You are on page 1of 62

PRESSURE ULCERS

CECEP E. K., SKp.,MNS


Patofisiologi
 Disebut juga bedsores, decubitus, pressure sore. Inti
dari luka tekan adalah luka akibat tekanan yang lama
pada kulit
 Berat tubuh menekan kapiler melawan tempat
tidur/kursi khususnya tulang-tulang yang menonjol
 Mengakibatkan anoksia jaringan yang dimulai 20 –
40’
 Disebabkan oleh bidai yang ketat, traksi/alat lainnya,
immobilisasi, menurunnya sirkulasi darah, gangguan
sensori/fungsi saraf
Patofisiologi
 Kekuatan mekanik (tekanan, gesekan,
lipatan)  luka tekan
 Tingkat tekanan pada orang sehat: 25 – 32
mmHg. Ketika adanya tekanan yang
mengenai kulit > tekanan kapiler 
gangguan metabolisme sel  menurunnya
suplai darah, iskemia jaringan luka tekan
Patofisiologi
 Friksi merupakan gesekan pada permukaan kulit 
“sheet burn”
 Terjadi ketika menggerakan tubuh tanpa mengangkat
linen dan menggesek kulit
 Lipatan, terjadi saat ganti posisi atau adanya tarikan
tanpa diikuti dengan penarikan sprei kulit dan
jaringan subkutan menjadi diam sedangkan lemak,
otot dan tulang bergerak sesuai dengangerakan tubuh
kerusakan jaringan dalam
Patofisiologi
 Manula beresiko terhadap luka tekan
karena perubahan kulit akibat proses
menua  sedikit bantalan dan tekanan
yang besar pada kapiler
 Obesitas  jaringan adiposa mempunyai
sedikit vaskularisasi  mudah iskemia.
Gangguan sirkulasi perifer  kulit > mudah
iskemia
Pencegahan
 Bersihkan secara lembut dengan menggunakan sabun
yang lembut setiap hari
 Untuk mengurangi friksi  setelah mandi lembabkan
kulit  untuk mencegah kekeringan; lipatan kulit,
lutut, diantara jari
 Jangan memasase kulit yang kemerahan  pembuluh
darah rusak akibat masase / ketika ada iskemi
 Tekanan pada kulit dihindarkan, ajarkan pasien untuk
rubah posisi tiap 15’
 Lakukan akti dan pasif ROM
Pencegahan
 Jika pasien bedrest, ganti posisi tiap 2 jam tapi lebih
sering > baik kaena iskemia mulai setelah 20 – 40’
tekanan, posisi 30o dari trochanter
 Bila duduk dikursi perubahan posisi tiap jam
 Lindungi siku, sakrum, skapula, telinga dan oksipital
dari tekanan
 Donat / gulungan kain yang melingkar sebaiknya
tidak digunakan  menyebabkan tekanan sirkuler
yang dapat memotong sirkulasi di sekitar jaringan 
meningkatkan iskemia
Pencegahan
 Berikan kasur yang dapat menguragi
tekanan
 Hindari friksi, gunakan kain untuk
mengangkat pasien, berikan tali untuk
menarik sendiri
 Cegah malnutrisi dan dehidrasi  yakinkan
cukup protein, kalori, dan cairan: 2500
cc /hari jika tidak ada KI
Tanda dan gejala
 Letak luka terutama pada sakrum,
kepala, siku, trochanter
 Nyeri pada daerah luka
 Luka berwana kuning dan hitam 
jaringan mati harus dianggkat supaya
tidak infeksi  pengobatan efektif
Komplikasi
 Infeksi luka
 Luka baru lebih dalam
 Luka tidak sembuh lama nyeri
Test diagnostik
 Kultur (apus dan test sensitivitas)
 Biopsi
Treatment medik
 Tergantung ukuran, kedalaman, tingkat
luka. Treatment dasar: debridement,
pembersihan dan balutan
 Debridement
 Nonsugical debidement; mekanikal, enzymatik,
autolytik
 Surgical ebridement; jika terjadi sepsis / celuitis
dan eschar yang luas
Treatment medik
Pembersihan luka
 Irigasi 30 cc engan tekanan 4-1 psi
 Hati-hati jangan sampai
trauma/perdarahan
 Setelah dibersihkan  balut
 Luka sembuh pada lingkungan yang
lembab
Treatment medik
Balutan luka
 Tergantung ukuran lokasi,
kedalaman, tingkatan luka dan
intruksi
 Menggunakan hydrogel dessing,
polyurethane film, hydrocoloid wafer,
biologic dressing, alginate, dan kassa.
 Hypoalergenic
Proses keperawatan
 Pengkajian
 Status luka, penyebab
 Monitor faktor resiko; immobility, incontinence,
inadekuat nurisi & hidrasi
 Gunakan film transparan untuk mengukur daerah luka
 Kedalaman luka
 Eksudat
 Granulasi
Tingkatan luka tekan
1. kulit masih baik, ada kemerahan, hangat, perubahan
wana
2. kerusakan kulit partial thickness: kehilangan epidermis,
dermis, tampak abrasi, berbentuk seperti danau dangkal/
blister
3. kehilangan kulit full thickness: kehilangan subkutan,
tidak sampai fascia, berbentuk seperti danau yang lebih
dalam dan muncul eschar
4. kehilangan kulit full thickness dengan kerusakan otot,
tulang, struktur penyokong seperti tendon, mungkin ada
terowongan
Diagnosa keperawatan
 Gangguan integritas kulit b.d.
immobility, tekanan pada permukaan
kulit
 Resiko injury b.d. luka terbuka
 Nyeri b.d.luka
 Tidak efektifnya koping b.d. kondisi
kronis dari luka
Implementasi
 Kaji luka, warna, diameter tiap hari
 Kaji penyebab
 Bersihkan luka dengan hati-hati
 Debridement
 Balut luka
 Ganti posisi untuk pasien immobilisasi
2 jam
Implementasi
 Monitor suhu
 Lakukan tindakan a dan antiseptik
 Kaji tingkat nyeri
 Analgetik
 Tuunkan cemas dengan teknik relaksasi
(distraksi, musik)
 Lingkungan nyaman; posisi, suhu ruangan,
privacy
Cellulitis
Patofisiologi dan etiologi
 Peradangan pada sel kulit/selluler/ jaringan
konektif akibat dari infeksi secara umum
biasanya akibat stapilococus / streptococus.
 Akibat trauma kulit, infeksi bakteri
sekunder luka terbuka seperti luka tekan 
sering terjadi pada ekstremitas bawah
Pencegahan
 Hygiene yang baik, cegah
kontaminasi silang
 Jika ada luka  cegah infeksi dan
tingkatkan penyembuhan luka
Tanda dan gejala
 Tanda awal: radang daerah yang
terlokalisir  dapat pula menyebar
jika tidak diobati secara baik
 Hangat, kemerahan, edema
setempat, nyeri, demam,
lymphadenopati
Test diagnostik
 Test sensitifitas dan pus
 Kultur darah
Tindakan medis
 Antibiotik topikal dan sistemik
 Debridement non invasif
 Antibiotik sistemik diberikan jika ada
demam dan lymphadenophati
Tindakan keperawatan
 Kaji riwayat trauma kulit
 Daerah terkena ditinggikan
 Analgesik dan kompres hangat
 Antibiotik diberikan sesuai dengan
instruksi
 Standard precaution; cuci tangan
HERPES SIMPLEX

CECEP E.KOSASIH, SKp.,MNS


PATOFISIOLOGI
 Penyebab Herves simplex virus (HSV) :
 cenderung berulang.
 Terdapat dua jenis virus: virus tipe I
(HSV1) biasa mengenai diatas
pinggang dan menyebabkabn demam
blister atau demam luka.
 Tipe II (HSV-2) mengenai daerah
dibawah pinggang dan menyebabkan
herpes genital
PATOFISIOLOGI
 Infeksi terutama terjadi akibat kontak
langsung
 droplet atau terpapar cairan dari
orang yang terkena.
 Virus bersifat dormant dan tinggal
dalam ganglia saraf sehingga sistem
tubuh tidak dapat menghancurkannya
 pasien asymptomatik
PATOFISIOLOGI
 Dirangsang oleh demam, terbakar
matahari, stress, menstruasi, penyakit,
fatigue atau injury.
 Lesi sekunder muncul setempat, atau group
vesikel kecil-kecil atau pustula pada dasar
yang kemerahan.
 Krusta kadang-kadang muncul, dan lesi
sembuh dalam 1 minggu.
 Lesi bersifat menular 2 – 4 hari sebelum
bentuk krusta .
PENCEGAHAN
 Hindari kontak dengan lesi yang
diketahui infeksi
 Pasien diajari untuk tidak
menggunakan alat bersama-sama
 Hindari stressor seperti terbakar
matahari, injury, fatigue
 Gunakan pelindung matahari
TANDA DAN GEJALA
 Fase prodromal mengalami rasa terbakar
pada derah yang terkena sebelum terjadi
erupsi
 Erytema dan bengkak
 Vesikel dan pustula timbul dalam waktu 1-
2 hari
 Dapat pula timbul kemerahan tanpa blister
 Lesi panas, gatal dan nyeri
 Lesi menular sampai kerompeng terbentuk
KOMPLIKASI
 Bila timbul pada vagina pada saat
melahirkan dapat menular pada bayi
yang dilahirkan (meningochepalitis)
 Bila tangan mengenai lesi kemuia
meraba mata maka akan terjadi
infeksi yang berat
TES DIAGNOSTIK
 Kultur
 Didasarkan pada riwayat, tanda dan
gejala
PENGOBATAN
 Salep topikal acyclovir (zoovirax) untuk
menekan multiplikasi vesikel pada lesi primer
 Oral acyclovir untuk serangan berat / sering
mendapat serangan (6 kali/lebih dalam
setahun) atau pasien yang mengalami
gangguan immune
 Lotion, cream, dan salep untuk membantu
penyembuhan lesi
 Antibiotik igunakan bila ada infeksi sekunder
TINDAKAN KEPERAWATAN
 Penkes tentang penyakit dan
kekambuhan
 Informasikan kapan klien dapat
menularkan ke orang lain atau ke
organ lain
HERPES ZOOSTER
PATOFISIOLOGI
 Merupakan peradangan akut dan penyakit
infeksi yang menghasilkan rasa nyeri pada
erupsi vesikel dengan plak yang bengkak dan
merah sepanjang distribusi saraf dari satu
atau lebih ganglia posterior.
 Erupsi ini mengikuti jalur saraf sensory cutan
dan lebih sering pada satu sisi (unilateral)
 Disebabkan oleh virus varicella zooster.
 Virus ini identik dengan penyebab chickenpox
PATOFISIOLOGI
 Masa inkubasi 7-21 hari,
 vesikel muncul 3-4 hari.
 Erupsi biasanya terjadi pada daerah
posterior, berkembang ke anterior bagian
perifer sepanjang dermatome.
 Lamanya penyakit ini sekitar 10 hari – 5
minggu
 Penyakit ini umumnya terjadi pada orang
yang lebih tua dan mereka yang mengalami
gangguan immun seperti AIDS, pasien yang
mendapatkan obat immunosuppresan,
pasien kanker atau injury spinal/saraf kranial
Pencegahan
 Hindari orang dengan penyakit ini
selama fase penularan (beberapa hari
sebelum erupsi sampai vesikel
kering/kerompeng)
TANDA DAN GEJALA
 Vesikel dan plak
 Iritasi
 Gatal
 Demam
 Malaise
 Tergantung lokasi lesi
 Melibatkan organ dalam
 Lesi nyeri
KOMPLIKASI
 Posthepatik neuralgia,
 nyeri persisten dematome,
 hyperestesia, dalam beberapa minggu atau bulan,
 herpes zooster optalmik dapat berdampak terhadap
saraf kranial 5.
 gangguan saraf kranial 7 dan 8 menyebabkan
gangguan penengaran, tinitus, paralisis muka, dan
vertigo, nekrosis full thickness dan scar dapat timbul
jika penyembuhan tidak sempurna.
 Infeksi sistemik akibat garukan menyebabkan virus
masuk ke aliran darah.
TES DIAGNOSTIK
 Ditentukan oleh gambaran klinik dan
tanda dan gejala,
 kultur jika ada infeksi sekunder
PENGOBATAN
 Pencegahan wabah, mengurangi nyeri dan
ketidaknyamanan, cegah komplikasi.
 Acyclovir iv, oral atau topikal.
 Acyclovir tidak mengobati, tetapi membantu
mengendalikan terjadinya penyebaran wabah,
 Analgetik,
 Kortikosteroid untuk mencegah postherpetic
neuralgia.
 Kortikosteroid topikal sebaiknya tidak diberikan jika
ada infeksi sekunder karena akan menghambat
sistem immune,
 Antihistamin untuk mengendalikan gatal,
 Antibiotik untuk infeksi sekunder
TINDAKAN PERAWATAN
 Tindakan pencegahan yang tepat selama
fase penularan,
 Kompres ingin 2-3 kal/hari untuk
membantu membersihkan lesi dan
mengurangi gatal,
 Hiperestesia ikurangi dengan pengunaan
stoking, dibungkus, t-shirt yang dapat
memberikan tekanan halus yang kontinue,
 Tindakan lain yang dapat meningkatkan
rasa nyaman
LUKA BAKAR
 Sangat muda/manula resti luka bakar
 Gangguan immun resti mortality
.
Pathophysiology of Burns
 LB disebabkan o/ transfer energi panas ke tubuh 
konduksi/radiasi
 Kategori LB: thermal, radiasi, or kimia. Kerusakan
jaringan akibat koagulasi, denaturasi protein, atau
ionisasi sel. Kulit dan mukosa sal nafas mrp tempat
kerusakan jar
 Jar. Yg dalam: viscera dpt rusak oleh LB listrik/kontak
yg lama dg panas  kerusakan kulit  kehilangan
cairan, infecsi, hypothermia, skar, ggn immun dan
perubahan fungsi, penampilan dan body image.
 Beratnya injury tgt suhu dan lamanya kontak.mis;
untuk dewasa 1 detik kontak dg air panas 68.9 C dapat
merusak epidermis dan dermis, meyebabkan
fullthickness injury (derajat 3). 15 detik terpapar air
panas 56.1 C menyebabkan kerusakan sama dengan
full-thickness injury..
CLASSIFICATION OF BURNS
Extent of Body Surface Area
Injured
Extent of Body Surface Area
Injured
 RULE OF NINES
 LUND AND BROWDER METHOD
 Lebih sempurna dlm menghitung
prosentasi TBSA
 PALM METHOD
 Menggunakan telapak untuk menghitung
luas sekitar 1% TBSA.
RULE OF
NINES
LOCAL AND SYSTEMIC
RESPONSESTO BURNS
 Cardiovascular Response
 Hypovolemia, Cardiac output menurun,
sympathetic nervous systemmelepaskan
catecholamines vasoconstriction dan
meningkatnya HR, Peripheral
vasoconstriction. contractility Myocardial
menurun.  shock distributive
 Umumnya kehilangan cairan terjadi pada
24 - 36 jam setelah LB
 Burn Edema
 Bengkak setelah LB
Effects on Fluids, Electrolytes,
and Blood Volume
 Evaporasi cairan melalui luka  3 - 5 L
/lebih, kadar sodium tergantung resusitasi
cairan.biasanya hyponatremia pd fase
akut. Setelah LB 
 hyperkalemia (kelebihan potassium)akibat
kerusakan sel berat bbrp sel darah merah
rusak  anemia. Hematocrit meningkat.
Terjadi hemolysis anemia.
 Abnormal pd koagulasi  menurunya
platelets (thrombocytopenia) dan
memanjangnya pembekuan dan
prothrombin times.
Pulmonary Response
 Inhalation injury
 Disoriented or unconscious.
 Bronchoconstriction krn pelepasan
histamine, serotonin, dan
thromboxane
 Keracunan carbon monoxide;
restrictive defects.
 carbon monoxide is 200 times greater
than that for oxygen
Indikator kerusakan paru
 LB pada muka dan leher
 Rambut hidung terbakar
 Serak, perubahan suara, batuk kering,
stridor
 Sputum mengandung darah
 Sesak Nafas/cepat
 Hypoxemia
 Erythema & blistering pada mukosa oral
dan pharyngeal
Other Systemic Responses
 Renal
 immunologic
 Loss of skin
 gastrointestinal complications
paralytic ileus (absence of intestinal
peristalsis) and Curling’s ulcer
EMERGENT/RESUSCITATIVE
PHASE
 AIRWAY,
 BREATHING,
 CIRCULATION
MANAGEMENT OF FLUID LOSS AND
SHOCK
 Fluid Replacement Therapy
 Fluid Requirements
 The following example illustrates use of the
formula in a 70-kg (168-lb) patient with a
50% TBSA burn:
1. Consensus formula: 2 to 4 mL/kg/%
TBSA
2. 2 x 70 x 50 = 7,000 mL/24 hours
3. Plan to administer: First 8 hours
=3,500 mL, or 437 mL/ hour; next 16
hours =3,500 mL, or 219 mL/hour
Nursing Management:
 Emergent/Resuscitative Phase
 Infection Prevention
 Wound Cleaning
 Topical Antibacterial Therapy
 silver sulfadiazine (Silvadene), silver
nitrate, and mafenide acetate
(Sulfamylon).
 Wound Dressing
 Wound Débridement
 NATURAL DÉBRIDEMENT
 MECHANICAL DÉBRIDEMENT
 SURGICAL DÉBRIDEMENT
 Grafting the Burn Wound
 Pain Management
 Nutritional Support
DISORDERS OF WOUND
HEALING
 Scars
 Keloids
 Failure to Heal
 Contractures
Emergency treatment
 Extinguish the flames
 Cool the burn
 Remove restrictive objects
 Cover the wound
 Irrigate chemical burns

You might also like