus 2010.
18. KPK Usulkan Revisi Aturan Pemberian Remisi, http://ip52-210.cbn.net.id/
hg/hukum/2010/08/20/brk,20100820-272829,id.htmlhttp://ip52-210.cbn.net.id/, diakses tanggal
30 Agustus 2010.

You might also like