Professional Documents
Culture Documents
BAB 1
PENDAHULUAN
1
Sekuen Stratigrafi Emery dkk (1996)
2
Sekuen Stratigrafi Emery dkk (1996)
Sebelum The Rhythm of the Age diterbitkan, ahli-ahli geologi Eropa, khususnya Stille (1924), mengembangkan gagasan
mengenai ketidakselarasan global yang disebabkan oleh tektonik global. Dia juga menyatakan bahwa tektonik global itu juga
menimbulkan perubahan muka air laut global.
Pada awal abad 20 itu, sebagian ahli mulai menemukan adanya gejala pendauran berskala kecil (hingga beberapa meter)
dalam sedimen pengandung batubara yang berumur Karbon di Illinois dan Kansas. Pada 1935, setelah melakukan penelitian
terhadap perubahan-perubahan glacio-eustatic Plistosen, Wanles dan Shepard berpendapat bahwa siklotem pada strata Karbon
terbentuk akibat akumulasi dan pelelehan gletser Gondwana. Pendapat ini mengangkat kembali konsep kontrol glacio-eustatic
yang dicetuskan oleh Croll beberapa dekade sebelumnya.
Sejak itu, konsep daur sedimen pada berbagai skala mulai meruak ke permukaan. Namun, pada 1949 Gilully mengemuka-
kan bahwa orogenesis bukan merupakan proses episodik seperti yang dipahami para ahli geologi masa itu, melainkan proses
yang menerus. Pendapat Gilully, seorang ahli geologi terpandang waktu itu, banyak mempengaruhi pandangan para ahli geologi
lain. Akibatnya, siklotem kemudian ditafsirkan ulang sebagai produk autosiklis, yaitu sebagai hasil perpindahan lobus delta dari
waktu ke waktu. Inilah yang kemudian menyebabkan sedimentologi naik daun pada tahun 1960-an karena orang memandang
betapa pentingnya proses sedimentologi dalam menghasilkan daur sedimen. Menarik sekali apa yang dikemukakan oleh Dott
(1992) bahwa pada waktu itu banyak ahli stratigrafi lebih menyukai menyebut dirinya sebagai ahli sedimentologi.
3
Sekuen Stratigrafi Emery dkk (1996)
dan subsidensi telah dimasukkan atau tidak. Selain itu, keakuratan penentuan umur ketakselarasan seperti yang diimplikasikan
oleh diagram itu juga banyak dipertanyakan (a.l. Miall, 1991).
4
Sekuen Stratigrafi Emery dkk (1996)
BAB 2
KONSEP DAN PRINSIP SEKUEN STRATIGRAFI
2.1 PENDAHULUAN
Rekaman stratigrafi dan pola strata batuan sedimen merupakan produk interaksi antara tektonik, guntara, sedimentasi, dan
iklim. Interaksi tektonik dengan guntara mengontrol volume akomodasi (ruang yang tersedia untuk pengendapan sedimen).
Interaksi tektonik, guntara, dan iklim mengontrol volume sedimen yang akan diendapkan dalam akomodasi sehingga secara
tidak langsung menentukan volume akomodasi yang akan terisi oleh sedimen. Proses-proses sedimentasi autosiklis mengontrol
arsitektur sedimen pengisi cekungan.
Tulisan ini disusun untuk memperkenalkan prinsip-prinsip pembentukan, pengisian, dan penghancuran akomodasi. Setelah
itu, akan ditunjukkan bagaimana prinsip-prinsip itu digunakan untuk membagi rekaman stratigrafi ke dalam sejumlah sekuen dan
systems tract yang melukiskan penyebaran batuan dalam ruang dan waktu. Penjelasan disini ditujukan pada sistem silisiklastik.
Sistem karbonat akan dijelaskan pada Bab 10 karena sistem tersebut memiliki karakter yang berbeda dengan sistem silisiklastik.
5
Sekuen Stratigrafi Emery dkk (1996)
sabuk pegunungan yang sedang tumbuh umumnya besar serta memperoleh pasokan sedimen dalam jumlah dan laju yang
tinggi. Penghentian sementara pensesaran naik serta tererosinya sabuk pegunungan menyebabkan berkurangnya beban yang
dipikul oleh litosfir dan, pada gilirannya, menyebabkan cekungan terangkat.
Strike-slip basin tidak memiliki pola subsidensi yang khas. Walau demikian, secara umum laju subsidensi dan pengangkatan
pada cekungan itu sangat tinggi.
Gambar 2-2 menunjukkan kurva subsidensi dari dua cekungan nyata—yaitu Llanos Basin (Columbia, AS) dan South Viking
Graben—yang diperoleh dari hasil perhitungan. Di Llanos Basin, pasokan sedimen lebih tinggi daripada subsidensi. Karena itu,
cekungan tersebut terisi penuh oleh sedimen. Sedimen lain yang masuk ke dalam cekungan tersebut di-bypass menuju laut
yang lebih dalam. Kurva subsidensi cekungan itu menunjukkan bahwa subsidensi Jaman Kapur dan Tersier berlangsung lambat
dan ditafsirkan sebagai subsidensi termal dalam cekungan belakang busur. Dua kali penambahan laju subsidensi yang terjadi
pada Eosen Tengah-Akhir dan Miosen Tengah ditafsirkan terjadi pada dua fasa pembentukan Pegunungan Andes.
Di South Viking Graben, sebuah rift basin, sedimentasi tidak selalu sejalan dengan subsidensi tektonik. Pada Jaman Kapur,
cekungan ini kekurangan sedimen sehingga laju subsidensi lebih lambat daripada yang sewajarnya. Pada Jaman Tersier,
sewaktu daratan Skotlandia dan North Sea Basin terangkat, sedimen banyak diangkut ke dalam cekungan ini sehingga kembali
mengalami subsidensi (Milton dkk, 1990). Bagian-bagian lain dari cekungan ini kemudian terisi oleh sedimen sehingga akhirnya
terbentuk laut dangkal seperti keadaannya sekarang. Pemisahan fasa subsidensi syn-rift dan post-rift dalam cekungan ini sukar
dilakukan karena adanya perioda kekurangan sedimen yang menjadi perioda transisi dari kedua fasa tersebut (Milton, 1993).
Sewaktu subsidensi berlangsung cepat, batas-batas sekuen yang terbentuk akibat penurunan muka air laut akan terhapus
sehingga sukar dikenal. Di lain pihak, batas-batas sekuen yang terbentuk pada waktu subsidensi atau pengangkatan yang
lambat akan tampak jelas.
2.1.2 Konsep Tepian Cekungan
Hasil-hasil pengamatan seismik menunjukkan bahwa progradasi pada tepi cekungan sering memperlihatkan geometri yang
konsisten (gambar 2-3).
Topset adalah istilah yang digunakan untuk menamakan bagian puncak profil tepi cekungan yang bergradien rendah (< 1o).
Pada penampang seismik, topset tampak datar dan umumnya mengandung sistem pengendapan aluvial, delta, dan laut
dangkal. Garis pantai merupakan suatu titik pada topset. Titik itu dapat berimpit dengan offlap break, namun dapat pula terletak
ratusan kilometer lebih ke arah darat daripada offlap break. Titik-titik terminasi topset ke arah daratan disebut coastal onlap. Di
atas coastal onlap terdapat dataran pantai atau fasies paralik. Klinoform (clinoform) adalah istilah yang dipakai untuk menama-
kan bagian profil tepian cekungan yang lebih curam (umumnya > 1 o) serta terletak lebih ke arah cekungan dibanding topset.
Klinoform umumnya mengandung sistem pengendapan perairan yang lebih dalam dibanding topset serta bercirikan sistem
lereng. Kemiringan klinoform seringkali dapat diketahui dari data seismik. Bottomset adalah istilah yang dipakai untuk menama-
kan bagian profil tepi cekungan yang bergradien rendah dan mengandung sistem pengendapan laut dalam.
Titik dimana terjadi perubahan kemiringan pada profil tepi cekungan terletak antara topset dan klinoform. Titik itu disebut
offlap break (Vail dkk, 1991). Sebelumnya titik itu disebut shelf edge (Vail dan Todd, 1981; Vail dkk, 1984). Namun, istilah yang
disebut terakhir ini dapat menimbulkan kerancuan dengan istilah shelf break, yaitu tepi cekungan masa kini yang biasanya
bukan merupakan gejala pengendapan, melainkan gejala morfologi. Istilah depositional shoreline break (Van Wagoner dkk,
1988) juga pernah digunakan, namun istilah itu mengimplikasikan bahwa titik perubahan kemiringan dalam profil pengendapan
berimpit dengan garis pantai. Istilah offlap break dipakai disini mengingat istilah tersebut tidak mengimplikasikan bahwa titik
perubahan kemiringan dalam profil pengendapan sama dengan garis pantai.
Profil topset-clinoform merupakan produk interaksi pasokan sedimen dengan energi gelombang, badai, dan pasut di dalam
cekungan. Sedimen diangkut menuju cekungan melalui coastal onlap oleh sistem sungai, kemudian didistribusikan ke daerah
6
Sekuen Stratigrafi Emery dkk (1996)
topset oleh gelombang dan/atau berbagai sistem arus seperti arus fluvial, arus pasut, arus badai, dsb. Proses pengangkutan
sedimen pada topset ini hanya bekerja efektif pada perairan dangkal, hingga kedalaman beberapa puluh meter. Agar sedimen
dapat terangkut menuju perairan yang lebih dalam, diperlukan adanya lereng yang memungkinkan sedimen dikenai oleh gaya
gravitasi. Klinoform terbentuk dengan kemiringan yang memenuhi persyaratan tersebut. Besarnya sudut kemiringan klinoform
sangat dipengaruhi oleh tipe sedimen penyusunnya. Sedimen kasar akan membentuk klinoform yang lebih curam dibanding
sedimen halus (Ketner, 1990). Sedimen karbonat juga menghasilkan klinoform yang lebih curam (hingga 35 o) dibanding sedimen
klastika halus (0,5o–3o). Selain oleh material yang kasar, lereng pengendapan sistem klastika yang curam juga dapat terbentuk
jika lereng itu merupakan zona erosi atau zona bypassing sedimen.
Arti penting dari offlap break dalam sistem pengendapan akan tampak jelas sewaktu terjadi penurunan muka air laut. Jika
penurunan muka air laut menyebabkan tersingkapnya offlap break, sungai akan menoreh sebagian topset untuk membentuk
kesetimbangan baru dengan base level baru (hal ini akan dibahas lebih jauh pada sub bab 2.4.3). Tanggapan sistem peng-
endapan terhadap penurunan muka air laut ini tergantung pada khuluk tepi cekungannya (gambar 2-4).
Shelf break margin adalah tepi cekungan dimana klinoform berkembang baik. Penorehan oleh sungai selama terjadinya
penurunan muka air laut akan menyebabkan diendapkannya sedimen pada bagian-bagian tertentu dari klinoform. Hancurnya
massa sedimen akan menyebabkan terbentuknya arus turbid besar dan endapan kipas bawah laut. Shelf break margin
umumnya ditemukan pada tepi benua pasif dan terbentuk pada waktu terjadinya penaikan muka air laut secara lambat, pada
saat mana sistem delta dengan mudah berprogradasi menuju tepi paparan.
Ramp margin umumnya berupa perairan dangkal, dimana badai dan arus dapat mempengaruhi daerah yang luas. Sudut
pengendapan disini umumnya < 1o dan seismic clinoform (jika ada) akan miring sekitar 0,5o. Offlap break pada ramp margin
kemungkinan terletak pada garis pantai, di tempat mana terjadi perubahan gradien dari gradien sungai menjadi gradien paparan
atau perenggan delta yang sedikit lebih curam daripadanya. Tanggapan ramp margin terhadap perubahan muka air laut berbeda
dengan tanggapan yang diberikan oleh shelf break margin. Dalam tatanan ramp margin, turbidit tidak terbentuk pada waktu
penurunan muka air laut. Pada waktu itu sedimen diangkut menuju cekungan tanpa melalui proses bypassing. Jadi, turbidit yang
ditemukan dalam endapan silisiklastik ramp margin kemungkinan bukan merupakan kipas bawah laut, melainkan endapan
perenggan delta (Van Wagoner dkk, 1990). Banyak delta masa kini membentuk ramp margin. Delta-delta itu umumnya
merupakan delta paparan yang berprogradasi di atas topset shelf break margin yang terbentuk sebelumnya (gambar 2-4).
Frazier (1974) menyatakan bahwa pengendapan di Teluk Meksiko praktis hanya terbatas pada Delta Mississippi yang
berprogradasi hingga mencapai perairan dengan kedalaman 100 m. Delta Mississippi masa kini membentuk ramp margin,
meskipun sedikit progradasi akan mengubah status delta tersebut menjadi shelf break margin.
Rift margin merupakan ciri khas dari cekungan yang mengalami ekstensi kerak secara aktif. Dalam cekungan seperti itu,
sesar-sesar ekstensi sangat mempengaruhi paleogeografi dan laju influks sedimen. Penyebaran akomodasi dalam rift margin
terutama dikontrol oleh tektonik. Laju subsidensi umumnya bertambah ke arah pusat retakan, meskipun setiap individu blok
sesar akan memiliki pola akomodasi masing-masing. Subsidensi paling kecil terjadi pada puncak foot-wall, bahkan bagian itu
mungkin terangkat dan tererosi. Subsidensi makin tinggi ke arah sesar pengontrol. Sistem pengendapan yang ada tergantung
pada tatanan tektonik cekungan; apakah retakan itu terjadi pada tatanan benua atau tatanan samudra. Zona-zona transfer
(transfer zones) pada rift margin akan mengontrol titik-titik dimana sedimen memasuki cekungan. Rift margin dicirikan oleh relief
topografi yang tinggi dan akumulasi sedimen yang sangat rendah pada beberapa bagian cekungan karena sedimen yang
diangkut ke dalam cekungan ini akan di-bypassing menuju pusat-pusat retakan. Basin margin system, dengan klinoform yang
panjang dan topset yang relatif sempit, mungkin terbentuk di perairan dalam (gambar 2-4). Penjebakan material kasar pada
topset kemungkinan kecil terjadi karena sebagian besar tampaknya di-bypassing menuju cekungan.
7
Sekuen Stratigrafi Emery dkk (1996)
Foreland-basin margin sangat tergantung pada apakah sedimen masuk melalui sumbu cekungan atau langsung dari sabuk
anjakan (thrust belt). Jika sedimen masuk ke dalam cekungan langsung dari sabuk anjakan, maka laju subsidensi cekungan
akan bertambah ke arah sabuk anjakan (ke arah sumber sedimen). Dengan kata lain, akomodasi yang lebih besar tidak berada
pada pusat cekungan, melainkan pada tepinya. Mekanisme itu akan mempengaruhi geometri endapan yang terbentuk dan akan
menghasilkan endapan aggradatif yang kecil kemungkinan memiliki klinoform berskala seismik (Posamentier & Allen, 1993).
Growth-fault margin dicirikan oleh sesar-sesar ekstensi yang terbentuk bersamaan dengan sedimentasi akibat gaya
gravitasi. Laju subsidensi yang lebih tinggi terjadi pada sisi hanging-wall dari sesar tumbuh sedemikian rupa sehingga
menyebabkan penyebaran sedimen menjadi lebih luas. Efek sesar tumbuh terhadap sistem pengendapan tergantung pada
apakah sesar-sesar itu memiliki ekspresi topografi di dasar laut atau tidak. Jika hanging-wall memiliki relief topografi yang lebih
rendah dibanding foot-wall, diferensiasi fasies akan terjadi di sepanjang sesar dengan sistem klastik laut-dalam akan terletak
pada bagian sesar yang turun. Growth-fault margin akan dibahas lebih jauh pada sub bab 9.3.3.
2.2.1.1 Guntara
Guntara (eustasy; global eustasy; global sea-level) diukur dari muka air laut hingga suatu datum tetap, biasanya pusat bumi.
Guntara dapat berubah dengan berubahnya volume cekungan (misalnya akibat perubahan volume punggungan tengah
samudra) atau berubahnya volume air laut (misalnya akibat glasiasi-deglasiasi). Penafsiran perubahan guntara dari rekaman
batuan sangat kompleks dan merupakan topik ilmiah yang kontroversial. Untuk sementara ini, hal yang patut dicatat adalah
bahwa guntara dapat naik atau turun sedemikian rupa sehingga menyebabkan berubahnya posisi base-level secara global.
Base level sendiri didefinisikan sebagai suatu batas di atas mana proses yang terjadi praktis hanya berupa erosi.
2.2.1.3 Kedalaman
Kedalaman diukur dari muka air laut hingga permukaan sedimen dasar laut. Titik kesetimbangan (equilibrium point) kadang-
kadang digunakan untuk menamakan suatu titik pada profil pengendapan dimana laju perubahan muka air laut relatif sama
dengan nol. Titik tersebut, pada suatu waktu, akan memisahkan zona dimana terjadi penaikan muka air laut relatif dengan zona
dimana terjadi penurunan muka air laut relatif.
8
Sekuen Stratigrafi Emery dkk (1996)
2.2.2 Akomodasi
Laju guntara dan subsidensi secara bersama-sama akan mengontrol akomodasi. Akomodasi didefinisikan sebagai ruang
yang tersedia untuk pengakumulasian sedimen pada suatu waktu (Jervey, 1988). Akomodasi dikontrol oleh base level karena,
untuk dapat terakumulasi, sedimen memerlukan ruang yang terletak di bawah base level. Posisi base level berbeda-beda,
tergantung tatanan pengendapannya (gambar 2-6). Dalam lingkungan aluvial, base level dikontrol oleh profil sungai yang secara
berangsur berubah mendekati base level laut atau danau, ke tempat mana sungai tersebut bermuara (Mackin, 1948). Dalam
sistem delta dan pesisir, base level praktis ekivalen dengan muka air laut. Dalam lingkungan laut dangkal, base level juga praktis
berupa muka air laut, meskipun dalam kondisi tertentu alas gelombang (wave base) dapat menyebabkan “graded shelf profile”
berperan sebagai base level.
Gambar 2-7 memperlihatkan kaitan antara akomodasi, guntara, dan kedalaman pada sistem pesisir-paparan. Berikut akan
dibahas kaitan antara muka air laut relatif dengan akomodasi pada sistem pesisir-paparan. Sistem-sistem pengendapan lain
seperti sungai, paralik, kipas bawah laut, dan karbonat akan dibahas pada bab-bab lain.
9
Sekuen Stratigrafi Emery dkk (1996)
penggolongan tersebut memungkinkan kita untuk membagi isi suatu cekungan ke dalam sejumlah daur yang masing-masing
mencerminkan siklus subsidensi-guntara tertentu.
Pada gambar 2-9 terlihat adanya empat orde daur stratigrafi. Daur penyusupan (encroachment cycle) terbentuk pada
rentang waktu yang lama (> 50 juta tahun) di tepi benua-benua raksasa dan merupakan daur orde pertama. Hingga saat ini,
sebagaimana tersirat dari kurva perubahan muka air laut karya Haq dkk (1987), hanya dikenal ada dua daur penyusupan dalam
rekaman stratigrafi Paleozoikum. Daur orde-1 diperkirakan dikontrol oleh tectono-eustasy, yaitu perubahan volume cekungan
yang berkaitan dengan siklus tektonik lempeng (Pitman, 1978).
Daur orde-2 (3–50 juta tahun) merupakan bagian utama dari daur orde-1. Daur ini mencerminkan jenjang-jenjang tertentu
dari evolusi cekungan. Daur ini dapat terbentuk akibat perubahan laju subsidensi tektonik dalam cekungan atau akibat
peningkatan laju pengangkatan di daerah sumber sedimen.
Daur orde-3 (0,5–3 juta tahun) merupakan daur dasar dalam sekuen stratigrafi karena daur ini sering terdeteksi dengan baik
dalam rekaman seismik. Daur inilah yang disebut "sekuen" oleh para ahli stratigrafi Exxon pada saat mencetuskan konsep-
konsep sekuen stratigrafi. Menurut Vail dkk (1991), pembentukan daur ini dikontrol oleh glacio-eustasy. Walau demikian,
mekanisme tektonik juga memungkinkan terbentuknya daur orde-3 ini (Cloetingh, 1988).
Sekuen gabungan (composite sequence) adalah istilah yang sering dipakai untuk menyatakan daur orde-2 atau orde-3 yang
disusun oleh daur-daur dari orde yang lebih tinggi (Mitchum & Van Wagoner, 1991).
Daur orde-4 (0,1–0,5 juga tahun) merupakan paket endapan yang menunjukkan lingkungan pengendapan yang lebih
dangkal ke bagian atas serta dibatasi oleh bidang-bidang yang mencerminkan perubahan kedalaman lingkungan pengendapan
yang tiba-tiba. Daur yang disebut "parasekuen" dalam konsep sekuen stratigrafi Exxon ini mungkin terbentuk oleh proses-proses
allosiklis.
Teori yang mengungkapkan bahwa guntara merupakan faktor utama yang mengontrol pengendapan sedimen mungkin
merupakan salah satu konsep stratigrafi terpadu yang banyak menarik perhatian para ahli geologi selama berabad-abad (Dott,
1992). Jika memang benar bahwa jejak guntara terekam dalam semua rekaman stratigrafi, maka kita akan dapat menentukan
umur satu paket tertentu berdasarkan pola sekuen dan systems tract yang terlihat pada rekaman stratigrafi serta memprakirakan
tatanan stratigrafi suatu daerah perawan berdasarkan pengetahuan mengenai tatanan stratigrafi baku.
Diagram perubahan muka air laut global pertama kali diajukan oleh Vail dkk (1977), kemudian diperbarui oleh Haq dkk
(1987), berdasarkan hasil pengukuran-pengukuran yang dilakukan pada berbagai cekungan di dunia ini. Diagram itu dibuat
untuk mendukung teori yang menyatakan bahwa pembentukan sebagian besar daur orde-3 dikontrol oleh guntara. Diagram itu
mengundang banyak pertanyaan dari kalangan ahli stratigrafi. Sebagian diantaranya kemudian menyimpulkan bahwa diagram
itu disusun berdasarkan teori, bukan data. Masalah kontroversi kurva tersebut berada di luar ruang lingkup pembahasan buku
ini. Walau demikian, akan dikemukakan beberapa komentar penting yang perlu dikaji bersama-sama.
1. Data yang menjadi dasar penyusunan kurva yang disusun oleh Haq dkk (1987) tidak pernah diungkapkan seluruhnya,
khususnya data-data yang menunjukkan bahwa batas-batas sekuen memang korelatif secara global. Miall (1986, 1992),
salah seorang pengkritik kurva tersebut, menyatakan: "Premis dasar dalam kurva Exxon, yang menyatakan bahwa siklus
guntara orde-3 berkorelasi secara global, masih belum terbukti ... Memang ada kasus-kasus tertentu yang memperlihatkan
bahwa paket-paket sedimen tertentu memperlihatkan kesamaan umur secara global (misalnya siklus glacioeustatic orde-4
dan orde-5 dalam endapan Neogen dan mungkin pula dalam endapan Paleo-zoikum akhir ...), namun sebagian besar
endapan Fanerozoikum tidak menunjukkan kesamaan umur seperti itu" (Miall, 1991). Miall juga menyatakan bahwa masih
diragukan apakah kontrol biostratigrafi global cukup akurat (tanpa adanya kerancuan) untuk mengkorelasikan perubahan
muka air laut orde-3. Dengan demikian, hingga saat ini, konsep globalitas kesamaan umur siklus-siklus guntara masih
menjadi bahan perdebatan.
10
Sekuen Stratigrafi Emery dkk (1996)
2. Mekanisme pembentukan siklus orde-3 masih menjadi masalah untuk beberapa bagian waktu geologi tertentu. Bertambah-
nya volume es selama zaman es akan menyebabkan turunnya guntara pada akhir Kenozoikum dan akhir Paleozoikum.
Namun, mekanisme seperti itu tidak terjadi pada Jaman Kapur dan Jura yang bebas es. Cloetingh (1985) mengajukan
gagasan bahwa intraplate stress merupakan mekanisme tektonik yang menyebabkan terbentuknya siklus orde-3.
3. Hingga kini para ahli belum sepakat bahwa jejak-jejak guntara memang terekam dalam semua cekungan. Beberapa ahli,
misalnya Hubbard (1988), bahkan berkeyakinan bahwa jejak-jejak itu kemungkinan tertutup oleh jejak-jejak tektonik.
Walau demikian, penelitian masih terus dilakukan oleh para ahli. Penelitian dewasa ini antara lain diarahkan untuk menentu-
kan umur ketidakselarasan pada tepi-tepi cekungan secara lebih akurat serta mengaitkan umur tersebut dengan rekaman isotop
oksigen sehingga informasi ini dapat dikaitkan langsung dengan perubahan volume es (a.l. Miller dkk, 1991, 1993). Selain itu,
banyak proyek penelitian dilaksanakan untuk menentukan umur dan mengkorelasikan batas-batas sekuen berskala regional di
Eropa (a.l. De Graciansky dkk, 1993).
11
Sekuen Stratigrafi Emery dkk (1996)
dikontrol oleh glacio-eustacy dengan iklim pada cekungan pengaliran sungai (Blum, 1990). Hal ini mengandung pengertian
bahwa pemasokan sedimen berubah-ubah pada siklus muka air laut yang berbeda-beda.
12
Sekuen Stratigrafi Emery dkk (1996)
Geometri retrogradasi terbentuk jika pemasokan sedimen lebih kecil dari laju pembentukan akomodasi. Sabuk-sabuk fasies
bermigrasi ke arah darat dan offlap break yang relatif tua akan tinggal sebagai sisa. Dalam kaitannya dengan hal ini, istilah
transgresi dipakai untuk menyatakan proses perpindahan garis pantai ke arah daratan.
Ketiga tipe geometri endapan tersebut di atas (progradasi, agradasi, dan retrogradasi) tidak bersifat menerus, namun terdiri
dari satuan-satuan progradasi berskala sub-seismik yang disebut parasekuen. Sejumlah parasekuen bertumpuk sedemikian
rupa membentuk parasequence set yang keberadaannya dapat diamati pada penampang seismik.
Tulisan berikutnya akan memperlihatkan bagaimana prinsip-prinsip perubahan akomodasi yang mendaur dan berubah-ubah
dari waktu ke waktu dapat digunakan untuk membagi rekaman stratigrafi ke dalam sejumlah paket endapan yang masing-
masing diendapkan pada fasa perubahan laut tertentu.
13
Sekuen Stratigrafi Emery dkk (1996)
gabungan (composite sequence) dapat mengandung ketakselarasan, namun ketakselarasan itu adalah ketakselarasan yang
"tingkatannya" lebih tinggi daripada ketakselarasan yang menjadi pembatas sekuen. Ketakselarasan seperti itu dipandang "tidak
cukup berarti" dari kacamata sekuen stratigrafi.
Dalam pengertian yang terbatas, satu sekuen mencerminkan satu siklus pengendapan yang dibatasi oleh erosi non-bahari
dan diendapkan dalam satu siklus naik-turunnya alas kikis yang berarti (dalam skala penelitian sekuen). Pada kebanyakan
cekungan, alas kikis dikontrol oleh muka air laut. Dengan demikian, setiap sekuen merupakan produk dari satu siklus naik-
turunnya muka air laut relatif. Lukisan ideal dari sebuah sekuen yang terbentuk pada satu siklus perubahan muka air laut
diperlihatkan pada gambar 2-13. Sekuen itu dinamakan sekuen tipe-1. Pada sekuen tipe-1, penurunan muka air laut cukup
besar sedemikian rupa sehingga topset pertama dari sekuen itu terletak onlap terhadap klinoform dari sekuen yang terbentuk
sebelumnya. Sekuen tipe-2 akan dijelaskan kemudian.
Menurut Van Wagoner dkk (1988), batas sekuen tipe-1 dicirikan oleh jejak penyingkapan yang berasosiasi dengan erosi
non-bahari, peremajaan sungai, perpindahan fasies ke arah cekungan, penurunan coastal onlap, serta pola onlapping dari strata
yang terbentuk kemudian. Coastal onlap adalah istilah yang digunakan untuk menamakan titik onlap pada strata topset yang
ada di tepi cekungan (lihat Bab 3). Akibat migrasi fasies ke arah cekungan, endapan-endapan non-bahari atau pesisir, misalnya
batupasir endapan sungai menganyam dan endapan estuarium, dapat terletak langsung di atas endapan laut dangkal seperti
batupasir lower shoreface atau batulumpur paparan. Superposisi fasies seperti itu disebut dislokasi fasies (facies dislocation).
Van Wagoner dkk (1988) menafsirkan bahwa batas sekuen tipe-1 terbentuk pada saat laju penurunan guntara lebih tinggi
dibanding laju subsidensi cekungan pada offlap break.
14
Sekuen Stratigrafi Emery dkk (1996)
Systems tract paling bawah (jadi, secara stratigrafi berarti paling tua) dalam sekuen tipe-1 disebut lowstand systems tract.
Systems tract ini diendapkan pada perioda antara penurunan muka air laut relatif pada offlap break dengan penaikan muka air
laut relatif yang terjadi kemudian.
Penurunan muka air laut pada offlap break dari shelf-break margin akan menimbulkan efek yang ekstrim terhadap sistem
sungai. Sebelum terjadinya penurunan muka air laut relatif, sungai memiliki graded river profile yang relatif tetap, di atas mana
terjadi erosi dan di bawah mana terjadi pengendapan. Pada waktu itu, sungai dapat dengan bebas memindahkan alurnya
sebagai tanggapan terhadap perubahan muka air laut yang terjadi di bawah graded river profile. Ketika muka air laut turun pada
offlap break, profil sungai harus menyesuaikan diri dengan alas kikis baru (lihat Bab 7). Sungai harus menoreh endapan-
endapan yang sebelumnya membentuk topset: endapan dataran aluvial, endapan dataran pantai, dan/atau endapan paparan.
Sedimen rombakan yang terbentuk akan langsung diangkut menuju bagian cekungan yang lebih dalam. Pada waktu itu, sungai
tidak lagi bebas lagi untuk memindahkan alurnya. Sedimen yang ada didalamnya akan diangkut menuju satu titik fokus yang
sama, yaitu bagian dalam dari cekungan. Tahap itu merupakan fasa tidak stabil dimana proses-proses sedimentasi didominasi
oleh kekandasan lereng pada skala besar, bypassing lereng, dan pengendapan kipas bawah laut-dalam. Proses-proses itu terus
mendominasi rekaman stratigrafi pada tahap penurunan muka air laut relatif dan sistem sungai terus didorong untuk menoreh
endapan-endapan tua.
Pada waktu muka air laut relatif mencapai titik paling bawah, profil sungai kembali mengalami masa stabil dan sistem topset-
clinoform kembali terbentuk. Topset pertama yang terbentuk pada waktu itu akan terletak onlap terhadap offlap break sebelum-
nya. Pada mulanya, laju penaikan air laut relatif cukup rendah sehingga laju pembentukan akomodasi topset juga rendah
(gambar 2-15). Laju pembentukan akomodasi yang rendah ini tidak sebanding dengan pemasokan sedimen yang tinggi. Karena
itu, sistem pengendapan akan berprogradasi. Bertambahnya laju pembentukan akomodasi kemudian dapat mengimbangi,
bahkan melebihi, laju pasokan sedimen sehingga akhirnya sistem pengendapan akan beragradasi dan beretrogradasi
membentuk transgressive systems tract.
Dari penjelasan di atas tampak bahwa lowstand systems tract terdiri dari dua bagian. Pertama, kipas bawahlaut yang
diendapkan selama penurunan muka air laut relatif. Kedua, sistem topset-clinoform yang pada awalnya berpola progradasi,
namun kemudian berpola aggradasi, yang terbentuk selama terjadinya penaikan muka air laut relatif secara lambat. Bagian-
bagian itu sebenarnya dapat dipandang sebagai dua systems tract tersendiri karena keduanya mungkin tidak mencerminkan
satu kesinambungan pengendapan. Walau demikian, secara tradisional, keduanya dimasukkan ke dalam satu systems tract
karena batas antara keduanya tidak jarang berangsur, di dalam mana kipas bawahlaut menempati bagian bawahnya
(Posamentier dan Vail, 1988).
15
Sekuen Stratigrafi Emery dkk (1996)
lereng. Pengendapan kipas dasar cekungan, pembentukan ngarai, dan erosi lembah torehan ditafsirkan terjadi selama
penurunan muka air laut relatif.
Menurut Van Wagoner dkk (1988), kipas lereng dicirikan oleh turbidit dan endapan aliran gravitasi di bagian tengah atau
bagian bawah dari lereng. Pengendapan kipas lereng dapat terjadi pada waktu yang bersamaan dengan pem-bentukan kipas
dasar cekungan atau dengan waktu pembentukan bagian bawah dari lowstand wedge. Batas atas dari kipas lereng dapat
berperan sebagai bidang downlap untuk bagian tengah dan bagian atas dari lowstand wedge. Kipas lereng biasanya disusun
oleh kompleks alur-tepi alur (lihat Bab 9).
16
Sekuen Stratigrafi Emery dkk (1996)
Laju penaikan muka air laut tertinggi terjadi pada fasa pembentukan transgressive systems tract. Systems tract ini berakhir
ketika laju pertumbuhan volume akomodasi topset menurun hingga satu kondisi dimana laju pertumbuhan tersebut sebanding
dengan laju pemasokan sedimen. Produk kondisi itu disebut marine flooding surface. Pada saat laju pertumbuhan dengan laju
pemasokan sedimen mencapai kesetimbangan, pola endapan akan berubah dari pola retrogradasi menjadi progradasi.
Topset dari transgressive systems tract cenderung mengandung persentase pasir lebih sedikit dibanding systems tracts lain
karena dalam proses pembentukan systems tract ini hanya sedikit terjadi bypassing sedimen halus menuju bagian cekungan
yang lebih dalam. Dengan kata lain, sedimen halus yang dikirim pada waktu pembentukan transgressive systems tract ini hampir
seluruhnya diendapkan pada topset. Dengan demikian, transgressive systems tract sering mengandung lapisan penutup untuk
reservoar hidrokarbon. Kadang-kadang sedimen berbutir halus dalam systems tract ini juga berperan sebagai batuan induk (lihat
Bab 11). Posamentier & Allen (1993) mengusulkan satu komponen baru untuk transgressive systems tract yang disebut
komponen "healing phase". Mereka menunjukkan adanya baji-baji sedimen yang terletak pada kaki klinoform transgressive
systems tract yang ditafsirkan sebagai endapan rombakan selama berlangsungnya transgresi. Sebenarnya baji-baji sedimen itu
dapat ditafsirkan sebagai komponen lowstand systems tract dari sekuen yang terbentuk kemudian atau sebagai nendat yang
berasal dari endapan highstand systems tract.
Sistem-sistem pengendapan yang ada di seluruh dunia dewasa ini umumnya membentuk transgressive systems tract.
Dewasa ini banyak terdapat paparan benua yang luas dan sebagian besar diantaranya merupakan topset dari lowstand systems
tract yang terbentuk paling akhir. Delta yang ada dewasa ini umumnya berupa delta paparan. Dalam delta-delta itu, banyak
kipas tidak aktif. Estuarium dan wilayah pasang-surut banyak ditemukan di bagian baratdaya Eropa. Pantai timur AS, di lain
pihak, didominasi oleh proses mundurnya gosong pesisir dan laguna, sedangkan sedimentasi laut-dalam umumnya hanya
berupa turbidit yang terbentuk akibat nendatan dari lereng benua.
17
Sekuen Stratigrafi Emery dkk (1996)
Penurunan muka air laut relatif mungkin hanya terjadi pada daerah proksimal dari highstand topset sehingga muka air laut
tidak sampai lebih rendah dibanding offlap break. Jika hal ini terjadi, batas sekuen akan terbentuk, namun tidak berasosiasi
dengan penorehan sungai atau pengendapan kipas bawahlaut. Batas sekuen itu dapat dikenal dalam penampang seismik
berdasarkan adanya perpindahan coastal onlap hingga suatu posisi yang lebih kurang sejajar dengan offlap break dan terletak
onlap terhadap topset sekuen yang terbentuk sebelumnya (gambar 2-18). Batas sekuen seperti itu disebut batas sekuen tipe-2,
sedangkan systems tract yang dialasi oleh bidang ini disebut shelf-margin systems tract. Pada mulanya, geometri systems tract
ini sedikit progradasional, namun kemudian berubah menjadi aggradasional. Batas antara shelf-margin systems tract dengan
highstand systems tract terletak pada bidang dimana terjadi perubahan pola tumpukan parasekuen: dari aggradasional menjadi
retrogradasional. Di lain pihak, batas antara shelf-margin systems tract dengan highstand systems tract dari sekuen sebelumnya
merupakan ketakselarasan yang samar dan mungkin hanya dapat dikenal dari perubahan pola tumpukan parasekuen: dari pro-
gradasional menjadi aggradasional. Shelf-margin systems tract mungkin sangat sukar untuk dikenal dalam singkapan, core, atau
well log, kecuali jika singkapannya sangat besar atau jika sumur yang ada cukup rapat.
Batas sekuen tipe-2 dan shelf-margin systems tract kadang-kadang digunakan secara keliru dalam literatur karena sulitnya
untuk menemukan bukti terjadinya pergeseran coastal onlap ke arah cekungan, namun tidak sampai melewati offlap break.
Selain itu, resolusi rekaman seismik juga sering tidak cukup tinggi untuk mendeteksi adanya perubahan kemiringan yang samar,
misalnya sewaktu suatu topset terletak onlap terhadap topset lain. Perubahan pola tumpukan parasekuen, dari progradasional
menjadi aggradasional, tidak bersifat definitif karena perubahan pola seperti itu dapat saja terjadi karena peristiwa lain seperti
penurunan laju suplai sedimen.
Dalam studi singkapan, batas sekuen tipe-2 sering digunakan untuk menamakan batas sekuen minor. Perlu disadari bahwa
batas sekuen tipe-2 dapat sebanding dengan sekuen tipe-1, tergantung pola subsidensi tektonik dari cekungannya.
2.4.7 Lowstand Systems Tract pada Tatanan Ramp Margin
Berbagai systems tract yang telah dijelaskan di atas terbentuk pada tatanan shelf-margin, pada tatanan mana kemiringan
klinoform cukup besar sehingga memungkinkan terbentuknya sistem kipas bawahlaut. Pada tatanan ramp margin, sebagaimana
dijelaskan oleh Van Wagoner dkk (1988), lowstand systems tract berwujud lowstand wedge yang tipis dan dapat dibedakan
menjadi dua bagian (gambar 2-19). Bagian pertama dicirikan oleh gejala penorehan sungai dan sediment bypassing melalui
dataran pantai. Bagian ini ditafsirkan terbentuk pada suatu fasa penurunan muka air laut yang cepat, hingga suatu saat dimana
penurunan itu mulai stabil. Bagian kedua dicirikan oleh endapan pengisi lembah torehan pada sub-bagian proksimal dan satu
atau lebih parasekuen set progradasional pada sub-bagian distal. Bagian ini ditafsirkan terbentuk pada tahap awal penaikan
muka air laut yang berlangsung lambat.
Selama penurunan muka air laut, pada tatanan ramp margin tidak terjadi bypassing sedimen menuju dasar cekungan,
melainkan pengendapan sedimen dalam bentuk baji-baji endapan yang miring ke arah cekungan. Setiap baji endapan itu
disebut force regressive wedge (Posamentier dkk, 1992). Rangkaian force regressive wedge terletak diantara lowstand
prograding wedge dan highstand prograding wedge dan membentuk suatu systems tract tersendiri yang disebut force regressive
wedge systems tract (Posamentier dkk, 1992). Batas bawah dari force regressive wedge systems tract adalah regressive marine
surface of erosion, sedangkan batas atasnya adalah regressive subaerial surface of erosion. Regressive marine surface of
erosion berkorelasi dengan bidang ketidakselarasan non-bahari sehingga secara bersama-sama keduanya berperan sebagai
batas sekuen. Force regressive marine wedges sering didominasi pasir dan dapat berperan sebagai reservoar yang menarik jika
diselubungi oleh serpih. Beberapa contoh sekuen stratigrafi untuk tatanan ramp margin disajikan Posamentier dkk (1992) serta
Posamentier & Chamberlain (1992).
Transgressive dan highstand systems tract pada tatanan ramp margin mirip dengan transgressive dan highstand systems
tract pada tatanan shelf-margin, dengan sedikit perbedaan dimana klinoform tidak berkembang baik pada tatanan ramp margin.
18
Sekuen Stratigrafi Emery dkk (1996)
19
Sekuen Stratigrafi Emery dkk (1996)
Regressive systems tract (gambar 2-20) adalah systems tract teoritis yang "akan" terbentuk jika ada dua perioda penaikan
muka air laut yang cepat dan diselingi oleh satu perioda penaikan muka air laut yang lambat atau apabila ada dua perioda
pemasokan sedimen yang tinggi dan diselingi oleh satu perioda pemasokan sedimen yang rendah. Batas bawah dari systems
tract ini adalah maximum flooding surface, sedangkan batas atasnya berupa maximum prograding surface sehingga secara
keseluruhan systems tract ini membentuk suatu prograding wedge. Geometri internal dari baji sedimen ini berubah dari
aggradasional menjadi progradasional dan kembali menjadi aggradasional. Regressive systems tract kemungkinan akan
terbentuk ketika siklus guntara lebih rendah dibanding subsidensi sehingga batas sekuen tipe-2 sekalipun tidak dapat terbentuk
sewaktu terjadi penurunan muka air laut global. Situasi lain yang dapat menyebabkan terbentuknya systems tract ini adalah jika
dalam perioda penaikan muka air laut yang menerus, terjadi fluktuasi pasokan sedimen. Posamentier & James (1993) memper-
kirakan bahwa transgressive systems tract mungkin dapat terbentuk dalam foreland basin. Walau demikian, kedua peneliti itu
cenderung menamakan systems tract yang terbentuk dalam foreland basin dan tidak memiliki batas sekuen bawah sebagai
shelf-margin systems tract.
20
Sekuen Stratigrafi Emery dkk (1996)
istilah sekuen dalam pengertian yang diajukan oleh Galloway (1989). Batas sekuen, maximum flooding surface, dan maximum
prograding surface semuanya merupakan bidang korelasi yang sahih dan dapat digunakan untuk membagi rekaman stratigrafi.
Setiap bidang tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing.
Batas sekuen dapat dengan mudah dikenali keberadaannya dalam penampang seismik karena, seperti telah dijelaskan
pada 3.2.4, dicirikan oleh penurunan coastal onlap. Bidang itu mencerminkan terjadinya bypassing sedimen dan resedimentasi
ke arah cekungan, peristiwa mana berasosiasi dengan pembentukan reservoar dan hydrocarbon play system. Karena itu,
pengenalan batas sekuen memiliki nilai praktis yang tinggi dalam eksplorasi migas. Waktu pembentukan batas sekuen tidak
tergantung pada variasi pasokan sedimen sehingga relatif seumur. Walau demikian, bidang ini sukar dikenal dalam log atau
core, sukar untuk ditentukan umurnya secara cermat (bidang ini terdapat dalam sedimen proksimal yang seringkali steril akan
fosil), serta sukar untuk ditelusuri ke arah cekungan (kecuali jika berasosiasi dengan kipas bawahlaut).
Maximum flooding surface mudah diketahui keberadaanya dalam penampang seismik, bahkan tidak sukar dikenali dalam
log dan core. Proses pembentukan bidang ini juga sering berasosiasi dengan pembentukan top seal dan batuan induk. Bidang
ini dapat diwujudkan sebagai fasies bahari yang terkondensasikan serta kaya akan fauna dan mudah untuk ditentukan umurnya.
Bidang ini dapat ditelusuri keberadaannya ke arah cekungan, karena berkorelasi dengan condensed interval, namun sukar
ditelusuri keberadaannya ke arah daratan. Kesulitan dalam menentukan bidang ini akan muncul apabila sistem yang ada
tersusun dari sejumlah lobe yang berprogradasi karena pada sistem seperti itu kita akan sukar untuk menentukan dengan tepat
lobe mana yang terletak paling dekat ke darat (ingat bahwa batas dari lobe seperti inilah yang akan menjadi maximum flooding
surface).
Maximum progradation surface, atau bidang transgresi, juga pernah diusulkan oleh beberapa peneliti untuk dijadikan
sebagai bidang pembagi stratigrafi. Bidang ini menandai progradasi paling jauh ke arah cekungan. Sebagaimana maximum
flooding surface, bidang ini juga mudah dikenali keberadaanya dalam penampang seismik, singkapan, log, dan core. Umur
bidang ini sukar ditentukan dengan cermat serta sukar dikorelasikan ke arah darat. Selain itu, untuk sistem-sistem yang terdiri
dari sejumlah lobe, kesukaran juga muncul mengingat adanya kesukaran untuk menentukan lobe mana yang terletak paling
dekat ke darat.
Istilah sekuen biasanya sekarang hanya digunakan secara terbatas untuk menamakan satuan yang dibatasi oleh ketidak-
selarasan darat. Walau demikian, seperti dikemukakan oleh Loutit dkk (1988), bidang yang paling mudah dikenal dalam
cekungan adalah maximum flooding surface dan condensed interval. Bidang-bidang itu dapat digunakan secara pragmatis pada
tahap awal untuk membagi rekaman stratigrafi ke dalam satuan-satuan yang dapat dipetakan. Prosedur ini akan menghasilkan
lahirnya sejumlah "sekuen" dalam pengertian seperti yang dikemukakan oleh Galloway (1989). Tahap berikutnya, yang
dilakukan untuk memperoleh pemahaman yang menyeluruh mengenai paleogeografi dan penyebaran fasies, adalah membagi
rekaman yang ada ke dalam sejumlah systems tracts. Pekerjaan ini hanya akan dapat dilaksanakan apabila kita dapat
mengenal batas-batas sekuen, bidang transgresi, dan maximum flooding surface.
21
Sekuen Stratigrafi Emery dkk (1996)
Makin lama sekuen stratigrafi makin sering digunakan sebagai prosedur dalam memerikan reservoar hidrokarbon (sebagai
contoh, lihat Posamentier & Chamberlain, 1992; Reynolds, 1994). Karya tulis yang pertama-tama menyajikan konsep dan teknik
penerapan konsep sekuen stratigrafi resolusi tinggi adalah karya Van Wagoner dkk (1990).
22
Sekuen Stratigrafi Emery dkk (1996)
23
Sekuen Stratigrafi Emery dkk (1996)
topsets. Dalam core, well log, atau singkapan, perpindahan coastal onlap seperti itu jarang terlihat. Karena itu, dalam rekaman
lubang pengeboran atau singkapan, gejala perpindahan seperti itu perlu dicari (gambar 2-27).
Facies dislocation adalah suatu bidang di atas mana terdapat fasies laut dangkal, sedangkan di bawah bidang itu terdapat
fasies lingkungan yang jauh lebih dalam. Dengan demikian, gejala perubahan fasies yang berangsur seperti yang diimplikasikan
oleh Hukum Walther telah "terdislokasi". Gejala dislokasi ini mungkin jelas terlihat, misalnya ketika suatu lapisan batubara
terletak di atas batulumpur paparan luar. Walau demikian, gejala inipun mungkin tidak tampak jelas, misalnya ketika lower
shoreface facies ditindih langsung oleh upper shoreface facies, tanpa adanya endapan transisi yang berupa middle shoreface
facies. Dalam tatanan laut dangkal, gejala dislokasi fasies sering berasosiasi dengan terjadinya perubahan besar butir yang tiba-
tiba. Dislokasi fasies mengindikasikan terjadinya penurunan muka air laut relatif dan pembentukan ketakselarasan daratan.
Walau demikian, jejak-jejak dari kedua peristiwa itu akan lebih jelas terlihat di daerah yang terletak lebih dekat dengan daratan.
Di lain pihak, gejala dislokasi fasies sendiri lebih jelas terlihat pada highstand topsets yang terletak lebih dekat dengan pusat
cekungan serta pada highstand clinoform. Keseluruhan gejala tersebut di atas mencirikan bidang ketakselarasan atau
keselarasan yang korelatif dengannya dan, oleh karena itu, juga menjadi ciri-ciri batas sekuen.
Lembah torehan (incised valley) telah dijelaskan oleh Van Wagoner dkk (1990) sebagai sistem fluvial yang alurnya
memasuki wilayah yang semula berupa paparan dan bekerja di tempat itu sebagai bentuk tanggapan sistem tersebut terhadap
penurunan muka air laut relatif. Di daerah paparan, endapan lowstand pengisi lembah torehan bagian bawahnya dibatasi oleh
batas sekuen, sedangkan di bagian atasnya dibatasi oleh bidang transgresi. Gejala dislokasi fasies mungkin terjadi di bagian
dasar lembah torehan. Untuk membuktikan keberadaaan lembah torehan, kita perlu melakukan pengamatan yang seksama
terhadap singkapan berukuran besar atau terhadap data-data sumur yang rapat.
Lembah torehan dibedakan dari alur sungai biasa dari ukurannya yang lebih dalam dan lebih besar dibanding individu alur
biasa, bahkan dari satu individu sabuk alur sungai. Level lembah torehan lebih rendah dibanding level alur di muara sungai.
Lembah itu sering diisi oleh fasies aluvial yang merupakan bagian proksimal dari bagian akhir lowstand prograding wedge.
Walau demikian, lembah itu mungkin pula diisi oleh fasies estuarium atau fasies bahari yang diendapkan sebagai bagian dari
highstand systems tract.
Pada daerah yang terletak diantara lembah torehan dan daerah proksimal, batas sekuen kemungkinan sangat sukar dikenal.
Bukti-bukti penyingkapan permukaan seperti paleosol, gejala oksidasi, dan gejala-gejala pelapukan hanya terjadi pada bagian
terluar dari batuan sehingga kemungkinan akan tersapu pada waktu terjadi erosi yang berasosiasi dengan transgresi. Bidang
yang menandai terjadinya erosi seperti itu disebut bidang erosi-transgresi (E/T surface) (Walker dan Eyles, 1991). Satu-satunya
bukti yang mungkin dapat digunakan adalah transgressive lag yang sering memiliki besar butir jauh lebih besar dibanding
endapan yang terletak dibawahnya atau mengandung partikel-partikel lain yang bukan berasal dari endapan dibawahnya.
Pada kasus tertentu yang jarang ditemui, batas sekuen dapat dikenal dari gejala pemancungan parasekuen di bagian bawah
(lihat contoh yang diberikan oleh Van Wagoner dkk, 1990). Walau demikian, kriteria ini hendaknya diterapkan dengan ekstra
hati-hati, mengingat batas-batas parasekuen sendiri bersifat erosional.
24
Sekuen Stratigrafi Emery dkk (1996)
luasnya endapan yang ekivalen dengan condensed section menyebabkan bidang tersebut menjadi tipe bidang sekuen stratigrafi
yang paling mudah dikenal keberadaannya (Loutit dkk, 1988). Istilah condensed section sinonim dengan istilah bidang hiatus
(hiatal surface) yang digunakan oleh Galloway (1989) sebagai batas genetic stratigraphic unit.
Perlu dicamkan bahwa ada sejumlah condensed section yang tidak ekivalen dengan maximum flooding surface, misalnya
condensed section yang memisahkan kipas dasar cekungan dengan kipas lereng, condensed section yang memisahkan kipas
lereng dengan lowstand prograding wedge, serta condensed section yang merupakan bidang avulsi utama dalam suatu systems
tract.
2.5.8 Masalah dan Ranjau dalam Penerapan Sekuen Stratigrafi Resolusi Tinggi
Penerapan konsep-konsep sekuen stratigrafi resolusi tinggi terhadap sejumlah data bawah permukaan tidak mudah
dilakukan. Ada beberapa permasalahan yang perlu dipecahkan, yaitu:
1. Pengenalan parasekuen, dan tatanan pengendapan dari paket endapan yang diteliti, sukar untuk dilakukan apabila kita tidak
memiliki core control, kontrol biostratigrafi yang baik, atau indikator seismik dari tatanan cekungan.
2. Korelasi parasekuen mungkin tidak dapat dilakukan secara langsung. Parasekuen sering sangat mirip satu sama lain.
Pengkorelasian ini akan lebih mudah dilakukan apabila jarak sumur cukup dekat, jika parasekuen yang akan dikorelasikan
memiliki bentuk log yang khas, atau jika parasekuen itu mengandung lapisan penciri litologi, misalnya lapisan batubara.
3. Pengenalan batas sekuen tidak mudah dilakukan untuk daerah-daerah yang terletak diantara lembah torehan dan untuk
batas-batas sekuen yang tersisip diantara sejumlah parasekuen.
4. Pembedaan antara lembah torehan dengan alur yang bukan merupakan lembah torehan seringkali sukar dilakukan. Untuk
itu, Van Wagoner dkk (1990) memberi beberapa petunjuk untuk membedakannya.
25
Sekuen Stratigrafi Emery dkk (1996)
5. Batas systems tract dapat dikenal karena merupakan bidang terminasi dari garis-garis korelasi parasekuen. Bidang itu
secara garis besar dibedakan menjadi tiga tipe: (a) bidang onlap; (b) bidang pemancungan, dan (c) bidang pembajian.
Dalam prakteknya, kita sering tidak tahu bidang terminasi seperti apa yang sedang kita hadapi dan, oleh karena itu, kita juga
tidak mengetahui khuluk dari bidang tersebut.
6. Dalam singkapan, sekuen stratigrafi resolusi tinggi relatif lebih mudah dilakukan. Dalam singkapan sejumlah besar informasi
fasies dapat diperoleh dan bidang-bidang yang ada dapat ditelusuri penyebarannya dengan cara yang relatif mudah. Walau
demikian, pembedaan antara lembah torehan dengan lembah yang bukan merupakan lembah torehan masih sukar untuk
dilakukan, walaupun idealnya dasar dari lembah torehan dapat ditelusuri secara lateral hingga berakhir pada bidang
penyingkapan atau bidang erosi. Singkapan di bumi ini umumnya tidak menerus dan pengkorelasian antar singkapan tidak
jarang juga menimbulkan permasalahan. Dalam singkapan ini tidak ada data seismik yang memungkinkan kita untuk
mengetahui geometri strata secara umum. Walau demikian, tebing-tebing berukuran raksasa kadangkala memberikan
informasi mengenai geometri strata itu (sebagai contoh, lihat karya Boselini, 1984).
26
Sekuen Stratigrafi Emery dkk (1996)
BAB 3
SEISMIK STRATIGRAFI
27
Sekuen Stratigrafi Emery dkk (1996)
lemah karena energi gelombang itu akan terserap oleh bumi. Kedua, makin dalam suatu gelombang akustik, makin cepat pula
dia merambat. Hal itu terjadi karena makin dalam suatu posisi batuan di kerak bumi, makin tinggi pula tingkat kompaksi dan
sementasinya. Hal ini pada gilirannya menyebabkan panjang gelombang seismik makin besar dengan bertambahnya kedalaman
dan, pada gilirannya, akan menurunkan resolusi rekaman seismik. Terakhir, data seismik mentah biasanya mengandung banyak
desau (noise). Ketika dilakukan pemrosesan data, desau-desau seperti itu biasanya dicoba dihilangkan dengan cara ―mem-
buang‖ gelombang-gelombang berfrekuensi tinggi yang biasanya muncul dari desau. Sayang sekali, pada waktu yang ber-
samaan, cara itu juga akan menyebabkan hilangnya gelombang frekuensi tinggi ―asli‖ yang berasal dari bidang-bidang pantul.
Padahal, gelombang-gelombang itulah yang akan membantu kita untuk memperoleh resolusi yang tinggi.
akan ber-interaksi dengan bidang-bidang pantul yang ada pada lintasan perambatannya. Energi gelombang itu
merambat sebagai rangkaian wave front. Suatu bagian bidang fisik yang menyebabkan terpantulkannya energi
gelombang seismik secara kons-truktif disebut zona Fresnel (Fresnel zone) (Sheriff, 1977). Resolusi lateral dari
rekaman seismik ditentukan oleh radius zona Fresnel, dimana radius zona Fresnel itu sendiri ditentukan oleh
panjang gelombang akustik dan kedalaman bidang pantul (gambar 3-4). Jadi, dalam data seismik yang belum
dimigrasi, resolusi lateral tengantung pada seismic bandwidth, kecepatan rambat gelombang untuk sampai pada
suatu bidang pantul, serta waktu tempuh menuju bidang pantul tersebut (gambar 3-5). Prosedur migrasi data seismik
akan membantu meningkatkan resolusi data seismik. Untuk migrasi dua dimensi, masih ada masalah mengenai
orientasi garis pantul, relatif terhadap kemiringan sebenarnya, sedangkan dalam migrasi tiga dimensi masalah itu
sudah dapat terpecahkan. Jadi, untuk data yang telah dimigrasi, resolusi lateral tergantung pada jarak antar jejak
gelombang seismik (seismic trace), panjang operator migrasi, waktu/kedalaman bidang pantul, dan bandwidth data.
dari data waktu dan amplitudo. Data itu biasanya direkam secara periodik setiap 2 atau 4 milidetik. Setelah diproses,
28
Sekuen Stratigrafi Emery dkk (1996)
data itu ditampilkan sebagai data rekaman menerus dengan cara menginterpolasikan deretan “titik” data yang
Pemilihan parameter-parameter yang akan ditampilkan dalam jejak gelombang yang diinterpolasikan itu merupakan salah
satu tahapan kritis yang akan menentukan kenampakan akhir dari penampang seismik. Metoda paling sederhana adalah
menampilkan data itu sebagai deretan jejak gelombang yang ―berkelok-kelok‖ (“wiggle”), dimana jauhnya setiap kelokan, relatif
terhadap garis tengah jejak gelombang, merepresentasikan amplitudo, sedangkan pengkutubannya ditampilkan sebagai arah
kelokan, relatif terhadap garis tengah itu (gambar 3-6). Format ini memungkinkan dilakukannya pengamatan yang cermat
terhadap perubahan bentuk wavelet dari satu jejak gelombang ke jejak gelombang lain serta memperjelas anomali-anomali
amplitudo tinggi dimana jejak-jejak gelombang itu saling bertumpang-tindih. Dengan demikian, metoda ini sangat bermanfaat
dalam penafsiran stratigrafi, terutama pada skala reservoar, karena pada analisis itu kita memerlukan informasi-informasi
mengenai ketebalan lapisan, litologi, dan fluida yang terkandung didalamnya. Sayang sekali, format jejak gelombang yang hanya
berupa deretan ―kelokan‖ seperti itu sangat sensitif terhadap kemiringan batuan serta cenderung menekankan event yang
miring curam, terutama difraksi.
Alternatif dari format ―kelokan‖ sederhana itu adalah format “variable area”. Dalam format itu tidak ada jejak gelombang yang
menerus. Setiap gelombang ditampilkan sedemikian rupa sehingga besaran penyimpangan gelombang, relatif terhadap garis
tengah, dinyatakan dalam bentuk “variable area”. “Variable area” itu diberi warna (biasanya hitam) (gambar 3-6). Format ini
dapat dengan jelas memperlihatkan kesinambungan pantulan. Namun, dalam penafsirannya, kita perlu hati-hati agar jangan
sampai kehilangan informasi sewaktu perhatian kita terkonsentrasi pada bentuk wavelet. Format lain yang mirip dengan
“variable area” adalah format “variable intensity (density)”, dimana variasi kekuatan pantulan ditampilkan dengan variasi nuansa
warna abu-abu hingga hitam atau dengan variasi warna. Format ini merupakan format baku pada kebanyakan laboratorium dan
memungkinkan diperolehnya resolusi yang jauh lebih tinggi dibanding dengan apa yang dapat diperoleh dari “variable area”.
Penampang seismik konvensional umumnya menggunakan kombinasi format “variable area” dan “wiggle” sedemikian rupa
sehingga dalam penampang seismik itu akan tampak bukan saja “wiggle”, namun juga “variable area” dari pantulan tertentu,
bahkan “variable density” dari pantulan-pantulan tertentu (gambar 3-6). Format seperti ini memberikan informasi mengenai
bentuk gelombang (waveform), sekaligus memberikan penekanan pada kesinambungan pantulan. Walau demikian, kenampak-
an penampang seismik seperti itu sangat senstitif terhadap parameter-parameter lain seperti display gain. Selain itu, ada juga
risiko kehilangan informasi amplitudo ketika jejak-jejak gelombang itu saling berpotongan atau bertumpang-tindih. Hal itu dapat
dikontrol dengan membatasi defleksi jejak maksimum dalam limit-limit tertentu (clipping), namun hal itu pada gilirannya justru
akan menyebabkan terjadinya distorsi informasi amplitudo dan juga dapat menyebabkan munculnya daerah-daerah putih dalam
penampang seismik, padahal pada tempat-tempat seperti itu aplitudo pantulan justru paling besar.
Setelah tipe jejak gelombang dapat ditentukan, ada sejumlah parameter yang dapat diubah untuk mengembangkan bentuk
jejak dan hal itu dapat menyebabkan terjadinya perubahan besar pada penampang seismik yang dihasilkan.
Swing mengontrol jumlah defleksi pada suatu puncak atau lembah sebagai presentasi jarak antar jejak
gelombang. Jika swing dioptimalkan, hal itu akan dapat memperlihatkan kesinambungan pantulan-pantulan yang
lemah.
Bias mengontrol posisi garis dasar nol diantara refleksi-refleksi positif dan negatif. Dengan menera bias, kita dapat meng-
arahkan agar pemrosesan lebih menekankan puncak gelombang dibanding lembah gelombang atau sebaliknya. Bias positif
akan menyebabkan bergesernya garis dasar ke kiri sehingga puncak-puncak gelombang menjadi lebih "―ter-expose‖. Bias yang
sangat tinggi, baik bias positif maupun bias negatif, cenderung menekankan kesinambungan namun bias negatif yang sangat
tinggi dapat menyebabkan tidak terkontrolnya derajat korelasi antar lembah gelombang.
Clip digunakan untuk mengontrol defleksi maksimum lembah atau puncak gelombang dari garis dasar. Clip
biasanya di-rancang sebagai jarak antar jejak gelombang. Nilai-nilai yang rendah dapat digunakan untuk
29
Sekuen Stratigrafi Emery dkk (1996)
Fast AGC adalah bentuk khusus dari penerapan equalization, dimana gate dilakukan pada suatu interval
yang pendek, mungkin 1–10 kali sample rate (4-40 ms). Teknik ini digunakan untuk meng-equalized semua
amplitudo sebagai sebuah cara untuk memperjelas kesinambungan dan terminasi reflektor. Teknik ini hendaknya
digunakan secara hati-hati karena fast AGC menyebabkan terdistorsinya wavelet dan menyebabkan desau menjadi
jelas terlihat. Walau demikian, teknik ini tetap memiliki nilai tersendiri, terutama apabila diterapkan dengan maksud
memperjelas bagian-bagian penampang yang terletak dekat dengan daerah beramplitudo tinggi.
Informasi seismik konvensional diperlihatkan sebagai plot-plot frekuensi dan amplitudo. Walau demikian, data
tersebut, yang telah terekam dalam geofon atau hidrofon (hydrophone), dapat dimanipulasikan secara matematis
untuk menghasilkan sifat-sifat lain dari gelombang seismik. Meskipun kita tidak mendapatkan informasi baru dari
hasil manipulasi itu, namun tampilan dan penafsiran dari jejak-jejak gelombang seismik yang kompleks itu kadang-
kadang dapat memberikan wawasan baru ke dalam ilmu geologi yang semula tidak didapatkan dari data
konvensional. Manfaat potensial dari teknik ini dalam penafsiran seismik stratigrafi diperlihatkan pada tabel 3-1.
Pembahasan yang lebih jauh dari teknik pengolahan data ini disajikan oleh Tanner & Sheriff (1977).
sangat efektif, untuk menampilkan data seismik. Teknik-teknik ini dapat diterapkan dengan mudah, meskipun kita
3.1.3.4.1 Warna
Tidak diragukan lagi bahwa pemakaian warna meningkatkan kemungkinan penampang seismik untuk
dapat ditafsirkan dengan benar. Secara historis, teknik ini terkenal mahal karena harus menggunakan tipe kertas
khusus. Namun, dewasa ini, sejalan dengan makin banyaknya plotter yang relatif murah, kesan mahal dari teknik ini
sudah tidak layak lagi. Selain itu, perusahaan-perusahaan pemroses data seismik banyak yang dapat menjalankan
pemrosesan ini serta memungkinkan dilakukannya berbagai percobaan untuk menemukan skala terbaik yang sesuai
dengan keinginan konsumen. Warna mungkin sebaiknya digunakan sebagai sebuah latar yang melukiskan intensitas,
30
Sekuen Stratigrafi Emery dkk (1996)
Tingginya kemungkinan penampang seismik untuk lebih mudah ditafsirkan apabila diberi warna makin
jelas terlihat pada saat rekaman seismik banyak mengandung desau. Sebaiknya kita tidak menggunakan terlalu
banyak warna serta selalu sadar bahwa banyak laki-laki di dunia ini ternyata buta warna.
Penampang seismik pada mulanya disajikan untuk tujuan penafsiran struktur. Untuk tujuan itu, penampang
seismik perlu dibuat dengan skala yang mendekati skala sebenarnya, tanpa distorsi vertikal, selama hal itu memang
memungkinkan. Meskipun bentuk penampang seperti itu juga merupakan bentuk penampang seismik ideal untuk
analisis seismik stratigrafi, namun tidak jarang kurang optimum. Hal itu terjadi karena banyak analis seismik
stratigrafi kadang-kadang sangat tertarik pada bentuk atau hubungan geometri yang samar. Kemiringan sedimen
umumnya relatif rendah. Kipas bawahlaut dapat memiliki kemiringan 1–30 pada tangkis dan cuping kipas (lobe).
Kompleks endapan klastika laut-dangkal yang berprogradasi jarang memperlihatkan kemiringan lebih dari beberapa
derajat, sedangkan dataran pantai umumnya hampir horizontal. Untuk melihat adanya marine onlap, downlap, dan
coastal onlap pada lingkungan-lingkungan tersebut, terutama ketika terdapat struktur syn-sedimentation, kita perlu
memperjelas kemiringan tersebut. Bahkan, alasan inilah yang sebenarnya melandasi praktek mengapa analis seismik
Proses penampilan ulang dapat dilaksanakan secara sederhana dan murah dengan cara memendekkan skala
horizontal, sedangkan skala vertikal dibiarkan tetap. Besarnya pemendekatan itu umumnya sekitar 5-10 cm/detik.
Dengan mempertahan-kan skala vertikal, garis-garis yang tidak bersambungan tetap ditampilkan sebagai garis-garis
yang terpisah. Walau demikian, untuk data masa kini, pengurangan skala horizontal harus diikuti dengan proses
penghilangan atau penggabungan beberapa garis pantul. Ancangan alternatif untuk memecahkan masalah ini adalah
mengurangi skala horizontal hingga suatu nilai maksimum tertentu yang tidak mengharuskan dilakukannya proses
penghilangan atau penggabungan beberapa garis pantul. Cara lain adalah membiarkan agar skala horizontal berharga
tetap, sedangkan skala vertikal diperbesar. Di masa lalu, seorang penafsir dapat meminta sebuah penampang dengan
skala horizontal yang telah diperkecil (misalnya skala 1 : 100.000 atau 1 : 200.000) atau data itu dapat dikompres
secara optik dengan menggunakan sebuah kamera yang dirancang khusus untuk tujuan tersebut. Dewasa ini
perusahaan-perusahaan pengolah data seismik dapat melakukan pengubahan skala dengan cepat dan semua penafsir
hendaknya melakukan berbagai eksperimen untuk menemukan skala vertikal terbaik yang akan memperlihatkan
31
Sekuen Stratigrafi Emery dkk (1996)
32
Sekuen Stratigrafi Emery dkk (1996)
Dalam penampang seismik dua dimensi, terminasi-terminasi bidang pantul seismik dicirikan oleh
hubungan geometris antara bidang pantul itu dengan bidang seismik dimana pantulan itu berakhir. Mitchum dkk
(1977a) memperkenalkan istilah-istilah lapout, truncation, baselap, toplap, onlap, dan downlap untuk menyatakan
ragam terminasi bidang pantul seismik (gambar 3-8). Sebagian besar ragam terminasi bidang pantul seismik itu
murni didasarkan pada geometri, sedangkan sebagian lain sedikit banyaknya melibatkan tafsiran mengenai asal-usul
terminasi itu (apakah terminasi itu merupakan limit pengendapan asli atau bukan).
Lapout adalah terminasi lateral dari sebuah bidang pantul atau reflektor (umumnya merupakan bidang perlapisan) pada limit
pengendapannya, sedangkan truncation mengimplikasikan bahwa reflektor itu pada mulanya melampar lebih jauh, namun
kemudian tererosi (sehingga disebut erosional truncation) atau terpotong oleh bidang sesar, bidang nendatan, berada dalam
keadaan kontak dengan garam atau serpih yang mobil, atau sebuah intrusi batuan beku (Mitchum dkk, 1977a,b).
Baselap adalah lapout reflektor terhadap bidang seismik yang terletak dibawahnya (yang menandai batas
bawah dari suatu paket seismik). Baselap dapat berupa: (1) downlap, yakni baselap dimana kemiringan bidang batas
bawah paket seismik itu lebih rendah dibanding kemiringan reflektor-reflektor yang terletak diatasnya; atau (2)
onlap, dimana kemiringan batas bawah paket seismik itu lebih besar daripada kemiringan reflektor-reflektor yang
terletak diatasnya.
Downlap umumnya terlihat pada bagian dasar suatu klinoform yang berprogradasi dan biasanya merepresentasikan pro-
gradasi suatu sistem lereng tepi cekungan ke arah perairan-dalam (baik yang berupa laut maupun danau). Dengan demikian,
downlap merepresentasikan perubahan dari pengendapan pada lereng laut (atau danau) menjadi kondensasi atau tidak
terjadinya pengendapan di laut (atau danau). Bidang downlap merepresentasikan suatu condensed unit. Downlap sangat sukar
terbentuk pada lingkungan terestrial. Walau demikian, perlu dicamkan bahwa tidak mudah untuk membedakan depositional
downlap dengan original onlap yang kemudian terotasi akibat pengaruh tektonik.
Dalam banyak kasus, banyak terminasi reflektor seismik yang ditafsirkan sebagai downlap sebenarnya merupakan terminasi
semu (apparent termination) yang muncul akibat penipisan strata distal hingga ketebalannya berada di luar resolusi seismik.
Onlap dikenal dalam penampang seismik berdasarkan terminasi bidang-bidang pantulan yang miring landai terhadap
sebuah bidang seismik yang miring lebih curam daripadanya. Ada dua tipe onlap, yakni marine onlap dan coastal onlap.
Marine onlap adalah onlap strata bahari yang merepresentasikan perubahan dari pengendapan bahari menjadi
pengendapan non-bahari atau menjadi kondensasi akibat terjadinya pengisian parsial ruang akomodasi oleh sedimen bahari.
Pola marine onlap tidak dapat dipakai untuk menentukan perubahan muka air laut relatif karena level marine onlap tidak memiliki
kaitan langsung dengan muka air laut relatif. Marine onlap mencerminkan perubahan fasies bawahlaut, dari laju pengendapan
yang berarti menjadi pelagic drape yang energinya jauh lebih rendah. Dalam sumur yang dibor di luar limit marine onlap akan
ditemukan condensed unit atau hiatus (rumpang waktu) yang memiliki ekivalensi waktu dengan marine onlap itu. Bidang seismik
dari marine onlap merepresentasikan suatu hiatus bahari atau condensed interval.
Coastal onlap adalah onlap strata non-marin, paralik, atau marginal marine serta merepresentasikan perubahan dari zona
pengendapan menjadi erosi dan non-pengendapan pada tepi cekungan (terestrial atau paparan). Coastal onlap umumnya di-
tafsirkan keberadaannya dari data seismik berdasarkan adanya gejala onlaping endapan-endapan topset (lihat sub bab 2.4)
karena gejala itu diasumsikan atau memang terbukti merepresentasikan endapan litoral, paralik, atau terestrial. Endapan-
endapan topset itu diasumsikan terakumulasi dekat dengan muka air laut. Pola coastal onlap, relatif terhadap bidang yang di-
onlap, mengindikasikan perubahan muka air laut relatif. Pergeseran coastal onlap ke arah darat terjadi akibat naiknya muka air
laut relatif, sedangkan pergeseran coastal onlap ke arah laut atau ke arah cekungan terjadi akibat turunnya muka air laut (hal ini
telah dibahas dalam Bab 2).
Coastal onlap tidak harus terbentuk pada garis pantai. Pergeseran coastal onlap ke arah darat dapat disertai transgresi
maupun regresi, tergantung pada pasokan sedimen. Dalam sumur bor yang melalui batuan yang mengandung limit coastal
onlap yang dekat dengan daratan tidak ditemukan suatu paket yang ekivalen umurnya dengan coastal onlap itu. Sebagai
gantinya, kita dapat menemukan ketidakselarasan, paleosol, atau sebuah horizon karst.
Toplap adalah terminasi reflektor miring (klinoform) terhadap sebuah bidang yang miring landai dan terletak diatasnya. Titik
terminasi itu diyakini merepresentasikan limit pengendapan di bagian proksimal. Dalam strata tepi laut, toplap merepresentasi-
kan perubahan dari pengendapan lereng menjadi by-passing atau erosi pada lingkungan non-marin atau laut-dangkal. Bidang
toplap merupakan sebuah ketidakselarasan. Sebuah bidang bisa tampak sebagai toplap semu apabila klinoform melampar ke
33
Sekuen Stratigrafi Emery dkk (1996)
atas, menipis, dan membentuk strata topset yang terlalu tipis untuk dapat terdeteksi secara seismik. Dalam tatanan laut-dalam,
toplap semu kemungkinan besar merupakan sebuah bidang erosi bahari, sebagaimana yang terlihat dalam konturit. Pada kasus
itu, bidang tersebut bersifat lokal dan biasanya tidak tampak datar pada suatu wilayah yang luas.
Erosional truncation adalah terminasi reflektor terhadap bidang erosi yang terletak diatasnya. Toplap dapat menerus menjadi
erosional truncation. Walau demikian, erosional truncation umumnya lebih ekstrim dibanding toplap. Erosional truncation meng-
indikasikan perkembangan relief erosi atau ketidakselarasan menyudut. Bidang erosi itu sendiri dapat merupakan bidang erosi
bahari (misalnya di bagian bawah ngarai, alur, atau bidang kerukan) atau bidang erosi terestrial yang berkembang pada batas
sekuen.
Apparent truncation adalah terminasi reflektor yang relatif landai di bawah suatu bidang seismik yang miring. Gejala itu
merepresentasikan kondensasi bahari. Terminasi itu sendiri merepresentasikan limit distal pengendapan (atau penipisan hingga
ketebalannya berada di luar resolusi seismik) strata topset atau kadang-kadang juga kipas bawahlaut. Banyak terminasi
pantulan dalam strata bahari termasuk ke dalam kategori ―semu‖, karena sebenarnya mungkin ada condensed unit yang
merupakan kelanjutannya, namun ketebalan condensed unit itu berada di luar resolusi seismik (gambar 3-9).
Fault truncation merepresentasikan terminasi reflektor terhadap bidang sesar, nendatan, longsoran, atau intrusi yang ter-
bentuk pada saat yang bersamaan dengan berlangsungnya pengendapan (syn-depositional) maupun setelah berlangsungnya
pengendapan (post-depositional). Terminasi terhadap sebuah gawir sesar tua adalah onlap.
Dalam penampang seismik, kita seringkali menemukan adanya reflektor-reflektor yang terletak di atas
suatu bidang seismik tampak berakhir pada bidang itu, sedangkan reflektor-reflektor yang terletak dibawahnya
tampak selaras dengan bidang tersebut. Demikian sebaliknya. “Keselarasan” (conformity) seperti itu seringkali
bersifat semu karena sudut yang dibentuk oleh bidang seismik dan reflektor-reflektor itu demikian lancip sehingga
Beberapa tipe terminasi reflektor seismik dapat dilihat pada gambar 3-7. Dalam gambar itu jelas terlihat adanya truncation di
bawah bidang alur berelief tinggi antara 0,3 dan 0,5 detik. Reflektor-reflektor pendek dalam alur itu berakhir secara onlap
terhadap tepi-tepi alur tersebut. Reflektor-reflektor batuan Eosen yang miring dan terletak diantara 0,7 dan 1 detik berakhir
secara downlap ke arah timur dan berakhir secara onlap atau terpancung ke arah barat. Bidang seismik yang menindih strata itu
relatif datar dan terletak diantara SP 950 dan 1100. Bidang itu merupakan bidang toplap. Paket yang terletak di bawah 0,8 detik
dan sebelah timur SP 1200 dapat dilihat berakhir secara onlap ke arah barat dan downlap ke arah timur.
Endapan tepi cekungan yang berprogradasi umumnya dapat terlihat dalam penampang seismik terdiri dari sejumlah
topset dan klinoform (gambar 3-10; lihat juga anak sub-bab 2.1.2). Contoh-contoh yang diperlihatkan pada gambar
3-7, dalam endapan Eosen akhir di sebelah timur SP 1200 dan di bawah 0,7 detik memperlihatkan topset dan
klinoform yang baik. Reflektor-reflektor yang miring di sebelah barat paket itu adalah klinoform, dengan topset
minor atau tanpa topset. Paket clinoform-topset yang berkembang baik dapat ditafsir-kan sebagai representasi suatu
systems tract endapan paralik hingga paparan (topset) serta sedimen lereng (klinoform). Titik perubahan kemiringan
Endapan sedimen lainnya, misalnya cuping kipas bawahlaut, kadang-kadang memperlihatkan bentuk yang mirip dengan itu,
dimana reflektor-reflektor yang relatif datar menjadi makin curam ke arah cekungan. Kunci untuk mengenal paket clinoform-
opset yang sebenarnya adalah menemukan sebuah offlap break yang jelas dan reflektor-reflektor topset yang konkordan dan
34
Sekuen Stratigrafi Emery dkk (1996)
sejajar. Kedua kriteria tersebut terpenuhi oleh endapan Eosen pada gambar 3-7. Kadang-kadang, reflektor-reflektor klinoform
terlihat makin menurun ke arah cekungan, dan kemudian ―berubah‖ menjadi reflektor-reflektor relatif datar yang disebut
bottomset. Pada kasus lain, reflektor-reflektor distal yang miring landai tidak memperlihatkan kesinambungan pengendapan
dengan klinoform, melainkan membentuk paket-paket endapan yang onlapping terhadap clinoform front.
Ramsayer (1979) menyajikan sebuah metodologi untuk memetakan fasies seismik dua dimensi. Dalam metoda yang disebut
―teknik A,B,C‖ itu, ada tiga karater paket seismik yang dicatat, diberi simbol huruf (tabel 3-2), dan dipetakan. Ketiga karakter itu
adalah (1) khuluk terminasi-terminasi reflektor terhadap bidang pembatas atas; (2) khuluk terminasi-terminasi reflektor terhadap
bidang pembatas bawah; dan (3) konfigurasi reflektor-reflektor yang terletak diantara kedua bidang pembatas itu. Dengan
demikian, bagian proksimal paket endapan Eosen akhir pada gambar 3-7 akan dinyatakan sebagai C-On/P, sedangkan bagian
distalnya akan dinyatakan sebagai C-Dwn/Ob.
Sandi-sandi fasies seismik itu dapat dituliskan pada sebuah peta, dan penyebaran berbagai fasies seismik dapat dilukiskan
setelah kita menggabungkan hasil-hasil penafsiran dari sejumlah penampang seismik. Setelah dikalibrasi dengan data sumur,
kita biasanya dapat memperoleh peta fasies yang cukup dapat diandalkan berdasarkan fasies seismik. Endapan Eosen akhir
yang dijelaskan di atas belum pernah dibor, namun analisis seismik stratigrafi dan analisis fasies seismik yang disajikan disini
memprediksikan bahwa paket itu mengandung kumpulan endapan tepi cekungan dan lereng. Walau demikian, khuluk fasies
topset masih belum dapat dipastikan; mungkin berupa fasies dataran aluvial, dataran pantai, paralilk, atau paparan. Sebuah
contoh peta fasies seismik, yang dibuat oleh Mitchum & Vail (1977), diperlihatkan pada gambar 3-11.
Mungkin dengan pengecualian untuk hubungan antara fasies klinoform dengan sistem lereng, fasies seismik tidak memiliki
hubungan yang pasti dengan sistem pengendapan. Sangree & Widmier (1977) menyajikan sebuah daftar fasies seismik dengan
tafsiran geologinya, namun tanpa adanya kontrol sumur, tafsiran itu tetap dipertanyakan. Sebagai contoh, reflektor mendatar dan
menerus mungkin mencerminkan serpih laut-dalam, topset dataran pantai, dataran aluvial, atau fasies lakustrin. Walau
demikian, sebuah peta fasies seismik dapat digunakan untuk merekonstruksikan satu atau beberapa model geologi tentatif,
dimana semua model itu hendaknya diuji dan dikalibrasi dengan memakai data sumur yang menembus interval yang dipetakan.
Tanpa adanya kontrol sumur, sebuah peta fasies seismik umumnya masih tetap terbuka untuk beberapa tafsiran geologi.
Dengan menggunakan geophysical workstation technology modern, ada sejumlah parameter yang dapat dikuantifikasikan
dan dipetakan untuk setiap paket seismik. Amplitudo pantulan seismik pada bagian puncak atau dasar paket itu dapat dipetakan
(Enachescu, 1993). Workstation dapat ―memilih‖ suatu bagian penampang seismik, memastikan bahwa bagian terpilih itu selalu
terletak pada lembah atau puncak gelombang seismik, serta dapat memetakan amplitudo horizon itu di semua bagian
penampang seismik. Peta amplitudo dapat dibaca secara langsung sebagai suatu peta fasies geologi dan amplitudo gelombang
pantul dikaitkan dengan geologi. Sebagai contoh, pasir yang menutupi suatu reflektor mungkin menyebabkan terbentuknya
pantulan beramplitudo rendah, sedangkan serpih yang reflektor itu menghasilkan pantulan beramplitudo tinggi. Dengan
demikian, peta amplitudo akan memperlihatkan distribusi pasir-serpih. Walau demikian, dalam penafsiran seismik stratigrafi,
dimana bagian puncak suatu paket seismik bukan merupakan sebuah reflektor melainkan sebuah bidang terminasi reflektor,
tidak mungkin bagi kita untuk memilih satu pantulan manapun dan peta amplitudo bidang seismik itu tidak mungkin dapat dibuat.
Amplitudo rata-rata (average amplitude) dari keseluruhan paket seismik seringkali merupakan sebuah karakter yang
bermanfaat. Hal itu umumnya diukur sebagai akar pangkat dua rata-rata (root-square mean) dari amplitudo dalam paket tersebut
(jadi disebut RMS amplitude), atau sebagai amplitudo pangkat dua rata-rata (mean square amplitude) (atau ―energi rata-rata‖).
Sifat itu dapat dikuantifikasikan, dipetakan, dan dibuat garis-garis konturnya dengan memakai sebuah workstation, serta diguna-
kan untuk membedakan zona-zona dengan amplitudo seismik yang berbeda-beda. Amplitudo seismik merupakan fungsi dari
perbedaan densitas dan/atau kecepatan dalam lapisan batuan, serta seringkali berhubungan erat dengan fasies pengendapan.
Dalam kipas bawahlaut, misalnya saja, alur dapat dikenal sebagai zona reflektor beramplitudo tinggi dan linier, sedangkan
cuping kipas itu diperlihatkan sebagai zona reflektor beramplitudo rendah. Demikian sebaliknya. Sebagai contoh, Jager dkk
(1993) memperlihatkan suatu “gated amplitude extraction” (RMS amplitude) dari sebuah interval yang mencakup alur dalam
reservoar di Forties Field. Batas-batas alur itu terlihat dengan jelas sebagai sebuah zona linier yang memiliki amplitudo anomali.
sekuen yang berasosiasi dengan glacial lowstand dan erosi sungai, mungkin di bawah tudung es.
Coastal onlap adalah proximal onlap dari topset. Karena coastal onlap diyakini terbentuk pada atau dekat muka air laut dan
dapat dipastikan terbentuk pada tempat-tempat yang dikenai oleh proses-proses laut-dangkal, maka pergeseran coastal onlap
ke arah cekungan mengimplikasikan penurunan muka air laut relatif serta dapat diasumsikan disertai oleh penyingkapan dan
erosi pada wilayah topset. Ketika coastal onlap turun hingga terletak di bawah offlap break sebelumnya, maka topset akan onlap
35
Sekuen Stratigrafi Emery dkk (1996)
terhadap klinoform tua dan bidang itu akan menjadi batas sekuen tipe-1. Ketika coastal onlap turun namun posisi akhirnya tidak
di bawah offlap break tua, maka topset akan onlap terhadap topset tua dan bidang itu akan menjadi batas sekuen tipe-2.
Perbedaan antara batas sekuen tipe-1 dan batas sekuen tipe-2 telah dibahas panjang lebar pada Bab 2.
Paket Eosen akhir pada gambar 3-7, yang terletak di bawah 0,7 detik dan di sebelah timur SP 1200, menindih suatu batas
sekuen. Hal ini diperlihatkan oleh onlap tiga reflektor topset terhadap suatu klinoform tua di sekitar SP 1200. Topset paling
bawah onlap pada 0,8 detik, sedangkan offlap break dari klinoform yang menindihnya terletak pada 0,7 detik. Itu merupakan
batas sekuen tipe-1 dan mengindikasikan terjadinya penurunan muka air laut relatif sekitar 100 m (ekivalen dengan 0,1 detik
TWT).
Bidang transgresi menandai berakhirnya lowstand progradation, dan mulai terjadinya transgresi. Bidang ini tidak harus
berasosiasi dengan terminasi apapun, namun akan menjadi pembatas antara paket clinoform-topset dengan paket yang hanya
disusun oleh topset (lihat gambar 3-7).
Maximum flooding surface dikenal dalam penampang seismik sebagai sebuah bidang dimana klinoform downlap terhadap
topset yang terletak dibawahnya. Bidang itu dapat memperlihatkan backstepping dan pemancungan semu. Perlu dicamkan
bahwa tidak setiap downlap surface merupakan maximum flooding surface. Downlap surface yang penting biasanya dapat
dipetakan pada bagian dasar klinoform dari lowstand prograding wedge. Itu merupakan puncak lowstand fan surface (karena
lowstand wedge sering downlap terhadap kipas). Perbedaannya adalah bahwa fasies yang terletak di bawah downlap surface itu
adalah endapan cekungan, bukan topset. Komplikasi lain dapat muncul dalam suatu tatanan yang secara umum didominasi oleh
transgresi, dimana baik highstand maupun lowstand wedge downlap terhadap topset sekuen tua. Jika dapat mengkorelasikan
downlap surface ke arah darat, bidang itu akan melampar secara lateral menuju suatu batas sekuen (dalam kasus mana bidang
itu merupakan bagian puncak dari lowstand fan surface) atau pada suatu kumpulan topset (dalam kasus mana bidang itu
merupakan maximum flooding surface).
Dalam tatanan cekungan, paket refleksi dibatasi oleh marine onlap surface. Idealnya, bidang itu dapat dikorelasikan ke arah
darat, menuju tatanan tepi cekungan, dan dikenal sebagai salah satu dari keempat bidang yang telah disebutkan di atas. Hal it u
tidak selalu dapat terjadi, terutama dalam suatu tatanan yang umumnya bersifat retrogradasional, dimana lereng purba mem-
bentuk zona-zona by-passing. Pada tatanan distal dari suatu cekungan, dimana endapan satu-satunya adalah endapan yang
disusun oleh lowstand fan, marine onlap surface antara kipas-kipas bawahlaut akan merepresentasikan condensed interval yang
ekivalen secara temporal dengan lowstand wedge serta highstand dan transgressive systems tract serta akan mengandung
bidang-bidang keselarasan yang korelatif dengan keempat bidang yang telah disebutkan di atas.
36
Sekuen Stratigrafi Emery dkk (1996)
Systems tract ini diketahui umurnya adalah Paleosen akhir, dan menjadi bagian dari satuan T45 dalam karya tulis Jones &
Milton (1994). Klinoform dalam systems tract ini kemungkinan merupakan Dornoch Formation, sedangkan serpih cekungan yang
ada didalamnya kemungkinan Sele Formation. Kipas dari Larger Sele Formation merupakan reservoar yang menarik di Laut
Utara. Lowstand systems tract ini merepresentasikan pengangkatan maksimum Scottish Mainland dan Laut Utara yang
berdampingan dengannya selama berlangsungnya episode pengangkatan Paleosen (Jones & Milton, 1994).
37
Sekuen Stratigrafi Emery dkk (1996)
BAB 4
DATA SINGKAPAN DAN DATA SUMUR
38
Sekuen Stratigrafi Emery dkk (1996)
Parasekuen yang makin "kotor" ke atas (dirtying-upward parasequence), maksudnya parasekuen yang makin ke atas kadar
material halusnya makin banyak, juga dapat dikenal pada paket endapan estuarium. Selain itu, parasekuen yang mendangkal ke
atas menuju endapan terestris, kadang-kadang juga memiliki serpih paralik atau batubara di bagian puncaknya.
Parasekuen memiliki satuan yang korelatif dengannya pada sistem fluvial. Gejala pendauran pada sistem fluvial umumnya
menghasilkan tumpukan fasies alur yang memperlihatkan gejala penghalusan ke atas. Kaitan antara daur-daur alur dengan
parasekuen akan dibahas lebih jauh pada Bab 8.
39
Sekuen Stratigrafi Emery dkk (1996)
sekuen melainkan hanya sebagai jejak migrasi alur sungai. Dengan kata lain, gejala itu mungkin hanya mengindikasikan proses
sedimentasi normal, bukan penorehan fluvial yang terjadi akibat menurunnya muka air laut. Pada kasus dimana kita memper-
kirakan bahwa suatu bidang merupakan batas sekuen, tanpa memiliki data-data yang kuat, sebaiknya kita katakan bahwa
bidang itu merupakan "kandidat" batas sekuen.
Pengenalan batas sekuen dari singkapan atau dari inti bor memerlukan adanya bukti-bukti perpindahan fasies; adanya
fasies relatif proksimal di atas fasies yang relatif distal, tanpa disertai adanya jejak pengawetan fasies-antara dari kedua fasies
tersebut di atas (gambar 4-4). Gejala ini tidak akan tampak jelas di setiap lokasi pengamatan. Pada contoh data inti bor tersebut
di atas, batas sekuen dicirikan oleh endapan sisa yang dapat dikorelasikan secara regional dengan endapan pengisi lembah
torehan. Jika endapan pengisi lembah torehan tersingkap atau tertembus bor, kita akan menemukan adanya "loncatan," dari
endapan bahari menjadi endapan fluvial atau endapan estuarium pengisi lembah torehan. Gejala seperti itu terpampang dengan
baik pada singkapan Formasi Scarborough. Pada singkapan itu tampak bahwa di atas parasequence set retrogradational
terdapat satu unit progradasional yang seluruhnya terbukti merupakan highstand parasequences. Diatasnya lagi terdapat
batupasir kasar tebal, disebut Moor Grit, yang memotong Formasi Scarborough (gambar 4-3). Moor Grit adalah endapan pengisi
lembah torehan berupa batupasir endapan pasut, dengan sedikit mud drapes, yang seluruhnya mengindikasikan perpindahan
fasies, relatif terhadap endapan batulumpur dan batupasir yang terdapat dibawahnya.
Di daerah-daerah dengan singkapan spektrakuler, kita mungkin dapat menemukan bidang stratigrafi utama berdasarkan
geometri skala besar. Sebagai contoh, kasus seperti itu ditemukan di Italian Dolomites, di tempat mana batur karbonat Trias
progradasional memperlihatkan sedimen lereng (yang merupakan highstand systems tract) menyapun (downlapping) pada
batulumpur endapan laut dalam dan karbonat lain yang merupakan endapan transgressive systems tract. Line drawing gambar
4-5 (Bosellini, 1984) memperlihatkan maximum flooding surface di bagian dasar klinoform progradasi dari Formasi Catanaccio.
40
Sekuen Stratigrafi Emery dkk (1996)
4.4.1.3 Log SP
Log SP (spontaneous potential) mengukur perbedaan potensi kelistrikan antara batuan yang ada di bawah permukaan
dengan potensi kelistrikan permukaan bumi. Log ini sensitif terhadap perubahan permeabilitas sehingga sangat baik untuk
digunakan dalam membedakan pasir (yang umumnya permeabel) dengan serpih (yang umumnya impermeabel). Log SP paling
baik bekerja pada kondisi dimana ada perbedaan resistivitas yang cukup tinggi antara fluida pengeboran dengan air formasi.
Pada zona serpih yang impermeabel, log SP umumnya tampak lebih kurang lurus. Garis lurus itu biasa disebut garis-dasar
serpih (shale base-line). Perbedaan antara tipe serpih dapat dilihat dengan jelas dari log sinar gamma.
Log SP dipengaruhi oleh kehadiran hidrokarbon, sementasi, dan perubahan salinitas air formasi. Log SP pada gambar 4-6
mampu membedakan batupasir dengan batulumpur di bagian bawah rekaman tersebut, namun tidak terlalu baik untuk
membedakan batupasir dan batulumpur yang terletak di bagian atas rekaman tersebut.
41
Sekuen Stratigrafi Emery dkk (1996)
misalnya kaitan antara peningkatan sinar gamma dengan endapan gosong tanjung atau antara penurunan sinar gamma dengan
endapan gosong muara sungai (a.l. Pirson, 1977; Coleman & Prior, 1980; Galloway & Hodbay, 1983; Cant, 1984; Rider, 1986).
Dari hasil pengamatan yang seksama terhadap log, para ahli mengetahui adanya sejumlah trend rekaman log, khususnya
log sinar gamma. Trend log dapat dipandang sebagai perubahan pembacaan log rata-rata atau sebagai penyimpangan dari
garis-dasar serpih atau garis-dasar pasir. Perlu diketahui, garis-dasar pasir pada suatu segmen log sinar gamma menandai nilai
bacaan minimun pada segmen itu, sedangkan garis-dasar serpih menandai nilai bacaan maksimum pada segmen tersebut.
Trend log utama diperlihatkan pada gambar 4-7.
42
Sekuen Stratigrafi Emery dkk (1996)
43
Sekuen Stratigrafi Emery dkk (1996)
atas mungkin ditandai oleh peningkatan kadar serpih secara tiba-tiba (sebagaimana terlihat dalam kurva log sinar gamma)
akibat peristiwa peningkatan kedalaman di sepanjang bidang transgresi atau mungkin oleh kehadiran topset.
Pada satuan yang cukup tebal untuk dapat diditeksi oleh peralatan seismik, perubahan yang terjadi secara tiba-tiba dari log
yang makin bersih ke atas umumnya berkaitan dengan perubahan yang terjadi secara tiba-tiba dalam klinoform. Peningkatan
kadar serpih yang tiba-tiba dalam trend klinoform umumnya mengimplikasikan loncatan fasies, dari facies yang relatif dangkal di
bagian bawah menjadi fasies yang relatif jauh lebih dalam di bagian atas. Loncatan fasies itu sendiri disebabkan oleh per-
pindahan cuping atau oleh transgresi sewaktu terjadinya penaikan muka air laut. Analog dengan itu, penurunan kadar serpih
secara tiba-tiba dalam trend klinoform umumnya mengimplikasikan loncatan fasies, dari fasies yang relatif dalam di bagian
bawah menjadi fasies yang relatif jauh lebih dangkal di bagian atas. Loncatan fasies itu dapat terjadi akibat erosi (dan karena
bidang perubahan fasies itu merupakan batas fasies), sesar normal, atau nendatan. Dalam kasus yang disebut terakhir ini,
masalah apakah loncatan itu disebabkan oleh erosi atau oleh sesar akan dapat diketahui dari penampang seismik. Pembahasan
lebih jauh mengenai batas sekuen dalam log akan diberikan pada anak sub bab 4.4.7.
Dua unit klinoform umumnya hadir dalam suatu sekuen: highstand prograding wedge dan lowstand prograding wedge (lihat
kembali Bab 2). Kita tidak selalu dapat menentukan secara pasti klinoform dari systems tract mana yang dicerminkan oleh suatu
rekaman log, meskipun kita telah memiliki beberapa kriteria untuk mengenal setiap tipe klinoform tersebut (lihat 4.4.7). Ketebal-
an unit klinoform dalam log memberikan suatu nilai pendekatan dari ketinggian klinoform dan, oleh karena itu, juga meng-
indikasikan kedalaman cekungan (setelah dimodifikasi oleh kompaksi, efek syn-depositional subsidence, dan faktor-faktor lain.
44
Sekuen Stratigrafi Emery dkk (1996)
Adalah suatu hal yang tidak mungkin untuk melakukan analisis sekuen stratigrafi hanya dari sedimen cekungan karena
informasi yang diperlukan untuk mendefinisikan systems tract dan batas-batas sekuen terutama terletak di tepi cekungan.
4.4.6 Estimasi Faktor-Faktor Pengontrol Pengendapan dan Sekuen Stratigrafi dari Tanggapan Log
Analisis sekuen stratigrafi terhadap rangkaian well logs terutama ditujukan untuk mengenal perioda-perioda progradasi dan
retrogradasi tepi cekungan serta mengenal variasi perubahan muka air laut. Rangkaian log yang diperlihatkan pada gambar 4-6
ditafsirkan pada gambar 4-13 dengan menggunakan metodologi sekuen stratigrafi yang dijelaskan pada bab ini.
Progradasi dapat dikenal keberadaannya berdasarkan kurva klinoform (satuan berskala besar yang makin bersih dan makin
dangkal ke atas) atau dari pola tumpukan progradasional dalam topset (sebagaimana terlihat pada gambar 2-25). Bukti pro-
gradasi ke arah cekungan hanya akan ditemukan pada satuan-satuan di sekitar tepi cekungan (topset, klinoform, dan toeset).
Dua satuan progradasi ditafsirkan pada gambar 4-13. Satuan serpih yang berprogradasi dapat dikenal keberadaannya sebagai
satuan log yang dicirikan oleh penurunan kurva sinar gamma dan kurva densitas ke arah atas serta oleh penaikan kurva
kecepatan dan kurva resistivitas ke arah atas, dimana ciri-ciri tersebut mengindikasikan peningkatan fraksi serpih ke bagian
atas. Satuan batupasir yang terletak di bagian bawah juga mengindikasikan progradasi. Satuan ini merupakan tumpukan para-
sekuen yang keberadaannya paling mudah terlihat dari log neutron-densitas.
Retrogradasi tepi cekungan dapat dikenal keberadaanya dari tumpukan retrogradasional parasekuen-parasekuen topset
atau dari penafsiran satuan log yang mengimplikasikan gejala pendalaman yang cukup berarti ke bagian atas (gambar 4-9). Dua
satuan retrogradasi dapat dilihat pada gambar 4-13. Satuan atas merupakan suatu tumpukan parasekuen yang sangat tipis
dengan satu hardground flooding surface yang tampak jelas dari loncatan log sonik. Satuan bawah merupakan tumpukan
parasekuen paralik, dimana puncak dari sebagian parasekuen itu berupa lapisan batubara.
Kedudukan muka air laut relatif dapat diketahui dari hasil pengenalan terhadap pola tumpukan parasekuen dalam sumur-
sumur pengeboran yang melalui tepi cekungan. Sebagai contoh, tumpukan parasekuen pada gambar 4-13 mengimplikasikan
proses pengisian akomodasi secara mendaur sewaktu penaikan muka air laut. Percepatan proses penaikan muka air laut di-
tafsirkan terjadi (namun bukan berarti telah terbukti) berdasarkan adanya gejala penebalan parasekuen ke bagian atas, terutama
jika gejala tersebut dapat dikenal keberadaannya secara regional. Walau demikian, perlu dicamkan bahwa penalaran seperti ini
hanya dapat diterapkan pada parasekuen agradatif hingga alas kikis. Tanggapan satuan progradatif terhadap peningkatan laju
penaikan muka air laut, apabila pasokan sedimen tetap, adalah perubahan pola tumpukan secara berangsur ke bagian atas, dari
pola progradasi di bagian bawah menjadi pola aggradasi di bagian atas dan selanjutnya pada pola retrogradasi. Hal ini akan
menghasilkan motif log yang berubah dari trend makin bersih ke atas menjadi trend agradasi yang merupakan pola khas dari
lowstand prograding wedge. Penurunan laju penaikan muka air laut dicirikan oleh tumpukan parasekuen agradatif yang makin
tipis ke bagian atas, khususnya apabila gejala ini dapat dikenali keberadaannya secara regional.
45
Sekuen Stratigrafi Emery dkk (1996)
Downlap surface dapat dikenal keberadaannya berdasarkan adanya trend log klinoform (trend makin bersih ke atas berskala
besar). Downlap surface yang terletak di bawah highstand prograding wedge dapat dikorelasikan dengan maximum flooding
surface, sedangkan downlap surface yang terletak di bawah lowstand prograding wedge dapat dikorelasikan dengan puncak
endapan kipas laut-dalam atau dengan batas sekuen.
Batas sekuen, yang terbentuk akibat penurunan muka air laut relatif, mungkin sukar untuk dapat dikenal hanya dari data log.
Keberadaan batas sekuen memerlukan bukti-bukti dislokasi fasies; superposisi fasies proksimal terhadap fasies distal, tanpa
diselingi oleh fasies transisi. Gejala seperti ini kemungkinan besar hanya dapat dikenali keberadaannya pada dua tempat: (1) di
muka highstand clinoform; dan (2) di lembah torehan. Di tempat lain, dislokasi fasies mungkin tidak cukup berarti dan, oleh
karena itu, batas sekuen kemungkinan besar akan berimpit dengan flooding surface terakhir. Pada kasus dimana suatu bidang
diperkirakan merupakan batas sekuen, namun tidak dapat terbuktikan secara meyakinkan, maka dikatakan bahwa bidang itu
merupakan "kandidat" batas sekuen yang selanjutnya dapat digunakan untuk merekonstruksikan model-model prediktif. Pada
lereng klinoform, batas sekuen tipe-1 ditandai oleh loncatan dalam trend makin bersih ke atas pada suatu tempat. Sebagaimana
telah dikemukakan di atas, gejala seperti ini dengan mudah tertukar dengan sesar normal. Hanya sumur-sumur yang melalui
bagian akhir dari klinoform saja yang dapat memperlihatkan gejala tersebut.
Pada topset, batas sekuen tipe-1 juga dapat dimanifestasikan sebagai loncatan fasies, dari fasies yang relatif "kotor"
menjadi fasies yang jauh lebih "bersih," misalnya dari parasekuen paparan menjadi endapan fluviatil atau dari parasekuen
paparan distal menjadi parasekuen paparan proximal yang relatif jauh lebih bersih. Batas bawah yang tajam dari lapisan
batupasir (gambar 4-13) dapat digunakan sebagai kandidat batas sekuen. Tafsiran alternatif untuk lapisan batupasir itu adalah
ravinement surface. Ada dua batas sekuen dapat dikenal keberadaannya dalam Kelompok Brent (Jura Tengah) di sebelah utara
Laut Utara (gambar 4-15). Batas sekuen yang terletak di bawah dikenal berdasarkan pola log makin bersih ke atas yang muncul
secara tiba-tiba dan adanya data inti bor yang menunjukkan bahwa fasies gisik transgresi menindih batulumpur paparan
(perhatikan adanya lonjakan besar butir sebagaimana ditunjukkan oleh penampang stratigrafi dari inti bor). Kehadiran batas
sekuen yang terletak di atas tidak terlalu jelas. Walau demikian, batas sekuen itu dapat dikenal juga berdasarkan pola log makin
bersih ke atas yang muncul agak tiba-tiba dan adanya data inti bor yang menunjukkan adanya pergantian dari batupasir
bioturbasi yang merupakan endapan lower shoreface menjadi batupasir gisik yang jauh lebih bersih (dan lebih kasar).
Dalam sumur-sumur pengeboran yang menembus lembah torehan, mungkin ditemukan suatu paket yang dialasi oleh bidang
batas yang tajam, dimana di atas bidang itu akan ditemukan pasir bersih yang memperlihatkan pola log makin halus ke atas
atau pola log silindris. Paket ini, bersama-sama dengan endapan yang terletak dibawahnya, mengindikasikan gejala pen-
dangkalan yang tiba-tiba, dari endapan paparan yang terletak di bawah bidang itu menjadi paket makin halus ke atas yang
merupakan endapan fluviatil atau endapan estuarium. Walau demikian, lembah torehan kadang-kadang diisi oleh material
serpihan, yang kemungkinan merupakan bagian dari transgressive systems tract. Pada kasus yang disebut terakhir ini,
keberadaan lembah torehan menjadi sukar atau bahkan tidak mungkin untuk diketahui. Apabila "beruntung", maka sejumlah
sumur pengeboran yang melalui lembah torehan seperti itu masih mengindikasikan gejala penorehan atau menunjukkan khuluk
estuarium dari serpih pengisi lembah torehan.
Batas sekuen sering merupakan batas dimana terjadi perubahan tiba-tiba ke arah atas, dari pola log yang mengindikasikan
progradasi menjadi pola log yang mengindikasikan aggradasi atau retrogradaasi. Sebuah kandidat batas sekuen diberi tanda
dengan ungkapan "downshif?" pada gambar 4-14, dimana bidang itu dipilih sebagai kandidat batas sekuen karena menandai
terjadinya perubahan pola tumpukan batuan secara tiba-tiba, disertai oleh perpindahan garis-dasar serpih dan garis-dasar pasir
yang agak samar pada log sinar gamma. Bukti lain yang digunakan sebagai penunjang tafsiran ini adalah ditemukannya kerikil
endapan sisa tepat pada horizon tersebut dalam beberapa sumur yang berbeda.
Di banyak tempat, batas sekuen berimpit dengan flooding surface dan tidak ditandai oleh adanya perpindahan fasies ke arah
cekungan. Dalam kasus seperti ini, batas sekuen tidak akan terlihat dalam wireline log.
Batas sekuen tipe-2 (Van Wagoner dkk, 1988) sukar atau tidak mungkin dapat dikenal hanya dari wireline logs. Dari definisi-
nya, kriterion kritis dari batas sekuen ini adalah adanya pergeseran coastal onlap hingga melewati offlap break. Karena itu,
keberadaan batas sekuen ini hanya akan diketahui dari hasil pengamatan terhadap sehimpunan well logs yang berasal dari
sumur-sumur yang saling berdekatan dalam suatu pola yang teratur. Hal ini dimungkinkan setelah data-data himpunan well logs
itu saling dikorelasikan satu dengan yang lain sedemikian rupa sehingga kita akan diperoleh gambaran evolusi coastal onlap
dari waktu ke waktu. Karena batas sekuen tipe-2 umumnya tidak berasosiasi dengan jebakan hidrokarbon, maka kesulitan
dalam mengenal bidang tersebut tidak terlalu mengkhawatirkan para eksplorer. Van Wagoner dkk (1988) menyatakan bahwa
batas sekuen tipe-2 dapat ditafsirkan keberadaannya dari data waktu dimana laju penaikan muka air laut mencapai harga
minimum dan bahwa batas itu akan terletak di atas parasekuen yang menipis ke atas dan di bawah parasekuen yang menebal
ke atas. Walau demikian, sebagian ahli meragukan apakah laju penaikan minimum seperti itu akan menghasilkan batas sekuen
atau tidak.
46
Sekuen Stratigrafi Emery dkk (1996)
hanya ada satu sumur bor), maka tidak mungkin bagi kita untuk dapat memutuskan apakah kipas yang sedang diamati memiliki
kaitan dengan posisi muka air laut rendah atau tidak.
Lowstand prograding wedge dapat dikenal sebagai paket batuan pengisi tepi cekungan yang berprogadasi ke arah cekung-
an serta terletak di atas batas sekuen dan di bawah maximum progradation surface. Dengan demikian, satu prasyarat mutlak
untuk dapat menyatakan bahwa suatu endapan merupakan lowstand prograding wedge adalah kita telah mengetahui posisi
batas sekuen. Persyaratan ini kadang-kadang tidak dapat terpenuhi jika kita hanya memiliki data well logs. Topset para-
sequences dari lowstand prograding wedge idealnya merupakan paket-paket batuan yang menebal ke atas dan mengindikasi-
kan percepatan laju penaikan muka air laut relatif. Peristiwa peningkatan laju penaikan muka air laut relatif itupun akan di-
indikasikan oleh perubahan pola progradasi menjadi pola agradasi.
Transgressive systems tract dapat dikenal sebagai himpunan parasekuen retrogradasional yang terletak di atas maximum
progradation surface (yang sering berimpit dengan batas sekuen) dan di bawah maximum flooding surface atau condensed
section yang korelatif dengannya.
Highstand systems tract dapat dikenal sebagai paket batuan pengisi tepi cekungan yang berprogradasi ke arah cekungan
serta terletak di atas maximum flooding surface dan di bawah batas sekuen. Sebagaimana kasus lowstand fan, persyaratan
mutlak yang harus dipenuhi agar kita dapat menentukan bahwa suatu paket batuan adalah highstand systems tract adalah
mengetahui posisi batas sekuen. Persyaratan ini kadang-kadang tidak dapat terpenuhi apabila kita hanya memiliki data well
logs. Topset parasequences dari highstand systems tract idealnya merupakan paket-paket batuan yang menipis ke atas dan
mengindikasikan penurunan laju penaikan muka air laut relatif.
Shelf-margin systems tract dapat dikenal sebagai paket batuan pengisi tepi cekungan yang berprogradasi serta terletak di
atas batas sekuen tipe-2 dan di bawah maximum progradation surface. Batas sekuen tipe-2, dan oleh karena itu shelf-margin
systems tract, sukar untuk dikenal dari data well logs saja.
4.4.9 Jebakan dan Ketaksaan dalam Analisis Sekuen Stratigrafi berdasarkan Well logs
Sebagian jebakan yang harus disingkirkan dalam usaha mengaitkan kurva log dengan parameter-parameter pengendapan
telah dijelaskan pada 4.4.1, sedangkan jebakan yang harus disingkirkan dalam menafsirkan well logs telah dijelaskan pada
4.4.2.
Di bawah ini akan dikemukakan sejumlah jebakan yang mungkin ditemui dan sejumlah petunjuk yang diperlukkan untuk
menghindarkannya:
1. Apabila memungkinkan, gunakan data inti bor sebagai pengontrol. Kurva log, meskipun telah dikalibrasi oleh data inti bor,
bukan alat yang tidak mungkin salah dalam penafsiran lingkungan pengendapan dan systems tract.
2. Jangan mengharapkan bahwa kita akan menemukan semua systems tract dalam setiap sumur bor. Systems tract memiliki
penyebaran yang terbatas dan tempat pengendapannya seringkali bersifat eksklusif.
3. Jangan mengharapkan bahwa kita akan menemukan batas sekuen dalam setiap sumur bor. Batas sekuen hanya akan jelas
terlihat pada bidang dimana lowstand wedge terletak onlap terhadap highstand front dan pada dasar lembah torehan. Di
tempat lain, batas sekuen mungkin berimpit dengan bidang transgresi atau terletak di dalam condensed section sehingga
tidak akan tampak jelas dalam well logs.
4. Ada beberapa bidang yang dapat menimbulkan batas log tajam, namun bukan merupakan batas sekuen. Bidang-bidang itu
antara lain sesar, bidang gelincir nendatan (slump scar), serta dasar alur.
5. Horizon terbaik untuk digunakan dalam korelasi antar sumur bor adalah maximum flooding surface dan condensed section
yang korelatif dengannya. Horizon tersebut biasanya dapat dengan relatif mudah dikenal dalam well logs serta biasanya
banyak mengandung fosil sehingga relatif mudah untuk ditentukan umurnya dengan hasil yang baik.
6. Korelasi antar berbagai paket batuan yang terletak diantara dua maximum flooding surface kadang-kadang sukar dilakukan.
Batas sekuen yang ditemukan pada dua sumur bor yang terpisah jauh mungkin tidak korelatif satu sama lain, terutama
apabila kita menemukan indikasi adanya lebih dari satu sekuen di daerah tersebut.
7. Systems tract tidak dapat diberi nama sebelum kriteria pendukungnya menyakinkan. Sebagai contoh, suatu paket batuan
yang mengindikasikan progradasi mungkin dapat dikenal dalam sebuah sumur bor, namun selama batas sekuen tidak
diketahui, systems tract tersebut tidak dapat disebut katakanlah progradasional systems tract. Kriteria yang meyakinkan
biasanya tidak ditemukan dalam satu sumur bor, namun kemungkinan akan dapat diketahui berdasarkan data gabungan
yang diperoleh dari sejumlah sumur bor yang diletakkan pada posisi yang relatif teratur atau dari data seismik dengan
resolusi cukup tinggi.
8. Pemilihan datum-gantung (hanging-datum), yakni datum dimana kita akan meletakkan semua data sumur sedemikian rupa
sehingga dianggap bahwa semua sumur itu berada pada posisi sewaktu pengendapan terjadi, sangat penting artinya karena
pemilihan ini akan menentukan bagaimana garis-garis korelasi selanjutnya akan dibuat. Contoh korelasi yang salah, akibat
kesalahan pemilihan datum-gantung, diperlihatkan oleh Van Wagoner dkk (1990). Datum-gantung ideal adalah datum yang
terletak relatif mendatar sewaktu diendapkan. Lapisan batubara yang melampar luas atau major marine flooding surface
dapat berperan sebagai datum-gantung yang baik untuk daerah-daerah yang terletak di sebelah dalam tekuk paparan.
4.4.10 Check-list untuk Penafsiran Sekuen Stratigrafi berdasarkan Data Well logs
1. Tampilkan data-data well logs dalam skala yang konsisten. Pilihlah beberapa trend log yang tampak jelas. Walau demikian,
perlu diketahui bahwa skala log standar jauh dari skala ideal yang dapat menampilkan trend log.
47
Sekuen Stratigrafi Emery dkk (1996)
2. Tandai trend-trend utama pada log. Tafsirkan pertama-tama dengan menggunakan log sinar gamma, kemudian cross-check
tafsiran itu dengan log lain. Gunakan kontrol data inti bor untuk mengaitkan fasies dengan data log. Perhatikan kemungkinan
adanya horizon yang tersemenkan dalam log sonik, hydrocarbon legs pada log resistivitas, perubahan dari batuan klastika
ke batuan non-klastika, dan casing shoes (yang seringkali tampak seperti major break dalam trend log).
3. Tafsirkan tatanan pengendapan secara garis besar—prograding clinoform, topset parasequences, cekungan, dsb—
berdasarkan trend log dan litologi penciri (misalnya batubara).
4. Gunakan data lain sebagai penunjang tafsiran lingkungan pengendapan: data seismik, inti bor, biostratigrafi.
5. Tafsirkan major condensed section pada batas-batas trend log dan/atau berdasarkan karakter log yang khas. Gunakan data
biostratigrafi (data kelimpahan fauna) sebagai penunjang tafsiran tersebut.
6. Tentukan interval-interval progradasi dan retrogradasi berdasarkan pengetahuan mengenai pola tumpukan parasekuen dan
pola major condensed section. Kenali maximum flooding surface dan maximum progradation surface. Gunakan data seismik
sebagai cross-check terhadap hasil tafsiran tersebut.
7. Tafsirkan kandidat batas sekuen dari gejala ketidaksinambungan fasies, bukti adanya penorehan topset, dsb. Cross-check
tafsiran ini dengan data seismik dan data inti bor. Perhatikan kemungkinan adanya sesar normal, casing shoes, dsb.
8. Tafsirkan pola penebalan dan penipisan parasekuen yang mengindikasikan variasi laju penaikan muka air laut relatif.
9. Tafsirkan systems tract, jika kriteria yang dipersyaratkan ada, berdasarkan pola tumpukan parasekuen dan khuluk batas-
batas systems tract. Pengetahuan sedimentologi yang diperoleh dari inti bor mungkin dapat membantu tugas ini karena
fasies-fasies tertentu mengindikasikan systems tract tertentu pula. Sebagai contoh, batubara dan endapan pasut meng-
indikasikan transgressive systems tract. Cross-check tafsiran ini dengan data seismik.
10. Lanjutkan proses penafsiran ke seluruh bagian sumur. Ikatkan tafsiran terhadap data seismik secara hati-hati dengan
menggunakan seismogram sintetis (synthetic seismogram), kemudian korelasikan dengan data biostratigrafi. Korelasikan
sekuen, systems tract, dan parasekuen (jika memungkinkan).
48
Sekuen Stratigrafi Emery dkk (1996)
BAB 5
DIAGRAM KRONOSTRATIGRAFI
49
Sekuen Stratigrafi Emery dkk (1996)
ekspresi kronostratigrafi yang berbeda (gambar 5-1b dan 5-1e). Adalah suatu hal yang penting untuk membedakan bidang-
bidang tersebut dan hubungan terminasinya dalam diagram kronostratigrafi.
Bidang-bidang seismik non-marin (non-marine seismic surfaces) merepresentasikan produk erosi non-marin, by-passing,
dan/atau non pengendapan. Bidang tersebut ditindih oleh coastal onlap (yang mungkin dapat tererosi kembali sewaktu garis
pantai mundur ke arah darat) dan menindih toplap atau erosional truncation. Dalam diagram kronostratigrafi, ruang yang
merepresentasikan bidang tersebut mencakup daerah dimana dahulu strata batuan pernah diendapkan (dan kemudian tererosi
kembali) serta ruang yang merepresentasikan non-pengendapan.
Bidang-bidang seismik bahari (marine seismic surfaces) merepresentasikan waktu non-pengendapan bahari, kondensasi,
dan/atau erosi. Bidang tersebut ditindih oleh marine onlap dan menindih bidang pemancungan semu, bidang pemancungan
erosi bahari, atau oleh bidang keselarasan semu. Dalam diagram kronostratigrafi, ruang yang merepresentasikan bidang ini
mencakup daerah dimana terjadi hiatus bahari dan kondensasi, dan mungkin pula mencakup wilayah dimana strata pernah
diendapkan (namun kemudian tererosi kembali).
Bidang sesar (fault-plane surface) merepresentasikan dislokasi strata akibat ekstensi, diapirisme, atau kompresi. Dalam
diagram kronostratigrafi, ruang yang merepresentasikan bidang ini menyatakan tempat dimana batuan tidak ditemukan akibat
ekstensi atau tempat dimana ditemukan duplikasi batuan akibat pemendekan.
Bidang-bidang seismik melingkupi paket-paket pengendapan (atau systems tract). Paket-paket pengendapan itu merupakan
unsur-unsur penyusun stratigrafi yang ingin kita plot ke dalam diagram kronostratigrafi. Pada gambar 5-1b, bidang-bidang
seismik non-bahari hadir pada bagian kiri, kemudian menyebar ke sebelah kanan (ke arah cekungan) untuk kemudian berubah
menjadi keselarasan semu. Batas antara satuan 2 dan 4 adalah bidang seismik non-bahari yang ditindih oleh coastal onlap dan
menindih toplap. Bidang-bidang seismik di bagian kanan diagram itu cenderung merupakan bidang-bidang seismik bahari.
Bidang-bidang yang disebut terakhir ini sebagian onlapping ke arah darat (bidang-bidang seismik antara 2 dan 4), sedangkan
sebagian yang lain menerus ke arah darat menjadi keselarasan semu (batas antara 1 dan 2).
1 Perlu diketahui bahwa panjang garis horizontal itu sama dengan panjang keseluruhan reflektor yang berkorespondensi dengannya. Walau demikian, karena
setiap reflektor itu merepresentasikan waktu yang sama, maka akan digambarkan sebagai satu garis lurus. Titik pada ―garis waktu‖ itu menyatakan titik dimana
reflektor itu berubah kemiringannya pada penampang seismik. Dengan kata lain, setiap titik itu merepresentasikan offlap break. [Pent.]
50
Sekuen Stratigrafi Emery dkk (1996)
Bagian diagram yang tidak ditutupi oleh garis-garis horizontal merepresentasikan waktu dan lokasi non-pengendapan, erosi,
kondensasi yang berada di bawah resolusi seismik, atau merepresentasikan sesar. Bagian-bagian itu berkorespondensi dengan
bidang-bidang seismik yang telah dijelaskan di atas. Sudah barang tentu kita perlu membedakan bagian-bagian tersebut.
Sewaktu membaca diagram, kita harus tahu apakah ruang kosong yang menyatakan non-pengendapan merepresentasikan
condensed section bahari atau merupakan ciri penyingkapan dan erosi yang berlangsung di atas muka air laut. Pengetahuan itu
diperlukan untuk memahami sejarah cekungan dan untuk menempatkan systems tracts dalam konteks daur perubahan muka air
laut relatif. Sebagian besar proses penafsiran mungkin berlangsung pada fasa ini. Gambar 5-1e memperlihatkan diagram krono-
stratigrafi yang telah ditafsirkan secara lengkap berdasarkan data seismik yang diperlihatkan pada gambar 5-1a.
5.2.7 Mengaitkan Skala Waktu Diagram Kronostratigrafi dengan Skala Waktu Absolut
Diagram yang telah dibuat di atas memiliki sumbu waktu sebagai sumbu vertikal, namun skala waktunya tidak bersifat linier.
Reflektor-reflektor seismik telah dirajahkan menurut urut-urutan waktu pembentukannya dengan menggunakan cara dimana
jarak antara dua refleksi seismik dibuat sama di seluruh bagian diagram. Jika kita memiliki data umur absolut dari setiap bagian
stratigrafi, maka diagram tersebut dapat dibuat dengan memakai skala waktu absolut sebagai sumbu vertikal. Walau demikian,
hal itu bukan merupakan pekerjaan sepele. Umur absolut mungkin hanya diambil dari sejumlah bidang pembatas kunci dan,
oleh karena itu, umur batuan yang terletak diantara bidang-bidang tersebut harus diekstrapolasikan dari data-data umur yang
ada. Hal ini dapat dilakukan dengan menganggap bahwa rentang waktu yang dicerminkan olah batuan-batuan yang terletak
diantara dua reflektor seismik adalah sama sedemikian rupa sehingga umur dari setiap refleksi seismik kemudian dapat ditentu-
kan berdasarkan umur dua bidang kunci yang membatasinya. Cara lain adalah dengan memakai pembobotan, misalnya saja
dengan menganggap bahwa refleksi seismik yang memiliki pelamparan lebih luas mengindikasikan rentang waktu yang lebih
panjang.
Hampir dapat dipastikan bahwa akan ada paket-paket endapan yang tidak tertampilkan pada penampang seismik karena
paket-paket endapan itu tidak terlalui oleh garis survey seismik. Waktu pengendapan paket-paket tersebut akan ditampilkan
pada penampang seismik sebagai hiatus, kondensasi, by-passing, atau erosi. Perekonstruksian diagram kronostratigrafi dua
dimensi yang didasarkan pada satu penampang seismik belum memadai untuk dapat menunjukkan hiatus itu. Pembobotan yang
layak tidak akan dapat diberikan kepada rumpang yang ada, kecuali apabila diagram kronostratigrafinya dibuat dalam tiga
dimensi. Walau demikian, pembuatan diagram kronostratigrafi tiga dimensi terlalu kompleks untuk dilakukan secara manual,
kecuali apabila kita dapat memanfaatkan metoda-metoda komputer seperti dikemukakan oleh Nordlund & Griffiths (1993).
51
Sekuen Stratigrafi Emery dkk (1996)
Pada paket endapan cekungan, condensed section dibatasi oleh marine onlap. Pada tepi cekungan, condensed section
ditindih oleh downlap surface dan menindih apparent truncation.
Pada diagram kronostratigrafi, condensed section akan tampak sebagai sebuah daerah dengan bentuk seperti segitiga,
dimana ujung segitiga itu berkorespondensi dengan waktu pada saat mana terjadi maximum flooding (MSF pada gambar 5-2).
Bentuk condensed section pada diagram kronostratigrafi endapan endapan cekungan lebih kompleks. Di tempat itu lokasi
pengendapan dari waktu ke waktu dipengaruhi oleh bentuk cekungan serta oleh pola pertumbuhan dan perpindahan autosiklis
dari kipas bawah laut.
5.4 COASTAL ONLAP CURVES DAN KURVA PERUBAHAN MUKA AIR LAUT RELATIF
Perekonstruksian diagram kronostratigrafi bukan merupakan pekerjaan akhir dari analisis sekuen stratigrafi. Diagram
kronostratigrafi, yang terutama didasarkan pada penampang seismik, dapat dipakai untuk merekonstruksikan perubahan muka
air laut relatif yang merupakan salah satu faktor pengontrol kunci dalam stratigrafi. Kurva perubahan muka air laut itu selanjutnya
dapat digunakan untuk menentukan saat-saat terjadinya pergerakan tektonik lokal, membedakan peristiwa-peristiwa peng-
endapan regional, dan memprediksikan tatanan stratigrafi pada bagian-bagian cekungan yang belum dibor dengan memakai
model-model sekuen stratigrafi.
Kurva perubahan muka air laut relatif (relative sea-level curve) dapat dibuat langsung dari pola-pola perpindahan offlap
break dari waktu ke waktu, jika data seismik yang ada memang memungkinkan. Walau demikian, kurva perubahan muka air laut
lebih sering dibuat berdasarkan coastal onlap curve.
52
Sekuen Stratigrafi Emery dkk (1996)
jelas memperlihatkan terjadi peristiwa-peristiwa progradasi (pergerakan offlap break ke arah laut), retrogradasi (pergerakan
offlap break ke arah darat), dan aggradasi (kedudukan offlap break secara stasioner).
Variasi muka air laut relatif dapat dibaca dari coastal onlap curve. Pergeseran coastal onlap ke arah darat mengindikasikan
penaikan muka air laut relatif, sedangkan pergeseran coastal onlap ke arah laut mengindikasikan penurunan muka air laut
relatif. Hal ini dapat dilihat pada gambar 5-4, dimana pergeseran coastal onlap ke arah darat pada lowstand wedge, highstand
systems tract, dan transgressive systems tract berasosiasi dengan penaikan muka air laut relatif, sedangkan penurunan muka
air laut relatif yang kemudian diikuti oleh pengendapan kipas bawahlaut berasosiasi dengan pergerakan coastal onlap ke arah
laut. Besaran pergerakan lateral coastal onlap sebagian tergantung pada besaran perubahan muka air laut relatif dan sebagian
lain tergantung pada topografi cekungan. Besaran pergerakan itu sama dengan perubahan muka air laut relatif dibagi dengan
tangen kemiringan topografis. Dengan demikian, adalah suatu hal yang sukar untuk mengetahui besaran perubahan muka air
laut relatif dari coastal onlap curve, meskipun frekuensi perubahannya sendiri terekam dalam kurva tersebut. Walau demikian,
perlu selalu dicamkan bahwa suatu penampang seismik mungkin tidak memperlihatkan salah satu bahkan semua rekaman
perubahan-perubahan tersebut. Sebagai contoh, suatu penampang seismik mungkin tidak memotong lowstand wedge dan, oleh
karena itu, perubahan muka air laut relatif yang berasosiasi dengan lowstand wedge itu tidak akan tampak dalam diagram
kronostratigrafi yang direkonstruksikan dari garis tersebut. Analisis kronostratigrafi tiga dimensi diperlukan untuk mendapatkan
pemahaman yang menyeluruh mengenai sejarah perubahan muka air laut di suatu daerah. Selain itu, erosi yang terjadi pada
rentang waktu yang panjang mungkin menyebabkan terhapusnya jejak perubahan muka air laut yang terbentuk sebelumnya.
Coastal onlap curve dari sejumlah cekungan yang diteliti oleh Exxon pada dasawarsa 1970-an dan digunakan untuk
merekonstruksikan coastal onlap curve global-komposit diterbitkan oleh Haq dkk (1988). Bentuk kurva yang seperti mata gergaji
itu muncul sebagai artefak dari proses perajahannya. Pergeseran coastal onlap ke arah cekungan yang berlangsung tiba-tiba
merepresentasikan batas antara onlapping topset dari highstand systems tract dengan onlapping topset dari lowstand systems
tract. Dalam beberapa kasus, pola-pola onlap dalam lowstand fan juga dimasukan ke dalam coastal onlap curve. Ketidak-
setangkupan variasi coastal onlap hendaknya tidak dipandang sebagai ketidaksetangkupan perubahan muka air laut relatif
(berupa penurunan yang cepat dan penaikan yang lambat). Ketidaksetangkupan daur coastal onlap merupakan produk
tanggapan sedimen terhadap variasi muka air laut yang seperti gelombang sinus itu.
53
Sekuen Stratigrafi Emery dkk (1996)
Gambar 5-6 merupakan kurva perubahan muka air laut relatif dari lintasan seismik yang sama (Jones & Milton, 1994). Kurva
itu dibuat dalam skala milidetik (belum dikonversikan ke dalam skala kedalaman) serta belum memperhitungkan efek-efek
kompaksi. Walau demikian, dengan memakai konversi kasar 1 m untuk setiap 1 milidetik, kita akan memperoleh gambaran
mengenai besaran dan frekuensi perubahan muka air laut relatif pada Paleogen. Perubahan muka air laut relatif dengan
besaran yang berbeda-beda juga dapat dilihat pada gambar tersebut dan dapat ditafsirkan sebagai penyebab terjadinya
geseran-geseran coastal onlap seperti terlihat pada gambar 5-5. Besaran perubahan muka air laut di bagian bawah gambar itu
adalah beberapa ratus meter.
Kala Paleosen di Laut Utara merupakan waktu dimana terjadi pemasokan sedimen yang cepat ke dalam cekungan laut
dalam yang sebelumnya tidak terlalu banyak memperoleh pasokan sedimen klastika dan merupakan tempat pembentukan
endapan kapur. Dilihat dari sejarahnya, tingginya pasokan sedimen itu terjadi sejala dengan terangkatnya Scottish mainland.
Pengangkatan itu sendiri terjadi akibat berkembangnya suatu mantle hotspot. Berdasarkan rekonstruksi cekungan, Milton dkk
(1991) berpendapat bahwa peristiwa pengangkatan tidak hanya mempengaruhi hinterland, namun juga cekungannya. Analisis
kronostratigrafi yang dilakukan oleh Jones & Milton (1994) memungkinkan proses pengangkatan itu ditunjukkan, ditentukan
rentang waktu terjadinya, serta diukur besarannya. Dengan demikian, peningkatan pasokan sedimen klastika dapat ditunjukkan
berlangsung bersamaan dengan peristiwa penurunan muka air laut relatif yang disebabkan oleh aktivitas tektonik. Karena itu,
tidak mengherankan apabila sekarang kita menemukan bahwa rekaman Paleosen di daerah itu awalnya didominasi oleh kipas
bawahlaut. Daur perubahan muka air laut orde-3 juga dapat dikenal dalam diagram tersebut. Pengetahuan mengenai daur itu
dapat dipakai sebagai faktor pengontrol individu-individu paket stratigrafi yang ada dalam paket endapan Paleogen.
54
Sekuen Stratigrafi Emery dkk (1996)
BAB 6
BIOSTRATIGRAFI
6.1 PENDAHULUAN
Biostratigrafi adalah cabang stratigrafi yang didasarkan pada pengetahuan tentang fosil yang ada dalam batuan. Ilmu ini
memanfaatkan kisaran kronostratigrafi dari berbagai spesies fosil untuk (1) mengkorelasikan penampang-penampang stratigrafi;
dan (2) menafsirkan lingkungan pengendapan.
Sebelum ada data seismik, metoda biostratigrafi merupakan satu-satunya cara yang dimiliki para ahli geologi untuk meng-
korelasikan bagian-bagian penampang yang umurnya "sama" (dalam batas resolusi biostratigrafi). Walau demikian, kebanyakan
fosil yang digunakan para ahli paleontologi sebelum pertengahan abad ini bukan organisma yang hidup di dalam kolom air laut
(plankton), melainkan organisma dasar laut (bentos). Dengan demikian, korelasi-korelasi yang dibuat waktu itu sebenarnya lebih
menunjukkan kesamaan kondisi lingkungan dan fasies pengendapan; bukan kesamaan waktu (Loutit dkk, 1988). Karena itu,
tidak mengherankan jika banyak satuan litostratigrafi lama mengandung kumpulan fosil bentonik yang sifatnya khas. Hal inilah
yang kemudian menyebabkan timbulnya praktek pengkorelasian satuan-satuan litostratigrafi.
Dewasa ini, praktek korelasi dalam analisis cekungan lebih banyak dilakukan berdasarkan seismik stratigrafi, bukan bio-
stratigrafi. Walau demikian, bersama-sama dengan metoda penanggalan lain seperti isotope stratigraphy (Emery & Robinson,
1993) dan magnetostratigrafi, biostratigrafi memegang peranan penting dalam memberikan kontrol umur terhadap korelasi
seismik stratigrafi (Armentrout, 1987; Loutit dkk, 1988; McNeil dkk, 1990). Selain itu, tanpa batuan biostratigrafi, seismik strati-
grafi hanya akan memiliki penerapan yang sangat terbatas dalam menganalisis daerah dengan struktur yang rumit.
Bab ini akan memperlihatkan bagaimana data biostratigrafi dapat dipadukan dengan teknik-teknik lain untuk meningkatkan
penafsiran sekuen stratigrafi.
55
Sekuen Stratigrafi Emery dkk (1996)
Keberadaan organisma yang kemudian menjadi fosil merupakan fungsi dari evolusi, kondisi lingkungan, dan geografi.
Terawetkan tidaknya suatu organisma tergantung pada susunan mineral dan kimia tubuh organisma itu, pada lingkungan
dimana tubuh organisma itu terendapkan, dan pada sejarah diagenesis setelah tubuh organisma tertutup oleh sedimen yang
diendapkan kemudian. Ketidakhadiran fosil indeks tertentu, baik karena keterbatasan biofasies atau karena tidak terawetkan,
merupakan faktor pembatas bagi studi biostratigrafi dan menjadi penghalang utama dalam usaha penafsirannya.
56
Sekuen Stratigrafi Emery dkk (1996)
lain seperti ganggang kapur bentonik, conodonta, dan ostracoda juga tidak jarang digunakan (gambar 6-2). Foraminifera
bentonik hidup dalam lingkungan yang bervariasi, mulai dari tepi laut hingga laut-dalam (Murray, 1973, 1992). Organisma bentos
juga tahan terhadap variasi kondisi lingkungan seperti temperatur, kadar oksigen, salinitas, kondisi substrat, dan tingkat
penetrasi cahaya (gambar 6-3). Pada lingkungan batial dan abisal, sifat-sifat fisik air laut yang berlapis—misalnya akibat per-
bedaan kadar bahan makanan, oksigen, salinitas, dan temperatur—mengontrol penyebaran organisma bentonik. Di paparan,
faktor-faktor yang mengontrol penyebaran organisma bentonik adalah energi arus, tipe substrat, salinitas, temperatur, dan
intensitas cahaya. Karena itu, ada suatu hubungan umum antara organisma bentonik dengan kedalaman (gambar 6-4).
Metoda lain untuk menentukan lingkungan adalah analisis palinofasies (palynofacies; lihat gambar 6-5). Metoda ini terbukti
cukup ampuh, khususnya pada sistem sungai-delta seperti dalam kasus di Provinsi Brent dan Laut Utara (Denison & Fowler,
1980; Hancock & Fisher, 1981; Parry dkk, 1981; Nagy dkk, 1984).
6.3.2 Plankton
Organisma yang hidup melayang-layang dalam kolom air disebut plankton. Penyebaran plankton bahari juga dikontrol oleh
parameter-parameter lingkungan seperti salintas, pasokan oksigen, temperatur, dan ketersediaan bahan makanan. Fitoplankton
(phytoplankton) dikontrol oleh intensitas cahaya, yang nilainya akan menurun dengan bertambahnya kedalaman atau dengan
makin keruhnya air. Karena itu, fitoplankton tidak hidup di daerah air turbid seperti di sekitar sistem delta yang berlumpur.
Parameter lingkungan bahari berbeda-beda, tergantung pada asal-usul air, iklim, geografi, dan kedalaman. Keberadaan suatu
plankton juga dipengaruhi oleh tingkat toleransi yang dimilikinya terhadap parameter-parameter lingkungan tersebut di atas.
Sebagai contoh, radiolaria dan foraminifera planktonik jarang ditemukan di paparan, sedangkan dinoflagelata dan acritarch
dapat hidup mulai dari lingkungan laut tepi hingga laut terbuka (gambar 6-6). Karena itu, penyebaran fosil plankton tertentu
secara kasar dapat pula dikaitkan dengan massa air, kedalaman, dan jaraknya terhadap daratan.
Nisbah mikrofosil plantonik terhadap bentonik (Murray, 1976) dan nisbah dinocyst laut-"dalam" terhadap dinocyst laut-
"dangkal" memberikan informasi mengenai tingkat "kelautan" dan upwelling.
6.3.3 Biofasies
Suatu kumpulan organisma yang mencirikan lingkungan pengendapan tertentu disebut biofasies. Komposisi fosil dalam
setiap biofasies merupakan fungsi dari kondisi lingkungan, redistribusi post-mortem oleh aliran gravitasi, dan sejarah diagenesis
batuan. Sebagian besar spesies fosil dapat digunakan untuk mencirikan lingkungan. Walau demikian, ukurannya yang kecil,
daya pengawetannya yang relatif tinggi, dan penyebarannya yang luas menyebabkan foraminifera bentonik menjadi tipe fosil
istimewa untuk digunakan sebagai dasar penentuan biofasies. Penyebaran sedimen hanya merupakan salah satu dari sekian
parameter lingkungan yang mengontrol biofasies. Jadi, sebenarnya tidak ada hubungan sederhana antara biofasies dengan
jenis sedimen. Meskipun demikian, pada lingkungan laut dangkal, hubungan biofasies dengan energi gelombang dan pasut
demikian erat dan, oleh karena itu, hubungan antara biofasies dengan besar butir sedimen juga cukup erat di wilayah tersebut.
Pada sistem pengendapan progradasional dan retrogradasional, parameter lingkungan mengontrol penyebaran kumpulan
fosil. Karena itu, dalam sistem tersebut, biofasies juga berpindah-pindah ke arah laut dan ke arah darat. Dengan demikian, data
fosil secara vertikal dalam sistem pengendapan progradasional dan retrogradasional mencerminkan sejarah batimetri suatu
cekungan. Dengan data itu dapat dikesimpulkan apakah tepi cekungan telah berprogradasi, beretrogradasi, atau beragradasi.
Dalam sistem progradasional dan retrogradasional, batas antar biofasies merupakan bidang diakron (Armentrout, 1987).
Akibatnya, datum-datum pemunculan pertama dan pemunculan terakhir yang berimpit dengan perubahan lingkungan tidak
harus diartikan sebagai sebagai titik-titik kelahiran dan kepunahan spesies tertentu, melainkan mungkin hanya sekedar batas
biofasies diakron yang berkaitan dengan proses progradasi dan retrogradasi dalam cekungan tersebut (gambar 6-7).
57
Sekuen Stratigrafi Emery dkk (1996)
58
Sekuen Stratigrafi Emery dkk (1996)
Shelf (Australia), dan Partington dkk (1993) terhadap endapan Jura di Laut Utara. Hasil-hasil penelitian yang disebut terakhir ini
banyak menambah pengetahuan kita mengenai topik yang menarik ini.
59
Sekuen Stratigrafi Emery dkk (1996)
makin ke atas mengindikasikan wilayah perairan yang lebih dangkal, atau oleh superposisi kumpulan fosil terestris di atas
kumpulan fosil bahari. Pada cekungan yang lebih dalam, lowstand systems tract dikenal oleh adanya peningkatan laju pasokan
sedimen silisiklastik dan sedimen yang mengandung reworked fossils, namun memiliki kelimpahan fosil setempat yang rendah
(Armentrout dkk, 1991). Bidang erosi yang ada di bawah endapan lowstand biasanya tidak tersebar luas dalam cekungan laut-
dalam dan seringkali hanya terbatas dalam sistem alur atau pada sisa-sisa lereng lokal yang tidak stabil. Bentos batial juga
tampaknya tidak cukup sensitif untuk memperlihatkan suatu tanggapan khusus terhadap perubahan batimetri yang berasosiasi
dengan penurunan muka air laut (Armentrout dkk, 1991).
Lowstand systems tract terdiri dari dua komponen: lowstand fan, dan lowstand wedge. Lowstand fan (gambar 6-10)
merupakan produk aliran gravitasi, dimana aliran gravitasi itu sendiri terjadi akibat pasokan sedimen yang diangkut oleh sungai
mem-bypass paparan dan lereng benua bagian atas melalui lembah torehan dan ngarai bawah-laut (lihat Bab 9). Akibatnya,
lowstand fan kemungkinan banyak mengandung organisma daratan dan kumpulan reworked fossils yang tererosi dari paparan
dan lereng benua (Van Gorsel, 1988)d yang terangkut bersama-sama dengan reworked fossil asal-daratan. Jadi, endapan
lowstand fan dapat dikenal dari kehadiran exotic fossil assemblages yang tertanam dalam serpih bahari yang mengandung fosil-
fosil setempat.
Lowstand fan yang diendapkan dengan cepat umumnya tidak mengandung fosil laut-dalam in situ (Armentrout, 1991). Hal
itu mengakibatkan sulitnya menempatkan lowstand fan ke dalam konteks kronostratigrafi. Stewart (1987), berdasarkan hasil
penelitian bio- dan sekuen-stratigrafi terpadu terhadap endapan Paleogen di Laut Utara, menyatakan bahwa kumpulan-kumpul-
an mikrofosil jarang terdapat dalam Forties lowstand fan. Sebagai gantinya, kipas itu didominasi oleh agglutinated foraminifera
yang memiliki kisaran umur panjang.
Kipas yang diendapkan dengan cepat mengandung rip-up clasts yang tererosi dari lereng samudra sewaktu sebagian besar
sedimen diangkut menuju laut-dalam. Jika terfosilkan, rip-up clasts akan memberikan nilai umur maksimum untuk pembentukan
kipas. Jika tidak mengandung fosil setempat, umur lowstand fan dapat ditentukan umurnya dengan cara menentukan umur
serpih condensed section yang terletak di atas dan di bawah kipas. Interfan lobes dapat mengandung fosil setempat.
Reworked fossils memberikan informasi mengenai khuluk provenansi sedimen. Informasi itu secara tidak langsung akan
mengindikasikan tipe kipas yang akan terbentuk: apakah kipas yang didominasi oleh pasir, lumpur, atau campuran pasir-lumpur.
Kipas yang kaya akan pasir biasanya terdiri dari sejumlah lapisan pasir masif, terbentuk cepat, dan miskin akan fosil sehingga
sukar ditentukan umurnya. Lowstand fan yang kaya akan lumpur biasanya terbentuk pada rentang waktu yang cukup lama, mud
prone, dan memiliki kandungan fosil setempat yang lebih tinggi sehingga umurnya relatif mudah untuk ditentukan.
Lowstand wedge mulai terbentuk pada saat muka air laut mulai naik kembali setelah sebelumnya turun dengan cepat.
Lowstand wedge terdiri dari parasekuen progradasional dan aggradasional (gambar 6-11) yang mengandung kumpulan fosil
setempat, mulai dari kumpulan proksimal hingga kumpulan distal. Kumpulan fosil itu berubah secara berangsur pada arah
lateral. Khusus pada penampang vertikal prograding lowstand wedge, terlihat pula gejala biofasies shallowing-upward, mulai dari
biofasies laut-dalam, laut-dangkal, laut tepi, hingga biofasies non-bahari. Aggradational wedge tidak memperlihatkan gejala
seperti itu, melainkan memperlihatkan kesamaan biofasies dari bawah ke atas. Gejala seperti yang disebut terakhir ini terjadi
baik di bagian lereng maupun topset. Karena itu, lowstand wedge memiliki karakter biostratigrafi yang mirip dengan prograding
highstand shelf-edge systems tract atau aggrading highstand shelf-edge systems tract.
Untuk kasus cekungan yang miskin akan bahan makanan, proses sediment by-passing pada waktu posisi muka air laut
rendah menyebabkan meningkatnya kadar makanan dalam cekungan dan, pada gilirannya, menaikkan produktivitas plankton.
Jika hal ini terjadi, maka bagian distal dari lowstand wedge dapat dikenal keberadaannya dari fakta melimpahnya fosil planktonik
dalam serpih hemipelagik yang terkondensasikan dan terletak di atas endapan kipas dasar cekungan. Jika tidak ada kipas,
60
Sekuen Stratigrafi Emery dkk (1996)
kumpulan fosil dalam serpih distal lowstand wedge akan mirip dengan kumpulan fosil highstand systems tract yang terbentuk
sebelumnya.
Sewaktu lowstand systems tract terbentuk, lebar paparan mencapai nilai minimum, sedangkan energi gelombang pada
paparan waktu itu mencapai nilai maksimum. Paparan pada waktu itu biasanya dicirikan oleh bentos epifauna dan kemungkinan
akan memperlihatkan gejala penurunan kadar plankton ke arah darat, tergantung penyebaran arus. Dekatnya jarak antara dan
cekungan laut-dalam pada waktu itu dapat dibuktikan dengan banyaknya material tumbuhan dalam endapan cekungan.
Shelf-margin systems tract berasosiasi dengan batas sekuen tipe-2 (lihat Bab 2). Endapan shelf-margin systems tract
dicirikan oleh tumpukan-tumpukan parasekuen progradasional dan aggradasional. Kumpulan fosil dalam shelf-margin systems
tract memiliki pola hubungan biofasies proksimal-distal seperti yang diperlihatkan oleh prograding- dan aggrading highstand
systems tract. Hiatus erosional dan non-depositional yang terbentuk pada sisi-darat dari coastal onlap point tidak memiliki
besaran yang cukup tinggi untuk dapat diditeksi dalam rekaman fosil (McNeil dkk, 1990). Karena itu, shelf-margin systems tract
sukar ditentukan keberadaannya berdasarkan kumpulan fosil, bahkan mungkin akan tertukar dengan highstand systems tract.
61
Sekuen Stratigrafi Emery dkk (1996)
biasanya terbentuk di bawah kondisi energi rendah serta didominasi oleh flora dan fauna yang hidup di daerah berlumpur.
Kumpulan-kumpulan flora dan fauna tersebut merupakan biofasies retrogradasional yang bersifat diakron.
Endapan shoreface dalam transgressive systems tract juga terdiri dari biofasies retrogradasional yang bersifat diakron.
Marine flooding events yang memisahkan parasekuen tidak jarang dicirikan oleh jejak-jejak fosil bahari, walaupun periodisitas
setiap individu parasekuen kebanyakan masih berada di bawah resolusi biostratigrafi.
Sejalan dengan pengurangan laju pasokan sedimen ke arah paparan dan cekungan sewaktu terjadi transgresi, kepekatan
air juga menurun. Akibatnya, mikrofauna bahari yang biasa hidup di wilayah perairan yang bersih, termasuk foraminifera besar
dan berbagai spesies rumput laut, dapat berkembang dengan baik (Van Gorsel, 1988). Pengurangan pasokan sedimen juga
menyebabkan terbentuknya condensed section yang luas di dalam cekungan. Condensed section itu melimpah akan kumpulan
fosil, termasuk fosil plankton penciri yang dapat dengan relatif mudah ditentukan umurnya. Shaffer (1987) menggunakan gejala
melimpahnya nannofosil, yang berkaitan dengan perioda iklim hangat, untuk mengenal transgresi bahari pada paparan purba.
Dalam cekungan laut-dalam, kumpulan fosil bahari dalam condensed section pelagik umumnya melimpah, sangat beragam,
dan didominasi oleh taxa penciri yang memiliki penyebaran sangat luas. Pembentukan kipas bawah-laut sewaktu ber-
langsungnya transgresi bahari, seperti dikemukakan oleh Galloway (1989), dapat dikenal keberadaannya dari hadirnya reworked
microfossils laut-dangkal yang terangkut menuju laut-dalam dan kemudian diendapkan dalam condensed shales laut-dalam.
62
Sekuen Stratigrafi Emery dkk (1996)
63
Sekuen Stratigrafi Emery dkk (1996)
condensed section pada transgressive systems tract dan maximum flooding surface (Armentrout & Clement, 1991). Sedimentasi
yang berlangsung lebih cepat dalam cekungan-dalam mengindikasikan erosi lereng melalui persitiwa nendatan, aliran rombak-
an, dan arus turbid atau mungkin melalui peristiwa bypassing. Peristiwa-peristiwa itu pada gilirannya menyebabkan masuknya
komponen-komponen fosil laut terbuka, lereng, atau paparan ke dalam endapan laut-dalam dan kemudian bercampur dengan
fosil laut-dalam. Turbidit umumnya tidak mengandung fosil selingkungan (McNeil dkk, 1990) dan sering mengandung reworked
fossils yang berasal dari bagian atas lereng.
6.5 KESIMPULAN
Karakter biostratigrafi dari paket endapan sedimen dikontrol oleh interaksi antara kondisi lingkungan, evolusi organisma, dan
perubahan proses pengendapan yang berkaitan dengan perubahan alas kikis. Akibatnya, hanya ada sedikit "hukum" yang dapat
disimpulkan mengenai hubungan antara biostratigrafi dan sekuen stratigrafi. Secara umum, keteraturan yang ada dapat
dinyatakan sbb:
1. Setiap kelompok fosil tidak dapat memberikan data umur yang cukup akurat untuk endapan Fanerozoikum. Demikian pula,
setiap kelompok fosil tidak dapat memberikan tafsiran lingkungan purba yang cukup mendetil untuk semua lingkungan
pengendapan. Penggabungan dua atau lebih kelompok fosil akan memberikan data umur yang lebih akurat dan, oleh karena
itu, dapat meningkatkan resolusi biostratigrafi. Setiap individu fosil dapat menyebabkan timbulnya kesimpulan umur dan
lingkungan pengendapan yang tidak benar dan, pada gilirannya, dapat menyebabkan timbulnya model-model geologi yang
tidak sahih.
2. Pemunculan terakhir atau ketidakhadiran prematur (premature disappearance) suatu fosil dari penampang stratigrafi dapat
terjadi akibat hambatan lingkungan lokal. Karena itu, kedua hal itu mungkin lebih mengindikasikan biofasies daripada
peristiwa kepunahan (gambar 6-14a). Korelasi yang didasarkan pada biofasies umumnya bersifat diakron dan mencermin-
kan peristiwa progradasi atau retrogradasi.
3. Resolusi fosil dapat terhambat oleh sedimentasi yang berlangsung cepat dan oleh derajat diagenesis (gambar 6-14b).
Resolusi tertinggi, mungkin oleh fossil event (satuan stratigrafi terkecil yang dapat dikenali keberadaannya berdasarkan data
fosil), mungkin tidak dapat diterapkan pada semua keadaan.
4. Kemampuan untuk mengenal dan menentukan umur batas sekuen, bidang transgresi, atau maximum flooding surface
dengan memakai metoda biostratigrafi tergantung pada resolusi fosil secara aktual dan pada resolusi fosil secara semu yang
ditentukan oleh pola pengambilan sampel. Jarak antar titik pengambilan sampel hendaknya dirancang sedemikian rupa
sehingga dapat memecahkan masalah geologi dan, idealnya, cukup dekat apabila dilakukan di sekitar tempat dimana
bidang-bidang pembatas penting diperkirakan berada. Gambar 6-15 menyajikan ringkasan yang memperlihatkan kelebihan
dan kekurangan dari berbagai tipe sampel. Secara khusus, perhatikan keterbatasan resolusi keratan pengeboran dibanding
inti bor.
5. Kita harus selalu berhati-hati apabila mencoba mengikatkan fosil dengan seismic event karena kedua-duanya dapat memiliki
galat yang berasosiasi dengan konversi kedalaman. Hal ini terutama penting artinya untuk mengenal bahwa ikatan fosil dan
seismic event dalam condensed section dapat berbeda cukup jauh apabila dikorelasikan dengan paket sedimen yang lebih
besar, misalnya ketika mengkorelasikan condensed section dengan prograding highstand systems tract.
6. Biostratigrafi dan isotop stratigrafi khususnya sangat berguna untuk mengkalibrasi dan mengkorelasikan batas-batas sekuen
dan maximum flooding surface ketika data seismik kurang mendukung akibat kompleksnya tatanan struktur.
7. Trend biofasies dapat digunakan untuk mengenal trend progradasi, agradasi, dan retrogradasi serta dapat dipakai untuk
memperkirakan waktu akumulasi endapan klastika pada paparan atau waktu bypassing menuju laut-dalam. Biofasies akan
64
Sekuen Stratigrafi Emery dkk (1996)
memperlihatkan gejala pendangkalan ke atas pada lowstand dan highstand systems tract. Pada transgressive systems tract,
biofasies akan memperlihatkan gejala pendalaman ke atas.
8. Maximum flooding surface dicirikan oleh kumpulan fosil yang beragam dan memiliki penyebaran yang luas.
9. Batas sekuen berasosiasi dengan erosi, hiatus biostratigrafi, dan perombakan.
10. Luasnya penyebaran planktonic markers dalam maximum flooding surface yang ada dalam condensed section menyebab-
kan maximum flooding surface merupakan bidang yang penting artinya untuk tujuan korelasi biokronostratigrafi.
11. Pengenalan lingkungan purba dalam systems tract dengan menggunakan kumpulan fosil dapat memberikan indikasi umum
mengenai tipe, penyebaran, dan kandungan pasir dalam setiap fasies.
65
Sekuen Stratigrafi Emery dkk (1996)
BAB 7
SISTEM FLUVIAL
66
Sekuen Stratigrafi Emery dkk (1996)
umumnya kompleks. Proses pengendapan yang aktif terutama berlangsung secara terbatas pada sabuk meander sedemikian
rupa sehingga menghasilkan tepi-tepi sungai yang memiliki elevasi relatif lebih tinggi dibanding elevasi dataran banjir. Bagian
luar dari tepi sungai (bagian yang lebih ke arah darat) disusun oleh endapan overbank yang berjari-jemari dengan endapan
dataran banjir yang terletak disampingnya. Pergerakan air dalam sabuk meander mungkin agak terbatas karena adanya
ambang yang berupa sumbat alahan (abandoned channel plug), namun mungkin pula relatif bebas sehingga alur cukup mudah
bermigrasi ke arah lateral menghasilkan gosong tanjung (point bar) dan endapan lateral lain yang berasosiasi dengannya.
Beban sungai sinusitas tinggi masa kini sangat bervariasi, mulai dari material suspensi berbutir halus (Jackson, 1976, 1978;
Stewart, 1963), campuran pasir kasar dan gravel (Bernard & Major, 1963; McGowen & Garner, 1970; Levey, 1975; Arche, 1983),
serta gravel (Gustavon, 1978; Ori, 1982; Forbes, 1983; Campbell & Hendry, 1987). Rekaman stratigrafi dari sungai sinusitas
tinggi juga memperlihatkan jenis dan deretan fasies yang sangat bervariasi serta berubah secara berangsur menjadi fasies-
fasies sungai sinusitas rendah (Puigdefabregas, 1973; Miall, 1983, 1987; Stewart, 1983).
Fasies alur sinusitas tinggi berupa tubuh pasir berbentuk tabuler hingga sheet-like sand yang satu sama lain dipisahkan oleh
endapan overbank dan endapan dataran banjir yang berbutir halus (gambar 7-1b; Friend, 1983). Tubuh-tubuh pasir seperti pita
dapat tersebar lebih luas apabila proses migrasi sabuk meander tidak berlangsung dengan baik (Puigdefabregas & Van Vliet,
1978). Endapan overbank yang berasosiasi dengannya berwujud tubuh sedimen berbutir halus berbentuk taji dan makin menipis
ke arah dataran banjir yang ada disekitarnya (Tornqvist, 1993).
67
Sekuen Stratigrafi Emery dkk (1996)
sedimen (gambar 7-2). Keseluruhan bentuk lereng akan berubah dari waktu ke waktu sedemikian rupa sehingga makin
mendekati bentuk cekung ke atas, mendatar di sekitar muara sungai, dan miring secara curam di bagian hulu.
Sungai selalu berproses untuk memiliki graded profile yang stabil. Gangguan pada sistem kesetimbangan—misalnya akibat
perubahan muka air laut, iklim, dan tektonik—mendorong sungai untuk membentuk kondisi kesetimbangan baru dengan cara
mengubah sebagian karakter eksternal dan internalnya (Schumm & Ethridge, 1991; Germanoski & Schumm, 1993; Schumm,
1993) seperti lebar alur, kaliber sedimen, kecepatan aliran, boundary roughness, kedalaman, luah sedimen, kelerengan, dan
planform (lihat tabel 7-2).
Mekanisme autosiklis dapat menyebabkan berubahnya karakter sungai, meskipun hal itu biasanya hanya berlangsung pada
rentang waktu yang relatif pendek. Perubahan yang lebih mendasar dapat terjadi akibat pengaruh faktor-faktor allosiklis.
Perubahan-perubahan seperti itulah yang pada gilirannya akan menyebabkan terjadinya perubahan besar dalam arsitektur
fluvial. Hasil-hasil penelitian terhadap sungai masa kini menunjukkan bahwa proses peneraan menuju bentuk kesetimbangan
baru memakan waktu yang cukup lama. Bahkan banyak sungai masa kini sebenarnya masih terus melakukan peneraan
terhadap peristiwa pelelehan gletser dari jaman es terakhir (Wilcox, 1967; Church & Slaymaker, 1989). Pengenalan terhadap
adanya perubahan sistematis berskala besar seperti itu, serta batas-batas sekuen yang terbentuk sebagai akibatnya, dapat
meningkatkan pemahaman kita mengenai stratigrafi endapan fluvial.
68
Sekuen Stratigrafi Emery dkk (1996)
69
Sekuen Stratigrafi Emery dkk (1996)
Eschard, 1989; Van Wagoner dkk, 1990). Makin besar kelerengan yang muncul akibat penurunan base level; makin besar pula
derajat penorehan yang terjadi. Penorehan merupakan salah satu ciri penting dari batas sekuen tipe-1 (Posamentier & Vail,
1988; Van Wagoner dkk, 1990; Wood, 1991; Wood dkk, 1991; Westcott, 1993).
Dalam prakteknya, sungai sering tidak berada dalam kondisi kesetimbangan sepenuhnya dengan base level yang menurun,
atau penorehan baru merambat hingga satu jarak tertentu ke arah hulu ketika penaikan base level yang terjadi kemudian
mendorong terjadinya aggradasi. Pada waktu terjadi penurunan base level yang tidak terlalu berarti, sungai kemungkinan besar
tidak menoreh endapan paparan, melainkan hanya mengubah pola alur, luah, dan karakter bebannya (Suter & Berryhill, 1985;
Blum, 1990; Autin dkk, 1991; Schumm & Ethridge, 1991; Westcott, 1993; Koss dkk, 1994). Kadang-kadang penurunan base
level tidak dicirikan oleh erosi dan penorehan, namun oleh perubahan arsitektur endapan fluvial yang sifatnya lebih samar
(Shanley & McCabe, 1993; Westcott, 1993).
Pengaruh penaikan base level (penaikan muka air laut relatif) terhadap sistem fluvial juga kompleks. Penaikan base level
dapat mendorong terbentuknya gradien yang rendah di bagian hilir sungai, mengurangi kekuatan sungai dan luah serta
menurunkan kapasitas sungai sebagai pengangkut sedimen. Kondisi itu mendorong sungai untuk mengendapkan sedimen yang
menjadi bebannya. Banyak ahli berpendapat bahwa laju penaikan base level terutama sangat penting artinya dalam menentu-
kan cara sistem sungai dalam menanggapi perubahan base level itu (Posamentier & Vail, 1988; Posamentier dkk, 1988;
Shanley & McCabe, 1993). Penaikan base level yang cepat dapat dianggap analog dengan proses pembendungan bagian hilir
sungai (gambar 7-6a). Pada kasus ini, laju penaikan akan lebih besar daripada laju pengendapan dan bagian bawah sistem
fluvial akan dibanjiri air laut. Aggradasi dataran banjir selama transgresi hanya berlangsung secara terbatas. Lebih ke hulu dari
daerah dataran banjir, efek penaikan base level agak terbatas.
Aggradasi fluvial yang berarti akan terjadi terutama ketika garis pantai bergeser ke arah cekungan melalui proses perluasan
endapan delta, ketika laju pasokan sedimen lebih tinggi daripada laju penaikan base level (gambar 7-6b; Posamentier & Vail,
1988; Shanley, 1991). Pada waktu itu sistem sungai akan mengendapkan sedimen dalam rangka meningkatkan kelerengan dan
mempertahankan kondisi kesetimbangan dengan luah dan beban sedimen yang ada di bagian hulu. Akibatnya, mungkin terjadi
penyempitan sabuk alur sungai, perubahan tipe alur, dan peningkatan konektivitas antar tubuh pasir. Dengan demikian,
aggradasi dataran banjir selama penaikan base level yang cepat merupakan fungsi dari laju penaikan base level dan pasokan
sedimen.
Proses-proses pantai dan tepi laut (yakni gelombang, pasut, dan badai) juga dapat mempengaruhi graded stream profile
selama berlangsungnya transgresi. Erosi pantai dan pembentukan tebing selama mundurnya garis pantai di Canterbury Plain
(Selandia Baru) menyebabkan meningkatnya gradien sungai sedemikian rupa sehingga akhirnya terjadi penorehan (Leckie,
1994). Contoh ini dengan jelas melukiskan bagaimana sukarnya menafsirkan hubungan sebab akibat dari endapan fluvial purba.
Perubahan arsitektur fluvial yang berkaitan dengan faktor-faktor pengontrol wilayah hilir disarikan pada tabel 7-3 dan akan
dibahas di bawah ini dalam konteks pembahasan bidang-bidang strata kunci dan systems tracts yang terbentuk pada satu daur
perubahan muka air laut.
70
Sekuen Stratigrafi Emery dkk (1996)
batubara dapat berasosiasi dengan batas sekuen, namun seringkali demikian tipis karena terbentuk di bawah akomodasi yang
sangat terbatas (Van Wagoner dkk, 1990; lihat anak sub bab 7.4.1).
Jika penorehan lembah tidak jelas, misalnya sebagai akibat kemiripan gradien sungai dengan gradien paparan atau akibat
lebih rendahnya gradien paparan dibanding gradien sungai, maka posisi batas sekuen akan jauh lebih sukar untuk ditentukan.
Pada kasus ini, pengenalan batas sekuen harus didasarkan pada gejala perubahan yang sistematis dalam pola tumpukan
endapan alur dan variasi endapan alur pada arah vertikal serta pada derajat amalgamasi batupasir. Perubahan-perubahan
tersebut mungkin disertai dengan perubahan besar butir, perubahan komposisi sedimen secara tiba-tiba, dan variasi skala
struktur sedimen dalam material penyusun alur (Marzo dkk, 1988; Eshard, 1989; Shanley, 1991).
Lowstand systems tract dalam rekaman fluvial mungkin mencerminkan perioda aggradasi aluvial pada tahap awal penaikan
muka air laut yang berlangsung lambat. Pada mulanya alur-alur hanya berkembang secara terbatas pada sumbu lembah
torehan sehingga menyebabkan terjadinya proses perombakan yang berulang-ulang terhadap endapan alur dan dataran banjir
(gambar 7-7). Pada tahap ini, pengaruh perbedaan jenis alur terhadap arsitektur umum dari tubuh pasir endapan lembah
torehan lebih rendah dibanding pengaruh yang diberikan oleh jenis beban sedimen. Jadi, pada waktu itu, endapan-endapan
sistem sungai yang terutama mengangkut beban dasar, sistem sungai sinusitas rendah, dan sistem sungai sinusitas tinggi
mungkin identik karena tidak ada akomodasi yang memungkinkan terjadinya perombakan dan by-passing material halus serta
karena tidak terlalu jelasnya perbedaan antara endapan alur dengan endapan dataran banjir. Akibatnya, endapan bagian bawah
lembah torehan mungkin didominasi oleh tubuh pasir yang memiliki pola dan dimensi lateral yang kompleks.
Bertambahnya laju penaikan muka air laut menyebabkan bertambahnya akomodasi dan berkurangnya gradien sungai.
Sistem sungai sinusitas rendah mungkin memberikan tanggapan dengan cara meningkatkan sinusitasnya agar dapat tetap
berada dalam kondisi kesetimbangan, sedangkan sistem sungai sinusitas tinggi mungkin memberikan tanggapan dengan cara
memperjelas unsur-unsur morfologinya menjadi alur dan dataran banjir, tanpa mengubah pola alurnya.
Karakter fasies dan pola strata yang kompleks dari endapan lowstand dalam strata fluvial tergambarkan dengan baik dalam
hasil penelitian terhadap Formasi Blackhawk dari Kelompok Mesaverde yang berumur Kapur di Book Cliffs, Utah (Van Wagoner
dkk, 1990) (gambar 7-8). Formasi yang merepresentasikan rentang waktu 6 juta tahun itu dapat dibagi menjadi tiga anggota:
Grassy Member, Castlegate Member, dan Anggota Desert Member. Ada empat batas sekuen yang ditemukan dalam formasi itu.
Batas sekuen pertama terletak pada puncak Grassy Member; batas sekuen kedua dan ketiga berturut-turut merupakan batas
bawah dan batas atas dari Desert Member; sedangkan batas sekuen keempat terletak di dalam Cestlegate Member (lihat
gambar 7-8). Desert lowstand systems tract terdiri dari endapan gosong tanjung yang mungkin dipengaruhi oleh pasut (bidang
akrasi lateral yang ditutupi clay-drape), batubara dengan ketebalan hingga 30 cm, serta sheet sand endapan fluvial. Di beberapa
tempat, penorehan menyebabkan lapisan batubara dapat terletak langsung di atas Mancos Shale yang merupakan endapan
paparan. Endapan alur menganyam terletak di atas batupasir lower shoreface, dimana batas pemisah antara keduanya merupa-
kan bidang erosi. Cestlegate lowstand systems tract yang terletak di atas Desert lowstand systems tract memperlihatkan evolusi
jenis alur sungai ke arah hilir. Hal itu mengindikasikan terjadinya penurunan gradien sungai ke arah cekungan setelah terjadinya
penurunan muka air laut relatif. Endapan paling proksimal dari Cestlegate lowstand systems tract diwakili oleh endapan sungai
menganyam setebal 50 m. Endapan itu menipis ke arah hilir menuju endapan sungai sinusitas tinggi dan endapan sistem
gosong tanjung sungai meander. Pola-pola kelokan alur sendiri dapat ditelusuri ke bagian atas systems tract tersebut hingga
jarak sekitar 100 km, di tempat mana ditemukan beberapa endapan pengisi lembah yang terpisah-pisah dan berdampingan
dengan endapan antar-alur yang lebar.
71
Sekuen Stratigrafi Emery dkk (1996)
lebih variatif—yakni menjadi sungai meander atau anastomotis—serta bertambah banyaknya endapan bobolan yang terbentuk
sebagai salah satu cara sungai untuk mempertahankan kondisi kesetimbangannya (Ryseth, 1989; Kirshbaum & McCabe, 1992;
Tornqvist, 1993).
Perioda maximum flooding mungkin dicirikan oleh adanya jejak pengaruh pasut, baik yang sifatnya jelas maupun samar,
dalam sistem fluvial (Shanley & McCabe, 1991). Lapisan tanah purba dan endapan batubara yang tebal juga mungkin
ditemukan. Endapan klastika dan fasies karbonat danau yang tebal dan mencerminkan terjadinya penaikan water table dan
pergerakan air tanah ke daerah dataran banjir juga dapat terbentuk (Ryer, 1981; Atkinson, 1986).
72
Sekuen Stratigrafi Emery dkk (1996)
pada saat itu; serta (2) rendahnya laju sedimentasi pada dataran banjir yang berdampingan dengan alur-alur sungai menunjang
oksidasi dan pembentukan tanah.
Batupasir pengisi lembah torehan dapat ditelusuri ke arah hilir, di tempat mana batupasir itu berdampingan dengan endapan
sungai meander yang bermuatan campuran. Perubahan jenis alur ke arah hilir itu disertai dengan penurunan tingkat penorehan,
pengurangan hubungan antar alur, dan peningkatan preservasi endapan dataran banjir sebagai akibat tingginya agradasi
dataran banjir. Dengan demikian, perubahan-perubahan lateral dalam arsitektur endapan fluvial Castissent Formation ditafsirkan
mencerminkan pengurangan gradien sungai dari hinterland ke arah tepi cekungan bahari.
Arsitektur kompleks-kompleks batupasir Castissent Formation juga memperlihatkan perubahan vertikal yang sistematis
(tubuh pasir A1-A3, B1-B2 pada gambar 7-12). Hal itu ditafsirkan mencerminkan fluktuasi perubahan muka air laut relatif.
Perubahan itu terutama tampak jelas dalam material pengisi lembah di bagian proksimal sistem aluvial, di tempat mana berbagai
endapan membentuk daur erosi-agradasi yang berulang-ulang (Marzo dkk, 1988). Setiap daur itu diawali oleh fasa penorehan
endapan alur atau endapan dataran banjir yang terletak dibawahnya. Pengendapan dalam lembah itu diakhiri oleh agradasi
vertikal dan pergeseran lateral alur-alur sungai menganyam sehingga menyebabkan terbentuknya tubuh-tubuh batupasir yang
saling berhubungan. Endapan pengisi lembah torehan berevolusi dari endapan sungai menganyam (di bagian bawah) menjadi
endapan sistem sungai sinusitas tinggi pengangkut beban campuran serta endapan dataran banjir yang berasosiasi dengannya
(di bagian atas). Evolusi ragam sungai itu disertai dengan berkurangnya hubungan antar tubuh pasir dan makin banyaknya
endapan overbank dan endapan dataran banjir di bagian atas Castissent Formation. Daur erosi-agradasi itu terulang tiga kali.
Setiap fasa penorehan. yang menyebabkan terkeruknya endapan alur yang terbentuk sebelumnya, juga menyebabkan makin
lebarnya lembah torehan.
Bukti adanya fasa penutupan dataran banjir secara periodik dalam rentang waktu yang cukup lama dimanifestasikan oleh
tanah hidromorfik (hydromorphic soil) dan napal air payau. Adanya fasa agradasi dan degradasi aluvial yang berlangsung
berulang-ulang mengindikasikan tingginya kontrol alosiklis terhadap keseluruhan sistem fluvial. Endapan sungai yang memper-
lihatkan perubahan arsitektur ke arah atas dapat ditafsirkan sebagai bagian dari lowstand incised-valley fill, sedangkan endapan
dataran banjir yang ditutupi oleh endapan alur sungai dan endapan dataran banjir ditafsirkan sebagai bagian dari transgressive
dan highstand systems tract.
7.5.2 Ivishak Formation (Trias), Prudhoe Bay Field, North Slope, Alaska, Amerika Serikat
Endapan sungai dan endapan fluvio-deltaik berbutir kasar yang termasuk ke dalam Ivishak Formation (Triass) menjadi fasies
reservoar utama di Prudhoe Bay Field, North Slope, Alaska. Prudhoe Bay Field merupakan lapangan migas terbesar di Amerika
Serikat, dengan cadangan asli sekitar 22 juta barrel minyakbumi dan 42 triliun kaki kubik gas alam (Morgridge & Smith, 1972;
Jones & Speers, 1976; McGowen & Bloch, 1985; Atkinson dkk, 1988).
Ivishak Formation merupakan bagian dari Sadlerochit Group. Kelompok itu merupakan suatu tubuh endapan klastika
berbentuk taji yang berumur Permo-Trias dan terletak tidak selaras di atas batuan karbonat Lisburne Group yang berumur
Karbon. Ivishak Formation diapit oleh batulumpur paparan (Kavik Formation) and batuan karbonat fosfatik (Shublik Formation)
(gambar 7-13). Kontak antara Ivishak dengan Kavik dianggap selaras, sedangkan kontak atasnya dengan Shubik merupakan
kontak tegas yang berasosiasi dengan endapan sisa fosfatik dan piritik. Kontak yang disebut terakhir ini ditafsirkan sebagai
disconformity yang berkembang akibat shoreface reworking pada Ivishak Formation selama berlangsungnya transgresi.
Ivishak Formation memiliki ketebalan yang beragam, mulai dari sekitar 400 kaki hingga sekitar 700 kaki dan umumnya dapat
dibagi menjadi dua daur pengendapan berskala besar: paket progradasional di bagian bawah dan paket agradasional-retro-
gradasional di bagian atas. Paket progradasional merupakan paket endapan fluvio-deltaik dan endapan fluvial yang mengkasar
ke atas serta didominasi oleh batulumpur, batulanau, batupasir, dan konglomerat. Paket agradasional-retrogradasional di-
dominasi oleh batupasir fluvial yang berbutir halus dan serpih (Atkinson dkk, 1988, 1990). Berbagai penelitian yang dilakukan di
masa lalu menyatakan bahwa formasi itu terbentuk dalam suatu kompleks fluvial-delta yang berprogradasi dan memiliki kaitan
dengan delta kiipas yang didominasi oleh sungai menganyam atau dengan coastal braid plain (Jamieson dkk, 1980; Melvin &
Knight, 1984; McGowen & Bloch, 1985; Lawton dkk, 1987).
Di Prudhoe Bay Field, berdasarkan litostratigrafi dan petrofisiknya, reservoar Ivishak dibagi menjadi empat zona (zona 1–4
dalam karya tulis Atkinson dkk, 1988). Penelitian akhir-akhir ini menunjukkan bahwa stratigrafi formasi itu sebenarnya sangat
kompleks (Richards dkk, 1994).
Berdasarkan hasil analisis fasies mendetil terhadap data inti bor, hasil korelasi sekuen stratigrafi pada 1300 sumur pem-
boran, analisis data dipmeter, dan analisis data seismik tiga dimensi, Sadlerochit Group dapat dibagi menjadi tujuh sekuen.
Batas-batas sekuen dikenal dari perubahan asosiasi fasies yang berlangsung tiba-tiba serta variasi struktur sedimen internal,
ketebalan, dan derajat amalgamasi endapan pengisi alur sebagaimana yang terlihat dalam inti bor. Dalam kelompok itu dapat
dikenal adanya empat ordo sekuen. Dalam tulisan ini, keempat ordo sekuen itu diberi nama orde-1 (baca: orde pertama), orde-2
(orde kedua), dst. Pada semua kasus, batas-batas sekuen dapat diikatkan dengan titik progradasi maksimum dari sekuen yang
ordenya lebih rendah. Perhatikan bahwa istilah orde digunakan disini untuk memudahkan pembahasan dan hendaknya tidak
dikaitkan dengan durasi sekuen yang dijelaskan pada sub bab 2.2.4 (gambar 7-13).
73
Sekuen Stratigrafi Emery dkk (1996)
besar. Bagian dasar sekuen itu (berupa Kavik Formation) terletak tidak selaras di atas Lisburne Group. Bagian atas sekuen itu
(berupa Sag River Formation) ditindih oleh Kingak Formation yang berumur Jura (Hubbard dkk, 1987).
Endapan fluvio-deltaik paling tua umumnya memperlihatkan pola progradasional dan mengindikasikan bahwa pasokan
sedimen pada waktu itu lebih tinggi dibanding laju pembuatan akomodasi. Endapan aluvial yang terletak di atas paket pro-
gradasional itu menjadi endapan dominan untuk bagian tengah dan bagian atas dari Ivishak Formation. Endapan-endapan yang
disebut terakhir ini, bersama-sama dengan endapan dataran banjir, membentuk suatu paket agradasional. Endapan topset itu
memperlihatkan evolusi dari sistem fluvial dan delta bermuatan campuran menjadi sistem fluvial yang didominasi oleh pasir dan
konglomerat.
Perubahan-perubahan besar dalam ragam alur sungai dan pola tumpukan endapannya, seperti telah tersebut di atas, men-
cerminkan peningkatan laju pembentukan akomodasi dari waktu ke waktu yang sejalan dengan penaikan muka air laut relatif.
Masa-masa terakhir pembentukan Ivishak Formation ditandai oleh penghalusan endapan fluvial dan perombakan batupasir
fluvial. Hal itu terjadi selama berlangsungnya transgresi bahari yang kemudian menyebabkan terbentuknya batuan karbonat
Shublik Formation dan endapan klastika paparan Sag River Formation (gambar 7-13).
7.5.2.3.1 Sekuen 2
Batas bawah sekuen ini terletak pada bidang 8000, sedangkan batas atasnya merupakan batas sekuen orde-2 yakni bidang
6000. Satuan-satuan pengendapan tertua dari sekuen ini merupakan endapan sistem delta yang bermuatan pasir hingga ber-
muatan campuran (7400-7100). Sekuen pengendapan itu berprogradasi dari baratlaut ke tenggara menuju ―laut Kavik‖. Cuping-
cuping delta tertua bersifat progradasional, sedangkan episode-episode pengendapan berikutnya memperlihatkan pola agradasi
dan peningkatan preservasi endapan topset fluvial. Perubahan pada ragam delta itu, bersama-sama dengan peningkatan
ketebalan dan kesinambungan serpih delta dan serpih dataran banjir, mengindikasikan peningkatan akomodasi sedimen setelah
berlangsungnya perioda lowstand. Titik progradasi maksimum dari sekuen itu berkorespondensi dengan batas sekuen orde-3
(yakni bidang 7000) yang memisahkan endapan fluvio-deltaik dengan endapan sungai. Batas itu dikenal dalam inti bor di bagian
selatan Prudhoe Bay Field berdasarkan pertindihan tiba-tiba fasies alur penebar (distributary channel) pada bagian distal
endapan gosong muara sungai dan endapan delta front bagian bawah. Di sebelah baratlaut Prudhoe Bay Field, batas yang
sama dicirikan oleh perubahan pola tumpukan endapan dari endapan alur penebar dan endapan alur dataran delta menjadi
endapan sistem fluvial yang bermuatan pasir. Batas itu dapat dikenal di semua sudut Prudhoe Bay Field dan berkorespondensi
dengan pergeseran tanggapan log sinar-gamma dan perubahan sifat-sifat petrofisik.
Di sebelah timur Prudhoe Bay Field, kompleks serpih dataran banjir dan lakustrin mendominasi bagian atas sekuen, di
tempat mana endapan-endapan itu membentuk intra-reservoir seal yang melampar luas. Serpih itu mengandung horizon-horizon
pedogenik yang dapat dikorelasikan dari satu sumur ke sumur lain (Atkinson dkk, 1988). Di bagian timurlaut, endapan pengisi
alur yang berasosiasi dengan serpih lakustrin membentuk satuan menghalus ke atas yang terisolasi dan memiliki nisbah lebar
terhadap kedalaman relatif kecil (< 1 : 200). Endapan-endapan itu berevolusi dari tubuh pasir tabuler yang teralgamasi di bagian
bawah sekuen. Nisbah lebar terhadap ketebalan secara keseluruhan, bersama-sama dengan kehadiran endapan lakustrin dan
dataran banjir yang berasosiasi dengannya, mengindikasikan evolusi dari ragam sungai sinusitas sedang menjadi sungai
anastomotis. Sistem sungai anastomotis yang disebutkan terakhir ini dicirikan oleh gradien yang sangat rendah serta terjadinya
penutupan dataran banjir oleh air secara periodik. Di bagian tenggara dan tengah Prudhoe Bay Field, tubuh-tubuh pasir endapan
alur yang terisolasi membentuk tumpukan tubuh pasir tabular dan teramalgamasi yang memiliki nisbah lebar terhadap
kedalaman yang tinggi (> 1 : 200). Tumpukan endapan seperti itu cenderung berasosiasi dengan dataran banjir, bukan dengan
serpih lakustrin. Fasies yang disebutkan terakhir ini mirip dengan endapan-endapan sistem alur sinusitas sedang yang
74
Sekuen Stratigrafi Emery dkk (1996)
bermuatan pasir atau bermuatan campuran, teralgamasi, dan berkembang di bagian tengah sekuen. Endapan-endapan yang
disebut terakhir ini dapat ditelusuri keberadaannya hingga di bagian baratlaut Prudhoe Bay Field, di tempat mana endapan-
endapan itu membentuk tubuh-tubuh pasir endapan alur sungai yang bertingkat-tingkat.
Bertambah banyaknya serpih lakustrin dan serpih dataran banjir ke sebelah timur Prudhoe Bay Field terjadi sejalan dengan
penurunan derajat amalgamasi tubuh pasir alur ke arah barat. Hal itu kemungkinan mencerminkan peningkatan laju pem-
bentukan akomodasi dari waktu ke waktu. Lebih jauh lagi, peningkatan ketebalan dan pelamparan serpih ke bagian atas sekuen
2 mungkin merepresentasikan endapan fluvial yang ekivalen dengan marine flooding surface pada endapan bahari.
Laju agradasi sungai menurun pada tahap akhir perkembangan sekuen 2 sehingga menyebabkan makin meningkatnya
amalgamasi dan hubungan antar tubuh pasir pengisi alur untuk kemudian membentuk fluvial sand-sheets. Perubahan ragam
arsitektur endapan itu tidak berlangsung secara berangsur di bagian timur Prudhoe Bay Field, di tempat mana tubuh-tubuh pasir
pengisi alur ditindih secara tiba-tiba oleh tumpukan tubuh pasir pengisi alur yang didominasi oleh paket menghalus ke atas yang
tidak lengkap karena tidak mengandung material halus (Atkinson dkk, 1988; Richards dkk, 1994). Perubahan besar dalam pola
tumpukan dan derajat amalgamasi mendandai batas sekuen yang dikenal dengan sebutan bidang 6000.
7.5.2.3.1 Sekuen 3
Sekuen orde-3 yang paling atas dimulai dari bidang 6000 dan berakhir pada suatu bidang yang terletak di sekitar bidang
ketidakselarasan yang memisahkan Ivishak Formation dari Shublik Formation. Posisi eksak dari batas sekuen itu tidak terlalu
jelas karena sebagian besar batuan merupakan endapan sungai dan karena adanya gejala-gejala lain yang mengindikasikan
batas sekuen di atas bidang ketidakselarasan itu.
Sekuen 3 secara keseluruhan memperlihatkan pola progradasional hingga agradasional. Pasir dan campuran pasir-gravel
yang merupakan endapan sungai mendominasi bagian bawah sekuen ini, di tempat mana endapan-endapan itu membentuk
sheet-sandstone yang berkembang baik dan melampar di seluruh bagian Prudhoe Bay Field. Endapan itu kemudian ditindih
secara tiba-tiba oleh konglomerat dan batupasir konglomeratan yang juga merupakan endapan sungai. Batas antara tubuh
konglomerat dengan tubuh-tubuh batupasir yang terletak dibawahnya secara tradisional ditafsirkan sebagai batas sekuen
berdasarkan fakta terjadinya perubahan besar butir yang tiba-tiba (Atkinson dkk, 1988). Meskipun hal itu merepresentasikan
dengan jelas satu perioda penorehan sungai, namun kebenaan bidang itu mungkin terlalu dibesar-besarkan di masa lalu karena
gejala perubahan seperti itu sebenarnya juga ditemukan pada tubuh batupasir-konglomerat yang terletak di bawah batas sekuen
itu. Hal itu mengindikasikan bahwa dislokasi fasies tidak terlalu jauh dan bahwa bidang itu hanya merepresentasikan batas
sekuen orde-tinggi. Endapan sungai berbutir kasar pada umumnya berupa tumpukan tubuh konglomerat yang dialasi oleh
bidang erosi, memiliki ketebalan hingga 10 kaki, umumnya memperlihatkan normal grading, lapisan mendatar, dan lapisan
silang-siur. Endapan overbank yang berbutir halus jarang terawetkan dalam paket endapan itu.
Bagian atas dari sekuen ini didominasi oleh batupasir berbutir halus yang merupakan endapan alur dan secara umum
memperlihatkan gejala penghalusan ke atas. Karakter batupasir itu mengindikasikan adanya peningkatan laju pembentukan
akomodasi. Endapan itu juga mencerminkan produk bagian distal dari lingkungan dataran pantai yang disusun oleh material
berukuran pasir (Atkinson dkk, 1988).
Di bagian barat dan timur Prudhoe Bay Field ditemukan serpih yang relatif tebal dan merupakan endapan dataran banjir dan
endapan lakustrin. Serpih itu mirip dengan serpih yang termasuk ke dalam sekuen 2. Penyebarannya yang luas dan relatif tebal
kemungkinan mencerminkan perioda penurunan gradien sungai dan peningkatan agradasi dataran banjir yang berasosiasi
dengan penaikan muka air laut.
Bagian atas dari sekuen ini berubah secara tiba-tiba menjadi batuan karbonat Shublik Formation atau ditutupi oleh pasir tipis
endapan transgresi yang termasuk ke dalam Eileen Formation.
Sebagai kesimpulan, rekaman stratigrafi dari Ivishak Formation melukiskan tanggapan yang kompleks dari sistem sungai
dan sistem fluvio-delta terhadap perubahan-perubahan akomodasi. Pengenalan batas-batas sekuen dan bidang-bidang banjir
yang ekivalen dengannya di daerah hulu menjadi sukar untuk dilakukan karena adanya komplikasi yang ditimbulkan oleh variasi
endapan sungai dan delta, baik pada arah vertikal maupun pada arah lateral. Perubahan-perubahan akomodasi tercermin pada
berbagai skala, mulai dari evolusi pola amalgamasi tubuh pasir endapan alur dan perkembangan serpih hingga perubahan-
perubahan pola alur sebagai suatu sistem pengendapan yang selalu mencoba untuk mencapai kesetimbangan.
75
Sekuen Stratigrafi Emery dkk (1996)
BAB 8
SISTEM PARALIK
76
Sekuen Stratigrafi Emery dkk (1996)
disusun oleh sedimen gosong muara sungai yang saling berhubungan satu sama lain. Inti dari setiap gosong muara sungai,
yang berdampingan dengan alur penebar, kemungkinan merupakan sedimen pasiran. Walau demikian, sedimen yang
diendapkan pada lokasi-lokasi yang makin jauh dari sumbu alur kemungkinan besar akan makin banyak mengandung lumpur,
sekalipun hal itu masih tergantung pada kaliber beban yang dipasok melalui alur itu. Karena itu, pada bagian bawah dataran
delta dan delta front yang dangkal akan berkembang isopak batupasir yang mirip dengan jari-jemari (Coleman & Prior, 1982).
Dataran delta dari delta yang didominasi oleh proses--proses fluviatil memperlihatkan karakter yang mirip dengan sistem fluvial.
Ada tiga tipe delta yang dapat dikenal berdasarkan hal ini, yakni delta sungai (river delta), braid delta, dan delta kipas (fan delta)
(Orton, 1988).
8.2.5 Estuarium
Estuarium adalah lembah sungai yang tertutup massa air (Dalrymple dkk, 1992). Estuarium dicirikan oleh input sedimen baik
dari sungai maupun dari laut. Pada bagian hulunya, estuarium mendapatkan pasokan sedimen dari sungai. Jika input fluvial
kuat, maka akan terbentuk delta muara teluk (bay-head delta). Jika input fluvial lemah dan arus pasut relatif kuat, maka alur-alur
sungai akan dipengaruhi oleh pasut dan berubah ke arah hilir menjadi alur pasut (tidal channel). Muara estuarium berkisar mulai
dari muara estuarium yang didominasi oleh proses-proses gelombang hingga estuarium yang didominasi oleh proses-proses
pasut. Hal itu pada gilirannya memungkinkan estuarium untuk dibagi menjadi dua kategori utama (Dalrymple dkk, 1992).
Dalam estuarium yang didominasi oleh proses-proses gelombang, proses-proses pengangkutan pasir di sepanjang pesisir
dan di pantai menyebabkan terakumulasinya suatu sumbat pasir pada hulu estuarium (gambar 8-3a). Sumbat pasir itu umumnya
terdiri dari dua unsur: (a) gosong beserta washover deposits yang berasosiasi dengannya; dan (b) sumbi pasut yang memotong-
motong gosong sedemikian rupa sehingga memungkinkan terjadinya pertukaran arus pasut dengan estuarium serta
menyebabkan terbentuknya flood tidal delta. Ke arah darat dari sumbat pasir, bagian tengah estuarium merupakan suatu zona
energi rendah yang dicirikan oleh fasies lumpur. Sumbat pasir, lumpur bagian tengah cekungan, dan delta hulu teluk secara
bersama-sama merupakan trio bagian dari estuarium yang didominasi oleh gelombang.
Di lain pihak, pasut kuat memastikan adanya proses pertukaran aktif antara estuarium dan laut terbuka serta menghambat
pembentukan delta hulu teluk, cekungan yang ditempati oleh lumpur, dan sumbat pasir (gambar 8-3b). Sebagai gantinya, dalam
estuarium yang didominasi oleh pasut, akan terbentuk sederetan gosong pasir yang ditutupi oleh gumuk. Deretan gosong itu
berubah secara berangsur ke arah darat menjadi sandflat, kemudian pada alur-alur yang dipengaruhi oleh pasut, dan akhirnya
pada alur-alur sungai. Meskipun cekungan tengah yang diisi oleh lumpur tidak berkembang, namun dalam sistem estuarium
yang didominasi oleh pasut dapat terbentuk suatu zona yang analog dengan cekungan itu (Dalrymple dkk, 1992). Zona itu
terletak pada sisi-darat dari estuarium pasir yang didominasi oleh pasut serta dicirikan oleh adanya perubahan yang sistematis
77
Sekuen Stratigrafi Emery dkk (1996)
tipe-tipe alulr "lurus-berkelok-lurus". Perubahan itu mencerminkan perubahan kesetimbangan antara proses-proses fluvial
dengan proses-proses pasut. Pada ujung sisi-laut dari estuarium yang didominasi oleh pasut, pengaruh pasut sangat dominan
dan proses pengangkutan pada sisi itu praktis mengarah ke hulu. Pada sisi-darat dari sistem tersebut, pengaruh fluvial sangat
dominan dan proses pengangkutan pada sisi itu praktis mengarah ke laut. Diantara kedua ujung tersebut, terdapat suatu zona
konvergensi beban dasar yang dicirikan oleh adanya alur yang berkelok-kelok serta oleh partikel-partikel sedimen yang halus.
78
Sekuen Stratigrafi Emery dkk (1996)
Sejalan dengan naiknya muka air laut, lembah torehan teragradasi dan daerah-antar-lembah-torehan sedikit demi sedikit ter-
onlap. Dalam paket endapan paralik, lembah menoreh pantai atau dataran delta yang ada sebelumnya. Karena itu, daerah-
antar-lembah-torehan cenderung memiliki puncak yang datar. Ketika suatu lembah torehan terisi hingga posisinya lebih kurang
sama dengan level dataran pantai lama, maka proses penaikan muka air laut berikutnya akan menyebabkan daerah-antar-
lembah-torehan tertutup air sedemikian rupa sehingga terbentuklah suatu ruang akomodasi yang bervolume besar dan, pada
gilirannya, menyebabkan garis pantai untuk berpindah ke arah darat dengan relatif cepat. Akibatnya, banyak daerah-antar-
lembah-torehan dicirikan oleh suatu bidang erosi yang tajam, yang merupakan produk ravinement, serta ditutupi oleh suatu
endapan sisa transgresi yang tipis.
Dalam banyak hal, ciri-ciri daerah-antar-lembah-torehan tersebut di atas mirip dengan marine flooding surface sederhana.
Walau demikian, batas sekuen di daerah-antar-lembah-torehan mungkin: (1) dialasi oleh paleosol yang berkembang baik dan
mengindikasikan proses penyingkapan dalam rentang waktu yang lama; dan (2) ditutupi oleh suatu endapan sisa yang sangat
kasar dan disusun oleh kecur-kecur yang dipasok ke dalam cekungan oleh sungai selama posisi muka air laut relatif rendah,
namun tidak tersedia dalam paket endapan highstand yang terletak dibawahnya.
79
Sekuen Stratigrafi Emery dkk (1996)
80
Sekuen Stratigrafi Emery dkk (1996)
pengendapan beban sedimen secara cepat pada muara sungai; (4) garis pantai yang curam dan "reflektif" yang menerima efek-
efek energi gelombang secara penuh; dan (5) delta front yang curam (hingga sekitar 25o pada delta Gilbert) dan dicirikan oleh
proses-proses aliran massa.
Di lain pihak, sedimen halus (lanau dan lumpur) cenderung tersebar pada: (1) alur berkelok kuat; (2) dataran delta dan
dataran pantai yang kurang terairi serta mengandung danau; (3) penyebaran sedimen di luar muara akibat proses-proses
pengapungan; (4) pesisir bersudut landai yang memperkuat dan menyebarkan energi gelombang serta membentuk suatu pesisir
yang disusun oleh pasir dan zona paparan dalam; dan (5) delta front yang bersudut landai (sekitar 1o).
Besar butir dominan dalam suatu delta mencerminkan khuluk catchment area (luas dan fisiogeografi catchment), iklim, dan
litologi batuan dasar. Faktor-faktor tersebut, bersama-sama dengan aktivitas tektonik dan fluktuasi relatif muka air laut, dapat
berubah dari waktu ke waktu untuk menghasilkan fluktuasi fluks dan kaliber sedimen. Pembahasan yang lebih jauh mengenai
hal ini dapat ditemukan dalam makalah yang disusun oleh Orton (1988) serta Orton & Reading (1993).
8.4.4 Iklim
Di dataran delta dan dataran pantai, iklim mempengaruhi khuluk endapan lakustrin, paleosol, dan perkembangan batubara,
evaporit, dan endapan karbonat lakustrin. Rezim angin memiliki efek yang penting terhadap pengaruh proses-proses badai,
sedangkan angin yang berhembus dalam waktu yang relatif lama akan menentukan luas medan gumuk eolus, arah
pengangkutan sedimen di wilayah pesisir, dan kehadiran arus paparan yang semi-permanen. Iklim juga mempengaruhi
perkembangan karbonat paparan.
81
Sekuen Stratigrafi Emery dkk (1996)
waktu) (gambar 8-6c). Sebagaimana telah dibahas pada bagian 8.3.4, bagian dasar dari setiap paket pasir dicirikan oleh
pergeseran fasies ke arah bawah. Pergeseran fasies seperti itu mengindikasikan penurunan muka air laut. Jika proses
penurunan muka air laut itu berasosiasi dengan penorehan sungai, maka setiap paket pasir merupakan satu sekuen
berfrekuensi tinggi. Tubuh-tubuh pasir itu sendiri dicirikan oleh gejala pengkasaran ke atas dan bersifat progradasional. Forced
regressive parasequence set dapat memiliki geometri yang mirip dengan transgressive parasequence set (bandingkan gambar
8-6c dengan gambar 8-11c). Posisi garis pantai kemungkinan besar relatif tetap karena adanya ketidakteraturan paparan.
Ketidakteraturan paparan itu sendiri dapat terjadi, misalnya saja, oleh sesar yang terletak relatif dalam.
82
Sekuen Stratigrafi Emery dkk (1996)
pergeseran cuping delta dapat berlangsung pada skala yang beragam, mulai dari pergeseran besar sejalan dengan bergesernya
alur sungai utama, hingga pergeseran relatif kecil yang terjadi sejalan dengan bergesernya alur penebar berukuran kecil.
Sebagai akibatnya, dalam sistem delta, kita akan dapat menemukan suatu hirarki parasekuen yang kompleks.
Rekaman stratigrafi dari danau yang berkembang pada dataran delta umumnya miirp dengan rekaman stratigrafi yang
diperlihatkan oleh teluk yang terletak diantara alur penebar (gambar 8-15). Fasa-fasa perluasan danau menyebabkan
terbentuknya lacustrine flooding surface, sedangkan alur penebar dan crevasse channel memasok berbagai variasi prograding
lacustrine shorelines sedemikian rupa sehingga menyebabkan munculnya jejak "parasekuen". Walau demikian, danau tidak
memiliki kaitan langsung dengan laut dan hubungan antara lacustrine flooding surface dengan marine flooding surface mungkin
tidak jelas.
Alur penebar berukuran relatif besar merupakan unsur kunci baik pada dataran delta maupun delta front. Pada delta front,
alur penebar berukuran relatif besar umumnya memotong endapan shorface yang bersih dan mengkasar ke atas. Dengan data
yang terbatas, sulit bagi kita untuk membedakan alur penebar dari endapan pengisi lembah torehan (lihat bagian 8.3.1 dan
gambar 8-15).
pensesaran tumbuh (growth fauling) sering ditemukan dalam paket endapan delta yang tebal. Subsidensi yang terjadi pada
hanging wall dari sesar itu (1) memperkuat efek penaikan muka air laut relatif sedemikian rupa sehingga flooding surface
memiliki potensi yang lebih tinggi untuk dapat terawetkan dalam hanging wall; (2) memperlemah efek penurunan muka air laut
relatif sedemikian rupa sehingga batas sekuen pada footwall dapat berlanjut pada bidang keselarasan yang ada pada hanging
wall (gambar 8-15).
83
Sekuen Stratigrafi Emery dkk (1996)
tegak lurus terhadap sumbu lapangan tersebut (gambar 8-16). Demikian pula, meskipun alur-alur penebar relatif sempit, namun
alur-alur penebar itu dapat saling bertumpuk atau saling berhubungan secara lateral sedemikian rupa sehingga menghasilkan
zona-zona reservoar diskrit yang lebar.
84
Sekuen Stratigrafi Emery dkk (1996)
di bagian bawah banyak terubah akibat bioturbasi, tidak memperlihatkan adanya flooding surface dengan jelas, serta memiliki
pola yang makin kasar dan makin bersih ke bagian atas, meskipun hal itu juga tidak terlalu jelas (gambar 8-19a). Bagian bawah
satuan B dicirikan oleh peningkatan kadar pasir secara dramatis dan, dalam diagram korelasi regional, oleh pemancungan
samar terhadap satuan A yang terletak dibawahnya (Reynolds, 1994a). Peningkatan kadar batupasir mencerminkan pergeseran
sabuk fasies ke arah bawah sebagai akibat forced regression. Erosi makin hilang ke arah baratdaya (gambar 8-18) dan hal itu
ditafsirkan terjadi akibat pengerukan oleh arus pasut.
Satuan C disusun oleh satu paket endapan yang makin kasar dan makin bersih ke bagian atas. Gejala seperti itu
mencerminkan progradasi suatu tidak sand sheet. Batas bawah satuan C (bidang VE2) merupakan bidang tajam yang
terbioturbasi serta dicirikan oleh peningkatan besar butir secara dramatis dan topografi yang jelas pada penampang regional
(gambar 8-19b). VE2 ditafsirkan sebagai bidang kerukan subakuatis yang mencerminkan penurunan base level pada paparan
yang didominasi oleh pasut.
Bidang VE3, yang merupakan batas bawah dari satuan D, merupakan bidang tajam yang menoreh satuan B dan C (gambar
8-19). Bidang itu tidak dapat ditelusuri keberadaannya pada skala regional, namun dapat dikenal keberadaannya pada beberapa
daerah (Reinson dkk, 1988; Boreen & Walker, 1991; Reynolds, 1994a). Pada setiap lokasi itu, fasies tersbut, misalnya batupasir
masif, batupasir berlaminasi datar, dan batupasir yang berlaminasi gelembur, dengan bioturbasi dan mud drape yang
berasosiasi dengannya, mengindikasikan pengendapan pada tatanan estuarium. Fasies estuarium merepresentasikan
pergeseran sabuk fasies ke arah cekungan, relatif terhadap satuan C yang terletak dibawahnya. Hal itu, bersama-sama dengan
topografi dan penyebaran yang terbatas dari VE3c, mengindikasikan bahwa satuan D merupakan endapan pengisi lembah.
Dengan demikian, bidang VE3c merupakan sebuah batas sekuen yang terbentuk pada puncak suatu fasa penurunan base level
yang memicu terjadinya forced regression paa bagian bawah satuan A, B, dan C.
Bidang yang menutupi satuan C dan D, yakni bidang VE3, ditindih oleh konglomerat kerikil yang terbioturbasi dan ditafsirkan
sebagai transgressive lag. Bidang VE3 merupakan bidang transgresi. Bidang itu merupakan flooding surface pertama yang
menyebar dalam paparan tua. Pada tempat-tempat dimana bidang itu menutupi satuan C, maka bidang itu juga
merepresentasikan batas sekuen pada daerah antar-alur. Tidak ada bukti penyingkapan pada batas sekuen tersebut. Hal itu
ditafsirkan karena bukti-bukti tersebut telah tersapu oleh ravinement.
Satuan E disusun oleh paket event beds yang bergelembur gelombang dan berlaminasi silang-siur landai yang telah
terbioturbasi dengan latar belakang berupa batuan lanauan. Paket itu merupakan endapan paparan-tengah pada suatu sistem
paparan yang didominasi oleh badai serta merepresentasikan perubahan yang dramatis dari tatanan yang didominasi oleh
satuan A hingga D yang diendapkan pada tatanan yang didominasi oleh pasut. Perubahan proses sedimentasi seperti itu sering
ditemukan di sekitar batas sekuen. Satuan E ditindih oleh bidang erosi regional, yakni bidang VE4, yang ditandai oleh lapisan
konglomerat. Konglomerat itu sendiri ditafsirkan sebagai transgressive lag serta dianggap sebagai bukti penurunan muka air laut
relatif yang terjadi setelah diendapkannya satuan E. Dengan kata lain, bidang VE4 juga merupakan bidang transgresi.
85
Sekuen Stratigrafi Emery dkk (1996)
8.8.2 Tudung
Paket endapan paralik dicirikan oleh banyaknya intraformational seal. Banyak diantara tudung itu disusun oleh serpih yang
terletak di atas marine flooding surface. Penyebaran tudung itu mencerminkan mekanisme yang menyebabkan terbentuknya
marine flooding surface, misalnya saja, peninggalan cuping delta atau penaikan muka air laut global. Karena lapangan migas
yang disusun oleh endapan paralik umumnya lebih kecil dibanding gejala-gejala tersebut, maka marine flooding surface yang
berkembang baik kemungkinan besar akan menutupi seluruh lapangan migas, kecuali lapangan migas yang berukuran besar
(tabel 8-4). Maximum flooding surface merupakan flooding surface yang penyebarannya paling luas. Maximum flooding surface
membentuk tudung regional yang mengontrol migrasi migas pada jarak jauh di bawah permukaan serta membnetuk suatu
ambang tekanan di lapangan migas.
86
Sekuen Stratigrafi Emery dkk (1996)
BAB 9
SISTEM KLASTIKA LAUT-DALAM
87