You are on page 1of 56

Talak

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Belum Diperiksa
Langsung ke: navigasi, cari
Artikel ini perlu dirapikan agar memenuhi standar Wikipedia
Merapikan artikel bisa berupa membagi artikel ke dalam paragraf atau wikifikasi artikel. Setelah
dirapikan, tolong hapus pesan ini.

Talak adalah sebuah istilah dalam agama Islam yang berarti adalah perceraian antara suami dan
istri.

Daftar isi
[sembunyikan]

• 1 Latar Belakang
• 2 Pengertian
• 3 Pembagian Talak
o 3.1 Dari segi cara suami menjatuhkan

o 3.2 dari segi boleh - tidaknya suami rujuk kembali pada istrinya

[sunting] Latar Belakang


Pada zaman sebelum islam datang ke tanah arab, masyarakat jahiliyah jika ingin melakukan talak
dengan istri mereka dengan cara yang merugikan pihak perempuan. Mereka mentalak istrinya,
kemudian rujuk kembali pada saat iddah istrinya hapir habis, kemudian mentalaknya kembali.
Hal ini terjadi secara berulang-ulang, sehingga istrinya menjadi terkatung-katung statusnya.
Dengan datangnya Islam, maka aturan seperti itu diubah dengan ketentuan bahwa talak yang
boleh dirujuki itu hanya dua kali. Setelah itu boleh rujuk, tetapi dengan beberapa persyaratan
yang berat.

[sunting] Pengertian
• Menurut Ulama mazhab Hanafi dan Hanbali mengatakan bahwa talak adalah pelepasan
ikatan perkawinan secara langsung untuk masa yang akan datang dengan lafal yang
khusus.
• Menurut mazhab Syafi'i, talak adalah pelepasan akad nikah dengan lafal talak atau yang
semakna dengan itu.
• Menurut ulama Maliki, talak adalah suatu sifat hukum yang menyebabkan gugurnya
kehalalan hubungan suami istri.
Perbedaan definisi diatas menyebabkan perbedaan akibat hukum bila suami menjatuhkan talak
Raj'i pada istrinya. Menurut Hanafi dan Hanbali, perceraian ini belum menghapuskan seluruh
akibat talak, kecuali iddah istrinya telah habis. Mereka berpendapat bahwa bila suami jimak
dengan istrinya dalam masa iddah, maka perbuatan itu dapat dikatakan sebagai pertanda
rujuknya suami. Ulama Maliki mengatakan bila perbuatan itu diawali dengan niat, maka berarti
rujuk. Ulama syafi'i mengatakan bahwa suami tidak boleh jimak dengan istrinya yang sedang
menjalani masa iddah, dan perbuatan itu bukanlah pertanda rujuk. karena menurut mereka, rujuk
harus dilakukan dengan perkataan atau pernyataan dari suami secara jelas, bukan dengan
perbuatan.

[sunting] Pembagian Talak


[sunting] Dari segi cara suami menjatuhkan

Dilihat dari segi cara suami menjatuhkan talak pada istrinya, talak dibagi menjadi2, yaitu:

1. Talak Sunni: talak yang dijatuhkan suami pada istrinya dan istri dalam keadaan suci atau
tidak bermasalah secara hukum syara', seperti haidh, dan selainnya.
2. Talak Bid'i: talak yang dijatuhkan suami pada istrinya dan istrinya dalam keadaan haid,
atau bermasalah dalam pandangan syar'i.

[sunting] dari segi boleh - tidaknya suami rujuk kembali pada istrinya

Dilihat dari segi boleh tidaknya suami rujuk dengan istrinya, maka talak dibagi menjadi dua,
yaitu talak raj'i dan talak ba'in.

1. Talak Raj'i: Talak yang dijatuhkan suami kepada istrinya (talak 1 dan 2) yang belum
habis masa iddahnya. Dalam hal ini suami boleh rujuk pada istrinya kapan saja selama
masa iddah istri belum habis.

1. Talak Ba'in: Talak yang dijatuhkan suami pada istrinya yang telah habis masa iddahnya.
Dalam hal ini, talak ba'in terbagi lagi pada 2 yaitu: talak ba'in sughra dan talak ba'in
kubra.

Talak ba'in sughra adalah talak yang dijatuhkan suami pada istrinya (talak 1 dan 2) yang telah
habis masa iddahnya. suami boleh rujuk lagi dengan istrinya, tetapi dengan aqad dan mahar yang
baru. sedangkan talak ba'in kubra adalah talak yang dijatuhkan suami pada istrinya bukan lagi
talak 1 dan 2 tetapi telah talak 3. dalam hal ini, suami juga masih boleh kembali dengan istrinya,
tetapi dengan catatan, setelah istrinya menikah dengan orang lain dan bercerai secara wajar. oleh
karena itu nikah seseorang dengan mantan istri orang lain dengan maksud agar mereka bisa
menikah kembali (muhallil) maka ia dilaknat oleh Rasulullah SAW. dalam salah satu haditsnya.

• Talak dua: pernyataan talak yang dijatuhkan sebanyak dua kali dan memungkinkan
suami rujuk dengan istri sebelum selesai masa iddah
• Talak tiga: pernyataan talak yang bersifat final. Suami dan istri tidak boleh rujuk lagi,
kecuali sang istri pernah dikawini oleh orang lain lalu diceraikan olehnya
MACAM-MACAM TALAK
15.47 | By Husni

Dalam formulasi fikih, talak yang dijatuhkan seorang suami dapat dikategorikan kepada
beberapa bagian. Pemilahan dan pembagian itu didasarkan pada unsur-unsur penting yang
membedakan satu bagian dengan bagian lain. Secara sederhana, pembagian talak itu akan
dijelaskan berikut ini.

Ditinjau dari segi keabsahan menjatuhkannya


1. Talak Sunni
Secara umum, istilah sunni yang terambil dari kata sanna-yasunnu berarti (sesuatu yang
diizinkan oleh syari'). Jadi yang dimaksud dengan talak sunni adalah talak yang dijatuhkan sesuai
dengan ketentuan yang telah digariskan oleh syara'.
Menurut ulama Malikiyyah, sebagaimana yang dikemukakan oleh al-Kasnawi, talak
sunni adalah:
‫السني طلقة فى طهر لم يمس فيه ول تاليا ليحيض طلث فيه ثثثم‬
‫ل يتبعها طلق حتى تنقض عدتها‬
[1]

"Talak sunni adalah talak yang dijatuhkan satu kali pada waktu suci yang belum
"disentuh"(disetubuhi) pada waktu suci itu, bukan talak yang diiringi oleh masa haid yang mana
ia menjatuhkan talak pada waktu itu, kemudian ia tidak mengikutinya dengan talak lain sanpai
habis masa 'iddahnya."

Lebih jelas, al-Kasynawiy[2] menguraikan 5 syarat yang mesti terpenuhi untuk


menyatakan bahwa talak tersebut termasuk kategori talak sunni, yaitu
a. Talak yang dijatuhkan itu hanya satu
b. Talak itu dijatuhkan pada waktu yang belum ia "sentuh"
c. Talak yang dijatuhkan itu secara utuh, bukan sebahagiannya seperti separoh talak.
d. Talak tersebut tidak dijatuhkan kepada perempuan yang sedang berada dalam masa 'iddah talak
raj'iy. Jika ia mengiringnya dengan talak lain pada masa 'iddahnya maka talak yang kedua
tersebut tidak dinamakan dengan talak sunni.
e. Talak tersebut dijatuhka kepada seorang wanita secara utuh, bukan sebahagiannya,seperti
rangannya saja.
Dalam formulasi fikih Syafi'iyyah terjadi perbedaan pendapat dalam mendefenisikan
talak sunni tersebut. Sebahagian ulama syafi'iyyah mendefenisikan talak sunni, sebagaimana
yang dikemukakan oleh Ahmad ai-Hashari berikut:
‫الطلق السني بأنه طلق مدخول بها فى طهر لثثم يجامعهثثا فيثثه ول فثثى حيثثض قبلثثه وليسثثت‬
[3]
‫بحامل ول صغيرة ول أيسة وهي تعتد بالقراء‬
"Talak Sunni adalah talak (yang dijatuhkan kepada isteri yang telah)disetubuhi yang dijatuhkan
pada waktu suci yang belum disetubuhinya pada waktu suci tersebut, bukan (dijatuhkan) pada
waktu haid sebelumnya, waniti itu tidak hamil, tidan anak kecil dan tidak pula wanita
monopouse, sementara ber'iddah dengan quru23

Sedangkan menurut sebahagian ulama Syafi'iyyah yang lain, talak sunni adalah talak
yang dijatuhkan kepada isteri yang telah disetubuhi, yang dijatuhkan pada waktu suci dan ia
belum disetubuhi pada waktu suci tersebut.[4] Adapun talak yang dijatuhkan kepada isteri yang
masih kecil (sebelum Baligh), sudah tua yang telah monopouse, hamil atau isteri yang belum
disetubuhi, menurut kelompok ini, tidak dinamakan talak sunni dan tidak pula bid'iy tetapi antara
keduanya.[5]
Perbedaan antara mendefinisikan talak sunni diatas disebabkan perbedaan dalam
mengklasifikasikan kategori dalam bentuk ini. Kelompok pertama mengklasifikasikan talak
dalam kategori ini kepada: Talak sunni dan talak bid'iy. Sedangkan kelompok kedua
mengklasifikasikannya kepada: talak sunni, talak bid'iy, dan bukan talak yang bukan sunni dan
bid'iy.[6]
Menurut ulama Hanabilla, talak sunni adalah:
‫طلق السنة هو أن يطلقها من غير جمثثاع واحثثدة ثثثم بثثدعها حثثتى‬
‫تنقض عدنها‬ [7]

"Talak sunni adalah seseorang menjatuhkan talak isterinya yang belum distubuhinya (pada
waktu suci itu) satu kali, kemudian ia meninggalkan isterinya itu sampai habis masa 'iddahnya "

Adapun ulama Hanafiyyah, mengklasifikasikan talak sunni tersebut kepada dua kategori,
yaitu talak ahsan (lebih baik) dan talak hasan (baik). Menurut mereka, talak ahsan adalah:
‫أن تطلقها طلقة واحدة رجعية فى طهر ل جماع فيثثه ول طلق ول‬
‫فى حيضة طلق ول جماع ويتركها حتى تنقض عدتها ثلث حيضثثات‬
‫إن كانت حرة وإن كانت أمة حيضتان‬
[8]

"Yaitu seseorang menjatuhkan talak isterinya satu kalisebagai (talak) raj'iy pada waktu suci,
yang mana pada waktu suci itu belum disetubuhinya dan belum dijatuhi talak (sebelumnya),
(talak itu)tidak dijatuhkan pada waktu haid dan tidak pula disetubuhi dan ia meninggalkan
(tidak menyetubuhi) isterinya itu sampai habis masa 'iddahnya, yaitu tiga kali haid jika
isterimya itu merdeka, atau dua kali haid jika isterinya itu budak "

Sedangkan talak hasan menurut mereka adalah:


[9]
‫أن يطلق المدخول بها ثلثا فى ثلثة أطهار‬
"Yaitu seseorang menjatuhkan talak kepada isterinya yang telah disetubuhi sebanyak tiga kali
pada waktu tiga kali suci"

Jadi substansi yang membedakan antara kedua macam talak sunni yang dikemukakan
oleh ulama Hanfiyyah diatas terletak pada jumlah talak yang dijatuhkan satu kali sampai habis
masa 'iddahnya, maka talak sunni itu dinamakan sunni ahsan. Namun apabila dijatuhkan tiga kali
pada waktu tiga kali suci maka dinamakan dengan talak sunni hasan.
Menurut ulama Hanafiyyah, pembedaan antara talak sunni ahsan dan talak sunni hasan
tersebut didasarkan kepada riwayat yang diterima dari Ibrahim al-Nakh'I yang menjelaskan
bahwa para sahabat Rasulullah SAW menyukai talak hanya satu sampai habis masa 'iddah
isterinya itu.[10] Disampaing itu al-kasani menjelaskan bahwa talak sunni ahsan, dimana seorang
suami hanya menjatuhkan satu talak sampai habis masa 'iddah isterinya, lebih memberi peluang
kepada suami tersebut untuk menyesali tindakannya, dibandingkan talak sunni hasan yang mana
seorang suami menjatuhkan tiga talak pada tiga kali suci. Oleh karena itu, menurut al-kasani,
mesti dibedakan antara kedua macam talak sunni tersebut.[11]
Lebih jauh al-marghinani menguraikan alur piker pembedaan klasifikasi talak sunni itu
dengan mengatkan bahwa hokum asal dari talak itu adalah haram. Sebab talak tersebut
memutuskan ikatan pernikahan yang memuat dan sarat akan dimensi kemaslahatan duniawi dan
religi. Sedangkan pembolehan karena hajjah hanya sekedar melepaskannya saja (talak satu),
bukan mengumpulkan talak itu sampai tiga meskipun pada masa tiga kali suci. Alur piker
tersebut dikemukakannya sebagai berikut:
‫ولنا أن الصل فى الطلق هو الحظر لما فيه من قطع النكاح الذي‬
‫تعلقت به المصاله الدينية والدنيوية والباحة المحاجة إلثثى الخلص‬
]

[12

"Menurut kami (Hanafiyyah), sesungguhnya asal hukum talak adalah haram, karena
memutuskan ikatan pernikahan yang dikaitkan dengannya kemashlahatan duniawi dan religi.
Pembolehan hanya karena hajjah hanya sekedar melepaskan"
Oleh karena itu menurutnya, tidak dapat disamakan antara talak sunni ahsan, yaitu
menjatuhkan satu talak, dengan talak sunni hasan dimana seorang suami menjatuhkan talak
isterinya tiga kali pada masa tiga kali suci.
Apabila diperhatikan formulasi fikih tentang talak sunni yang telah ditemukan oleh para
ulama terdahulu, maka dapat disimpulkan bahwa kategori talak sunni ahsan versi ulama
Hanafiyyah tersebut jelas merupakan talak sunni menurut Jumhur Ulama. Namun kategori talak
sunni hasan versi ulama hanafiyyah itu, sudah termasuk talak bid'iy menurut ulama Malikiyyah
dan ulama Hanabillah.[13]
Adapun alasan yang dikemukakan ulama Hanafiyyah yang menyatakan talak yang
dijatuhkan tiga kali pada waktu tiga kali suci itu, termasuk talak sunni, yaitu talak sunni ahsan
adalah firman Allah SWT dan Hadits Nabi SAW. diantara firman Allah SWT yang menjelaskan
hal itu adalah terdapat dalam surat al-Thalaq ayat 1:
...‫يا أيها النبي إذا طلقتم النساء فطلقوهن لعدتهن‬
Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka
pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar)…

Dalam ayat diatas dijelaskan bahwa Allah SWT menyuruh Nabi-Nya untuk menjatuhkan
talak isterinya pada waktu mereka dapat menghadapi 'iddahnya. Menurut mereka, bukankah
'iddah meraka tiga kali suci dan oleh karenanya tal;ak boleh dijatuhkan setiap kali suci itu,
asalkan pada waktu suci tersebut wanita itu belum disetubuhinya.[14]
Menurut mereka pemahaman seperti itu didukung oleh Hadits Nebi SAW berikut:
‫عن عبد الله بن عمر رضي الله عنهما أنه طلق امرأته وهي حائض‬
‫على رسول الله وسثثلم صثثلى اللثثه عليثثه وسثثلم فسثثأل عمثثر بثثن‬
‫الخطاب رسول الله صلى الله عليه وسلم عن ذلثثك فقثثال رسثثول‬
‫الله صلى الله عليه وسلم ) مره فليرجعها ثم ليمسكها حتى تطهر‬
‫ثم تحيض ثم تطهر ثم إن شاء أمسك بعد وإن شاء طلثثق قبثثل أن‬
(‫يمس فتلك العدة التي أمر الله أن تطلق لها النساء )متفق عليثثه‬
]

[15

"Diterima dari Ibnu 'Umar, bahwa sesungguhnya ia menjatuhkan talak isterinya, sementara
isterinya itu dalam keadaan haid, pada masa Rasulullah SAW. lalu 'Umar Ibn al-Khatab
menanyakan hal itu kepada Rasulullah SAW, Rasulullah SAW berkat kepada 'Umar Ibn al-
Khatab: suruh ia dan hendaknya ia rujuk kepada isterinya, kemudian hendaklah ia
meninggalkannya sampai ia suci, kemudian haid, kemudian suci lagi. Selanjutnya, jika ia mau
peganglal ia dan jika ia mau talak dia sebelum disetubuhi. Demikianlah 'iddah yang
diperintahkan oleh Alllah 'azza wa jalla untuk menjatuhkan talak pada wanita"
Menurut ulama Hanafiyyah tersebut, dijelaskan bahwa Rasulullah SAW menyuruh 'Umar
untuk merujuk isterinya pada waktu suci. Kemudian apabila masa haid stelah masa suci tersebut
telah berlalu maka Rasulullah menyuruhnya untuk memilih antara; tetap memegangnya atau
menceraikannuya. Hal ii menurut mereka mengendiaksikan bolehnya menjatuhkan talak sampai
tiga kali pada waktu setiap kali suci.
Disamping itu mereka juga melandaskannya kepada Hadits Nabi SAW berikut:
‫عن عبد الله أنه قثثال طلق السثثنة تطليقثثة وهثثي طثثاهر فثثي غيثثر‬
‫جماع فإذا حاضثثت وطهثثرت طلقهثثا أخثثرى فثثإذا حاضثثت وطهثثرت‬
(‫طلقها أخرى ثم تعتد بعد ذلك بحيضة )رواه النسائي‬
[16]

"Diterima dari Abdullah r.a, ia berkata bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda: Talak sunni
adalah bahwa seseorang menjatuhkan talak isterinya satu, sementara isterinya itu dalam
keadaan suci yang belum disetubuhi (pada waktu suci itu). Apabila masa hidbya telah berlalu
dan telah dating pula masa sucinya, iamentalak lagi isterinya itu. Kemudian ia menunggu
berlalunya satu kali masa haid lagi"

Talak sunni menurut ulama Zhahiriyyah, sebagaimana dikutip oleh Ahmad Hashari
sebagai berikiut:
[17]
‫هو أن يطلق الرجل امرئته فى طهر ثم يطأها فيه‬
"Talak sunni ialah seorang suami menjatuhkan talak isterinya pada suci yang pada masa suci
itu isterinya belum disetubuhinya "

Diadalam Kompilasi Hukum Islam,[18] talak raj'iy juga dijelaskan yaitu, talak kesatu atau
kedua, dimana suami berhak rujuk selama isteri dalam masa 'iddah.
2. Talak bid'iy
Secara umum, istilah talak bid'iy yang terambil dari kata bada'a, yabda'u yang berarti ‫ما‬
19]
‫( ]نهى الشرع عنه‬sesuatau yang dilarang syara'). Jadi yang dimaksud dengan talak bid'iy
adalah talak yang dijatuhkan tersebut tidak sesuai dengan ketentuan yang telah digariskan syara'.
Akan tetapi, dalam menjelaskan talak yang termasuk dilarang dalam kategori syara' itu,
para ulama berbeda pendapat. Ulama Malikiyyah mendefnisikan talak bid'iy, sebagaimana yang
dikutip oleh Ahmad al-Hashari sebagai berikut:
[20]
‫هو الطلق الفاقد لشرط أو أكثر من الشروط الواجب‬
"Yaitu talak yang tidak ada satu syarat atau lebih dari syarat-syarat yang mesti ada
(sebagaimana yang telah dibahas pada syarat yang mesti ada pada talak sunni terdahulu)"

Disamping itu, ulama Malikiyyah membagi talak bid'iy kepada dua pembagaian, yaitu
talak yang haram dijatuhkan dan talak yang makruh dijatuhkan. Adapun kategori talak yang
haram dijatuhkan adalah talak yang dijatuhkan kepada isteri yang telah disetubuhi, yang
memenuhi persyaratan berikut:
a. Suami tersebut menjatuhkan talak kepada isterinya dalam keadaan haid atau nifash. Oleh
karena menurut ulama Malikiyyah, wanita haid atau nifash baru boleh melakukan ibadah
yang sifatnya ta'abudiyyah setelah ia mandi, disamping telah habios keluar darah haid
dan nifash. Maka ketika seorang suami menjatuhkan talak kepada isterinya yang telah
terputus darah haid dan nifashnya dan belum mandi, maka hukumnya termasuk kedalam
kategori ini, yaitu haram.
Adapun mengenai isteri yang tidak haid, seperti wanita yang telah monopouse atau
tidak/belum haid, maka termasuk kategori talak bid'iy yang diharamkan baginya, tidak ada dalam
poin ini, namun hanya pada dua bentuk yang terakhir.
b. Suami tersebut menjatuhkan talak kepada isterinyatiga kali pada satu tempat, baik isteri
itu pada masa haid atau dalam masa suci. Namun tentu saja menjatuhkan talak tiga
kepada isteri ketika ia berada dalam masa haid, berarti ia melakukan dua dosa sekaligus,
yaitu menjatuhkan talak kepada isteri yang sedang berada dalam masa haid.
c. Suami tersebut menjatuhkan talak kepada isterinya sebagai talak saja, misalnya, seorang
suami berkata kepada isterinya; Engkau tertalak sebagian talak, atau suami tersebut
menjatuhkan talak kepada sebagian anggota tubuhnya saja, seperti suami tersebut
berkata: "tangan kamu tertalak."
Sedangkan yang termasuk talak bid'iy yang makruh dijatuhkan terwujud dengan dua
syarat, yaitu: a) Suami tersebut menjatuhkan talak isterinya pada masa suci yang telah
disetubuhinya pada masa suci itu, dan b) Suami tersebut menjatuhkan talak isterinya dua kali
pada satu tempat.[21]
Menurut ulama Syafi'iyyah, talak bid'iy itu terbagi dua, yaitu:
a. Suami tersebut menjatuhkan talak istrinya yang telah disetubuhi pada masa haid.
Ketentuan ini mereka dasarkan kepada firman Allah SWT sebagaimana yang telah
penulis kutip terdahulu yaitu: …" Talaklah mereka karena 'iddah mereka…". Adapun
sebab pengharaman menjatuhkan talak dalam bentuk ini, karena akan memudharatkan
istrinya itu disebabkan ia akan ber-'iddah relative lebih panjang.
b. Suami tersebut menjatuhkan talak istrinya pada masa suci namun pada masa suci itu ia
telah menyetubuhi istrinya di farj-nya (vagina). Menurut pendapat terkuat dalam mazhab
ini, menyetubuhi di dubur (anus) juga termasuk dalam mazhab ini , karena ada
kemungkinan istrinya hamil atau tidak. Oleh karenanya akan menyulitkan masa 'iddah-
nya, apakah sampai melahirkan atau dengan menggunakan qurû'. Di samping itu ada
kemungkinan suami itu akan menyesal karena ia akan berpisah juga dengan anaknya.[22]
Ulama Hanabilah sepakat dengan ulama Syafi'iyyah.[23]
Menurut ulama Hanafiyyah sebagaimana yang dikutip oleh Wahbah al-Zuhaili, senagai
berikut:
]
‫ان يطلقها ثلث او اثنين بكلمة واحدة او يطلقها ثلث فى طهر واحثثد‬
[24

"yaitu seorang suami menjatuhkan talak istrinya tiga atau dua dengan satu kata, atau ia
menjauhkan talaknya tiga pada masa satu kali suci "

Ahmad al-Hashari menguraikan pendapat ulama Hanafiyyah tersebut, di mana menurut


mereka talak bid'î dapat diukur dari dua patron, yaitu: a). Dari segi waktu, dan b). Dari segi
jumlah talak yang dijatuhkan.

Dari Segi Waktu Penjatuhannya


Adapun dari segi waktu, terbagi kepada dua, yaitu:
1. Talak satu (raj'î) pada masa haid, jika isteri itu telah disetubuhi baik ia wanita merdeka atau
budak. Larangan dalam bentuk ini, menurut mereka dapat memanjangkan 'iddah.
2.
Suami menjatuhkan talak isterinya yang masih/sudah haid sebanyak satu kali (Raj'iy) pada masa
suci yang telah disetubuhinya baik wanita itu merdeka ataupun budak. Larangan dalam bentuk
ini, menurut mereka adanya kemungkinan isterinya itu hamil lalu ia akan menyesal menjatuhkan
talak isterinya itu.[25]

Dari segi jumlahnya


Sedangkan dari segi jumlah talak, talak bid'iy menurut mereka adalah apabila seorang
suami menjatuhkan talak isterinya, yang merdeka sebanyak tiga dan budak sebanyak dua, pada
satu kali masa suci yang belum disetubuhi baik jumlah itu dijatuhkan dalam waktu sekaligus atau
satu persatu.[26]
Menurut ulama Zhahiriyyah, sebagaimana dikemukakan oleh Ibnu Hazm yang dikutip
oleh Ahmad al-Hashari sebagai berikut:
[27]
‫هو طلق الرجل امرئته اثناء حيضها أو فى اثناء طهرها الذي وطئها فيه‬
"Talak Bid'iy ialah yang dijatuhkan oleh seorang suami kepada isterinya pada masa haidnya
atau pada masa suci yang pada masa itu telah disetubuhinya"

Para ulama sepakat menyatakan bahwa talak bid'iy adalah haram dan orang yang
melakukannya dikenai dosa. Namun mengenai akibat hokum yang ditimbulkan oleh talak bid'iy
ini, terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama. Jumhur ulama berpendapat bahwa apabila
seorang suami menjatuhkan talak isterinya dengan talak bid'iy maka talaknya tersebut berlaku
dan sah. Adapun alas an yang mereka kemukakan adalah beberapa ayat yang bersifat umum
mengenai talak tersebut. Mereka juga melandaskannya kepada hadits Nabi SAW berikiut:
‫عن عبد الله بن عمر رضي الله عنهما أنه طلق امرأته وهي حائض على رسول الله وسثثلم صثثلى‬
‫الله عليه وسلم فسأل عمر بن الخطاب رسول الله صلى الله عليه وسلم عن ذلك فقثثال رسثثول‬
‫الله صلى الله عليه وسلم ) مره فليرجعها ثم ليمسكها حتى تطهر ثم تحيض ثم تطهر ثم إن شثثاء‬
‫أمسك بعد وإن شاء طلق قبل أن يمس فتلك العدة التي أمثثر اللثثه أن تطلثثق لهثثا النسثثاء )متفثثق‬
[28]
(‫عليه‬
"Diterima dari Ibnu 'Umar, sesungguhnya ia menjatuhkan talak isterinya, yang mana isterinya
itu berada dalam keadaan haid, pada masa Rasulullah SAW. kemudian Rasulullah berkata: aku
menanyakannya kepada Rasulullah SAW tentang hal itu, maka Rasulullah SAW menjawab:
suruh ia untuk merujukinya, kemudian hendaklah ia memegangnya sampai ia suci kemudian
haid kemudian suci. Jika ia mau peganglah atau ia talak sebelum disetubuhi. Demikianlah
'iddah yang diperintahkan oleh Allah 'Azza Wa Jalla untuk menjatuhkan talak pada wanita"

Dalam hadits tersebut dapat dipahami bahwa suatu ketika 'Umar menjatuhkan talak
isterinya sementara isterinya itu dalam keadaan haid. Lalu Rasulullah SAW memerintahkannya
untuk rujuk kepada isterinya kembali. Menurut mereka, hal itu mengidikasikan bahwa talak yang
dijatuhkannya adalah yang termasuk talak bid'iy itu telah berlaku.
Sebagian ulama yang lain, diantaranya ulama syi'ah, zhahiriyyah, salah satu pendapat
Imam Ahmad, Ibn 'Uqail, Ibn Taimiyyah dan Ibn al-Qayyim (Hanabillah) berpendapat bahwa
talak bid'iy itu tidak jatuh. Menurut kelompok ini, beberapa ayat Al-Quran menjelaskan bahwa
talak bid'iy tidak berlaku dan tidak berkekuatan hukum. Al-Quran justru melarang talak bi'I itu.
Ayat menjelaskan bahwa talak harus dijatuhkan pada saat isterinya dapat menjalankan 'iddah.
Allah SWT berfirman: "Talaklah mereka karena 'iddah mereka". Dalam memahami hadits
tentang Ibnu 'Umar diatas mereka justru memahaminya dengan alur pikir yang berbeda. Menurut
mereka, Rasulullah SAW menyuruh Ibn 'Umar untuk rujuk itu bukan karena telah terjadi talak,
tetapai Rasulullah SAW marah dan menyuruhnya kembali, jadi menurut mereka, kata
‫ فليراجعها‬dalam hadits tersebut, bukan rujuk dalam term fikih tetapi rujuk dalam pengertian
etimologis saja.

Dari Segi Boleh Atau Tidaknya Rujuk:


1. Talak raj'iy
Talak raj'iy adalah talak satu atau dua yang mana seorang suami masih boleh
rujukkepada isterinya itu meskipun isterinya itu tidak rela, sebagaimana dikemukakan oleh
Wahbah al-Zuhaili sebagai berikut:
‫فهو الذي يملك الزوج بعده إعادة المطلقة إلثى الزوجتثه مثن غيثر‬
‫حاجة إلى عقد جديد ما دامت فى العدة ولو لثثم تثثرض وذلثثك بعثثد‬
‫الطلق الول والثاني غير البثثائن إذا تمثثت المراجعثثة قبثثل انقضثثاء‬
‫العدة‬ [29]

Yaitu talak yang mana laki-laki itu memiliki hak kembali untuk mengikat tali perkawinan kepada
perempuan yang ditalaknya itu tanpa memerlukan akad baru selama masih berada dalam 'iddh,
walaupun perempuan itu tidak rela. Hal itu terjadi setelah talak pertama dan kedua yang tidak
termasuk kategori ba`in apabila telah sempurna rujuk sebelum habis masa 'iddah.

Ketentuan ini didasarkan kepada Firman Allah SWT dalam surat Al-Baqaraħ [2] ayat
229:
‫الطلق مرتان فإمساك بمعروف أو تسريح بإحسثان ول يحثل لكثم‬
‫أن تأخذوا مما آتيتموهن شيئا إل أن يخافا أل يقيما حدود اللثثه فثثإن‬
‫خفتم أل يقيما حدود الله فل جناح عليهما فيما افتدت به تلك حدود‬
‫الله فل تعتدوها ومن يتعد حدود الله فأولئك هم الظالمون‬
Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau
menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari
yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat
menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak
dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran
yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah
kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-
orang yang zalim.

Ayat diatas menjelaskan bahwa talak raj'iy adalah talak satu atau talak pertama, talak dua
atau talak ke dua. Setelah suami menjatuhkan talak satu atau talak pertama atau talak dua atau
talak kedua, maka sebelum habis mas 'iddahnya dia boleh rujuk kembali kepada bekas isterinya
tanpa akad nikah baru dan tanpa mahar. Tetapai bila habis masa 'iddahnya, suami ingin
berkumpul kembali maka dilaksanakan akad nikah yang baru serta mahar yang baru.
Adapun akibat dari talak raj'iy adalah: a). Bilangan talak yang dimilki suami berkurang.
b). Ikatan perkawinan berakhir setelah masa 'iddah habis jika suami tidak rujuk. c). Suami boleh
rujuk dalam masa 'iddah isterinya. d). Ulama Syafi'iyyah dan Malikiyyah dalam salah satu
pendapatnya mengatakan, haram bagi suami melakukan hubugan suami isteri dalam masa 'iddah
sebelum rujuk, karena mereka berpendapat bahwa dengan terjadinya talak, seluruh hubungan dan
iktan suami istri terputud. Akan tetapi menurut ulama Hanafiyyah dan Hanabillah, suami boleh
saja menggauli isterinya dalam masa 'iddah dan sikap ini dianggap sebagai upaya rujuk dari
suami.[30]
2. Talak Ba'in
Talak ba'in terbagi dua, yaitu talak ba'in sughra dan talak ba'in kubra. Adapun talak ba'in
sughra adalah talak yang dijatuhkan oleh seorang suami terhadap isterinya yang mana dengan itu
ia tidak dapat kembali lagi, kecuali melalui akad dan mahar yang baru, sebagaimana
dikemukakan oleh Wahbah al- Zuhaili sebagai berikut:
‫هو الذي ل يستطيع الرجل بعده أن يعد المطلقثثة إلثثى الزوجيثثه إل‬
‫بعقد جديد ومهر وهو الطلق قبل الدخول أو على مثثال أو بالكتابثثة‬
‫عنثثد الحنفيثثة أو الثثذي يثثوقعه القاضثثي ل لعثثدم النفثثاق أو بسثثبب‬
‫اليلء‬ [31]

"Yaitu talak yang mana laki-laki itu tidak dapat kembali mengikat tali perkawinan kepada
wanita yang ditalaknya itu, kecuali dengan akad dan mahar yang baru, talak tersebut terjadi
sebelum disetubuhi atau atas harta atau sindiran menurut ulama Hanafiyyah atau yang
diputuskan oleh hakim yang bukan karena tidak memberi nafkah atau dengan sebab ila' "

Akibat hokum dari talak ba'in sughra adlah: a). Suami tidak boleh rujuk kepada isterinya,
kecuali dengan akad dan mahar yang baru, b). Bilangan talak yang dimiliki suami berkurang, c).
Mahar itu halal disebabkan kepada dua factor, yaitu kematian dan talak, d). Tidak saling
mewarisi antara suami dan isteri apabila meninggal salah satu dari keduanya.[32]
Adapun yang dimaksud dengan talak Ba'in kubra adalah talak tiga atau talak yang ketiga,
yang dijatuhkan oleh seorang suami kepada isterinya, yang mana suami tersebut tidak dapat
kembali lagi sebelum isterinya itu menikah terlebih dahulu dengan laki-laki lain, malakukan
hubungan intim dalam artian yang sebenarnya dan telah pula diceraikan oleh suaminya yang
baru itu, sebagaimana yang dikemukakan oleh Wahbah al-Zuhaili sebagai berikut:
‫هو الذي ل يستطيع الرجل بعده أن يعيد المطلقة إلثثى الزوجيثثة إل‬
‫بعد أن تتزوج بزوج آخر زواجا ضحيحا ويدخل بها دخول حقيقثثة ثثثم‬
‫يفارقها أو يموت عنها وتنقضي عدتها منه وذلك بعد الطلق الثلث‬
]

[33

"Yaitu talak yang mana laki-laki tersebut tidak dapak mengikat tali perkawinan dengan wanita
yang ditalaknya itu, kecuali setelah ia menikah dengan laki-laki lain sebagai nikah yang benar
dan telah melakukan hubungan initm dalam artian yang hakiki kemudian laki-laki itu
menceraikan wanita tersebut atau ia mati dan telah habis pula mas 'iddahnya. Hal itu terjadi
setelah dijatuhkan talak tiga".
Adapun akibat hukum dari talak ba'in kubra menurut ulama fikiah adalah terputusnya seluruh
ikatan dan hubungan suami isteri setelah talak dijatuhkan. Suami tidak memilki hak talak lagi
dan diantara keduanya tidak saling mewarisi meskipun dalam masa 'iddah.[34]
[1]
Abu Bakr bin Hasan al-Kasnawiy (selanjutnya disebut al-Kasnawiy), Ashl al-Madârik, (Libanon: Dar al-
Fikr, t.th.), cet. Ke-2, Juz 3, h. 139-140
[2]
Ibid.
[3]
Ahmad al-Hashariy, al-Wilâyaħ al-Washâyaħ, al-Thalâq fi al-Fiqħ al-Islâmiy li Ahwâl al-Syakhshiyyaħ,
(Beirut: Dar al-Jil, 1992), cet. Ke-2, h. 653
[4]
Musthafa Dib al-Bagha, al-Tawzhîb fi Adillaħ min al-Ghâyaħ wa al-Taqrîb, (Beirut: Dar al-Fikr, 1983),
cet. Ke-2, h. 173
[5]
Mahmud Mathrajiy, al-Majmû' Syarh al-Muhadzdzab al-Imâm al-Nawawiy, (Beirut: dar al-Fikr, 2000),
Juz 18, h. 277-278
[6]
Konsekwensi dari perbedaan dalam mengklasifikasikan talak ini di antaranya adalah apabila seorang
suami berkata keapda isterinya yang termasuk dalam salah satu kategori berikut; anak kecil, sudah menompouse,
hamil atau belum disetubuhi; anti thaliq li al-sunnaħ (kamu perempuan yang ditalak karena sunnah), maka talaknya
tidak dianggap sebagai talak sunnah. Lihat: Ibid., h. 278
[7]
Al-Hasyariy, op.cit., h. 243
[8]
'Ala al-Din Abi Bakr Ibn Mas'ud al-Kasaniy, Bada`i' wa al-Shana`i', (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah,
t.th.), Jilid 3, h. 88. Lihat juga: al-Hasariy, ibid., h. 212
[9]
Burhan al-Din Abi al-Hasan 'Ali Ibn Abi Bakr 'Abd al-Jalil al-Rasyidaniy al-Marghinaniy, al-Hidayah
Syarh Bidayat al-Mubatadi`, (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, 1990), Juz 1, h. 247. Lihat Juga: Wahbah al-
Zuhayliy, al-Fiqh al-Islâmiy wa Adillatuh, (Damaskus, Dâr al-Fikr, 1989), cet. Ke-3, Juz 7, h. 426
[10]
Al-Kasaniy, op.cit., h. 88. Lihat Juga: al-Hashariy, op.cit., h. 212
[11]
Al-Kasaniy, ibid.
[12]
Al-Marghinaniy, op.cit., h. 248. Bandingkan dengan: al-Kasaniy, ibid., h. 89
[13]
Al-Kasaniy, ibid. Lihat juga: al-Hashariy, op.cit., h. 213 dan 244
[14]
Al-Kasaniy, op.cit., h. 89
[15]
Muslim, Shahih Muslim, (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, t.th.), Jilid 2, h. 1093
[16]
Al-Nasa`iy, Sunan al-Nasa`iy, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), Jilid 3, h. 102
[17]
Al-Hashariy, op.cit., h. 246
[18]
KHI ini merupakan peraturan yang diberlakukan khusus bagi umat Islam Indonesia, yang ditetapkan
melalui Inpres Nomor 1 tahun 1991
[19]
Al-Zuhayliy, op.cit., h. 425
[20]
Al-Hashariy, op.cit., h. 231
[21]
Abdurrahman al-Jaziriy, al-Fiqħ 'Ala Madzâħib al-Arba'aħ, (Beirut: Dar al-Fikr, 1990), Juz 4, h. 300-
301
[22]
Al-Zuhayliy, op.cit., h. 430
[23]
Ibid., h. 431
[24]
Ibid., h. 462
[25]
Al-Hashariy, op.cit., h. 216-217
[26]
Ibid., h. 217
[27]
Ibid., h. 247
[28]
Muhammad Zahid ibn al-Hasan al-Kawtsariy, Tartib Musnad al-Imâm al-Syâfi'iy, (Bandung: Maktabah
Dahlan, 1990), Jilid 1, h. 32-33. Lihat juga: al-Jaziriy, op.cit., h. 228
[29]
Al-Zuhayliy, op.cit., h. 432
[30]
Al-Zuhayliy, op.cit., h. 439
[31]
Ibid., h. 432
[32]
Ibid., h. 434-435
[33]
Ibid., h. 432

FASAKH

Pengertian Fasakh

Fasakh ialah membatalkan pernikahan dengan kuasa kadi kerana tidak memenuhi syarat-syarat ketika
akad @ terdapatnya kecacatan pada isteri @ suami.

Penceraian melalui fasakh tidak boleh dirujuk semula. Jika ingin bersatu semula hendaklah dengan
akad
yang baru.

Fasakh boleh berlaku kerana :

(a) terdapatnya kecacatan ketika aqad spt tidak menepati syarat-syarat pada Rukun Nikah.

(b) terdapatnya kecacatan pada rumahtangga yang disebabkan oleh suami/isteri

Sebab-sebab yang mengharuskan fasakh (disebabkan oleh suami/isteri)

(a) suami tidak memberi nafkah, menyediakan tempat tinggal, atau tidak membayar mas kahwin
isterinya.

(b) tidak diketahui kedudukan suami, sama ada masih hidup atau mati selama bertahun-tahun
lamanya.

(c) salah seorang daripada suami atau isteri menjadi cacat sebagaimana yang dibenarkan oleh hukum
syarak.

(d) murtad salah seorang daripada suami atau isteri atau kedua-duanya.

(e) masuk Islam salah seorang daripada suami atau isteri dan tidak diikuti oleb seorang lagi dalam
masa idah.

(f) berlakunya persetubuhan syubhat disebabkan salah sangka.

(g) suami zalim, iaitu selalu menganiaya isteri seperti memukul, mengugut, atau tidak melayan isteri
dengan baik dan adil.
(h) tidak bernafsu sebagai seorang lelaki

(i) kecacatan syarie pada suami dan isteri

(j) Suami mempunyai penyakit yg merbahaya spt AIDS, SARS, JE, Siplis dsb.

Hikmah Fasakh

1. Mengelakkan isteri dianiayai dan disiksa oleh suami.

2. Menunjukkan keadilan Allah kepada hambanya. Jika suami diberikan talak, isteri diberikan fasakh.

3. Memberi peluang isteri berpisah drp suaminya dan memulakan hidup baru

KETENTUAN HUKUM AL-KHULU[9]

Menurut tinjauan fikih, dalam memandang masalah Al-Khulu terdapat hukum-hukum taklifi
sebagai berikut.

[1]. Mubah (Diperbolehkan)

Ketentuannya, sang wanta sudah benci tinggal bersama suaminya karena kebencian dan takut
tidak dapat menunaikan hak suaminya tersebut dan tidak dapat menegakkan batasan-batasan
Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam ketaatan kepadanya, dengan dasar firman Allah Subhanahu
wa Ta’ala.

“Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami-isteri) tidak dapat menjalankan hukum-
hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh
isteri untuk menebus dirinya”

[Al-Baqarah : 229]

Al-Hafizh Ibnu Hajar memberikan ketentuan dalam masalah Al-Khulu ini dengan
pernyataannya, bahwasanya Al-Khulu, ialah seorang suami menceraikan isterinya dengan
penyerahan pembayaran ganti kepada suami. Ini dilarang, kecuali jika keduanya atau salah
satunya merasa khawatir tidak dapat melaksanakan apa yang diperintahkan Allah. Hal ini bisa
muncul karena adanya ketidaksukaan dalam pergaulan rumah tangga, bisa jadi karena jeleknya
akhlak atau bentuk fisiknya. Demikian juga larangan ini hilang, kecuali jika keduanya
membutuhkan penceraian, karena khawatir dosa yang menyebabkan timbulnya Al-Bainunah Al-
Kubra (Perceraian besar atau Talak Tiga) [10]

Syaikh Al-Bassam mengatakan, diperbolehkan Al-Khulu (gugat cerai) bagi wanita, apabila sang
isteri membenci akhlak suaminya atau khawatir berbuat dosa karena tidak dapat menunaikan
haknya. Apabila sang suami mencintainya, maka disunnahkan bagi sang isteri untuk bersabar
dan tidak memilih perceraian. [11]

[2]. Diharamkan Khulu’

Hal Ini Karena Dua Keadaan

a). Dari Sisi Suami

Apabila suami menyusahkan isteri dan memutus hubungan komunikasi dengannya, atau dengan
sengaja tidak memberikan hak-haknya dan sejenisnya agar sang isteri membayar tebusan
kepadanya dengan jalan gugatan cerai, maka Al-Khulu itu batil, dan tebusannya dikembalikan
kepada wanita. Sedangkan status wanita itu tetap seperti asalnya jika Al-Khulu tidak dilakukan
dengan lafazh thalak, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian kecil
dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan
pekerjaan keji yang nyata”

[An-Nisa : 19] [12]

Apabila suami menceraikannya, maka ia tidak memiliki hak mengambil tebusan tersebut.
Namun, bila isteri berzina lalu suami membuatnya susah agar isteri tersebut membayar terbusan
dengan Al-Khulu, maka diperbolehkan berdasarkan ayat di atas” [13]

b). Dari Sisi Isteri

Apabila seorang isteri meminta cerai padahal hubungan rumah tangganya baik dan tidak terjadi
perselisihan maupun pertengkaran di antara pasangan suami isteri tersebut. Serta tidak ada alasan
syar’i yang membenarkan adanya Al-Khulu, maka ini dilarang, berdasarkan sabda Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Semua wanita yang minta cerai (gugat cerai) kepada suaminya tanpa alasan, maka haram
baginya aroma surga”

[HR Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad, dan dishahihkan Syaikh Al-Albani dalam
kitab Irwa’ul Ghalil, no. 2035] [14]
[3]. Mustahabbah (Sunnah) Wanita Minta Cerai (Al-Khulu)

Apabila suami berlaku mufarrith (meremehkan) hak-hak Allah, maka sang isteri disunnahkan Al-
Khulu. Demikian menurut madzhab Ahmad bin Hanbal. [15]

[4]. Wajib

Terkadang Al-Khulu hukumnya menjadi wajib pada sebagiaan keadaan. Misalnya terhadap
orang yang tidak pernah melakukan shalat, padahal telah diingatkan

Demikian juga seandainya sang suami memiliki keyakinan atau perbuatan yang dapat
menyebabkan keyakinan sang isteri keluar dari Islam dan menjadikannya murtad. Sang wanita
tidak mampu membuktikannya di hadapan hakim peradilan untuk dihukumi berpisah atau
mampu membuktikannya, namun hakim peradilan tidak menghukuminya murtad dan tidak juga
kewajiban bepisah, maka dalam keadaan seperti itu, seorang wanita wajib untuk meminta dari
suaminya tersebut Al-Khulu walaupun harus menyerahkan harta. Karena seorang muslimah
tidak patut menjadi isteri seorang yang memiliki keyakinan dan perbuatan kufur. [16]

Al-Khulu', Gugatan Cerai Dalam Islam

Penulis: Ust Kholid syamhudi

__________
Foote Note

[10]. Fathul Bari, 9/318


[11]. Taudhihul Ahkam Min Bulughul Maram, 5/469
[12]. Taudhihul Ahkam Min Bulughul Maram, 5/469
[13]. Shahih Fiqhis Sunnah, 3/343
[14]. Shahih Fiqhis Sunnah, 3/342
[15]. Shahih Fiqhis Sunnah, 3/342
[16]. Shahih Fiqhis Sunnah, 3/343

pengrtian khulu
Posted by admin on November 8, 2010

Sedangkan menurut pengertian syari’at, para ulama mengatakan dalam banyak definisi,
yang semuanya kembali kepada pengertian, bahawasanya Al-Khulu ialah terjadinya perpisahan
Pengertian Talak. Talak merupakan kalimah bahasa Arab yang bermaksud "menceraikan" atau
Talak melalui Khulu' Talak yang difasakhkan oleh Hakim; 4. Menjatuhkan Talak Tiga
Sekaligus

Menurut pengertian syara' Khulu' adalah : Perceraian yang diminta oleh isteri kepada suaminya
dengan memberi wang atau sebagainya. Di kalangan masyarakat Melayu, Khulu' juga

Khulu' bererti tanggal. Menurut pengertian syara' Khulu' adalah : Penceraian yang diminta oleh
isteri dari suaminya dengan memberi wang atau sebagainya.

1
SERIAL FIQH MUNAKAHAT
NIKAH: ANJURAN, MANFAAT, TUJUAN, HUKUM DAN
WANITAWANITA
YANG HARAM DINIKAHI
Oleh: Aep Saepulloh Darusmanwiati***
Lisensi Dokumen
Copyright Aep Saepulloh, www.indonesianschool.org
Seluruh dokumen di www.indonesianschool.org dapat digunakan, dimodifikasi dan
disebarkan secara bebas untuk tujuan bukan komersial (nonprofit), dengan syarat tidak
menghapus atau merubah atribut penulis dan pernyataan copyright yang disertakan
dalam setiap dokumen. Tidak diperbolehkan melakukan penulisan ulang, kecuali
mendapatkan ijin terlebih dahulu dari penulis, indonesianschool.org.
2
SERIAL FIQH MUNAKAHAT
NIKAH: ANJURAN, MANFAAT, TUJUAN, HUKUM DAN
WANITAWANITA
YANG HARAM DINIKAHI
Oleh: Aep Saepulloh Darusmanwiati***
Anjuran menikah dalam ajaran Islam
Tahukah anda siapakah orang terkaya di dunia? Ya, siapapun jawabannya yang jelas satu, dia
sudah menikah. Jangan di tingkat dunia, mari kita perkecil skalanya, tingkat nasional. Siapakah orang
paling kaya nomor satu di Indonesia? Siapapun dia, yang jelas dia sudah menikah, bahkan sudah
bercucu dan bercicit. Adakah orang bujang yang kaya? Ada, hanya sedikit, dan bahkan kalaupun dia
kaya, tetap tidak akan mengalahkan kayanya orang yang sudah menikah. Mengapa demikian? Ini
sudah sebuah ketentuan, bahwa orang yang masih bujang adalah orang-orang miskin, sekalipun dia
banyak hartanya. Mengapa? Karena dia baru bisa menafkahi dan membiayai dirinya sendiri.
Mengapa
orang bujang tidak ada yang kaya disebut sebuah ketentuan? Ya, karena demikian Rasulullah
bersabda. Perhatikan hadits berikut ini:
‫ م � سكين رج � ل‬, ‫ م � سكين‬, ‫ ))م � سكين‬: ‫عن أبي نجيح � ه وس � لم‬
‫ قال رسول ال صلى ال علي‬: ‫قال‬
‫ و‬. ‫ وإن آان غنيا � ال‬: ‫ یا رسول ال وإن آان غنيا من المال؟ قال‬:‫ قالوا‬, ‫ليس له امرأة‬
‫من الم‬
‫ یا رسول ال وإن آانت � ن‬:‫ قالوا‬, ‫ امرأة ليس لها زوج‬, ‫ مسكينة مسكينة‬,‫ مسكينة‬:‫قال‬
‫غنية م‬
‫ و إن آانت غنية من المال(( ]رواه الطبرانى‬:‫]المال؟ قال‬
Artinya: Ibn Nujaih berkata, Rasulullah Saw bersabda: "Miskin, miskin, miskin, seorang laki-laki
yang
belum mempunyai isteri". Para sahabat bertanya: "Ya Rasulullah, apakah sekalipun laki-laki itu
banyak hartanya?" Rasulullah menjawab: "Ya, meskipun dia banyak hartanya". Rasulullah Saw
bersabda kembali: "Miskin, miskin, miskin, perempuan yang belum bersuami". Para sahabat
bertanya:
"Apakah sekalipun wanita itu banyak hartanya?" Rasulullah Saw menjawab: "Ya, sekalipun dia
banyak hartanya" (HR. Thabrani).
Perhatikan dalam hadits di atas, Rasulullah secara tegas (boleh jadi doa) menyebut tiga kali
bahwa laki-laki atau perempuan yang belum menikah tetap dikatakan miskin sekalipun mereka
banyak
hartanya. Ini juga barangkali di antara penyebab mengapa jarang sekali bujang atau gadis yang kaya
raya. Yah, karena didoakan oleh Rasulullah untuk tidak kaya. Kalau mau kaya, ya harus segera
menikah.
Namun jangan dipahami bahwa menikah untuk menjadi orang kaya. Itu, hanyalah sebuah
gambaran singkat, betapa Islam sangat menganjurkan ummatnya untuk menikah. Dalam hadits lain
Rasulullah mengatakan, bahwa "nikah adalah sunnahku, dan barang siapa yang tidak menyukai
sunnahku (menikah), maka ia bukan termasuk ummat dan golonganku".
Bahkan, kalau kita perhatikan ayat-ayat al-Qur'an yang berbicara tentang nikah, kita akan
mendapati bahwa kata nikah digambarkan dengan tiga istilah. Pertama, nikah disebut sebagai
sunanul
anbiya (amalan sunnah para nabi), perhatikan misalnya dalam firman Allah berikut ini:
ِ‫ب � ِإْذن‬ ِ ‫ن�ا‬ ْ ‫ل َأ‬ٍ ‫سو‬ ُ ‫ن ِلَر‬َ ‫جا َوُذّرّیًة َوَما َآا‬
ً ‫جَعْلَنا َلُهْم َأْزَوا‬
َ ‫ك َو‬
َ ‫ن َقْبِل‬
ْ ‫ل ِم‬
ً‫س‬ُ ‫سْلَنا ُر‬
َ ‫َوَلَقْد َأْر‬
ّ ‫ي ِبآَیٍة ِإ‬
‫ل‬ َ ‫َیْأِت‬
( 38 :‫ب )الرعد‬ ٌ ‫ل ِآَتا‬
ٍ‫ج‬َ ‫ل َأ‬
ّ ‫ل ِلُك‬
ِّ ‫ا‬
Artinya: "Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami
memberikan kepada mereka istri-istri dan keturunan. Dan tidak ada hak bagi seorang Rasul
mendatangkan sesuatu ayat (mukjizat) melainkan dengan izin Allah. Bagi tiap-tiap masa ada Kitab
(yang tertentu)" (QS ar-Ra'du: 38).
Demikian juga dalam hadits dikatakan:
‫اء‬, � ‫ الحي‬: ‫عن أبي أیوب أن رسول ال صلى ال � ن س � نن المرس � لين‬
‫ ))أربع م‬: ‫عليه وسلم قال‬
‫ والسواك والنكاح(( ]رواه الترمذى‬,‫]والتعطر‬
Artinya: Rasulullah Saw bersabda: "Ada empat hal yang termasuk sunnah para Nabi: Malu, memakai
wangi-wangian, siwak dan nikah" (HR. Turmudzi).
3
Kedua, nikah juga disebut dalam konteks sebuah kenikmatan yang sangat besar (al-imtinan).
Perhatikan firman Allah dalam surat an-Nahl ayat 72 berikut ini:
ِ‫ن � ات‬ َ ‫حَفَدًة َوَرَزَقُكْم ِم‬
َ ‫ن َو‬َ ‫جُكْم َبِني‬
ِ ‫ن َأْزَوا‬
ْ ‫ل َلُكْم ِم‬
َ ‫جَع‬ َ ‫جا َو‬
ً ‫سُكْم َأْزَوا‬
ِ ‫ن َأْنُف‬
ْ ‫ل َلُكْم ِم‬
َ ‫جَع‬
َ ‫ل‬
ُّ ‫َوا‬
َ ‫طّي‬
‫ب‬ ّ ‫ال‬
( 72 :‫ن )النحل‬ َ ‫ل ُهْم َیْكُفُرو‬ِّ ‫ن َوِبِنْعَمِة ا‬
َ ‫ل ُیْؤِمُنو‬
ِ‫ط‬ ِ ‫َأَفِباْلَبا‬
Artinya: "Allah menjadikan bagi kamu istri-istri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari
istri-istri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezki dari yang baik-baik. Maka
mengapakah mereka beriman kepada yang batil dan mengingkari nikmat Allah ?" (QS. An-Nahl: 72)
Ketiga, nikah juga digambarkan sebagai salah satu tanda kekuasaan Allah. Perhatikan dalam
surat ar-Rum ayat 21 berikut ini:
‫ف�ي‬ ِ ‫ن‬ ّ ‫حَم � ًة ِإ‬ ْ ‫ي � َنُكْم َم � َوّدًة َوَر‬ َ � ‫سُكْم‬
ْ ‫ل َب‬ ِ ‫ن َأْنُف‬
ْ ‫ق َلُكْم ِم‬
َ ‫خَل‬
َ ‫ن‬
ْ ‫َوِمنْ َءاَیاِتِه َأ‬
‫جَع‬
َ ‫سُكُنوا ِإَلْيَها َو‬ ْ ‫جا ِلَت‬
ً ‫َأْزَوا‬
( 21 :‫ن )الروم‬ َ ‫ت ِلَقْوٍم َیَتَفّكُرو‬
ٍ ‫لَیا‬
َ ‫ك‬
َ ‫َذِل‬
Artinya: "Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari
jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya
diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tandatanda
bagi kaum yang berfikir" (QS. Ar-Rum: 21)
Dengan digambarkannya dalam tiga istilah di atas menunjukkan bahwa nikah adalah sesuatu
yang sangat dianjurkan, karena di samping merupakan amalan sunnah para Nabi, salah satu tanda
kekuaasaan Allah, juga ia merupakan nikmat yang sangat besar. Bahkan, ketika manusia merasa
waswas
dengan masalah nafkah dan rizki setelah menikah kelak, Allah secara tegas mengatakan, bahwa
Dialah yang akan mengayakannya, Dialah yang akan mencukupkannya dan mengganti kefakirannya
dengan kekayaan. Perhatikan firmah Allah dalam surat an-Nur ayat 32 berikut ini:
ْ �‫ل‬
ِ‫ضِله‬ ُّ ‫ن َیُكوُنوا ُفَقَراَء ُیْغِنِهُم ا‬
ْ ‫عَباِدُآْم َوِإَماِئُكْم ِإ‬
ِ ‫ن‬
ْ ‫ن ِم‬
َ ‫حي‬
ِ ‫صاِل‬
ّ ‫لَیاَمى ِمْنُكْم َوال‬
َْ ‫حوا ا‬
ُ ‫َوَأْنِك‬
َ ‫ن‬
‫ف‬ ْ ‫ِم‬
( 32 :‫عِليٌم )النور‬ َ ‫سٌع‬ ِ ‫ل َوا‬ ُّ ‫َوا‬
Artinya: "Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak
(berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan.
Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas
(pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui" (QS. An-Nur: 32).
Bahkan dalam sebuah hadits dikatakan bahwa orang yang menikah dengan niat untuk menjaga
kehormatan diri, termasuk salah satu golongan yang akan dibantu dan ditolong langsung oleh Allah:
‫ ))ثلث � ة ح � ق عل � ى‬: ‫عن أبى � لى ال علي � ه وس � لم ق � ال‬
‫هریرة رضي ال عنه أن رسول ال ص‬
‫ � د العف � )) اف‬, ‫ والمكاتب الذى یرید الداء‬, ‫ المجاهد فى سبيل ال‬, ‫ال عونهم‬
‫والناآح الذى یری‬
[‫]رواه الترمذى‬
Artinya: "Dari Abu Hurairah, bahwasannya Rasulullah Saw bersabda: "Ada tiga kelompok manusia
yang akan ditolong dan dibantu langsung oleh Allah: orang yang berjuang di jalan Allah, Hamba
sahaya yang mengadakan mukatabah dengan tuannya dan bermaksud untuk membayar tebusannya,
serta orang yang menikah dengan maksud untuk menjaga diri (dari perbuatan tidak terpuji)" (HR.
Turmudzi).
Dari sini tampak jelas, mengapa orang yang kaya umumnya adalah orang yang sudah
berkeluarga, karena ternyata, Allah "turun tangan" langsung dalam membantu dan menolong mereka
yang sudah menikah, termasuk dalam masalah rizkinya. Bahkan, pehatikan juga ungkapan para
ulama
salaf bahwa wanita itu merupakan "pulsa" yang akan menambah account suaminya:
‫المرأة خير آنز یضاف إلى رصيد الرجل‬
Artinya: "Wanita adalah sebaik-baik simpanan yang akan menambah tabungan laki-laki"
Masih menyangkut anjuran dan perhatian Islam dengan menikah ini, perhatikan sabda-sabda
Rasulullah dan perkataan para sahabat berikut ini:
‫ ))تزوج � وا ا لن � ساء ف � إنهن ی � أتينكم‬:‫� لى ال علي � ه وس � لم‬
‫ ق � ال رس � ول ال ص‬:‫ع � ن عائ � شة قال � ت‬
‫]بالمال(( ]أخرجه ابن أبي شيبة‬
4
Artinya: "Siti Aisyah berkata: Rasulullah Saw bersabda: "Menikahlah segera dengan wanita, karena
wanita itu dapat mendatangkah harta" (HR. Ibn Abi Syaibah)
‫ ف � أمره أن‬, ‫ول � لى ال علي � ه وس � لم ی � شكو إلي � ه الفاق � ة‬
‫ جاء رجل إل � ى رس � ال ص‬: ‫عن جابر قال‬
‫)یتزوج )أخرجه الخطيب‬
Artinya: "Jabir berkata: "Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah Saw mengadukan kefakirannya.
Rasulullah Saw kemudian menyuruhnya untuk segera menikah" (HR. Al-Khatib).
‫ ))إذا تزوج العبد فقد � صف‬: ‫ قال رسول ال صلى ال عليه وسلم‬: ‫عن عائشة قالت‬
‫استكمل ن‬
‫ فليتق ال فى النصف الخر(( ]رواه البيهقى‬,‫]دینه‬
Artinya: Siti Aisyah berkata, Rasulullah Saw bersabda: "Apabila seorang hamba menikah, maka
sugguh ia telah menyempurnakan setengah agamanya. Maka, bertakwalah kepada Allah pada
setengahnya lagi" (HR. al-Baihaki).
‫ ))م � ن آ � ان موس � را لن ی � نكح ث � م ل � م‬: ‫عن ابي نجيح � لم‬
‫قال قال رسول ال صلى ال عليه وس‬
‫]ینكح فليس منى(( ]رواه الطبرانى‬
Artinya: "Ibnu Nujaih berkata, Rasulullah Saw bersabda: "Barangsiapa yang sudah siap untuk
menikah
kemudian tidak menikah, maka ia tidak termasuk ummatku" (HR. Thabrany).
‫ � ول‬,‫ وأعلم أنى أموت فى آخره ا‬, ‫ لو لم یبق من أجلى إل عشرة أیام‬: ‫قال ابن مسعود‬
‫ولي ط‬
‫ مخافة الفتنة ]رواه الطبرانى‬:‫ لتزوجت‬,‫]النكاح فيهن‬
Artinya: "Ibnu Mas'ud berkata: "Kalau saja usiaku tinggal sepuluh hari dan saya mengetahui
bahwasannya saya akan meninggal di penghujung harinya, dan pada saat itu saya masih ada waktu
untuk menikah, pasti saya akan menikah lebih dahulu, karena takut terjadinya fitnah" (HR.
Thabrani).
‫ ))ل یتم نسك الشاب حتى یتزوج‬:‫))قال طاوس‬
Artinya: Thawus berkata: "Ibadah seorang pemuda belum sempurna sehingga ia menikah"
‫ ))ما یمنعك من النكاح إل عجز أو فجور(( ]رواه ابن أبي شيبة‬:‫]قال عمر لبى الزوائد‬
Artinya: "Umar bin Khatab pernah berkata kepada Abu az-Zawaid: "Tidak ada yang menghalangi
kamu untuk menikah kecuali dua hal: imma kamu itu lemah (lemah syahwat) ataupun kamu suka
berbuat dosa" (HR. Ibn Abi Syaibah).
Hikmah dan manfaat menikah
Di atas telah dipaparkan secara panjang lebar mengenai anjuran Islam (targhib) untuk menikah.
Pertanyaan berikutnya: Untuk apa menikah? Apa manfaat dan kegunaannya?
Sebagaimana diketahui bersama bahwa manusia dan makhluk lainnya mempunyai gharizah
seksual yang tinggi. Tidak disangsikan bahwa kebutuhan biologis ini dari waktu ke waktu dan dari
tahun ke tahun terus naik dan dahsyat. Ditahan dan dibiarkan, tentu bukan sebuah jalan keluar.
Dilampiaskan semena-mena sebagaimana hewan, juga bukan sebuah solusi yang baik. Untuk itu,
Islam
memberikan aturan dalam rangka melampiaskan kebutuhan biologis ini melalui nikah. Dengan
pernikahan, kebutuhan biologis yang sudah menggebu itu akan disalurkan secara baik dan benar
sehingga diharapkan orang tersebut menjadi tenang dan rehat. Karena kini, ia telah mempunyai
tempat
yang bersih dan sah untuk menumpahkan kebutuhan biologisnya.
Sayyid Sabiq dalam bukunya Fiqhus Sunnah mengatakan bahwa dengan menikah badan
menjadi tenang, jiwa juga damai, pandangan terpelihara dan kasih saying bisa diwadahi secara benar.
Oleh karena itu, sejatinya orang yang sudah menikah menjadi orang yang tenang baik dalam jasmani,
pandangan maupun jiwanya. Dalam sebuah hadits dikatakan:
‫ یطان‬, � ‫ ))إن الم � رأة تقب � ل ف � ى ص � ورة ش‬: ‫ه � لم ق � ال‬
‫عن أبي هریرة أن النب � ي ص � لى ال علي � وس‬
‫ فإن ذلك � ا‬, ‫ فليأت أهله‬, ‫ فإذا رأى أحدآم من امرأة ما یعجبه‬, ‫وتدبر فى صورة شيطان‬
‫یرد م‬
‫]فى نفسه(( ]رواه مسلم‬
5
Artinya: "Dari Abu Hurairah, bahwasannya Rasulullah Saw bersabda: "Sesungguhnya wanita itu
baik
ketika menghadap ataupun membelakangi dalam bentuk syaithan (menggoda). Apabila salah seorang
di antara kalian melihat sesuatu yang menakjubkan dari wanita, maka segeralah datangi keluarganya,
karena dengan demikian dapat menolak apa yang sedang bergejolak di dalam dirinya" (HR. Muslim).
Selain untuk memberikan ketenangan lahir bathin, menikah juga berguna untuk memperbanyak
keturunan dan melanjutkan kehidupannya. Karena itu, Rasulullah Saw dalam sebuah hadits bersabda:
‫ فإنى مكاثر بكم النبياء یوم القيامة )رواه أبو داود‬:‫)تزوجواالولود الودود‬
Artinya: Rasulullah Saw bersabda: "Nikahilah wanita-wanita yang subur dan penyayang, karena aku
adalah nabi yang paling banyak ummatnya kelak pada hari Kiamat" (HR. Abu Dawud).
Bahkan, menurut hasil penelitian salah satu badan di PBB yang dikeluarkan pada hari Sabtu
tanggal 6 Juni 1959, sebagaimana dikutip oleh Sayyid Sabiq dalam Fiqhus Sunnah-nya, bahwa usia
orang-orang yang sudah menikah lebih lama dan panjang ketimbang yang tidak atau belum menikah.
Penilitian ini dilakukan di seluruh pelosok dunia pada tahun 1956. Hasil penelitian ini, hemat penulis,
sangatlah logis, karena orang yang sudah menikah dapat melampiaskan kebutuhan biologisnya
sehingga jiwanya tidak "berontak" lagi malah lebih tenang. Berbeda dengan para bujang yang belum
tersalurkan sama sekali, jiwa dan badannya akan terus "bergejolak", tidak tenang. Dan ketika dia
tidak
menyalurkannya secara benar melalui pernikahan, maka jiwanya tetap bergejolak dan tidak tenang
sehingga hal ini akan sangat berpengaruh dalam langkah dan kehidupannya. Menumpahkan dan
melampiaskan bukan pada tempat yang benar, juga bukan jalan terbaik, karena dia tidak akan
mengetahui bersih, sehatnya "tempat" yang "dikunjungi"nya itu. Bahkan, tidak menutup
kemungkinan,
"tempat" tersebut telah 'dikunjungi' pula oleh orang lain yang membawa penyakit kelamin yang
sangat
ganas. Untuk itu, adalah wajar apabila penelitian tersebut mengatakan bahwa umumnya usia yang
sudah menikah jauh lebih panjang ketimbang yang tidak atau belum menikah.
Tujuan menikah?
Apa tujuan menikah dalam ajaran Islam? Apakah untuk memenuhi kebutuhan biologis semata?
Pernikahan dalam Islam bukan semata demi memenuhi nafsu seksualitas semata, akan tetapi
mempunyai tujuan utama sebagaimana difirmankan oleh Allah dalam surat ar-Rum ayat 21 berikut
ini:
‫ف�ي‬ ِ ‫ن‬ ّ ‫حَم � ًة ِإ‬ ْ ‫ي � َنُكْم َم � َوّدًة َوَر‬ َ � ‫سُكْم‬
ْ ‫ل َب‬ ِ ‫ن َأْنُف‬
ْ ‫ق َلُكْم ِم‬
َ ‫خَل‬
َ ‫ن‬
ْ ‫َوِمنْ َءاَیاِتِه َأ‬
‫جَع‬
َ ‫سُكُنوا ِإَلْيَها َو‬ ْ ‫جا ِلَت‬
ً ‫َأْزَوا‬
( 21 :‫ن )الروم‬ َ ‫ت ِلَقْوٍم َیَتَفّكُرو‬
ٍ ‫لَیا‬
َ ‫ك‬
َ ‫َذِل‬
Artinya: "Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari
jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya
diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tandatanda
bagi kaum yang berfikir" (QS. Ar-Rum: 21).
Dari ayat di atas, paling tidak ada tiga tujuan utama dari menikah.
Pertama, untuk menenangkan dan menentramkan jiwa (litaskunu ilaiha). Ketenangan jiwa dan
pikiran merupakan hal yang sangat penting bagi keberhasilan dan kesuksesan seseorang. Seseorang
akan mempunyai peluang yang sangat besar untuk maju dan berhasil manakala hati, pikiran dan
jiwanya sudah tenang. Dengan menikah, bayangan-bayangan dan khayalan-khayalan masa muda,
tertumpah sudah. Bahkan, karena kini dia sudah mempunyai "tempat" khusus, gejolak itu tidak akan
terlalu membludak manakala melihat wanita lain yang menggoda. Rasulullah bersabda:
‫ یطان‬, � ‫ ))إن الم � رأة تقب � ل ف � ى ص � ورة ش‬: ‫ه � لم ق � ال‬
‫عن أبي هریرة أن النب � ي ص � لى ال علي � وس‬
‫ فإن ذلك � ا‬, ‫ فليأت أهله‬, ‫ فإذا رأى أحدآم من امرأة ما یعجبه‬, ‫وتدبر فى صورة شيطان‬
‫یرد م‬
‫]فى نفسه(( ]رواه مسلم‬
Artinya: "Dari Abu Hurairah, bahwasannya Rasulullah Saw bersabda: "Sesungguhnya wanita itu
baik
ketika menghadap ataupun membelakangi dalam bentuk syaithan (menggoda). Apabila salah seorang
di antara kalian melihat sesuatu yang menakjubkan dari wanita, maka segeralah datangi keluarganya,
karena dengan demikian dapat menolak apa yang sedang bergejolak di dalam dirinya" (HR. Muslim).
Kedua, dengan menikah juga untuk menimbulkan rasa mawaddah, cinta kasih kepada keluarga.
Setiap manusia memiliki keinginan untuk mencintai dan mengasihi orang yang didambakannya.
Mana
6
kala cinta kasihnya ini tidak disalurkan kepada orang tertentu, maka ia akan mencari benda lain atau
hal lain untuk menumpahkan cinta kasihnya itu. Dengan menikah, cinta kasih itu akan tertuang dan
tersalurkan secara benar. Bukan semata kepada isteri dan anak-anaknya, akan tetapi juga kepada
keluarga si isteri dan kerabatnya. Dengan demikian, pernikahan pada hakikatnya bukan semata
pertemuan antara suami isteri saja, akan tetapi pertemuan antara dua keluarga besar, keluarga suami
dan keluarga si isteri. Oleh karena itu, dalam ajaran Islam, disyaratkan adanya wali nikah. Ini
menunjukkan bahwa pernikahan memang mempertemukan dua keluarga. Yang menikah bukan
semata
suami dan isteri tapi seluruh keluarga. Ketika dua keluarga sudah bertemu, di sanalah tempat untuk
menuangkan rasa cinta kasih yang sudah menjadi fitrah manusia.
Ketiga, dengan menikah juga untuk menimbulkan rasa kasih sayang, rahmah. Sebagaimana
rasa mawaddah, manusia juga mempunyai naluri untuk menyayangi sesamanya. Sayang, rahmah,
tidak sama dengan mencintai. Sayang, rahmah, jauh di atas mencintai. Rasa sayang biasanya muncul
dari lubuk hati yang paling dalam. Ia lahir bukan karena dorongan nafsu seksual, kebutuhan biologis
atau hal-hal lahiriyah lainnya. Ia betul-betul tumbuh dari dalam jiwa setelah bergaul dan lama
mengenal pasangannya. Naluri rasa sayangnya ini akan ditumpahkan untuk keluarganya terutama
untuk isteri dan anak-anaknya. Dalam sebuah hadits riwayat Imam Bukhari, suatu hari Aqra' bin
Habis
melihat Rasulullah Saw sedang mencium cucunya, Hasan bin Ali. Aqra kemudian berkata: "Saya
mempunyai sepuluh putra putri, tapi saya tidak pernah mencium mereka satupun". Mendengar itu
Rasulullah Saw bersabda:
‫إن من ل یرحم ل یرحم‬
Artinya: "Sesungguhnya orang yang tidak pernah menyayangi, dia tidak akan disayangi".
Demikian, di antara tujuan menikah dalam Islam sebagaimana yang tertera dalam al-Qur'an
surat ar-Rum ayat 21. Wallahu 'alam.
Hukum Pernikahan
Para ulama telah sepakat bahwa nikah itu diperintahkan. Namun, mereka berbeda pendapat
mengenai hukumnya. Dalam hal ini para ulama terbagi kepada tiga kelompok:
Pertama, nikah wajib bagi setiap orang yang sudah mampu untuk melakukannya sekali seumur
hidup. Pendapat ini adalah pendapatnya Dawud ad-Dahiry, Ibn Hazm dan lainnya. Dalil yang
menjadi
dasar pendapat ini adalah dhahir dari nash-nash, baik berupa ayat al-Qur'an, maupun hadits Nabi
yang
memerintahkan pernikahan. Kelompok ini memahami secara tekstual bahwa semua perintah tersebut
menggunakan shigat amar (bentuk perintah) dan setiap perintah menunjukkan wajib karenanya,
nikah
juga adalah wajib, al-ashlu fil amr lil wujub, pada dasarnya perintah itu menunjukkan kepada wajib.
Pendapat kedua, mengatakan bahwa nikah itu hukumnya adalah sunnah saja. Pendapat ini
adalah pendapatnya Jumhur ulama. Pendapat kedua ini memahami perintah nikah yang terdapat
dalam
al-Qur'an dan Sunnah kepada hukum sunnah bukan wajib. Firman Allah yang terdapat dalam surat
an-
Nisa ayat 3 misalnya, yang berbunyi:
‫فانكحوا ما طاب لكم من النساء مثنى وثلث ورباع‬
Artinya: "Maka nikahilah wanita-wanita yang kamu sukai dua, tiga dan empat" (QS. An-Nisa: 3).
Ayat di atas, menurut pendapat kedua ini bukanlah menunjukkan wajib. Karena dalam ayat di
atas Allah mengkaitkan nikah dengan kemampuan, istitha'ah. Artinya, barang siapa yang sudah
mampu untuk menikah, maka menikahlah. Sedangkan yang belum mampu untuk menikah, maka
tidak
mengapa ia tidak menikah. Karena itu, menikah bukanlah wajib akan tetapi sunnah saja.
Pendapat ketiga adalah pendapat yang mengatakan bahwa hukum menikah berbeda-beda
tergantung kondisi seseorang. Pendapat ini adalah pendapat kuat pada madzhab Malikiyyah,
Syafi'iyyah dan Hanabilah.
Menurut pendapat ini, hokum menikah bisa wajib, bagi mereka yang sudah siap dan mampu
baik lahir maupun bathin, sehingga kalau tidak menikah, ia akan terjerumus kepada perbuatan zina.
Tidak ada cara lain untuk menjaganya kecuali dengan jalan menikah. Dalam qaidah Ushuliyyah
daikatakan: "Sesuatu yang tidak menyebabkan terpenuhinya sesuatu yang wajib kecuali dengan
sesuatu itu, maka sesuatu itu menjadi wajib hukumnya".
7
Nikah juga hukumnya bisa sunnah, bagi mereka yang syahwatnya sudah menggebu akan tetapi
masih besar kemungkinan seandainya belum menikah pun, ia masih dapat menjaga diri dari
perbuatan
zina. Untuk kondisi seperti ini, nikah hukumnya sunnah saja.
Nikah juga bisa haram, bagi orang yang belum siap menikah, baik secara lahir (menafkahi)
maupun secara bathin (berhubungan badan) sehingga kalau dipaksakan menikah, si wanita akan
menderita baik lahirnya maupun bathinnya. Atau, nikah juga bisa menjadi haram, bagi orang yang
bermaksud jahat dengan nikahnya itu, misalnya ingin menyakiti si isteri dan keluarganya atau karena
balas dendam dan sebagainya.
Nikah juga bisa makruh, bagi orang yang kondisinya seperti disebutkan diatas, akan tetapi
tidak menimbulkan madharat bagi si isteri. Jadi, apabila ia menikah, si isteri tidak merasakan
dampak
negative yang sangat besar. Untuk orang seperti ini, sebaiknya jangan dahulu menikah, dan kalaupun
mau menikah, maka hukumnya makruh saja.
Dari ketiga pendapat ini, penulis lebih cenderung untuk mengambil pendapat ketiga ini bahwa
pernikahan itu hukumnya berbeda-beda disesuaikan dengan kondisi orang yang bersangkutan.
Pendapat ini rasanya lebih tepat terutama untuk kondisi sekarang.
Macam-macam pernikahan yang dilarang
1. Nikah Syigar
Nikah Syigar adalah seorang laki-laki menikahkan putri perempuannya atau saudari
perempuannya dengan orang lain dengan syarat orang tersebut mau menikahkan putrinya atau
saudari perempuannya dengan orang tadi, baik pernikahan tersebut memakai mahar maupun
tidak. Hanya saja, umumnya pernikahan Syigar ini tidak ada maharnya, karena sudah diganti
dengan tukar menukar putri atau saudari perempuannya.
Para ulama sepakat, bahwa nikah Syigar ini haram hukumnya. Hal ini didasarkan
kepada hadits-hadits berikut ini:
‫ نهى رسول ال صلى ال عليه وسلم عن الشغار )أخرجه مسلم‬:‫)عن جابر قال‬
Artinya: Jabir berkata: "Rasulullah Saw melarang nikah syigar" (HR. Muslim).
‫ والشغار‬:‫ قال‬, ‫ ))نهى رسول ال صلى ال عليه وسلم عن الشغار‬: ‫عن أبى هریرة قال‬
‫ أو زوجن � ى أخت � ك وأزوج � ك‬, ‫ى ابنت � ك وأزوج � ك ابنت � ى‬
� ‫أن یق � ول الرج � ل للرج � ل زوجن‬
‫]أختى(( ]أخرجه مسلم والنسائي وابن ماجه‬
Artinya: Abu Hurairah berkata: "Rasulullah Saw melarang nikah Syigar. Nikah Syigar adalah
seorang laki-laki berkata kepada laki-laki lain: 'nikahkan saya dengan anak perempuan kamu
dan saya nanti akan menikahkanmu dengan anak perempuan saya' atau: 'nikahkan saya dengan
saudari perempuan kamu dan saya akan menikahkan kamu dengan saudari perempuan saya'"
(HR. Muslim, Nasa'I dan Ibn Majah).
2. Nikah Muhallil
Muhallil secara bahasa berarti yang menjadikan halal. Nikah Muhallil adalah pernikahan
di mana seorang laki-laki menikahi seorang wanita yang sudah ditalak tiga kemudian ia
mentalaknya dengan maksud agar wanita tersebut dapat dinikahi kembali oleh suaminya yang
dahulu yang telah mentalak tiga.
Pernikahan ini biasanya terjadi ketika si mantan suami yang telah mentalak isterinya tiga
kali bermaksud untuk kembali lagi kepada isterinya tadi, namun karena sudah ditalak tiga, ia
tidak boleh langsung menikahi mantan isterinya itu kecuali si isteri tadi menikah dahulu dengan
laki-laki lain. Untuk tujuan itu, kemudian si laki-laki tadi menyewa atau membayar laki-laki lain
agar menikahi mantan isterinya tadi, dengan catatan tidak boleh disetubuhi atau boleh disetubuhi
tapi harus sesegera mungkin diceraikan, agar mantan suami tadi dapat menikahinya kembali.
Orang yang dibayar untuk menikahi mantan isterinya, dalam istilah fiqh disebut dengan almuhallil
(yang menjadikan halal), sedangkan mantan suami yang membayar laki-laki tadi disebut
dengan al-muhallal lah. Pernikahan ini haram hukumnya berdasarkan dalil berikut ini:
8
‫ن � ول ال ص � لى ال علي � ه وس � لم المحل � ل والمحل � ل ل � ه‬
‫ ))لع � رس‬: ‫ع � ن اب � ن م � سعود ق � ال‬
(‫)أخرجه الترمذى والنسائي وأحمد‬
Artinya: Ibnu Mas'ud berkata: "Rasulullah melaknat al-muhallil (yang menjadikan halal) dan
almuhallal
lah (yang dijadikan halal karenanya)" (HR. Turmudzi, Nasai dan Ahmad).
‫ ))ل أوت � ى بمحل � ل و بمحلل � ة إل رجمتهم � ا(( ]رواه عب � د‬: ‫ال‬
� ‫ع � ن عم � ر ب � ن الخط � اب ق‬
‫]الرزاق بإسناد صحيح‬
Artinya: Umar bin Khatab berkata: "Tidak didatangkan kepadaku muhallil dan wanita yang
dijadikan halal karenanya, kecuali aku akan meranjam keduanya" (HR. Abdur Razak dengan
sanad yang shahih).
3. Nikah Istibdha'
Nikah Istibdha' adalah nikah yang dimaksudkan untuk memperoleh keturunan atau "bibit
unggul". Dalam prakteknya, nikah ini atas usul dan kemauan si suami setelah melihat ada orang
yang dipandang hebat, pintar atau 'aneh' dari yang lainnya sehingga ia pun berkeinginan untuk
mendapatkan putra seperti dia. Sang suami biasanya berkata kepada isterinya: "Apabila kamu
sudah suci dan selesai haidmu, pergilah ke si anu (misalnya seorang professor) dan
bersenangsenanglah
dengannya sampai kamu hamil". Ketika sudah hamil, baru isteri tersebut pulang lagi
dan kembali lagi kepada suaminya. Dan suaminya sangat bahagia karena akan mendapatkan
putra yang sangat diinginkannya. Istibdha' secara bahasa artinya bersetubuh (jima'). Pernikahan
seperti ini jelas diharamkan.
4. Nikah ar-Raht.
Raht secara bahasa berarti rombongan, kelompok. Dalam pernikahan ini, sekelompok
laki-laki (syaratnya tidak boleh lebih dari sepuluh orang) bersekutu dan sepakat untuk menggauli
seorang perempuan secara bergantian dan bergilir. Ketika wanita tadi hamil dan melahirkan,
semua laki-laki yang ikut menanam "saham" pada wanita tadi harus berkumpul di hadapan
wanita tadi. Setelah berkumpul si wanita berkata:
‫ وقد ولدت فهو ابنك یا فلن‬,‫قد عرفتم ما آان من أمرآم‬.
Artinya: "Kalian telah maklum dengan apa yang telah kalian lakukan. Kini, saya sudah
melahirkan, maka anak ini adalah anakmu wahai fulan (sambil menunjuk salah satu laki-laki
yang disukainya)".
Ketika si wanita menunjuk salah satu laki-laki yang disukainya, maka laki-laki itulah
yang harus menjadi bapak dari anak tersebut sekaligus menjadi suaminya yang resmi. Tidak
boleh si laki-laki tersebut menolak dengan alasan dan catatan apapun. Sementara laki-laki lain
yang tidak "terpilih", mereka beterbangan lagi mencari mangsa-mangsanya yang lain.
Lantas siapa yang diuntungkan dan dirugikan dalam pernikahan semacam ini? Tentu yang
rugi adalah orang ganteng dan baik, karena dialah yang akan dipilih oleh wanita tersebut.
Sementara yang beruntung adalah laki-laki jelek dan jahat, karena jelas dia tidak akan dipilih
sehingga ia masih bisa leluasa menaburkan 'racun-racun' asmara dan syahwatnya. Dalam dunia
modern terutama di kota-kota besar, pernikahan masa Jahiliyyah ini masih ada dan berlaku untuk
tidak mengatakan banyak berlaku. Hanya saja, dengan nama dan format lain. Dalam istilah
sekarang, nikah Raht ini disebut dengan nama Salome (satu lobang rame-rame, maaf).
Na'udzubillah.
5. Nikah al-Baghaya.
Al-Baghaya secara bahasa berarti pelacur. Nikah al-Baghaya ini sama dengan nikah ar-
Raht di atas. Hanya saja, dalam nikah Baghaya ini tidak dibatasi jumlah "pengunjungnya". Ia
boleh lebih dari sepuluh orang bahkan tidak terhitung sekalipun. Setiap laki-laki hidung belang
yang sreg dan greget dengan seorang wanita yang disukai bersama, boleh melakukan "isytirak".
Wanita yang menjadi sasaran segerombolan laki-laki tersebut tidak boleh menolak dan tidak
melayani "tamu-tamu" hidung belang tersebut. Tua, muda, ganteng, jelek, pesek, mancung,
kurus, gemuk, dekil, bersih, kalau dia datang, harus "diservice" secara memuaskan. Setiap orang
9
yang sedang "bertamu" pada hari itu, biasanya menancapkan tanda khusus berupa bendera di luar
rumahnya sebagai tanda bahwa wanita tersebut sedang "full / on", ada tamu.
Setiap laki-laki yang pernah "bertamu" harus mengisi buku tamu. Buku tamu ini biasanya
disiapkan khusus oleh wanita tersebut. Tidak ada seorang "tamu" pun yang "jajan" di rumahnya,
kecuali namanya tercatat. Ketika wanita tersebut hamil, wanita tersebut melihat daftar tamunya
dan memanggil satu persatu tamu-tamu berhidung belang tersebut. Tidak boleh menolak ketika
wanita tersebut mengundang dan memanggilnya.
Setelah melahirkan, wanita tersebut memanggil seluruh tamu-tamunya berikut seorang
qafah (juru taksir manusia). Tukang qafah ini bertugas melihat dan membaca si bayi lalu
membaca pula seluruh tamu yang hadir untuk dicarikan kesamaannya—istilah sekarang mungkin
cek darah dan gen. Tamu yang lebih banyak kesamaan dengan bayi tadi, dialah yang akan
menjadi bapaknya sekaligus menjadi suami wanita tersebut. Ketika sudah diputuskan oleh juru
taksir tadi, tidak boleh si laki-laki tersebut menolak apalagi tidak bertanggung jawab.
Siapa yang diuntungkan dalam pernikahan ini? Tentu mereka yang dapat menyuap si
qafah agar tidak ditunjuk. Yang rugi? Yang tidak menyuap si qafah sama sekali karena dialah
yang akan menjadi bapak dari bayi hasil rame-rame tadi—dalam istilah iklan di Indonesia,
identik dengan iklan permen Nano-Nano, rame rasanya. Na'udzubillah. Apakah pernikahan
seperti ini ada pada masa sekarang? Ya, jelas ada, hanya dengan nama dan format lain bahkan
dengan alat dan teknologi canggih, sehingga tidak ada "tamu-tamu" yang merasa dirugikan untuk
menanggung bayi rame-rame tersebut. Pernikahan Baghaya ini dalam konteks sekarang
bertebaran dimana-mana dengan berbagai nama, misalnya, Saritem di Bandung dan Surabaya,
Kramat Tunggak di Jakarta, Warung Remang-Remang di setiap pinggiran jalan, Panti Pijat yang
tersebar hampir di seluruh kota dan lainnya. Na'udzubillah.
6. Nikah Badal.
Secara bahasa badal berarti menukar, mengganti. Nikah Badal adalah pernikahan di mana
seorang laki-laki yang sudah beristri berkata kepada laki-laki lain yang juga sama sudah beristri:
"Biarkan isteri kamu 'tidur' dengan saya, dan saya ijinkan isteri saya 'tidur' dengan kamu, kalau
kamu keberatan, biar kita tukar tambah". Jadi, Nikah Badal ini berupa pernikahan tukar menukar
isteri. Dalam dunia modern terutama di kota-kota besar, seperti Jakarta, pernikahan ini seringkali
diistilahkan dengan "Tukar Kunci". Jadi dalam pergaulan-pergaulan glamour, apabila seorang
laki-laki berkata kepada laki-laki lain yang sama-sama sudah berkeluarga: "Ayo kita tukar kunci",
maka maksudnya adalah pernikahan Badal ini. Tentu bukan sembarang kunci, tapi kunci ini
kunci "ajaib" yang bukan saja bisa membuka pintu, tapi membuka yang mempunyai pintu,
na'udzubillah min dzalik.
7. Nikah Mut'ah.
Mut'ah secara bahasa berarti bersenang-senang. Nikah Mut'ah dalam dunia sekarang
disebut dengan Nikah Kontrak. Maksudnya, seorang laki-laki menikahi seorang wanita, hanya
saja ketika akadnya ditentukan untuk masa satu minggu, misalnya, atau satu bulan, satu tahun
atau bahkan satu hari, kemudian si laki-laki tadi memberikan upah atau biaya sebagai
imbalannya. Pernikahan ini pada masa Rasulullah Saw pernah dibolehkan, karena saat itu sedang
kondisi perang yang berbulan-bulan. Namun, tidak lama setelah itu, Rasulullah Saw
menghapusnya dan mengharamkannya sampai hari Kiamat kelak. Oleh karena itu seluruh ulama
sepakat bahwa pernikahan Mut'ah ini haram hukumnya. Untuk pembahasan lebih lanjut masalah
Nikah Mut'ah ini, insya Allah akan penulis bahas dalam makalah tersendiri.
8. Nikah al-'Urfi.
Nikah Urfi ini ramai diperbincangkan di Mesir belakangan ini. Boleh jadi, nama Nikah
Urfi ini untuk konteks Indonesia, belum sampai dan belum pernah terdengar, meskipun tidak
menutup kemungkinan dalam prakteknya sudah sejak dahulu berjalan dan berlanjut. Nikah Urfi
adalah pernikahan antara laki-laki dan perempuan yang tidak diketahui oleh kelurganya, boleh
jadi tidak memakai saksi, tidak diumumkan, dan tidak memakai wali. Bukan hanya itu, antara
laki-laki dan perempuan hidup berpisah, makan dan minum sendiri-sendiri bahkan tinggal pun
berpisah. Namun, ketika keduanya greget untuk "making love", baru keduanya bersama dan di
mana saja jadi.
10
Pernikahan ini banyak merajarela di Mesir dan demikian juga di Indonesia, terutama di
kalangan mahasiswa mahasiswi. Untuk melampiaskan nafsu seksualnya, keduanya sepakat untuk
membungkus perbuatan hinanya dengan bungkusan yang seolah-olah dilegalkan dan
diperbolehkan oleh ajaran Islam. Boleh jadi, ada saksi, hanya saja saksinya adalah teman-teman
dekatnya saja. Sementara keluarganya tidak mengetahuinya sedikitpun. Modus opperandi dari
pernikahan ini, juga adalah untuk mendapatkan nafkah.
Akhir-akhir ini, di Mesir merebak pernikahan ini karena si wanita biasanya menginginkan
nafkah yang besar dan tidak peduli dengan cara atau bentuknya. Pernikahan ini jelas tidak
memakai surat-surat resmi dari pejabat yang berwenang (di Indonesia dari KUA). Pernikahan ini
jelas haram hukumnya, karena pada hakikatnya adalah perzinahan modern. Na'udzubillah.
Semua jenis pernikahan yang telah disebutkan di atas, diharamkan dalam ajaran Islam.
Mengapa? Karena pernikahan dalam ajaran Islam mempunyai aturan tersendiri, ada rukun-rukun dan
syarat-syarat yang harus dipenuhi. Ketika rukun dan syaratnya tidak terpenuhi, maka pernikahan
tersebut menjadi batal dan haram. Untuk mengetahui lebih lanjut persoalan ini, nanti akan kita bahas
lebih jauh dalam pembahasan akad nikah.
Demikian, sekelumit mengenai jenis dan macam pernikahan yang dilarang dan diharamkan
dalam ajaran Islam. Tidak ada alasan untuk seorang muslim dan muslimah untuk melegalkan terlebih
mempraktekkan pernikahan-pernikahan di atas. Semoga kita terhindar dari semua jenis pernikahan
terkutuk di atas.
Wanita-wanita yang haram untuk dinikahi (al-muharramaat minannisaa)
Dalam ajaran Islam, ada beberapa wanita yang haram hukumnya untuk dinikahi oleh laki-laki.
Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Allah dalam firmanNya surat an-Nisa ayat 22-24:
‫لا‬ ً ‫س � *ِبي‬ َ ‫س � اَء‬ َ ‫ت � ا َو‬ ً ‫شًة َوَمْق‬َ �‫ح‬ ِ ‫ن َفا‬َ ‫ن � ُه َآ � ا‬ َ ‫س � َل‬
ّ ‫ف ِإ‬ َ ‫ق � ْد‬ َ ‫ا‬
� ‫ل � ا َم‬ ّ ‫ساِء ِإ‬َ �‫ن‬ ّ ‫ن ال‬َ ‫ح َءاَباُؤُآْم ِم‬َ ‫حوا َما َنَك‬ ُ ‫ل َتْنِك‬َ ‫َو‬
ِ �‫خ‬
‫ت‬ ْ ‫ل‬ُْ ‫ت ا‬ُ ‫ن�ا‬ َ ‫خ َوَب‬ ِ ‫ل � َأ‬ ْ ‫تا‬ ُ ‫ن�ا‬ َ ‫ل � اُتُكْم َوَب‬ َ ‫خا‬ َ ‫عّم � اُتُكْم َو‬ َ ‫� َواُتُكْم َو‬
َ ‫ن � اُتُكْم َوَأ‬
‫خ‬ َ ‫ل � ْیُكْم ُأّمَه � اُتُكْم َوَب‬ َ‫ع‬َ ‫ت‬ ْ � ‫حّرَم‬ ُ
‫ف�ي‬ ِ ‫ل � اِتي‬ ّ ‫ب � اِئُبُكُم ال‬ َ ‫ساِئُكْم َوَر‬ َ �‫ن‬ ِ ‫ت‬ ُ ‫عِة َوُأّمَه � ا‬ َ ‫ض�ا‬ َ ‫ن الّر‬ َ �
‫خ � َواُتكُْم ِم‬ ْ �‫ض‬
َ ‫عَنُكْم َوَأ‬ َ ‫ل � اِتي َأْر‬ ّ ‫َوُأّمَه � اُتُكُم ال‬
ُ �‫ئ‬
‫ل‬ ِ ‫ل‬َ‫ح‬ َ ‫ل � ْیُكْم َو‬ َ‫ع‬ َ ‫ح‬ َ ‫جنَ � ا‬ ُ ‫ل�ا‬ َ ‫ن َف‬ّ � ‫ل � ُتْم ِبِه‬ ْ‫خ‬ َ ‫ن � وا َد‬ ُ ‫� ْم َتُكو‬
َ ‫ن‬
‫ل‬ ْ ‫ف � ِإ‬ َ ‫ن‬ ّ � ‫ل � ُتْم ِبِه‬ ْ‫خ‬َ ‫ل � اِتي َد‬ ّ ‫ساِئُكُم ال‬َ ‫ن ِن‬ ْ ‫جوِرُآْم ِم‬ ُ‫ح‬ ُ
‫ف � وًرا‬ ُ ‫غ‬ َ ‫ن‬ َ ‫ل � َه َآ � ا‬ ّ ‫ن ال‬ َ ‫س � َل‬
ّ ‫ف ِإ‬ َ ‫ق � ْد‬ َ ‫ل � ا َم � ا‬ ّ ‫ن ِإ‬ ْ ‫ل � ُأ‬
ِ ‫خَتْي‬ ْ ‫نا‬
َ ‫ْی‬
�‫ب‬ َ ‫جَمُع � وا‬ ْ ‫ن َت‬ َ �‫ص‬
ْ ‫لِبُكْم َوَأ‬ ْ ‫ن َأ‬ ْ � ‫ن ِم‬ َ ‫ل � ِذی‬ ّ ‫ن � اِئُكُم ا‬ َ ‫َأْب‬
‫ك � ْم َم � ا َوَراَء‬ ُ ‫ل َل‬ ّ �‫ح‬ ِ ‫ل � ْیكُْم َوُأ‬ َ‫ع‬ َ ‫ل � ِه‬ ّ ‫ب ال‬ َ ‫ت�ا‬ َ ‫ت َأْیَم � اُنُكْم ِآ‬ ْ �
َ ‫ل َما مََل‬
‫ك‬ ّ ‫ساِء ِإ‬ َ ‫ن الّن‬
َ ‫ت ِم‬ ُ ‫صَنا‬ َ ‫ح‬ ْ ‫حيًما* َواْلُم‬ ِ ‫َر‬
ّ ‫ج � وَرُه‬
‫ن‬ ُ ‫ن ُأ‬ّ ‫ف � آُتوُه‬ َ ‫ن‬ ّ ‫ب � ِه ِم � ْنُه‬ ِ ‫س � َتْمَتْعُتْم‬ ْ ‫ن َفَم � ا ا‬ َ ‫حي‬ِ ‫ساِف‬َ � ‫َر ُم‬
�‫ي‬ ْ ‫غ‬َ ‫ن‬ َ ‫صِني‬ِ �‫ح‬ ْ ‫ن َتْبَتُغوا ِبَأْمَواِلُكْم ُم‬ْ ‫َذِلُكْم َأ‬
‫حِكيًم � *ا‬ َ ‫عِليًم � ا‬ َ ‫ن‬ َ ‫ل � َه َآ � ا‬ ّ ‫ن ال‬ ّ ‫ضِة ِإ‬َ � ‫ن َبْع � ِد اْلَفِری‬ ْ � ‫ْیُتْم � ِه ِم‬
ِ �‫ض‬
‫ب‬ َ ‫ل � ْیُكْم ِفيَم � ا َتَرا‬ َ َ‫ح ع‬ َ ‫ن�ا‬ َ‫ج‬ ُ ‫ل�ا‬ َ ‫ضًة َو‬َ � ‫َفِری‬
(24- (22 :‫النساء‬
Artinya: "Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali
pada
masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk
jalan (yang ditempuh).Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang
perempuan;
saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara
ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak
perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara
perempuan sepersusuan; ibu-ibu istrimu (mertua); anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu
dari
istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu
ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak
kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara,
kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang. Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak
yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan
dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini
bukan untuk berzina. Maka istri-istri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah
kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi
11
kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana" (QS. an-Nisa: 22-24).
Dari ayat di atas ditambah keterangan-keterangan lainnya, para ulama membagi wanita-wanita
yang haram untuk dinikahi itu menjadi dua bagian besar.
Pertama, wanita-wanita yang haram untuk dinikahi selamanya. Artinya, seorang laki-laki tidak
boleh menikahi wanita jenis ini kapanpun dan dalam kondisi apapun.
Kedua, wanita-wanita yang haram untuk dinikahi untuk sementara waktu. Untuk bagian kedua
ini, wanita-wanita tersebut haram untuk dinikahi selama ia berada dalam keadaan khusus
(penjelasannya akan dibahas di bawah nanti) dan apabila keadaan tersebut sudah hilang, maka ia
boleh
dinikahi.
Wanita-wanita yang haram dinikahi selamanya.
Yang termasuk wanita-wanita yang haram untuk dinikahi selamanya (muabbada) ini ada tiga
kelompok:
A. Haram dinikahi lantaran keturunan (nasab).
Wanita-wanita yang haram dinikahi karena nasab (keturunan) ini ada tujuh jenis.
1. Semua Ibu, baik dari pihak ibu maupun dari pihak bapak sampai ke atas yang
melahirkan laki-laki tersebut. Maksudnya, wanita-wanita yang menyebabkan lakilaki
itu lahir (ibu) baik dari pihak ibunya sendiri maupun dari pihak bapaknya sendiri,
sampai ke atas, haram untuk dinikahi. Misalnya, ibunya sendiri, ibunya ibu (nenek dari
pihak ibu), ibunya bapak (nenek dari pihak bapak), ibunya nenek dari pihak ibu, ibunya
nenek dari pihak bapak, dan seterusnya sampai ke atas. Wanita-wanita ini semuanya
haram untuk dinikahi selamanya (al-ummahaat).
2. Semua Anak perempuan baik dari pihak putra laki-lakinya maupun putri
perempuannya terus sampai ke bawah. Maksudnya, semua wanita yang dilahirkan
karena laki-laki tersebut baik anak perempuan itu putri dari putranya maupun dari
putrinya. Misalnya, anak perempuannya sendiri, cucu perempuannya dari anak
perempuan, cucu perempuan dari anak laki-laki, anak perempuan dari cucu perempuan
atau anak perempuan dari cucu laki-laki sampai ke bawah. Semua anak perempuan ini
haram untuk dinikahi selamanya (al-banaat).
3. Semua Saudari perempuan dari semua pihak dan jihah. Misalnya, saudari
perempuan sekandung, saudari perempuan sebapak dan saudari perempuan seibu.
Semua saudari perempuan ini juga haram untuk dinikahi selamanya (al-akhawaat).
4. Semua saudari perempuan ayah (bibi, tante dari pihak ayah) sampai ke atas baik
sekandung, sebapak maupun seibu. Misalnya, saudari perempuan sekandung ayah,
saudari perempuan seibu ayah, saudari perempuan seibu, saudari perempuan bibinya
ayah, saudari perempuan bibinya bibi ayah dan seterusnya sampai ke atas. Semua bibi
dari pihak ayah ini haram hukumnya untuk dinikahi (al-'ammat).
5. Semua saudari perempuan ibu (bibi, tante dari pihak ibu) sampai ke atas baik
sekandung, sebapak maupun seibu. Misalnya, saudari perempuan sekandung ibu,
saudari perempuan sebapak ibu, saudari perempuan seibu ibu, saudari perempuan
bibinya ibu, saudari perempuan bibinya bibi ibu dan seterusnya sampai ke atas. Semua
bibi dari pihak ibu ini haram hukumnya untuk dinikahi (al-khalaat).
6. Semua anak perempuan dari saudara laki-laki baik sekandung, sebapak maupun
seibu sampai ke bawah (keponakan dari saudara laki-laki). Misalnya, anak
perempuan dari saudara laki-laki sekandung, anak perempuan dari saudara laki-laki
sebapak, anak perempuan dari saudara laki-laki seibu, anak perempuan dari anak
perempuan saudara laki-laki sekandung, anak perempuan dari anak perempuan saudara
laki-laki sebapak, anak perempuan dari anak perempuan saudara laki-laki seibu, anak
perempuan dari keponakannya keponakan saudara laki-laki terus sampai ke bawah
(banatul akh).
7. Semua anak perempuan dari saudari perempuan baik sekandung, sebapak
maupun seibu sampai ke bawah (keponakan dari saudari perempuan). Misalnya,
12
anak perempuan dari saudari perempuan sekandung, anak perempuan dari saudari
perempuan sebapak, anak perempuan dari saudari perempuan seibu, anak perempuan
dari anak perempuan saudari perempuan sekandung, anak perempuan dari anak
perempuan saudari perempuan sebapak, anak perempuan dari anak perempuan saudari
perempuan seibu, anak perempuan dari keponakannya keponakan saudari perempuan
terus sampai ke bawah (banatul ukhti). Semua keponakan baik dari pihak saudara lakilaki
mapun dari saudari perempuan, semuanya haram untuk dinikahi.
Dalam sebuah hadits dari Ibnu Abbas dikatakan:
‫ الى‬: � ‫ وم � ن ال � صهر س � بع ث � م ق � رأ قول � ه تع‬, ‫عن � بع‬
‫ ))حرم من النسب س‬: ‫ابن ع باس قال‬
‫(( ]رواه البخارى‬....‫]حرمت عليكم أمهاتكم‬
Artinya: "Ibnu Abbas berkata: "Wanita-wanita yang diharamkan karena keturunan itu ada
tujuh, dan yang diharamkan karena pernikahan juga ada tujuh". Ibnu Abbas kemudian
membaca firman Allah dalam surat an-Nisa ayat 22-24: "Diharamkan kepada kalian…." (HR.
Bukhari).
Para ulama telah sepakat bahwa ketujuh jenis wanita yang telah disebutkan di atas,
haram hukumnya untuk dinikahi selamanya. Untuk lebih memudahkan menghapal jenis
wanita-wanita yang haram untuk dinikahi selamanya ini, maka harus diingat bahwa seluruh
keturunan dan kerabat si laki-laki, semuanya haram untuk dinikahi kecuali empat orang saja,
yaitu, anak perempuan pamannya dari pihak bapak (banatul 'amm, sepupu, putrinya om /
paman), anak perempuan pamannya dari pihak ibu (banatul khal, sepupu), anak perempuan
bibinya dari pihak bapak (banat 'ammatih, sepupu, putrinya bibi) dan anak perempuan bibinya
dari pihak ibu (banatul khalah, sepupu, putrinya bibi). Untuk empat jenis wanita ini, boleh
untuk dinikahi dan sisanya tidak boleh untuk dinikahi.
Keempat jenis wanita tersebut boleh untuk dinikahi berdasarkan firman Allah dalam
surat al-Ahzab ayat 50:
َ‫ف � اء‬ َ ‫ك ِمّم � ا َأ‬ َ �‫ن‬ ُ ‫ت َیِمي‬ْ �‫ك‬ َ ‫ن َوَم � ا َمَل‬ ّ ‫ج � وَرُه‬ َ � ‫ي ِإّنا‬
ُ ‫ت ُأ‬ ّ ‫َیاَأّیَها الّنِب‬
ْ ‫لِتي َءاَت‬
‫ي‬ ّ ‫ك ال‬ َ‫ج‬َ ‫ك َأْزَوا‬
َ ‫حَلْلَنا َل‬
ْ ‫َأ‬
َ ‫ن َمَع‬
‫ك‬ َ ‫جْر‬ َ ‫لِتي َها‬ّ ‫ك ال‬ َ ‫لِت‬
َ ‫خا‬َ ‫ت‬ ِ ‫ك َوَبَنا‬َ ‫خاِل‬َ ‫ت‬ ِ ‫ك َوَبَنا‬َ ‫عّماِت‬َ ‫ت‬ ِ ‫ك َوَبَنا‬ َ ‫عّم‬َ ‫ت‬ ِ ‫ك َوَبَنا‬ َ ‫عَلْي‬
َ ‫ل‬ ُّ ‫ا‬
ِ ‫ن ُدو‬
‫ن‬ ْ � ‫ك ِم‬ َ � ‫حَها‬ َ ‫سَتْنِك‬ْ ‫ن َی‬ْ ‫ي َأ‬
ّ ‫ن َأَراَد الّنِب‬
ْ ‫ي ِإ‬
ّ ‫سَها ِللّنِب‬
َ ‫ت َنْف‬ْ ‫ن َوَهَب‬ْ ‫َواْمَرَأًة ُمْؤِمَنًة ِإ‬
َ ‫صًة‬
‫ل‬ َ ‫خاِل‬ َ
َ �‫ي‬
‫ك‬ ْ ‫عَل‬َ ‫ن‬ َ ‫ت َأْیَماُنُهْم � و‬ ْ ‫جِهْم َوَما َمَلَك‬ ِ ‫عَلْيِهْم ِفي َأْزَوا‬ َ ‫ضَنا‬ ْ ‫عِلْمَنا َما َفَر‬ َ ‫ن َقْد‬َ ‫الُْمْؤِمِني‬
ُ ‫ل َی‬
‫ك‬ َ ‫ِلَكْي‬
‫حيًما‬
ِ ‫غُفوًرا َر‬
َ ‫ل‬
ُّ ‫ن ا‬
َ ‫ج َوَآا‬
ٌ ‫حَر‬
َ
( (50 :‫الحزاب‬
Artinya: "Hai Nabi, sesungguhnya Kami telah menghalalkan bagimu istri-istrimu yang telah
kamu berikan mas kawinnya dan hamba sahaya yang kamu miliki yang termasuk apa yang
kamu peroleh dalam peperangan yang dikaruniakan Allah untukmu, dan (demikian pula) anakanak
perempuan dari saudara laki-laki bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara perempuan
bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara laki-laki ibumu dan anak-anak perempuan dari
saudara perempuan ibumu yang turut hijrah bersama kamu dan perempuan mukmin yang
menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau mengawininya, sebagai pengkhususan
bagimu, bukan untuk semua orang mukmin. Sesungguhnya Kami telah mengetahui apa yang
Kami wajibkan kepada mereka tentang istri-istri mereka dan hamba sahaya yang mereka miliki
supaya tidak menjadi kesempitan bagimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang" (QS. Al-Ahzab: 50).
B. Haram dinikahi lantaran perkawinan (al-mushaharah).
Wanita-wanita yang dilarang untuk dinikahi lantaran pernikahan ini adalah sebagai
berikut:
1. Isteri bapak (ibu tiri)
Sehubungan dengan jenis wanita ini, dalam sebuah hadits dikatakan:
13
‫ � ان أه � ل الجاهلي � ة یحرم � ون م � ا یح � رم إل ام � رأة الب‬: ‫ال‬
‫عن اب � ن عب � اس ق � ))آ‬
‫ ))ول تنكح � وا م � ا نك � ح آب � اؤآم‬: ‫ � ز وج � ل‬, ‫والجمع بين الختين‬
‫ فأنزل ال ع‬:‫قال‬
‫من النساء إل ما قد � وا ب � ین الخت � ین (( ]تف � سير الطب � رى‬
‫سلف (( و ))وأن تجمع‬
132/8 ) ‫]بسند صحيح‬
Artinya: "Ibnu Abbas berkata: "Orang-orang jahiliyyah mengharamkan semua wanita
yang diharamkan dalam ajaran Islam kecuali isteri bapak dan bolehnya menikahi kakak
beradik sekaligus. Kemudian turun firman Allah: "Janganlah kalian menikahi wanitawanita
yang telah dinikahi oleh bapak-bapak kamu kecuali apa yang telah berlaku
dahulu " (QS. An-Nisa: 22) dan "Dan dilarang juga menikahi kakak beradik sekaligus"
(QS. An-Nisa: 23)" (Dalam Tafsir ath-Thabari dengan sanad Sahih (8/hal 132).
Dengan ayat ini, para ulama telah sepakat bahwa yang termasuk diharamkan
untuk dinikahi selamanya juga itu adalah wanita-wanita yang sudah atau pernah
dinikahi oleh ayahnya, baik wanita tersebut telah didukhul (disetubuhi) oleh ayahnya
ataupun belum.
‫ ))بعثن � ى‬:‫ أی � ن تری � د؟ ق � ال‬: ‫ى � ه رای � ة فقل � ت ل � ه‬
‫ لقي � ت عم � ومع‬:‫ع � ن الب � راء ق � ال‬
‫ ف � أمرنى أن أض � رب‬, ‫رسول ال صلى ال عليه وسلم إلى رجل نكح امرأة أبيه‬
‫]عنقه وآخذ ماله(( ]رواه أبو داود والحاآم‬
Artinya: "Al-Bara berkata: Suatu hari saya bertemu dengan paman saya yang sedang
membawa bendera. Saya lalu bertanya: "Mau kemana, paman?" Ia menjawab: "Saya
diutus oleh Rasulullah Saw untuk membunuh dan mengambil harta laki-laki yang
menikahi isteri bapaknya" (HR. Abu Dawud dan Hakim).
Dari hadits ini didapati bahwa laki-laki yang menikahi wanita-wanita yang
pernah dinikahi oleh bapaknya, harus dibunuh dan diambil hartanya. Ini menunjukkan
saking kerasnya larangan tersebut. Dari sini para ulama kemudian berkesimpulan,
bahwa isteri bapak haram untuk dinikahi selamanya.
2. Ibunya isteri (mertua perempuan).
Ketika seorang laki-laki telah menikah dengan seorang wanita, maka ibu dari isterinya
tadi (mertua) menjadi haram untuk dinikahi baik isterinya tersebut telah didukhul
(disetubuhi) maupun belum. Hal ini dikarenakan mertua masuk dalam keumuman surat
an-Nisa ayat 23: "Dan diharamkan juga, ibu-ibu isteri-isteri kalian". Termasuk ke
dalam jenis ini juga, ibunya mertua dan ibunya bapak mertua.
3. Anak isteri (anak tiri, ar-rabibah).
Apabila sebelum menikah si isteri sudah mempunyai anak perempuan, maka si lakilaki
tidak boleh menikahi putri dari isterinya itu. Namun, para ulama mensyaratkan,
tidak bolehnya menikahi anak perempuan dari isteri itu apabila ibunya (isteri si laki-laki
tersebut) telah disetubuhinya. Namun apabila misalnya ia menikahi isterinya kemudian
cerai sebelum melakukan hubungan badan, maka laki-laki tadi boleh menikahi anak
perempuannya. Hal ini didasarkan pada firman Allah dalam surat an-Nisa ayat 23 di
atas yang berbunyi:
ْ‫خْلُتم‬
َ ‫ن َلْم َتُكوُنوا َد‬
ْ ‫ن َفِإ‬
ّ ‫خْلُتْم ِبِه‬
َ ‫لِتي َد‬
ّ ‫ساِئُكُم ال‬
َ ‫ن ِن‬
ْ ‫جوِرُآْم ِم‬
ُ‫ح‬ُ ‫لِتي ِفي‬
ّ ‫َوَرَباِئُبُكُم ال‬
‫عَلْيكُْم‬
َ ‫ح‬
َ ‫جَنا‬
ُ ‫ل‬ َ ‫ن َف‬ّ ‫ِبِه‬
Artinya: " (dan diharamkan kepadamu) anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu
dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu
(dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya…(QS. An-Nisa:
23)
Termasuk ke dalam hukum ini adalah anak perempuan dari putra putri isterinya.
14
4. Isteri anak kandung sendiri (menantu).
Seorang laki-laki juga tidak boleh menikahi isteri anak laki-lakinya berdasarkan firman
Allah dalam surat an-Nisa ayat 23 di atas:
‫لِبكُْم‬
َ‫ص‬ْ ‫ن َأ‬
ْ ‫ن ِم‬
َ ‫ل َأْبَناِئُكُم اّلِذی‬
ُ ‫لِئ‬
َ‫ح‬َ ‫َو‬
Artinya: "(dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu)" (QS. An-
Nisa: 23).
Di samping isteri anak kandung sendiri, juga diharamkan isteri anak dari susuan, hal ini
didasarkan pada hadits berikut ini:
‫ ))یح � رم م � ن الرض � اع م � ا یح � رم م � ن‬: ‫لى ال � ه وس � لم‬
‫ق � ال رس � ول ال ص � علي‬
(149/ 471 ), 1 ) ‫ النسب(( ]تفسير ابن آثير‬/ 8 ) ‫والطبرى‬
Artinya: "Rasulullah Saw bersabda: "Diharamkan wanita-wanita karena sesusu
sebagaimana diharamkannya wanita-wanita karena keturunan" (Lihat dalam Tafsir Ibn
Katsir 1/471 dan Tafsir ath-Thabari 8/149).
Para ulama dalam hal ini tidak memasukan anak perempuan dari isteri anak
kandung (anak perempuan dari menantu) atau anak perempuan dari anak isteri (anak
perempuan dari anak tiri) sebagai halilah. Oleh karena itu, seseorang boleh menikahi
anak perempuan dari menantu dan anak perempuan dari anak tiri.
Untuk memudahkan mengingat dan menghapal jenis wanita-wanita yang haram
untuk dinikahi karena pernikahan, maka dapat dikatakan bahwa semua wanita yang
terkait karena pernikahan semuanya boleh dinikahi oleh laki-laki kecuali empat orang
saja, yaitu: isteri bapaknya (ibu tiri), mertua perempuan, anak perempuan dari isterinya
yang telah disetubuhi (anak tiri tapi ibunya sudah disetubuhi) dan isteri anak
kandungnya (menantu).
C. Haram dinikahi lantaran susuan (muharramaat bir radha')
Wanita-wanita yang satu susu, juga haram untuk dinikahi. Hal ini didasarkan pada
keterangan berikut ini:
‫عِة‬
َ ‫ضا‬
َ ‫ن الّر‬
َ ‫خَواُتُكْم ِم‬
َ ‫ضْعَنُكْم َوَأ‬
َ ‫لِتي َأْر‬
ّ ‫َوُأّمَهاُتُكُم ال‬
Artinya: "(Diharamkan kepadamu) ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan
sepersusuan" (QS. An-Nisa: 23).
Dalam sebuah hadits dikatakan:
‫ ))یح � رم م � ن الرض � اع م � ا یح � رم م � ن الن � )) سب‬: ‫ه � لم‬
‫قال رس � ول ال ص � لى ال علي � وس‬
[‫]أخرجه البخارى و مسلم‬
Artinya: "Rasulullah Saw bersabda: "Diharamkan wanita-wanita karena sesusu sebagaimana
diharamkannya wanita-wanita karena keturunan" (HR. Bukhari Muslim)
Oleh karena itu, pada hakikatnya, wanita-wanita yang diharamkan karena sebab satu
susuan ini sama dengan wanita-wanita yang diharamkan karena factor keturunan. Hanya saja,
dalam sebab satu susu ini, ditambahkan bahwa wanita yang menyusui posisinya sama dengan
ibu kandung.
Dengan demikian, wanita-wanita yang tidak boleh dinikahi lantaran satu susu ini adalah
sebagai berikut:
1. Wanita yang menyusui dan ibu dari wanita yang menyusui karena ia dipandang sebagai ibu
kandungnya sendiri
2. Anak-anak perempuan dari wanita yang menyusui tersebut karena mereka dipandang
sebagai saudari-saudari perempuannya.
3. Saudari perempuan baik sekandung, seayah maupun seibu, karena dipandang sebagai bibi
atau tantenya.
4. Anak perempuan dari putri wanita yang menyusui tadi karena dipandang sebagai anak
perempuan dari saudari perempuannya.
5. Ibu dari suami yang menyusui karena dipandang sebagai neneknya.
15
6. Saudari perempuan dari suami wanita yang menyusui karena dipandang sebagai
bibi/tantenya.
7. Anak perempuan dari putra laki-laki wanita yang menyusui karena dipandang sebagai anak
perempuan dari saudara laki-lakinya (keponakan).
8. Anak perempuan dari suami wanita yang menyusui meskipun dari isterinya yang lain
karena dipandang sebagai saudari sesusu dari jihat ayah.
9. Saudari-saudari perempuan dari suami wanita yang menyusui karena mereka dipandang
sebagai tante-tantenya.
10. Isteri-isteri lain dari suami wanita yang menyusui karena mereka dipandang sebagai isteri
bapaknya.
11. Isteri dari anak yang menyusui haram dinikahi oleh suami dari wanita yang menyusui
karena dipandang sebagai menantunya.
12. Apabila yang menyusui itu seorang perempuan, maka suami dari wanita yang menyusui
tidak boleh menikahinya karena dipandang sebagai puterinya. Demikian juga tidak boleh
dinikahi oleh saudara laki-laki si suami tadi karena ia dipandang sebagai pamannya, juga
tidak boleh dinikahi oleh bapak dari si suami tadi karena ia dipandang sebagai kakeknya.
Hal yang harus diperhatikan, bahwa dalam masalah sebab susuan ini, keharaman
menikahi wanita-wanita di atas hanyalah haram bagi laki-laki yang menyusunya saja, dan tidak
termasuk saudara atau kerabat dari laki-laki yang menyusu tersebut. Oleh karena itu, saudara
laki-laki dari laki-laki yang menyusu, boleh menikahi anak perempuan wanita yang menyusui
saudaranya itu, karena ia tidak ikut menyusu kepada wanita tersebut. Dan karenanya, anak
perempuan dari wanita yang menyusui sauadaranya itu, menjadi wanita asing bagi dirinya, dan
karenanya ia boleh menikahinya meskipun anak perempuan tersebut dipandang sebagai saudari
perempuan dari saudara laki-laki yang menyusu kepada ibunya tersebut. Untuk lebih
memudahkan, kaidahnya bahwa semua orang yang sama-sama berkumpul dalam menete pada
satu susu, maka mereka dipandang sebagai bersaudara. Semua wanita-wanita yang terkait
karena sebab susuan, haram untuk dinikahi selamanya.
Syarat-syarat yang berkaitan dengan wanita yang haram dinikahi lantaran satu susuan
1. Menyangkut jumlah susuan yang diharamkan.
Para ulama berbeda pendapat mengenai batas jumlah minimal susuan sehingga ia haram
untuk dinikahi. Pada dasarnya, dalam hal ini, para ulama terbagi empat pendapat.
Pendapat pertama mengatakan, bahwa meskipun hanya satu kali nete ataupun lebih,
tetap haram untuk dinikahi. Pendapat ini adalah pendapatnya jumhur ulama, Abu Hanifah,
Malik, Tsauri, Imam Laits dan lainnya.Pendapat ini beralasan bahwa dalam banyak keterangan
tidak disebutkan batasan dan jumlah tertentu yang mensyaratkan haramnya seorang wanita
lantaran susuan. Oleh karena itu, harus dipahami secara umum, bahwa selama ia pernah menete
meskipun hanya satu kali tetean, maka ia haram untuk dinikahi.
Menanggapi hadits-hadits yang menyebutkan jumlah tertentu dalam menetenya ini
sebagaimana akan disebutkan di bawah ini, jumhur ulama mengatakan bahwa keterangan ini
diperselisihkan apakah betul dari Siti Aisyah, karena beragamnya jumlah batasan tersebut.
Oleh karena itu, harus dikembalikan kepada jumlah paling sedikit, ia dipandang sebagai satu
susuan, yaitu satu kali. Di samping itu, dalam sebuah riwayat dikatakan:
‫ أتح � رم رض � عة أو رض � عتان؟‬: ‫مع � ن عم � ر س � أله رج � ل‬
‫ع � ن عم � رو ب � ن دین � ار أن � ه س � اب‬
‫ إن أمي � ر الم � — ؤمنين‬: ‫ ))ما نعلم الخت من الرضاعة إل حرام � ل‬:‫فقال‬
‫ا(( فقال رج‬
‫ ق � ضاء‬: ‫ه � رم رض � عة ول رض � عتان؟ فق � ال اب � ن عم � ر‬
‫یرید ابن الزبير —یزعم أن � ل تح‬
‫]ال خير من قضائك وقضاء أمير المؤمنين(( ]أخرجه البيهقى بإسناد صحيح‬
Artinya: "Amr bin Dinar pernah mendengar Ibn Umar ditanya oleh seorang laki-laki: "Apakah
diharamkan pula (wanita) meskipun hanya satu atau dua kali tetean? Ibnu Umar menjawab:
"Kami tidak mengetahui saudari sesusu itu kecuali haram hukumnya untuk dinikahi". Seorang
laki-laki lalu berkata kembali: "Sesungguhnya amirul mukminin—yang dimaksudkannya
16
adalah ibn az-Zubair—menganggap bahwa kalau hanya satu atau dua tetean, tidak haram? Ibnu
Umar menjawab: "Ketentuan dari Allah tentu lebih baik daripada ketentuan dan keputusan
kamu dan keputusan amirul mukminin" (HR. Baihaki dengan sanad yang shahih).
Pendapat kedua mengatakan bahwa yang haram dinikahi itu apabila telah menete tiga
kali atau lebih. Sedangkan kalau ia hanya menete satu atau dua kali, maka wanita tersebut
boleh dinikahi. Pendapat ini adalah pendapatnya Dhahiriyyah, Ibn Mundzir dan Abu Ubaid
serta Ishak. Alasan yang dikemukakannya diantaranya adalah hadits berikut ini:
‫ ل تح � رم الم � صة والم � صتان‬: ‫ول ال ص � لى ال علي � ه وس � لم‬
� ‫ ق � ال رس‬: ‫عن عائشة قالت‬
[‫]أخرجه مسلم‬
Artinya: Siti Aisyah berkata, Rasulullah Saw bersabda: "Tidak haram untuk dinikahi kalau
hanya satu atau dua kali isapan" (HR. Muslim).
Pendapat ketiga mengatakan bahwa yang haram dinikahi itu apabila telah menete lima
kali atau lebih. Pendapat ini adalah pendapat Imam Syafi'I, Ibn Hazm, Atha dan Thawus. Di
antara dalil yang dijadikan alasan kelompok ini adalah:
‫ ع � شر رض � عات معلوم � ات یح � رمن ث � م‬: ‫زل م � ن الق � رآن‬
� ‫ آ � ان فيم � ا أن‬: ‫عن عائشة قال � ت‬
‫� ول ال ص � لى ال علي � ه وس � لم وه � ن فيم � ا یق � رأ م � ن‬
‫ فت � وفى رس‬, ‫نسخ بخم � س معلوم � ات‬
‫]القرآن ]أخرجه مسلم وأبو داود‬
Artinya: Siti Aisyah berkata: Di antara yang telah diturunkan dalam al-Qur'an adalah bahwa
sepuluh kali tetean yang diketeahui dan tertentu adalah diharamkan untuk dinikahi. Kemudian,
jumlah tersebut dihapus menjadi lima kali tetean yang diketahui. Setelah itu Rasulullah Saw
meninggal dan lima kali tetean itu termasuk yang terdapat dalam al-Qur'an" (HR. Muslim dan
Abu Dawud).
Dalam ilmu al-Qur'an, hal demikian termasuk ayat yang telah dihapuskan bacaannya,
akan tetapi hukumnya masih tetap ada dan berlaku.
Pendapat keempat mengatakan, bahwa yang haram untuk dinikahi itu adalah apabila
telah menete sepuluh kali atau lebih. Apabila kurang dari itu, maka tidak haram untuk dinikahi.
Pendapat ini diriwayatkan dari Siti Aisyah dan Hafsah. Di antara dalil kelompok ini adalah
‫عن سالم أن عائشة أم المؤمنين أرسلت به —وهو یرضع —إلى أختها � وم بن � ت‬
‫أم آلث‬
‫الم‬: � ‫ ق � ال س‬, ‫عيه ع � شر رض � عات حت � ى ی � دخل عل � ى‬
� ‫ أرض‬:‫ فقال � ت‬, ‫أب � ى بك � ر ال � صدیق‬
‫ عات‬, � ‫فأرضعتنى أم آلثوم ثلث رضعات ثم � عنى غي � ر ث � لث رض‬
‫ فلم ترض‬, ‫مرضت‬
‫فلم أآن أدخل على عائشة من أجل أن أم � ى ع � شر رض � عات (( ]أخرج � ه‬
‫آلثوم لم تتم ل‬
‫]مالك والبيهقى بإسناد صحيح‬
Artinya: Dari Salim bahwasannya siti Aisyah, Ummul mukminin, pernah mengirimnya (Salim)
ketika ia masih menete kepada saudarinya Ummu Kultsum, putrinya Abu Bakar Shidiq. Siti
Aisyah berkata: Susui dia sepuluh kali susuan lalu berikan kepada saya. Salim berkata: Ummu
Kultsum lalu menyusui saya sebanyak tiga kali susuan kemudian ia sakit sehingga ia hanya
menyusui saya tiga kali saja. Saya tidak pernah datang lagi ke siti Aisyah karena Ummu
Kultsum belum menyempurnakan sepuluh kali susuannya" (HR. Malik dan Baihaki dengan
sanad yang sahih).
Apabila kita perhatikan dari keempat pendapat di atas, penulis lebih condong untuk
mengambil pendapat ketiga yang mengatakan bahwa batasan minimal wanita susuan tersebut
adalah apabila ia telah menete lima kali atau lebih. Hal ini dikarenakan dalil yang
dikemukakannya di samping sahih, juga dalam redaksinya sangat jelas sebagai qaid (pembatas)
dari dalil-dalil yang muthlak (belum dibatasi).
Sedangkan, pendapat yang mengatakan satu atau dua kali susuan tidak diharamkan,
meskipun haditsnya shahih, akan tetapi redaksi haditsnya tidak jelas menunjukkan hal itu. Kata
satu atau dua kali tidak diharamkan, tidak berarti hanya untuk tiga kali susuan, akan tetapi
17
boleh jadi juga untuk lima kali susuan. Karena banyak ihtimal (kemungkinan) inilah, maka
pendapat tersebut menjadi lemah adanya.
Pendapat pertama juga yang mengatakan tidak dibatasi jumlah susuannya, tidak bisa
dijadikan pegangan, karena kemutlakan hadits tersebut di qaid kan oleh keterangan lain yaitu
keterangan yang mengatakan lima kali susuan. Karenanya, hukumnya pun harus dibawa
kepada hokum muqayyad, bukan hokum muthlak lagi.
Pendapat keempat yang mengatakan sepuluh kali susuan, juga tidak dapat dijadikan
pegangan. Karena hadits yang disodorkan bukan sebagai batasan, akan tetepi hanya ikhbar
(beita, informasi) saja. Hal ini dikarenakan, dalam keterangan dari Siti Aisyah yang lain
dikatakan, bahwa yang haram dinikahi itu juga apabila menete lima kali susuan. Dengan
demikian, penulis lebih condong untuk mengambil pendapat ketiga bahwa wanita yang haram
dinikahi lantaran susuan itu apabila telah menyusui lima kali atau lebih. Kurang dari itu, tidak
menjadi haram hukumnya. Wallahu 'alam.
2. Menyangkut usia bayi yang menyusunya
Para ulama berbeda pendapat mengenai usia bayi yang menyusui tersebut sehingga
menyebabkan wanita tersebut haram untuk dinikahi.
Pendapat pertama yaitu pendpatnya Jumhur ulama, di antaranya Imam Malik, Syafi'I,
Ahmad dan Imam Auzai, bahwa susuan yang diharamkan itu pada usia dua tahun pertama saja.
Adapun kalau dia menete pada usianya yang ke tiga, empat tahun atau lebih, tidak menjadikan
haram untuk dinikahi. Di antara dalil yang disodorkan kelompok ini adalah:
( 233 :‫والوالدات یرضعن أولدهن حولين آاملين لمن أراد أن یتم الرضاعة )البقرة‬
Artinya: "Dan ibu-ibu itu menyusui putra-putranya selama dua tahun secara sempurna. Hal itu
bagi mereka yang hendak menyempurnakan susuannya" (QS. Al-Baqarah: 233).
‫اع إل م � ا آ � ان ف � ى الح � ولين (( ]أخرج � ه البيهق � ى بإس � ناد‬
� ‫ ))ل رض‬: ‫ق � ال اب � ن عب � اس‬
‫]صحيح‬
Artinya: "Ibnu Abbas berkata: "Bukan disebut menyusui, kecuali selama dua tahun" (HR.
Baihaki dengan sanad yang sahih).
Pendapat kedua, yaitu pendapatnya Imam Abu Hanifah bahwa usia susuan yang
menyebabkan haram untuk dinikahi itu adalah selama tiga puluh bulan. Dalil yang
dikemukakannya adalah:
( 15 :‫وحمله وفصاله ثلثون شهرا )الحقاف‬
Artinya: "Dan mengandungnya sampai menyapihnya selama tiga puluh bulan" (QS. Al-Ahqaf:
15).
Pendapat ketiga mengatakan, bahwa menyusui ketika sudah besar maupun ketika masih
kecil, sama saja menyebabkan haram untuk dinikahi. Pendapat ini adalah pendapatnya
Dhahiriyyah, Atha dan Imam Laits. Di antara dalil yang dikemukakan pendapat ini adalah:
‫ ی � ا‬: ‫عن � ى النب � ي ص � لى ال علي � ه وس � لم فقال � ت‬
‫ جاءت سه لة بنت سهيل إل‬: ‫عائشة قالت‬
‫ى � ة م � ن دخ � ول س � الم )وه � و حليف � ه ( فق � ال النب � ي‬
‫ إنى أرى فى وج � ه أب � حذیف‬, ‫رسول ال‬
‫ فتب � سم‬, ‫ وآي � ف أرض � عه وه � و رج � ل آبي � ر‬:‫عيه(( � ت‬
‫ ))ارض � قال‬: ‫ص � لى ال علي � ه وس � لم‬
‫ قد علمت أنه رجل آبير(( ]أخرجه مسلم‬:‫]رسول ال صلى ال عليه وسلم وقال‬
Artinya: Siti Aisyah berkata: Sahlah bint Suhail datang kepada Nabi Saw sambil berkata:
"Wahai Rasulullah Saw, sesungguhnya saya melihat muka Abu Hudzaifah ketika membawa
Salim. Rasulullah Saw lalu bersabda: "Susuilah dia". Sahlah berkata: "Bagaimana saya
menyusuinya sementara dia sudah besar?" Rasulullah Saw tersenyum lalu bersabda kembali:
"Saya tahu bahwa dia sudah besar (tapi tidak mengapa susuilah)" (HR. Muslim).
Dari ketiga pendapat di atas, hemat penulis, pendapat Jumhur ulama yang mengatakan
bahwa yang menjadikan haram untuk dinikahi itu adalah apabila menyusuinya pada dua tahun
pertama saja. Hal ini dikarenakan keterangan-keterangan yang berbicara seputar hal ini sangat
jelas dan shahih. Namun, demikian, apabila karena suatu keperluan orang yang sudah besar pun
18
harus disusui, tentu menjadi haram juga. Demikian sebagaimana dikemukakan oleh Imam
Syaukani dan Ibnu Taimiyyah dalam al-Majmu'nya.
3. Shifat susuan yang diharamkan.
Pembahasan ini menyangkut, apakah susuan yang diharamkan itu disyaratkan harus
mengisap langsung dari tete si wanita tersebut? Ataukah termasuk juga sekalipun melalui
diminum dalam gelas setelah diperas terlebih dahulu? Dalam hal ini, para ulama terbagi dua
pendapat:
Pendapat pertama yaitu pendapat Jumhur ulama mengatakan bahwa baik si bayi
tersebut menyusunya langusung dengan cara menempelkan mulutnya pada tete wanita dan
mengisapnya, maupun tidak langsung seperti itu, misalnya melalui diminum di gelas setelah
diperas terlebih dahulu, tetap semuanya menjadikan wanita haram untuk dinikahi.
Sedangkan menurut pendapat Dhahiriyyah dan Imam Laits, bahwa susuan yang
diharamkan itu apabila langsung melalui isapan ke tetanya secara langsung. Adapun apabila si
bayi tersebut menetenya tidak langsung, misalnya melalui gelas, atau dicampur dengan
makanan, maka tidak menjadi haram.
Namun, penulis lebih cenderung untuk mengatakan, bahwa pendapat Jumhur lah yang
lebih kuat, bahwa baik langsung maupun tidak, tetap termasuk susuan dan karenanya haram
untuk dinikahi. Hal ini karena, maksud dari susuan itu adalah untuk menghilangkan rasa lapar
si bayi sekaligus memberikannya makanan. Dan ketika ia menyusu langsung ataupun tidak
langsung sama-sama mengenyangkan si bayi, maka hukumnya pun sama yaitu haram untuk
dinikahi. Hal ini dipertegas lagi berdasarkan sebuah hadits yang mengatakan:
‫ ))إنم � ا الرض � اعة م � ن المجاع � ة (( ]أخرج � ه‬: ‫لى � ه وس � لم‬
‫ق � ال رس � ول ال ص � ال علي‬
‫]البخارى ومسلم‬
Artinya: "Rasulullah Saw bersabda: "Bahwasannya susuan itu karena kelaparan (si bayi)" (HR.
Bukhari Muslim).
Wanita-wanita yang haram dinikahi sementara (mu'aqqata)
Adapun wanita-wanita yang haram untuk dinikahi sementara waktu sampai penyebabnya
hilang di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Saudari perempuan si Isteri (menikahi kakak beradik secara langsung, tidak boleh).
Para ulama telah sepakat bahwa seorang laki-laki tidak boleh menikahi seorang wanita
sekaligus bersama saudari kandungnya dalam waktu bersamaan. Namun, apabila si isterinya itu
meninggal, atau telah dicerai, maka si suami boleh untuk menikahi saudari kandung mantan
isterinya tadi. Hal ini sebagaimana difirmankan oleh Allah dalam surat an-Nisa ayat 23:
َ ‫سَل‬
‫ف‬ َ ‫ل َما َقْد‬
ّ ‫ن ِإ‬
ِ ‫خَتْي‬
ْ‫ل‬ُْ ‫ن ا‬
َ ‫جَمُعوا َبْي‬
ْ ‫َوَأنْ َت‬
Artinya: " (Diharamkan juga bagi kamu) dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua
perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau" (QS. An-Nisa: 23).
2. Apabila seorang kafir masuk Islam, sementara ketika dia kafir telah menikahi dua orang
perempuan kakak beradik secara bersamaan, maka ia harus memilih salah satunya dan
meninggalkan yang lainnya. Hal ini sebagaimana terdapat dalam sebuah hadits dhaif
bahwasannya Fairuz ad-Dailamy datang kepada Rasulullah Saw seraya berkata: "Wahai
Rasulullah Saw, saya telah masuk Islam, akan tetapi saya mempunya dua isteri kakak beradik.
Maka Rasulullah Saw menyuruhnya untuk memilih salah satu dari keduanya menurut yang ia
kehendaki dan sukai (HR. Turmudzi dan Abu Dawud).
3. Bibi, tante dari si isteri.
Seorang laki-laki tidak boleh menikahi seorang wanita secara bersamaan dengan
bibinya, tantenya, baik bibinya ini dari pihak bapaknya ataupun ibunya. Namun, apabila si
isterinya tadi meninggal atau telah diceraikan, maka ia boleh menikahi bibinya tadi. Hal ini
didasarkan pada sebuah hadits yang mengatakan:
19
‫ ))ل یجم � ع ب � ین الم � رآة‬: ‫ول ال � لى ال علي � ه وس � لم ق � ال‬
‫ع � ن أب � ى هری � رة أن رس � ص‬
‫]وعمتها ول بين المرأة وخالتها(( ]أخرجه البخارى ومسلم‬
Artinya: Dari Abu Hurairah, bahwasannya Rasulullah Saw pernah bersabda: "Tidak boleh
dinikahi secara bersamaan antara seorang wanita dengan bibinya, baik bibinya dari pihak ayah
(ammah), maupun dari pihak ibu (khalah)" (HR. Bukhari Muslim).
4. Wanita yang telah ditalak tiga, tidak boleh menikah dengan mantan suaminya kecuali ia
telah menikah terlebih dahulu dengan laki-laki lain. Hal ini sebagaimana akan dijelaskan
nanti pada pembahasan thalak (pada makalah-makalah berikutnya). Di antara dalilnya adalah:
ْ‫عَلْيهَِم � ا َأن‬
َ ‫ح‬ َ ‫ن�ا‬ َ‫ج‬ ُ ‫ل�ا‬ َ ‫طّلَقَه � ا َف‬ ْ ‫ف � ِإ‬
َ ‫ن‬ َ ‫ن � َرُه‬ ْ ‫ل َلُه ِم‬
ّ‫ح‬ِ ‫ل َت‬
َ ‫طّلَقَها َف‬
َ ‫ن‬
ْ ‫َفِإ‬
ْ ‫غ‬
‫ي‬ َ ‫جا‬ً ‫ح َزْو‬
َ ‫حّتى َتْنِك‬
َ ‫َبْعُد‬
‫رة‬: � ‫ن )البق‬ َ ‫ل � ِه ُیَبّيُنَه � ا ِلقَ � ْوٍم َیْعَلُم � و‬ ّ ‫ح � ُدوُد ال‬ ُ ‫ك‬ َ �‫ل‬ ْ ‫� ِه َوِت‬
ّ ‫ح � ُدوَد ال‬
‫ل‬ ُ ‫ن ُیِقيَم � ا‬ ْ ‫ظنّ � ا َأ‬ ْ ‫جَع � ا ِإ‬
َ ‫ن‬ َ ‫َیَتَرا‬
(230
Artinya: "Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan
itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami
yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan
istri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum
Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui"
(QS. Al-Baqarah: 230).
5. Wanita yang menikah dengan laki-laki lain, atau berada pada masa iddah dengan lakilaki
lain sehingga wanita tersebut dicerai dan habis masa iddahnya (pembahasan masalah
Iddah ini akan dijelaskan lebih lanjut dalam makalah berikutnya). Apabila wanita tersebut telah
dicerai oleh suaminya dan telah habis masa iddahnya, maka laki-laki lain boleh menikahinya.
6. Wanita yang sadang melakukan Ihram, tidak boleh menikah atau dinikahkan sampai ia
tahallul, (beres dari ihramnya). Ketika ia telah tahallul, maka boleh seorang laki-laki atau
wanita untuk menikah atau dinikahkan. Hal ini didasarkan kepada hadits berikut ini:
‫ ))ل ینكح المح � رم ول‬:‫ قال رسول ال صلى ال عليه وسلم‬: ‫عن عثمان بن عفان قال‬
‫ ول یخطب(( ]أخرجه مسلم والترمذى‬,‫]ینكح‬
Artinya: Utsman bin Affan berkata, Rasulullah Saw bersabda: "Orang yang sedang melakukan
ihram tidak boleh menikah, dinikahkan ataupun meminang" (HR. Muslim dan Turmudzi).
7. Wanita musyrikah (seperti yang beragama Majusi dan lainnya) sampai dia masuk Islam.
Wanita yang musyrikah tidak boleh dinikahi sampai ia masuk Islam. Hal ini berdasarkan ayat:
‫ل�ا‬ َ ‫ب � ْتُكْم َو‬ َ ‫ج‬َ‫ع‬ ْ ‫ل � ْو َأ‬ َ ‫شِرَآٍة َو‬ْ � ‫ن ُم‬ ْ � ‫ي � ٌر ِم‬ ْ ‫خ‬َ ‫ن � ٌة‬ َ ‫ن � ٌة ُمْؤِم‬ّ ‫ْؤِم‬
َ ‫ی � َو‬
‫لَم‬ ُ ‫ت�ى‬ ّ ‫ح‬ َ ‫ت‬ ِ ‫شِرَآا‬ْ ‫حوا اْلُم‬ ُ ‫ل َتْنِك‬
َ ‫َو‬
َ �‫ئ‬
‫ك‬ ِ ‫ج � َبُكْم ُأوَل‬ َ‫ع‬ ْ ‫ل � ْو َأ‬ َ ‫ك َو‬ٍ ‫شِر‬ ْ � ‫ن ُم‬ ْ � ‫ي � ٌر ِم‬ ْ ‫خ‬
َ ‫ن‬ٌ ‫وا � ٌد ُم � ْؤِم‬
ْ ‫ن � َوَلَع‬
‫ب‬ ُ ‫ت � ى ُیْؤِم‬ ّ ‫ح‬َ ‫ن‬ َ ‫شِرِآی‬ْ � ‫ح � وا اْلُم‬ ُ ‫ُتْنِك‬
‫س َلَعّلُه � ْم‬ ِ ‫ن�ا‬ ّ ‫ت � ِه ِلل‬ ِ ‫ن َءاَیا‬ُ ‫ب � ّی‬ َ ‫ن � ِه َوُی‬ ِ ‫ف � َرِة ِبِإْذ‬ ِ ‫ن � ِة َواْلَمْغ‬ ّ‫ج‬
َ ‫ى اْل‬
�‫ل‬ َ ‫عو ِإ‬ُ ‫ی � ْد‬ َ ‫ل � ُه‬ ّ ‫ن � اِر َوال‬ ّ ‫ل � ى ال‬ َ ‫ن ِإ‬
َ ‫عو‬ ُ ‫ی � ْد‬ َ
[ 221 :‫ن ]البقرة‬ َ ‫َیَتَذّآُرو‬
Artinya: "Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia
menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita
mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari
orangmusyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah
mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya
(perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran" (QS. Al-
Baqarah: 221).
Hanya saja, para ulama mengecualikan musyrikah ini dengan ahli kitab.Artinya, wanita
ahli kitab (Yahudi dan Nashrani) boleh dinikahi oleh orang Muslim. Hal ini didasarkan pada
ayat berikut ini:
20
ْ‫ل َلُه � م‬ ّ �‫ح‬ ِ ‫طَع � اُمُكْم‬ َ ‫ك � ْم َو‬ ُ ‫ل َل‬ّ �‫ح‬ ِ ‫ب‬ َ ‫ت�ا‬ َ ‫ت � وا اْلِك‬ َ ‫اُم � ِذی‬
ُ ‫ن ُأو‬
ّ ‫طَع � ا‬
‫ل‬ َ ‫ت َو‬ ُ ‫ب�ا‬ ّ ‫ك � ُم ال‬
َ ‫طّي‬ ُ ‫ل َل‬ّ �‫ح‬ ِ ‫ي � ْوَم ُأ‬ َ ‫اْل‬
‫ق � ْبِلُكْم ِإَذا‬ َ ‫ن‬ْ � ‫ب ِم‬ َ ‫ت�ا‬ َ ‫ت � وا اْلِك‬ ُ ‫ن ُأو‬ َ ‫ل � ِذی‬ ّ‫نا‬َ � ‫ت ِم‬ ُ ‫صَنا‬َ �‫ت‬ ِ ‫ا‬
ْ ُ‫ن � َواْلم‬
‫ح‬ َ � ‫ت ِم‬
َ ‫ن اْلُمْؤِم‬ ُ ‫صَنا‬ َ �‫ح‬ ْ ‫َواْلُم‬
ِ ‫لیَم � ا‬
‫ن‬ ِْ ‫ف � ْر ِبا‬ ْ � ‫ن َوَم‬
ُ ‫ن َیْك‬ ٍ ‫خ � َدا‬ ْ ‫غْيَر � ِذي َأ‬ َ ‫ن‬َ ‫صِني‬
ِ ‫ح‬ْ ‫ن ُم‬ّ ‫جوَرُه‬
ُ ‫ن ُأ‬
ّ ‫َءاَتْيُتُموُه‬
ِ ‫ل ُمّت‬
‫خ‬ َ ‫ن َو‬َ ‫حي‬ ِ ‫ساِف‬
َ ‫ُم‬
( 5 :‫ن )المائدة‬
َ ‫سِری‬
ِ ‫خا‬
َ ‫ن اْل‬
َ ‫خَرِة ِم‬
ِ‫ل‬ْ ‫عَمُلُه َوُهَو ِفي ا‬
َ ‫ط‬
َ ‫حِب‬
َ ‫َفَقْد‬
Artinya: "Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang
yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan
dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman
dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab
sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya,
tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa
yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya
dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi" (QS. Al-Maidah: 5).
Namun, persoalannya, apakah Yahudi dan Kristen sekarang masih dapat disebut Ahli
Kitab ataukah sudah termasuk Musyrik mengingat ajarannya kini banyak diselewengkan dan
sudah bukan seperti aslinya dahulu? Ini juga menjadi bahan perdebatan. Untuk masalah ini,
insya Allah, penulis akan membahasnya dalam satu makalah khusus pada minggu-minggu
berikutnya.
Namun, untuk wanita muslimah, tidak boleh menikah dengan laki-laki non muslim. Hal
ini didasarkan pada ayat sebagaimana telah disebutkan sebelumnya:
‫ل�ا‬ َ ‫ب � ْتُكْم َو‬ َ ‫ج‬َ‫ع‬ ْ ‫ل � ْو َأ‬ َ ‫شِرَآٍة َو‬ْ � ‫ن ُم‬ ْ � ‫ي � ٌر ِم‬ ْ ‫خ‬َ ‫ن � ٌة‬ َ ‫ن � ٌة ُمْؤِم‬ّ ‫ْؤِم‬
َ ‫ی � َو‬
‫لَم‬ ُ ‫ت�ى‬ ّ ‫ح‬ َ ‫ت‬ ِ ‫شِرَآا‬ْ ‫حوا اْلُم‬ ُ ‫ل َتْنِك‬
َ ‫َو‬
َ �‫ئ‬
‫ك‬ ِ ‫ج � َبُكْم ُأوَل‬ َ‫ع‬ ْ ‫ل � ْو َأ‬ َ ‫ك َو‬ٍ ‫شِر‬ ْ � ‫ن ُم‬ ْ � ‫ي � ٌر ِم‬ ْ ‫خ‬
َ ‫ن‬ٌ ‫وا � ٌد ُم � ْؤِم‬
ْ ‫ن � َوَلَع‬
‫ب‬ ُ ‫ت � ى ُیْؤِم‬ ّ ‫ح‬َ ‫ن‬ َ ‫شِرِآی‬ْ � ‫ح � وا اْلُم‬ ُ ‫ُتْنِك‬
‫س َلَعّلُه � ْم‬ ِ ‫ن�ا‬ ّ ‫ت � ِه ِلل‬ ِ ‫ن َءاَیا‬ُ ‫ب � ّی‬ َ ‫ن � ِه َوُی‬ ِ ‫ف � َرِة ِبِإْذ‬ ِ ‫ن � ِة َواْلَمْغ‬ ّ‫ج‬
َ ‫ى اْل‬
�‫ل‬ َ ‫عو ِإ‬ُ ‫ی � ْد‬ َ ‫ل � ُه‬ ّ ‫ن � اِر َوال‬ ّ ‫ل � ى ال‬ َ ‫ن ِإ‬
َ ‫عو‬ ُ ‫ی � ْد‬ َ
[ 221 :‫ن ]البقرة‬ َ ‫َیَتَذّآُرو‬
Artinya: "Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia
menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita
mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari
orangmusyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah
mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya
(perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran" ((QS. Al-
Baqarah: 221).
Juga berdasarkan ayat lain berikut ini:
ْ‫ف � ِإن‬ َ ‫ن‬ ّ ‫عَلُم � اِنِه‬
ْ ‫ل َأ‬
ُّ ‫ن ا‬
ّ ‫حُنوُه‬
ِ ‫ت َفاْمَت‬
ٍ ‫جَرا‬ ِ ‫ت ُمَها‬
ُ ‫جاَءُآُم اْلُمْؤِمَنا‬
َ ‫ن َءاَمُنوا ِإَذا‬
َ ‫َیاَأّیَها اّلِذی‬
‫ِبِإیَم‬
‫ن َلُه � ن‬ َ ‫ل�و‬ ّ‫ح‬ِ ‫ل � ا ُه � ْم َی‬ َ ‫ل َلُه � ْم َو‬ ّ �‫ح‬ ِ ‫ن‬ ّ � ‫ل � ا ُه‬ َ ‫ف � اِر‬ ّ ‫ى اْلُك‬
�‫ل‬ ّ ‫جُع � وُه‬
َ ‫ن ِإ‬ ِ ‫ل � ا َتْر‬ ٍ ‫ن�ا‬
َ ‫ت َف‬ َ ‫ن ُمْؤِم‬ّ ‫عِلْمُتُم � وُه‬ َ
( (10 :‫الممتحنة‬
Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuanperempuan
yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih
mengetahui tentang keimanan mereka;maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benarbenar)
beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka)
orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada
halal pula bagi mereka" (QS. Al-Mumtahanah: 10).
***Makalah ini special dipersembahkan untuk kawan-kawan tercinta siswa siswi Sekolah Indonesia
Cairo (SIC) pada pengajian rutin remaja Sabtuan di Mesjid Indonesia Kairo, Egypt.
Email: aepmesir@yahoo.com
Qatamea, 13 Mei 2005 pukul 2.00 malam.

21

Perceraian dalam Islam


Dari Wikipedia Bahasa Melayu, ensiklopedia bebas.

Lompat ke: pandu arah, gelintar

Sebahagian daripada siri


Fiqh Islam
(suatu disiplin kajian Islam)
Bidang-bidang

• Ekonomi
• Politik
• Perkahwinan
o Peminangan
o Mas kahwin
o Akad nikah
o Walimatulurus
o Nikah mut'ah
o Perceraian
o Poligami
o Nasab
o Seks
• Jenayat
• Adab
• Ibadah
• Kebersihan
• Ketenteraan

Kotak ini: papar • bincang • sunting

Di dalam Islam, penceraian merupakan sesuatu yang dilaknat oleh Islam tetapi diharuskan
dengan alasan dan sebab-sebab tertentu. Penceraian boleh dilakukan dengan cara talak, fasakh
dan khuluk atau tebus talak.

Isi kandungan
[sorok]

• 1 Talak
o 1.1 Hukum talak
o 1.2 Rukun talak
o 1.3 Contoh lafaz talak
o 1.4 Jenis talak
 1.4.1 Talak raj’i
 1.4.2 Talak bain
 1.4.3 Talak sunni
 1.4.4 Talak bid’i
 1.4.5 Talak taklik
• 2 Fasakh
o 2.1 Cara melakukan fasakh
• 3 Khuluk atau tebus talak
o 3.1 Tujuan khuluk
• 4 Rujuk
o 4.1 Hukum rujuk
o 4.2 Rukun rujuk
o 4.3 Contoh lafaz rujuk
 4.3.1 Lafaz sarih
 4.3.2 Lafaz kinayah
• 5 Lihat juga

o 5.1 Pautan Luar

[sunting] Talak
Talak menurut bahasa bermaksud melepaskan ikatan dan menurut syarak pula, talak membawa
maksud melepaskan ikatan perkahwinan dengan lafaz talak dan seumpamanya. Talak merupakan
suatu jalan penyelesaian yang terakhir sekiranya suami dan isteri tidak dapat hidup bersama dan
mencari kata sepakat untuk mecari kebahagian berumahtangga. Talak merupakan perkara yang
dibenci Allah s.w.t tetapi dibenarkan.

[sunting] Hukum talak


Huku
Penjelasan
m

a) Jika perbalahan suami isteri tidak dapat didamaikan lagi


b) Dua orang wakil daripada pihak suami dan isteri gagal membuat kata
Wajib sepakat untuk perdamaian rumahtangga mereka
c) Apabila pihak kadi berpendapat bahawa talak adalah lebih baik
d) Jika tidak diceraikan keadaan sedemikian, maka berdosalah suami

Hara a) Menceraikan isteri ketika sedang haid atau nifas


m b) Ketika keadaan suci yang telah disetubuhi
c) Ketika suami sedang sakit yang bertujuan menghalang isterinya daripada
menuntut harta pusakanya
d) Menceraikan isterinya dengan talak tiga sekali gus atau talak satu tetapi
disebut berulang kali sehingga cukup tiga kali atau lebih

a) Suami tidak mampu menanggung nafkah isterinya


Sunat
b) Isterinya tidak menjaga maruah dirinya

Makr Suami menjatuhkan talak kepada isterinya yang baik, berakhlak mulia dan
uh mempunyai pengetahuan agama

Suami yang lemah keinginan nafsunya atau isterinya belum datang haid atau
Harus
telah putus haidnya

[sunting] Rukun talak


Perka
Syarat
ra

Berakal
Suam
Baligh
i
Dengan kerelaan sendiri

Akad nikah sah


Isteri Belum diceraikan dengan talak tiga oleh
suaminya

Ucapan yang jelas menyatakan


Lafaz penceraiannya
Dengan sengaja dan bukan paksaaan

[sunting] Contoh lafaz talak

• Talak sarih

Lafaz yang jelas dengan bahasa yang berterus-terang seperti “Saya talak awak” atau “Saya
ceraikan awak” atau “Saya lepaskan awak daripada menjadi isteri saya” dan sebagainya.

• Talak kinayah

Lafaz yang digunakan secara sindiran oleh suami seperti “Pergilah awak ke rumah mak awak”
atau “Pergilah awak dari sini” atau “Saya benci melihat muka awak” dan sebagainya. Namun,
lafaz kinayah memerlukan niat suaminya iaitu jika berniat talak, maka jatuhlah talak tetapi jika
tidak berniat talak, maka tidak berlaku talak.

[sunting] Jenis talak

[sunting] Talak raj’i


Suami melafazkan talak satu atau talak dua kepada isterinya. Suami boleh merujuk kembali
isterinya ketika masih dalam idah. Jika tempoh idah telah tamat, maka suami tidak dibenarkan
merujuk melainkan dengan akad nikah baru.

[sunting] Talak bain

Suami melafazkan talak tiga atau melafazkan talak yang ketiga kepada isterinya. Isterinya tidak
boleh dirujuk kembali. Si suami hanya boleh merujuk setelah isterinya berkahwin lelaki lain,
suami barunya menyetubuhinya, setelah diceraikan suami barunya dan telah habis idah dengan
suami barunya.

[sunting] Talak sunni

Suami melafazkan talak kepada isterinya yang masih suci dan tidak disetubuhinya ketika dalam
tempoh suci

[sunting] Talak bid’i

Suami melafazkan talak kepada isterinya ketika dalam haid atau ketika suci yang disetubuhinya.

[sunting] Talak taklik

Talak taklik ialah suami menceraikan isterinya bersyarat dengan sesuatu sebab atau syarat.
Apabila syarat atau sebab itu dilakukan atau berlaku, maka terjadilah penceraian atau talak.

Contohnya suami berkata kepada isteri, “Jika awak keluar rumah tanpa izin saya, maka jatuhlah
talak satu.” Apabila isterinya keluar dari rumah tanpa izin suaminya, maka jatuhlah talak satu
secara automatik.

Ia juga boleh berlaku selepas akad nikah (ia dipraktikkan di Malaysia dan wajib oleh semua
pengantin lelaki untuk melafaznya), berkata, “Jika saya menyeksa isteri saya dengan sengaja,
atau saya meninggalkan isteri saya selama empat bulan berterusan dengan sengaja tanpa
kerelaannya, dan jika ia mengadu kepada kadi atau naib kadi, apabila disabitkan oleh kadi atau
naib kadi maka jatuhlah talak satu ke atas isteri saya.”

Ia juga boleh berlaku dengan cara, “Jika saya menyeksa isteri saya dengan sengaja, atau saya
meninggalkannya selama empat bulan berterusan tanpa kerelaannya, dan jika ia mengadu kepada
kadi atau naib kadi serta membayar RM 1.00 sebagai tebus talak, apabila disabitkan oleh kadi
atau naib kadi maka jatuhlah talak satu ke atas isteri saya dengan nilai tebus talak tersebut.”

[sunting] Fasakh
Erti fasakh menurut bahasa ialah rosak atau putus. Manakala menurut syarak pula, pembatalan
nikah disebabkan oleh sesuatu sifat yang dibenarkan syarak, misalnya, perkahwinan suami isteri
yang difasakhkan oleh kadi disebabkan oleh suaminya tidak mempu memberi nafkah kepada
isterinya. Fasakh tidak boleh mengurangkan bilangan talaknya. Fasakh hanya boleh dituntut oleh
isteri sekiranya terdapat beberapa sebab atau kecacatan yang terdapat pada pihak suaminya.
Mengikut mazhab Shafie, seorang isteri boleh menuntut fasakh melalui kadi atau mahkamah
disebabkan oleh kekurangan suaminya seperti gila (berkekalan atau sekejab); penyakit kusta;
penyakit sopak; penyakit yang menghalang mereka daripada melakukan persetubuhan; suami
tidak mampu memberi nafkah belanja kepada isterinya seperti makan dan minum serta tempat
tinggal, pakaian, memberi mahar dengan cara tunai sebelum bersetubuh kerana kepapaan atau
muflis atau sebagainya; suami tidak bertanggungjawab dengan meninggalkan isterinya terlalu
lama dan tidak memberi khabar berita; suami yang menzalimi dan memudaratkan isterinya;
suami yang fasik serta melakukan maksiat terhadap Allah dan tidak menunaikan kewajipan
kepada Allah; dan murtad salah seorang (suami atau isteri).

[sunting] Cara melakukan fasakh

• Jika suami atau isteri mempunyai sebab yang megharuskan fasakh


• Membuat aduan kepada pihak kadi supaya membatalkan perkahwinan
mereka
• Jika dapat dibuktikan pengaduan yang diberikan adalah betul, pihak kadi
boleh mengambil tindakan membatalkannya
• Pembatalan perkahwinan dengan cara fasakh tidak boleh dirujuk kembali
melainkan dengan akad nikah yang baru.

[sunting] Khuluk atau tebus talak


Perpisahan antara suami dan isteri melalui tebus talak sama ada dengan menggunakan lafaz talak
atau khuluk. Pihak isteri boleh melepaskan dirinya daripada ikatan perkahwinan mereka jika ia
tidak berpuas hati atau lain-lain sebab. Pihak isteri hendaklah membayar sejumlah wang atau
harta yang dipersetujui bersama dengan suaminya, maka suaminya hendaklah menceraikan
isterinya dngan jumlah atau harta yang ditentukan.

Hukum khuluk adalah berdasarkan surah al-Baqarah ayat 229 : “Tidak halal bagi kamu
mengambil apa-apa yang telah kamu berikan kepada mereka suatu jua pun, kecuali jika takut
kedua-duanya tidak akan mengikut peraturan Allah s.w.t.. Jika kamu takut bahawa tidak akan
mengikut peraturan Allah maka tiadalah berdosa kedua-duanya tentang barang yang jadi tebus
oleh perempuan.”

Talak boleh jatuh dengan menyebut “Saya menceraikan kamu dengan bayaran RM 10,000,” dan
isterinya menjawab, “Saya menerimanya.” Apabila suami melafazkan demikian, dan isterinya
menyahut tawaran itu, dengan serta-merta jatuhlah talak dengan khuluk dan isterinya wajiblah
beridah. Suami isteri hanya boleh merujuk dengan akad nikah baru sahaja.

[sunting] Tujuan khuluk

• Memelihara hak wanita


• Menolak bahaya kemudaratan yang menimpanya
• Memberi keadilan kepada wanita yang cukup umurnya melalui keputusan
mahkamah.
[sunting] Rujuk
Menurut bahasa rujuk boleh didefinisikan sebagai kembali. Manakala menurut syarak, ia
membawa maksud suami kembali semula kepada isterinya yang diceraikan dengan ikatan
pernikahan asal (dalam masa idah) dengan lafaz rujuk.

[sunting] Hukum rujuk


Huku
Penjelasan
m

Bagi suami yang menceraikan isterinya yang belum menyempurnakan


Wajib
gilirannya dari isteri-isterinya yang lain

Hara Suami merujuk isterinya dengan tujuan untuk menyakiti atau memudaratkan
m isterinya itu

Makr
Apabila penceraian lebih baik antara suami dan isteri
uh

Harus Sekirannya rujuk boleh membawa kebaikan bersama

[sunting] Rukun rujuk


Perka
Syarat
ra

Berakal
Suam
Baligh
i
Dengan kerelaan sendiri

Telah disetubuhi
Berkeadaan talak raj’i
Isteri Bukan dengan talak tiga
Bukan cerai secara khuluk
Masih dalam idah

Ucapan yang jelas menyatakan rujuk


Tiada disyaratkan dengan khiar atau pilihan
Lafaz Disegerakan tanpa dikaitkan dengan taklik
atau bersyarat
Dengan sengaja dan bukan paksaan

[sunting] Contoh lafaz rujuk

[sunting] Lafaz sarih


Lafaz terang dan jelas menunjukkan rujuk. Contoh : “Saya rujuk awak kembali” atau “Saya
kembali semula awak sebagai isteri saya.”

[sunting] Lafaz kinayah

Lafaz kiasan atau sindiran. Contoh : “Saya jadikan awak milik saya semula” atau “Saya pegang
awak semula”. Lafaz kinayah perlu dengan niat suami untuk merujuk kerana jika dengan niat
rujuk, maka jadilah rujuk. Namun jika tiada niat rujuk, maka tidak sahlah rujuknya.

Bab Li'an
Ditulis oleh Fani
Kamis, 24 Mei 2007 20:24
1. PENGERTIAN LI’AN DAN KASUS LI’AN

Kata li’an menurut bahasa berarti alla’nu bainatsnaini fa sha’idan (saling melaknat yang terjadi
di antara dua orang atau lebih). Sedang, menurut istilah syar’i, li’an ialah sumpah dengan redaksi
tertentu yang diucapkan suami bahwa isterinya telah berzina atau ia menolak bayi yang lahir dari
isterinya sebagai anak kandungnya, dan kemudian sang isteri pun bersumpah bahwa tuduhan
suaminya yang dialamatkan kepada dirinya itu bohong. (Pengertian ini dikutip dari kitab al-
Mugashshal fi Ahkamil Mar-ah Wal Baitil Muslim Fisy Syari’atil Islamiyah VIII: 320-321,
terbitan Muassasah Risalah Beirut oleh Prof. Dr. Abdul Karim Zaidan).

Apabila seorang laki-laki menuduh isterinya berbuat serong dengan laki-laki lain, kemudian
isterinya menganggap bahwa tuduhannya bohong, maka pihak suami harus dijatuhi hukuman
dera, kecuali dia mempunyai bukti yang kuat atau melakukan li’an. “Dan orang-orang yang
menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri
mereka sendiri, Maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah,
sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar. Dan (sumpah) yang kelima: bahwa
la'nat Allah atasnya, jika dia termasuk orang-orang yang berdusta. Istrinya itu dihindarkan dari
hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah Sesungguhnya suaminya itu benar-benar
termasuk orang-orang yang dusta. Dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya jika
suaminya itu termasuk orang-orang yang benar.” (QS An-Nuur: 6-9).

Dari Ibnu Abbas r.a bahwa Hilal bin Umayyah r.a pernah menuduh isterinya berzina dengan
Syarik bin Sahma' di hadapan Nabi saw. Kemudian Nabi saw bersabda, “Kamu harus dapat
membuktikan, atau (kalau tidak) hukuman had menimpa punggungmu.” Lalu dia berkata, “Ya
Rasulullah, jika seorang di antara kami telah melihat seorang laki-laki berada di atas isterinya,
masihkah dituntut untuk pergi mencari bukti?” maka Beliau pun bersabda, “Kamu harus dapat
membuktikan, dan jika tidak maka hukuman had di punggungmu.” Hilal berkata, “Demi dzat
yang telah mengutusmu dengan membawa kebenaran, sesungguhnya saya benar-benar jujur.
Maka saya harap sudi kiranya Allah menurunkan ayat Qur’an yang bisa membebaskan
punggungku dari hukum dera.” Maka turunlah Malaikat Jibril dan menyampaikan wahyu kepada
Beliau, WALLADZIINA YARMUUNA AZWAAJAHUM (dan orang-orang yang menuduh istri-
isterinya) sampai padat IN KAANA MINASH SHAADIQIN (jika suaminya itu termasuk orang-
orang yang benar). Kemudian Nabi saw beranjak dari tempatnya sambil menyuruh Hilal
menemui isterinya. Kemudian Hilal datang (lagi) kepada Beliau, lalu memberikan kesaksian,
lantas Nabi saw bersabda,

“Sesungguhnya Allah tahu bahwa seorang di antara kamu berdua ini ada yang bohong. Adakah
di antara kalian berdua ini yang mau bertaubat?” Kemudian isterinya bangun lalu memberikan
kesaksiannya. Maka tatkala ia hendak mengucapkan sumpah yang kelima, maka orang-orang
menghentikannya (agar tidak jadi mengucapkan sumpah kelima), dan mereka berkata,
“Sesungguhnya perempuan ini wajib dijatuhi hukuman.” Ibnu Abbas berkata, “Lalu ia (isterinya
itu) pelan-pelan mundur hingga kami menduga ia akan segera kembali.” Kemudian ia berkata,
"Aku tidak akan membuat malu kaumku sepanjang hari." Kemudian terus berlalu begitu. Lantas
Nabi saw bersabda, “Perhatikan dia, jika dia datang dengan membawa bayi yang juling
matanya, besar pinggulnya, dan kedua betisnya besar juga maka ia(bayi itu) milik Syarik bin
Sahma’.” Ternyata dia datang persis yang disabdakan Nabi saw. Kemudian Beliau bersada,
“Kalaulah tidak ada ketetapan di dalam Kitabullah, sudah barang tentu saya punya urusan
dengan dia.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 2098, Fathul Bari VIII: 449 no: 4747, ’Aunul Ma’bud
VI: 341 no: 2237, Tirmidzi V: 12 no: 3229 dan Ibnu Majah I: 668 no: 2067).

2. HUKUM-HUKUM YANG MENIMPA ORANG YANG MELAKUKAN LI’AN

Apabila suami isteri melakukan mula’anah atau li’an, maka berlakukan pada keduanya hukum-
hukum berikut ini :

1. Keduanya harus diceraikan, berdasarkan hadist:


Dari Ibnu Umar r.a , ia berkata, “Nabi saw memutuskan hukum di antara seorang suami
dan isteri dari kaum Anshar, dan menceraikan antara keduanya.” (Muttafaqun ’alaih:
Fathul Bari IX: 458 no: 5314, Muslim II: 1133 no: 9 dan 1494).

2. Keduanya haram ruju’ untuk selama-lamanya.


Dari Sahl bin Sa’d ra, ia berkata, “Telah berlaku sunnah Nabi saw tentang suami isteri
yang saling bermula’anah dimana mereka diceraikan antara keduanya, kemudian mereka
tidak (boleh) ruju’ buat selama-lamanya.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 2104 dan 'Aunul
Ma'bud VI: 337 no: 2233 serta Baihaqi VII: 410).

3. Wanita yang bermula’anah berhak memiliki mahar


Dari Ayyub bin Sa’id bin Jubair, ia bercerita: Saya pernah bertanya kepada Ibnu Umar ra,
"(Wahai Ibnu Umar), bagaimana kedudukan seorang suami yang menuduh isterinya
berbuat serong?" Jawab Ibnu Umar, “Nabi saw pernah menceraikan antara dua orang
yang bersaudara (yaitu suami isteri) dari Bani ’Ajlan, dan Beliau bersabda (kepada
keduanya), “Allah mengetahui bahwa seorang di antara kalian berdua pasti berbohong,
karena itu adakah di antara kalian yang mau bertaubat?” Ternyata mereka berdua
enggan (memenuhi tawaran Beliau). Nabi bersabda lagi, “Allah mengetahui bahwa salah
seorang di antara kalian berdua pasti bohong, karena itu, adakah di antara kalian yang
mau bertaubat?” Ternyata mereka enggan, lalu Nabi pun bersabda, “Allah mengetahui
bahwa salah seorang di antara kalian berdua pasti bohong, karena itu adakah di antara
kalian yang mau bertaubat?” Namun mereka berdua enggan (untuk memenuhi tawaran
Beliau). Maka selanjutnya Beliau menceraikan antara keduanya.” Ayyub berkata,
“Kemudian Amr bin Dinar mengatakan kepadaku, ‘Sesungguhnya di dalam hadist
tersebut ada sebagian yang saya perhatikan belum engkau sampaikan, yaitu laki-laki yang
bermula’anah itu menanyakan, “Mana hartaku (maharku)?” Dijawab (oleh Nabi saw),
“Tidak ada harta (mahar) bagimu. Jika kamu jujur, berarti kamu sudah pernah
bercampur dengannya; jika kamu bohong, maka ia (mahar) itu kian jauh darimu.”
(Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari IX: 456 no: 5311, Muslim II: 1130 no: 1493, ‘Aunul
Ma’bud VI: 347 no: 2240 dan 2241, Nasa’i VI: 177).

4. Anak yang lahir dari isteri yang bermula’anah, harus diserahkan kepada sang isteri
(ibunya).
Dari Ibnu Umar r.a ia berkata, “Sesungguhnya Nabi saw pernah memutuskan untuk
mula’anah antara seorang suami dengan isterinya kemudian ia (suami) dipisahkan dari
anaknya, lantas Beliau menceraikan antara mereka berdua, kemudian anak itu Rasulullah
serahkan kepada isterinya.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari IX: 460 no: 5315, Muslim II:
1132 no: 1494, ‘Aunul Ma’bud VI: 348 no: 2242, Tirmidzi II: 338 no: 1218, Nasa’i VI:
178 dan Ibnu Majah I: 669 no: 2069).

5. Isteri yang bermula’anah berhak menjadi ahli waris anaknya dan begitu juga sebaliknya.
Dari Ibnu Syihab dalam hadist Sahl bin Sa’ad, ia berkata “Menurut Sunnah Nabi saw,
sesudah suami isteri yang bermula’anah dicerai, padahal sang isteri hamil maka anaknya
dinisbatkan kepada ibunya. Kemudian sunnah Beliau saw berlaku mengenai hak
warisnya, dimana ia (ibu tersebut) berhak menjadi ahli waris anaknya dan anaknya pun
berhak menjadi ahli warisnya sesuai apa yang telah Allah tetapkan untuknya.”
(Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari 1X: 452 no: 5309, Muslim II: 1129 no: 1492 dan ‘Aunul
Ma’bud VI: 339 no: 2235).

Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal
Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-
Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 835 - 841.
Bab Khulu
Selasa, 28 Agustus 2007 18:21
Pengertian Khulu’

Menurut bahasa, kata khulu’ berasal dari khala’ ats-tsauba idzaa azzalaba yang artinya
melepaskan pakaian; karena isteri adalah pakaian suami dan suami adalah pakaian isteri. Allah
SWT berfirman, ”Mereka itu adalah pakaian bagimu dan kamu pun pakaian bagi mereka.” (Al-
Baqarah:187).
Para pakar fiqih memberi definisi bahwa khulu’ adalah seorang suami menceraikan isterinya
dengan imbalan mengambil sesuatu darinya.

Dan khulu’ disebut juga fidyah atau if tidak (tebusan) (Fiqhus Sunnah II:253, Manarus Sabil
II:226 dan Fathul Bari IX:395).

Persyaratan Khulu’

Jika persengketaan antara suami isteri kian parah dan tidak mungkin lagi diambil langkah-
langkah kompromistis supaya mereka bersatu kembali atau pihak isteri sudah menggebu-gebu
untuk bercerai dengan suaminya, maka ia boleh menebus dirinya dari kekuasaan suaminya
dengan menyerahkan sejumlah harta kepadanya sebagai ganti dari buruknya keadaan yang
menimpa suaminya karena bercerai dengannya, Allah SWT berfirman, ”Dan tidak halal bagi
kamu mengambil dari sesautu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya
(suami isteri) khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa
atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya.” (Al-
Baqarah:229).

Dari Ibnu Abbas r.a. berkata, Isteri Tsabit bin Qais bin Syammas datang kepada Nabi saw. lalu
bertutur, ”Ya Rasulullah, aku tidak membenci Tsabit karena, imannya dan bukan (pula) karena
perangainya, melainkan sesungguhnya aku khawatir kufur.” Kemudian Rasulullah saw. bersabda,
”Maka mau engkau mengembalikan kebunnya kepadanya?” Jawabnya, ”Ya (mau)” kemudian ia
mengembalikannya kepadanya dan selanjutnya beliau menjawab suaminya (Tsabit) agar
mencerainya.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil no:2036 dan Fathul Bari IX:395 no:5276).

Peringatan Keras Terhadap Masalah Khulu’

Dari Tsauban r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Setiap wanita yang mau talak kepada
suaminya tanpa alasan yang dibenarkan agama, maka haram baginya mencium seberbak
surga.” (Shahih: Shahihul Ibnu Majah no:1682, “Aunul Ma’bud VI:308, no:2209, Ibnu Majah
I:662 no:20555 dan Tirmidzi II:329 no:1199).

“Darinya (Tsauban) r.a. dari Nabi saw. beliau bersabda, “Wanita-wanita yang melakukan khulu’
adalah wanita-wanita munafik.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no:6681 dan Tirmidzi II:329
no:1198).

Peringatan Keras Bagi Para Suami Agar Tidak Mempersulit Isterinya

Manakala seorang suami tidak senang kepada isterinya dan benci kepadanya karena suatu hal,
maka hendaklah mentalaknya dengan cara yang ma’ruf sebagaimana yang diperintahkan Allah
SWT. Ia tidak boleh manahannya dan mempersulitnya untuk menebus dirinya sendiri. Allah
SWT berfirman, ”Dan apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir
iddahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang ma’ruf, atau ceraikanlah mereka dengan
cara yang ma’ruf (pula). Janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena
dengan demikian kamu menganiaya mereka. Barangsiapa berbuat demikian maka sungguh ia
telah berbuat zhalim terhadap dirinya sendiri. Janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah
sebagai permainan. Dan ingatlah ni’mat Allah padamu, dan apa yang telah diturunkan Allah
kepadamu yaitu al-Kitab dan al-Hikmah. Allah memberi pengajaran kepada engkau dengan apa
yang diturunkan-Nya itu. Dan bertakwalah kepada Allah serta ketahuilah bahwasannya Allah
Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Al-Baqarah:231).

Dan, Allah SWT berfirman, ”Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu
mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena
hendak mengambil kembali sebagai dari apa yang telah kamu berikan kepadanya terkecuali bila
mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut.
Kemudian jika kamu tidak menyukai mereka (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak
menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (An-Nisaa’:19).
Khulu’ Adalah Fasakh, Bukan Talak

Jika seorang isteri telah menebus dirinya dan dicerai oleh suaminya. Maka ia berkuasa penuh atas
dirinya sendiri, sehingga suaminya tidak berhak untuk rujuk kepadanya, kecuali dengan ridhanya
dan perpecahan tidak dianggap sebagai talak meskipun dijatuhkan dengan redaksi talak. Namun
ia adalah perusakan akad nikah demi kemaslahatan sang isteri dengan balasan menebus dirinya
kepada suaminya.

Ibnul Qayyim r.a. menulis sebagai berikut, ”Dan yang menunjukkan khulu’ bukan talak adalah
bahwa Allah SWT telah menetapkan tiga ketentuan yang berlaku pada talak terhadap (isteri) yang
telah dikumpuli jika talak tersebut telah mencapai talak tiga. Ketetapan-ketetapan itu, tidak pada
khulu’.

Pertama: Suamilah yang lebih berhak rujuk kepada isterinya dalam masa iddah.

Kedua: Talak maksimal tiga kali, sehingga setelah terjadi talak ketiga, isteri tidak halal bagi
suaminya, terkecuali ia kawin lagi dengan suami kedua dan pernah bercampur dengannya.

Ketiga: Iddah yang berlaku dalam talak terdiri atas tiga kali quru’ (bersih dari iddah).

Sementara itu, telah sah berdasarkan nash (ayat Qur-an ataua hadits) dan ijma’ (kesepatakan)
bahwasanya tidak sah istilah rujuk dalam khulu’.

Dan, sudah sah berdasar sunnah Nabi saw dan pendapat para shahabat bahwa iddah untuk khulu’
hanya satu kali haidh.

Demikian pula telah sah juga berdasar nash syar’i bahwa boleh melakukan khulu’ setelah talak
kedua dan talak ketiga.

Ini jelas sekali menunjukkan bahwa khulu’ bukanlah talak. Oleh sebab itu Allah SWT
menegaskan, ”Talak (yang dapat dirujuk) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan

Cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik dan tidak halal bagi kamu
mengambil kembali dari sesuatu yang pernah kami berikan pada mereka kecuali kalau keduanya
khawatir tidak akan dapat melaksanakan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa
keduanya (suami istri) tidak dapat mejalangkan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas
keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya.” (Al-Baqarah:229).

Dan ini tidak dikhususkan bagi wanita yang telah ditalak dua kali, karena hal ini ia mencakup
isteri yang dicerai dua kali. Tidak boleh dhamir (kata ganti). Itu kembali kepada oknum, yang
tidak disebutkan dalam ayat di atas dan meninggalkan oknum yang disebutkan dengan jelas akan
tetapi mungkin dikhususkan bagi oknum yang pernah disebutkan sebelumnya atau meliputi juga
selain yang sudah disebutkan sebelumnya. Kemudian Allah SWT berfirman, ”Kemudian jika
suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua) maka perempuan itu tidak halal lagi baginya.”
(Al-Baqarah:230).

Ayat al-Qur’an ini meliputi perempuan yang dicerai setelah khulu’ dan setelah dicerai, dua kali
secara qath’i (pasti) karena dialah yang disebutkan dalam ayat di atas. Maka ia (wanita yang di
khulu’) harus masuk ke dalam kandungan lafazh ayat tersebut. Demikianlah yang difahami Imam
Ahli tafsir Ibnu Abbas r.a. yang pernah dido’akan oleh Rasulullah saw. agar Allah mengajarinya
tafsir Qur’an. Dan pasti doa itu terkabul, tanpa keraguan. Manakala hukum-hukum yang berlaku
dalam khulu’ berlainan dengan hukum-hukum talak maka hal itu menunjukkan bahwa keduanya
berlainan. Jadi inilah yang sesuai dengan ketentuan na’ah, qiyas, dan dengan pendapat para
shahabat Nabi saw. (Zaadul Ma’ad V:199).

Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal
Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-
Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 636 - 641.
Bab Iddah
Kamis, 30 Agustus 2007 16:54
Pengertian Iddah

Menurut bahasa, kata iddah berasal dari kata ’adad (bilangan dan ihshaak (perhitungan), seorang
wanita yang menghitung dan menjumlah hari dan masa haidh atau masa suci.
Menurut istilah, kata iddah ialah sebutan/nama bagi suatu masa di mana seorang wanita
menanti/menangguhkan perkawinan setelah ia ditinggalkan mati oleh suaminya atau setelah
diceraikan baik dengan menunggu kelahiran bayinya, atau berakhirnya beberapa quru’, atau
berakhirnya beberapa bulan yang sudah ditentukan.

Macam-Macam Masa Iddah

Barangsiapa yang ditinggal mati suaminya, maka, iddahnya empat bulan sepuluh hari, baik sang
isteri sudah dicampuri ataupun belum. Hal ini mengacu pada firman Allah SWT, ”Orang-orang
yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu)
menangguhkan dirinya (beriddah) empat bulan sepuluh hari.” (Al-Baqarah :234).

Terkecuali isteri yang sudah dicampuri dan sedang hamil, maka masa iddahnya sampai
melahirkan, ”Dan wanita-wanita yang hamil, waktu iddah mereka itu adalah sampai mereka
melahirkan kandungannya.” (At-Thalaq : 4).

Dari al-Miswar bin Makhramah bahwa, Subai’ah al-Aslamiyah r.a. pernah melahirkan dan
bernifas setelah beberapa malam kematian suaminya. Lalu ia, mendatangi Nabi saw lantar
meminta idzin kepada Beliau untuk kawin (lagi). Kemudian Beliau mengizinkannya, lalu ia
segera menikah (lagi). (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari IX:470 no:5320 dan Muslim II:1122
no:1485).

Wanita yang ditalak sebelum sempat dicampuri, maka tidak ada masa iddah baginya, berdasarkan
pada firmannya Allah SWT berfirman, ”Hai orang-orang yang beriman, ’apabila kamu
menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu
mencampurinya, maka sekali-kali tidak wajib atas mereka iddah bagimu yang kamu minta,
menyempurnakannya.” (Al-Ahzaab:49).

Sedang wanita yang ditalak yang sebelumnya sempat dikumpuli dan dalam keadaan hamil maka,
masa iddahnya ialah ia melahirkan anak yang diakndungnya. Allah SWT berfirman, ”Dan
wanita-wanita hamil, waktu iddah mereka itu adalah sampai mereka melahirkan
kandungannya.” (At-Thalaq:4).

Dari az-Zubair bin al-Awwam r.a. bahwa ia mempunyai isteri bernama Ummu Kultsum bin
’Uqbah radhiyallahu ’anha. Kemudian Ummu Kultsum yang sedang hamil berkata kepadanya,
”Tenanglah jiwaku (dengan dijatuhi talak satu).” Maka az-Zubir pun menjatuhkan padanya talak
satu. Lalu dia keluar pergi mengerjakan shalat, sekembalinya (dari shalat) ternyata isterinya
sudah melahirkan. Kemudian az-Zubir berkata: ”Gerangan apakah yang menyebabkan ia
menipuku, semoga Allah menipunya (juga).” Kemudian dia datang kepada Nabi saw lalu beliau
bersabda kepadanya, ”Kitabullah sudah menetapkan waktunya; lamarlah (lagi) di kepada
dirinya.” (Shahih: Shahih Ibnu Majah no:1546 dan Ibnu Majah I:653 no:2026).

Jika wanita yang dijatuhi talak termasuk perempuan yang masih berhaidh secara normal, maka
masa iddahnya tiga kali haidh berdasarkan Firman Allah SWT, ”Wanita-wanita yang ditalak
hendaklah menahan diri (menunggu tiga kali quru’).”. (Al-Baqarah :228).

Kata quru’ berarti haidh. Hal ini mengacu pada hadits Aisyah r.a. bahwa Ummu Habibah r.a.
sering mengeluarkan darah istihadhah(darah yang keluar dari wanita karena sakit atau lainnya),
lalu dia bertanya kepada Nabi saw. (mengenai hal tersebut). Maka Beliau menyuruh
meninggalkan shalat pada hari-hari haidhnya. (Shahih Lighairih: Shahih Abu Daud no:252 dan
’Aunul Ma’bud I:463 no:278).

Jika wanita yang dijatuhi talak itu masih kecil, belum mengeluarkan darah hadih atau sudah lanjut
usia yang sudah manopause (berhenti masa haidh), maka iddahnya adalah tiga bulan lamanya.
Allah swt berfirman, ”Dan perempuan-perempuan yang tidak haidh lagi (manopause) diantara
isteri-isteri kaian jika ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga
bulan. Begitu pula perempuan-perempuan yang belum haidh.” (At-Thalaq:4).

Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal
Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-
Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 642 – 645.

You might also like