You are on page 1of 4

Tantangan IMF, Berubah atau Punah

Kompas, Kamis, 7 Mei 2009 | 02:57 WIB


Oleh Berly Martawardaya
Pada September 2007, Managing Director IMF Dominique Strauss-Kahn menyatakan,
IMF mengalami krisis identitas.
Para klien utama IMF, yaitu Argentina, Brasil, Indonesia, dan Turki telah melunasi
utangnya. Pinjaman IMF ke negara berkembang yang merupakan sumber pendapatan
utama lembaga turun drastis 91 persen sehingga perlu dilakukan penghematan biaya
operasi 100 juta dollar AS. Pasar modal global lebih dilirik negara berkembang karena
bebas dari berbagai persyaratan berat IMF.
Krisis finansial global pada akhir 2008 mengembalikan relevansi IMF seiring dengan
mengeringnya sumber modal swasta. Pertemuan G-20 di London menaikkan dana IMF
tiga kali menjadi 750 miliar dollar AS dengan 6 miliar dollar AS dialokasikan untuk
negara miskin.
IMF juga diberi mandat untuk memberikan early warning terhadap risiko krisis finansial
dan makroekonomi, juga mengeluarkan rekomendasi kebijakan untuk menghindarinya.
Pertemuan pimpinan IMF, Bank Dunia, dan para menteri keuangan yang berlangsung 24-
26 April lalu adalah kesempatan untuk melakukan introspeksi dan redefinisi peran.
Berubah dan belajar
Salah satu indikator utama berubahnya IMF adalah apakah terjadi revisi kebijakan.
Ketika Mahathir Mohamad menerapkan kebijakan capital control di Malaysia, sejumlah
kecaman dan prediksi negatif diluncurkan IMF. Capital control berperan besar menjaga
stabilitas dan pertumbuhan ekonomi Malaysia.
Menghadapi krisis finansial di Eslandia pada September 2008, salah satu komponen inti
program stabilisasi rancangan IMF adalah capital control.
Resep standar IMF adalah Structural Adjustment Programs (SAP) yang menaikkan suku
bunga, menurunkan inflasi, dan menekan defisit demi menarik dana internasional. Suku
bunga di Indonesia tahun 1998 sempat melebihi 50 persen yang melemahkan sistem
perbankan tanpa capital inflow yang signifikan.
Pengurangan defisit acap kali dilakukan dengan memotong anggaran pendidikan,
kesehatan, dan berbagai subsidi pertanian. Tak heran pergolakan sosial dan kejatuhan
pemerintah kerap mengikuti penerapan program IMF.
Stiglitz, peraih Nobel Ekonomi dan mantan Chief Economist Bank Dunia, menyatakan
dalam Globalization and Its Discontent bahwa IMF lebih mengutamakan selamatnya
pinjaman swasta daripada kondisi rakyat miskin.
Kebijakan negara maju pada masa krisis adalah kebalikan dari program SAP. Suku bunga
diturunkan, bahkan sampai mendekati nol, dan stimulus ekonomi menyebabkan defisit
melonjak drastis. Tidak ada negara maju yang memotong subsidi kesehatan, pendidikan,
dan jaminan sosial mereka.
IMF telah mengeluarkan program baru bernama Flexible Credit Line (FCL), pinjaman
dan bantuan likuiditas tanpa persyaratan ala SAP. Bahkan, pinjaman itu boleh tidak
dicairkan sehingga kredibilitas dan kepercayaan internasional bisa diperoleh dengan
biaya minimal. Meksiko adalah peminjam pertama FCL sebesar 47 miliar dollar AS.
Ingin menjadi fosil?
Masalah besar IMF adalah tidak berimbangnya hak suara anggota. Pembagian dilakukan
berdasarkan proporsi kekuatan ekonomi pasca-Perang Dunia II. Brasil dengan total GDP
sekarang empat kali lipat Belgia justru memiliki hak suara lebih kecil. China memiliki
hak suara yang sama dengan Kanada, padahal ekonominya enam kali lebih besar.
Total suara negara G-7 ditambah Belgia, Belanda, dan Swiss melebihi 60 persen sehingga
tidak akan ada keputusan yang merugikan negara maju. Tak heran negara berkembang
enggan percaya dan memperkuat IMF.
IMF juga belum sepenuhnya tobat. Pinjaman yang baru diberikan IMF ke Latvia dan
Ukraina masih mensyaratkan pemangkasan defisit gaya paradigma lama. Pada sisi lain,
IMF tidak memberikan sanksi apa pun terhadap Amerika Serikat yang menjadi penyebab
krisis global dan defisitnya menembus 10 persen GDP.
Perlu tameng
Negara berkembang tetap memerlukan tameng menghadapi krisis dan spekulan. Idealnya
ada global lender of last resort yang bisa memberi likuiditas cepat dengan prinsip tanpa
batas (freely), sementara (temporary), dan berbiaya premium (with penalty).
Ketiadaan lembaga itu mendorong ASEAN beserta Jepang, Korea Selatan, dan China
(ASEAN+3) membentuk Chiang Mai Inisiatif (CMI) dengan total dana 120 miliar dollar
AS. Perjanjian bilateral swap agreement telah ditandatangani negara ASEAN+3 untuk
memperkuat ketahanan ekonomi.
Asia telah memiliki solusi tersendiri terhadap permasalahan bersama, tinggal masalah
waktu sampai wilayah lain menyusul. IMF perlu berubah secara mendasar atau bersiap
menjadi fosil sejarah.
Berly Martawardaya Dosen FE-UI; Aktivis NU Profesional Circle
CMIM
ASEAN Ingin Tutup Kelemahan IMF
Kamis, 7 Mei 2009 | 04:11 WIB
Nusa Dua, Kompas - Meski telah membentuk mekanisme pendanaan moneter sejenis, 13
negara yang tergabung dalam kerja sama ASEAN Plus 3 berikrar tidak akan menyaingi
Dana Moneter Internasional.
Mekanisme pendanaan moneter sejenis itu adalah Inisiatif Chiang Mai yang
Dimultilateralisasi (CMIM). CMIM diharapkan menutup kelemahan IMF.
”CMIM akan mendorong reformasi di IMF agar lebih cepat dan efektif,” kata Ketua
Dewan Gubernur Bank Pembangunan Asia Sri Mulyani Indrawati, yang juga Menteri
Keuangan dan Pelaksana Jabatan Menko Perekonomian RI, di Nusa Dua, Bali, Selasa
(5/5) malam.
Dia menjelaskan, CMIM dibuat untuk membuat hubungan sehat dengan IMF, yang
basisnya masih dikuasai Amerika Serikat.
CMIM adalah kesepakatan yang disetujui 10 negara anggota ASEAN ditambah Korea
Selatan, Jepang, dan China. Kesepakatan itu berupa perjanjian tukar-menukar valuta
asing yang bisa dimanfaatkan 13 negara tersebut, jika terjadi masalah pada neraca
pembayarannya. Nilai valuta asing yang bisa dipertukarkan 120 miliar dollar AS.
Sebagai itikad baik terhadap keberadaan IMF, ASEAN+3 tetap melibatkan IMF dalam
pengawasan CMIM. Dengan adanya CMIM, negara-negara ASEAN+3 bisa menarik
likuiditas dari CMIM, dengan maksimal masa pengembalian 360 hari.
Dalam CMIM, Indonesia diwajibkan memberikan kontribusi dana yang bisa ditarik
sewaktu- waktu 4,77 miliar dollar AS, sama seperti Malaysia, Thailand, dan Singapura.
Dengan demikian, Indonesia berkesempatan menarik likuiditas maksimal 11,95 miliar
dollar AS, atau 2,5 kali dari kontribusinya.
Menurut Sri Mulyani, cadangan likuiditas itu menjadi pertahanan kedua menghadapi
krisis global. Pertahanan pertama adalah cadangan devisa Indonesia.
Selain membentuk CMIM, ASEAN+3 juga sepakat membentuk Credit Guarantee and
Investment Mechanism, yakni fasilitas pembiayaan senilai 500 juta dollar AS, yang
diberikan kepada pelaku usaha di kawasan Asia.
Fasilitas itu akan dikelola ADB sehingga pelaku usaha yang menerbitkan obligasi akan
mendapatkan peringkat utang setara obligasi ADB, yakni AAA. Dengan demikian, biaya
penerbitannya bisa ditekan ke level terendah.
Menurut Presiden ADB Haruhiko Kuroda, negara-negara di Asia telah beraksi dengan
cepat menahan pelambatan ekonomi dan melindungi penduduk miskin di wilayahnya,
melalui stimulus fiskal. (OIN)
ADB
Atasi Krisis Lewat Penghapusan Utang
Kamis, 7 Mei 2009 | 04:10 WIB
Kuta, Kompas - Masyarakat sipil Asia, tergabung dalam Jubilee South-Asia Pacific
Movement on Debt and Development atau JS-APMDD, menyesalkan langkah Bank
Pembangunan Asia memberikan utang baru bagi negara anggotanya, seperti yang
dihasilkan dalam Pertemuan Tahunan Ke-42 ADB di Nusa Dua, Bali, 2-5 Mei.
Menurut JS-APMDD, seharusnya ADB menghapus utang bagi negara anggotanya.
”Penghapusan utang di negara-negara berkembang adalah solusi bagi krisis ekonomi saat
ini. Rencana ADB menambah utang hanya membuat negara-negara berkembang di Asia
semakin terpuruk ekonominya karena belitan utang,” kata Wilfredo Decosta dari Indian
Social Action Forum, dalam pernyataan bersama JS-APMDD di Kuta, Rabu (6/5).
Hadir dalam acara itu perwakilan dari sejumlah negara, antara lain, Loretta Ann Rosales,
mantan anggota parlemen Filipina, Wakil Presiden Freedom from Debt Coalition Filipina
Charles Santiago, anggota Parlemen Malaysia, Dani Setiawan dari Koalisi Anti Utang
Indonesia, dan Ahmed Swapan Mahmud dari Voice Bangladesh.
JS-APMDD merupakan gerakan sosial, dengan lebih dari 80 jaringan organisasi, aktif
dalam kegiatan kampanye anti-utang, dan gerakan sosial di 40 negara. Lebih dari separuh
anggotanya dari negara-negara di Asia.
Dalam penutupan Pertemuan Tahunan Ke-42 ADB, Selasa (5/5), Presiden ADB
Haruhiko Kuroda menyatakan komitmen membantu negara-negara di Asia yang terkena
imbas krisis keuangan global, dengan mempermudah akses pemberian utang.
”Padahal, yang sangat dibutuhkan negara-negara berkembang adalah penghapusan utang.
Uang cicilan dapat digunakan untuk membiayai jaringan pengamanan sosial masyarakat,”
kata Dani.
Menurut Loretta, bersama lembaga keuangan multilateral lain, seperti Bank Dunia, ADB
adalah penggerak utama privatisasi layanan sosial di Asia Pasifik, seperti air dan listrik.
Cara yang digunakan ADB dinilai di luar kewajaran, misalnya dengan menyogok
pemerintah dan parlemen negara penerima utang.
"Di negara saya, Filipina, anggota parlemen kami disogok 500 juta dollar AS agar
meloloskan program privatisasi listrik. Hasilnya, listrik di negara kami termasuk yang
paling mahal di Asia," kata Loretta. (BEN)

You might also like