Oleh Berly Martawardaya Pada September 2007, Managing Director IMF Dominique Strauss-Kahn menyatakan, IMF mengalami krisis identitas. Para klien utama IMF, yaitu Argentina, Brasil, Indonesia, dan Turki telah melunasi utangnya. Pinjaman IMF ke negara berkembang yang merupakan sumber pendapatan utama lembaga turun drastis 91 persen sehingga perlu dilakukan penghematan biaya operasi 100 juta dollar AS. Pasar modal global lebih dilirik negara berkembang karena bebas dari berbagai persyaratan berat IMF. Krisis finansial global pada akhir 2008 mengembalikan relevansi IMF seiring dengan mengeringnya sumber modal swasta. Pertemuan G-20 di London menaikkan dana IMF tiga kali menjadi 750 miliar dollar AS dengan 6 miliar dollar AS dialokasikan untuk negara miskin. IMF juga diberi mandat untuk memberikan early warning terhadap risiko krisis finansial dan makroekonomi, juga mengeluarkan rekomendasi kebijakan untuk menghindarinya. Pertemuan pimpinan IMF, Bank Dunia, dan para menteri keuangan yang berlangsung 24- 26 April lalu adalah kesempatan untuk melakukan introspeksi dan redefinisi peran. Berubah dan belajar Salah satu indikator utama berubahnya IMF adalah apakah terjadi revisi kebijakan. Ketika Mahathir Mohamad menerapkan kebijakan capital control di Malaysia, sejumlah kecaman dan prediksi negatif diluncurkan IMF. Capital control berperan besar menjaga stabilitas dan pertumbuhan ekonomi Malaysia. Menghadapi krisis finansial di Eslandia pada September 2008, salah satu komponen inti program stabilisasi rancangan IMF adalah capital control. Resep standar IMF adalah Structural Adjustment Programs (SAP) yang menaikkan suku bunga, menurunkan inflasi, dan menekan defisit demi menarik dana internasional. Suku bunga di Indonesia tahun 1998 sempat melebihi 50 persen yang melemahkan sistem perbankan tanpa capital inflow yang signifikan. Pengurangan defisit acap kali dilakukan dengan memotong anggaran pendidikan, kesehatan, dan berbagai subsidi pertanian. Tak heran pergolakan sosial dan kejatuhan pemerintah kerap mengikuti penerapan program IMF. Stiglitz, peraih Nobel Ekonomi dan mantan Chief Economist Bank Dunia, menyatakan dalam Globalization and Its Discontent bahwa IMF lebih mengutamakan selamatnya pinjaman swasta daripada kondisi rakyat miskin. Kebijakan negara maju pada masa krisis adalah kebalikan dari program SAP. Suku bunga diturunkan, bahkan sampai mendekati nol, dan stimulus ekonomi menyebabkan defisit melonjak drastis. Tidak ada negara maju yang memotong subsidi kesehatan, pendidikan, dan jaminan sosial mereka. IMF telah mengeluarkan program baru bernama Flexible Credit Line (FCL), pinjaman dan bantuan likuiditas tanpa persyaratan ala SAP. Bahkan, pinjaman itu boleh tidak dicairkan sehingga kredibilitas dan kepercayaan internasional bisa diperoleh dengan biaya minimal. Meksiko adalah peminjam pertama FCL sebesar 47 miliar dollar AS. Ingin menjadi fosil? Masalah besar IMF adalah tidak berimbangnya hak suara anggota. Pembagian dilakukan berdasarkan proporsi kekuatan ekonomi pasca-Perang Dunia II. Brasil dengan total GDP sekarang empat kali lipat Belgia justru memiliki hak suara lebih kecil. China memiliki hak suara yang sama dengan Kanada, padahal ekonominya enam kali lebih besar. Total suara negara G-7 ditambah Belgia, Belanda, dan Swiss melebihi 60 persen sehingga tidak akan ada keputusan yang merugikan negara maju. Tak heran negara berkembang enggan percaya dan memperkuat IMF. IMF juga belum sepenuhnya tobat. Pinjaman yang baru diberikan IMF ke Latvia dan Ukraina masih mensyaratkan pemangkasan defisit gaya paradigma lama. Pada sisi lain, IMF tidak memberikan sanksi apa pun terhadap Amerika Serikat yang menjadi penyebab krisis global dan defisitnya menembus 10 persen GDP. Perlu tameng Negara berkembang tetap memerlukan tameng menghadapi krisis dan spekulan. Idealnya ada global lender of last resort yang bisa memberi likuiditas cepat dengan prinsip tanpa batas (freely), sementara (temporary), dan berbiaya premium (with penalty). Ketiadaan lembaga itu mendorong ASEAN beserta Jepang, Korea Selatan, dan China (ASEAN+3) membentuk Chiang Mai Inisiatif (CMI) dengan total dana 120 miliar dollar AS. Perjanjian bilateral swap agreement telah ditandatangani negara ASEAN+3 untuk memperkuat ketahanan ekonomi. Asia telah memiliki solusi tersendiri terhadap permasalahan bersama, tinggal masalah waktu sampai wilayah lain menyusul. IMF perlu berubah secara mendasar atau bersiap menjadi fosil sejarah. Berly Martawardaya Dosen FE-UI; Aktivis NU Profesional Circle CMIM ASEAN Ingin Tutup Kelemahan IMF Kamis, 7 Mei 2009 | 04:11 WIB Nusa Dua, Kompas - Meski telah membentuk mekanisme pendanaan moneter sejenis, 13 negara yang tergabung dalam kerja sama ASEAN Plus 3 berikrar tidak akan menyaingi Dana Moneter Internasional. Mekanisme pendanaan moneter sejenis itu adalah Inisiatif Chiang Mai yang Dimultilateralisasi (CMIM). CMIM diharapkan menutup kelemahan IMF. ”CMIM akan mendorong reformasi di IMF agar lebih cepat dan efektif,” kata Ketua Dewan Gubernur Bank Pembangunan Asia Sri Mulyani Indrawati, yang juga Menteri Keuangan dan Pelaksana Jabatan Menko Perekonomian RI, di Nusa Dua, Bali, Selasa (5/5) malam. Dia menjelaskan, CMIM dibuat untuk membuat hubungan sehat dengan IMF, yang basisnya masih dikuasai Amerika Serikat. CMIM adalah kesepakatan yang disetujui 10 negara anggota ASEAN ditambah Korea Selatan, Jepang, dan China. Kesepakatan itu berupa perjanjian tukar-menukar valuta asing yang bisa dimanfaatkan 13 negara tersebut, jika terjadi masalah pada neraca pembayarannya. Nilai valuta asing yang bisa dipertukarkan 120 miliar dollar AS. Sebagai itikad baik terhadap keberadaan IMF, ASEAN+3 tetap melibatkan IMF dalam pengawasan CMIM. Dengan adanya CMIM, negara-negara ASEAN+3 bisa menarik likuiditas dari CMIM, dengan maksimal masa pengembalian 360 hari. Dalam CMIM, Indonesia diwajibkan memberikan kontribusi dana yang bisa ditarik sewaktu- waktu 4,77 miliar dollar AS, sama seperti Malaysia, Thailand, dan Singapura. Dengan demikian, Indonesia berkesempatan menarik likuiditas maksimal 11,95 miliar dollar AS, atau 2,5 kali dari kontribusinya. Menurut Sri Mulyani, cadangan likuiditas itu menjadi pertahanan kedua menghadapi krisis global. Pertahanan pertama adalah cadangan devisa Indonesia. Selain membentuk CMIM, ASEAN+3 juga sepakat membentuk Credit Guarantee and Investment Mechanism, yakni fasilitas pembiayaan senilai 500 juta dollar AS, yang diberikan kepada pelaku usaha di kawasan Asia. Fasilitas itu akan dikelola ADB sehingga pelaku usaha yang menerbitkan obligasi akan mendapatkan peringkat utang setara obligasi ADB, yakni AAA. Dengan demikian, biaya penerbitannya bisa ditekan ke level terendah. Menurut Presiden ADB Haruhiko Kuroda, negara-negara di Asia telah beraksi dengan cepat menahan pelambatan ekonomi dan melindungi penduduk miskin di wilayahnya, melalui stimulus fiskal. (OIN) ADB Atasi Krisis Lewat Penghapusan Utang Kamis, 7 Mei 2009 | 04:10 WIB Kuta, Kompas - Masyarakat sipil Asia, tergabung dalam Jubilee South-Asia Pacific Movement on Debt and Development atau JS-APMDD, menyesalkan langkah Bank Pembangunan Asia memberikan utang baru bagi negara anggotanya, seperti yang dihasilkan dalam Pertemuan Tahunan Ke-42 ADB di Nusa Dua, Bali, 2-5 Mei. Menurut JS-APMDD, seharusnya ADB menghapus utang bagi negara anggotanya. ”Penghapusan utang di negara-negara berkembang adalah solusi bagi krisis ekonomi saat ini. Rencana ADB menambah utang hanya membuat negara-negara berkembang di Asia semakin terpuruk ekonominya karena belitan utang,” kata Wilfredo Decosta dari Indian Social Action Forum, dalam pernyataan bersama JS-APMDD di Kuta, Rabu (6/5). Hadir dalam acara itu perwakilan dari sejumlah negara, antara lain, Loretta Ann Rosales, mantan anggota parlemen Filipina, Wakil Presiden Freedom from Debt Coalition Filipina Charles Santiago, anggota Parlemen Malaysia, Dani Setiawan dari Koalisi Anti Utang Indonesia, dan Ahmed Swapan Mahmud dari Voice Bangladesh. JS-APMDD merupakan gerakan sosial, dengan lebih dari 80 jaringan organisasi, aktif dalam kegiatan kampanye anti-utang, dan gerakan sosial di 40 negara. Lebih dari separuh anggotanya dari negara-negara di Asia. Dalam penutupan Pertemuan Tahunan Ke-42 ADB, Selasa (5/5), Presiden ADB Haruhiko Kuroda menyatakan komitmen membantu negara-negara di Asia yang terkena imbas krisis keuangan global, dengan mempermudah akses pemberian utang. ”Padahal, yang sangat dibutuhkan negara-negara berkembang adalah penghapusan utang. Uang cicilan dapat digunakan untuk membiayai jaringan pengamanan sosial masyarakat,” kata Dani. Menurut Loretta, bersama lembaga keuangan multilateral lain, seperti Bank Dunia, ADB adalah penggerak utama privatisasi layanan sosial di Asia Pasifik, seperti air dan listrik. Cara yang digunakan ADB dinilai di luar kewajaran, misalnya dengan menyogok pemerintah dan parlemen negara penerima utang. "Di negara saya, Filipina, anggota parlemen kami disogok 500 juta dollar AS agar meloloskan program privatisasi listrik. Hasilnya, listrik di negara kami termasuk yang paling mahal di Asia," kata Loretta. (BEN)