You are on page 1of 10

Persangkaan

Pada hakekatnya, persangkaan adalah alat bukti yang bersifat tidak langsung. Dengan demikian,
maka setiap alat bukti dapat menjadi persangkaan. Apakah alat bukti itu termasuk persangkaan atau
bukan terletak pada persoalan apakah alat bukti itu memberikan kepastian yang langsung mengenai
peristiwa yang diajukan untuk dibuktikan, atau mengenai peristiwa yang tidak diajukan untuk
dibuktikan, tetapi ada sangkut pautnya dengan peristiwa yang diajukan untuk dibuktikan.

Persangkaan diatur dalam pasal 173 HIR, Rbg ps.310, dan BW pasal 1915-1922. Menurut ilmu
pengetahuan, persangkaan merupakan bukti yang tidak langsung dan dibedakan sebagai berikut :

1. Persangkaan berdasarkan kenyataan (feitelijke atau rechterlijke vermoedens, praesumptiones


facti)

Pada persangkaan berdasarkan kenyataan, hakimlah yang memutuskan berdasarkan


kenyataannya, apakah mungkin dan sampai berapa jauhkah kemungkinannya untuk
membuktikan suatu peristiwa tertentu dengan membuktikan peristiwa lain. Jadi, kekuatan
pembuktiannya diserahkan kepada pertimbangan hakim, yang hanya boleh memperlihatkan
persangkaan yang penting, seksama, tertentu dan ada hubungannya satu sama lain.

2. Persangkaan berdasarkan hukum (wettelijke atau recht vermoedens, praesumptiones juris)


Pada persangkaan berdasarkan hukum, undang-undanglah yang menetapkan hubungan antara
peristiwa yang diajukan dan harus dibuktikan dengan peristiwa yang tidak diajukan.
Persangkaan ini dibagi menjadi dua :
a. praesumptiones juris tantum, yaitu persangkaan berdasarkan hukum yang memungkinkan
adanya pembuktian lawan. Persangkaan ini membebaskan orang, yang untung karenanya, dari
segala pembuktian lebih lanjut (ps.1921 BW). Persangkaan ini memilki kekuatan pembuktian
yang bersifat memaksa. Contoh persangkaan ini misalnya : ps.159,633,658,1394,1439 BW.
b. praesumptiones juris et de jure, yaitu persangkaan berdasarkan hukum atau menurut undang-
undang yang tidak memungkinkan pembuktian lawan. Persangkaan ini diatur dalam pasal 1921
ayat (2) BW, yaitu yang dapat menjadi dasar untuk membatalkan perbuatan-perbuatan tertentu
(ps.184,911,1681 BW). Persangkaan ini pada hakekatnya bukanlah persangkaan.

Menurut pasal 1915 BW, persangkaan adalah kesimpulan-kesimpulan yang oleh undang-undang
atau hakim ditarik dari suatu peristiwa yang terang nyata ke arah peristiwa lain yang belum terang
kenyataannya. Jadi, menurut pasal 1915 BW, ada dua persangkaan yaitu yang didasarkan atas undang-
undang (praesumptiones juris) dan yang merupakan kesimpulan-kesimpulan yang ditarik oleh hakim
(praesumptiones facti).

Dalam HIR, persangkaan diatur dalam pasal 173 HIR yaitu bahwa persangkaan saja yang tidak
disandarkan pada ketentuan undang-undang hanya boleh diperhatikan oleh hakim pada waktu
menjatuhkan putusannya apabila persangkaan itu penting, seksama, tentu, dan ada hubungannya satu
sama lain. Pasal 173 HIR hanya mengatur tentang persangkaan yang didasarkan atas kenyataan atau
praesumptiones facti (feitelijk atau rechterlijke vermoedens).

Persangkaan berdasarkan undang-undang, menurut pasal 1916 BW adalah persangkaan-


persangkaan yang oleh undang-undang dihubungkan dengan perbuatan-perbuatan tertentu, yaitu :

1. perbuatan-perbuatan yang oleh undang-undang dinyatakan batal, karena sifat dan


keadaannya saja dapat diduga dilakukan untuk menghindari ketentuan-ketentuan undang-
undang.
2. Perisiwa-peristiwa yang menurut undang-undang dapat dijadikan kesimpulan guna
menetapkan hak pemilikan atau pembebasan dari hutang.
3. Kekuatan yang diberikan oleh undang-undang kepada putuswan hakim
4. Kekuatan yang diberikan oleh undang-undang kepada pengakuan atau sumpah oleh salah
satu pihak.

Pengakuan

Pengakuan diatur dalam ps.174,175,176 HIR, ps.311,312,313 Rbg, dan ps.1923-1928 BW.
Pengakuan dapat diberikan di muka hakim di persidangan atau di luar persidangan.

Pengakuan di muka hakim di persidangan (gerechtelijke bekentenis) merupakan keterangan


sepihak, baik tertulis maupun lisan yang tegas dan dinyatakan oleh salah satu pihak dalam perkara di
persidangan, yang membenarkan baik seluruhnya atau sebagian dari suatu peristiwa, hak atau
hubungan yang diajukan oleh lawannya, yang mengakibatkan pemeriksaan lebih lanjut oleh hakim tidak
perlu lagi.

Pengakuan merupakan keterangan yang membenarkan peristiwa, hak atau hubungan hukum
yang diajukan oleh lawan. Dengan adanya pengakuan, maka sengketanya dianggap selesai sekalipun
pengakuan itu tidak sesuai dengan kebenaran dan hakim tidak perlu meneliti kebenaran pengakuan
tersebut. Oleh karena itu, pada hakekatnya pengakuan bukanlah pernyataan tentang kebenaran
melainkan lebih kepada pernyataan kehendak untuk menyelesaikan perkara, sehingga walaupun
pengakuan dimuat dalam pasal 164 HIR sebagai alat bukti tetapi pada hakekatnya pengakuan bukanlah
merupakan alat bukti.

a. Pengakuan yang tidak boleh dipisah-pisahkan (onsplitsbare aveu)


Pasal 176 HIR (ps.1924 BW) berbunyi : “tiap pengakuan harus diterima keseluruhannya dan
hakim tidak bebas untuk menerima sebagian dan menolak selebihnya, sehingga merugikan yang
member pengakuan, hal demikian itu hanya boleh dilakukan, kalau orang yang berhutang, dengan
maksud untuk membebaskan dirinya, menyebutkan peristiwa yang terbukti tidak benar”.
Yang dimaksud pasal 176 HIR adalah bahwa suatu pengakuan harus diterima bulat. Hakim tidak
boleh memisah-misah pengakuan itu dan menerima sebagian dari pengakuan sehingga tidak perlu agi
dibuktikan dan menolak sebagian lainnya yang masih perlu dibuktikn lebih lanjut.
Ilmu pengetahuan membagi pengakuan menjadi tiga, yaitu :
1. Pengakuan murni (aveu pur et-simple), yaitu pengakuan yang sifatnya sederhana dan sesuai
sepenuhnya dengan tuntutan pihak lawan.
2. Pengakuan dengan kualifikasi (gequalificeerde bekentenis, aveu qualifie) adalah pengakuan
disertai dengan sangkalan terhadap sebagian dari tuntutan. Pada hakekatnya, pengakuan ini
adalah jawaban tergugat yang sebagian terdiri dari pengakuan dan sebagian terdiri dari
sangkalan.
3. Pengakuan dengan clausula (geclausuleerde bekentenis, aveu complexe) adalah suatu
pengakuan yang disertai dengan keterangan tambahan yang bersifat membebaskan. Pada
hakekatnya, jawaban tergugat merupakan pengakuan tentang hal pokok yang diajukan oleh
penggugat, tetapi disertai dengan tambahan penjelasan yang menjadi dasar penolakan
gugatan.

Baik pengakuan dengan kualifikasi maupun pengakuan dengan clausula haruslah diterima bulat
dan tidak boleh dipisah-pisahkan dari keterangan tambahannya. Pengakuan semacam inilah yang diatur
dalam pasal 176 HIR yang disebut sebagai “pengakuan yang tidak boleh dipisah-pisahkan (onsplitsbare
aveu)”. Maksud pembentuk undang-undang bahwa pengakuan tidak boleh dipisah-pisahkan tidak lain
agar jangan sampai hakim memisah-misahkan pengakuan itu menjadi bagian yang berisikan pengakuan,
yang tidak perlu dibuktikan lebih lanjut, dan bagian tambahan yang pembuktiannya dibebankan kepada
yang member pengakuan.
Pengakuan yang tidak boleh dipisah-pisahkan itu pembuktiannya dibebankan kepada
penggugat. Penggugat harus dibebani dengan pembuktian seakan-akan jawaban tergugat seluruhnya
merupakan sangkalan terhadap gugatan penggugat. Penggugat harus membuktikan ketidakbenaran
keterangan tambahan dari tergugat. Dan apabila berhasil dibuktikan oleh penggugat, maka tergugatlah
yang harus membuktikan kebenaran keterangan tambahannya.Jadi, hakim baru boleh memisah-
misahkan pengakuan (onsplitsbare aveu) jika penggugat berhasil membuktikan bahwa keterangan
tambahan pada pengakuan itu tidak benar sehingga pembuktian kebenarannya dibebankan kepada
tergugat.

Dalam hal tergugat mengajukan pengakuan yang tidak boleh dipisah-pisahkan, maka penggugat
dapat memilih :

1. Menolak sama sekali pengakuan (onsplitsbare aveu) itu seluruhnya dan member
pembuktian sendiri
2. Membuktikan bahwa keterangan tambahan pada pengakuan itu tidak benar. Kalau ia
berhasil membuktikannya, maka ia dapat minta kepada hakim untuk memisahkan
pengakuan tergugat dari keterangan tambahan tergugat yang terbukti tidak benar iru.
Karena pemisahan itu, pengakuan tergugat menjadi pengakuan biasa, yang mempunyai
kekuatan pembuktian yang sempurna dan bersifat mengikat.

b. Pengakuan di luar persidangan


Pengakuan di luar sidang adalah keterangan yang diberikan oleh salah satu pihak dalam suatu
perkara di luar persidangan untuk membenarkan pernyataan-pernyataan yang diberikan oleh lawannya.
Pengakuan di luar persidangan diatur dalam pasal 175 HIR (ps.312 Rbg, 1927,1928 BW), yang
menyatakan bahwa kekuatan pembuktian daripada pengakuan lisan di luar persidangan diserahkan
kepada pertimbangan hakim (ps.1928 BW). Sedangkan pasal 1927 BW menentukan bahwa suatu
pengakuan lisan di luar persidangan tidak dapat digunakan selain dalam hal-hal sdimana diizinkan
membuktikan dengan saksi.
Pengakuan di luar sidang masih harus dibuktikan di persidangan, oleh karena itu bukanlah
merupakan alat bukti. Pengakuan di luar persidangan ini dapat ditarik kembali.

Sumpah
Sumpah merupakan tindakan yang bersifat religius yang digunakan dalam peradilan. Pada
umumnya, sumpah adalah suatu pernyataan yang khidmat yang diberikan atau diucapakan pada waktu
member janji atau keterangan dengan mengingat akan sifat mahakuasa dari pada Tuhan, dan percaya
bahwa siapa yang member keterangan atau janji yang tidak benar akan dihukum olehNya.

Dari batasan tersebut, terdapat dua macam sumpah, yaitu:

a. sumpah promissoir yaitu sumpah untuk berjanji melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Yang
termasuk sumpah ini adalah sumpah saksi dan sumpah (saksi) ahli karena sebelum memberikan
kesaksian harus diucapkan pernyataan atau janji akan member keterangan yang benar.
b. sumpah assertoir atau confirmatoir yaitu sumpah untuk member keterangan guna meneguhkan
bahwa sesuatu itu benar demikian atau tidak. Sumpah ini adalah sumpah sebagai alat bukti
karena fungsinya adalah untuk meneguhkan (confirm) suatu peristiwa.

Alat bukti sumpah diatur dalam ps.155-158, 177 HIR, ps.1929-1945 BW. HIR menyebutkan 3
macam sumpah sebagai alat bukti yaitu :

a. Sumpah suppletoir atau pelengkap (ps.155 HIR,1940 BW)


Sumpah suppletoir adalah sumpah yang diperintahkan oleh hakim karena jabatannya kepada
salah satu pihak untuk melengkapi pembuktian peristiwa yang menjadi sengketa sebagai dasar
putusannya . Sumpah ini harus ada pembuktian permulaan lebih dulu yang belum mencukupi dan tidak
ada alat bukti lainnya sehingga apabila ditambah dengan sumpah suppletoir pemeriksaan perkaranya
menjadi selesai dan hakim dapat menjatuhkan putusannya.
Sumpah suppletoir ini mempunyai fungsi menyelesaikan perkara sehingga mempunyai kekuatan
pembuktian sempurna yang masih memungkinkan adanya bukti lawan. Hakim tidak boleh
memerintahkan atau membebani sumpah suppletoir jika tanpa adanya bukti sama sekali atau apabila
alat buktinya cukup lengkap. Hakim bukan wajib karena jabatannya untuk memerintahkan sumpah
suppletoir melainkan karena punya wewenang dan pihak mana yang diperintahkan untuk bersumpah
suppletoir terserah sepenuhnya kepada hakim.
b. Sumpah Penaksiran (aestimatoir, schattingseed)
Pasal 155 HIR (1940 BW) mengatur tentang sumpah penaksiran yaitu sumpah yang diperintahkan
oleh hakim karena jabatannya kepada penggugat untuk menentukan jumlah uang ganti kerugian. Hakim
tidaklah wajib untuk membebani sumpah penaksiran ini kepada penggugat. Sumpah penaksiran ini baru
dapat dibebankan oleh hakim kepada penggugat apabila penggugat telah dapat membuktikan haknya
atas ganti kerugian itu serta jumlahnya masih belum pasti dan tidak ada cara lain untuk menentukan
jumlah ganti kerugian tersebut kecuali dengan taksiran.
Kekuatan pembuktian sumpah ini bersifat sempurna dan masih memungkinkan pembuktian
lawan.
c. Sumpah Decisoir
Sumpah Decisoir atau pemutus adalah sumpah yang dibebankan atas permintaan salah satu
pihak kepada lawannya (ps. 156 HIR, 1930 BW). Pihak yang meminta lawannya mengucapakan sumpah
disebut deferent dan pihak yang harus bersumpah disebut delaat.
Sumpah Decisoir ini dapat dibebankan atau diperintahkan meskipun tidak ada pembuktian
sama sekali, sehingga pembebanannya dapat dilakukan pada setiap saat selama pemeriksaan di
persidangan (ps. 156 HIR, 1930 BW). Inisiatidf untuk membebani sumpah datang dari salah satu pihak
dan ia pulalah yang menyusun rumusan sumpahnya.
Dalam sumpah decisoir ini, jika perbuatan dilakukan oleh kedua belah pihak dan pihak yang
disuruh bersumpah tidak bersedia mengucapkan sumpah maka dapat mengembalikan sumpah itu
kepada lawannya (relaat). Jika perbuatan yang dimintakan sumpah bukan merupakan perbuatan yang
dilakukan bersama oleh kedua belah pihak, maka sumpah itu tidak boleh dikembalikan (ps.1933 BW).
Akibat mengucapkan sumpah ini adalah bahwa kebenaran peristiwa yang dimintakan sumpah
menjadi pasti dan pihak lawan tidak boleh membuktikan bahwa sumpah itu palsu, tanpa mengurangi
wewenang jaksa untuk menuntut berdasarkan sumpah palsu (ps.242 KUHP), sehingga merupakan bukti
yang bersifat menentukan, yang berarit bahwa deferent harus dikalahkan tanpa ada kemungkinan untuk
mengajukan alat bukti lainnya (ps.177 HIR, 1936 BW). Oleh karena itu sumpah decisoir harus berkenaan
dengan hal yang pokok dan bersifat tuntas atau menentukan serta menyelesaikan sengketanya (litis
decisoir).
Sumpah decisoir ini bertujuan menyelesaikan perkara sehingga dengan telah dilakukannya
sumpah maka pemeriksaan perkara dianggap selesai dan hakim tinggal menjatuhkan putusannya.
Sumpah decisoir dapat berupa sumpah pocong, sumpah mimbar (sumpah di gereja) dan sumpah
klenteng.

Sumber : Buku Bu efa


Alat bukti Persangkaan
Pada hakekatnya, persangkaan merupakan alat bukti yang bersifat tidak langsung, karena alat
bukti persangkaan tidak dapat berdiri sendiri melainkan harus dengan perantaraan alat bukti lain.
Dengan persangkaan, suatu peristiwa dibuktikan secara tidak langsung, artinya dengan melalui
pembuktian peristiwa lain.
Pengertian persangkaan terdapat pada pasal 1915 BW yang menyatakan bahwa persangkaan
adalah kesimpulan-kesimpulan yang oleh undang-undang atau hakim ditarik dari suatu peristiwa yang
terang dan nyata ke arah peristiwa lain yang belum terang kenyataannya.
Dilihat dari pengertiannya, alat bukti persangkaan dibedakan menjadi :
a. Persangkaan berdasarkan kenyataan (feitelijke atau rechterlijke vermoedens)

Pada persangkaan berdasarkan kenyataan atau persangkaan hakim, hakimlah yang memutuskan
berdasarkan kenyataannya, apakah mungkin dan sampai berapa jauh kmungkinannya untuk
membuktikan suatu peristiwa tertentu dengan peristiwa lain. Pada persangkaan ini, hakim bebas
dalam menemukan persangkaan berdasarkan kenyataan sehingga setiap peristiwa yang telah
dibuktikan dalam persidangn dapat digunakan sebagai persangkaan.

b. Persangkaan berdasarkan hukum (wettelijke atau recht vermoedens)


Pada persangkaan berdasarkan hukum, undang-undanglah yang menetapkan hubungan antara
peristiwa yang diajukan dan harus dibuktikan dengan peristiwa yang tidak diajukan.
Persangkaan ini dibagi menjadi dua :
a. praesumptiones juris tantum, yaitu persangkaan berdasarkan hukum yang memungkinkan
adanya pembuktian lawan.
b. praesumptiones juris et de jure, yaitu persangkaan berdasarkan hukum atau menurut undang-
undang yang tidak memungkinkan pembuktian lawan.

HIR hanya mengatur tentang persangkaan yang didasarkan pada kenyataan (feitelijke atau
rechterlijke vermoedens) saja.

Alat bukti pengakuan


Pengakuan merupakan keterangan sepihak karena tidak memerluka persetujuan dari pihak
lawan. Pengakuan merupakan keterangan yang membenarkan peristiwa, hak atau hubungan hukum
yang diajukan oleh pihak lawan. Karena itu, dengan adanya pengakuan, sengketa dianggap selesai
sekalipun pengakuannya itu tidak sesuai dengan kebenaran, dan hakim tidak perlu meneliti kebenaran
pengakuan tersebut. Oleh karena itu, pengakuan bukanlah merupakan pernyataan tentang kebenaran,
tetapi lebih merupakan pernyataan kehendak untuk menyelesaikan perkara.

Ilmu pengetahuan membagi pengakuan menjadi pengakuan murni dan pengakuan tambahan,
sedangkan pengakuan tambahan dibagi menjadi pengakuan dengan kualifikasi dan pengakuan dengan
klausula.

Pengakuan murni adalah pengakuan terhadap tuntutan pihak lawan sepenuhnya sesuai dengan
tuntutan, tanpa ada tambahan apapun.

Pengakuan dengan kualifikasi (gequalificeerde bekentenis) adalah pengakuan yang disertai


dengan sangkalan terhadap sebagian dari tuntutan. Pada hakekatnya, pengakuan ini adalah jawaban
tergugat yang sebagian terdiri dari pengakuan dan sebagian terdiri dari sangkalan.

Pengakuan dengan klausula (geclausuleerde bekentenis) adalah pengakuan yang disertai dengan
keterangan tambahan yang bersifat membebaskan kewajiban yang mengakui. Pada hakekatnya,
jawaban tergugat merupakan pengakuan tentang hal pokok yang diajukan oleh penggugat, tetapi
disertai dengan tambahan penjelasan yang menjadi dasar penolakan gugatan.

Pengakuan dengan tambahan haruslah diterima bulat dan tidak boleh dipisah-pisahkan dari
pengakuan tambahannya. Hal ini sesuai dengan pasal 176 HIR. Maksud pembentuk undang-undang
adalah agar jangan sampai hakim memisah-misahkan pengakuan itu menjadi bagian yang berisikan
pengakuan, yang tidak perlu dibuktikan lebih lanjut, dan bagian tambahan yang pembuktiannya
dibebankan kepada yang memberi pengakuan.

Alat bukti sumpah


Sumpah pada umumnya adalah suatu pernyataan yang khidmat, yang diberikan atau diucapkan
pada waktu memberikan janji atau keterangan dengan mengingat akan sifat maha kuasa dari Tuhan, dan
percaya bahwa siapa yang memberi keterangan atau janji atau keterangan yang tidak benar akan
dihukum oleh Tuhan.

Dari rumusan tersebut, dapat disimpulkan ada 2 macam sumpah, yaitu sumpah untuk berjanji
melakukan atau tidak melakukan sesuatu disebut sumpah promissoir, dan sumpah untuk memberi
keterangan guna meneguhkan bahwa sesuatu itu benar demikian atau tidak yang disebut sumpah
assertoir.

HIR menyebutkan ada 3 macam sumpah sebagai alat bukti yaitu :

a. Sumpah suppletoir atau pelengkap (ps.155 HIR,1940 BW)


Sumpah suppletoir atau pelengkap yaitu sumpah yang diperintahkan oleh hakim karena
jabatannya kepada salah satu pihak untuk melengkapi pembuktian peristiwa yang menjadi sengketa
sebagai dasar putusannya. Sumpah ini harus ada pembuktian permulaan lebih dulu yang belum
mencukupi dan tidak ada alat bukti lainnya sehingga apabila ditambah dengan sumpah suppletoir
pemeriksaan perkaranya menjadi selesai dan hakim dapat menjatuhkan putusannya.
b. Sumpah Decisoir
Sumpah Decisoir atau sumpah pemutus yang bersifat menentukan dan menyelesaikan sengketa
(litis decisoir), yaitu sumpah yang dibebankan atas permintaan salah satu pihak kepada lawannya.
Sumpah Decisoir ini dapat dibebankan atau diperintahkan meskipun tidak ada pembuktian sama sekali,
sehingga pembebanannya dapat dilakukan pada setiap saat selama pemeriksaan di persidangan.
Akibat mengucapkan sumpah ini adalah bahwa kebenaran peristiwa yang dimintakan sumpah
menjadi pasti dan pihak lawan tidak boleh membuktikan bahwa sumpah itu palsu(tanpa mengurangi
wewenang jaksa untuk menuntut berdasarkan sumpah palsu), sehingga sumpah decisoir merupakan
bukti yang bersifat menentukan, yang berarti bahwa orang yang menyuruh bersumpah harus dikalahkan
tanpa ada dimungkinkan untuk mengajukan alat bukti lainnya.
c. Sumpah aestimatoir atau sumpah penaksir
Sumpah aestimatoir atau sumpah penaksir yaitu sumpah yang diperintahkan oleh hakim karena
jabatannya kepada penggugat untuk menentukan besarnya uang ganti kerugian yang belum secara jelas
dimintakan/disebutkan dalam gugatannya. Sumpah ini baru dapat dibebankan oleh hakim kepada
penggugat bila penggugat telah dapat membuktikan haknya atas ganti kerugian tersebut.

You might also like