You are on page 1of 2

TAJUK RENCANA

Menyelamatkan Anak-anak Putus Sekolah

Sekitar 8.000 anak di bawah umur yang sudah bekerja mengalami putus sekolah. Akibatnya, mereka tak dapat
tamat wajib belajar 9 tahun seperti yang diprogramkan pemerintah. Jumlah itu disinyalir bisa lebih besar karena
kurang akuratnya data dan informasi yang dihimpun. Mereka terpaksa putus sekolah karena berbagai alasan,
terutama karena keterbatasan kemampuan ekonomi keluarga. Keterbatasan ini bukan hanya berakibat pada
persoalan keberlangsungan sekolah pada anak-anak itu, tetapi lebih jauh kemiskinan telah mengakibatkan
tekanan pada gizi yang buruk dan kesehatan. Mereka yang berada dalam strata seperti ini tidak memiliki
kepastian dan keleluasaan.

Tekanan ekonomi dan kemiskinan yang melanda sejumlah besar penduduk telah mengakibatkan munculnya
berbagai persoalan yang sepertinya tak pernah selesai. Kemiskinan bukan hanya berpengaruh langsung terhadap
rendahnya kualitas kesehatan dan rendahnya angka harapan hidup, tetapi juga terhadap rendahnya tingkat
pendidikan. Padahal, seperti diketahui rendahnya tingkat kesehatan dan pendidikan akan berpengaruh langsung
terhadap kualitas sumber daya yang pada akhirnya bermuara pada rendahnya produktivitas. Semakin miskin,
semakin tidak berdaya. Maka semakin banyak orang miskin, bangsa ini semakin tidak berdaya. Pada akhirnya
kekukuhan negara juga diragukan.

Jika kenyataannya semakin banyak anak-anak tidak memiliki kesempatan untuk sekolah dengan semestinya,
maka mudah diduga ada yang salah pada negara dan pemerintahnya. Dalam realitas seringkali dinyatakan
adanya pendidikan gratis. Tetapi, mana ada sekolah yang gratis ? Karena kenyataan, buku, seragam, sepatu,
biaya-biaya non-SPP tetap saja harus ada. Jika jarak tempuh antara rumah dengan sekolah cukup jauh, maka
harus ada biaya transportasi. Karena biaya sekolah bukan hanya persoalan SPP yang digratiskan, maka mereka
yang berada dalam kemiskinan tetap tak mampu menjangkau. Artinya, sumber dari tingginya angka putus
sekolah tetap pada kemiskinan.

Jika kenyataannya demikian, maka pemerintah harus memiliki strategi yang lebih baik bagaimana
menyelamatkan anak-anak di bawah 15 tahun tetap harus berada di sekolah-sekolah. Misalnya, dikompromikan
waktu dengan kalangan industri yang mempekerjakan anak-anak itu. Apakah dengan model pendidikan di
tempat kerja, atau dipekerjakan separo waktu sehingga sebagian waktunya tetap untuk sekolah. Intinya, tetap
memberikan ruang dan waktu yang cukup bagi anak-anak bisa dijangkau oleh pendidikan formal. Atau
dirancang sebuah sistem pendidikan di tempat kerja dengan kurikulum yang berbasis ketrampilan, dan tidak
terpancang pada kurikulum yang telah baku.

Pendidikan di tempat kerja mungkin hanya sedikit dari mata pelajaran umum yang diambil, misalnya Bahasa
Indonesia, Matematika, Pengetahuan Sosial dan sebagian besarnya adalah pendidikan ketrampilan. Tiga materi
itu untuk mengawal penguasaan keterampilan agar bisa maksimal. Jika memang anak-anak pekerja itu tidak lagi
membutuhkan sentuhan banyak mata pelajaran mengapa mesti dicekoki hal-hal yang tidak bersentuhan
langsung dengan pekerjaannya. Dengan menguasai ketrampilan tertentu sejak dini, secara kualitas pasti akan
lebih baik karena ber-sentuhan secara langsung dan intensif. Artinya, pendidikan yang dikuasainya bisa
mengawal dan mengembangkan tingkat ketrampilannya.

Menyelamatkan pekerja anak-anak agar memeroleh pendidikan secara memadai tidak harus memaksa mereka
keluar dari tempat kerja dan masuk ke ruang-ruang sekolah. Selain tidak mungkin, juga siapa berani melakukan
paksaan seperti itu. Maka, jalan keluar terbaik adalah mengompromikan antara hal-hal yang ideal seperti
diamanatkan undang-undang dengan realitas yang dihadapi masyarakat miskin. Di sini, peran pemerintah masih
sangat dominan. Tetapi akan berjalan dengan baik manakala ada kesadaran dari kalangan industri untuk
memberikan ruang dan waktu bagi pekerja anak-anak untuk tumbuh dan berkembang. Barangkali inilah yang
bisa menjadi pilihan keluar dari masalah.
12 Juta Anak Indonesia Putus Sekolah
SETELAH membaca artikel ini, Anda pasti merasa sangat beruntung, dan mendapat alasan baru
untuk mensyukuri kemujuran hidup Anda. Tapi sebaliknya Anda pun bisa dihinggapi rasa bersalah;
prihatin dan cemas.

Tentu, kita semua sangat beruntung karena setidak-tidaknya telah menyelesaikan pendidikan SMA,
bahkan sebagian besar di antara kita sudah bergelar sarjana. Bandingkanlah dengan nasib apes
anak-anak di sekeliling kita; yang terpaksa putus sekolah karena orangtua tak mampu lagi
membiayai; lalu menjalani hari-hari yang hampa dan menatap masa depan dengan rasa gamang.

Pernahkah Anda bayangkan bahwa jumlah anak putus sekolah di negeri tercinta ini ternyata sudah puluhan
juta ? Menurut data resmi yang dihimpun dari 33 Kantor Komnas Perlindungan Anak (PA) di 33 provinsi,
jumlah anak putus sekolah pada tahun 2007 sudah mencapai 11,7 juta jiwa. Jumlah itu pasti sudah bertambah
lagi tahun ini, mengingat keadaan ekonomi nasional yang kian memburuk.

Alangkah ironisnya anak-anak itu ada di sekitar kita. Mungkin beberapa di antaranya adalah anak tetangga
Anda. Dan siapa tahu, salah seorang di antaranya masih kerabat Anda, tapi mungkin berada di tempat yang
jauh. Yang pasti, mereka adalah tunas-tunas harapan bangsa yang besar ini

Apakah aku, Anda dan kita semua berhak untuk terus bersikap masa bodoh; berdalih bahwa itu adalah
tanggungjawab pemerintah; lalu melanjutkan cara hidup kita yang boros dan selfish? Adakah yang bisa aku
lakukan selain mewartakan bencana ini. Dan tidak adakah yang bisa Anda lakukan selain merasa prihatin
sejenak

PENDIDIKAN formal memang bukan segala-galanya. Beberapa pengusaha besar di Indonesia, misalnya
konglomerat Liem Sioe Liong, cuma lulusan sekolah dasar. Tapi itu kasus yang istimewa. Dalam kenyataan
yang umum, tingkat pendidikan berpengaruh mutlak terhadap peluang bekerja, posisi di bidang kerja, tingkat
salary dan fasilitas yang dapat dinikmati; menentukan pula terhadap perilaku individu dalam rumah tangga,
tanggung jawab sosial; dan mempengaruhi bobot independensi individu di bidang sosial-politik

Secara kasat mata saja kita sudah bisa melihat dampak langsung dari begitu besarnya angka putus sekolah di
Indonesia. Pengamen cilik dan usia remaja kini bergentayangan di seluruh wilayah negeri ini. Tidak hanya di
kota-kota besar, mereka hadir sampai di desa-desa dan menyebarkan kebisingan, gangguan dan kecemasan.

Bayangkan, remaja yang masih labil dan mencari identitas diri terpaksa putus sekolah; terpaksa meninggalkan
teman-temannya yang masih terus bersekolah; dan terpaksa menelan kenyataan pahit sebagai manusia yang
gagal dan tereliminasi. Ini problem sosial yang dahsyat!

Menurut Arist Merdeka Sirait, sebagaimana diberitakan surat kabar Kompas edisi Selasa (18/3),”Dampak
ikutan, anak-anak yang berkeliaran di jalan-jalan di Jakarta juga akan terus bertambah. Setelah mereka putus
sekolah tentu mereka akan berupaya membantu ekonomi keluarga dengan bekerja apa pun.”

MENURUT catatan Komnas PA, pada tahun 2007 sekitar 155.965 anak Indonesia hidup di jalanan. Sementara
pekerja di bawah umur sekitar 2,1 juta jiwa. Anak-anak tersebut sangat rawan menjadi sasaran perdagangan
anak.

Bukan cuma itu. Anak-anak yang hidup di jalanan itu juga sangat potensial disalahgunakan oleh kejahatan
yang terorganisasi. Tekanan untuk bertahan hidup dan godaan untuk hidup mewah adalah dua titik lemah para
remaja yang masih labil itu; sehingga mereka bisa dibujuk dengan gampang untuk melakukan tindak kriminal.

Inilah potret buram dunia pendidikan Indonesia hari ini. Kalau ternyata Anda tiba-tiba diliputi rasa bersalah,
prihatin dan cemas setelah melihat potret jelek itu, beryukurlah, ternyata Anda masih normal dan memiliki
moral yang tinggi. Dan bersyukurlah, karena bukan Anda atau kerabat dekat Anda yang hari ini terpaksa putus
sekolah.

You might also like