You are on page 1of 186

PENGARUH HARGA TRANSFER DAN HARGA JUAL

TERHADAP KINERJA UNIT BISNIS SEBAGAI PUSAT LABA

(Penelitian pada Direktorat Aerostructure di PT Dirgantara Indonesia


Indonesia)

SKRIPSI

Untuk memenuhi
m salah satu syaratan sidang skripsi
Guna memperoleh gelar Sarjana Ekonomi

Oleh :

MOCHAMMAD RIDWAN

064020147

PROGRAM STUDI AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS PASUNDAN
BANDUNG
2010
PENGARUH HARGA TRANSFER DAN HARGA JUAL

TERHADAP KINERJA UNIT BISNIS SEBAGAI PUSAT LABA

(Penelitian Pada Direktorat Aerostructure di PT Dirgantara Indonesia)

SKRIPSI

Untuk memenuhi salah satu syaratan sidang skripsi


Guna memperoleh gelar Sarjana Ekonomi
Program Studi : Akuntansi
Fakultas Ekonomi Universitas Pasundan

Bandung, 3 September 2010

Mengetahui,

Pembimbing,

Dadan Soekardan, S.E., M.Si.

Dekan, Ketua Program Studi,

Dr. H.R. Abdul Maqin, S.E., M.P. Dr. Liza Laila Nurwulan, S.E., M.Si., Ak.
“Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.
Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.
Maka apabila engkau telah selesai (dari sesuatu urusan),
tetaplah bekerja keras (untuk urusan yang lain).
Dan hanya kepada Tuhanmulah engkau berharap.
(Q. S. 94 (Al Insyirah) : 5-8)

Kupersembahkan karya kecilku ini


Untuk kedua orang tua dan adikku
Terimakasih yang tak terhingga
Atas semua yang pernah diberikan
Semoga selalu dalam lindungan Allah SWT
PERNYATAAN
(Program Studi Strata I)

Dengan ini Saya menyatakan bahwa :


1. Karya tulis saya, skripsi ini, adalah asli dan belum pernah diajukan untuk gelar
akademik sarjana, baik di Universitas Pasundan maupun di Perguruan Tinggi
lainnya
2. Karya tulis ini murni gagasan, rumusan, dan penelitian saya sendiri dengan
arahan Dosen Pembimbing
3. Dalam karya tulis ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis atau
dipublikasikan orang lain, kecuali secara tertulis dengan jelas dicantumkan
sebagai acuan dalam naskah dengan disebutkan nama pengarang dan
dicantumkan dalam daftar nama pustaka
4. Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila di kemudian hari
terdapat penyimpangan dan ketidakbenaran dalam pernyataan ini maka saya
bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelar yang telah
diperoleh karena karya tulis ini, serta sanksi lainnya sesuai dengan norma
yang berlaku di Perguruan Tinggi ini.

Bandung, Oktober 2010


Yang membuat pernyataan

Mochammad Ridwan
NRP 064020147
ABSTRAK

Konsep harga transfer (transfer pricing) merupakan salah satu


langkah yang dapat digunakan dalam mencapai tujuan yang akan
membantu dalam mencapai tujuan yang hendak dicapai oleh perusahaan.
Salah satu usaha yang dilakukan oleh perusahaan untuk memenuhi semua
itu adalah dengan cara mereka harus melakukan aktivitas berupa penjualan
barang ataupun aktivitas jasa.
Hipotesis yang diuji dalam penelitian ini terdiri dari H1: “Terdapat
Perbedaan Antara Harga Transfer dengan Harga Jual”, H2: “Tedapat
pengaruh signifikan harga jual terhadap kinerja unit bisnis sebagai pusat laba”,
H3: “Tedapat pengaruh signifikan harga transfer terhadap kinerja unit bisnis
sebagai pusat laba”.
Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode Deskriptif asosiatif
dengan pendekatan survey dan tes statistik dengan bantuan software SPSS
V15.0 for windows. Penelitian ini terdiri atas dua variabel independen yaitu
harga transfer dan harga jual, sedangkan untuk varibel dependen yaitu
kinerja unit bisnis sebagai pusat laba. Uji statistik dilakukan dengan
mengolah data berupa data penjualan internal , data penjualan ke pihak
luar, dan laporan keuangan pertriwulan dari tahun 2007-2009.
Untuk uji hipotesis penelitian, penulis melakukannya dengan
Independent Sample T-Test dan korelasi Pearson Product Moment. Dengan
probabilitas (sig) = 0,062 karen p > 0,05; maka Ho1 diterima atau “Harga
Transfer tidak berbeda dengan Harga Jual”. Pengaruh harga transfer
terhadap kinerja unit bisnis pada Direktorat Aerostructure di PT Dirgantara
Indonesia berdasarkan pengolahan data memiliki hubungan yang ”Kuat”,
hal ini ditunjukan dari koefisien korelasi sebesar -0,679. Nilai ±thitung (-2,924)
> ±ttabel (2,228), maka Ho3 ditolak dan Ha3 diterima yang artinya hipotesis
yang penulis ajukan diterima yaitu: “Tedapat pengaruh signifikan harga
transfer terhadap kinerja unit bisnis sebagai pusat laba”. Koefisien
determinasi yaitu sebesar 46,10%. Artinya bahwa kinerja unit bisnis sebagai
pusat laba pada Direktorat Aerostructure di PT Dirgantara Indonesia
dipengaruhi oleh harga transfer sebesar 46,10%. Sedangkan sisanya 53,90%
dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak diteliti penulis. Pengaruh harga jual
terhadap kinerja unit bisnis pada Direktorat Aerostructure di PT Dirgantara
Indonesia berdasarkan pengolahan data memiliki hubungan yang ”Kuat”,
hal ini ditunjukan dari koefisien korelasi sebesar -0,675. Nilai ±thitung (-2,895)
> ±ttabel (2,228), maka Ho2 ditolak dan Ha2 diterima yang artinya hipotesis
yang penulis ajukan diterima yaitu: “Tedapat pengaruh signifikan harga
jual terhadap kinerja unit bisnis sebagai pusat laba”. Koefisien determinasi
yaitu sebesar 45,60%. Artinya bahwa kinerja unit bisnis sebagai pusat laba
pada Direktorat Aerostructure di PT Dirgantara Indonesia dipengaruhi oleh
harga jual sebesar 45,60%. Sedangkan sisanya 54,40% dipengaruhi oleh
faktor lain seperti intensitas kompetisi pasar dan infomasi sistem akuntansi
manajemen.

i
KATA PENGANTAR

Assalaamu’alaikum
mu’alaikum Wr.Wb.

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah

memberikan taufik dan hidayah-Nya


hidayah Nya dan salam kepada Nabi Muhammad SAW

sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan judul

“Pengaruh Harga Transfer dan Harga Jual Terhadap Kinerja Unit Bisnis

Sebagai Pusat Laba”


Laba guna memenuhi persyaratan untuk mendapatkan gelar

sarjana ekonomi pada Fakultas Ekonomi Universitas Pasundan.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih banyak

kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan


kesempurnaan yang disebabkan oleh keterbatasan

kemampuan dan pengetahuan yang penulis miliki. Penyelesaian skripsi ini dapat

terwujud berkat bimbingan, bantuan, pengarahan, petunjuk, serta doa dari

berbagai pihak yang begitu berharga bagi penulis sampai akhirny


akhirnya penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini.

Pada kesempatan ini penulis ingin memberikan ucapan terima kasih yang

sebesar-besarnya
besarnya kepada kedua orang tuaku Ayahanda Yusuf Irawan dan Ibunda

Haslinda Saleh yang senantiasa memberikan seluruh kasih sayang dan ketulusan

doanya kepada penulis.

Pada kesempatan ini juga penulis ingin memberikan ucapan terima kasih

khususnya kepada Bapak Dadan Soekardan, S.E., M.Si sebagai pembimbing yang

ii
telah meluangkan waktu dan pikirannya untuk membimbing penulis

menyelesaikan skripsi ini.

Sebagai penutup, penulis juga ingin memberikan ucapan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. H. M. Didi Turmudzi, Drs., M.Si., Rektor Universitas Pasundan

2. Dr. H.R. Abdul Maqin, S.E., MP., Dekan Fakultas Ekonomi Universitas

Pasundan

3. Dr. Liza Laila Nurwulan, S.E., M.Si., Ak., Ketua Program Studi Akuntansi

Fakultas Ekonomi Universitas Pasundan

4. Dr. Undang Juju, S.E., M.Si., Pembantu Dekan I Fakultas Ekonomi

Universitas Pasundan.

5. Dr. Atang Hermawan, S.E., M.SIE., Ak., Pembantu Dekan II Fakultas

Ekonomi Universitas Pasundan.

6. Drs. R. Moch. Noch, Ak., Pembantu Dekan III Fakultas Ekonomi Universitas

Pasundan.

7. Bapak Apriyanto, S.E.,MM.,Ak., Dosen Wali yang telah memberikan

bimbingannya kepada penulis.

8. Seluruh Dosen dan Staf Pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Pasundan.

9. Drs. Djuwendi, M.Ak., Ak., dan Anggabrata Erningpraja, S.E., yang telah

membantu dalam menyelesaikan skripsi ini.

10. Kepala dan seluruh pegawai PT Dirgantara Indonesia kebaikan dan

kerjasamanya.

11. Adikku Hanisah Yulianda, yang selalu memberikan semangat bagi penulis.

12. Karina Apriyanti, S.E., yang selalu memberi semangat bagi penulis.

iii
13. Sahabat-sahabat terbaikku: Agi, Ichwan, Erul, Sem, Giga, Iday.

14. Teman-teman terbaikku: M’iyet, Oci, Nda, Ica, Eci, Indri, Mila ndut, Angga,

Dea, Beny, Benk, Iswa, Nurul.

15. Seluruh Keluarga Besar Akuntansi, Fakultas Ekonomi UNPAS khususnya

teman-temanku Kelas Ak-C 2006.

16. Semua pihak yang telah membantu, yang tidak bisa penulis tuliskan

semuanya dalam penyusunan skripsi ini.

Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi

semua pihak dan semoga Allah SWT melimpahkan rahmat-Nya kepada kita

semua, Amin.

Wassalaamu’alaikum Wr. Wb.

Bandung, September 2010

Penulis

Mochammad Ridwan

iv
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN

MOTTO

ABSTRAK..................................................................................................... i

KATA PENGANTAR................................................................................... ii

DAFTAR ISI.................................................................................................. v

DAFTAR TABEL......................................................................................... xi

DAFTAR GAMBAR..................................................................................... xiii

DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xiv

BAB I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang............................................................................ 1

1.2. Identifikasi Masalah.................................................................... 7

1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian.................................................... 8

1.3.1. Maksud Penelitian............................................................. 8

1.3.2. Tujuan Penelitian............................................................... 8

1.4. Kegunaan Penelitian................................................................... 9

1.4.1. Kegunaan Praktis.............................................................. 9

1.4.2. Kegunaan Teoritis............................................................. 10

BAB II. KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS

2.1. Kajian Pustaka.............................................................................. 11

v
2.1.1. Ruang Lingkup Harga Transfer......................................... 11

2.1.1.1. Pengertian Harga Transfer.................................... 11

2.1.1.2. Tujuan Harga Transfer.......................................... 12

2.1.1.3. Karakteristik Harga Transfer................................. 13

2.1.1.4. Masalah yang Dirundingkan dalam Penentuan

Harga Transfer...................................................... 14

2.1.1.5. Metode Penentuan Harga Transfer....................... 16

2.1.1.5.1. Metode Harga Transfer Berdasar

Harga Pasar............................................ 19

2.1.1.5.2. Metode Harga Transfer Berdasar

Biaya...................................................... 26

2.1.1.6. Pengelolaan Harga Transfer................................... 37

2.1.1.7. Harga Transfer Divisi Terintegrasi......................... 42

2.1.1.8. Penentuan Harga Jasa dari Kantor Pusat............... 45

2.1.2. Ruang Lingkup Harga Jual................................................. 47

2.1.2.1. Pengertian Harga Jual............................................ 47

2.1.2.2. Tujuan Penetapan Harga Jual................................ 48

2.1.2.3. Faktor-Faktor yang Perlu Dipertimbangkan

dalam Penentuan Harga Jual................................. 49

2.1.2.4. Metode Penentuan Harga Jual............................... 50

2.1.3. Ruang Lingkup Kinerja Unit Bisnis

Sebagai Pusat Laba............................................................. 53

2.1.3.1. Desentralisasi......................................................... 53

vi
2.1.3.2. Pengertian Kinerja Unit Bisnis............................... 54

2.1.3.3. Pusat Laba.............................................................. 55

2.1.3.4. Tujuan Penilaian Kinerja Unit Bisnis..................... 57

2.1.3.5. Keunggulan dan Kelemahan

Divisionalisasi........................................................ 58

2.1.3.6. Kendala Wewenang Divisional.............................. 60

2.1.3.7. Penggolongan Divisionalisasi................................ 62

2.1.3.8. Pertimbangan Divisonalisasi.................................. 62

2.1.3.9. Mengukur Profitabilitas.......................................... 64

2.1.3.9.1. Masalah-masalah Pengukuran

Laba......................................................... 65

2.1.3.9.2. Jenis-jenis Ukuran Kinerja..................... 66

2.1.3.9.3. Penilaian Kinerja Pusat

Laba....................................................... 68

2.2. Kerangaka Pemikiran dan Hipotesis.............................................. 70

2.2.1. Tinjauan Literatur................................................................. 70

2.2.2. Tinjauan Empiris................................................................... 78

BAB III. METODE PENELITIAN

3.1. Metode Penelitian yang digunakan............................................ 91

3.1.1. Objek Penelitian................................................................. 91

3.1.2. Unit Penelitian.................................................................... 91

3.2. Definisi Variabel dan Operasional Variabel................................. 91

vii
3.2.1. Definisi Variabel dan Pengukurannya............................... 91

3.2.2. Operasionalisasi Variabel.................................................. 93

3.3. Populasi dan Sampel................................................................... 96

3.3.1. Kerangka Sampling, Unit Sampel

dan Ukuran Sampel......................................................... 97

3.3.2. Teknik Sampling............................................................. 98

3.4. Teknik Pengumpulan Data........................................................ 99

3.5. Metode Analisis Yang Digunakan............................................. 100

3.6. Rancangan Analisis dan Uji Hipotesis....................................... 111

3.6.1. Penetapan Hipotesis Nol (Ho) dan

Hipotesis Alternatif (Ha).................................................. 111

3.6.2. Uji Hipotesis (Penetapan Tingkat Signifikansi)............... 112

3.6.3. Penetapan Kriteria Penerimaan dan

Penolakan Hipotesis.......................................................... 113

3.6.4. Penarikan Kesimpulan...................................................... 113

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Penelitian.......................................................................... 114

4.1.1. Gambaran Umum Perusahaan......................................... 114

4.1.1.1. Sejarah Singkat PT Dirgantara Indonesia

(Persero) Bandung............................................... 114

4.1.1.2. Kegiatan Usaha..................................................... 119

viii
4.1.1.3. Struktur Organisasi dan Uraian Tugas

Direktorat Aerostructure

di PT Dirgantara Indonesia................................... 122

4.1.2. Penetapan Harga Transfer Pada Direktorat Aerostructure

di PT Dirgantara Indonesia................................................ 134

4.1.3. Penetapan Harga Jual Pada Direktorat Aerostructure

di PT Dirgantara Indonesia................................................. 136

4.1.4. Penetapan Kinerja Unit Bisnis Sebagai Pusat Laba

Pada Direktorat Aerostructure

di PT Dirgantara Indonesia................................................ 138

4.2. Pembahasan Penelitian................................................................. 140

4.2.1. Analisis Atas Harga Transfer

Pada Direktorat Aerostructure

di PT Dirgantara Indonesia................................................ 140

4.2.2. Analisis Atas Harga Jual pada Direktorat Aerostructure

di PT Dirgantara Indonesia................................................ 141

4.2.3. Analisis Perbedaan Harga Transfer dan Harga Jual

pada Direktorat Aerostructure

di PT Dirgantara Indonesia............................................... 143

4.2.4. Analisis Atas Kinerja Unit Bisnis Sebagai Pusat Laba

pada Direktorat Aerostructure

di PT Dirgantara Indonesia................................................ 144

4.2.5. Analisis Seberapa Besar Pengaruh Harga Transfer

ix
Terhadap Kinerja Unit Bisnis

pada Direktorat Aerostructure

di PT Dirgantara Indonesia................................................ 146

4.2.6. Analisis Seberapa Besar Pengaruh Harga Jual

Terhadap Kinerja Unit Bisnis

pada Direktorat Aerostructure

di PT Dirgantara Indonesia................................................. 153

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan................................................................................... 160

5.2. Saran............................................................................................. 162

5.2.1. Saran untuk Direktorat Aerostructure

di PT Dirgantara Indonesia................................................ 162

5.2.2. Saran Untuk Peneliti Selanjutnya...................................... 164

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 165

LAMPIRAN...................................................................................................... 168

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

x
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Pengaruh Pengguuaan Informasi SAM

Terhadap Kinerja UnitBisnis Yang Dimoderasi

OIeh Intensitas Kompetisi Pasar.............................................. 73

Tabel 3.1 Operasionalisasi Variabel Harga Transfer (X1)

dan Harga Jual (X2)................................................................... 94

Tabel 3.2 Operasionalisasi Variabel Kinerja Unit Bisnis

sebagai Pusat Laba................................................................... 95

Table 3.3 Kriteria untuk Memberikan Intepretasi

Harga Transfer dan Harga Jual.................................................. 104

Tabel 3.4 ROI Rata-rata Industri............................................................... 104

Table 3.5 Kriteria untuk Memberikan Intepretasi Kinerja Unit Bisnis

Sebagai Pusat Laba................................................................... 105

Tabel 3.6 Pedoman untuk Memberikan Interpretasi

Koefisien Korelasi.................................................................... 108

Tabel 4.1 Harga Transfer/Unit – Wing Tip Assy...................................... 136

Tabel 4.2 Harga Jual/Unit – Wing Tip Assy............................................. 138

Tabel 4.3 Kinerja Unit Bisnis.................................................................. 139

Tabel 4.4 Harga Transfer/Unit – Wing Tip Assy...................................... 140

Tabel 4.5 Harga Jual/Unit – Wing Tip Assy............................................. 142

Tabel 4.6 Uji Beda Rata-rata antara Harga Transfer dan Harga Jual....... 144

Tabel 4.7 Kinerja Unit Bisnis.................................................................. 145

xi
Tabel 4.8 Uji Normalitas........................................................................... 146

Tabel 4.9 Analisis Korelasi antara Harga Transfer

dengan Kinerja Unit Bisnis...................................................... 148

Tabel 4.10 Analisis Regresi Linier Sederhana antara Harga Transfer

dengan Kinerja Unit Bisnis – ANOVA.................................... 150

Tabel 4.11 Analisis Regresi Linier Sederhana antara Harga Transfer

dengan Kinerja Unit Bisnis – Coefficients............................... 150

Tabel 4.12 Analisis Koefisien Determinasi antara Harga Transfer

dengan Kinerja Unit Bisnis...................................................... 151

Tabel 4.13 Uji signifikansi t / Coefficients variabel Harga Transfer

dengan Kinerja Unit Bisnis...................................................... 152

Tabel 4.14 Analisis Korelasi Parsial antara Harga Jual

dengan Kinerja Unit Bisnis..................................................... 154

Tabel 4.15 Analisis Regresi Linier Sederhana antara Harga Jual

dengan Kinerja Unit Bisnis – ANOVA.................................. 155

Tabel 4.16 Analisis Regresi Linier Sederhana antara Harga Jual

dengan Kinerja Unit Bisnis – Coefficients............................. 156

Tabel 4.17 Analisis Koefisien Determinasi Parsial antara Harga Jual

dengan Kinerja Unit Bisnis................................................... 157

Tabel 4.18 Uji signifikansi t / Coefficients variabel Harga Jual

dengan Kinerja Unit Bisnis................................................... 158

xii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Rumus penentuan harga transfer dengan menggunakan

harga pasar yang dimodifikasi................................................. 25

Gambar 2.2 Unsur-unsur yang Diperhitungkan dalam Penentuan

Harga Transfer atas Dasar Biayadengan Pendekatan

Full Costing.............................................................................. 28

Gambar 2.3 Unsur-unsur yang Diperhitungkan dalam Penentuan

Harga Transfer atas Dasar Biaya dengan Pendekatan

Variable Costing...................................................................... 29

Gambar 2.4 Unsur-unsur yang Diperhitungkan dalam Penentuan

Harga Transfer atas Dasar Biaya dengan Pendekatan

Activity-Based Costing............................................................. 30

Gambar 3.1 Model Penelitian...................................................................... 102

Gambar 4.1 Daerah Penerimaan dan Penolakan Ho (Uji t) variabel

Harga Transfer dengan Kinerja Unit Bisnis............................. 153

Gambar 4.2 Daerah Penerimaan dan Penolakan Ho (Uji t) variabel

Harga Jual dengan Kinerja Unit Bisnis.................................... 158

xiii
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Surat Tugas Membimbing Skripsi………………………... 168

Lampiran 2 Kartu Perkembangan Bimbingan Skripsi………………….. 169

Lampiran 3 Surat Ijin Survey dari PT Dirgantara Indonesia…………... 171

Lampiran 4 Struktur Organisasi PT Dirgantara Indonesia...…………... 172

Lampiran 5 SK Komisaris PT Dirgantara Indonesia tentang Tugas,

Tanggung Jawab, dan Wewenang Direktur Aerostructure… 173

Lampiran 6 Ketentuan Pelaksanaan Divisi Direktorat Aerostructure…. 176

Lampiran 7 Prosedur Internal Work Order……………...…………….. 185

Lampiran 8 Data Penjualan (Transfer) Wing Tip Assy

Direktorat Aerostructure

dengan AI (Penjualan Internal)………………….............. 196

Lampiran 9 Data Penjualan Wing Tip Assy

Direktorat Aerostructure

dengan EADS CASA (Penjualan Eksternal)...................... 197

Lampiran 10 Laporan Keuangan Pertriwulan 2007-2009..……………. 198

Lampiran 11 Hasil Perhitungan SPSS ..……………………………..…. 201

xiv
Lampiran 12 Tabel Nilai Distribusi t……………………………........... 210

Lampiran 13 Tabel Nilai Distribusi F…………………………………… 211

Lampiran 14 Lembar Persetujuan Perbaikan (Revisi) Skripsi…………... 212

xv
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Penelitian

Konsep harga transfer (transfer pricing) merupakan salah satu langkah

yang dapat digunakan dalam mencapai tujuan yang akan membantu dalam

mencapai tujuan yang hendak dicapai oleh perusahaan. Dengan penerapan harga

transfer juga dapat membantu untuk mengembangkan usaha sehingga dapat

menciptakan lapangan kerja yang baru dan untuk mensejahterakan kebutuhan para

karyawannya. Salah satu usaha yang dilakukan oleh perusahaan untuk memenuhi

semua itu adalah dengan cara mereka harus melakukan aktivitas berupa penjualan

barang ataupun aktivitas jasa.

Pada hakikatnya, perusahaan merupakan sekumpulan pusat-pusat

tanggung jawab, yang masing-masing diwakili oleh sebuah kotak dalam bagan

organisasi. Pusat-pusat tanggung jawab tersebut kemudian membentuk suatu

hierarki. Pada tingkatan terendah adalah pusat untuk seksi-seksi, pergeseran

kerja (workshift), dan unit organisasi kecil lainnya. Departemen bisnis yang

memiliki beberapa unit organisasi yang lebih kecil, menduduki posisi yang

lebih tinggi dalam hierarki. Dari sudut pandang manajer senior dan dewan

direksi, perusahaan secara keseluruhan merupakan pusat tanggun jawab,

meskipun istilah ini biasanya berkenaan dengan unit-unit dalam perusahaan.

Perkembangan perusahaan dan diversifikasi perusahaan menuntut

dilakukannya desentralisasi organisasi. Dalam organisasi yang didivesifikasi

1
2

tidak cukup jika hanya dilakukan divisionalisasi. Oleh karena itu, manajer

divisi harus diberi wewenang untuk melakukan pembuatan keputusan yang

berhubungan dengan laba, meliputi keputusan biaya (keputusan sumber) dan

sekaligus pendapatan (keputusan pasar). Manajer divisi tersebut memperoleh

wewenang untuk melakukan pembuatan keputusan laba maka manajer divisi

bertanggung jawab terhadap laba yang yang dicapai oleh divisinya.

Unit bisnis sebagai pusat laba merupakan bentuk divisionalisasi di mana

kinerja ekonomis suatu pusat laba selalu diukur dari laba bersih yang dihasilkan

oleh unit bisnis tersebut. Perusahaan yang memiliki unit bisnis di dalamnya

akan menimbulkan masalah harga transfer jika dua pusat laba (unit bisnis)

melakukan transfer barang atau jasa. Untuk penentuan laba yang menjadi

bagian masing-masing pusat laba harus diperhitungkan harga transfer barang

dan jasa yang ditransfer antar pusat laba tersebut. Harga transfer bagi divisi

penjual merupakan pendapatan, di lain pihak harga tersebut merupakan biaya

bagi divisi pembeli. Pendapatan dan biaya tersebut merupakan komponen untuk

perhitungan laba masing-masing divisi yang terkait dalam transfer barang.

Beberapa unit organisasi (divisi) di dalam perusahaan yang difungsikan

sebagai pusat laba dan antar pusat laba tersebut terjadi transfer barang atau jasa,

karena tidak seluruh unit bisnis dilengkapi dengan fasilitas yang sama dan

adanya keterbatasan kemampuan serta pertimbangan efisiensi. Jadi adakalanya

unit bisnis yang satu harus memakai barang atau jasa dari unit bisnis yang lain.

Harga transfer mempunyai peran ganda. Di satu sisi, harga transfer

berperan sebagai salah satu alat untuk menciptakan mekanisme integrasi. Di sisi
3

lain, harga transfer menetapkan dengan tegas hak masing-masing manajer divisi

untuk mendapatkan laba. Dalam penentuan harga transfer, masing-masing

divisi yang terkait merundingkan berbagai unsur yang membentuk harga

transfer, karena setiap unsur yang membentuk harga transfer akan berdampak

terhadap perolehan laba yang dipakai sebagai pengukur kinerja mereka. Karena

laba merupakan hal yang penting bagi pengukuran kinerja dalam pusat laba,

maka penetapan harga transfer adalah penting bagipara manajer. Diharapkan

dengan adanya penerapan harga transfer, suatu pusat laba akan termotivasi

untuk memaksimalkan laba yang diperoleh dengan cara mengendalikan

pendapatan dan biaya sebaik-baiknya, sehinngga akan berdampak pada

meningkatnya kinerja pusat laba tersebut.

Pada kenyataannya, sudah menjadi fenomena umum bahwa harga transfer

dapat menimumbullkan masalah bagi suatu divisi (unit bisnis). Seperti yang

dikutip dari www.wartawarga.gunadarma.ac.id tanggal 06/06/2010 adalah sebagai

berikut:

“Pada bulan juli 1987, Divisi Produk Chrome mengusulkan untuk


menaikkan harga kompor tersebut sebesar 90 sen; 80 sen
mencerminkan biaya tambahan atas operasi tambahan dan 10 sen
merupakan markup laba atas tambahan biaya tersebut. Sebelum
usulan tersebut diajukan, harga produk tersebut sekarang adalah $10
per unit. Divisi kompor elektrik sangat keberatan dengan usulan
kenaikan harga tersebut dan setelah tiga minggu berdebat,
diputuskan untuk membawa pertikaian tersebut kepada staf
keuangan untuk mencari jalan tengah.
Pada akhir tahun 1985, Divisi Gear and Transmission memulai
negosiasi dengan Divisi mesin cuci mengenai harga transmisi yang
baru, mengusulkan harga $12 ditambah beberapa penyesuaian kecil
terhadap perubahan biaya yang terjadi sejak tahun sebelumnya.
Divisi Mesin Cuci menolak untuk menerima harga yang diusulkan
dan tetap bertahan pada harga $11,21. Divisi Gear and Transmission
menolaknya, bahkan menolak untuk mempertimbangkan usulan
4

proyek tersebut. Dan setelah perdebatan sengit selama beberapa hari,


kedua divisi tersebut setuju untuk menyerahkan permasalahan ini
kepada staf keuangan untuk mencari jalan tengahnya.”

Adapun yang dikemukakan oleh Kurnia (2002:21-22) mengenai harga

transfer adalah sebagai berikut:

“Terdapat dua kriteria yang dapat digunakan untuk menilai


keefektifan kebijakan penentuan harga transfer sebuah perusahaan
(Ghosh, 2000). Pertama adalah apakah kebijakan tersebut dapat
menyebabkan peningkatan kinerja perusahaan. Kedua, manajer
merasa bahwa mereka diberi penghargaan secara adil atas
kontribusinya terhadap perusahaan. Dalam kenyataannya, kedua
kriteria yang digunakan untuk menilai keefektifan sebuah kebijakan
penetapan harga transfer dapat menimbulkan akibat yang saling
bertentangan. Kebijakan (metoda) penetapan harga transfer yang
dapat meningkatkan kinerja perusahaan seringkali menciptakan
perasaan tidak adil dalam hal bagaimana kinerja manajer dinilai dan
diberi penghargaan. Hal ini terjadi karena kebijakan penetapan
harga transfer yang diterapkan di suatu perusahaan dapat
mempengaruhi penilaian kinerja manajer atau divisi yang
dipimpinnya, ketika manajer atau divisi yang ada di perusahaan
diukur kinerjanya atas dasar laba. Bagi divisi penjual harga transfer
merupakan pendapatan, sedangkan bagi divisi pembeli harga transfer
merupakan unsur biaya. Oleh karena itu, manajer divisi penjual atau
pembeli sangat berkepentingan dengan kebijakan penentuan harga
transfer karena akan mempengaruhi penilaian kinerja masing-masing
divisi. Apabila manajer divisi merasakan bahwa kontribusi mereka
terhadap pencapaian laba perusahaan dinilai secara tidak adil, maka
ada kemungkinan manajer tersebut akan melakukan berbagai cara
untuk mengurangi rasa ketidakadilan tersebut. Alasan itu sesuai
dengan pernyataan Kanfer (1992) yang menyebutkan bahwa persepsi
tidak adil yang dirasakan oleh seorang individu dapat menimbulkan
perilaku yang ditujukan untuk mengurangi perasaan tidak adil
tersebut. Perilaku-perilaku yang ditunjukkan oleh mereka dapat
meliputi; sabotase, melakukan tindakan manipulatif, atau
meninggalkan pekerjaan. Oleh karena itu, untuk menghindari atau
mengurangi perilaku-perilaku negatif yang dapat ditimbulkan oleh
perasaan tidak adil terhadap suatu kebijakan penetapan harga
transfer, maka perlu diketahui pengaruh faktor-faktor penentu
ketidakadilan dalam kebijakan penetapan harga transfer terhadap
perilaku negatif yang dilakukan sebagai respon terhadap ketidak
adilan tersebut. Ghosh (2000) menyebutkan bahwa desain
organisasional dapat memainkan peran penting dalam mempengaruhi
perilaku manajer melalui pengaruhnya pada bagaimana kinerja
5

manajer diukur, dinilai dan diberi penghargaan secara adil.


Menurutnya, perilaku-perilaku negatif dapat timbul karena
terdapatnya rasa ketidakadilan terhadap suatu kebijakan penetapan
harga transfer. Secara khusus dia menyatakan bahwa desain
organisasional yang tidak adil dapat menimbulkan perilaku-perilaku
manajer yang ditujukan untuk mengurangi rasa ketidakadilan
tersebut. Oleh karena itu, penyelesaian masalah yang berkaitan
dengan penentuan harga transfer bukan hanya terletak pada
perubahan metoda penentuan harga transfer, tetapi lebih terkait
dengan pengaturan faktor-faktor lainnya yang mempengaruhi kinerja
perusahaan atau bagaimana kinerja manajer dinilai dan diberi
penghargaan.”

Menurut Gunadi yang dikutip oleh Iman Santoso (2004:127-128)

menyatakan bahwa:

“Dengan mempertimbangkan atribut entitas, kita dapat menarik


benang merah antara ‘intracompany’ dengan ‘intercompany’
transfer, yang pertama merujuk pada transfer antar divisi pada satu
entitas, sedangkan yang lain mengacu pada transfer antar entitas
dalam satu keluarga besar perusahaan. Transfer antardivisi pada
satu entitas tersebut maksudnya adalah transfer antardivisi dalam
satu perusahaan yang terbagi ke dalam beberapa divisi, sedangkan
transfer antarentitas dalam satu keluarga besar perusahaan
maksudnya adalah transfer yang dilakukan antara perusahaan satu
dengan perusahaan lainnya yang masih berada dalam satu grup
perusahaan. Korporasi multinasional dengan perusahaan-
perusahaan yang berada dalam satu entitas ekonomi adalah
perusahaan-perusahaan yang berada di bawah kepemilikan atau
penguasaan yang sama dan kurang lebih dikendalikan oleh
perusahaan induk di kantor pusat. Perusahaan induk ini pula yang
berwenang menentukan transfer pricing yang berlaku dalam
perdagangan internasional antara mereka (anak perusahaan/
subsidiaries). Dalam hal ini transfer pricing merupakan piranti
pengukur hak dan kewajiban yang sangat penting diantara
subsidiaries. Sehingga, secara artifisial, transfer pricing dapat
menyimpang dari harga yang ‘normal’ atau ‘benar’. Di lain pihak,
secara pejoratif istilah transfer pricing sering dikaitkan dengan
suatu rekayasa manipulasi harga secara sistematis dengan maksud
mengurang laba artifisial, mengupayakan agar perusahaan ‘rugi’,
serta menghindari pajak atau bea disuatu negara.”

Berdasarkan pernyataan di atas, terlihat bahwa harga transfer merupakan

suatu hal yang penting bagi kinerja suatu unit bisnis. Karena harga transfer
6

yang telah ditetapkan akan mempengaruhi besarnya laba atau bahkan

mengakibatkan kerugian bagi divisi atau unit bisnis yang terlibat didalamnya.

Penelitian ini merupakan replikasi dari penelitian yang dilakukan oleh

Mochamad Arif Abdullah (2004) yang berjudul “Pengaruh Penerapan Harga

Transfer Terhadap Kinerja Suatu Unit Usaha Sebagai Pusat Laba”. Dalam

penelitian ini terdapat dua variabel yang diteliti yaitu penerapan harga transfer

sebagai variabel independeni. Untuk variabel dependen yaitu kinerja unit usaha

sebagai pusat laba yang diwakili oleh rasio profitabilitasnya yaitu Return on Asset

(ROA). Dengan koefisien korelasi sebesar 0,698, menunjukkan bahwa terdapat

korelasi yang kuat dan positif antara variabel independen dan variabel dependen.

Dengan menggunakan analisis statistik Uji t, diperoleh nilai thitung > ttabel (4,462 >

1,717), maka Ho ditolak dan H1 diterima, artinya hipotesis awal dapat diterima.

Berdasarkan hasil penelitian terdahulu, dapat dibuktikan bahwa terdapat pengaruh

yang kuat dan signifikan pada penerapan harga transfer terhadap kinerja unit

usaha sebagai pusat laba.

Penulis menggunakan penelitian terdahulu dimaksudkan untuk dijadikan

bahan pertimbangan adanya beberapa persamaan di dalam penelitian. Namun

pada penelitian ini penulis manambah variabel independen yaitu harga jual untuk

mengetahui apakah terdapat perbedaan antara harga transfer dengan harga jual,

serta bagaiman besarnya pengaruh masing-masing variabel independen yaitu

harga transfer dan harga jual terhadap variabel dependen yaitu kinerja unit bisnis

sebagai pusat laba karena penelitian terdahulu memiliki keterbatasan hanya

meneliti mengenai harga transfer saja.


7

Adapun fenomena mengenai kinerja unit bisnis yang dikutip dari Faisal

(2006:3) adalah:

“Menurut Mia dan Clarke beberapa hasil penelitian di Australia yang


dimuat dalam The Australian Financial Review tahun 1995 telah
menyimpulkan bahwa semakin intensif persaingan pasar maka
kinerja organisasi menjadi lebih baik. Namun penelitian Khandawalla
(1972) menyatakan bahwa terdapat hubungan negatif antara harga,
produk dan distribusi pemasaran dengan kinerja perusahaan.”

Adapun masalah mengenai kinerja yang dikutip dari www.aa-

multimedia.blogspot.com adalah sebagai berikut:

“Dell yang mula-mula menjual komputer lewat surat (mail order).


Dengan menggunakan strategi ini Dell dapat menjual dengan harga di
bawah pesaingnya. Pada tahun 1993, Compaq yang pada saat itu
sebagai pemimpin pasar penjualan PC, melalukan pemotongan harga
untuk menyaingi Dell. Hasilnya Dell Computer penjualannya turun
yang berakibat menderita kerugian 65 juta dolar pada enam bulan
pertama, yang menyebabkan hampir bangkrut.”

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan

penelitian lebih lanjut dengan judul “Pengaruh Harga Transfer dan Harga

Jual Terhadap Kinerja Unit Bisnis Sebagai Pusat Laba”. (Penelitian Pada

Direktorat Aerostructure di PT Dirgantara Indonesia).

1.2. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian di atas, dapat diidentifikasi masalah

pokok dalam penelitian ini yaitu:

1. Bagaimana harga transfer pada Direktorat Aerostructure di PT Dirgantara

Indonesia.

2. Bagaimana harga jual pada Direktorat Aerostructure di PT Dirgantara

Indonesia.
8

3. Apakah terdapat perbedaan antara harga transfer dengan harga jual pada

Direktorat Aerostructure di PT Dirgantara Indonesia.

4. Bagaimana kinerja unit bisnis pada Direktorat Aerostructure di PT

Dirgantara Indonesia.

5. Seberapa besar pengaruh harga transfer terhadap kinerja unit bisnis pada

Direktorat Aerostructure di PT Dirgantara Indonesia.

6. Seberapa besar pengaruh harga jual terhadap kinerja unit bisnis pada

Direktorat Aerostructure di PT Dirgantara Indonesia.

1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian

1.3.1. Maksud Penelitian

Maksud dari penelitian ini adalah untuk memperoleh data dan informasi

mengenai harga transfer dan harga jual di perusahaan dan pengaruhnya terhadap

kinerja unit bisnis sebagai pusat laba. Selain itu, untuk membandingkan antara

teori yang dipelajari oleh penulis di perkuliahan dengan kenyataan yang ditemui

di lapangan.

1.3.2. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah sebagai

berikut:

1. Untuk mengetahui harga transfer yang ada pada Direktorat Aerostructure

di PT Dirgantara Indonesia.
9

2. Untuk mengetahui harga jual yang ada pada Direktorat Aerostructure di

PT Dirgantara Indonesia.

3. Untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan antara harga transfer dengan

harga jual pada Direktorat Aerostructure di PT Dirgantara Indonesia.

4. Untuk mengetahui kinerja unit bisnis pada Direktorat Aerostructure di PT

Dirgantara Indonesia.

5. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh harga transfer terhadap kinerja

unit bisnis pada Direktorat Aerostructure di PT Dirgantara Indonesia.

6. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh harga jual terhadap kinerja

unit bisnis pada Direktorat Aerostructure di PT Dirgantara Indonesia.

1.4. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini mempunyai dua manfaat, yaitu secara praktis dan teoritis

yang akan dijelaskan sebagai berikut:

1.4.1. Kegunaan Praktis

Penelitian ini merupakan suatu hal yang dapat menimbulkan manfaat baik

bagi penulis, bagi perusahaan, maupun bagi pembaca pada umumnya. Adapun

manfaat-manfaat yang dapat diambil adalah sebagai berikut:

1. Bagi Penulis

a. Untuk memenuhi salah satu syarat dalam menempuh ujian sidang

untuk meraih gelar Sarjana Ekonomi Bidang Studi Akuntansi di

Fakultas Ekonomi Universitas Pasundan Bandung.


10

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperluas wawasan dan

menambah pengetahuan mengenai metode penelitian yang

menyangkut masalah akuntansi manajemen pada umumnya, serta

perbandingan antara harga transfer dan harga jual pada khususnya

berdasarkan teori-teori yang diperoleh dari hasil kuliah dan

mengaplikasikannya pada kenyataan bisnis.

2. Bagi Perusahaan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran

dan masukan mengenai harga transfer dan harga jual yang komprehensif

serta pengaruhnya terhadap kinerja unit bisnis sebagai pusat laba.

3. Bagi Pembaca

Sebagai tambahan pengetahuan dalam memahami pengaruh harga transfer

dan harga jual terhadap kinerja unit bisnis sebagai pusat laba serta untuk

menjadikan bahan masukan dan informasi guna melakukan penelitian

selanjutnya.

1.4.2. Kegunaan Teoritis

Penulis sangat berharap hasil dari penelitian yang dilakukan dapat

menambah pemahaman mengenai harga transfer dan harga jual, serta

pengaruhnya terhadap kinerja unit bisnis sebagai pusat laba.


BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN

HIPOTESIS

2.1. Kajian Pustaka

2.1.1. Ruang Lingkup Harga Transfer

2.1.1.1. Pengertian Harga Transfer

Pengertian harga transfer menurut Anthony dan Govindarajan dalam F. X.

Kurniawan Tjakrawala (2008:284) adalah: …nilai yang diberikan atas suatu

transfer barang atau jasa dalam suatu transaksi di mana setidaknya salah

satu dari kedua pihak yang terlibat adalah pusat laba.

Menurut Supriyono (2000:416) definisi harga transfer dapat digolongkan

menjadi dua yaitu:

“Dalam arti luas, harga transfer adalah nilai barang dan jasa yang
ditransfer oleh suatu pusat pertanggungjawaban ke pusat
pertanggungjawaban yang lain. Dalam arti sempit, harga transfer
adalah nilai barang dan jasa yang ditransfer antara dua divisi (pusat
laba) atau lebih.”

Sedangkan menurut Abdul Halim, Achmad Tjahjono, dan Muh. Fakhri

Husein (2000:110) definisi harga transfer adalah:

“Dalam arti luas harga transfer adalah harga barang atau jasa yang
ditransfer antar pusat pertanggungjawaban dalam satu organisasi
tanpa memandang bentuk pusat pertanggungjawabannya. Sedangkan
dalam arti sempit, harga transfer adalah harga barang atau jasa yang
ditransfer antar pusat laba atau setidak-tidaknya salah satu dari
pusat pertanggungjawaban yang terlibat merupakan pusat laba.”

11
12

2.1.1.2. Tujuan Harga Transfer

Menurut Anthony dan Govindarajan dalam F. X. Kurniawan Tjakrawala

(2008:284) harga transfer harus dirancang sedemikian rupa sehingga dapat

mencapai tujuan berikut ini:

1. Memberikan informasi yang relevan kepada masing-masing unit


usaha untuk menentukan imbal balik yang optimum antara biaya
dan pendapatan perusahaan.
2. Menghasilkan keputusan yang selaras dengan cita-cita—
maksudnya, sistem harus dirancang sedemikian rupa sehingga
keputusan yang meningkatkan laba unit usaha juga akan
meningkatkan laba perusahaan.
3. Membantu pengukuran kinerja ekonomi dari unit usaha
individual.
4. Sistem tersebut harus mudah dimengerti dan dikelola.

Menurut Supriyono (2000:414) suatu sistem harga transfer yang baik

harus mencapai tujuan sebagai berikut:

1. Memberikan informasi relevan bagi para manajer.


Sistem harga transfer dapat memberikan informasi relevan yang
diperlukan oleh setiap divisi untuk menentukan harga transfer.
2. Mencapai keselarasan tujuan.
Sistem harga transfer dapat memotivasi manajer divisi penjual,
divisi pembeli dan mungkin manajer kantor pusat untuk membuat
keputusan harga transfer yang sehat. Tindakan manajer divisi
tertentu untuk meningkatkan laba divisinya juga dapat
meningkatkan laba perusahaan secara keseluruhan, jadi
diharapkan timbul kesesuaian tujuan.
3. Mengukur kinerja ekonomi divisi.
Sistem harga transfer dapat menghasilkan laporan laba setiap
divisi individual yang secara layak mengukur kinerja ekonomi
(laba bersih) divisi dan kontribusinya terhadap laba perusahaan
secara keseluruhan.
4. Mengukur kinerja manajer divisi.
Sistem harga transfer harus mendorong peningkatan kinerja
manajer divisi karena harga transfer dapat digunakan sebagai
dasar untuk perencanaan, pembuatan keputusan, dan
pengendalian divisinya.
5. Sederhana dan mudah.
Sistem harga transfer harus sederhana untuk dipahami dan
mudah diadministrasikan.
13

Sedangkan menurut Abdul Halim, Achmad Tjahjono, dan Muh. Fakhri

Husein (2000:112) harga transfer harus didesain sedemikian rupa sehingga

memenuhi tujuan-tujuan berikut:

1. Menyajikan informasi yang relevan untuk keputusan trade off


antara pendapatan dan biaya.
2. Memotivasi manajer untuk mencapai goal congruence.
3. Membantu menilai kinerja ekonomi pusat laba yang terkait.
4. Sistemnya sederhana untuk dipahami dan mudah
diadministrasikan.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan harga transfer adalah

untuk memberikan informasi yang relevan kepada masing-masing unit dalam

menentukan biaya dan pendapatan yang adil untuk perusahaan, mencapai

keselarasan tujuan, mengukur kinerja ekonomi divisi, mengukur kinerja manajer

divisi, dan sistem tersebut harus mudah dimengerti dan dikelola. Keselarasan

tujuan dapat tercapai jika dalam penentuan harga transfer dapat memenuhi prinsip

dasar harga transfer.

2.1.1.3. Karakteristik Harga Transfer

Menurut Mulyadi (2001:382) harga transfer pada hakikatnya memilki tiga

karakteristik berikut ini:

1. Masalah harga transfer hanya timbul jika divisi yang terkait


diukur kinerjanya berdasarkan atas laba yang diperoleh mereka
dan harga transfer merupakan unsur yang signifikan dalam
membentuk biaya penuh produk yang diproduksi di divisi
pembeli.
Jika perusahaan membentuk divisi sebagai pusat laba yang
diperoleh, manajer pusat laba akan peduli atas faktor-faktor yang
mempengaruhi laba divisinya. Karena transfer barang antar divisi
merupakan pendapatan bagi divisi penjual dan biaya bagi divisi
pembeli, manajer divisi terkait akan berkepentingan terhadap
14

unsur-unsur yang diperhitungkan dalam penentuan yang


diproduksi di divisi pembeli, penentuan harga transfer tidak
merupakan masalah dalam perusahaan.
2. Harga transfer selalu mengandung unsur laba didalamnya.
Bagi divisi penjual, harga transfer merupakan pendapatan yang
merupakan unsur laba yang dipakai sebagai dasar pengukuran
kinerja divisi. Karena divisi penjual diukur kinerjanya atas dasar
laba, maka transfer barang ke divisi pembeli harus mengandung
unsur laba di dalamnya.
3. Harga transfer merupakan alat untuk mempertegas diversifikasi
dan sekaligus mengintegrasikan divisi yang dibentuk.
Divisionalisasi merupakan cara yang ditempuh oleh manajemen
puncak untuk mendiversifikasi bisnis perusahaan. Proses
penentuan harga transfer memberikan kesempatan kepada para
manajer divisi yang terkait untuk merundingkan semua unsur
yang menbuat harga transfer, karena setiap unsur yang
membentuk harga transfer akan berpengaruh terhadap laba divisi
mereka. Di sisi lain, harga transfer merupakan salah satu alat
integrasi divisi dalam diversified company. Dengan harga transfer,
divisi-divisi yang dibentuk, yang seolah-olah merupakan
perusahaan yang independen, harus melakukan negosiasi untuk
menetapakan harga barang atau jasa yang ditransfer
antarmereka.

2.1.1.4. Masalah yang Dirundingkan dalam Penentuan Harga Transfer

Menurut Mulyadi (2001:382-383) karena setiap divisi yang dibentuk

perusahaan diukur kinerjanya atas dasar laba yang diperoleh masing-masing,

maka dua masalah yang selalu dirundingkan oleh divisi penjual dan divisi pembeli

adalah:

1. Dasar yang digunakan sebagai landasan penentuan harga


transfer.
Dalam penentuan harga transfer, divisi pembeli dan divisi penjual
harus menyepakati dasar yang akan dipakai sebagai landasan
penentuan harga barang yang ditransfer antar divisi tersebut. Ada
dua dasar yang dapat digunakan sebagai landasan dalam
penentuan harga transfer, yaitu biaya dan harga pasar. Biaya
yang dipakai sebagai dasar penentuan harga transfer adalah biaya
penuh, yang dapat dipilih dari dua macam biaya penuh: biaya
penuh sesungguhnya dan biaya penuh standar. Baik biaya penuh
15

sesungguhnya maupun biaya penuh standar dapat direkayasa


dengan salah satu pendekatan: full costing, variabel costing dan
activity based costing.
2. Besarnya laba yang diperhitungkan dalam harga transfer.
Laba yang diperhitungkan disini dapat ditentukan berdasarkan
persentase tertentu dari biaya penuh atau berdasarkan aktiva
penuh yang digunakan untuk memproduksi produk jika laba
ditentukan sebesar persentase tertentu dari biaya penuh, harga
transfer yang dihasilkan tidak memperhitungkan modal yang
digunakan dalam memproduksi produk yang ditransfer. Aktiva
penuh merupakan dasar yang baik untuk memperhitungkan laba
dalam harga transfer, namun banyak masalah yang timbul dalam
memperhitungkan aktiva penuh sebagai investment base.

Menurut Mulyadi (2001:383-384) jika aktiva penuh divisi dipakai sebagai

dasar penentuan laba yang diperhitungkan dalam harga transfer, dua faktor yang

harus dipertimbangkan adalah:

1. Jenis aktiva yang dipergunakan sebagai dasar.


Jenis aktiva yang diperhitungkan sebagai dasar penentuan laba
dalam harga transfer dapat digolongkan menjadi dua kelompok:
aktiva lancar dan aktiva tidak lancar. Jenis aktiva lancar yang
digunakan oleh divisi penjual adalah aktiva lancar yang
dipergunakan untuk operasi divisi penjual. Dengan demikian
investasi sementara dalam surat berharga tidak diperhitungkan
sebagai aktiva yang dipakai sebagai dasar penentuan laba dalam
harga transfer. Begitu pula dengan investasi jangka panjang divisi
penjualan tidak diperhitungkan dalam aktiva tidak lancar yang
dipakai sebagai dasar penentuan laba dalam harga transfer.
2. Cara penilaian aktiva yang digunakan sebagai dasar.
Aktiva tetap yang diperhitungkan sebagai dasar penentuan laba
dalam harga transfer adalah kondisi aktiva tetap divisi penjual
pada awal tahun berlakunya harga transfer. Jika dalam tahun
berjalan, divisi penjual melakukan investasi dalam aktiva tetap,
jumlah ini biasanya diperhitungkan dalam penentuan harga
transfer tahun berikutnya. Begitu pula jika dalam tahun berjalan
divisi penjual melakukan penghentian pemakaian aktiva tetapnya,
perubahan ini baru diperhitungkan dalam penentuan harga
transfer berikutnya. Cara penilaian aktiva yang dipakai sebagai
dasar penentuan laba yang diperhitungkan dalam harga transfer
dapat dibagi menjadi dua cara: cara penilaian aktiva lancar dan
cara penilaian aktiva tetap. Jika jenis aktiva lancar yang
diperhitungkan dalam investment base telah ditetapkan, penilaian
aktiva lancar dapat dipilih dari :
16

a. Nilai bersih yang dapat direalisasikan (net realizable value)


aktiva lancar pada awal tahun berlakunya harga transfer.
b. Nilai bersih yang dapat direalisasikan (net realizable value)
aktiva lancar rata-rata dalam tahun berlakunya harga
transfer.

2.1.1.5. Metode Penentuan Harga Transfer

Banyak metode penentuan harga transfer yang digunakan dalam praktik.

Tidak ada metode harga transfer yang sempurna. Setiap metode penentuan harga

transfer mempunyai keunggulan dan sekaligus memiliki kelemahan jika

dibandingkan dengan metode harga transfer lainnya. Namun sering kali metode

harga transfer berdasar harga pasar, jika dapat ditentukan, umumnya dipandang

sebagai dasar terbaik.

Dalam Carter dan Usry dalam Krista S.E., Ak (2005:521) sistem

penetapan harga transfer harus memenuhi kriteria fundamental berikut ini:

1. Harus memungkinkan manajemen pusat untuk menilai seakurat


mungkin kinerja dari pusat laba divisional dalam hal kontribusi
dari divisi tersebut secara terpisah ke total laba korporat.
2. Harus memotivasi manajer divisional untuk mengejar cita-cita
laba divisi itu sendiri dengan cara yang kondusif bagi
keberhasilan perusahaan secara keseluruhan.
3. Harus merangsang efisiensi manajer tanpa kehilangan otonomi
divisi tersebut sebaga pusat biaya.

Sistem harga transfer dapat bervariasi dari yang paling sederhana sampai

yang paling rumit, tergantung dari sifat usahanya. Menurut Supriyono (2000:415)

definisi prinsip dasar harga transfer adalah: …prinsip yang menyatakan bahwa

harga transfer harus serupa dengan harga yang dibebankan jika produk

dijual kepada pihak luar atau jika produk dibeli dari pihak luar.
17

Sedangkan menurut Anthony dan Govindarajan dalam F. X. Kurniawan

Tjakrawala (2008:284) definisi prinsip dasar harga transfer adalah: …bahwa

harga transfer sebaiknya serupa dengan harga yang ditentukan seandainya

produk tersebut dijual ke konsumen luar atau dibeli dari pemasok luar.

Prinsip dasar tersebut di atas dapat tercapai jika tercipta situasi ideal dalam

penentuan harga transfer. Menurut Supriyono (2000:415) situasi ideal adalah:

…situasi yang mendorong tercapainya keselarasan tujuan penentuan harga

transfer yang mencakup orang yang kompeten, iklim yang baik, harga pasar,

kebebasan sumber, arus informasi penuh, negosiasi, dan kriteria ganda.

Adapun penjelasan mengenai situasi tersebut menurut Supriyono (2000:415)

adalah sebagai berikut:

1. Orang yang kompeten


Orang yang kompeten adalah orang yang mampu
menegosiasi atau mengarbitrasi harga transfer berdasar
kepentingan jangka pendek dan jangka panjang.
2. Iklim yang baik
Harga transfer yang ideal didasarkan pada iklim yang baik.
Iklim yang baik berarti para manajer divisi dan kantor pusat
memandang bahwa profitabilitas merupakan salah satu tujuan
terpenting dan digunakan untuk mengukur kinerja mereka
dan mereka berpendapat bahwa harga transfer ditentukan
dengan adil.

3. Harga pasar
Harga transfer yang ideal ditentukan oleh harga pasar normal
untuk produk yang ditransfer. Harga pasar tersebut biasanya
disesuaikan atau dikurangi dengan penghematan biaya karena
produk tersebut ditransfer ke divisi lain dan bukanlah dijual ke
pihak luar.
4. Kebebasan sumber
Harga transfer yang ideal didasarkan pada kebebasan
sumber. Kebebasan sumber memungkinkan bagi para manajer
pembeli dan penjual untuk memilih alternatif-alternatif terbaik.
Manajer divisi penjual harus memiliki kebebasan untuk menjual
produknya pada divisi lain dalam organisasi atau menjualnya
18

pada pihak luar. Manajer divisi pembeli harus memiliki


kebebasan untuk membeli masukkannya di divisi lain dalam
organisasi atau membelinya di pihak luar.
5. Arus informasi penuh
Harga transfer yang ideal didasarkan pada arus informasi
penuh. Para manajer divisi penjual, divisi pembeli, dan kantor
pusat harus mengetahui informasi secara penuh mengenai
alternatif-alternatif yang tersedia serta pendapatan dan biaya-
biaya yang relevan.
6. N e g o s i a s i
Harga transfer yang ideal dihasilkan dari mekanisme
proses negosiasi "kontrak" secara lancar diantara divisi-divisi.
7. Kriteria ganda
Harga transfer yang ideal dapat memenuhi kriteria ganda,
antara lain: obyektivitas, realisme, keadilan bagi semua
yang terlibat, waktu yang minimum unutuk negosiasi atau
arbitrasi, dan risiko suboptimasi yang minimum. Risiko
suboptimasi adalah risiko yang timbul karena divisi-divisi yang
menegosiasikan harga transfer mementingkan optimalisasi
pencapaian tujuan divisinya sendiri tanpa memperhatikan
keselarasan tujuan perusahaan secara keseluruhan.

Dua metode harga transfer yang sering digunakan dalam praktik adalah

metode harga transfer berdasar pasar (market-based transfer pricing) dan metode

harga transfer berdasar biaya (cost-based transfer pricing). Di bawah ini dibahas

kedua metode tersebut.

2.1.1.5.1. Metode Harga Transfer Berdasar Harga Pasar

Menurut Supriyono (2000:417) metode harga pasar adalah: …metode

penentuan harga transfer barang atau jasa antar pusat laba

didasarkan atas harga pasar dikurangi penghematan biaya karena

produk tersebut ditransfer antardivisi. Jika terdapat harga pasar barang

dan jasa yang ditransfer antarpusat laba ada maka harga pasar saat ini

adalah dasar terbaik untuk penentuan harga transfer.


19

Menurut Supriyono (2000:417) harga pasar merupakan dasar terbaik

untuk penentuan harga transfer sebab:

1. Mencerminkan transaksi independen (arm’s length transaction).


Transaksi independen (arm’s length transaction) adalah
transaksi yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih secara
bebas. Harga pasar ditentukan oleh pihak-pihak
eksternal perusahaan sehingga menggambarkan transaksi
independen (arm’s length transaction).
2. Merupakan dasar yang terbaik untuk pembuatan
keputusan.
Bagi divisi penjual, harga pasar dapat dipakai dasar
untuk membuat keputusan untuk menjual barang atau
jasanya ke pihak luar atau mentransfernya ke divisi yang
lain. Demikian pula bagi divisi pembeli, harga pasar dapat
dipakai dasar pembuatan keputusan untuk membeli barang dan
jasa dari pihak luar atau menerima transfer dari divisi yang
lain.
3. Menjadikan setiap divisi sebagai satuan bisnis
independen.
Harga pasar bagi divisi penjual mencerminkan pendapatan
divisi tersebut jika barang dan jasanya dijual kepada pihak
luar dan bagi divisi pembeli mencerminkan biaya jika divisi
tersebut membelinya dari pihak luar sehingga menjadikan
setiap divisi sebagai satuan bisnis independen yang terpisah
satu sama lain.

Jika transaksi harga transfer dicatat pada harga pasar, profitabilitas

divisi mencerminkan kontribusi ekonomi nyata divisi terhadap laba total

perusahaan. Menurut Supriyono (2000:417) penerapan metode harga pasar

menghadapi dua kondisi yaitu: …divisi dengan sumber independen (tanpa

kendala sumber) dan divisi dengan kendala sumber. Adapaun penjelasannya

adalah sebagai berikut:

a. Sumber Independen

Jika divisi penjual dapat menjual produknya di pasar luar dan divisi

pembeli dapat membeli barang atau jasa yang diperlukannya dari sumber luar
20

maka keadaan ini memungkinkan setiap divisi bebas dari divisi lainnya. Dalam

penentuan harga transfer berdasar harga pasar, keadaan ini sering kali

dinamakan harga transfer berdasar harga pasar tanpa kendala sumber. Menurut

Supriyono (2000:418) jika setiap divisi bebas dari divisi lainnya atau tidak ada

kendala sumber maka:

1. Keputusan harga transfer dan sumber harus diselesaikan secara


bersama-sama oleh manajer divisi yang bersangkutan.
2. Sistem ini tidak memerlukan atau hanya sangat sedikit
memerlukan campur tangan staf kantor pusat atau manajemen
puncak dalam penentuan harga transfer dan sumber.

Agar setiap divisi memperhatikan kemakmuran perusahaan secara

menyeluruh, biasanya oleh kantor pusat ditentukan batasan terhadap kebebasan

divisi dibandingkan dengan pihak luar yang benar-benar independen. Menurut

Supriyono (2000:418) keterbatasan tersebut diantaranya sebagai berikut:

1. Jika harga yang ditawarkan oleh divisi di dalam perusahaan


besarnya sama dengan harga pasar dan kondisi lainnya sama,
produk tersebut harus dibuat di dalam perusahaan atau tidak
dibeli dari pihak luar.
2. Jika terdapat harga distress (distress price) maka harga yang
ditawarkan oleh pemasok luar tersebut tidak perlu dipedulikan
dan produk tersebut harus dibuat sendiri di dalam perusahaan.
Harga distress (distress price) adalah harga temporer yang
relatif sangat rendah yang ditawarkan oleh pemasok luar.
3. Perubahan sumber dan harga transfer yang diusulkan oleh
divisi pembeli maupun divisi penjual harus ditelaah dan
disetujui oleh kantor pusat agar usulan perubahan tersebut
merupakan keputusan terbaik bagi kepentingan perusahaan
secara keseluruhan.

b. Kendala Sumber

Seringa kali divisi tidak memiliki kebebasan untuk memperoleh sumber.

Menurut Supriyono (2000:419) kendala ini mungkin disebabkan karena:

1. Industri terintegrasi
21

Perusahaan yang berada dalam industri yang sifatnya sangat


terintegrasi sulit memperoleh produk antara (intermediate
product) dari pihak luar karena jarang diperjualbelikan.
2. Tidak ada sumber luar
Jika tidak ada sumber luar atau tidak ada perusahaan lain yang
memproduksi produk yang sama dengan yang ditransfer
antardivisi, maka divisi-divisi menghadapi kendala sumber.
3. Risiko pemasok luar
Menajemen puncak tidak mau menghadapi risiko berhubungan
dengan pemasol liar, misalnya karena volume produk yang
diperlakukan signifikan, atau produk merupakan komponen
kunci, atau proses pengolahan produk sifatnya rahasia.
4. Investasi besar
Perusahaan telah menanamkan investasi yang cukup besar
dalam fasilitas pengolahan produk yang ditransfer sihingga
tidak logis jika produk tersebut dibeli dari pihak luar sebesar
harga pasarnya.

Menurut Anthony dan Govindarajan dalam F. X. Kurniawan Tjakrawala

(2008:287) dalam banyak perusahaan, pasar bagi pusat laba penjual atau pembeli

dapat saja sangat terbatas. Ada beberapa alasan akan hal ini:

1. Keberadaan kapasitas internal mungkin membatasi


pengembangan penjualan eksternal.
2. Jika suatu perusahaan merupakan produsen tunggal dari produk
yang terdeferensiasi, tidak ada sumber daya dari luar.
3. Jika suatu perusahaan telah melakukan investasi yang besar,
maka perusahaan cenderung tidak akan menggunakan sumber
daya dari luar kecuali harga jual di luar mendekati biaya
variabel perusahaan, di mana hal itu jarang sekali terjadi.

Sedangkan menurut Abdul Halim, Achmad Tjahjono, dan Muh. Fakhri

Husein (2000:115) beberapa alasannya dapat disebutkan sebagai berikut:

1. Kapasitas internal yang terbatas sehingga tidak memungkinkan


pengembangan penjualan produk ke pihak eksternal. Dalam
kondisi pusat laba penjual hanya boleh menjual secara internal,
maka keputusan yang dibatasi adalah keputusan penjualan.
2. Jika perusahaan merupakan produsen untuk produk yang sangat
khas (unik) saja, sehingga produk tersebut tidak dijual di pasar
ekstern. Dalam kondisi pusat laba penjual hanya dapat menjual
kepada pasar internal, maka keputusan yang dibatasi adalah
keputusan sumber.
22

3. Jika perusahaan telah melakukan investasi yang signifikan pada


fasilitas produksi. Dalam kondisi ini, pertimbangan untuk lebih
mengoptimalkan fasilitas produksi menjadi hal penting,
walaupun produk yang akan dibutuhkan ada pada pasar ekstern,
dengan demikian keputusan sumber yang dibatasi.

Meskipun perusahaan menghadapi kendala sumber pengadaan sehingga

pasar produk yang ditransfer terbatas, namun dalam penentuan harga transfer

harus tetap menggunakan harga yang bersaing (harga kompetitif). Menurut

Supriyono (2000:419) harga yang bersaing adalah: …harga yang ditentukan

dari transaksi independen (arm’s length).

Menurut Mulyadi (2001:397) harga saing adalah: …harga produk yang

sama dengan produk yang ditransfer, yang berlaku di pasar luar.

Sedangkan menurut Anthony dan Govindarajan dalam F. X. Kurniawan

Tjakrawala (2008:284) adalah sebagai berikut: …harga transfer yang paling

memenuhi persyaratan sistem pusat laba adalah harga kompetitif. Harga

kompetitif mengukur kontribusi dari setiap pusat laba terhadap laba

perusahaan secara keseluruhan.

Menurut Supriyono (2000:419) alasan pengunaan harga yang bersaing

adalah sebagai berikut:

1. Pengukur kontribusi setiap divisi


Harga yang bersaing dapat mengukur kontribusi setiap pusat
laba terhadap laba total perusahaan. Jika sumber internal tidak
tersedia maka perusahaan harus membeli dari pemasok luar
dengan harga yang bersaing sehingga selisih harga tersebut
dengan biaya perusahaan menggambarkan kontribusi pusat
laba tersebut.
2. Pengukuran kinerja setiap divisi
Harga yang bersaing dapat mengukur prestasi suatu pusat laba
dalam menghadapi persaingan dengan pihak luar.
3. Independen
Harga yang bersaing sifatnya independen terhadap kondisi-
23

kondisi internal pusat laba yang bersangkutan.

Sedangkan menurut Mulyadi (2001:397) harga saing lebih baik sebagai

harga transfer dibandingkan dengan harga harga transfer yang ditetapkan secara

intern dalam perusahaan terintegrasi karena:

1. Harga saing akan mengukur kontribusi masing-masing divisi


terhadap laba perusahaan secara keseluruhan. Jika kapasitas di
dalam perusahaan tidak tersedia, perusahaan harus membeli dari
luar pada harga saing. Selisih antara harga saing dengan biaya
yang harus dikeluarkan oleh perusahaan merupakan uang yang
dapat dihemat karena pemilihan alternatif membuat sendiri
dibandingkan dengan alternatif membeli dari pemasok luar.
2. Harga saing mengukur kinerja suatu divisi dalam menghadapi
persaingan.
3. Harga saing tidak terikat oleh kondisi intern perusahaan.

Jika suatu perusahaan yang terintegrasi tidak mengetahui tingkat harga

yang bersaing (harga kompetitif) karena tidak melakukan pembelian atau

penjualan produknya ke pasar bebas maka menurut Anthony dan Govindarajan

dalam F. X. Kurniawan Tjakrawala (2008:288) adalah:

1. Jika ada harga pasar yang diterbitkan, maka harga tersebut dapat
digunakan untuk menentukan harga transfer. Tetapi, terbitan
tersebut harus merupakan harga yang benar-benar dibayarkan di
pasar bebas, dan kondisi yang ada di pasar bebas harus konsisten
dengan kondisi yang ada dalam perusahaan.
2. Harga pasar mungkin ditentukan berdasarkan penawaran (bid).
Hal ini umumnya dapat dilakukan hanya jika penawar terendah
masih memiliki peluang untuk memenangkan bisnis tersebut.
Suatu perusahaan melakukan hal ini dengan membeli kira-kira
separuh dari kelompok produk tertentu di luar dan separuh lagi
di dalam perusahaan. Perusahaan tersebut menawarkan seluruh
produk tetapi memilih separuh yang tetap tidak dijual.
Perusahaan tersebut mendapatkan penawaran yang sah karena
penawar terendah dapat berharap untuk memperoleh sebagian
dari bisnis tersebut. Sebaliknya, jika suatu perusahaan meminta
penawaran hanya untuk mendapatkan harga kompetitif dan tidak
memberikan kontrak tersebut kepada penawar terendah, maka
perusahaan tersebut akan segera menemukan bahwa tidak akan
24

ada tawaran atau tawaran tersebut memiliki nilai yang


dipertanyakan.
3. Jika pusat laba produksi menjual produk yang serupa di pasar
bebas, maka pusat laba tersebut sering kali meniru harga
kompetitif berdasarkan harga luar.
4. Jika pusat laba pembelian membeli produk yang serupa dari
pasar luar/bebas, maka pusat laba tersebut dapat meniru harga
kompetitif untuk produk-produk eksklusifnya. Hal ini dapat
dilakukan dengan cara menghitung biaya dari perbedaan dalam
desain dan kondisi penjualan lain antara produk kompetitif dan
produk eksklusif.

c. Harga Pasar yang Dimodifikasi

Menurut Supriyono (2000:421) harga pasar yang dimodifikasi (harga pasar

minus) adalah: …harga pasar produk dikurangi dengan biaya-biaya yang

dapat dihemat (dihindari atau ditekan) karena produk ditransfer ke pusat

laba lain dibandingkan dengan jika produk tersebut dijual pada pihak luar.

Sedangkan menurut Mulyadi (2001:395) pada umumnya harga transfer

ditetapkan pada harga pasar minus (market-price-minus). Di dalam transfer

produk antardivisi di dalam perusahaan terdapat hal-hal berikut ini:

1. Kuantitas produk yang ditransfer dari divisi penjual ke divisi


pembeli cukup besar sehingga menimbulkan penghematan biaya
bagi divisi penjual karena produksi yang besar tersebut. Oleh
karena itu, potongan volume (volume discount) seringkali
digunakan sebagai pengurang harga pasar dalam penentuan
harga transfer.
2. Di dalam transfer produk, divisi penjual tidak akan mengeluarkan
biaya-biaya iklan, promosi penjualan, dan biaya penagihan. Oleh
karena itu biaya-biaya tersebut harus dikurangkan dari harga
pasar di dalam penentuan harga transfer.
3. Jika transfer produk dilakukan langsung dari departemen
produksi divisi penjual, biaya penggudangan tidak
diperhitungkan dalam penentuan harga transfer.

Menurut Supriyono (2000:421) rumus penentuan harga transfer dengan

menggunakan harga pasar yang dimodifikasi dapat dilihat pada gambar 2.1.
25

Gambar 2.1
Rumus penentuan harga transfer dengan menggunakan harga pasar
yang dimodifikasi

Harga pasar per unit Rpxxx

Biaya per unit yang dapat dihindari


Potongan volume dan potongan tunai Rpxxx
Biaya Penyimpanan xxx
Komisi penjualan xxx
Biaya penagihan xxx
+

xxx
-
Harga transfer per unit Rpxxx

Sumber: Supriyono (2000:421)

d. Kelemahan Metode Transfer Berdasar Harga Pasar

Menurut Supriyono (2000:424) meskipun metode transfer berdasar harga

pasar umumnya diakui sebagai metode yang terbaik, namun dalam keadaan

tertentu metode ini memiliki kelemahan sebagai berikut:

1. Tidak semua produk yang ditransfer antardivisi memiliki harga


pasar.
2. Harga pasar seringkali berubah sehingga harga transfer produk
antardivisi perlu dihitung kembali.
3. Daftar harga seringkali tidak mencerminkan harga pasar
sesungguhnya atau harga pasar produk yang ditransfer tidak
termuat dalam daftar harga sehingga untuk memperoleh
informasi harga pasar perlu tambahan pengorbanan waktu dan
biaya.
4. Penghematan biaya timbul karena produk ditransfer ke divisi lain
atau tidak dijual ke pihak lain, seharusnya tidak hanya dinikmati
oleh divisi pembeli saja—dalam bentuk pengurangan harga
26

pasar—tetapi juga harus diperhitungkan pula untuk divisi


penjual. Hal ini disebabkan jika divisi pembeli membeli produk
dari pihak luar harganya lebih tinggi, jadi pengurangan harga
tersebut ditimbulkan karena divisi penjual mau transfer produk
tersebut ke divisi pembeli.

Sedangkan menurut Mulyadi (2001:315) kelemahan yang melekat pada

metode ini adalah:

1. Tidak semua produk mempunyai harga pasar.


2. Divisi penjual mempunyai pasar yang sudah pasti (yaitu divisi
pembeli). Oleh karena itu penghematan biaya yang timbul tidak
harus dinikmati oleh divisi penjual saja, tetapi harus dinikmati
pula oleh divisi pembeli.
3. Harga pasar tidak selalu sama dengan harga yang tercantum di
dalam daftar harga (price list). Kesulitan penentuan harga pasar
akan lebih besar jika harga pasar sangat berfluktuasi.

2.1.1.5.2. Metode Harga Transfer Berdasar Biaya

Untuk mengatasi kelemahan metode transfer berdasar harga pasar, dapat

digunakan metode transfer berdasar biaya. Menurut Supriyono (2000:425) metode

ini biasanya digunakan jika terdapat kondisi-kondisi sebagai berikut:

1. Pada pasar kompetitif tidak tersedia informasi harga jual produk


yang ditransfer. Keadaan ini timbul jika produk yang ditransfer
merupakan produk yang belum selesai sehinnga tidak
diperjualbelikan di pasar.
2. Kesulitan dalam penentuan harga jual yang disebabkan oleh
perselisihan antarmanajer divisi. Kesulitan ini ditimbulkan jika di
pasar timbul beberapa macam harga dan jika produk yang
ditransfer tidak persis sama dengan yang ada di pasar.
3. Jika produk yang ditransfer mengandung formula atau proses
rahasia sehingga tidak diinginkan untuk diungkapkan pada pihak
lain.

Dalam metode penentuan harga transfer berdasar biaya, besarnya harga

transfer ditentukan sebesar biaya ditambah laba sehingga metode ini sering
27

dinamakan metode biaya ditambah laba. Menurut Supriyono (2000:425)

mengharuskan manajemen membuat dua keputusan penting yaitu:

1. Komponen biaya yang diperhitungkan ke dalam harga transfer.


2. Komponen laba yang diperhitungkan ke dalam harga transfer.

a. Komponen Biaya

Dalam metode ini timbul masalah mengenai besarnya biaya yang

diperhitungkan sebagai dasar penentuan harga transfer. Menurut Supriyono

(2000:425) biaya yang dapat diperhitungkan untuk dasar penentuan harga transfer

meliputi:

1. Biaya penuh sesungguhnya.


2. Biaya variabel sesungguhnya.
3. Biaya penuh standar.
4. Biaya variabel standar.

Dengan demikian dalam penentuan harga transfer ini, harga jual barang

yang ditransfer antardivisi didasarkan pada biaya penuh produk yang ditransfer.

Mulyadi (2001:385) menyatakan bahwa:

“Jika biaya penuh sesungguhnya dipakai sebagai dasar penentuan


harga transfer, kemungkinan yang dapat timbul adalah divisi
pembeli akan dibebani dengan ketidakefisienan yang terjadi di divisi
penjual. Hal ini disebabkan biaya penuh sesungguhnya divisi penjual
dapat mengandung ketidakefisienan yang terjadi di divisi penjual.
Oleh karena itu, biaya penuh sesungguhnya tidak baik jika digunakan
sebagai dasar penentuah harga transfer. Jika biaya penuh standar
dipakai sebagai dasar penentuan harga transfer, divisi pembeli tidak
dibebani kemungkinan terjadinya ketidakefisienan divisi penjual,
karena biaya penuh standar mencerminkan operasi terbaik dengan
biaya yang seharusnya di divisi penjual. Harga transfer menggunakan
biaya penuh standar sebagai dasar akan memberikan keuntungan
bagi divisi pembeli, karena divisi pembeli dibebani dengan biaya yang
seharusnya untuk memproduksi produk di divisi penjual”.

Menurut Mulyadi (2001:385) jika biaya dipakai sebagai dasar penentuan

harga transfer, manajemen perlu mempertimbangkan tiga hal penting berikut ini:
28

1. Metode penentuan harga transfer harus mendorong divisi penjual


senantiasa melakukan perbaikan efisiensi dan produktivitasnya.
2. Metode penentuan harga transfer harus memisahkan tanggung
jawab masing-masing divisi yang terlibat. Ketidakefisienan yang
terjadi di divisi penjual tidak boleh dialihkan ke divisi pembeli
melalui harga transfer.
3. Umumnya, diperlukan aturan yang baik dalam penentuan harga
transfer jika biaya dipakai sebagai dasar, karena divisi yang
terlibat harus melakukan negosiasi atas dasar kondisi intern
perusahaan.
Biaya penuh yang dipakai sebagai dasar penentuan harga transfer menurut

Mulyadi (2001:386-390) dapat dihitung dengan salah satu dari tiga pendekatan

penentuan biaya:

1. Full Costing
Jika Full Costing dipakai sebagai pendekatan perekayasaan biaya
yang digunakan sebagai dasar penentuan harga transfer, unsur-
unsur yang diperhitungkan dalam penentuan harga transfer
disajikan pada gambar 2.2.

Gambar 2.2
Unsur-unsur yang Diperhitungkan dalam Penentuan Harga
Transfer atas Dasar Biaya dengan Pendekatan Full Costing

Harga Transfer = Biaya Penuh + Laba

Biya produksi: y% x Aktiva Penuh

Biaya bahan baku


Aktiva lancar
Biaya tenaga kerja
Aktiva tidak lancar
Biaya overhed pabrik

Biaya nonproduksi:

Biaya administrasi & umum

Biaya pemasaran

Sumber: Mulyadi (2001:386)


29

2. Jika variable costing dipakai sebagai pendekatan perekayasaan


biaya yang digunakan sebagai dasar penentuan harga transfer,
unsur-unsur yang diprhitungkan dalam penentuan harga transfer
disajikan pada gambar 2.3.

Gambar 2.3
Unsur-unsur yang Diperhitungkan dalam Penentuan Harga
Transfer atas Dasar Biaya dengan Pendekatan Variable Costing

Harga Transfer = Biaya Penuh + Laba

Biya variabel: y% x Aktiva Penuh

Biaya bahan baku

Biaya tenaga kerja Aktiva lancar

Biaya overhed pabrik Aktiva tidak lancar


variabel

Biaya administrasi & umum


variabel

Biaya pemasaran variabel

Biaya tetap:

Biaya overhed pabrik tetap

Biaya administrasi & umum


tetap

Biaya pemasaran tetap

Sumber: Mulyadi (2001:387)


30

3. Jika activity costing dipakai sebagi pendekatan perekayasaan


biaya yang digunakan sebagai dasar penentuan harga transfer,
unsur-unsur yang digunakan sebagai dasar penentuan harga
transfer disajikan pada gambar 2.4.

Gambar 2.4
Unsur-unsur yang Diperhitungkan dalam Penentuan Harga
Transfer atas Dasar Biaya dengan Pendekatan Activity-Based
Costing

Harga Transfer = Biaya Penuh + Laba

y% x Aktiva Penuh
a. Unit level activity
b. Batch activity
c. Product sustaining activity
Aktiva lancar
d. Facility sustaining activity
Aktiva tidak lancar

Sumber: (Mulyadi:389)

Berdasarkan activity costing, kegiatan pembuatan produk dapat


digolongkan ke dalam 4 kategori:
a. Unit level activity
Biaya ini dipengaruhi oleh besar kecilnya jumlah unit produk
yang dihasilkan. Biaya bahan baku, biaya tenaga kerja
langsung, biaya enerji, dan biaya angkutan adalah contoh
biaya yang termasuk dalam golongan ini. Biaya ini dibebankan
kepada produk berdasarkan jumlah unit produk yang
dihasilkan. Oleh karena itu, dalam penentuan harga transfer,
biaya ini dibebankan oleh divisi penjual kepada divisi pembeli
berdasarkan biaya standar dikalikan dengan jumlah produk
yang sesungguhnya ditransfer oleh divisi penjual ke divisi
pembeli.
b. Batch activity
Biaya ini berhubungan dengan jumlah batch produk yang
diproduksi. Setup cost, yang merupakan mesin dan ekuipmen
sebelum suatu order diproses adalah contoh biaya yang
termasuk dalam golongan biaya ini. Besar kecilnya biaya ini
tergantung dari frekuensi order produksi yang diolah oleh
fungsi produksi. Biaya ini tidak dipengaruhi oleh jumlah unit
31

produk yang diproduksi dalam setiap order produksi. Divisi


pembeli dibebani batch activity cost berdasarkan jumlah batch
activity cost standar oleh divisi penjual setiap menerima order
divisi pembeli.
c. Product sustaining activity
Biaya ini berhubungan dengan penelitian dan pengembangan
produk tertentu dan biaya-biaya untuk mempertahankan
produk untuk tetap dapat dipasarkan. Biaya ini tidak
terpengaruh oleh jumlah unit produk yang diproduksi dan
jumlah batch produksi yang dilaksanakan oleh divisi penjual.
Contoh biaya ini adalah biaya desain produk, desain proses
pengolahan produk, pengujian produk. Biaya ini dibebankan
kepada produk berdasarkan taksiran jumlah unit produk
tertentu yang akan dihasilkan selama umur produk tersebut
(product life cycle).
d. Facility sustaining activity
Biaya ini berhubungan dengan kegiatan untuk
mempertahankan kapasitas yang dimiliki oleh perusahaan.
Biaya depresiasi dan amortisasi, biaya asuransi, biaya gaji
karyawan kunci perusahaan adalah contoh jenis biaya yang
termasuk dalam golongan facility sustaining activity cost. Biaya
ini dibebankan kepada produk atas dasar taksiran unit produk
yang dihasilkan pada kapasitas normal divisi penjual.

1. Harga transfer berdasar biaya sesungguhnya

Menurut Supriyono (2000:426) alasan pemakaian biaya sesungguhnya

sebagai dasar penentuan harga transfer adalah sebagai berikut:

a. Biaya sesungguhnya dapat ditentukan dengan ralatif pasti.


b. Data biaya sesungguhnya dapat mudah disediakan dan dapat
digunakan oleh perusahaan yang menggunakan sistem akuntansi
biaya sesungguhnya maupun yang menggunakan sistem akuntansi
biaya yang ditentukan di muka.
c. Dapat meniadakan perlunya harga transfer produk yang sifatnya
unik atau khusus.
d. Harga transfer berdasar biaya sesungguhnya mudah dipahami
dan dikelola.
e. Dapat diterapkan pada organisasi nirlaba.

Namun, di samping alasan kuat penggunaan biaya sesungguhnya sebagai

dasar penentuan harga transfer, terdapat beberapa kelemahan penting dasar ini.

Menurut Supriyono (2000:426) kelemahan tersebut adalah sebagai berikut:


32

1. Tidak mendorong divisi penjual berkerja efisien. Hal ini karena jika
digunakan penentuan laba berdasar persentase biaya sesungguhnya,
berarti semakin besar biaya sesungguhnya maka semakin besar pula
laba divisi penjual.
2. Divisi pembeli dibebani ketidakefisienan divisi penjual. Semakin tidak
efisien divisi penjual berakibat harga transfernya semakin tinggi.
3. Biaya sesungguhnya dapat diketahui akhir periode. Divisi pembeli
umumnya ingin mengetahui harga transfer yang ditanggungnya
sebelum pembuatan keputusan mentransfer dari divisi lain.

Jika biaya sesungguhnya digunakan sebagai harga transfer maka timbul

pertanyaan mengenai biaya yang digunakan tersebut, menurut Supriyono

(2000:427) biaya tersebut adalah:

a. Metode biaya penuh sesungguhnya


Dalam metode ini, semua elemen biaya penuh sesungguhnya divisi
penjulal – baik biaya tetap maupun biaya variabel – untuk
menghasilkan produk sampai dengan siap ditransfer membentuk
dasar untuk penentuan harga transfer produk yang ditransfer ke
divisi pembeli. Metode ini biasanya digunakan jika penjualan
kepada pelanggan luar dapat menyerap semua kapasitas yang
dimiliki divisi penjual.
b. Metode biaya variabel sesungguhnya
Dalam metode ini, semua biaya variabel sesungguhnya divisi
penjual yang dipakai untuk menghasilkan produk sampai dengan
siap ditransfer merupakan dasar untuk penentuan harga transfer
produk yang ditransfer ke divisi pembeli. Metode ini
mendasarkan pada alasan bahwa biaya yang ditransfer dari divisi
penjual ke divisi pembeli hanyalah biaya yang terkendalikan oleh
divisi penjual, umumnya biaya yang dapat terkendali tersebut
adalah biaya variabel. Metode ini biasanya digunakan jika
penjualan kepada pelanggan luar belum dapat menyerap semua
kapasitas yang dimiliki divisi penjual.

2. Harga transfer berdasar biaya standar

Menurut Supriyono (2000:427) harga transfer yang ditentukan berdasar

biaya standar memiliki keunggulan sebagai berikut:

a. Memotivasi divisi penjual berkerja efisien. Biaya yang digunakan


sebagai dasar penentuan harga transfer hanya sebesar biaya
standarnya sehingga jika divisi penjual berkerja tidak efisien
33

maka ketidakefisienan tersebut diperlakukan sebagai pengurang


laba divisi penjual itu sendiri.
b. Divisi pembeli tidak dibebani ketidakefisienan divisi penjual. Oleh
karena biaya yang digunakan sebagai dasar dalam penentuan
harga transfer sebesar biaya standar maka ketidakefisienan divisi
penjual tidak dibebankan kepada divisi pembeli.
Meskipun metode ini dapat digunakan sebagai dasar penentuan besarnya

harga transfer yang lebih baik dibandingkan dengan metode biaya sesungguhnya,

namun menurut Supriyono (2000:428) perlu diperhatikan faktor-faktor berikut ini

agar metode ini dapat digunakan dengan baik:

a. Biaya standar harus disesuaikan jika terjadi perubahan tingkat


harga umum yang tajam atau adanya perubahan kondisi lainnya
yang mendasari penentuan biaya standar.
b. Harus dihindari kecenderungan divisi penjual untuk menentukan
biaya standar yang terlalu tinggi.
c. Untuk mendorong divisi penjual meningkatkan efisiensi dengan
cara menurunkan biaya standar, manajer kantor pusat dapat
menempuh kebijaksanaan untuk tidak menurunkan harga
transfer dalam jangka waktu tertentu, misalnya satu atau dua
tahun, meskipun divisi penjual dapat menurunkan biaya
standarnya.

Perusahaan tertentu mencoba menggunakan biaya produsen yang efisien

sebagai dasar penentuan biaya standar divisi penjual. Akan tetapi menurut

Supriyono (2000:428) cara ini menghadapi beberapa kesulitan pokok sebagai

berikut:

a. Informasi biaya produsen yang efisien tidak dapat diperoleh oleh


semua perusahaan yang mengadakan transfer produk antardivisi.
b. Kondisi divisi penjual mungkin sangat berbeda dengan produsen
luar yang efisien sehingga biaya produsen yang efisien tersebut
tidak dapat digunakan sebagai alat pengukur yang tepat terhadap
prestasi divisi penjual.
c. Penentuan biaya produsen yang efisien yang akan digunakan
biasanya memerlukan perundingan antara divisi penjual dan
divisi pembeli, perundingan ini sering kali memerlukan waktu
yang lama dan mungkin melalaikan tugas manajer divisi lainnya.
34

d. Jika perundingan mengenai biaya produsen yang efisien tidak


mencapai kata sepakat mungkin diperlukan campur tangan
komite arbitrasi atau staf kantor pusat untuk menetapkan harga
transfer, harga yang ditetapkan mungkin tidak dapat
mengendalikan kemampuan laba divisinya.

Seperti halnya dalam penentuan harga transfer berdasar biaya

sesungguhnya, metode penentuan harga transfer berdasar biaya standar

menimbulkan pertanyaan mengenai biaya standar yang digunakan sebagai dasar

transfer, menurut Supriyono (2000:429) biaya tersebut adalah:

1. Metode biaya penuh standar


Dalam metode ini, semua elemen biaya penuh standar divisi
penjual – baik biaya tetap maupun biaya variabel – untuk
menghasilkan produk sampai dengan siap ditransfer digunakan
untuk dasar penentuan harga transfer produk yang dipindahkan
ke divisi pembeli. Metode ini biasanya digunakan jika penjualan
kepada pelanggan luar dapat menyerap semua kapasitas yang
dimiliki divisi penjual.
2. Metode biaya variabel standar
Dalam metode ini, semua biaya variabel standar divisi penjual
yang dipakai untuk menghasilkan produk sampai dengan siap
ditransfer digunakan sebagai dasar penentuan besarnya harga
transfer produk yang dipindahkan ke divisi pembeli. Metode ini
mendasarkan pada alasan bahwa biaya yang ditransfer dari divisi
penjual ke divisi pembeli hanyalah biaya yang terkendalikan oleh
divisi penjual yaitu biaya variabel standar sehingga selisih biaya
variabel yang timbul tidak boleh ditransfer ke divisi penjual.
Metode ini biasanya digunakan jika penjualan kepada pelanggan
luar belum dapat menyerap semua kapasitas yang dimiliki divisi
penjual.

b. Komponen Laba

Menurut Supriyono (2000:429) masalah kedua dalam pemakaian metode

biaya ditambah laba adalah …penentuan komponen laba yang ditambahkan

pada biaya. Masalah ini menurut Supriyono (2000:429) mengharuskan

manajemen untuk membuat keputusan mengenai:


35

1. Dasar penentuan tingkat laba


Dasar penentuan tingkat laba dapat digunakan dua cara: (a)
berdasar persentase biaya, (b) berdasar return atas investasi.
Penentuan tingkat laba berdasar persentase biaya mudah
digunakan namun tidak mempetimbangkan investasi yang
digunakan oleh divisi penjual untuk menghasilkan produk yang
ditransfer. Penentuan tingkat laba berdasar return atas investasi
berarti telah memperhitungkan investasi divisi penjual untuk
menghasilkan produk yang ditransfer, namun sulit menentukan
besarnya investasi yang layak diperhitungkan. Jika investasi
didasarkan atas biaya historikal aktiva divisi penjual akan
mengakibatkan laba dan harga transfernya terlalu rendah dan
jika diperhitungkan nilai pengganti mengakibatkan laba dan
harga transfernya terlalu tinggi.
2. Besarnya tingkat laba
Dalam penentuan tingkat laba ini dapat digunakan beberapa
pendekatan sebagai berikut:
a. Berdasar taksiran laba terbaik jika divisi penjual sebagai
suatu perusahaan yang independen.
b. Berdasar taksiran return atas investasi yang diperhitungkan
jika divisi pembeli harus menghasilkan sendiri volume produk
yang ditransfer dari divisi penjual.
c. Jika divisi penjual, selain mentransfer produknya ke divisi
pembeli, juga menjual ke pihak lain maka komponen laba
dapat ditentukan dari persentase profit margin rata-rata
berdasar harga pokok penjualan standar.
d. Jika peralatan dan metode pengolahan produk yang
digunakan oleh divisi penjual serupa dengan yang digunakan
pihak lain, maka komponen laba dapat ditentukan sebesar
profit margin perusahaan lain.
e. Jika tingkat otomatisasi peralatan yang oleh divisi penjual
relatif berbeda dengan peralatan perusahaan lain yang
menghasilkan produk serupa, maka profit margin sebagai
komponen laba lebih baik dihubungkan dengan peralatan
yang digunakan untuk menghasilkan produk daripada
dihubungkan dengan biaya.
f. Jika divisi penjual tidak menjual produknya pada pihak luar
dan pemasok luar tidak dapat dibandingkan dengan divisi
penjual maka dapat digunakan taksiran profit margin yang
kompetitif (bersaing) sebagai komponen laba. Taksiran profit
margin ini dapat didasarkan kemampuan laba industri atau
divisi lain yang menghasilkan produk serupa.

Sedangkan menurut Abdul Halim, Achmad Tjahjono, dan Muh. Fakhri

Husein (2000:117) adalah sebagai berikut:


36

1. Dasar penentuan tingkat laba


Dasar penentuan tingkat laba ini bisa dilakukan berdasar biaya
dan dapat dilakukan berdasar return atas investasi. Kesulitannya
adalah bila berdasar biaya tidak memperhitungkan investasi yang
dilakukan. Sebaliknya, jika berdasar investasi, sulit menentukan
besarnya investasi yang layak diperhitungkan.
2. Besarnya laba
Berbagai pendekatan yang bisa dilakukan adalah:
a. Berdasarkan laba jika divisi penjual dianggap sebagai unit
usaha yang independen (pusat laba).
b. Berdasar taksiran “return” atas investasi yang dilakukan
c. Jika divisi penjual, selain mentransfer produknya ke divisi
pembeli juga menjual ke pihak lain maka laba dapat
ditentukan dari persentase profit margin rata-rata berdasar
harga pokok standar.
d. Dengan menggunakan profit margin perusahaan lain jika
produknya sama.

c. Penerapan Metode Biaya Ditambah Laba

Menurut Supriyono (2000:431) jika komponen laba ditentukan berdasar

biaya, besarnya harga transfer berdasar biaya ditambah laba dapat digunakan

beberapa metode berikut ini:

1. Metode biaya penuh sesungguhnya ditambah laba.


2. Metode biaya variabel sesungguhnya ditambah laba.
3. Metode biaya penuh standar ditambah laba.
4. Metode biaya variabel standar ditambah laba.

d. Pertimbangan Manajemen

Menurut Supriyono (2000:447) pemakaian harga transfer berdasar biaya

ditambah laba menimbulkan berbagai macam masalah yang serius. Oleh karena

itu, dalam pemakaian metode ini manajemen perlu mempertimbangkan bahwa:

1. Harga transfer jangan mengakibatkan divisi penjual lalai menjaga


standar yang ketat dan lalai meningkatkan produktivitas. Divisi
penjual harus didorong agar dapat menekan biaya dan
meningkatkan produktivitas seperti pada produsen luar yang
kompetitif.
37

2. Prestasi setiap divisi harus dapat dipisahkan dengan tegas sesuai


dengan tanggung jawabnya. Ketidakefisienan divisi penjual tidak
boleh dipindahkan ke divisi pembeli.
3. Jika harga pasar tidak dapat diterapkan, sehingga digunakan
metode biaya ditambah laba, hendaknya disusun prosedur
administratif yang adil agar divisi yang terlibat, yaitu divisi
penjual dan divisi pembeli, diberikan kesempatan untuk
merundingkan biaya dan laba yang akan ditransfer.

2.1.1.6. Pengelolaan Harga Transfer

Pengelolaan harga transfer memerlukan prosedur-prosedur formal.

Prosedur tersebut diperlukan agar harga transfer dapat ditentukan dengan baik

sehingga tujuan penentuan harga transfer dapat dicapai. Prosedur formal yang

dapat digunakan adalah: (1) metode pengelolaan harga transfer berdasar negosiasi,

dan (2) metode pengelolaan harga transfer berdasar arbitrasi. Di bawah ini akan

dibahas mengenai metode pengelolaan tersebut.

1. Harga Transfer Berdasar Negosiasi

Menurut Supriyono (2000:449) mengenai harga transfer berdasar negosiasi

adalah sebagai berikut:

“Dalam pengelolaan harga transfer negosiasi besarnya harga


transfer didasarkan atas tawar-menawar atau perundingan
antara divisi penjual dan divisi pembeli. Penentuan harga
negosiasi menganjurkan proses tawar-menawar yang bebas
(arm’s length) antardivisi seolah-olah mereka merupakan satu
kesatuan usaha yang terpisah. Kebebasan tersebut tercipta
jika divisi penjual dapat pula menjual produknya ke pihak lain
dan divisi pembeli dapat pula membeli produk yang sama dari
pihak luar. Metode ini tidak memerlukan campur tangan staf
kantor pusat dalam penentuan harga transfer, jadi harga
transfer tidak ditentukan oleh staf pusat”.

Sedangkan menurut Abdul Halim, Achmad Tjahjono, dan Muh. Fakhri

Husein (2000:121) negosiasi adalah: …proses formal untuk menentukan


38

besarnya harga transfer antar pusat laba yang terlibat, tanpa campur tangan

dari kantor pusat.

Beberapa alasan utama pemakaian harga transfer negosiasi menurut

Supriyono (2000:448) adalah sebagai berikut:

a. Negosiasi harga transfer ini menunjukkan kepercayaan manajer


pusat pada manajer divisi untuk membuat keputusan mengenai
harga beli input dan harga jual output divisinya. Kedua macam
pembuatan keputusan tersebut merupakan salah satu tugas pokok
manajer divisi.
b. Jika harga transfer ditentukan oleh staf pusat maka manajer
divisi dapat memiliki alasan bahwa jeleknya prestasi laba divisi
karena harga transfer yang ditentukan pusat merugikan divisinya.
Peranan staf pusat hendaknya terbatas pada penelaahan bahwa
harga transfer hasil negosiasi tersebut rasional, karena negosiasi
tersebut dipengaruhi oleh kemampuan dan kelihaian setiap
manajer divisi dalam tawar-menawar sehingga kemungkinan
harga transfernya tidak rasional.
c. Para manajer divisi memiliki informasi relevan mengenai biaya
dan harga pasar produk yang ditransfer sehingga dalam negosiasi
dapat dicapai harga transfer yang rasional.

Kantor pusat harus menentukan aturan atau aturan main untuk para

manajer divisi dalam melaksanakan negosiasi harga transfer. Biasanya proses

negosiasi harga transfer dimulai oleh divisi penjual dengan jalan menawarkan

harga transfer dan syarat-syarat lainnya dalam transfer produk ke divisi pembeli,

misalnya waktu penyerahan, kualitas, dan sebagainya. Menurut Supriyono

(2000:448) terhadap harga yang ditawarkan oleh divisi penjual tersebut mungkin

divisi pembeli:

a. Menerima tawaran tersebut.


b. Tawar-menawar dengan divisi penjual untuk memperoleh harga
transfer yang lebih rendah atau kondisi yang lebih baik.
c. Mencari tawaran dari dan merundingkan harga serta syarat
lainnya dengan pemasok luar.
d. Mencapai kesepakatan harga dan syarat transfer dengan divisi
penjual sehingga membeli dari divisi penjual (dalam perusahaan),
39

atau mencapai kesepakatan harga dan syarat transfer dengan


pemasok luar sehingga membeli dari pemasok luar, atau mungkin
tidak tercapai kesepakatan dengan divisi penjual atau pemasok
luar.

Menurut Supriyono (2000:448) negosiasi harga transfer dapat sukses jika

terdapat beberapa kondisi sebagai berikut:

a. Terdapat pasar luar atau pemasok luar produk intermediate yang


akan ditransfer. Kondisi ini diperlukan agar divisi penjual tidak
memegang monopoli tunggal sehingga manajer divisi penjual
tidak dapat memaksakan harga transfer pada divisi pembeli.
Harga transfer yang disetujui hendaknya mencerminkan
kekuatan dan keahlian setiap negosiator.
b. Bersama-sama memakai semua informasi harga pasar diantara
para negosiator. Informasi ini bermanfaat untuk para negosiator
untuk mempertimbangkan biaya kesempatan bagi divisi penjual
maupun divisi pembeli.
c. Kebebasan divisi pembeli untuk membeli dari pemasok luar.
Kondisi ini diperlukan untuk menciptakan disiplin dalam proses
tawar-menawar.
d. Dukungan dan kadang-kadang keterlibatan manajemen puncak
(kantor pusat). Kondisi ini sebenarnya bertentangan dengan
prinsip desentralisasi dan divisionalisasi, namun kondisi ini
diperlukan jika perundingan antara divisi penjual dan divisi
pembeli telah berlarut-larut dan tidak tercapai penyelesaian.
Dukungan dan keterlibatan tersebut dapat berbentuk pengarahan
dan kebijaksanaan atau sebagai mediator divisi agar harga
transfer dapat mencapai kesepakatan.

Meskipun harga transfer negosiasi memiliki beberapa keunggulan, namun

menurut Supriyono (2000:449) metode ini juga memiliki beberapa kelemahan.

Kelemahan metode ini antara lain sebagai berikut:

a. Metode negosiasi memerlukan waktu perundingan antarmanajer


divisi yang lama.
b. Metode ini cenderung menimbulkan konflik atau perselisihan
antardivisi.
c. Pada metode ini pengukuran kemampuan laba divisi sangat peka
terhadap keahlian tawar-menawar antarmanajer divisi.
d. Metode ini memerlukan waktu manajmen kantor pusat yang
banyak untuk mengamati proses negosiasi dan sebagai mediator
jika diperlukan.
40

e. Metode ini dapat mengakibatkan produktivitas yang rendah jika


harga transfer negosiasi tidak memuaskan manajer divisi.

Jika transfer produk antardivisi jumlahnya sangat banyak namun harga

pembanding di luar tidak ada, maka metode harga transfer negosiasi hanya dapat

diterapkan secara terbatas. Keadaan ini mendorong manajer kantor pusat untuk

menentukan peraturan pengadaan dan harga transfer antardivisi. Menurut

Supriyono (2000:449) pedoman dasar yang dapat digunakan untuk pengaturan

sebagai berikut:

a. Produk digolongkan ke dalam dua golongan yaitu: produk


golongan I dan produk golongan II.
1. Produk Golongan I
Produk golongan I meliputi produk yang sumber
pengadaannya (sourching) ditentukan oleh manajemen puncak
(kantor pusat). Biasanya produk golongan I memiliki
karakteristik:
a. Tingkat produksinya besar,
b. Tidak ada sumber pengadaan di luar perusahaan,
c. Mutu dan sifat kerahasiannya perlu dikendalikan dengan
ketat.
Produk golongan I ini perlu dipecah lebih lanjut menjadi dua
golongan yaitu:
a. Golongan 1A. Produk golongan 1A meliputi produk yang
harga pasarnya di luar perusahaan tidak tersedia. Harga
transfer produk golongan ini ditetapkan berdasar biaya
ditambah laba standar.
b. Golongan 1B. Produk golongan 1B meliputi produk yang
harga pasarnya tersedia di luar perusahaan. Harga
transfer produk ini ditetapkan berdasar harga pasar.
2. Produk Golongan II
Produk golongan II meliputi semua produk selain golongan I.
biasanya produk golongan II ini memiliki karakteristik sebagai
berikut:
a. Produk yang dapat diproduksi di luar perusahaan.
b. Produk yang volume produksinya relatif kecil.
c. Produk yang diproduksi dengan menggunakan mesin dan
peralatan yang sifatnya umum.
Harga transfer produk golongan II hanya dapat diubah
berdasarkan harga pasarnya.
41

b. Sumber pengadaan produk golongan I hanya dapat diubah


berdasar keputusan manajemen kantor pusat.
c. Sumber pengadaan produk golongan II diputuskan oleh divisi
yang bersangkutan. Baik divisi penjual maupun divisi pembeli
bebas untuk berunding dan mengadakan transaksi dengan pihak
luar maupun pihak dalam perusahaan.

2. Harga Transfer berdasar Arbitrasi

Menurut Supriyono (2000:451) harga transfer arbitrasi adalah: …harga

transfer yang ditentukan oleh eksekutif atau badan lain yang ditugasi untuk

mengarbitrasi harga transfer setelah orang atau badan tersebut berdialog

dengan paara manajer yang bersangkutan.

Jika dipandang sangat diperlukan, perusahaan dapat pula membentuk

komite arbitrasi. Menurut Supriyono (2000:451) komite arbitrasi adalah:

…komite yang menpunyai tanggung-jawab utama untuk menyelesaikan

perselisihan harga transfer, menelaah kembali pengubahan sumber

pengadaan, dan jika diperlukan, mengubah aturan-aturan penentuan harga

transfer.

Keuntungan dari metode ini menurut Carter dan Usry dalam Krista S.E.,

Ak (2005:525) adalah: …bahwa suatu harga transfer dapat ditetapkan

sedemikian rupa sehingga akan mencapai tujuan yang dianggap paling

penting oleh manajemen pusat.

Tetapi menurut Carter dan Usry dalam Krista S.E., Ak (2005:525)

kerugian metode ini jauh melebihi keuntungannya. Kelemahan itu adalah:

…metode ini dapat mengalahkan tujuan penting dari desentralisasi tanggung

jawab atas laba—membuat karyawan divisional sadar akan laba.


42

2.1.1.7. Harga Transfer Divisi Terintegrasi

Perusahaan yang memiliki divisi-divisi yang terintegrasi menghadapi

banyak permasalahan dalam penentuan harga transfer karena divisi penjual

mentransfer semua atau hampir semua produknya pada divisi pembeli dalam

perusahaan yang sama. Keadaan seperti ini sering disebut dengan penjualan

eksklusif atau mendekati eksklusif.

Menurut Supriyono (2000:451) penjualan eksklusif adalah: …divisi

penjual yang menjual semua atau sebagian besar produknya ke divisi lain

dalam perusahaan.

Menurut Supriyono (2000:451) pemasok tertawan (captive supplier)

adalah …pemasok yang hanya dapat menjual seluruh produknya atau

sebagian besar produknya pada pembeli tertentu.

Penjualan eksklusif mengakibatkan divisi penjual tidak memiliki tanggung

jawab yang berarti terhadap pemasaran produknya. Tanggung jawab utama divisi

penjual yang berfungsi sebagai pemasok tertawan adalah untuk mengendalikan

biaya, kualitas, dan jadwal produksi. Dengan demikian, laba divisi penjual sangat

dipengaruhi oleh kegiatan pemasaran produk akhir divisi pembeli. Menurut

Supriyono (2000:451-452) untuk mengatasi masalah tersebut di atas dapat dipilih

salah satu dari beberapa alternatif pemecahan masalah sebgai berikut:

1. Divisi penjual diperlakukan sebagai pusat beban


Alternatif ini didasarkan bahwa alasan bahwa manajer divisi
penjual hanya dapat mengendalikan masukan atau biaya divisinya
saja dan tidak dapat mengendalikan pemasaran produknya
sehingga divisi penjual lebih cocok jika diperlakukan sebagai
pusat beban.
43

2. Divisi penjual dipertahankan sebagai pusat laba


Jika timbul penjual tetap dipertahankan sebagai pusat laba maka
timbul masalah dalam penentuan harga transfer. Untuk
menentukan harga transfer dapat digunakan salah satu dari
beberapa metode berikut ini:
a. Harga transfer mendasarkan negosiasi antardivisi.
Jika divisi penjual sebagai pemasok tertawan, negosiasi
antardivisi penjual dan divisi pembeli bertujuan untuk
menentukan kesepakatan mengenai harga jual produk akhir
yang dihasilkan divisi pembeli dan menentukan distribusi laba
pada divisi penjual dan divisi pembeli. Dalam proses negosiasi
hendaknya memperhatikan maksimalisasi laba divisi yang
terlibat dam maksimalisasi laba perusahaan sebagai suatu
kesatuan.
b. Haraga transfer mendasarkan metode dua-langkah atau
metode beban tetap bulanan.
Penentuan harga transfer metode dua-langkah juga disebut
metode beban tetap bulanan. Pada metode ini divisi pembeli
dibebani harga transfer sebesar:
1. Untuk setiap unit produk yang ditransfer dari divisi
penjual, divisi pembeli dibebani biaya produksi variabel
standar per unit dari divisi penjual
2. Secara periodik, biasanya dilakukan bulanan, divisi
pembeli dibebani biaya tetap ditambah return atas investasi
yang berhubungan dengan penyediaan fasilitas atau
kapasitas oleh divisi penjual untuk divisi pembeli.
Metode beban biaya tetap bulanan cocok digunakan jika divisi
pembeli membeli produk dari divisi penjual dalam jumlah
yang relatif stabil dari bulan ke bulan. Penerapan metode ini
perlu mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
1. Beban biaya tetap dan laba bulanan hendaknya
dirundingkan secara periodik dan jumlahnya tergantung
pada kapasitas yang disediakan untuk divisi pembeli.
2. Masalah produk yang perlu dipecahkan adalah
menentukan kapasitas yang disediakan untuk
menghasilkan produk yang ditransfer.
3. Biaya variabel standar tidak selalu sama besarnya dengan
biaya merjinal.
4. Metode ini menghasilkan laba bulanan divisi penjual yang
konstan, yang tidak dipengaruhi oleh volume produk yang
ditransfer oleh divisi tersebut.
5. Jika kapasitas divisi penjual terbatas dan produk yang
ditransfer tersebut dapat pula dijual kepada pihak luar,
maka kemungkinan dapat timbul konflik antara divisi
penjual, divisi pembeli, maupun perusahaan secara
keseluruhan.
44

6. Dalam hal metode ini serupa dengan penentuan harga


“ambil atau bayar” (take or pay) yang kadangkala
digunakan untuk perusahaan pelayanan umum, tambang
batubara, dan kontraktor jangka panjang.
c. Metode Pembagian Laba
Metode pembagian laba membagi laba kontribusi yang
diperoleh dari penjualan produk akhir kepada divisi penjual
dan divisi pembeli. Langkah-langkah yang dilaksanakan
dalam metode ini adalah:
1. Produk yang ditransfer dari divisi penjual ke divisi pembeli
dibebani dengan biaya produksi variabel standar divisi
penjual.
2. Setelah produk akhir dijual, dihitung besarnya laba
kontribusi, yaitu sebesar pendapatan penjualan dikurangi
semua biaya variabel divisi pembeli dan divisi penjual, dan
laba kontribusi tersebut selanjutnya dibagi antara divisi
penjual dan divisi pembeli.
Dalam metode pembagian laba, besarnya laba divisi penjual
dipengaruhi oleh volume atau kuantitas produk yang dijual.
Metode ini cocok untuk divisi penjual yang mentransfer
produknya secara tidak teratur ke divisi pembeli. Meskipun
metode ini dapat menyelaraskan kepentingan divisi penjual,
divisi pembeli, dan perusahaan secra keseluruhan namun
pemakaian metode ini menimbulkan dua masalah yang perlu
diselesaikan yaitu:
1. Penentuan laba kontribusi. Biaya variabel standar pada
divisi penjual dan divisi pembeli harus dapat ditentukan
dengan relatif tepat. Kecenderungan meninggikan
penentuan biaya variabel standar berakibat tidak
mendorong efisiensi dalam setiap divisi dan menimbulkan
perselisihan antara divisi penjual dengan divisi pembeli.
2. Penentuan pembagian laba kontribusi yang adil untuk
divisi penjual dan divisi pembeli.
3. Perlu disusun dan diselenggarakan sistem administrasi
yang khusus dirancang untuk tujuan ini.
d. Metode Dua Perangkat Harga
Metode dua perangkat harga dapat digunakan untuk divisi
penjual yang menjual semua produknya kepada divisi pembeli.
Namun pemakaian metode ini merupakan syarat bahwa
produk tersebut dapat diketahui harga pasarnya jika dijual
kepada pihak lain. Metode dua perangkat harga mentransfer
produk dari divisi penjual ke divisi pembeli diatur dengan
sebagai berikut:
1. Pendapatan divisi penjual dikredit, atau diakui sebesar
harga jual jika produk dijual pada pihak lain dikurangi
45

dengan persentase untuk menutupi biaya pemasaran


produk tersebut.
2. Divisi pembeli dibebabani harga transfer sebesar biaya
variabel standar, atau dapat pula sebesar biaya penuh
standar divisi penjual.
3. Selisih yang terjadi antara pendapatan divisi penjual
dengan harga transfer divisi pembeli dibebankan ke
rekening kantor pusat dan dieliminasi pada saat
penyusunan laporan keuangan konsolidasi.
Metode dua perangkat harga ini dapat memberikan beberapa
manfaat penting sebagai berikut:
1. Mendorong divisi penjual untuk mencapai laba maksimal
dan tidak hanya sekedar menekan biaya saja.
2. Mendorong divisi pembeli membuat keputusan jangka
pendek yang tepat, khususnya keputusan produk dan
harga jualnya dalam keadaan kapasitas mengangguar.
Namun, metode dua perangkat harga memilik kelemahan
karena penjumlahan laba total semua divisi lebih besar
dibandingkan laba total perusahaan secara keseluruhan. Oleh
karena itu, manajer puncak kantor pusat harus menyadari
keadaan ini dalam menilai kemampuan profitabilitas divisi.

2.1.1.8. Penentuan Harga Jasa dari Kantor Pusat

Setiap divisi yang ada dalam suatu perusahaan biasanya menggunakan

jasa yang berasal dari kantor pusat. Biaya dari unit staf jasa pusat untuk unit usaha

dimana unit usaha tersebut tidak memiliki kendali (seperti akuntansi pusat,

hubungan masyarakat, dan administrasi yang dikeluarkan). Oleh karena itu timbul

masalah mengenai penentuan beban tetap divisi atas jasa yang disediakan oleh

kantor pusat. Untuk tujuan tersebut menurut Supriyono (2000:457-458), jasa dari

kantor pusat yang diterima divisi dapat digolongkan sebagai berikut:

1. Jasa dari kantor pusat yang diluar kendali divisi.


Manajer divisi umumnya tidak dapat mengendalikan jasa yang
diberikan oleh kantor pusat seperti misalnya jasa departemen
akuntansi, hubungan publik, hubungan industrial, dan hukum.
Divisi harus menerima jasa-jasa tersebut dan tidak dapat
mengemukakan alasan untuk menolak penggunaan jasa tersebut.
46

Masalah utama yang timbul atas jasa yang diterima dari kantor
pusat adalah bagaimana mengalokasikan biaya dari kantor pusat
yang berhubungan dengan jasa tersebut pada setiap divisi. Dalam
hal ini timbul dua macam pendapat yang saling bertentangan,
kedua macam pendapat tersebut adalah:
a. Biaya dari kantor pusat dialokasikan kepada setiap divisi.
b. Biaya dari kantor pusat tidak dialokasikan kepada setiap
divisi.
Pihak yang setuju bahwa biaya dari kantor pusat dialokasikan
kepada setiap divisi adalah sebagai berikut:
a. Jika manajer divisi, baik memanfaatkan jasa atau tidak
memanfaatkan jasa dari kantor pusat, diwajibkan membayar
jasa tersebut maka para manajer divisi cenderung
memanfaatkan jasa tersebut.
b. Jika para manajer divisi diharuskan membayar jasa yang
diterima dari kantor pusat, mereka akan berusaha menekan
biaya tersebut dengan cara mengajukan keberatan atau
keluhan-keluhan.
c. Laba divisi lebih realistik dan dapat diperbandingkan dengan
perusahaan luar karena perusahaan luar tersebut juga harus
membayar jasa-jasa sejenis.
Pihak yang berpendapat bahwa biaya dari kantor pusat tidak
perlu dialokasikan ke setiap divisi mendasarkan alasan bahwa
alokasi biaya tersebut tidak dapat dikendalikan oleh manajer
sehingga tidak dapat mencerminkan prestasi manajer divisi dan
hanya akan mengganggu perhatian para manajer divisi saja.
2. Jasa dari kantor pusat yang harus diterima divisi, namun jumlah
tersebut sebagian dapat dikendalikan oleh divisi.
Sebagian jasa yang harus diterima dari kantor pusat mungkin
jumlahnya dapat dikendalikan oleh manajer divisi, sebagi contoh
adalah jasa pengolahan data dan jasa penelitian dan
pengembangan yang dilakukan oleh staf kantor pusat untuk divisi
tertentu. Jasa yang dapat dikendalikan jumlahnya oleh manajer
divisi ini dapat diperlakukan dengan metode sebagai berikut:
a. Setiap divisi harus membayar biaya variabel atas jasa dari
kantor pusat yang jumlahnya dapat mereka kendalikan.
b. Setiap divisi harus membayar jasa yang digunakan sebesar
biaya penuh yang sesungguhnya.
Biaya penuh yang harus dibayar oleh divisi dan jasa dari
kantor pusat adalah sebesar biaya variabel ditambah alokasi
biaya tetap yang adil. Pendapat ini didasarkan alasan sebagai
berikut:
1. Jika divisi tidak mau membayar jasa sejumlah biaya
sepenuhnya, berarti kualitas jasa atau efisiensi kantor
pusat jelek.
47

2. Jika divisi dapat memperoleh jasa yang sama dari pihak


luar dengan harga yang lebih rendah dibandingkan dengan
biaya penuh maka divisi tersebut diberikan kebebasan
untuk membeli jasa dari luar perusahaan.
3. Biaya penuh menggambarakan biaya jangka panjang yang
harus dibayar divisi pemakai
c. Divisi membayar harga atas jasa dari kantor pusat setara
harga pasar atau sebesar biaya penuh ditambah laba.
3. Jasa dari kantor pusat yang pemanfaatannya sesuai dengan
kebijakan yang ditempuh oleh manajer divisi.
Mungkin manajemen kantor pusat memberikan kebebasan pada
para manajer divisi untuk menentukan kebijakan dalam memilih
jasa yang akan mereka gunakan. Jika divisi memperoleh
kebebasan dalam menggunakan jasa maka mungkin divisi:
a. Menggunakan jasa yang dihasilkan kantor pusat.
b. Menyelenggarakan sendiri jasa yang dia perlukan.
c. Membeli jasa dari pihak luar perusahaan.

2.1.2. Ruang Lingkup Harga Jual

2.1.2.1. Pengertian Harga Jual

Pengertian harga jual menurut Sriyadi (2001:178) adalah …nilai tukar

suatu barang atau jasa, yaitu jumlah uang yang pembeli sanggup membayar

kepada penjual untuk suatu barang tertentu.

Fandi Tjiptono (1997:151) pengertian harga jual adalah …satuan

moneter atau ukuran lainnya (termasuk barang dan jasa lainnya) yang

ditukarkan agar memperoleh hak kepemilikan atau penggunaan suatu

barang atau jasa yang akan berpengaruh langsung terhadap laba

perusahaan.
48

2.1.2.2. Tujuan Penetapan Harga Jual

Pada dasarnya ada beberapa tujuan penetapan harga jual menurut Fandi

Tjiptono (1997:152-153), yaitu:

a. Tujuan Berorientasi pada Laba


Asumsi teori ekonomi klasik menyatakan bahwa setiap
perusahaan selalu memilih harga jual yang dapat menghasilkan
harga jual paling tinggi. Tujuan ini dikenal dengan istilah
maksimisasi laba. Dalam era persaingan global yang kondisinya
sangat komplek dan banyak variabel yang berpengaruh terhadap
daya saing setiap perusahaan, maksimisasi laba sangat sulit
dicapai, karena sukar sekali untuk dapat memperkirakan secara
akurat jumlah penjualan yang dapat dicapai pada tingkat harga
jual tertentu. Dengan demikian tidak mungkin suatu perusahaan
dapat mengetahui secara pasti tingkat harga jual yang dapat
menghasilkan laba maksimum.
b. Tujuan Berorientasi pada Volume
Selain tujuan berorientasi pada laba, ada pula perusahaan yang
menempatkan harga berdasarkan tujuan yang berorientasi pada
volume tertentu atau dikenal dengan istilah volume pricing
objectives. Harga jual ditetapkan sedemikian rupa agar dapat
mencapai volume penjualan (dalam ton, kg, unit, m³, dan lain-
lain), nilai penjualan (Rp) atau pangsa pasar (absolut maupun
relatif).
c. Tujuan Berorientasi pada Citra
Citra (Image) suatu perusahaan dapat dibentuk melalui strategi
penetapan harga jual. Perusahaan dapat menetapkan harga jual
tinggi untuk membentuk atau mempertahankan citra prestisius.
Sementara itu harga rendah dapat digunakan untuk membentuk
citra nilai tertentu (image of value), misalnya dengan memberikan
jaminan bahwa harga jual merupakan harga jual yang terendah
di suatu wilayah tertentu. Pada hakekatnya, baik penetapan harga
jual tinggi maupun rendah bertujuan untuk meningkatkan
persepsi konsumen terhadap keseluruhan bauran produk yang
ditawarkan perusahaan.
d. Tujuan Stabilisasi Harga Jual
Dalam pasar yang konsumennya sangat sensitif terhadap harga
jual, bila suatu perusahaan menurunkan harga jual, maka para
pesaing harus pula menurunkan harga jual. Kondisi seperti ini
yang mendasari terbentuknya tujuan stabilisasi harga jual dalam
industri-industri tertentu yang produknya sudah ada standar.
Tujuan stabilisasi dilakukan dengan jalan menetapkan harga
untuk mempertahankan hubungan yang stabil antara harga suatu
perusahaan dan harga pemimpin industri (Industri leader).
49

e. Tujuan-tujuan lainnya
Harga dapat pula ditetapkan dengan tujuan mencegah masuknya
pesaing, mempertahankan loyalitas pelanggan, mendukung
penjualan ulang, atau menghindari campur tangan pemerintah.
Tujuan-tujuan penetapan harga jual tersebut mempunyai
implikasi penting terhadap srategi bersaing perusahaan. Tujuan
yang ditetapkan harus konsisten dengan cara yang ditempuh
perusahaan dalam menempatkan posisi relatifnya dalam
persaingan. Misalnya pemilihan tujuan berorientasi pada laba
mengandung makna bahwa perusahaan akan mengabaikan harga
jual produk sejenis. Untuk memilih ini perlu diperhatikan jika
keadaan adalah sebaga berikut
a. Tidak ada pesaing.
b. Perusahaan beroperasi pada kapasitas besar.
c. Harga bukanlah merupakan atribut yang penting bagi
pembeli.

2.1.2.3. Faktor-Faktor yang Perlu Dipertimbangkan dalam Penentuan Harga

Jual

Menurut Kotler dan Armstrong yang dikutip oleh Fandi Tjiptono

(1997:154) secara umum ada dua faktor utama yang perlu dipertimbangkan dalam

menetapkan harga jual yaitu:

1. Faktor Internal Perusahaan


a. Tujuan Pemasaran Perusahaan
Faktor utama yang menentukan dalam penetapan harga jual
adalah tujuan pemasaran perusahaan. Tujuan tersebut bisa
berupa maksimisasi laba, mempertahankan kelangsungan
hidup perusahaan, meraih pangsa pasar yang besar,
menciptakan kepemimpinan dalam kualitas, mengatasi
persaingan, melaksanakan tanggung jawab social dan lain-lain.
b. Strategi Bauran Pemasaran
Harga hanyalah salah satu komponen dari bauran pemasaran.
Oleh karena itu, harga perlu dikoordinasikan dan saling
mendukung dengan bauran pemasaran lainnya, yaitu produk,
distribusi dan promosi.
c. Biaya
Biaya merupakan faktor yang menentukan harga minimal
yang harus ditetapkan agar perusahaan tidak mengalami
kerugian. Oleh karena itu, setiap perusahaan pasti menaruh
50

perhatian pada aspek struktur biaya (tetap dan variabel), serta


jenis-jenis biaya lainnya.
d. Organisasi
Manajemen perlu memutuskan siapa di dalam organisasi yang
harus menetapkan harga.
2. Faktor Lingkungan Eksternal
a. Sifat Pasar dan Permintaan
Setiap perusahaan perlu memahami sifat pasar
memperhatikan sifat pasar dan permintaan yang dihadapinya,
apakah termasuk pasar persaingan sempurna, persaingan
monopolistik, oligapi, atau monopoli. Faktor lain yang tidak
kalah pentingnya adalah elastisitas permintaan.
b. Persaingan
Kekuatan pokok yang mempengaruhi persaingan dalam suatu
industri ada lima, yaitu persaingan dalam industri yang
bersangkutan, produk substitusi, pemasok, pelanggan dan
ancaman pendatang baru. Informasi-informasi yang
dibutuhkan untuk menganalisis karakteristik persaingan yang
dihadapi antara lain:
1. Jumlah perusahaan dalam industri.
2. Ukuran relatif setiap anggota dalam industri.
3. Diferensiasi produk.
4. Kemudahan untuk memasuki industri tersebut.
c. Unsur-Unsur Lingkungan Eksternal Lainnya
Selain faktor-faktor tersebut, perusahaan juga perlu
memperhatikan faktor kondisi ekonomi (inflasi, resesi, dan
tingkat bunga), kebijakan dan peraturan Pemerintah dan
aspek sosial (kepedulian terhadap lingkungan).

2.1.2.4. Metode Penentuan Harga Jual

Menurut Mulyadi (2001:348) ada tiga metode dalam penentuan harga jual

yaitu:

1. Penentuan Harga Jual Normal (Normal Pricing)


Metode penentuan harga jual normal seringkali disebut dengan istilah
cost-plus pricing yaitu penentuan harga jual dengan cara menambahkan
laba yang diharapkan di atas biaya penuh masa yang akan datang untuk
memproduksi dan memasarkan produk, karena harga jual ditentukan
dengan menambah biaya masa yang akan datang dengan suatu
persentase markup (tambahan diatas jumlah biaya) yang dihitung
dengan formula tertentu. Harga jual produk atau jasa dalam keadaan
normal ditentukan dengan formula sebagai berikut:
51

Harga jual = Taksiran biaya penuh + Laba yang diharapkan

Dengan demikian ada dua unsur yang diperhitungkan dalam penentuan


harga jual ini yaitu taksiran biaya penuh dan laba yang diharapkan.
Taksiran biaya penuh dapat dihitung dengan dua pendekatan yaitu full
costing dan variable costing. Untuk memperkirakan berapa laba wajar
yang diharapkan, manajer penentu harga jual perlu
mempertimbangkan:
1. Cost of capital
Cost of capital merupakan biaya yang dikeluarkan untuk investasi
yang dilakukan dalam perusahaan. Besarnya cost of capital sangat
dipengaruhi oleh sumber aktiva yang ditanmkan dalam
perusahaan.
2. Risiko bisnis
Semakin besar risiko bisnis yang dihadapi oleh perusahaan,
semakin besar persentase yang ditambahkan pada cosf of capital
di dalam memperhitungkan laba yang diharapkan
3. Besarnya capital employed
Jumlah investasi (atau capital employed) yang ditanamkan untuk
memproduksi dan memasarkan produk atau jasa merupakan
faktor yang menentukan besarnya laba yang diharapkan, yang
diperhitungkan dalam harga jual.
a. Rumus Perhitungan Harga Jual per Unit
Jika biaya dipakai sebagai dasar penentuan harga jual, baik dalam
pendekatan full costing maupun variabel costing, biaya penuh masa
yang akan datang dibagi menjadi dua: biaya yang dipengaruhi secara
langsung oleh volume produk dan biaya penuh yang tidak
dipengaruhi oleh volume produk. Dalam penentuan harga jual,
taksiran biaya penuh yang secara langsung berhubungan dengan
volume produk dipakai sebagai dasar penentuan harga jual,
sedangkan taksiran biaya penuh yang tidak dipengaruhi oleh volume
produk ditambahkan kepada laba yang diharapkan untuk
kepentingan perhitungan persentase markup. Rumus perhitungan
harga jual atas dasar biaya secara umum dapat dinyatakan sebagai
berikut :

Biaya yang
Harga Jual per Unit = berhubungan + Persentase markup
langsung dengan
volume (per unit)
52

Persentase markup dihitung dengan rumus:

Laba yang Baiaya yang tidak


Diharapakan + dipengaruhi langsung
oleh volume produk
Persentase Markup =
Biaya yang dipengaruhi langsung oleh
volume produk

Konsep biaya yang berhubungan langsung dengan volume menurut


metode full costing adalah biaya produksi dan yang tidak
berhubungan langsung adalah biaya biaya non produksi. Sedangkan
dalam pendekatan variabel costing, biaya penuh yang dipengaruhi
secara langsung oleh volume produk terdiri dari biaya variabel
sedangkan yang tidak dipengaruhi secara langsung adalah biaya
biaya tetap.
b. Penentuan Harga Jual Waktu dan Bahan (Time and Material Pricing)
Penentuan harga jual ini ditentukan sebesar biaya penuh ditambah
dengan laba yang diharapkan. Metode penentuan harga jual ini
biasanya digunakan pada perusahaan jasa atau perusahaan yang
menjual jasa reparasi suku cadang sebagai pelengkap penjualan jasa.
Volume jasa dihitung berdasarkan waktu yang diperlukan untuk
melayani konsumen, sehingga perlu dihitung harga jual per satuan
waktu yang dinikmati oleh konsumen.
2. Penentuan Harga Jual dalam Cost-type Contract (Cost-type Contract
Pricing)
Cost-type contract adalah kontrak pembuatan produk atau jasa yang pihak
pembeli setuju untuk membeli produk atau jasa pada harga yang
didasarkan pada total biaya yang sesungguhnya dikeluarkan oleh produsen
ditambah dengan laba yang dihitung sebesar persentase tertentu dari total
biaya sesungguhnya.
3. Penentuan Harga Jual Produk Atau Jasa yang Dihasilkan oleh
Perusahaan yang Diatur dengan Peraturan Pemerintah
Produk dan jasa yang dihasilkan untuk memenuhi kebutuhan pokok
masyarakat luas seperti listrik, air, telepon dan telegraf, dan pos diatur
dengan peraturan pemerintah. Harga jual produk dan jasa tersebut
ditentukan berdasarkan biaya penuh masa yang akan dating ditambah
dengan laba yang diharapkan.
53

2.1.3. Ruang Lingkup Kinerja Unit Bisnis Sebagai Pusat Laba

2.1.3.1. Desentralisasi

Menurut Supriyono (2000:384) desentralisasi adalah: …pendelegasian

wewenang pembuatan keputusan oleh manajer yang lebih tinggi kepada

tingkatan manajer yang lebih rendah.

Sedangkan menurut Mulyadi (2001:378) desentralisasi adalah:

…pendelegasian kebebasan untuk mengambil keputusan.

Suatu organisasi yang manajer tingkat bawahnya memiliki kebebasan

yang besar dalam pengambilan keputusan adalah organisasi yang besar tingkat

desentralisasinya. Sebaliknya suatu organisasi yang seluruh pengambilan

keputusannya terpusat di tangan manajer puncak disebut organisasi yang tingkat

desentralisasinya rendah atau bersifat sentralisasi.

Pembentukkan unit-unit organisasi tidak selalu diikuti dengan

desentralisasi wewenang manajer puncak kepada manajer divisi ketika manajer

puncak telah membentuk pusat pusat laba dalam organisasinya, untuk

memungkinkan para manajer divisi dengan cepat menghadapi ketidakpastian

lingkungan bisnis mereka, manajer puncak perlu melakukan desentralisasi

wewenang kepada para manajer divisi. Pembentukkan unit-unit organisasi yang

tidak diikuti dengan desentralisasi akan menimbulakan pseudo profit center (pusat

laba tidak dalam arti sebenarnya) karena manajer divisi tidak memiliki wewenang

untuk mengendalikan pendapatan dan konsumsi sumber daya divisi.

Menurut Mulyadi (2001:378-380) desentralisasi dapat mengambil salah

satu dari ketiga bentuk berikut ini:


54

1. Desentralisasi berdasarkan fungsi (functional decentralization)


Dalam organisasi yang mengadakan desentralisasi berdasarkan
fungsi, manajer puncak mendelegasikan wewenang fungsional
kepada para manajer di bawahnya. Fungsi-fungsi pokok dalam
suatu perusahaan seperti fungsi-fungsi produksi, pemasaran,
keuangan dan umum didelegasikan oleh manajer puncak kepada
manajer menengah.
2. Desentralisasi berdasarkan daerah (geographical decentralization)
Dalam organisasi yang melakukan desentralisasi berdasrkan
daerah, manajemen puncak mendelegasikan sebagian wewenang
kepada manajemen tingkat yang lebih rendah berdasarkan
daerah geografis.
3. Desentralisasi berdasarkan laba (profit desentralization)
Dalam organisasi yang mengadakan desentralisasi berdasarkan
pusat laba, manajemen puncak mendelegasikan wewenagnya
kepada manajer-manajer tingkat yang lebih rendah berdasarkan
pusat-pusat laba. Proses pembentukan unit-unit organisasi sebagai
pusat laba ini disebut dengan divisionalisasi. Selanjutnya dalam
setiap pusat laba tersebut, pendelegasian wewenang dilakukan
atas dasar fungsi.

2.1.3.2. Pengertian Kinerja Unit Bisnis

Pengertian Unit Bisnis menurut Mia dan Clarke yang dikutip oleh Faisal

(2005:262) adalah sebagai berikut: …sebuah organisasi atau bagian dari

organisasi yang mempunyai aktivitas rutin seperti bagian pemasaran,

produksi, finansial, personalia dan research and development (R&D).

Menurut Faisal (2005:262) kinerja unit bisnis didefinisikan sebagai:

…tingkat keberhasilan pencapaian target yang telah direncanakan.

Sedangkan kinerja unit bisnis didefinisikan oleh Mia dan Clarke yang

dikutip oleh Gudono (2007:186) adalah: …seberapa tinggi tingkat pencapain

target yang telah direncanakan, misalnya pencapaian produksi, kos, kualitas,

pengiriman produk, service atau pelayanan, volume penjualan, pangsa pasar

dan tingkat laba.


55

2.1.3.3. Pusat Laba

Menurut Supriyono (2000:384) divisionalisasi adalah: …pembentukan

divisi-divisi (pusat laba atau unit bisnis) yang manajernya diberi tanggung

jawab terhadap fungsi produksi (pengadaan) dan fungsi pemasaran

sekaligus sehingga manajer tersebut bertanggung jawab terhadap laba

divisinya. Oleh karena itu, manajer divisi harus diberi wewenang untuk

melakukan pembuatan keputusan yang berhubungan dengan laba, meliputi

keputusan biaya (keputusan sumber) dan sekaligus pendapatan (keputusan pasar).

Manajer divisi tersebut memperoleh wewenang untuk melakukan pembuatan

keputusan laba maka manajer divisi bertanggung jawab terhadap laba yang

dicapai oleh divisinya.

Menurut Anthony dan Govindarajan dalam F. X. Kurniawan Tjakrawala

(2008:237): …ketika kinerja finansial suatu pusat tanggung jawab diukur

dalam ruang lingkup laba (yaitu, selisih antara pendapatan dan beban),

maka pusat ini disebut sebagai pusat laba (profit center).

Menurut Supriyono (2000:384) pengertian pusat laba (unit bisnis) adalah:

…unit organisasi yang dipimpin oleh seorang manajer yang bertanggung

jawab terhadap laba.

Sedangkan menurut Mulyadi (2001:427) pengertian pusat laba (profit

center) adalah: …pusat pertanggungjawaban yang manajernya diberi

wewenang untuk mengendalikan pendapatan dan biaya pusat

pertanggungjawaban tersebut.
56

Menurut Anthony dan Govindarajan dalam F. X. Kurniawan Tjakrawala

(2008:240) pusat laba dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

1. Kualitas keputusan dapat meningkat karena keputusan tersebut


dibuat oleh para manajer yang paling dekat dengan titik
keputusan.
2. Kecepatan dari pengambilan keputusan operasional dapat
meningkat karena tidak perlu mendapat persetujuan terlebih
dahulu dari kantor pusat.
3. Manajemen kantor pusat bebas dari pengambilan keputusan
harian sehingga dapat berkonsentrasi pada hal-hal yang lebih
luas.
4. Manajer karena tunduk hanya pada sedikit batasan dari
korporat, lebih bebas untuk menggunakan imajinasi dan
inisiatifnya.
5. Karena pusat-pusat laba serupa dengan perusahaan yang
independen, maka pusat laba memberikan tempat pelatihan yang
sempurna bagi manajer umum. Para manajer mendapatkan
pengalaman dalam mengelola seluruh area fungsional, dan
manajemen yang lebih tinggi mendapatkan kesempatan untuk
mengevaluasi potensi pekerjaan yang tingkatnya lebih tinggi.
6. Kesadaran laba (profit consciousness) dapat ditingkatkan karena
para manajer yang bertanggung jawab atas laba akan selalu
mencari cara untuk meningkatkan labanya.
7. Pusat laba memberikan informasi yang siap pakai bagi
manajemen puncak (top management) mengenai profitabilitas dari
komponen-komponen individual perusahaan.
8. Karena keperluan (output) yang dihasilkan telah siap pakai, maka
pusat laba sangat responsive terhadap tekanan untuk
meningkatkan kinerja kompetitifnya.

Selain manfaat yang diperoleh tadi, menurut Anthony dan Govindarajan

dalam F. X. Kurniawan Tjakrawala (2008:237) pusat-pusat laba dapat

menimbulkan beberapa kesulitan:

1. Pengambilan keputusan yang terdesentralisasi akan memaksa


manajemen puncak untuk lebih mengandalkan laporan
pengendalian manajemen dan bukan wawasan pribadinya atas
suatu operasi, sehingga mengakibatkan hilangnya pengendalian.
2. Jika manajemen kantor pusat lebih mampu dan memiliki
informasi yang lebih baik daripada manajer pusat laba pada
umumnya, maka kualitas keputusan yang diambil pada tingkat
unit berkurang.
57

3. Perselisihan dapat meningkat karena adanya argumen-argumen


mengenai harga transfer yang sesuai, pengalokasian biaya umum
(common cost) yang tepat, dan kredit untuk pendapatan yang
sebelumnya dihasilkan secara bersama-sama oleh dua atau lebih
unit bisnis.
4. Unit-unit organisasi yang pernah berkerja sama sebagai unit
fungsional akan saling berkompetisi satu sama lain. Peningkatan
laba untuk satu manajer dapat berarti pengurangan laba bagi
manajer yang lain. Dalam situasi seperti ini, seorang manajer
dapat gagal untuk memberikan potensi penjualan ke unit lain
yang lebih tepat untuk merealisasikannya; menimbun pegawai
atau peralatan yang akan lebih baik, dari sudut pandang seluruh
perusahaan jika digunkan di unit lain; atau membuat keputusan
produksi yang memiliki konsekuensi biaya yang tidak diinginkan.
5. Divisionalisasi dapat mengakibatkan biaya tambahan karena
adanya tambahan manajemen, pegawai, dan pembukuan yang
dibutuhkan, dan mungkin mengakibatkan duplikasi tugas di
setiap pusat laba.
6. Para manajer umum yang kompeten mungkin saja tidak ada
dalam organisasi fungsional karena tidak adanya kesempatan
yang cukup bagi mereka untuk mengembangkan kompetensi
manajemen umum.
7. Mungkin ada terlalu banyak tekanan atas profitabilitas jangka
pendek dengan mengorbankan profitabilitas jangka panjang.
8. Tidak ada sistem yang sangat memuaskan untuk memastikan
bahwa optimalisasi laba dari masing-masing pusat laba akan
mengoptimalkan laba perusahaan secara keseluruhan.

2.1.3.4. Tujuan Penilaian Kinerja Unit Bisnis

Menurut Anthony dan Govindarajan dalam F. X. Kurniawan Tjakrawala

(2008:242) menyatakan: …hampir semua unit bisnis diciptakan sebagai pusat

laba karena manajer yang bertanggung jawab atas unit tersebut memiliki

kendali atas pengembangan produk, proses produksi, dan pemasaran.

Menurut Supriyono (2000:385) secara umum tujuan penilaian kinerja

divisi (unit bisnis) dalam suatu organisasi adalah sebagai berikut:

1. Untuk menentukan besarnya kontribusi divisi di dalam


pencapaian tujuan organisasi secara keseluruhan.
58

2. Untuk menilai prestasi manajer divisi sesuai dengan wewenang


dan tanggung jawab yang telah dibebankan kepadanya.
3. Untuk mengidentifikasi penyebab selisih pelaksanaan dari
rencana sesuai dengan ukuran prestasi manajer divisi yang telah
dilakukan.
4. Untuk membuat saran tindakan perbaikan atas situasi yang di
luar kendali.
5. Untuk memotivasi para manajer divisi dalam meningkatakan
prestasi.
6. Untuk menentukan dasar perbandingan prestasi antardivisi di
dalam suatu organisasi.

2.1.3.5. Keunggulan dan Kelemahan Divisionalisasi

Divisionalisasi memiliki beberapa keunggulan dan sekaligus memiliki

beberapa kelemahan tertentu. Adapun keunggulan dan kelemahan divisionalisasi

menurut Supriyono (2000:386-390) adalah sebagai berikut:

1. Keunggulan Divisonalisasi
a. Pembuatan keputusan dapat lebih cepat. Hal ini disebabkan
karena banyak keputusan operasional yang dapat dibuat oleh
manajer divisi tanpa harus melibatkan manajer kantor pusat.
b. Kualitas keputusan dapat ditingkatkan. Hal ini disebabkan
karena keputusan dibuat oleh manajer divisi yang mengenal
dengan baik situasi yang dihadapi divisinya.
c. Moral, kepuasan, dan kebanggaan manajer divisi dapat
ditingkatkan. Hal ini karena mereka berpartisipasi aktif dalam
pembuatan keputusan.
d. Manajemen kantor pusat dapat dibebaskan dari pembuatan
keputusan rutin. Oleh karena itu, manajemen kantor pusat
dapat memusatkan kegiatannya dalam keputusan yang lebih
tinggi, misalnya pada perumusan strategis.
e. Kesadaran laba dapat dipertinggi. Manajer divisi yang
bertanggung jawab terhadap laba akan secara terus-menerus
mencari cara-cara untuk meningkatkan laba.
f. Pengukuran kinerja lebih diperluas. Divisi dinilai prestasinya
atas dasar laba, yang sifatnya lebih menyeluruh dibandingkan
jika hanya diukur dari segi pendapatan (untuk pusat
pendapatan) atau diukur dari segi biaya (pusat beban) secara
terpisah seperti dalam organisasi fungsional.
g. Manajer divisi lebih bebas menggunakan imajinasi dan
inisiatifnya. Hal ini disebabkan karena wewenang pembuatan
59

keputusan untuk memproduksi dan memasarkana barang dan


jasa sudah dilimpahkan kepada manajer divisi.
h. Divisi merupakan tempat yang cocok untuk latihan
manajemen. Hal ini disebabkan karena:
1. Divisi merupakan unit yang berdiri sendiri seperti
perusahaan yang independen dalam skala kecil.
2. Divisi merupakan tempat yang baik untuk menilai seorang
manajer dalam rangka promosi ke jenjang yang lebih
tinggi.
i. Penggunaan bakat dan keahlian yang berbeda untuk situasi
yang berbeda. Jika perusahaan mengutamakan diversifikasi,
divisionalisasi memungkinkan pengunaan bakat dan keahlian
yang berbeda untuk situasi yang berbeda. Dalam divirsifikasi,
setiap bisnis divisi memerlukan bakat dan keahlian yang
berbeda dibandingkan dengan bisnis divisi lainnya.
j. Divisionalisasi menyediakan profitabilitas komponen
perusahaan. Dalam organisasi fungsional, prifitabilitas
perusahaan hanya diukur untuk perusahaan sebagai suatu
kesatuan. Dalam organisasi divisional, profitabilitas diukur
untuk setiap divisi yang ada dalam perusahaan sehingga
manajemen kantor pusat mengetahui informasi mengenai
profitabilitas komponen perusahaan.
k. Pusat laba termotivasi untuk meningkatkan kinerja daya
saingnya.
2. Kelemahan-kelemahan Divisionalisasi
a. Manajemen kantor pusat dapat kehilangan sejumlah
pengendalian. Jika pembuatan keputusan terlalu luas
didesentralisasikan, manajemen kantor pusat dapat
kehilangan sejumlah pengendalian. Hal ini disebabkan karena
manajemen puncak tidak lagi secara langsung mengelola
kegiatan operasional sehingga tidak dapat menggunakan
pendekatan pribadi dalam pengendalian. Manajemen kantor
pusat harus menyandarkan pada laporan pengendalian
manajemen.
b. Manajer divisi yang cakap mungkin sulit diperoleh. Untuk
mengelola divisi diperlukan manajer yang cakap, sedangkan
manajer divisi yang cakap mungkin sulit diperoleh. Hal ini
disebabkan karena manajer fungsi mungkin sulit
mengembangkan kemampuannya menjadi manajer divisi.
c. Divisi tertentu dapat bersaing keras dengan divisi lainnya.
Karena manajer divisi dinilai prestasinya atas dasar laba maka
setiap divisi akan berusaha untuk mencapai laba sebesar
mungkin. Hal ini dapat menimbulkan persaingan antardivisi
yang tidak sehat.
d. Perselisihan antardivisi dapat meningkat. Perselisihan
antardivisi ini dapat ditimbulkan karena:
60

1. Ketidakpuasan manajer divisi terhadap harga transfer atas


transfer barang dan jasa antardivisi.
2. Ketidakpuasan manajer divisi atas alokasi pendapatan
biaya bersama.
e. Divisionalisasi lebih mengutamakan kemampuan laba jangka
pendek. Karena divisi diukur prestasi labanya dalam jangka
pendek maka ada kecenderungan manajer divisi untuk
mengutamakan laba jangka pendek dengan mengorbankan
laba jangka panjang.
f. Laba divisi yang optimal belum tentu mengakibatkan laba
perusahaan optimal. Hal ini disebabkan karena tidak ada
satupun sistem yang dapat menjamin bahwa jika laba divisi
optimal dapat mengakibatkan laba perusahaan sebagai
keseluruhan juga optimal.
g. Kualitas keputusan mungkin menurun. Jika kemampuan
manajer divisi rendah atau sistem informasi dalam suatu divisi
jelek maka kualitas keputusan yang dibuat oleh manajer divisi
menurun.
h. Biaya unit jasa mungkin menjadi tinggi. Ada kecenderungan
manajer divisi ingin memiliki unit-unit jasa sendiri sehingga
mangakibatkan biaya unit jasa divisi lebih mahal
dibandingkan jika disentralisasi di kantor pusat.
i. Manfaat divisionalisasi mungkin lebih rendah dibandingkan
dengan biayanya. Divisionalisasi memberikan manfaat
sekaligus manaikkan biaya. Oleh karena itu masalahnya bagi
manajemen adalah bagaimana membuat trade-off agar selisih
manfaat dengan biaya divisionalisasi optimal.

2.1.3.6. Kendala Wewenang Divisional

Seorang manajer divisi harus memperoleh wewenang untuk mngendalikan

faktor-faktor yang mempengaruhi profitabilitas divisinya. Oleh karena itu,

manajer divisi harus memperoleh otonomi seperti seorang manajer puncak suatu

perusahaan yang independen. Akan tetapi menurut Supriyono (390-392) dalam

praktek seringkali otonomi penuh bagi divisi dihadapi beberapa kendala,

misalnya:

1. Kehilangan manfaat skala volume dan sinergi.


61

Jika suatu perusahaan dibagi secara lengkap menjadi divisi-divisi


yang independen, perushaan dapat kehilangan manfaat skala
volume kegiatan perusahaan yang memadai dan kehilangan
sinergi. Sinergi adalah penggabungan dua bagian atau divisi yang
dapat menimbulkan hasil atau laba yang lebih besar dibandingkan
dengan jika dua bagian atau divisi tersebut berdiri sendiri. Sinergi
menimbulkan akibat 1 ditambah 1 lebih besar dari 2.
2. Manajer puncak dapat kehilangan wewenangnya.
Jika semua tanggung jawab didelegasikan kepada manajer divisi
maka manajer puncak dapat kehilangan wewenangnya sehingga
keahlian dalam mengelola bisnis tidak banyak dimanfaatkan. Oleh
karena itu perlu dipertimbangkan masak-masak keuntungan dan
kerugian antara sentralisasi dan divisionalisasi.
3. Timbulnya kendala hubungan antardivisi.
Pada divisionalisasi, divisi yang satu harus berhubungan dengan
divisi laninnya. Hubungan ini dapat menimbulkan kendala
hubungan antardivisi, misalnya dalam hubungan transfer barang
dan jasa antardivisi. Untuk mengatasi kendala ini, manajer divisi
pusat laba hendaknya diberi wewenang untuk mengendalikan
keputusan yang berhubungan dengan:
a. Keputusan produk. Keputusan ini meliputi keputusan
mengenai produk apa yang harus dibuat dan dijual.
b. Keputusan pengadaan atau pensumberan. Keputusan ini
meliputi keputusan mengenai bagaimana memperoleh atau
membuat barang dan jasa yang diperlukan divisi.
c. Keputusan Pemasaran. Keputusan ini meliputi keputusan
mengenai bagaimana, di mana, dan berapa banyak barang dan
jasa akan dijual.
4. Kendala dari manajemen kantor pusat.
Kendala yang berasal dari kantor pusat umumnya didasrkan pada
alasan-alasan sebagai berikut:
a. Untuk meningkatkan efisiensi penggunaan staf spesialis yang
dimiliki kantor pusat.
b. Untuk mengkonsolidasikan tugas-tugas yang mempengaruhi
seluruh divisi dalam perusahaan.
c. Untuk memanfaatkan sumber-sumber yang langka seoptimal
mungkin.
Kendala yang berasal dari manajemen kantor pusat dapat
digolongkan menjadi:
a. Kendala pertimbangan strategi, khususnya keputusan
pembelanjaan.
b. Kendala karena perlunya keseragaman.
c. Kendala karena kehematan sentralisasi.
62

2.1.3.7. Penggolongan Divisionalisasi

Menurut Supriyono (2000:392-395) divisionalisasi dapat digolongkan

sebagai berikut:

1. Divisionalisasi berdasar diversifikasi usaha atau konglomerasi


Dalam golongan ini, suatu perusahaan memiliki beberapa jenis
usaha yang tidak saling berhubungan satu dengan lainnya ditinjau
dari kelompok produk maupun pasarnya. Dengan kata lain,
perusahaan bergerak dalam beberapa bidang industri.
2. Divisionalisasi berdasar industri tunggal yang menghasilkan
beberapa jenis produk
Dalam golongan ini, suatu perusahaan hanya bergerak dalam satu
industri namun menghasilkan beberapa jenis produk atau jasa.
3. Divisionalisasi perusahaan besar yang terintegrasi
Dalam golongan ini perusahaan hanya menghasilkan satu
keluarga atau kelompok produk yang sifat pengolahannya
terintegrasi. Divisionalisasi dalam perusahaan golongan ini
biasanya mempunyai karakteristik sebagai berikut:
a. Pendelegasian wewenang pembuatan keputusan kepda
manajer divisi umumnya lebih terbatas dibandingkan dengan
golongan pertama dan kedua. Dalam golongan ini beberapa
keputusan penting masih disentralisasi di tangan manajemen
kantor pusat.
b. Divisionalisasi dalam perusahaan golongan ini umumnya
banyak menimbulkan masalah transfer barang atau jasa
antardivisi. Produk yang tidak laku dijual di pasaran bebas
atau divisi yang hanya dapat membeli masukan dari divisi lain
menimbulkan masalah yang lebih besar dalam penentuan
harga transfer.
Dalam organisasi ini biasanya melakukan divisionalisasi atas
dasar tahapan-tahapan pengolahan produk. Divisionalisasi ini
akan banyak menfaatnya jika suatu divisi memiliki kebebasan
membeli masukan dari divisi lain atau dari pemasok lain dan juga
mempunyai kebebasan untuk menjual produknya kepada divisi
lain atau pelanggan lain.

2.1.3.8. Pertimbangan Divisonalisasi

Dalam melaksanakan divisionalisasi suatu perusahaan diperlukan

pertimbangan-pertimbangan tertentu untuk menyelesaikan masalah-masalah yang


63

timbul. Menurut Supriyono (2000:395-397) masalah-masalah tersebut antara lain

sebagai berikut:

1. Masalah Karyawan
Divisionalisasi memerlukan manajer dengan bakat dan keahlian
untuk memperoleh laba sebagaimana manajer bisnis yang berdiri
sendiri. Manajer dengan bakat dan keahlian tersebut mungkin
tidak dapat diperoleh dari dalam perusahaan yang semula
disentralisasi. Jika manajer yang memenuhi syarat tersebut belum
ada maka perusahaan harus melatih karyawan yang sudah ada
atau merekrut karyawan dari luar yang memenuhi syarat
tersebut. Syarat-syarat manajer untuk perusahaan yang
didivisionalisasi anatara lain sebagai berikut:
1. Manajemen kantor pusat harus tahu bagaimana menggunakan
laporan-laporan pengendalian manajemen untuk perencanaan,
pengendalian, dan koordinasi kegiatan divisi.
2. Manajer divisi yang cakap dan memiliki pendangan yang luas
terhadap pelaksanaan tanggung jawab divisinya. Tanpa
manajer yang cakap, sulit dilakukan divisionalisasi. Manajer
yang cakap ini dapat diperoleh melalui pendidikan dan latihan
atau dapat pula diperoleh dari luar.
3. Perusahaan yang didivisionalisasi memerlukan analisis
keuangan dan anggaran yang cakap untuk staf kantor pusat
dan staf divisi.
2. Masalah Satu Kegiatan Utama
Jika suatu perusahaan hanya memiliki satu kegiatan utama dan
suksesnya bergantung pada satu kegiatan tersebut maka
diragukan apakah tanggung jawab atas kegiatan utama tersebut
dapat didelegasikan kepada beberapa manajer divisi. Dalam
keadaan ini, usaha-usaha untuk mendesentralisasi tanggung
jawab laba mungkin hanya mengakibatkan sistem pengendalian
dan komunikasi menjadi mahal dan tidak praktis.
3. Masalah Kegiatan Utama yang Serupa
Desentralisasi tanggung jawab laba dapat digunakan dengan baik
dalam perusahaan yang menjalankan beberapa bisnis yang tidak
sama. Di lain pihak, beberapa unit organisasi yang mempunyai
kegiatan serupa cenderung dikelompokkan menjadi satu,
misalnya sekelompok pemasaran merupakan pengelompokkan
kegiatan untuk memperoleh dan melayani pesanan.
Penegelompokkan kegiatan yang serupa di dalam suatu
perusahaan tidak selaras dengan konsep divisionalisasi. Dalam
divisionalisasi, pengelompokkan kegiatan yang serupa hendaknya
dilakukan di unit-unit di bawah divisi sehinggan divisi tersebut
tetap merupakan pusat laba. Koordinasi kegiatan yang serupa
64

untuk keseluruhan perusahaan sulit dilakukan dalam organisasi


yang didivisionalisasi.
4. Tanggung Jawab yang Tidak Dapat Dibagi
Agar divisionalisasi dapat sukses, perusahaan harus secara logis
membagi kegiatan atau unit-unit organisasi ke dalam pusat-pusat
laba yang disebut dengan divisi. Adanya masalah harga transfer
atas barang dan jasa antardivisi, khususnya dalam divisi yang
terintegrasi, menunjukkan bahwa tanggung jawab laba tidak
dapat dibagi dengan jelas di antara divisi. Jika suatu divisi hanya
dapat menjual ke divisi lain, maka ini sebagai pemasok tertawan
(captive supplier) untuk divisi lain, maka divisionalisasi sebenarnya
bersifat fiktif. Pemasok tertawan (captive supplier) adalah suatu
divisi yang hanya dapat menjual produknya ke divisi lain atau
tidak dapat menjual pruduknya pada pihak luar. Demikian pula
jika suatu divisi sebagai pelanggan tertawan (captive customer)
bagi divisi lain, divisi tersebut hanya dapat membeli masukannya
dari divisi lain, maka divisionalisasi sebenarnya juga bersifat
fiktif. Pelanggan tertawan (captive customer) adalah suatu divisi
yang hanya dapat membeli masukannya dari divisi lain atau tidak
dapat membeli masukannya dari pihak luar. Adanya pemasok
tertawan dan pelanggan tertawan menunjukkan bahwa antara
divisi pengirim dan divisi penerima tidak dapat timbul persaingan
sebagaimana suatu perusahaan yang berdiri sendiri.

2.1.3.9. Mengukur Profitabilitas

Terdapat dua jenis pengukuran profitabilitas yang digunakan dalam

mengevaluasi suatu pusat laba, sama halnya seperti dalam mengevaluasi

perusahaan secara keseluruhan. Menurut Anthony dan Govindarajan dalam F. X.

Kurniawan Tjakrawala (2008:248) pertama adalah: …pengukuran kinerja

manajemen, yang memiliki fokus pada bagaimana hasil kerja para manajer.

Pengukuran ini digunakan untuk perencanaan (planning), koordinasi

(coordinating), dan pengendalian (controlling). Yang kedua menurut Anthony

dan Govindarajan dalam F. X. Kurniawan Tjakrawala (2008:248) adalah:


65

…ukuran kinerja ekonomis, yang memiliki fokus pada bagaimana kinerja

pusat laba sebagai suatu entitas ekonomi.

Sedangkan menurut Supriyono (2000:397) pengukuran kemampuan laba

divisi dapat menggunakan dua macam cara yaitu:

a. Pengukuran Kinerja Manajemen


Pengukuran kinerja manajemen (prestasi personel) adalah
pengukuran kinerja yang menekankan pada penilaian seberapa
baik manajer suatu pusat pertanggungjawaban berkerja.

b. Pengukuran Kinerja Ekonomi


Pengukuran kinerja ekonomi menitikberatkan pada seberapa baik
suatu pusat laba berkerja sebagai suatu kesatuan ekonomi. Dalam
pengukuran ini, kinerja laba suatu pusat laba tidak hanya
ditentukan oleh laba yang dapat dipengaruhi atau dikendalikan
oleh manajer pusat laba yang diukur tetapi juga meliputi
pendapatan dan biaya dari alokasi.

2.1.3.9.1. Masalah-masalah Pengukuran Laba

Pengukuran laba suatu pusat laba menyangkut transaksi tidak hanya antara

suatu pusat laba dengan pihak luar, namun juga transaksi dengan pusat laba yang

lain, dengan kantor pusat, dan dengan bagian-bagian perusahaan lain. Oleh karena

itu, tidak seperti pengukuran laba untuk suatu organisasi yang benar-benar

independen, pengukuran laba suatu pusat laba menyangkut transaksi-transaksi

yang tidak selalu merupakan transaksi independen (arm’s length transaction).

Menurut Supriyono (2000:398) transaksi independen (arm’s length transaction)

adalah: …transaksi yang dilakukan oleh dua atau lebih pihak secara

independen. Menurut Supriyono (2000:398) kondisi ini dapat menimbulkan

masalah sebagai berikut:

a. Pendapatan Bersama
66

Pendapatan bersama (pendapatan gabungan) adalah pendapatan


yang timbul karena suatu bagian pemasaran divisi tertentu dapat
menemukan pembeli atau dapat menjual produk yang dihasilkan
divisi lainnya dalam perusahaan yang sama. Dalam hal ini timbul
masalah adanya pendapatan perusahaan yang sebenarnya
merupakan hasil usaha bersama dua divisi.
b. Biaya Bersama
Biaya bersama (biaya gabungan) adalah biaya yang timbul karena
penyelenggaraan fasilitas bersama yang dinikmati bersama oleh
berbagai pusat laba. Alokasi biaya gabungan dipengaruhi oleh
tujuan pengukuran laba. Jika tujuan pengukuran laba untuk
menilai kinerja manajer, maka biaya gabungan dialokasikan pada
setiap pusat laba hanya jika biaya tersebut terkendalikan oleh
manajer pusat laba yang bersangkutan dan jika biaya bersama
tidak terkendalikan maka tidak perlu dialokasikan.
c. Harga Transfer
Masalah harga transfer timbul jika dua pusat laba melakukan
transaksi transfer barang atau jasa. Untuk penentuan laba yang
jadi bagian masing-masing pusat laba harus diperhitungkan harga
transfer barang dan jasa yang ditransfer antarpusat laba tersebut.
Harga transfer bagi divisi penjual merupakan pendapatan, di lain
pihak harga tersebut merupakan biaya bagi divisi pembeli.
Pendapatan dan biaya tersebut merupakan komponen untuk
perhitungan laba masing-masing divisi yang terkait dalam
transfer barang.
d. Konsep Laba
Konsep laba adalah konsep yang menyatakan bahwa konsep laba
yang berbeda digunakan untuk tujuan yang berbeda.

2.1.3.9.2. Jenis-jenis Ukuran Kinerja

Kinerja ekonomis suatu pusat laba selalu diukur dari laba bersih.

Meskipun demikian, kinerja manajer pusat laba menurut Anthony dan

Govindarajan dalam F. X. Kurniawan Tjakrawala (2008:249) dapat dievaluasi

berdasarkan lima unkuran profitabilitas:

1. Margin Kontribusi
Margin kontribusi (contribution margin) menunjukkan rentang
(spread) antara pendapatan dengan beban variabel. Bahwa karena
beban tetap (fixed expense) berada diluar kendali menajer
tersebut, sehingga para manajer harus memusatkan perhatian
67

untuk memaksimalkan margin kotribusi. Permasalahn dari


argumen tersebut adalah bahwa alasannnya tidak tepat; karena
pada kenyataannya, hampir seluruh pengeluaran tetap dapat
dikendalikan oleh para manajer.
2. Laba Langsung
Laba langsung (direct profit) mencerminkan kontribusi pusat laba
terhadap overhead umum dan laba perusahaan. Ukuran ini
menggabungkan seluruh pengeluaran pusat laba, baik yang
dikeluarkan oleh atau dapat ditelusuri langsung ke pusat laba
tersebut tanpa mempedulikan apakah pos-pos ini ada dalam
kendali manajer pusat laba atau tidak. Meskipun demikian,
pengeluaran yang terjadi di kantor pusat tidak termasuk dalam
perhitungan ini. Kelemahan dari pengukuran laba langsung
adalah bahwa ia tidak memasukkan unsur manfaat motivasi dari
biaya-biaya kantor pusat.
3. Laba yang Dapat Dikendalikan
Pengeluaran-pengeluaran kantor pusat dapat dikelompokkan
menjadi dua kategori: dapat dikendalikan dan tidak dapat
dikendalikan. Yang termasuk dalam kategori pertama adalah
pengeluaran-pengeluaran yang dapat dikendalikan, paling tidak
pada tingkatan tertentu, oleh manajer unit bisnis—layanan
teknologi informasi misalnya. Jika biaya-biaya ini termasuk dalam
sistem pengukuran, maka laba yang dihasilkan setelah dikurangi
dengan seluruh biaya yang dipengaruhi oleh manajer pusat laba
tersebut. Kekurangan utama dari ukuran ini adalah karena
ukuran tersebut tidak memasukkan beban kantor pusat yang
tidak dapat dikendalikan, maka ukuran ini tidak dapat langsung
dibandingkan baik dengan data yang diterbitkan atau data
asosiasi dagang yang melaporkan laba dari perusahaan-
perusahaan lain di industri yang sama.
4. Laba sebelum Pajak
Dalam ukuran ini, seluruh overhead korporat dialokasikan ke
pusat laba berdasarkan jumlah relatif dari beban yang
dikeluarkan oleh pusat laba. Ada dua argumen yang menentang
alokasi ini. Pertama, karena biaya-biaya yang dikeluarkan oleh
staf di departemen korporat seperti bagiam keuangan, akuntansi,
dan bagian sumber daya manusia tidak dapat dikendalikan oleh
manajer pusat laba, maka manajer tersebut sebaiknya tidak
dianggap bertanggung jawab untuk biaya tersebut. Kedua, sulit
untuk mengalokasikan jasa staf korporat dengan cara yang secara
wajar mencerminkan jumlah biaya yang dikeluarkan oleh setiap
pusat laba.
Meskipun demikian, ada tiga argumen yang mendukung
dimasukkannya overhead korporat ke dalam laporan kinerja dari
pusat laba. Pertama, unit jasa korporat memiliki kecenderungan
untuk meningkatkan dasar kekuatan dan untuk memperluas
68

keunggulannya tanpa memperhatikan dampaknya terhadap


perusahaan secara keseluruhan. Mengalokasikan biaya-biaya
overhead perusahaan kepada pusat laba akan menigkatkan
kecenderungan bahwa para manajer pusat laba akan
mempertanyakan biaya-biaya ini, untuk memeriksa pengeluaran
kantor pusat. Kedua, kinerja setiap pusat laba akan lebih realistis
dan lebih dapat diperbandingkan dengan kinerja para pesaing
yang memberikan jasa yang sama. Ketiga, ketika para manajer
mengetahui bahwa pusat laba mereka tidak akan menunjukkan
laba kecuali semua biaya—termasuk bagian overhead perusahaan
yang dialokasikan—tertutupi, maka mereka akan termotivasi
untuk membuat keputusan pemasaran jangka panjang yang
optimal, penentapan harga, bauran produk, dan lain-lain, yang
akan memberikan manfaat (bahkan dalam memastikan potensi)
bagi perusahaan secara keseluruhan.
5. Laba Bersih
Di sini, perusahaan mengukur kinerja pusat laba domestik
berdasarkan laba bersih (net income), yaitu jumlah laba bersih
setelah pajak. Ada dua argumen utama yang menentang
penggunaan metode ini: (1) laba setelah pajak sering kali
merupakan persentase yang konstan atas laba sebelum pajak,
dalam kasus mana tidak terdapat manfaat dengan memasukkan
unsur pajak penghasilan; dan (2) karena banyak keputusan yang
mempengaruhi pajak penghasilan dibuat di kantor pusat, maka
tidaklah tepat jika para manajer pusat laba harus menanggung
konsekuensi dari keputusan-keputusan tersebut.

2.1.3.9.3. Penilaian Kinerja Pusat Laba

Menurut Mulyadi (2001:439) pusat laba adalah: …pusat

pertanggungjawaban yang manajernya diberi wewenang untuk

mengendalikan pendapatan dan biaya pusat pertanggungjawaban tersebut.

Karena laba, yang merupakan selisih antara pendapatan dan biaya, tidak

dapat berdiri sendiri sebagai ukuran kinerja pusat laba, maka perlu

dihubungkan dengan investasi yang digunakan untuk menghasilkan laba

tersebut. Dengan demikian, untuk mengukur kinerja pusat laba, umumnya

digunakan dua ukuran yang menghubungkan laba yang diperoleh pusat laba
69

dengan investasi yang digunakan untuk menghasilkan laba: kembalian

investasi (return on ivestment atau ROI) dan residual income (RI).

Kembalian investasi (return on investment) atau yang sering juga disebut

dengan return on total assets (ROA). Menurut Mulyadi (2001:440) formula untuk

menghitung return on investment adalah sebagai berikut:

Laba
ROI = Investasi

Sedangkan menurut Lukman Syamsuddin (2004:63) adalah sebagai

berikut:

ࡺ ࢋ࢚࢖࢘࢕ࢌ࢏࢚ࢇࢌ࢚ࢋ࢚࢘ࢇ࢞ࢋ࢙
ROI = Total assets

Sedangkan menurut Mulyadi (2001:440) untuk menghitung residual

income adalah …dengan mengurangi laba dengan beban modal (merupakan

persentase beban modal x investasi). Namun kesulitan yang dihadapi

kebanyakan perusahaan adalah menghitung biaya modal yang terpakai.


70

2.2. Kerangaka Pemikiran dan Hipotesis

2.2.1. Tinjauan Literatur

Kinerja unit bisnis didefinisikan oleh Mia dan Clarke yang dikutip oleh

Gudono (2007:186) adalah: …seberapa tinggi tingkat pencapaian target yang

telah direncanakan, misalnya pencapaian produksi, kos, kualitas,

pengiriman produk, service atau pelayanan, volume penjualan, pangsa pasar

dan tingkat laba.

Dalam perusahaan yang melakukan divisionalisasi manajer divisi harus

diberi wewenang untuk melakukan pembuatan keputusan yang berhubungan

dengan laba, meliputi keputusan biaya (keputusan sumber) dan sekaligus

pendapatan (keputusan pasar). Manajer divisi tersebut memperoleh wewenang

untuk melakukan pembuatan keputusan laba. Oleh karena itu, manajer divisi

bertanggung jawab terhadap laba yang dicapai oleh divisinya. Dengan demikian

perusahaan akan membentuk sebuah pusat laba dimana manajernya bertanggung

jawab terhadap laba yang diperoleh divisinya.

Menurut Anthony dan Govindarajan dalam F. X. Kurniawan Tjakrawala

(2008:237): …ketika kinerja finansial suatu pusat tanggung jawab diukur

dalam ruang lingkup laba (yaitu, selisih antara pendapatan dan beban),

maka pusat ini disebut sebagai pusat laba (profit center).

Sedangkan menurut Supriyono (2000:384) pengertian pusat laba (unit

bisnis) adalah: …unit organisasi yang dipimpin oleh seorang manajer yang

bertanggung jawab terhadap laba.


71

Anthony dan Govindarajan dalam F. X. Kurniawan Tjakrawala (2008:242)

menyatakan bahwa: …hampir semua unit bisnis diciptakan sebagai pusat laba

karena manajer yang bertanggung jawab atas unit tersebut memiliki kendali

atas pengembangan produk, proses produksi, dan pemasaran.

Menurut Mulyadi (2001:439) pusat laba adalah …pusat

pertanggungjawaban yang manajernya diberi wewenang untuk

mengendalikan pendapatan dan biaya pusat pertanggungjawaban tersebut.

Karena laba, yang merupakan selisih antara pendapatan dan biaya, tidak

dapat berdiri sendiri sebagai ukuran kinerja pusat laba, maka perlu

dihubungkan dengan investasi yang digunakan untuk menghasilkan laba

tersebut. Dengan demikian, untuk mengukur kinerja pusat laba, umumnya

digunakan dua ukuran yang menghubungkan laba yang diperoleh pusat laba

dengan investasi yang digunakan untuk menghasilkan laba: kembalian

investasi (return on ivestment atau ROI) dan residual income (RI).

Dengan demikian dapat disimpulakan bahwa kinerja unit bisnis sebagai

pusat laba adalah seberapa tinggi tingkat pencapaian target yang telah

direncanakan oleh unit organisasi yang dipimpin oleh seorang manajer yang

bertanggung jawab terhadap laba yang dalam hal ini untuk mengukur kinerja unit

bisnis sebagai pusat laba, umumnya digunakan dua ukuran yang menghubungkan

laba yang diperoleh pusat laba dengan investasi yang digunakan untuk

menghasilkan laba yaitu ROI dan RI.

Yulius dan Gudono (2007:5) mengemukakan mengenai sistem akuntansi

manajemen adalah sebagai berikut:


72

“Peneliti sistem akuntansi managemen (SAM) mendefinisikan SAM


sebagai suatu sistem formal yang didesain untuk menyediakan
informasi dalam rangka mempermudah pengambilan keputusan dan
mengevaluasi aktivitas managerial (Chenhall, 2003).”

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya kinerja unit

bisnis menurut Yulius dan Gudono (2007:6-8) adalah sebagai berikut:

1. Intensitas kompetisi pasar merupakan salah satu faktor


ketidakpastian lingkungan (Gul, 1991). Semakin intensif kompetisi
pasar, organisasi akan meningkatkan differensiasi produk,
penurunan siklus hidup produk, memperkenalkan saluran baru,
menghadapi peningkatan sensitivitas pasar, serta meningkatkan
target produk (Rolfe, 1992). Perubahan tersebut menciptakan
tantangan kompetitif sehingga unit bisnis akan mengadopsi
strategi termasuk differensiasi produk, pelayanan dan harga
(Linn, 1994). Mia dan Clarke (1999) menyebutkan bahwa
kompetisi pasar mempengaruhi penggunaan informasi SAM yang
dapat meningkatkan kinerja unit bisnis. Berdasarkan hasil-hasil
penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa manager yang
menghadapi situasi ketidakpastian seperti kompetisi pasar,
informasi SAM yang digunakan sebagai dasar pengambilan
keputusan akan meningkatkan kinerja unit bisnis dan kepuasan
kerja.
2. SAM merupakan sistem informasi yang mengumpulkan data
keuangan dan nonkeuangan yang kemudian data tersebut
diproses, disimpan dan dilaporkan kepada manager untuk dasar
pengambilan keputusan. SAM juga merupakan bagian integral
dari suatu organisasi yang berkaitan dengan struktur dan proses
organisasi untuk menghasilkan pengendalian organisasi termasuk
pengendalian manager. SAM dan sistem pengendalian yang baik
bagi organisasi dipengaruhi oleh intensits kompetisi pasar.
Perbedaan tipe kompetisi (harga, saluran pemasaran dan produk)
mempunyai pengaruh yang berbeda terhadap penggunaan
informasi SAM dan sistem pengendalian organisasi. Manager
menggunakan informasi SAM untuk pengambilan keputusan
tentang product pricing, forecasting permintaan pasar, market
planning, pembelian bahan baku, product palanning dan
peningkatan infrastruktur organisasi (Mia dan Clarke, 1999).
Penelitian-penelitian sebelumnya memberikan bukti empiris bahwa
penggunaan informasi SAM yang sophisticated lebih bermanfaat
ketika menghadapi situasi ketidakpastian yang tinggi seperti
intensitas kompetisi pasar (Gordon dan Narayanan, 1984; Chenhall
dan Morris, 1986; Gul, 1991). Dalam kondisi intensitas kompetisi
pasar yang tinggi, manager memerlukan informasi SAM yang
73

sophisticated untuk membuat keputusan yang lebih tepat sehingga


meningkatkan kinerja unit bisnis. Sedangkan untuk menghadapi
intensitas kompetisi pasar yang rendah, informasi akuntansi
tradisional atau informasi SAM yang less sophisticated lebih tepat
digunakan oleh manager untuk pengambilan keputusan. Apabila
manager menggunakan informasi SAM yang sophisticated untuk
mengahadapi kondisi intensitas kompetisi pasar yang rendah maka
kinerja unit bisnis menurun. Hal tersebut disebabkan oleh informasi
SAM yang digunakan terlalu berlebihan (Gul, 1991). Dengan
demikian bahwa dalam kondisi intensitas kompetisi pasar tinggi
penggunaan informasi SAM yang sophisticated akan meningkatkan
kinerja unit bisnis akan tetapi dalam kondisi intensitas kompetisi
pasar rendah akan menurunkan kinerja unit bisnis.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat dilihat dalam tabel 2.1.

Tabel 2.1
Pengaruh Pengguuaan Informasi SAM Terhadap Kinerja Unit Bisnis
Yang Dimoderasi OIeh Intensitas Kompetisi Pasar
Intensitas Kompetisi Pasar
Informasi SAM
Rendah Tinggi
Less Sophisticated Kinerja unit bisnis tinggi Kinerja unit bisnis rendah
Sophisticated Kinerja unit bisnis rendah Kinerja unit bisnis tinggi
Sumber: Yulius dan Gudono (2007:8)

Berdasarkan faktor-faktor yang dikemukakan di atas maka harga transfer

dan harga jual merupakan bagian dari informasi SAM yang berhubungan

mengenai pengambilan keputusan tentang product pricing.

Pengertian harga transfer menurt Anthony dan Govindarajan dalam F. X.

Kurniawan Tjakrawala (2008:284) adalah: …nilai yang diberikan atas suatu

transfer barang atau jasa dalam suatu transaksi di mana setidaknya salah

satu dari kedua pihak yang terlibat adalah pusat laba.

Penetapan harga jual yang tepat adalah salah satu faktor penting bagi

perusahaan. Kurang berarti jika sebuah perusahaan dapat memproduksi barang


74

sangat baik namun tidak dapat menetapkan harga jual dengan tepat untuk barang

produksinya. Menurut Sriyadi (2001:178) pengertian harga jual adalah …nilai

tukar suatu barang atau jasa, yaitu jumlah uang yang pembeli sanggup

membayar kepada penjual untuk suatu barang tertentu.

Sedangkan menurut Fandi Tjiptono (1997:151) pengertian harga jual

adalah …satuan moneter atau ukuran lainnya (termasuk barang dan jasa

lainnya) yang ditukarkan agar memperoleh hak kepemilikan atau

penggunaan suatu barang atau jasa yang akan berpengaruh langsung

terhadap laba perusahaan.

Anthony dan Govindarajan dalam F. X. Kurniawan Tjakrawala (2008:284)

menyatakan bahwa:

“Literatur ekonomi klasik menyatakan bahwa harga jual sebaiknya


sama dengan biaya marginal, dan beberapa penulis menyarankan
harga transfer berdasarkan biaya marginal. Hal ini tidak realistis.
Karena hanya beberapa perusahaan menjalankan kebijakan
semacam ini dalam menentukan baik harga jual atau harga transfer.”

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada kenyataannya terdapat

perbedaan antara penentuan harga transfer dengan harga jual. Berdasarkan uraian

di atas maka penulis merumuskan hipotesis pertama sebagai berikut:

H1: “Terdapat Perbedaan Antara Harga Transfer dengan Harga Jual”.

Menurut Abdul Halim (2005:50), ada tiga faktor yang mempengaruhi laba

perusahaan yaitu …biaya, harga jual dan volume (penjualan dan produksi).

Biaya yang timbul dari perolehan atau untuk pengolahan suatu produk atau

jasa akan mempengaruhi harga jual produk yang bersangkutan. Harga jual

produk atau jasa akan mempengaruhi besarnya volume penjualan produk


75

atau jasa yang bersangkutan, sedangkan besarnya volume penjualan

berpengaruh terhadap volume produksi produk atau jasa tersebut.

Selanjutnya pada gilirannya volume produksi akan mempengaruhi besar

kecilnya biaya produksi. Dengan demikian faktor-faktor yang

mempengaruhi laba tersebut saling terkait antara satu dengan yang lain.

Sedangkan Student Camelia Obreja (2008:164) menyatakan bahwa:

“The profit center is the operational subdivision which performs


its activity by attracting resources which generate revenue. The
profit center is the organizational center within which profit can
be calculated. Within profit centers there are produced
subsystems, finite products or there are executed services which
are sold outside and for which a selling price is calculated”.

Dengan pernyataan di atas maka terdapat hubungan yang erat antara harga

jual dengan kinerja unit bisnis sebagai pusat laba yang dinilai prestasinya

berdasarkan laba yang dihasilkan. Harga jual akan mempengaruhi besarnya laba

yang akan didapatkan oleh unit bisnis karena unit bisnis mempunyai hak dalam

melakukan keputusan mengenai pemasaran produknya sehingga harus

menetapkan harga jual yang tepat agar memperoleh laba (selisih antara

pendapatan dengan biaya).

Berdasarkan uraian di atas maka penulis merumuskan hipotesis kedua

sebagai berikut:

H2: “Tedapat pengaruh signifikan harga jual terhadap kinerja unit bisnis

sebagai pusat laba”.

Pengukuran laba suatu unit bisnis sebagai pusat laba menyangkut transaksi

tidak hanya antara suatu pusat laba dengan pihak luar, namun juga transaksi

dengan pusat laba yang lain, dengan kantor pusat, dan dengan bagian-bagian
76

perusahaan lain. Oleh karena itu, tidak seperti pengukuran laba untuk suatu

organisasi yang benar-benar independen, pengukuran laba suatu unit bisnis

sebagai pusat laba menyangkut transaksi-transaksi yang tidak selalu merupakan

transaksi independen (arm’s length transaction). Menurut Supriyono (2000:398)

transaksi independen (arm’s length transaction) adalah: …transaksi yang

dilakukan oleh dua atau lebih pihak secara independen. Menurut Supriyono

(2000:398) kondisi ini dapat menimbulkan masalah sebagai berikut:

a. Pendapatan Bersama
Pendapatan bersama (pendapatan gabungan) adalah pendapatan
yang timbul karena suatu bagian pemasaran divisi tertentu dapat
menemukan pembeli atau dapat menjual produk yang dihasilkan
divisi lainnya dalam perusahaan yang sama. Dalam hal ini timbul
masalah adanya pendapatan perusahaan yang sebenarnya
merupakan hasil usaha bersama dua divisi.
b. Biaya Bersama
Biaya bersama (biaya gabungan) adalah biaya yang timbul karena
penyelenggaraan fasilitas bersama yang dinikmati bersama oleh
berbagai pusat laba. Alokasi biaya gabungan dipengaruhi oleh
tujuan pengukuran laba. Jika tujuan pengukuran laba untuk
menilai kinerja manajer, maka biaya gabungan dialokasikan pada
setiap pusat laba hanya jika biaya tersebut terkendalikan oleh
manajer pusat laba yang bersangkutan dan jika biaya bersama
tidak terkendalikan maka tidak perlu dialokasikan.
c. Harga Transfer
Masalah harga transfer timbul jika dua pusat laba melakukan
transaksi transfer barang atau jasa. Untuk penentuan laba yang
jadi bagian masing-masing pusat laba harus diperhitungkan harga
transfer barang dan jasa yang ditransfer antarpusat laba tersebut.
Harga transfer bagi divisi penjual merupakan pendapatan, di lain
pihak harga tersebut merupakan biaya bagi divisi pembeli.
Pendapatan dan biaya tersebut merupakan komponen untuk
perhitungan laba masing-masing divisi yang terkait dalam
transfer barang.
d. Konsep Laba
Konsep laba adalah konsep yang menyatakan bahwa konsep laba
yang berbeda digunakan untuk tujuan yang berbeda.
77

Berdasarkan uraian di atas harga transfer merupakan salah satu kondisi

yang dapat menimbulkan masalah di dalam penilaian kinerja unit bisnis sebagai

pusat laba karena adanya transaksi yang terjadi antar pusat laba di dalam

perusahaan. Untuk penentuan laba yang jadi bagian masing-masing pusat laba

harus diperhitungkan harga transfer barang dan jasa yang ditransfer antarpusat

laba tersebut. Harga transfer bagi divisi penjual merupakan pendapatan, di lain

pihak harga tersebut merupakan biaya bagi divisi pembeli. Pendapatan dan biaya

tersebut merupakan komponen untuk perhitungan laba masing-masing divisi yang

terkait dalam transfer barang.

Simons (2000) yang dikutip oleh Martine Cools dan Regine Slagmulder

(2005:6-7) menyatakan bahwa:

“Transfer prices as horizontal linkages between the profit plans


of different business units in the firm and stresses that transfer
prices influence business unit managers’ performance
evaluations, which are typically based on those profit plans”.

Sedangkan Cravens and Shearon (1996) yang dikutip Martine Cools dan

Regine Slagmulder (2005:7) menyatakan bahwa “The transfer pricing policy

must provide a realistic performance evaluation, motivating managers to

perform well and evaluating them based on measures that are within their

control”.

Berdasarkan pernyataan diatas terdapat hubungan yang erat antara harga

transfer dengan kinerja unit bisnis sebagai pusat laba. Pada perusahaan yang

melakukan divisionalisasi dimana di dalamnya terdiri dari beberapa unit bisnis

sebagai pusat laba maka akan terjadi transfer barang atau jasa. Hal ini disebabkan

tidak seluruhnya dilengkapi dengan fasilitas yang sama sehingga ada kalanya unit
78

bisnis yang satu harus memakai barang atau jasa dari unit bisnis lainnya. Dengan

adanya penerapan harga transfer yang terjadi antara unit bisnis sebagai pusat laba

akan mempengaruhi kinerja dari unit bisnis tersebut karena unit bisnis sebagai

pusat laba diukur kinerjanya berdasarkan seberapa besar laba yang dapat

dihasilkannya.

Berdasarkan uraian di atas maka penulis merumuskan hipotesis ketiga

sebagai berikut:

H3: “Tedapat pengaruh signifikan harga transfer terhadap kinerja unit

bisnis sebagai pusat laba”.

2.2.2. Tinjauan Empiris

Beberapa penelitian yang relevan dengan penelitian ini adalah penelitian

yang dilakukan oleh Siska Rahmayawaty (2004) yang berjudul: Pengaruh

Penerapan Harga Transfer Terhadap Perhitungan Harga Jual. Penelitian

tersebut dilakukan di PT PLN (Persero) Distribusi Jawa Barat dan Banten. Pada

penelitian ini hubungan antara hasil pengaruh penerapan harga transfer sebagai

variabel independen yang diukur berdasarkan laporan perhitungan harga transfer

periode 2002 sampai dengan 2003. Sedangkan perhitungan harga jual sebagai

variabel dependen diukur berdasarkan laporan laba rugi dan perhitungan harga

jual periode 2002 sampai dengan 2003. Dengan menggunakan metode deskriptif,

diperoleh hasil bahwa perhitungan harga transfer yang dilakukan oleh PT PLN

(Persero) Distribusi Jawa Barat dan Banten telah dilaksanakan secara sistematis

yang berorientasi pada laba perusahaan. Metode yang digunakan dalam


79

menentukan harga transfer adalah atas dasar biaya, walaupun dalam prakteknya

lebih sering menggunakan harga transfer negosiasi antar divisi. Penetapan harga

transfer berpengaruh terhadap penetapan harga jual produk sebesar 7,6%. Dengan

demikian, meningkat atau menurunnya harga jual produk sebanyak 7,6%

ditentukan oleh harga transfer melalui persamaan y = 10,3948 + 0,343x, dan

hipotesis yang berbunyi: “Perhitungan harga transfer yang wajar akan berdampak

terhadap perhitungan harga jual produk yang wajar pula” dapat diterima.

Penelitian yang dilakukan oleh Juyun Junita (2004) yang berjudul:

Pengaruh Harga Transfer (Transfer Price) Terhadap Return On Investment

(ROI). Penelitian tersebut dilakukan di PT Octa Putra Jaya Tekstil Mills

Bandung. Pada penelitian ini hubungan antara pengaruh harga transfer sebagai

variabel independen yang diukur melalui laporan keuangan yang berhubungan

dengan harga transfer pada departemen pertenunan di PT Octa Putra Jaya Tekstil

Mills periode 1999 sampai dengan 2003. Sedangkan return on investment

diidentifikasi sebagai variabel dependen yang diukur dengan menggunakan

laporan laba rugi dan neraca untuk periode 1999 sampai dengan 2003. Dalam

penelitian ini digunakan teknik statistik parametrik untuk menganalisis data rasio.

Adapun rumusan hipotesisnya adalah Ho: tidak terdapat pengaruh penetapan

harga transfer terhadap ROI dan Hi: terdapat pengaruh penetapan harga transfer

terhadap ROI. Kedua variabel tersebut diuji menggunakan metode pengujian dua

pihak (two tail test) yang menunjukkan bahwa t > t-tabel (t 1/2 α) atau –t > - (t 1/2

α) dengan hasil (5,85 > 3,182) yang berarti penetapan harga transfer berpengaruh

secara positif dan signifikan terhadap ROI.


80

Penelitian yang dilakukan oleh Gagan Garmana (2004) yang berjudul:

Pengaruh Harga Transfer Terhadap Profitabilitas Unit Usaha (Studi

Verifikatif Pada Divisi Tempa dan Cor PT Pindad). Penelitian ini dilakukan di

Divisi Tempa dan Cor PT Pindad Bandung. Dalam penelitian ini terdapat dua

variable yang diteliti yaitu harga transfer sebagai variabel independen yang

diukur berdasarkan nilai transfer berdasarkan Estimated Cost System (Harga

Pokok Penjualan ditambah profit) dan profitabilitas sebagai variabel dependen

yang diukur dengan ukuran Return On Investment. Hipotesis awal yang diajukan

adalah “Harga Transfer mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap

profitabilitas di Divisi Tempa dan Cor PT Pindad (Persero)”. Metode penelitian

yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analitis dengan pendekatan

studi Verikatif. Data yang digunakan adalah data laporan keuangan bulanan unit

bisnis/divisi Tempa dan Cor Bandung periode Januari 2000 sampai Desember

2002. Hipotesis akan diuji dengan menggunakan analisis korelasi. Dengan

koefisien korelasi sebesar 0,550, menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang kuat

dan positif antara varibel independen dan variabel dependen. Dengan

menggunakan analisis statistik Uji t, diperoleh nilai thitung > ttabel (3,840 > 2,344),

maka H0 ditolak dan H1 diterima, artinya hipotesis awal diterima. Berdasarkan

hasil penelitian, dapat dibuktikan bahwa terdapat pengaruh yang kuat dan

signifikan pada penerapan harga transfer terhadap kinerja unit usaha.

Penelitian yang dilakukan oleh Mochamad Arif Abdullah (2004) yang

berjudul: Pengaruh Penerapan Harga Transfer Terhadap Kinerja Suatu Unit

Usaha Sebagai Pusat Laba (Studi Kasus Pada PT Bank X Unit Bisnis
81

Bandung). Dalam penelitian ini terdapat dua variabel yang diteliti yaitu

penerapan harga transfer sebagai variabel independen, dimana harga transfer yang

diterapkan pada Bank X adalah harga yang dibebankan untuk penyerahan dana

dari kantor pusat kepada unit usaha berupa suatu tingkat suku bunga tertentu.

Harga transfer yang diterapkan oleh kantor pusat tersebut dikenal dengan istilah

Transfer Price Rate (TPR), Bank X menggunakan Marginal Cost System dalam

menetapkan tingkan bunga Transfer Price Rate ini. Untuk variabel dependen yaitu

kinerja unit usaha sebagai pusat laba yang diwakili oleh rasio profitabilitasnya

yaitu Return on Asset (ROA). Hipotesis awal dalam penelitian ini adalah

“Terdapat pengaruh yang signifikan dalam penerapan harga transfer terhadap

kinerja suatu unit usaha sebagai pusat laba”. Metode penelitian yang digunakan

dalam menyusun skripsi ini adalah metode deskriptif analitis dengan pendekatan

studi kasus. Data yang digunakan adalah data Laporan Keuangan bulanan Bank X

Unit Bisnis Bandung Periode Januari 2001 sampai Desember 2002. Hipotesis

akan diuji dengan menggunakan analisis korelasi. Dengan koefisien korelasi

sebesar 0,698, menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang kuat dan positif antara

variabel independen dan variabel dependen. Dengan menggunakan analisis

statistik Uji t, diperoleh nilai thitung > ttabel (4,462 > 1,717), maka Ho ditolak dan H1

diterima, artinya hipotesis awal dapat diterima. Berdasarkan hasil penelitian, dapat

dibuktikan bahwa terdapat pengaruh yang kuat dan signifikan pada penerapan

harga transfer terhadap kinerja unit usaha sebagai pusat laba.

Penelitian yang dilakukan oleh Sri Mulyani (2006) yang berjudul:

Pengaruh Harga Transfer Terhadap Kinerja Unit Usaha Sebagai pusat Laba
82

Pada PT Pindad (Persero). Dalam penelitian ini terdapat dua variabel yang akan

diteliti yaitu harga transfer sebagai variabel independen yang diukur dengan nilai

harga transfer yang merupakan selisih antara pendapatan (penjualan intern) dan

harga pokok penjualan intern, sedangkan kinerja unit usaha sebagai variabel

dependen diukur dengan Return on Investment (ROI). Hipotesis awal dalam

penelitian ini adalah “Terdapat pengaruh dari harga transfer terhadap kinerja unit

usaha sebagai pusat laba”. Metode penelitian yang digunakan adalah metode

deskriptif analitis dengan pendekatan studi kasus. Unit analisis dalam penelitian

ini adalah lima divisi yang ada di PT Pidad yang difungsikan sebagai pusat laba,

yaitu Divisi Senjata, Divisi Munisi, Divisi Mesin Industri dan Jasa (Mijas), Divisi

Tempa dan Cor, dan Divisi Rekayasa Industri (Rekind). Data analisis adalah data

kuantitatif berupa laporan keuangan triwulanan setiap divisi dari tahun 2001

sampai dengan tahun 2005. Hipotesis diuji dengan menggunakan analisis regresi

sederhana. Berdasarkan hasil penelitian, dapat dibuktikan bahwa terdapat

pengaruh dari harga transfer terhadap kinerja unit usaha sebagai pusat laba pada

PT Pindad. Artinya tinggi atau rendahnnya harga transfer akan mempengaruhi

kinerja unit usaha sebagai pusat laba pada PT Pindad. Besarnya pengaruh harga

transfer terhadap kinerja unit usaha sebagai pusat laba ditentukan oleh koefisien

determinasi sebesar 10,5% sememntara sisanya 89,5% ditentukan oleh faktor-

faktor lain yang tidak diteliti.

Penelitian yang dilakukan oleh Mardiana Fitrianita (2008) yang berjudul:

Analisis Pengaruh Harga Transfer Terhadap Profitabilitas Divisi Mesin

Industri dan Jasa PT Pindad (Persero). Dalam penelitian ini terdapat dua
83

variabel yang diteliti yaitu harga transfer sebagai variabel independen yang diukur

berdasarkan harga transfer berdasarkan biaya dan profitabilitas sebagai variabel

dependen yang diukur berdasarkan laba sebelum pajak dibagi basis investasi

(Return On Investment). Hipotesis yang digunakan adalah “Harga transfer

berpengaruh secara signifikan terhadap profitabilitas suatu unit usaha”. Metode

penelitian yang digunakan adalah deskriptif analitis dengan pendekatan studi

kasus. Data yang digunakan dalam analisis ini adalah data kuantitatif berupa

laporan keuangan triwulan dari tahun 2003 sampai dengan tahun 2005. Hipotesis

diuji dengan menggunakan analisis regresi sederhana. Melalui hasil pengujian

statistik yang menggunakan regresi sederhana, dapat diketahui bahwa terdapat

pengaruh yang signifikan dari harga transfer terhadap profitabilitas unit usaha

sebagai pusat laba pada Divisi Mesin Industri dan Jasa PT Pindad (Persero).

Artinya, tinggi atau rendahnya harga transfer berpengaruh terhadap kinerja unit

usaha sebagai pusat laba. Besarnya pengaruh tersebut dapat ditentukan oleh

koefisien determinasi, yaitu sebesar 61,9% sedangkan sisanya 38,1% dipengaruhi

oleh faktor-faktor lain yang tidak diteliti oleh penulis.

Penelitian yang dilakukan oleh Ekatherina O.K. (2008) yang berjudul:

Analisis Pengaruh Harga Jual Produk Terhadap Profitabilitas Perusahaan

Pada PT. Mega Eltra (Persero) Cabang Medan. Tujuan penelitian ini adalah

untuk mengetahui apakah harga jual berhubungan signifikan terhadap tingkat

profitabilitas perusahaan dan bila ada, seberapa kuat hubungan tersebut. Penelitian

ini dilakukan terhadap PT Mega Eltra (Persero) Cabang Medan yang menjual

beberapa produk. Objek penelitian adalah harga jual produk semen dengan
84

periode tiga tahun dari tahun 2003-2005 yang dibagi dalam triwulan (12 data).

Penelitian diuji dengan menggunakan program SPSS versi 13 dimana harga jual

semen sebagai variabel independen, sedangkan profitabilitas (ROI) perusahaan

sebagai variabel dependen. Hasil pengujian menunjukkan bahwa harga jual semen

tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap tingkat profitabilitas

perusahaan. Hasil ini dapat dilihat pada R square atau r determinasi sebesar 0,207,

yang berarti hanya 20,7% variasi dari perubahan ROI dapat dijelaskan oleh

variabel-variabel perubahan harga jual. Sedangkan sisanya 79,3% dijelaskan oleh

variabel-variabel yang lain yang tidak dimasukkan dalam persamaan dan dari

pengujian t-test yang menunjukkan angka signifikansi (sig) harga jual berada di

atas 0,05 yaitu 0,138 berarti variabel harga jual tersebut tidak berpengaruh

signifikan terhadap profitabilitas (ROI) perusahaan pada tingkat kepercayaan

95%.

Penelitian yang dilakukan oleh Yulius Kurnia Susanto dan Gudono (2007)

yang berjudul: Pengaruh Intensitas Kompetisi Pasar Terhadap Hubungan

Antara Penggunaan Informasi Sistem Akuntansi Manajemen dan Kinerja

Unit Bisnis dan Kepuasan Kerja. Dalam penelitian ini terdapat empat variabel

yang diteliti yaitu informasi sistem akuntansi manajemen yang diukur dengan

menggunakan instrumen sembilan belas item dengan tujuh poin skala likert yang

dikembangkan oleh Chenhall dan Morris (1986). Para responden diminta untuk

meranking ketersediaan informasi SAM pada unit bisnisnya. Angka satu

merepresentasikan informasi SAM tidak tersedia dan angka tujuh

merepresentasikan informasi SAM tersedia sangat banyak. Intensitas kompetensi


85

pasar yang diukur dengan menggunakan instrumen yang dikembangkan oleh

Chong et al. (2001) yang diadopsi dari Mia dan Clarke (1999) dan penelitian

Khandawalla (1972). Instrumen ini berisi empat pertanyaan menyangkut intensitas

kompetisi pasar dengan menggunakan tujuh poin skala likert. Angka satu

merepresentasikan kondisi kompetisi pasar yang sangat rendah dan angka tujuh

merepresentasikan kondisi kompetisi pasar yang sangat tinggi. Kinerja unit bisnis

yang diukur dengan instrumen yang dikembangkan oleh Mia dan Clarke (1999)

dengan tujuh poin skala likert. Instrumen ini berisi delapan item pertanyaan yang

menyangkut kinerja organisasi. Dan untuk kepuasan kerja diukur dengan dua

item pertanyaan dengan tujuh poin skala likert yang dikembangkan oleh Dewar

dan Werbel (1979). Instrumen ini telah digunakan oleh penelitian akuntansi

sebelumnya (Chong et al. 2001). Hipotesis yang digunakan adalah untuk H1:

“Semakin tinggi intensitas kompetisi pasar maka penggunaan informasi SAM

yang sophisticated akan meningkatkan kinerja unit bisnis” dan H2: “Semakin

tinggi intensitas kompetisi pasar maka penggunaan informasi SAM yang

sophisticated akan meningkatkan kepuasan kerja”. Hipotesis diuji dengan

menggunakan two-way analysis of variance (ANOVA). Hasil pengujian hipotesis

satu terlihat pada pengaruh interaksi antara informasi SAM dan intensitas

kompetisi pasar yang bernilai positif (F= 6,057) dan signifikan padap-value

dibawah 0,05 (p=0,017) sehingga hipotesis satu terdukung. Hipotesis satu juga

didukung oleh nilai rata-rata kinerja unit bisnis yang paling besar (5,25) terletak

pada grup 4 dengan informasi SAM yang sophisticated dan intensitas kompetisi

pasar yang tinggi. Terdukungnya hipotesis satu menunjukkan bahwa dalam


86

kondisi intensitas kompetisi pasar tinggi penggunaan informasi SAM yang

sophisticated akan meningkatkan kinerja unit bisnis akan tetapi dalam kondisi

intensitas kompetisi pasar rendah akan menurunkan kinerja unit bisnis. Hasil

pengujian hipotesis satu mengindikasikan bahwa semakin tinggi kompetisi pasar,

maka penggunaan informasi SAM yang sophisticated akan meningkatkan kinerja

unit bisnis. Hasil pengujian hipotesis dua terlihat pada pengaruh interaksi antara

informasi SAM dan intensitas kompetisi pasar yang bernilai positif (F= 10,227)

dan signifikan pada p-value dibawah 0,01 (p=0,002) sehingga hipotesis dua

terdukung. Hipotesis dua juga didukung oleh nilai rata-rata kepuasan kerja yang

paling besar (5,4583) terletak pada grup 4 dengan informasi SAM yang

sophisticated dimana intensitas kompetisi pasar yang tinggi yang terlihat pada

terdukungnya hipotesis dua menunjukkan bahwa dalam kondisi intensitas

kompetisi pasar yang tinggi penggunaan informasi SAM yang sophisticated akan

meningkatkan kepuasan kerja akan tetapi dalam kondisi intensitas kompetisi pasar

rendah akan menurunkan kepuasan kerja. Hasil pengujian hipotesis dua

mengindikasikan bahwa semakin tinggi intensitas kompetisi pasar, maka

penggunaan informasi SAM yang sophisticated akan meningkatkan kepuasan

kerja. Model penelitian ini dapat rnenjelaskan variansi kinerja unit bisnis dan

kepuasan kerja masing-masing adalah 25 persen dan 24,2 persen. Hal ini

menunjukkan bahwa masih ada variabel lain yang dapat mempengaruhi kinerja

unit bisnis dan kepuasan kerja selain informasi SAM dan intensitas kompetisi

pasar.
87

Penelitian yang dilakukan oleh Faisal (2006) yang berjudul: Analisis

Pengaruh Intensitas Persaingan dan Variabel Kontekstual Terhadap

Penggunaan Informasi Sistem Akuntansi Manajemen dan Kinerja Unit

Bisnis dengan Pendekatan Partial Least Square. Dalam penelitian ini terdapat

lima variabel yang diteliti yaitu intensitas persaingan pasar, penggunaan informasi

SAM, strategi, perceived environmental uncertainty (PEU), dan kinerja unit

bisnis. Hipotesis yang digunakan adalah untuk H1: “Terdapat hubungan tidak

langsung antara intensitas persaingan dengan kinerja melalui penggunaan

informasi SAM”, H2: “Terdapat hubungan tidak langsung antara strategi dengan

kinerja melalui penggunaan informasi SAM”, dan H3: “Terdapat hubungan tidak

langsung antara PEU dengan kinerja melalui penggunaan informasi SAM”. Dalam

penelitian ini analisis data menggunakan pendekatan Partial Least Square (PLS).

PLS adalah model persamaan struktural (SEM) yang berbasis komponen atau

varian (variance). Dapat di simpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan

antara variabel intensitas persaingan pasar dengan penggunaan informasi SAM

dengan nilai koefisien 0.414, nilai t = 2.489 dan signifikan pada 0.05. Untuk

hubungan penggunaan informasi SAM terhadap kinerja diperoleh nilai koefisien

0.484 dengan nilai t = 2.852 dan signifikan pada level 0.05. Sedangkan hubungan

antar variabel lainnya tidak ada yang signifikan. Dengan demikian dapat

simpulkan bahwa hipotesis 1 yang menyatakan bahwa terdapat hubungan antara

intensitas persaingan pasar terhadap kinerja melalui penggunaan informasi SAM

berhasil didukung. Hasil pengujian hipotesis 1 konsisten dengan temua Mia dan

Clarke (1999).Sedangkan hipotesis 2 dan 3 tidak berhasil didukung. Hasil ini


88

gagal mendukung penelitian Abernethy dan Guthrie (1994) namun konsisten

dengan Muslichah (2003).

Penelitian yang dilakukan oleh Moch Imron (2003) yang berjudul:

Pengaruh Ketidakpastian Lingkungan dan Strategi Bisnis Terhadap

Hubungan Antara Karakteristik Informasi Sistem Akuntansi Manajemen

Broadscope dengan Kinerja Unit Bisnis Strategis. Dalam penelitian ini terdapat

empat variabel yaitu kinerja unit bisnis strategis sebagai variabel dependen yang

diukur dengan menggunakan ukuran kinerja finansial dan non finansial dimana

yang menjadi instrumennya adalah ROI, proft, cashflow, cost controll,

pengembangan produk baru, volume penjualan, pangsa pasar (market share),

pengembangan pasar, pengembangan sumber daya manusia, dan urusan politik

dan kemasyarakatan (political-public-affairs). Instrumen menggunakan skala

interval tujuh poin, dengan skor 1 menunjukkan di bawah standar dan skor 7

menunjukkan di atas standar. Ketidakpastian lingkungan yang dipresepsikan

sebagai variabel independen yang diukur dengan menggunakan instrumen yang

dikembangkan oleh Gordon dan Narayanan (1984). Instrumen ini terdiri dari tujuh

item dengan menggunakan tujuh skala likert. Strategi bisnis sebagai variabel

independen yang diukur dengan cara pendekatan self typing. Yaitu responden

diminta untuk melakukan penilaian sendiri terhadap strategi bisnisnya.

Karakteristik sistem informasi akuntansi manajemen sebagai variabel independen

diukur dengan menggunakan instrumen yang dikembangkan oleh Chenhall dan

Morris (1986). Instrumen tersebut terdiri atas 6 butir pertanyaan mengenai

karakteristik informasi yang berdimensi broad scope. Hipotesis yang digunakan


89

dalam penelitian ini adalah H1: “Terdapat pengaruh tidak langsung antara

ketidakpastian lingkungan dan kinerja SBU melalui penggunaan informasi sistem

akuntansi manajemen broad scope dalam pembuatan keputusan”, H2: “Terdapat

pengaruh tidak langsung antara strategi bisnis terhadap kinerja SBU melalui

tingkat penggunaan informasi sistem akuntansi manajemen broad scope untuk

pengambilan keputusan”, H3: “Penggunaan karakteristik informasi sistem

akuntansi manajemen broad scope dalam pengambilan keputusan berpengaruh

positif terhadap kinerja SBU”, dan H4: “Pengaruh ketidakpastian lingkungan dan

strategi bisnis terhadap kinerja SBU dimediasi oleh penggunaan karakteristik

informasi sistem akuntansi manajemen broad scope. Framework teori yang

dikembangkan dalam penelitian ini adalah pengaruh strategi bisnis terhadap

kinerja unit bisnis strategis melalui penggunaan sisten informasi akuntansi

manajemen broad scope. Dalam menguji pengaruh langsung dan tidak langsung

digunakan metode analisis jalur (path analysis). Berdasarkan analisis respon dari

35 direktur utama dan direktur umum, hasil penelititan ini menunjukkan bahwa

terdapat pengaruh tidak langsung yang signifikan anatara ketidakpastian

lingkungan dan kinerja unit bisnis strategis melalui tingkat penggunaan informasi

sistem akuntansi manajemen broad scope. Sedangkan pengujian terhadap strategi

bisnis analyzer denga kinerja unit bisnis strategis menunjukkan pengaruh

langsung yang signifikan dengan alpha 5% (α = 0,05). Penelitian ini tidak

memberikan bukti bahwa strategi bisnis analyzer sebagai antesenden bagi

rancangan sistem akuntansi manajemen melalui pengaruh tidak langsung, hal ini

ditunjukkan adanya perbedaan dalam penggunaan karakteristik informasi sistem


90

akuntansi manajemen bercakupan luas pada ketidakpastian lingkungan strategi

bisnis.
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Metode Penelitian Yang Digunakan

3.1.1. Objek Penelitian

Dalam penelitian ini, lingkup objek penelitian yang ditetapkan penulis

sesuai dengan permasalahan yang akan diteliti adalah Harga Transfer, Harga Jual,

dan Kinerja Unit Bisnis sebagai Pusat Laba pada Direktorat Aerostructure di PT

Dirgantara Indonesia (Persero) Jalan Pajajaran No. 154 Bandung.

3.1.2. Unit Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis menetapkan unit penelitian sesuai dengan

permasalahan yang diteliti mengenai Harga Transfer, Harga Jual, dan Kinerja Unit

Bisnis sebagai Pusat Laba yaitu data penjualan internal pertriwulan untuk produk

wing tip assy, data penjualan ke pihak luar pertriwulan untuk produk wing tip

assy, serta Laporan Keuangan berupa Neraca dan Laporan Laba Rugi pertriwulan

Direktorat Aerostructure di PT Dirgantara Indonesia.

3.2. Definisi Variabel dan Operasionalisasi Variabel

3.2.1. Definisi Variabel dan Pengukurannya

Berdasarkan permasalahan yang diteliti, dalam penelitian ini terdapat dua

variabel penelitian yaitu:

1. Variabel Independen (Variabel Bebas)

91
92

Variabel Independen adalah variabel yang mempengaruhi atau yang

menjadi sebab perubahannya atau timbulnya variabel terikat. Variabel

independen dalam penelitian ini adalah:

a. Harga Transfer (X1). Dalam penelitian ini, penulis menggunakan

definisi harga transfer yang dikemukakan oleh Anthony dan

Govindarajan dalam F. X. Kurniawan Tjakrawala (2008:284)

adalah: …nilai yang diberikan atas suatu transfer barang atau

jasa dalam suatu transaksi di mana setidaknya salah satu dari

kedua pihak yang terlibat adalah pusat laba. Skala

pengukurannya menggunakan skala rasio.

b. Harga Jual (X2). Dalam penelitian ini, penulis menggunakan definisi

harga jual yang dikemukakan oleh Sriyadi (2001:178) pengertian

harga jual adalah …nilai tukar suatu barang atau jasa, yaitu

jumlah uang yang pembeli sanggup membayar kepada penjual

untuk suatu barang tertentu

2. Variabel Dependen (Variabel Terikat)

Variabel Dependen adalah variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi

akibat karena adanya variabel bebas. Variabel dependen dalam

penelitian ini adalah Kinerja Unit Bisnis sebagai Pusat Laba. Dalam

penelitian ini, penulis menggunakan definisi yang disampaikan oleh

Mia dan Clarke yang dikutip oleh Gudono (2007:186), pengertian

kinerja unit bisnis adalah: …seberapa tinggi tingkat pencapain target

yang telah direncanakan, misalnya pencapaian produksi, kos,


93

kualitas, pengiriman produk, service atau pelayanan, volume

penjualan, pangsa pasar dan tingkat laba. Sedangkan definisi pusat

laba menurut Supriyono (2000:384) adalah: …unit organisasi yang

dipimpin oleh seorang manajer yang bertanggung jawab terhadap

laba. Menurut Mulyadi (2001:439): …karena laba, yang merupakan

selisih antara pendapatan dan biaya, tidak dapat berdiri sendiri

sebagai ukuran kinerja pusat laba, maka perlu dihubungkan

dengan investasi yang digunakan untuk menghasilkan laba

tersebut. Dengan demikian, untuk mengukur kinerja pusat laba,

umumnya digunakan dua ukuran yang menghubungkan laba yang

diperoleh pusat laba dengan investasi yang digunakan untuk

menghasilkan laba: kembalian investasi (return on ivestment atau

ROI) dan residual income (RI). Skala pengukurannya menggunakan

skala rasio.

3.2.2. Operasionalisasi Variabel

Operasionalisasi variabel diperlukan untuk menentukan jenis dan indikator

dari variabel-variabel yang terkait dalam penelitian ini. Selain itu, operasionalisasi

variabel dimaksudkan untuk menentukan skala pengukuran dari masing-masing

variabel, sehingga pengujian hipotesis dengan menggunakan alat bantu statistik

dapat dilakukan dengan benar.

Operasionalisasi variabel independen dalam penelitian ini adalah Harga

Transfer, dapat dilihat dalam Tabel 3.1.


94

Tabel 3.1
Operasionalisasi Variabel
Variabel Independen: Harga Transfer (X1) dan Harga Jual (X2)
Variabel Konsep Indikator Skala
Harga Transfer Nilai yang diberikan atas Harga transfer per unit Rasio

(X1) suatu transfer barang atau untuk produk Wing Tip

jasa dalam suatu transaksi Assy.

di mana setidaknya salah

satu dari kedua pihak yang

terlibat adalah pusat laba.

Harga Jual (X2) Nilai tukar suatu barang Harga Jual per unit Rasio

atau jasa, yaitu jumlah untuk produk Wing Tip

uang yang pembeli Assy .

sanggup membayar kepada

penjual untuk suatu barang

tertentu.

Sumber: Anthony dan Govindarajan (2008:284)


Sriyadi (2001:178)

Operasionalisasi variabel dependen dalam penelitian ini adalah Kinerja

Unit Bisnis sebagai Pusat Laba, dapat dilihat dalam Tabel 3.2.
95

Tabel 3.2
Operasionalisasi Variabel
Variabel Dependen: Kinerja Unit Bisnis sebagai Pusat Laba
Variabel Konsep Indikator Skala
Kinerja Unit Seberapa tinggi tingkat Rasio

Bisnis sebagai pencapain target yang

Pusat Laba telah direncanakan,

misalnya pencapaian

produksi, kos, kualitas,

pengiriman produk,

service atau pelayanan,

volume penjualan, pangsa

pasar dan tingkat laba oleh


Laba
unit organisasi yang ܴܱ‫=ܫ‬
Investasi
dipimpin oleh seorang

manajer yang bertanggung

jawab terhadap laba.

Karena laba, yang

merupakan selisih antara

pendapatan dan biaya,

tidak dapat berdiri sendiri

sebagai ukuran kinerja

pusat laba, maka perlu

dihubungkan dengan
96

investasi yang digunakan

untuk menghasilkan laba

tersebut. Dengan

demikian, untuk mengukur

kinerja pusat laba,

umumnya digunakan dua

ukuran yang

menghubungkan laba yang

diperoleh pusat laba

dengan investasi yang

digunakan untuk

menghasilkan laba:

kembalian investasi

(return on ivestment atau

ROI) dan residual income

(RI).

Sumber: Mia dan Clarke yang dikutip oleh Gudono (2007:186)


Supriyono (2000:384)
Mulyadi (2001:439)

3.3. Populasi dan Sampel

Menurut Sugiyono (2008:115), yang dimaksud dengan populasi adalah …

wilayah generalisasi yang terdiri atas objek/subjek yang mempunyai kualitas

dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan

kemudian ditarik kesimpulannya. Dalam penelitian ini, yang menjadi populasi


97

penelitian adalah data penjualan internal pertriwulan, data penjualan ke pihak luar

pertriwulan, serta Laporan Keuangan berupa Neraca dan Laporan Laba Rugi

pertriwulan Direktorat Aerostructure sejak dibentuknya Direktorat Aerostructure

pada tahun 2004. Untuk data penjualan internal dan Laporan Keuangan

pertriwulan sejak tahun 2004 – 2010 populasinya berjumlah 26 data. Untuk data

penjualan ke pihak luar yang dalam hal ini Direktorat Aerostructure memiliki

kewenangan untuk menjualnya ke pihak luar sejak tahun 2007, maka jumlah

populasinya sebanyak 14 data.

Bila populasi besar, dan peneliti tidak mungkin mempelajari semua yang

ada pada populasi, misalnya karena keterbatasan dana, tenaga dan waktu, maka

peneliti dapat menggunakan sampel yang diambil dari populasi tersebut. Apa yang

dipelajari dari sampel, kesimpulannya akan dapat diberlakukan untuk populasi.

Oleh karena itu, sampel yang diambil dari populasi harus betul-betul respresentatif

(mewakili).

3.3.1. Kerangka Sampling, Unit Sampel, dan Ukuran Sampel

Kerangka Sampling (sampling frame) adalah daftar yang berisi satuan-

satuan sampling yang ada dalam sebuah populasi yang berfungsi sebagai dasar

untuk penarikan sampel (Ating Somantri dan Sambas Ali Muhidin , 2006, 65).

Maka kerangka sampling pada penelitian ini adalah yaitu data penjualan internal

pertriwulan untuk produk wing tip assy, data penjualan ke pihak luar pertriwulan

untuk produk wing tip assy, serta Laporan Keuangan berupa Neraca dan Laporan

Laba Rugi pertriwulan Direktorat Aerostructure di PT Dirgantara Indonesia.


98

Sampel yang diambil harus representatif, yakni mewakili populasi yang

berarti semua ciri-ciri atau karakteristik yang ada hendaknya tercermin dalam

sampel tersebut. Dalam penelitian ini yang menjadi sampel adalah berupa data

penjualan internal pertriwulan, data penjualan pertriwulan, serta Laporan

Keuangan berupa Neraca dan Laporan Laba Rugi pertriwulan dari tahun 2007

sampai 2009 yang berjumlah 12 data.

3.3.2. Teknik Sampling

Sampling dapat diartikan sebagai suatu cara untuk mengumpulkan data

atau pengambilan sampel yang sifatnya tidak menyeluruh, yaitu tidak mencakup

seluruh populasi penelitian tetapi hanya sebagian dari populasi itu saja.

Terdapat dua jenis teknik sampling yang dapat digunakan dalam

penelitian, yaitu Probability sampling dan Nonprobability sampling Dalam

penelitian ini, teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah nonprobability

sampling, dan lebih tepatnya adalah teknik purposive sampling. Menurut

Sugiyono (2008:122) purposive sampling adalah ...teknik penentuan sampel

dengan pertimbangan tertentu. Kriteria-kriteria tertentu yang ditetapkan penulis

dalam pengambilan sampel yaitu:

1. Data penjualan internal untuk produk wing tip assy pertriwulan dan

Laporan Keuangan berupa Neraca dan Laporan Laba Rugi pertriwulan

sejak Direktorat Aerostructure melakukan penjualan ke pihak luar

untuk produk tersebut. Dalam hal ini maka 12 data dikeluarkan dari

populasi tersebut karena tidak memenuhi persyaratan.


99

2. Data penjualan internal pertriwulan untuk produk wing tip assy, data

penjualan ke pihak luar pertriwulan untuk produk wing tip assy, serta

Laporan Keuangan berupa Neraca dan Laporan Laba Rugi pertriwulan

yang dalam hal ini perusahaan bersedia untuk memberikan datanya.

Dalam hal ini maka 2 data dikeluarkan karena tidak memenuhi

persyaratan.

3.4. Teknik Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kuantitatif, yaitu

data yang dinyatakan dalam angka-angka yang menunjukkan nilai terhadap

besaran atau variabel yang diwakilinya. Data dalam penelitian ini bersifat times

series, yaitu data yang menggambarkan perkembangan dari waktu ke waktu,

sehingga analisisnya bersifat dinamis karena adanya perubahan waktu.

Sumber data penelitian merupakan faktor penting yang menjadi

pertimbangan dalam penentuan metode pengumpulan data. Sumber data yang

akan digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah data sekunder (secondary

data).

Data sekunder merupakan sumber data penelitian yang diperoleh peneliti

secara tidak langsung melalui media perantara (diperoleh dan dicatat oleh pihak

lain). Data sekunder umumnya berupa bukti, catatan atau laporan historis yang

telah tersusun dalam arsip (data dokumenter) yang dipublikasikan atau yang tidak

dipublikasikan.
100

Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling utama dalam

penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan data. Adapun

teknik pengumpulan data yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah :

a. Observasi (Observation)

Pengumpulan data dengan melakukan pengamatan langsung terhadap

kegiatan perusahaan sebagai objek penelitian mengenai masalah yang

berhubungan dengan Pengaruh Harga Transfer dan Harga Jual

Terhadap Kinerja Unit Bisnis sebagai Pusat Laba.

b. Dokumentasi (Documentation)

Pengumpulan data dengan mempelajari dokumen-dokumen serta

catatan-catatan di bagian yang terkait dengan masalah yang diteliti.

3.5. Metode Analisis Yang Digunakan

Metode yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah metode

dekriptif, asosiatif, dan komparatif. Data yang diperoleh kemudian diolah,

dianalisis dan diproses lebih lanjut dengan dasar-dasar teori yang telah dipelajari.

Sedangkan analisis yang dilakukan melalui pendekatan kuantitatif dengan

menggunakan metode statistik yang releven untuk menguji hipotesis. Analisis

diarahkan untik menjawab rumusan masalah dan hipotesis yang diajukan.

Dalam melakukan analisis data, diperlukan data yang akurat dan dapat

dipercaya yang nantinya akan digunakan dalam penelitian yang dilakukan oleh

penulis. Untuk menganalisis data deskriptif dengan menggunakan skor ideal,

untuk analisis asosiatif menggunakan Analisis Korelasi Pearson Product Moment,


101

Analisis Regresi Liner Sederhana, Koefisien Determinasi (Kd), sedangkan untuk

analisis komparatif maka dilakukan uji beda dengan menggunakan Independent

Sample T-test dengan dibantu program SPSS 15 for Windows.

Tahap-tahap yang dilakukan untuk menganalisis data dalam penelitian ini,

dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:

1. Memperoleh data berupa data penjualan internal, data penjualan ke

pihak luar, dan Laporan Laba Rugi Direktorat Aerostructure

pertriwulan untuk tahun 2007-2009.

2. Menghitung dan membuat jumlah harga transfer untuk periode 2007

sampai dengan 2009.

3. Menghitung dan membuat jumlah penjualan untuk periode 2007

sampai dengan 2009.

4. Melakukan pengujian statistik dan pengujian hipotesis untuk menguji

data yang siap diolah untuk mendapat kesimpulan.

5. Menarik kesimpulan berdasarkan hasil perhitungan yang diperoleh.

Data yang dianalisis merupakan data sekunder yang didapatkan dari

dokumen-dokumen yang ada diperusahaan. Adapun analisis data yang dilakukan

penulis adalah:

A. Analisis Deskriptif:

1. Menganalisis Harga Transfer.

2. Menganalisis Harga Jual.

3. Menganalisis Kinerja Unit Bisnis sebagai Pusat Laba.

B. Analisis Asosiatif:
102

1. Menganalisis seberapa besar pengaruh harga transfer terhadap kinerja unit

bisnis sebagai pusat laba.

2. Menganalisis seberapa besar pengaruh harga jual terhadap kinerja unit

bisnis sebagai pusat laba.

C. Analisis Komparatif:

Menganalisis perbedaan antara harga transfer dan harga jual.

Gambar 3.1
Model Penelitian

Harga Transfer

(X1)
Kinerja Unit Bisnis

Sebagai Pusat Laba

(Y)
Harga Jual

(X2)

Bila digambarkan secara sistematis, hubungan dua variable di atas adalah :

ܻ = ݂ (ܺଵ) ܻ = ݂ (ܺଶ)

Keterangan :

X1 = Nilai transfer barang atau jasa

X2 = Nilai tukar barang atau jasa

Y = Tingkat Laba atau Rugi yang didapatkan


103

f = Fungsi

Adapun analisis data yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini

adalah sebagai berikut:

1. Analisis Deskriptif

Analisis deskriptif adalah analisis yang digunakan untuk menganalisis data

dengan cara mendeskripsikan atau menggambarkan data yang telah terkumpul

sebagaimana adanya tanpa bermaksud membuat kesimpulan yang berlaku untuk

umum atau generalisasi.

Dalam analisis ini dilakukan pembahasan mengenai bagaimana pengaruh

harga transfer dan harga jual terhadap kinerja unit bisnis sebagai pusat laba pada

Direktorat Aerostructure di PT Dirgantara Indonesia Bandung dengan runusan

sebagai berikut :

a. Bagaimana harga transfer barang atau jasa pada Direktorat

Aerostructure di PT Dirgantara Indonesia transfer untuk periode 2007

sampai dengan 2009.

b. Bagaimana harga jual barang atau jasa pada Direktorat Aerostructure di

PT Dirgantara Indonesia transfer untuk periode 2007 sampai dengan

2009.

c. Bagaimana kinerja unit bisni sebagai pusat laba untuk periode 2007

sampai dengan 2009 pada Direktorat Aerostructure di PT Dirgantara

Indonesia.
104

Untuk memberikan interpretasi terhadap harga transfer dan harga jual,

maka dapat digunakan kriteria untuk menilai harga transfer dan harga jual seperti

yang disajikan dalam tabel 3.3.

Table 3.3
Kriteria untuk Memberikan Intepretasi
Harga Transfer dan Harga Jual
Harga Transfer dan Harga Jual
Tingkat Harga
(Rp)
48.498.994,53 - 57.733.529,07 Sangat Rendah
57.733.529,07 - 66.968.063,60 Rendah
66.968.063,60 - 76.202.598,14 Sedang
76.202.598,14 - 85.437.132,67 Tinggi
85.437.132,67 - 94.671.667,21 Sangat Tinggi
Sumber: Data yang diolah kembali

Sedangkan untuk memberikan interpretasi terhadap kinerja unit bisnis

sebagai pusat laba, maka digunakan ROI rata-rata industri yang disajikan dalam

tabel 3.4.

Tabel 3.4
ROI Rata-rata Industri
Tahun Triwulan ROI
I 0.77%
II 1.54%
2007
III 0.74%
IV 1.68%
I 1.21%
II 1.13%
2008
III 0.96%
IV 0.72%
I 0.85%
II 1.56%
2009
III 0.31%
IV 1.13%
105

Maksimum 1.68%
Minimum 0.31%
Sumber: laporan keuangan industri pesawat
terbang yang diolah kembali

Berdasarkan tabel 3.4 maka dapat dibuat kriteria untuk menilai kinerja unit

bisnis sebagai pusat laba seperti yang disajikan dalam tabel 3.5.

Table 3.5
Kriteria untuk Memberikan Intepretasi
Kinerja Unit Bisnis Sebagai Pusat Laba
Kinerja Unit Bisnis Sebagai Pusat Laba Tingkat
(ROI) Kinerja
0.31% - 0.58% Sangat Rendah
0.59% - 0.86% Rendah
0.87% - 1.14% Sedang
1.15% - 1.42% Tinggi
1.43% - 1.68% Sangat Tinggi
Sumber: Data yang diolah kembali

2. Analisis Asosiatif

Analisis statistik yaitu analisis yang digunakan untuk membahas data

kuantitatif. Dengan asumsi bahwa data berdistribusi normal dan pengaruh kedua

variabel linier, maka pengujian dengan hipotesis dilakukan dengan menggunakan

teknik statistik parametrik, karena teknik ini sesuai dengan data kuantitatif, yaitu

data yang memiliki skala pengukuran rasio.

Berdasarkan ukuran variabel yang semuanya berupa data kuantitatif, maka

langkah-langkah dalam penetapan tes statistik adalah sebagai berikut :

a. Uji Normalitas

Uji normalitas dilakukan untuk menguji apakah sampel yang diambil

berasal dari populasi yang berdistribusi normal atau tidak. Karena akan
106

menggunakan statistik parametris, maka setiap data pada setiap variabel harus

diuji normalitasnya. Uji normalitas data dilakukan dengan menggunakan test

Kolmogorov Smirnov, dasar pengambilan keputusan dilakukan berdasarkan

probabilitas (Asymtotic Significanted), yaitu :

Ho : Sampel diambil dari populasi berdistribusi normal.

Ha : Sampel diambil bukan dari populasi yang berdistribusi normal.

α : 0.05

Kriteria uji : Jika nilai probabilitas (‫ > )݃݅ݏ‬α, maka Ho diterima

Jika nilai Probabilitas (‫ ≤ )݃݅ݏ‬α, maka Ho ditolak

b. Analisis Korelasi Pearson Product Moment

Analisis korelasi merupakan angka yang menunjukan arah dan kuatnya

hubungan antara dua variabel atau lebih. Arahnya dinyatakan dalam bentuk

hubungan positif atau negatif, sedangkan kuat atau lemahnya hubungan

dinyatakan dalam besarnya koefisien korelasi. Untuk mengetahui apakah terdapat

hubungan yang positif dan signifikan antara variabel-variabel independen yaitu

Harga Transfer (X1) dan Harga Jual (X2) secara parsial dengan variabel dependen

yaitu Kinerja Unit Bisnis Sebagai Pusat Laba (Y), maka dalam penelitian ini

penulis akan menggunakan analisis korelasi pearson product moment karena

dalam penelitian ini penulis mengunakan skala pengukuran rasio. Menurut

Sugiyono (2008:248), rumus yang digunakan adalah sebagai berikut :

݊∑‫ ݕݔ‬− ∑‫ݕ∑ݔ‬


‫ݎ‬௫௬ =
ඥ{݊∑‫ݔ‬ଶ − (∑‫)ݔ‬ଶ}{݊∑‫ݕ‬ଶ − (∑‫)ݕ‬ଶ}
107

Keterangan :

r = Koefisien korelasi pearson

x = Harga Transfer atau Harga Jual

y = Kinerja Unit Bisnis Sebagai Pusat Laba

n = Banyaknya sampel yang diteliti

Koefisien korelasi (r) menunjukkan derajat korelasi antara variabel

independen (X) dan variabel dependen (Y). Nilai koefisien korelasi harus terdapat

dalam batas-batas -1 hingga +1 (-1 < r ≤ + 1), yang menghasilkan beberapa

kemungkinan yaitu :

a. Tanda positif menunjukkan adanya korelasi positif antara variabel-

variabel yang diuji, yang berarti setiap kenaikan dan penurunan nilai-

nilai X akan diikuti dengan kenaikan dan penurunan Y. Jika r = +1

atau mendekati +1, maka menunjukkan adanya pengaruh positif dan

korelasi antara variabel-variabel yang diuji sangat kuat.

b. Tanda negatif menunjukkan adanya korelasi negatif antara variabel-

variabel yang diuji, yang berarti setiap kenaikan nilai-nilai X akan

diikuti dengan penurunan niali Y dan sebaliknya. Jika r = -1 atau

mendekati -1, maka menunjukkan adanya pengaruh negatif dan

korelasi antara variabel-variabel yang diuji lemah.

c. Jika r = 0 atau mendekati 0, maka menunjukkan korelasi yang lemah

atau tidak ada korelasi sama sekali antar variabel-variabel yang diteliti

atau diuji.
108

Untuk memberikan interpretasi terhadap kuatnya hubungan (korelasi)

antara variabel independen (X) dan variabel dependen (Y), maka dapat digunakan

pedoman seperti yang disajikan dalam tabel 3.6.

Tabel 3.6
Pedoman untuk Memberikan Interpretasi
Koefisien Korelasi

Koefisien Korelasi Tingkat Hubungan


0,00 – 0,199 Sangat rendah
0,20 – 0,399 Rendah
0,40 – 0,599 Sedang
0,60 – 0,799 Kuat
0,80 – 1,000 Sangat kuat
Sumber: Sugiyono (2008:250)

c. Analisis Regresi Linier Sederhana

Analisis regresi digunakan untuk mengetahui pengaruh variabel

independen terhadap variabel dependen, yaitu dengan mencari persamaan regresi

yang bermanfaat untuk meramal nilai variabel dependen berdasarkan nilai-nilai

variabel independennya serta menganalisis hubungan antara variabel dependen

dengan dua atau lebih variabel independen baik secara parsial maupun simultan.

Untuk mengetahui pengaruh masing-masing variabel independen yaitu Harga

Transfer (X1) dan Harga Jual (X2) secara parsial terhadap variabel dependen yaitu

Kinerja Unti Bisnis Sebagai Pusat Laba (Y), maka digunakan analisis regresi

linier sederhana. Menurut Sugiyono (2008:270), persamaan umum regresi linier

sederhana adalah sebagai berikut :

ܻ = ܽ + ܾܺ
109

Sedangkan untuk nilai a dan b menurut Sugiyono (2008:272), ditentukan

dengan menggunakan persamaan sebagai berikut :

(∑Y)(∑X2) – (∑X) (∑XY)


a=
݊∑X2 – (∑X) 2

݊∑ܻܺ − (∑ܺ)∑ܻ
ܾ=
݊∑X2 – (∑ܺ)2

Keterangan :

X = Variabel independen (Harga Transfer dan Harga Jual)

Y = Variabel dependen (Laporan Laba Rugi)

a = Konstanta

b = Koefisien regresi linier

n = Banyaknya sampel

d. Koefisien Determinasi

Setelah diketahui besarnya koefisien korelasi, tahap selanjutnya adalah

mencari nilai dari koefisien determinasi. Koefisien determinasi ini dimaksudkan

untuk mengatahui seberapa besar pengaruh variabel independen terhadap variabel

dependen baik secara parsial maupun simultan. Menurut Sugiyono (2008:292),

rumus untuk menghitung koefisien determinasi adalah sebagai berikut :

‫ݎ = ݀ܭ‬ଶ × 100%

Dimana: 0 ≤ r2 ≤ 1

Keterangan :

Kd = koefisien determinasi

r = koefisien korelasi
110

e. Uji t

Pengaruh variabel independen secara parsial terhadap variabel dependen

akan diuji dengan menggunakan pengujian koefisien korelasi secara parsial yaitu

dengan uji t dengan membandingkan ttabel dengan thitung. Menurut Sugiyono

(2008:250), rumus untuk uji t adalah :

‫ ݊√ݎ‬− 2
‫=ݐ‬
√1 − ‫ݎ‬ଶ

Keterangan :

t = nilai uji

r = koefisien korelasi

r2 = koefisien determinasi

n = banyaknya sampel yang diobservasi

Kriteria untuk penerimaan atau penolakan hipotesis nol (Ho) yang

digunakan adalah sebagai berikut :

Ho diterima apabila : ±thitung ≤ ±ttabel

Ho ditolak apabila : ±thitung > ±ttabel

Apabila Ho diterima, maka hal ini menunjukkan bahwa variabel

independen tidak berpengaruh secara signifikan terhadap variabel dependen dan

sebaliknya apabila Ho ditolak, maka variabel independen berpengaruh secara

signifikan terhadap variabel dependen.


111

3. Analisis Komparatif

Untuk mengetahui perbedaan antara harga transfer dengan harga jual maka

dilakukan uji beda. Uji beda dilakukan dengan menggunakan Independent Sample

T-test. Independent Sample T-test adalah pengujian menngunakan distribusi t

terhadap signifikansi perbedaan nilai rata-rata tertentu dari dua kelompok sampel

yang tidak berhubungan. Dasar pengambilan keputusan dilakukan berdasarkan

probabilitas (Asymtotic Significanted), yaitu :

Ho : Kedua rata-rata sampel sama.

Ha : Kedua rata-rata sampel tidak sama.

α : 0.05

Kriteria uji : Jika nilai probabilitas (‫ > )݃݅ݏ‬α, maka Ho ditolak

Jika nilai Probabilitas (‫ ≤ )݃݅ݏ‬α, maka Ho diterima

3.6. Rancangan Analisis dan Uji Hipotesis

Rancangan analisis dan uji hipotesis ini akan dimulai dengan penetapan

hipotesis nol (Ho) dan hipotesis alternatif (Ha), uji hipotesis (penetapan tingkat

signifikansi), penetapan kriteria penerimaan dan penolakan hipotesis, dan

penarikan kesimpulan.

3.6.1. Penetapan Hipotesis Nol (Ho) dan Hipotesis Alternatif (Ha)

Hipotesis nol (Ho) merupakan hipotesis yang menyatakan bahwa variabel-

variabel independen tidak berpengaruh secara signifikan terhadap variabel

dependen. Sedangkan hipotesis alternatif (Ha) merupakan hipotesis yang


112

menyatakan bahwa variabel-variabel independen berpengaruh secara signifikan

terhadap variabel dependen.

Hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini berkaitan dengan

berpengaruh secara signifikan atau tidaknya variabel-variabel independen yaitu

Harga Transfer dan Harga Jual terhadap variabel dependen yaitu Kinerja Unit

Bisnis Sebagai Pusat Laba. Hipotesis yang dibentuk dari variabel-variabel tersebut

adalah:

Ho1 : (μଵ = μଶ) Harga Transfer tidak berbeda dengan Harga Jual.

Ha1 : (μଵ ≠ μଶ) Harga Transfer berbeda dengan Harga Jual.

Ho2 ∶ (ߩଵ = 0) Harga Jual tidak berpengaruh secara signifikan

terhadap Kinerja Unit Bisnis sebagai Pusat Laba.

Ha2 ∶ (ߩଵ ≠ 0) Harga Jual berpengaruh secara signifikan terhadap

Kinerja Unit Bisnis sebagai Pusat Laba.

Ho3 : (ߩଶ=0) Harga Transfer tidak berpengaruh secara signifikan

terhadap Kinerja Unit Bisnis sebagai Pusat Laba.

Ha3 ∶ (ߩଶ ≠ 0) Harga Transfer berpengaruh secara signifikan

terhadap Kinerja Unit Bisnis sebagai Pusat Laba.

3.6.2. Uji Hipotesis (Penetapan Tingkat Signifikansi)

Tingkat signifikansi yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebesar

95% (α = 0,05), karena dinilai cukup ketat untuk mewakili hubungan antara
113

variabel-variabel yang diuji atau menunjukkan hubungan bahwa korelasi antara

variabel independen dengan variabel dependen cukup nyata. Tingkat signifikansi

0,05, artinya kemungkinan besar dari hasil penarikan kesimpulan mempunyai

probabilitas 95% atau toleransi kesalahan adalah 5%.

3.6.3. Penetapan Kriteria Penerimaan dan Penolakan Hipotesis

Hipotesis yang telah ditetapkan sebelumnya diuji dengan menggunakan uji

t. berdasarkan uji t, maka dibuat kriteria penerimaan dan penolakan hipotesis nol

(Ho) adalah:

Ho diterima apabila : ±thitung ≤ ±ttabel

Ho ditolak apabila : ±thitung > ±ttabel

3.6.4. Penarikan Kesimpulan

Dari hipotesis-hipotesis yang telah diperoleh, dapat ditarik kesimpulan

apakah variabel-variabel independen berpengaruh terhadap variabel dependen

yang terjadi secara parsial. Hal ini ditunjukkan dengan penolakan hipotesis nol

(Ho) atau penerimaan hipotesis alternatif (Ha).


BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Penelitian

4.1.1. Gambaran Umum Perusahaan

4.1.1.1. Sejarah Singkat PT Dirgantara Indonesia (Persero) Bandung

Ketika upaya pendirian mulai menampakkan bentuknya, dengan nama

Industri Pesawat Terbang Indonesia/IPIN di Pondok Cabe, Jakarta. Timbul

permasalahan dan krisis di tubuh Pertamina yang berakibat pula pada keberadaan

Divisi ATTP, proyek serta programnya industri pesawat terbang. Akan tetapi

karena Divisi ATTP dan proyeknya merupakan wahana guna pembangunan dan

mempersiapkan tinggal landas bagi bangsa Indonesia pada Pelita VI, Presiden

menetapkan untuk meneruskan pembangunan industri pesawat terbang dengan

segala konsekuensinya.

Maka berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 12, tanggal 15 April 1975

dipersiapkan pendirian industri pesawat terbang. Melalui peraturan ini, dihimpun

segala aset, fasilitas dan potensi negara yang ada yaitu: aset Pertamina, Divisi

ATTP yang semula disediakan untuk pembangunan industri pesawat terbang

dengan aset Lembaga Industri Penerbangan Nurtanio/LIPNUR, AURI sebagai

modal dasar pendirian industri pesawat terbang Indonesia. Penggabungan aset

LIPNUR ini tidak lepas dari peran Bpk. Ashadi Tjahjadi selaku pimpinan AURI

yang mengenal BJ. Habibie sejak tahun 1960an. Dengan modal ini diharapkan

tumbuh sebuah industri pesawat terbang yang mampu menjawab tantangan jaman.

114
115

Tanggal 28 April 1976 berdasar Akte Notaris No. 15, di Jakarta

didirikan PT. Industri Pesawat Terbang Nurtanio dengan Dr, BJ. Habibie selaku

Direktur Utama. Selesai pembangunan fisik yang diperlukan untuk berjalannya

program yang telah dipersiapkan, pada 23 Agustus 1976 Presiden Soeharto

meresmikan industri pesawat terbang ini. Dalam perjalanannya kemudian, pada 11

Oktober 1985, PT Industri Pesawat Terbang Nurtanio berubah menjadi PT

Industri Pesawat Terbang Nusantara atau IPTN dengan jumlah karyawan 1000

orang.

Berawal dari program lisensi, PT Dirgantara Indonesia menapaki

penguasaan teknologi kedirgantaraan melalui 4 tahap alih tehnologi. Tahap

kerjasama lisesnsi helikopter NBO-105 dari MBB Jerman (kini DASA), serta

pesawat terbang NC-212 dari CASA Spanyol tahun 1976, disusul lisensi

helikopter puma NSA-330 dan NSA-332 dari Aerospatiale Perancis pada tahun

1979.

Tiga tahun kemudian tahap integrasi teknologi dilalui. Tahap ini

merupakan penggabungan kemampuan rancang bangun dan produksi antara PT.

Dirgantara Indonesia dan CASA, yang ditandai dengan dibentuknya usaha

patungan antara keduanya dengan nama Aircraft Tecnology Industry (Airtech).

Program usaha patungan ini merancang dan memproduksi pesawat angkut

komputer serba guna dengan nama CN-235.

Sementara itu dalam rangka memantapkan kehadirannya dalam

masyarakat industri pesawat terbang, maka ditandatangani beberapa kerjasama

internaional. Tahun 1982 kerjasama dengan Boeing Company ditandatangani.


116

Melalui kerjasama ini landasan baru telah dibuat untuk menempatkan industri ini

sebagai salah satu mitra kerja Boeing. Hal ini dibuktikan ketika tahun 1987 PT.

Dirgantara Indonesia mulai memproduksi sebagian komponen pesawat Boeing

737, Boeing 747, Boeing 757, Boeing 767, dan Boeing 777. Kerjasama dengan

Bell Helicoper Textron ditandatangani pada November 1982 dengan

memproduksi NBELL-412.

Sebagai salah satu agen teknologi, maka pada tahun 1983 PT Dirgantara

Indonesia mendirikan pusat perawatan mesin, yakni Universal Maintenance

Center (UM). Unit ini bertugas merawat, memperbaiki mesinmesin pesawat

terbang dan helikopter maupun mesin-mesin turbin gas, untuk keperluan maritim

dan industri yang kemudian menjadi anak perusahaan pada tahun 1987.

Tahun 1986 dalam rangka lebih memperluas jangkauan produksi dan

pemesaran, industri ini berganti nama dari PT Industri Pesawat Terbang Nurtanio

menjadi PT Industri Pesawat Terbang Nusantara. Sementara itu tahun 1987

kerjasama imbal produksi dicapai dengan General Dynamic (kini Lockhead)

demikian juga dengan Airbus Industry.

Memasuki dasawarsa kedua, PT Dirgantara Indonesia memasuki tahap

pengembangn teknologi yakni mengembangkan teknologi dirgantara secara

mandiri untuk menghasilkan produk yang sama sekali baru. Sejak tahun 1989,

rancang bangun pesawat N-250 dimulai. Keberhasilan rancangan pesawat ini

ditandai dengan peluncurannya pada 10 November 1994 dan penerbangan

perdananya pada 10 Agustus 1995.


117

Memasuki dasawarsa ketiga, PT Dirgantara Indonesia memasuki tahap

penelitian industri dalam rangka mempertahankan kemampuan dan keungulan-

keunggulan industri dirgantara. Untuk itu dirancang dan dikembangkan pesawat

baru N-2130 yang mampu mengangkut penumpang antara 100 - 130 orang. Kini

pesawat tersebut dalam fase pleminary design I desain awal dan mencari mitra

bisnis dalam rangka realisai serta pengembangan lebih lanjut.

Tiga windu PT Dirgantara Indonesia telah menunjukan kiprahnya dalam

penguasaan teknologi dan industri kedirgantaraan. Penguasaan teknologi yang

diterapkan dalam bidang desain, manufacturing, quality assurance, product

support, maintenance dan overhoul telah mendapatkan pengakuan dari otoritas

nasional maupun internasional. Dalam bidang engineering : sertifikasi JAA

(otorisasi Eropa) untuk CN-235-110, DGAC (otoritas sipil — RI), IMAA (otoritas

militer — RI). Dalam bidang manufacturing : sertifikasi CASA — Spanyol,

BHTI — AS, Boeing — AS. Dalam bidang quality assurance sertifikasi dari GD

— AS, Bae — Inggris, Lockhead —AS, Boeing — AS, Daimler Benz Aerospace

— Jerman. Dalam bidang product dan manufacturing — overhaul repair : untuk

Aircraft Service sertifikasi dari DGAC — RI, FAA — AS, Hankam — Malaysia,

engine manufacture AS — Kanada — Inggris — Perancis, ISO — 9002 serta

DGAC- RI untuk maintenance organization.

Dari sisi produksi PT Dirgantara Indonesia telah menyerahkan sekitar 300

pesawat terbang dan helikopter serta sistem senjata, komponen pesawat, dan jasa

lainnya. Sekitar Rp 4.825 milyar telah dihasilkan, dengan aset kini sekitar Rp

4.642 milyar.
118

Ketika tahun 1997 krisis ekonomi dan moneter melanda kawasan Asia

Tenggara dan Indonesia yang berdampak pada kurangnya potensi pasar PT

Dirgantara Indonesia. Berkaitan dengan itu sejak Oktober 1998 industri ini

mempersiapkan paradigma baru. Program restrukturisai perusahaan yang

mencakup: reorientasi bisnis, penataan postur sumber daya manusia, serta

restrukturisai permodalan keuangan digulirkan. Melalui restrukturisai ini postur

karyawan menyusut dari 15.000 menjadi hanya sekitar 3.000 orang sekarang ini.

Dalam rangka menghadapi dinamika jaman serta sistem pasar global,

IPTN meredefinisi diri ke dalam "DIRGANTARA 2000" dengan melakukan

orientasi bisnis, dan strategi baru menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi.

Untuk itu IPTN melaksanakan program restrukturisasi meliputi reorientasi bisnis,

serta penataan kembali sumber daya manusia yang menfokuskan diri pada pasar

dan misi bisnis.

Kini dalam masa "survive" IPTN mencoba menjual segala kemampuannya

di area engineering dengan menawarkan jasa disain sampai pengujian,

manufacturing part, komponen serta tolls pesawat terbang dan non-pesawat

terbang, serta jasa pelayanan purna jual.

Seiring dengan itu IPTN merubah nama menjadi PT Dirgantara

Indonesia atau Indonesian Aerospace/IAe yang diresmikan Presiden

Abdurrahman Wahid, 24 Agustus 2000 di Bandung.

Pada awal tahun 2004, program restrukturisasi perusahaan yang mencakup

reorientasi bisnis dan penataan ulan SDM digulirkan, postur karyawan menyusut

dari 9.670 menjadi seekitar 3.500 orang.


119

Adapun visi dari PT Dirgantara Indonesia (Persero) adalah menjadi

perusahaan kelas dunia dalam industri dirgantara yang berbasis pada penguasaan

teknologi tinggi dan mampu bersaing dalam pasar global, dengan mengandalkan

keunggulan biaya. Sedangkan misi dari PT Dirgantara Indonesia (Persero) adalah:

1. Menjalankan usaha dengan selalu berorientasi pada aspek bisnis dan

komersil dan dapat menghasilkan produk dan jasa yang memiliki

keunggulan biaya.

2. Sebagai pusat keunggulan di bidang industri dirgantara, terutama

dalam rekayasa, rancang bangun, manufaktur, produksi dan

pemeliharaan untuk kepentingan komersial dan militer, dan juga untuk

aplikasi di luar industri dirgantara.

3. Menjadikan perusahaan sebagai pemain kelas dunia di industri global

yang mampu bersaing dan melakukan aliansi strategis dengan industri

dirgantara kelas dunia lainnya.

4.1.1.2. Kegiatan Usaha

Kegiatan Usaha yang dilakukan oleh PT Dirgantara Indonesia (Persero)

kini memfokuskan bisnisnya dari 18 menjadi 5 satuan usaha ke dalam 4

direktorat, yang meliputi:

1. Direktorat Aircraft Integration

Memproduksi beragam pesawat untuk memenuhi berbagai misi sipil,

militer, dan juga misi khusus. Adapun produk yang dihasilkan antara

lain:
120

a. NC-212

Pesawat berkapasitas 19-24 penumpang, dengan beragam versi,

dapat lepas landas dan mendarat dalam jarak pendek, serta mampu

beroperasi pada landasan rumput/tanah/dll.

b. CN-235

Pesawat angkut komuter serba guna dengan kapasitas 35-40

penumpang ini, dapat digunakan dalam berbagai misi, dapat lepas

landas dan mendarat dalam jarak pendek dan mampu beroperasi

pada landasan rumput/tanah/es/dll.

c. NBO-105

Helikopter multi guna ini mampu membawa 4 penumpang, sangat

baik untuk berbagai macam misi, mempunyai kemampuan

hovering dan maneuver dalam situasi penerbangan apapun.

d. Super Puma NAS-332

Helikopter modern ini mampu membawa 17 penumpang,

dilengkapi dengan aplikasi multi misi yang aman dan nyaman.

e. NBELL-412

Helikopter yang mampu membawa 13 penumpang ini, memiliki

prioritas rancangan yang rendah resiko, keamanan yang tinggi,

biaya perawatan dan operasi yang rendah.

2. Direktorat Aerostructure

Didukung oleh tenaga ahli yang berpengalaman dan mempunyai

kemampuan tinggi dalam manufaktur pesawat, dilengkapi pula dengan


121

fasilitas manufaktur dengan ketepatan tinggi (high precision), seperti:

mesin-mesin canggih, bengkel sheet metal, jig dan tool shop,

calibration, testing equipment, dan quality inspection (peralatan tes

dan uji kualitas), pemeliharaan, dan lain sebagainya. Bisnis satuan

usaha Aerostucture meliputi:

a. Pembuatan komponen aerostructure (Machined parts, sub-

assembly, assembly).

b. Pengembangan rekayasa (engineering package): pengembangan

komponen aerostructure yang baru.

c. Perancangan dan pembuatan alat-alat (tooling design and

manufacturing).

Memberikan program-program kontrak tambahan (subcontract

programs) dan offset, untuk Boeing, Airbus Industries, BAe System,

Korean Airlines Aerospace Division, Mitsubishi Heavy Industries, Ac

CTRM Malaysia.

3. Direktorat Aircraft Sevices

Dengan keahlian dan pengalaman bertahun-tahun, unit usaha Aircraft

Sevices menyediakan servis pemeliharaan pesawat dan helikopter

berbagai jenis, yang meliputi: penyediaan suku cadang, pembaharuan

dan modifikasi struktur pesawat, pembaharuan interior, maintenance

dan overhaul.
122

4. Direktorat Pengembangan dan Teknologi

Bisnis utama satuan usaha defence, terdiri dari: produk-produk militer,

perawatan, perbaikan, pengujian dan kalibrasi baik secara mekanik

maupun elektrik dengan tingkat akurasi yang tinggi, integrasi alat-alat

perang, produksi beragam sistem senjata, antara lain: FFAR 2,75”

roket, SUT Torpedo, dan lain-lain. Dilengkapi dengan peralatan

perancangan dan analisis yang canggih, fasilitas uji berteknologi

tinggi, serta tenaga ahli yang berlisensi dan berpengalaman standard

internasional.

Dengan demikian diharapkan industri ini menjadi institusi bisnis yang

adaptif dan efisien.

4.1.1.3. Struktur Organisasi dan Uraian Tugas Direktorat Aerostructure di

PT Dirgantara Indonesia

Direktorat Aerostructure sebagai salah satu bagian di PT Dirgantara

Indonesia, berdasarkan Surat Keputusan Komisaris PT Dirgantara Indonesia

(Persero) memiliki tugas, tanggung jawab, dan wewenang sebagai berikut:

1. Menentukan kebijakan (policy) dan strategi (stategy) dalam pengelolaan

portofolio bisnis jasa manufacture untuk pembuatan detil part & komponen

pesawat terbang dan helikopter serta komponen untuk keperluan Industri, baik

hasil rancang bangun sendiri maupun di bawah lisensi, termasuk layanan

purna jualnya, untuk memparoleh keuntungan perusahaan yang optimal.


123

2. Melaksanakan Rencana Jangka Panjang Perusahaan (RJPP) dan Rencana

Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP) yang telah ditetapkan oleh

Perusahaan sesuai bidang usahanya.

3. Merencanakan, melaksanakan dan mengendalikan aktivitas pemasaran dan

penjualan produk & jasa sesuai bidang usahanya untuk mencapai target yang

telah ditetapkan oleh perusahaan.

4. Merencanakan, melaksanakan dan mengendalikan aktlvitas produksi, yang

rneliputi proses: metal forming, machining, bonding & composite, special

process dan surface treatment.

5. Merencanakan, melaksanakan dan mengendalikan pengadaan material yang

diperlukan sesuai kebutuhannya secara efektif dan efisien.

6. Merencanakan, melaksanakan dan mengendalikan kegiatan jaminan purna jual

(warranty) dari produk dan jasa yang dihasilkan sesuai bidang usahanya.

7. Mengelola dana operasional yang dialokasikan perusahaan secara efisien dan

efektif.

8. Menyusun informasi akuntansi Direktorat Aerostructure dan melaporkannya

secara tepat waktu, tepat saji, dan akurat.

9. Mengelola aset yang dialokasikan Perusahaan secara efisien dan efektif.

10. Atas nama Perusahaan bertanggung jawab sebagai Approved Primary Part

Supplier Holder, baik untuk detil part dan komponen pesawat terbang dan

helikopter hasil rancang bangun Perusahaan (owned designed product) atau di

bawah lisensi (underlicensed product).


124

11. Menjamin dan menjaga agar sistem manajemen yang diterapkan di

lingkungannya memenuhi kaidah-kaidah tatakelola Perusahaan (Good

Corporate Governance), manajemen resiko (Risk Management) dan

menghasilkan praduk & jasa yang memenuhi aspek-aspek Quality-Cost-

Delivery sesuai dengan strategi dan kebijakan Perusahaan.

12. Melaksanakan sinergi secara terencana, sistematis, optimum dan

berkesinambungan antara sumber daya dan fasilitas yang berada di Direktorat

Aerostructure dengan sumber daya dan fasilitas lain milik Perusahaan, untuk

meningkatkan daya saing Perusahaan sesuai dengan bidang usahanya.

13. Menerapkan dan melaksanakan ketentuan-ketentuan tentang Keselamatan,

Kesehatan Kerja dan Lingkungan Hidup (K3LH) di lingkungannya.

Dalam melaksanakan tugas, tanggung jawab dan wewenangnya

sebagaimana tersebut di atas, Direktur Aerostructure bertanggung jawab kepada

Direktur Utama, serta dibantu oleh:

1. Divisi Integrasi Usaha Aerostructure

a. Tugas Pokok

1. Menyiapkan rencana strategis pengembangan usaha Aerostructure

berdasarkan kajian pasar sesuai dengan rencana jangka panjang

perusahaan.

2. Mengelola, mengintegrasikan dan melaksanakan aktifitas penjualan,

pemasaran, pengelolaan program/proyek dan perencanaan produksi

untuk menjamin tercapainya target kontrak dan penjualan yang

ditetapkan perusahaan.
125

3. Membangun dan memelihara relasi dengan pelanggan dan kompetitor

untuk menjamin kesinambungan pertumbuhan usaha.

4. Membangun konsep dan komptensi pengelolaan program/proyek

sebagai bagian strategis dari pengembangan usaha Aerostructure.

5. Mengintegrasikan perencanaan penjualan dengan pengelolaan produksi

untuk menjamin ketepatan delivery produk dan optimalisasi

penggunaan kapasitas dan kendali produksi.

b. Wewenang & Tanggung Jawab

1. Mengelola dan mengintegrasikan fungsi-fungsi di Divisi Integrasi

Usaha.

2. Menetapkan target kontrak dan penjualan sesuai dengan rencana dan

porto-folio bisnis Direktorat Aerostructure.

3. Melaksanakan evaluasi, negosiasi dan kesepakatan dan/atau kontrak

bisnis dengan pelangan.

4. Memvalidasi dan mengusulkan kebutuhan anggaran investasi sesuai

rencana bisnis dan evaluasi kapasitas.

5. Mengkaji konsep, penerapan & pengelolaan proyek/program sesuai

dengan ekspektasi pelanggan.

6. Memvalidasi dan mengusulkan kebutuhan personil yang sesuai dengan

beban pekerjaan dan persyaratan kualifikasi yang dibutuhkan daiam

rangka memenuhi pencapaian target kontrak dan penjualan yang

ditetapkan perusahaan.
126

7. Merencanakan dan mengusulkan program training bagi seluruh

personil yang terkait dengan kegiatan penjualan, pemasaran,

pengelolaan proyek/program dan perencanan produksi untuk

memelihara dan mengembangkan kompetensi & kapabilitas personil.

8. Menetapkan hasil penilaian kinerja anggota secara berkala dan

mengimplementasikan sistem reward dan punishment bagi personil di

Divisi Integrasi Usaha.

9. Menetapkan target perbaikan proses dan program pengurangan biaya

(cost reduction) dengan memangkas ak'tifitas non added value serta

memenuhi persyaratan kontrak.

2. Divisi Operasi Aerostructure

a. Tugas Pokok

1. Mengelola dan mengembangkan semua sumber daya yang tidak hanya

memproduksi detail part & komponen pesawat terbang dan Helicopter

serta komponen keperluan industri dengan High Quality Product akan

tetapi juga mampu menghasilkan produk dengan keunggulan biaya

(low cost) & penyerahan tepat waktu (on time delivery) guna

memenuhi pencapaian target produksi & penjualan yang telah

ditetapkan oleh organisasi dan perusahaan.

2. Merencanakan, melaksanakan dan mengendalikan semua kegiatan

Operasi yang berkaitan dengan proses pembuatan detail part &

komponen pesawat terbang dan helikopter serta komponen keperluan


127

industri termasuk mengelola pemeliharaan semua fasilitas dan utilitas

produksi di Aerostructure.

3. Mengelola kegiatan pengendalian produksi dalam rangka menjamin

penyelesaian proses pembuatan produk dan komponen pesawat terbang

dengan lead time manufacturing yang sesuai dengan perencanaan

produksi yang telah ditetapkan.

4. Mengelola kegiatan proses pembuatan detail part/ komponen yang

meliputi proses machining, metal forming, welding, heat treatment,

surface treatment, bonding & composite, dan assembly Aircraft.

5. Mengelola kegiatan proses pembuatan alat bantu yang digunakan

dalam proses pembuatan detail parts maupun major assembly

komponen pesawat terbang yang meliputi pembuatan detail part tools,

sub-assembly tool, jig serta alat bantu produksi lainnya.

6. Mengelola kegiatan maintenance seluruh fasilitas produksi, inspection

dan laboratory testing serta fasilitas/ utilitas pendukung lainnya dalam

rangka untuk menjamin facilities & production readiness dalam

rangka memenuhi target produksi dan delivery program-program

terkontrak di Direktorat Aerostructure.

b. Wewenang & Tanggung Jawab

1. Menetapkan annually Quality Objective yang akan dicapai oleh Divisi

Operasi dan seluruh departemen dibawahnya sesuai dengan rencana &

target bisnis Direktorat Aerostructure.


128

2. Merencanakan, memvalidasi dan mengusulkan kebutuhan anggaran

investasi & operasional yang dibutuhkan dalam rangka mendukung

seluruh pekerjaan pembuatan detail part & komponen pesawat terbang

dan helikopter serta komponen keperluan industri di Divisi Operasi

Aerostructure .

3. Mengkaji penerapan konsep dan sistem pengendalian proses produksi

untuk pembuatan detail parts, subassemblies parts dan komponen

pesawat terbang dan helikopter serta komponen keperluan industri

dengan mempertimbangkan kapasitas resource, volume & production

rate dan jadwal delivery yang telah ditetapkan program.

4. Memvalidasi dan mengusulkan kebutuhan personil yang sesuai dengan

beban pekerjaan dan persyaratan kualifikasi yang dibutuhkan dalam

rangka memenuhi pencapaian target produksi dan delivery yang

ditetapkan program.

5. Merencanakan, memvalidasi dan mengusulkan program training bagi

seluruh personil yang terkait dengan kegiatan produksi agar senantiasa

mempunyai kompetensi & kapabilitas technical skill yang excellent.

6. Menetapkan hasil penilaian kinerja anggota secara berkala dan

mengimplementasikan sistem reward dan punishment bagi personil di

Divisi Operasi Aerostructure.

7. Memvalidasi dan menetapkan perencanaan maintenance seluruh

fasilitas produksi & utilitas pendukung lainnya dalam rangka untuk


129

menjamin production readiness dan pemenuhan target produksi dan

delivery program-program kontrak di Direktorat Aerostructure.

8. Merencanakan & melaksanakan kegiatan Operasi yang berkaitan

dengan continuous improvement dalam rangka meningkatkan

kapabilitas dan performansi serta kinerja sumber daya secara sinergi,

efektif dan efisien.

9. Menerapkan dan melaksanakan ketentuan-ketentuan tentang

Keselamatan, Kesehatan Kerja dan Lingkungan Hidup (K3LH) di

lingkungannya.

3. Divisi Rekayasa Aerostructure

a. Tugas Pokok

1. Mengelola semua kegiatan Rekayasa Manufaktur yang metiputi

perencanaan proses, NC Programming dan SistemInformasi Produksi,

dengan sasaran tercapainya kelancaran kerja dan kualitas pekerjaan

serta jadwal yang telah ditetapkan serta mencari dan mengolah semua

informasi yang relevan berkenaan dengan perkembangan teknologi

Rekayasa Manufaktur saat ini dan masa datang yang bisa

mempengaruhi kelancaraan perkembangan fungsi Rekayasa

Manufaktur, dalam hal identifikasi teknologi manufaktur yang akan

digunakan di Aerostructure.

2. Mengelola semua kegiatan dalam rangka menjamin kesiapan proses

produksi yang digunakan serta approval proses tersebut sehingga tetap

sesuai dengan persyaratan customer.


130

3. Mengelola semua kegiatan yang berkaitan dengan Rekayasa Alat

Bantu yang digunakan dalam proses pembuatan detail parts maupun

major assembly komponen pesawat terbang maupun industrial parts,

termasuk identifikasi dan implementasi teknologi baru maupun

improvement, yang akan digunakan di Aerostructure.

4. Mengelola semua kegiatan yang berkaitan dengan kontrol konfigurasi

detail parts , subassemblies parts maupun komponen pesawat terbang

dalam rangka menjamin traceabiliry data maupun legatisasi dokumen

sesuai dengan persyaratan kustomer, yang meliputi aktivitas as-design

dan as-plan.

5. Mengelola semua kegiatan yang berkaitan dengan non-conforming

detail parts, subassemblies parts maupun komponen pesawat terbang

dalam proses produksi yang membutuhkan konsesi, justifikasi dan

interfacing dengan fungsi type design.

b. Wewenang & Tanggung Jawab

1. Menetapkan strategi dan rencana pengerjaan detail parts,

subassemblies parts dan komponen pesawat terbang dengan

mempertimbangkan aspek biaya, kualitas, waktu dan teknologi

manufaktur yang ada di Aerostructure.

2. Menetapkan strategti, konsep design ban rencana pembuatan detail

part tools, subassembly tools, jigs serta alat bantu produksi lainnya

dengan mempertimbangkan aspek biaya, kualitas, waktu dan teknologi

manufaktur yang ada di Aerostructure.


131

3. Menetapkan metode estimasi man hour cost.

4. Melakukan kajian terhadap data maupun dokumen yang relevan

berkenaan dengan penerapan, perbaikan dan pengembangan teknologi

manufaktur serta metode manufaktur saat ini dan masa datang.

5. Menetapkan konsep dan metodologi pengelolaan konfigurasi dan

dokumen engineering yang berlaku, termasuk sistem informasi yang

digunakan.

6. Menetapkan mekanisme kerja fungsi engineering liaison dalam

melakukan interfacing dengan fungsi type design , baik dengan

kustomer internal maupun eksternal.

7. Mengusulkan kebutuhan anggaran investasi dan operasional di Divisi

Rekayasa Aerostructure.

8. Merencanakan dan mengusulkan kebutuhan personil dan

kualifikasinya serta menjaga agar senantiasa mempunyai kapabilitas

technical excellent.

9. Menetapkan dan mengusulkan penerimaan paket pekerjaan dan/atau

kontrak baru melalui kajian dan pertimbangan teknis, dengan

mempertimbangkan aspek biaya, kualitas, waktu dan teknologi

manufaktur yang ada maupun yang akan diadakan di Aerostructure.

10. Menetapkan hasil penilaian seluruh anggota untuk reward dan

punishment bagi personil di Divisi Rekayasa Aerostructure.


132

4. Divisi Manajemen Sumber Daya Aerostructure

a. Tugas Pokok

1. Mengelola seluruh kegiatan Manajemen Sumber Daya yang meliputi

perencanaan Sumber Daya Manusia, Proses pengadaan material serta

pencatatan Akuntansi, dengan sasaran tercapainya kelancaran kerja

dan kualitas pekerjaan serta jadwal yang telah ditetapkan serta

mengolah seluruh informasi yang relevan sejalan dengan

perkembangan bisnis perusahaan serta kebijakan yang akan diterapkan

di Direktorat Aerostructure.

2. Melaksanakan seluruh kegiatan operasional dalam rangka menjamin

kesiapan sumber daya manusia serta pengadaan material guna

mensupport jalannya proses produksi sampai dengan delivery dan

mewujudkan terciptanya Good Governance Corporate (GGC) di

PT Dirgantara Indonesia (Persero).

3. Menjamin serta mengoptimalkan sistem keuangan dan akuntansi di

Direktorat Aerostructure, senantiasa mampu mendukung pengendalian

strategis perusahaan, guna mewujudkan misi perusahaan pada posisi

mampu bersaing di pasar global sebagai industri manufaktur regional.

4. Merencanakan, menyusun sistem dan prosedur Sumber Daya Manusia

sesuai postur bisnis Direktorat Aerostructure.

5. Merencanakan, menyusun sistem dan prosedur pengadaan material

sesuai peraturan dan kebijakan perusahaan


133

6. Merencanakan, menyusun, memelihara prosedur, sistem akuntansi dan

kebijakan akuntansi sesuai perkembangan proses bisnis perusahaan.

7. Mengimplementasikan serta mengendalikan pelaksanaan prinsip-

prinsip akuntansi yang ditetapkan Ikatan Akuntansi Indonesia (IAI)

dalam proses pencatatan akuntansi.

8. Menyajikan Laporan Keuangan Direktorat Aerostructure secara

periodik sesuai dengan kaidah kaidah akuntansi umum.

9. Mengelola aset yang dialokasikan Perusahaan secara efisien dan

efektif.

b. Wewenang & Tanggung Jawab

1. Menetapkan strategi dan perencanaan Sumber Daya Manusia.

2. Menetapkan strategi dan perencanaan Pengadaan Material.

3. Menetapkan strategi dan Metoda Akuntansi sesuai kebijakan

perusahaan.

4. Menyusun Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) Direktorat

Aerostructure.

5. Membuat serta mengevaluasi realisasi RKA/RKAP Direktorat

Aerostructure secara periodik.

6. Mengontrol dan mengendalikan anggaran sesuai RKA/RKAP

Direktorat Aerostructure serta melakukan kajian terhadap usulan

anggaran biaya dari fungsi lain.

7. Merencanakan dan mengembangkan program pelatihan.

8. Membuat persyaratan dan menentukan kebutuhan program pelatihan.


134

9. Menyediakan sistem evaluasi program pelatihan.

10. Mengimplementasikan sistim penilaian karyawan.

11. Melaksanakan peraturan-peraturan mengenai sumber daya manusia.

12. Memelihara hubungan ketenagakerjaan.

13. Mengevaluasi serta mencatat job-grade dan job-content sumber daya

di Direktorat Aerostructure.

14. Membuat perencanaan, rekrutmen dan mengusulkan pemberhentian

sumber daya di Drektorat Aerostructure.

15. Merencanakan dan mengusulkan kebutuhan personil dan

kualifikasinya serta menjaga agar senantiasa mempunyai kapabilitas

technical excellent.

16. Menetapkan hasil penilaian seluruh anggota untuk reward dan

punishment bagi personil di Divisi Manajemen Sumber Daya

Aerostructure.

4.1.2. Penetapan Harga Transfer Pada Direktorat Aerostructure di

PT Dirgantara Indonesia

Harga Transfer pada Direktorat Aerostructure ditetapkan karena adanya

pemesanan barang dan jasa antar unit satuan usaha atau korporasi dengan satuan

unit usaha dilingkungan internal perusahaan yang mencakup seluruh kebutuhan

barang dan jasa dalam menunjang kegiatan kerja di unit organisasinya atau

dinamakan dengan Internal Work Order. Harga transfer pada Direktorat

Aerostructure dinamakan dengan Harga Intern (Internal Price). Harga Intern


135

(Internal Price) adalah suatu harga internal sebagai akibat pemenuhan suatu

kebutuhan akan barang atau jasa antar unit.

Harga terhadap barang atau jasa yang dikerjakan di internal harus

memperhatikan biaya plus 10% atau harga pasar mana yang lebih rendah (cost

plus 10% or market whichever is lower). Namun pada kenyataannya dan

berdasarkan sistem yang ada di Direktorat Aerostructure harga transfer

berdasarkan biaya ditambah laba 10%. Adapun penetapan harga transfer pada

Direktorat Aerostructure adalah sebagai berikut:

Cost Of Production + Profit 10% = Harga Transfer/Unit


Production Volume

Dimana:

Cost Of Production:
Material xxx
Man Hour xxx
Overhead Cost xxx

Cost Of Production xxx


Profit: COP x 10%: xxx
Internal Price xxx

Adapun harga transfer pada Direktorat Aerostructure selama periode

2007-2009 dapt dilihat pada tabel 4.1.


136

Tabel 4.1
Direktorat Aerostructure
Harga Transfer/Unit – Wing Tip Assy

Transfer
Tahun Triwulan Material Man Hour Overhead Total Profit Internal Sales Unit
Price/Unit
I 107,245,933.84 95,329,718.97 35,748,644.61 238,324,297.43 23,832,429.74 262,156,727.17 6 43,692,787.86

II 90,024,514.43 80,021,790.61 30,008,171.48 200,054,476.52 20,005,447.65 220,059,924.17 5 44,011,984.83


2007
III 55,571,693.98 49,397,061.32 18,523,897.99 123,492,653.29 12,349,265.33 135,841,918.62 3 45,280,639.54

IV 64,593,041.15 57,416,036.58 21,531,013.72 143,540,091.45 14,354,009.14 157,894,100.59 3 52,631,366.86

I 98,477,809.82 87,535,830.96 32,825,936.61 218,839,577.39 21,883,957.74 240,723,535.13 4 60,180,883.78

II 114,423,486.04 101,709,765.37 38,141,162.01 254,274,413.42 25,427,441.34 279,701,854.77 4 69,925,463.69


2008
III 85,995,435.16 76,440,386.81 28,665,145.05 191,100,967.03 19,110,096.70 210,211,063.73 3 70,070,354.58

IV 58,374,293.97 51,888,261.30 19,458,097.99 129,720,653.26 12,972,065.33 142,692,718.58 2 71,346,359.29

I 209,294,532.59 186,039,584.52 69,764,844.20 465,098,961.31 46,509,896.13 511,608,857.44 7 73,086,979.63

II 153,804,900.25 136,715,466.88 51,268,300.08 341,788,667.21 34,178,866.72 375,967,533.93 5 75,193,506.79


2009
III 123,496,943.85 109,775,061.20 41,165,647.95 274,437,653.01 27,443,765.30 301,881,418.31 4 75,470,354.58

IV 63,893,951.01 56,794,623.12 21,297,983.67 141,986,557.79 14,198,655.78 156,185,213.57 2 78,092,606.79

Sumber: Data yang diolah kembali

4.1.3. Penetapan Harga Jual Pada Direktorat Aerostructure di

PT Dirgantara Indonesia

Harga Jual (Selling Price) pada Direktorat Aerostructure ditetapkan karena

adanya pemesanan barang berupa komponen pesawat. Harga Jual terhadap barang

yang dipesan timbul karena adanya kontrak pembuatan produk yang pihak

pembeli setuju untuk membeli produk pada harga yang telah ditetapkan.

Harga jual untuk barang yang diproduksi harus memperhatikan biaya plus

10% serta general and administratif (GNA) 11%. Adapun penetapan harga jual

pada Direktorat Aerostructure adalah sebagai berikut:

Cost Of Production + Profit 10% + GNA 11% = Harga Jual/Unit


Production Volume
137

Dimana:

Cost Of Production:
Material xxx
Man Hour xxx
Overhead Cost xxx

Cost Of Production xxx


Profit: COP x 10%: xxx
GNA: COP x 11%: xxx
Selling Price xxx

Yang termasuk kedalam general and administratif (GNA) adalah biaya

penyimpanan, biaya penagihan, biaya promosi, dan biaya untuk menjaga jika

terjadi kelebihan waktu tenaga kerja. Besarnya GNA ini telah ditentukan sebesar

sebesar 11% dari COP.

Adapun harga jual pada Direktorat Aerostructure selama periode 2007-

2009 dapt dilihat pada table 4.2.


138

Tabel 4.2
Direktorat Aerostructure
Harga Jual/Unit – Wing Tip Assy

Selling
Tahun Triwulan Material Man Hour Overhead Total COP Profit GNA Sales Unit
Price/Unit

I 142,994,578.46 127,106,291.96 47,664,859.49 317,765,729.91 31,776,572.99 34,954,230.29 387,991,956.22 8 48,498,994.53

II 108,029,417.32 96,026,148.73 36,009,805.77 240,065,371.82 24,006,537.18 29,047,909.99 296,420,717.86 6 49,403,452.98


2007
III 55,571,693.98 49,397,061.32 18,523,897.99 123,492,653.29 12,349,265.33 14,942,611.05 160,782,494.88 3 53,594,164.96

IV 107,655,068.58 95,693,394.30 35,885,022.86 239,233,485.74 23,923,348.57 28,947,251.78 311,209,272.27 5 62,241,854.45

I 172,336,167.19 153,187,704.17 57,445,389.06 382,969,260.43 38,296,926.04 46,339,280.51 510,321,858.29 7 72,903,122.61

II 85,817,614.53 76,282,324.03 28,605,871.51 190,705,810.07 19,070,581.01 23,075,403.02 254,311,918.90 3 84,770,639.63


2008
III 171,990,870.32 152,880,773.62 57,330,290.11 382,201,934.05 38,220,193.41 46,246,434.02 511,443,518.06 6 85,240,586.34

IV 116,748,587.93 103,776,522.61 38,916,195.98 259,441,306.52 25,944,130.65 31,392,398.09 348,312,926.06 4 87,078,231.52

I 209,294,532.59 186,039,584.52 69,764,844.20 465,098,961.31 46,509,896.13 56,276,974.32 613,367,859.19 7 87,623,979.88

II 123,043,920.20 109,372,373.51 41,014,640.07 273,430,933.77 27,343,093.38 33,085,142.99 365,981,836.23 4 91,495,459.06


2009
III 92,622,707.89 82,331,295.90 30,874,235.96 205,828,239.76 20,582,823.98 24,905,217.01 276,334,703.28 3 92,111,567.76

IV 63,893,951.01 56,794,623.12 21,297,983.67 141,986,557.79 14,198,655.78 17,180,373.49 189,343,334.41 2 94,671,667.21

Sumber: Data yang diolah kembali

4.1.4. Penetapan Kinerja Unit Bisnis Sebagai Pusat Laba Pada Direktorat

Aerostructure di PT Dirgantara Indonesia

Penetapan kinerja unit bisnis sebagai pusat laba pada Direktorat

Aerostructure di PT Dirgantara Indonesia didasarkan pada:

1. Pelaksanaan Rencana Jangka Panjang Perusahaan (RJPP) dan

Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP) yang telah

ditetapkan oleh Perusahaan sesuai bidang usahanya.

2. Merencanakan, melaksanakan dan mengendalikan aktivitas

pemasaran dan penjualan produk & jasa sesuai bidang usahanya untuk

mencapai target yang telah ditetapkan oleh perusahaan.


139

3. Merencanakan, melaksanakan dan mengendalikan aktlvitas produksi,

yang rneliputi proses: metal forming, machining, bonding &

composite, special process dan surface treatment.

4. Merencanakan, melaksanakan dan mengendalikan pengadaan material

yang diperlukan sesuai kebutuhannya secara efektif dan efisien.

5. Mengelola dana operasional yang dialokasikan perusahaan secara

efisien dan efektif.

6. Menyusun informasi akuntansi Direktorat Aerostructure dan

melaporkannya secara tepat waktu, tepat saji, dan akurat.

7. Mengelola aset yang dialokasikan Perusahaan secara efisien dan

efektif.

Adapun kinerja unit bisnis sebagai pusat laba pada Direktorat

Aerostructure selama periode 2007-2009 dapt dilihat pada tabel 4.3.

Tabel 4.3
Direktorat Aerostructure
Kinerja Unit Bisnis

Tahun Triwulan Laba/(Rugi) dalam Rp Investasi (Rp) ROI


I 5.782.206.888,11 131,263,482,583.95 4.41%
II 18.713.653.077,31 136,353,349,355.34 13.72%
2007
III 11.261.739.462,83 142,347,283,263.03 7.91%
IV 36.881.048.189,87 159,297,541,174.71 23.15%
I 2.840.401.130,55 171,969,609,262.88 1.65%
II 4.555.445.104,71 188,520,642,902.30 2.42%
2008
III (7.597.898.501,78) 195,089,434,784.89 (3.89%)
IV 1.444.017.431,55 203,346,192,506.02 0.71%
I (14.584.676.577,98) 220,175,743,035.49 (6.62%)
2009 II (21.218.162.477,29) 218,065,149,095.96 (9.73%)
III (64.362.782.695,12) 233,827,532,849.39 (27.53%)
140

IV 2.780.764.007,71 245,117,039,910.67 1.13%


Sumber: Data yang diolah kembali

4.2. Pembahasan Penelitian

4.2.1. Analisis Atas Harga Transfer Pada Direktorat Aerostructure di PT

Dirgantara Indonesia

Harga transfer berdasarkan data penjualan intern dapat dilihat pada tabel

4.4.

Tabel 4.4
Direktorat Aerostructure
Harga Transfer/Unit – Wing Tip Assy
Harga Transfer/Unit Persentase
Tahun Triwulan
(Rp) Kenaikan/Penurunan
I 43.692.787,86
II 44.011.984,83 0.73%
2007
III 45.280.639,54 2.88%
IV 52.631.366,86 16.23%
I 60.180.883,78 14.34%
II 69.925.463,69 16.19%
2008
III 70.070.354,58 0.21%
IV 71.346.359,29 1.82%
I 73.086.979,63 2.44%
II 75.193.506,79 2.88%
2009
III 75.470.354,58 0.37%
IV 78.092.606,79 3.47%
Jumlah 758.983.288,22
Maksimum 78.092.606,79
Minimum 43.692.787,86
Rata-rata 63.248.607,35
Sumber: Data yang diolah kembali

Berdasarkan tabel 4.4 di atas mengenai harga transfer, dapat dilihat bahwa

rata-rata harga transfer periode 2007 – 2009 adalah Rp 63.248.607,35 dengan

jumlah keseluruhan sebesar Rp 758.983.288,22. Selanjutnya, harga transfer paling


141

tinggi terjadi pada Triwulan ke-4 tahun 2009 sebesar Rp 78.092.606,79,

sedangkan harga transfer terendah terjadi pada Triwulan ke-1 tahun 2007 sebesar

Rp 43.692.787,86. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa harga transfer

bergerak positif dimana terjadi kenaikan setiap triwulannya. Hal ini disebabkan

biaya produksi yang mengalami kenaikan setiap periodenya.

Untuk memberikan interpretasi terhadap harga transfer, maka dapat

digunakan kriteria untuk memberikan intepretasi harga transfer. Berdasarkan pada

tabel 3.3 di bab 3, diketahui bahwa besarnya rata-rata harga transfer adalah

sebesar Rp 63.248.607,35, yang artinya harga transfer pada Direktorat

Aerostructure di PT Dirgantara Indonesia adalah “Rendah”. Hasil ini ditunjukkan

berdasarkan kriteria untuk harga transfer dan harga jual di mana nilai rata-rata

harga transfer sebesar Rp 63.248.607,35 berada pada interval 57.733.529,07 -

66.968.063,60.

4.2.2. Analisis Atas Harga Jual pada Direktorat Aerostructure di PT

Dirgantara Indonesia

Harga jual berdasarkan data penjualan ke pihak luar dapat dilihat pada

tabel 4.5.
142

Tabel 4.5
Direktorat Aerostructure
Harga Jual/Unit – Wing Tip Assy
Persentase
Tahun Triwulan Harga Jual/Unit (Rp)
Kenaikan/Penurunan
I 48.498.994,53
II 49.403.452,98 1.86%
2007
III 53.594.164,96 8.48%
IV 62.241.854,45 16.14%
I 72.903.122,61 17.13%
II 84.770.639,63 16.28%
2008
III 85.240.586,34 0.55%
IV 87.078.231,52 2.16%
I 87.623.979,88 0.63%
II 91.495.459,06 4.42%
2009
III 92.111.567,76 0.67%
IV 94.671.667,21 2.78%
Jumlah 909.633.720,93
Maksimum 94.671.667,21
Minimum 48.498.994,53
Rata-rata 75.802.810,08
Sumber: Data yang diolah kembali

Berdasarkan tabel 4.5 di atas mengenai harga jual, dapat dilihat bahwa

rata-rata harga jual periode 2007 – 2009 adalah Rp 75.802.810,08 dengan jumlah

keseluruhan sebesar Rp 909.633.720,93. Selanjutnya, harga jual paling tinggi

terjadi pada Triwulan ke-4 tahun 2009 sebesar Rp 94.671.667,21, sedangkan

harga jual terendah terjadi pada Triwulan ke-1 tahun 2007 sebesar Rp

48.498.994,53. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perkembangan harga

jual bergerak positif dalam hal ini terjadi kenaikan setiap triwulannya. Hal ini

disebabkan biaya produksi yang mengalami kenaikan setiap periodenya.

Untuk memberikan interpretasi terhadap harga jual, maka dapat digunakan

kriteria untuk memberikan intepretasi harga jual. Berdasarkan pada tabel 3.3 di
143

bab 3, diketahui bahwa besarnya rata-rata harga jual adalah sebesar Rp

75.802.810,08, yang artinya harga jual pada Direktorat Aerostructure di PT

Dirgantara Indonesia adalah “Sedang”. Hasil ini ditunjukkan berdasarkan kriteria

untuk harga transfer dan harga jual di mana nilai rata-rata harga jual sebesar Rp

75.802.810,08 berada pada interval 66.968.063,60 - 76.202.598,14.

4.2.3. Analisis Perbedaan Harga Transfer dan Harga Jual pada Direktorat

Aerostructure di PT Dirgantara Indonesia

Analisis Uji beda dilakukan dengan menggunakan Independent Sample T-

test bertujuan untuk membandingkan rata-rata dari dua grup yang tidak

berhubungan satu dengan yang lain, apakah kedua grup tersebut mempunyai rata-

rata yang sama ataukan tidak secara signifikan.

Variabel-variabel yang dibandingkan adalah harga transfer dan harga jual

pada Direktorat Aerostructure di PT Dirgantara Indonesia. Hipotesis yang penulis

ajukan adalah sebagai berikut:

Ho1 : µ1 = µ2 = Harga transfer dan harga jual pada Direktorat Aerostructure di

PT Dirgantara Indonesia adalah sama.

Ha1 : µ1 ≠ µ2 = Harga transfer dan harga jual pada Direktorat Aerostructure di

PT Dirgantara Indonesia adalah tidak sama.

Bedasarkan hasil pengolahan data dengan menggunakan SPSS 13.0, maka

hasilnya dapat dilihat pada tabel 4.6.


144

Tabel 4.6
Uji Beda Rata-rata antara Harga Transfer dan Harga Jual
Independent Samples Test

Levene's
Test for
Equality of
Variances t-test for Equality of Means
95% Confidence
Sig. Interval of the
(2-tail Mean Std. Error Difference
F Sig. t df ed) Difference Difference Lower Upper
Harga Equal variances
1.964 .175 -1.964 22 .062 -12554203 6393614.0 -3E+007 705341.1
assumed
Equal variances
-1.964 20 .063 -12554203 6393614.0 -3E+007 762571.6
not assumed

Berdasarkan tabel 4.6, diperoleh nilai Fhitung untuk harga dengan Equal

Variance Assumed (diasumsi kedua varians sama atau menggunakan pooled

variance t test) adalah 1,964 dengan probabilitas (sig) = 0,175. Oleh karena p >

0,05; maka Ho1 diterima atau kedua varian populasi sama. Pada Equal Variances

Assumed untuk Thitung adalah 1,964 probabilitas (sig) = 0,062. Oleh karena p >

0,05; maka Ho1 diterima atau “Tidak terdapat perbedaan signifikan rata-rata antara

harga jual dengan harga transfer Direktorat Aerostructure di PT Dirgantara

Indonesia”.

4.2.4. Analisis Atas Kinerja Unit Bisnis Sebagai Pusat Laba pada Direktorat

Aerostructure di PT Dirgantara Indonesia

Kinerja unit bisnis sebagai pusat laba berdasarkan data penjualan intern

dapat dilihat pada tabel 4.7.


145

Tabel 4.7
Direktorat Aerostructure
Kinerja Unit Bisnis
Persentase Kenaikan/
Tahun Triwulan Laba/(Rugi) dalam Rp Investasi (Rp) ROI
Penurunan
I 5,782,206,888.11 131,263,482,583.95 4.41%
II 18,713,653,077.31 136,353,349,355.34 13.72% 211.56%
2007
III 11,261,739,462.83 142,347,283,263.03 7.91% -42.35%
IV 36,881,048,189.87 159,297,541,174.71 23.15% 192.64%
I 2,840,401,130.55 171,969,609,262.88 1.65% -92.87%
II 4,555,445,104.71 188,520,642,902.30 2.42% 46.30%
2008
III (7,597,898,501.78) 195,089,434,784.89 -3.89% -261.17%
IV 1,444,017,431.55 203,346,192,506.02 0.71% -118.23%
I (14,584,676,577.98) 220,175,743,035.49 -6.62% -1032.81%
II (21,218,162,477.29) 218,065,149,095.96 -9.73% 46.89%
2009
III (64,362,782,695.12) 233,827,532,849.39 -27.53% 182.89%
IV 2,780,764,007.71 245,117,039,910.67 1.13% -104.12%
Jumlah 7.33%
Maksimum 23.15%
Minimum -27.53%
Rata-rata 0.61%
Sumber: Data yang diolah kembali

Berdasarkan tabel 4.6 di atas mengenai kinerja unit bisnis sebagai pusat

laba yang diukur berdasarkan ROI, dapat dilihat bahwa rata-rata kinerja unit

bisnis sebagai pusat laba periode 2007 – 2009 adalah 0.61% dengan jumlah

keseluruhan sebesar 7.33%. Selanjutnya, kinerja unit bisnis sebagai pusat laba

paling tinggi terjadi pada Triwulan ke-4 tahun 2007 sebesar 23.15%, sedangkan

kinerja unit bisnis sebagai pusat laba terendah terjadi pada Triwulan ke-3 tahun

2009 sebesar -27.53%. Pada triwulan II tahun 2007 terjadi peningkatan ROI

sebesar 211.56% yang disebabkan oleh peningkatan hasil penjualan sehingga laba

bersih meningkat. Pada triwulan IV tahun 2007 peningkatan ROI sebesar

192.64% yang disebabkan peningkatan hasil penjualan sehingga laba bersih


146

meningkat. Untuk triwulan I tahun 2009 terjadi penurunan yang cukup tajam

sebesar -1032.81% yang disebabkan terjadinya pembatalan pemesanan barang

oleh Direktorat Aircraft Integration yang pada saat itu Direktorat Aerostructure

telah melakukan pembelian material sehingga harga pokok produksi meningkat.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perkembangan kinerja unit bisnis

sebagai pusat laba bergerak fluktuatif setiap triwulannya.

Untuk memberikan interpretasi terhadap kinerja unit bisnis sebagai pusat

laba, maka dapat digunakan kriteria untuk memberikan intepretasi kinerja unit

bisnis sebagai pusat laba. Berdasarkan pada tabel 3.5 di bab 3, diketahui bahwa

besarnya rata-rata untuk kinerja unit bisnis sebagai pusat laba adalah sebesar

0.61%, yang artinya kinerja unit bisnis sebagai pusat laba pada Direktorat

Aerostructure di PT Dirgantara Indonesia adalah “Rendah”. Hasil ini ditunjukkan

berdasarkan kriteria untuk kinerja unit bisnis sebagai pusat laba di mana nilai rata-

rata ROI sebesar 0.61% berada pada interval 0.59% - 0.86%.

4.2.5. Analisis Seberapa Besar Pengaruh Harga Transfer Terhadap

Kinerja Unit Bisnis pada Direktorat Aerostructure di PT Dirgantara

Indonesia

1. Uji Normalitas

Uji normalitas dilakukan untuk menguji apakah sampel yang diambil

berasal dari populasi berdistribusi normal atau tidak. Karena akan menggunakan

statistik parametris, maka setiap data pada setiap variabel harus diuji

normalitasnya. Uji normalitas data dilakukan dengan menggunakan test


147

Kolmogorov Smirnov, dasar pengambilan keputusan dilakukan berdasarkan

probabilitas (Asymtotic Significanted), yaitu :

Ho : Sampel diambil dari populasi berdistribusi normal.

Ha : Sampel diambil bukan dari populasi yang berdistribusi normal.

α : 0.05

Kriteria uji : Jika nilai probabilitas (‫ > )݃݅ݏ‬α, maka Ho diterima

Jika nilai Probabilitas (‫ ≤ )݃݅ݏ‬α, maka Ho ditolak

Hasil uji normalitas dengan menggunakan bantuan SPSS 15.0, dapat

dilihat pada tabel 4.7.

Tabel 4.8
Uji Normalitas
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

Kinerja Unit
Bisnis
sebagai
Harga Transfer Harga Jual Pusat Laba
N 12 12 12
Normal Parameters(a,b) Mean 63248607.3517 75802810.0775 .006108
Std. Deviation 13359852.20885 17665048.62484 .1251774
Most Extreme Absolute
.275 .277 .170
Differences
Positive .161 .146 .131
Negative -.275 -.277 -.170
Kolmogorov-Smirnov Z .952 .961 .588
Asymp. Sig. (2-tailed) .325 .314 .879
a Test distribution is Normal.
b Calculated from data.

Dari tabel 4.8 di atas diperoleh nilai signifikansi (Sig) untuk harga

transfer sebesar 0.325 nilai ini lebih besar dari 0.05, maka Ho diterima. Nilai

signifikansi (Sig) untuk harga jual sebesar 0.314 nilai ini lebih besar dari 0.05,

maka Ho diterima. Dan nilai signifikansi (Sig) untuk kinerja unit bisnis
148

sebagai pusat laba sebesar 0.879 nilai ini lebih besar dari 0.05, maka Ho

diterima. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ketiga data pengamatan

berdistribusi normal.

2. Analisis Korelasi Pearson Product Moment

Pada analisis ini akan dijelaskan mengenai tinggi-rendah, kuat-lemah, atau

besar-kecilnya suatu korelasi. Korelasi itu berarti hubungan, begitu pula analisis

korelasi yaitu suatu analisis yang digunakan untuk melihat hubungan antara dua

variabel. Korelasi parsial adalah suatu nilai yang memberikan kuatnya hubungan

dua variabel antara variabel X dengan variabel Y, yang salah satu bagian variabel

bebasnya dianggap konstan atau dibuat tetap.

Berikut ini adalah hasil perhitungan mengenai korelasi parsial antara harga

transfet dengan kinerja unit bisnis sebagai pusat laba dengan menggunakan

software SPSS 13.0, maka hasilnya dapat dilihat pada tabel 4.9.

Tabel 4.9
Analisis Korelasi antara Harga Transfer dengan
Kinerja Unit Bisnis
Correlations(a)

Kinerja Unit
Bisnis
Harga sebagai
Transfer Pusat Laba
Harga Transfer Pearson Correlation 1 -.679(*)
Sig. (2-tailed) .015
Kinerja Unit Bisnis Pearson Correlation -.679(*) 1
sebagai Pusat Laba Sig. (2-tailed)
.015

* Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).


a Listwise N=12

Berdasarkan tabel 4.9 di atas, diperoleh nilai koefisien korelasi antara

harga transfer dengan kinerja unit bisnis sebagai pusat laba sebesar -0,679. Angka
149

tersebut berdasarkan tabel 3.6 di bab 3 menunjukkan korelasi yang “Kuat” karena

berada pada interval 0,60 - 0,799. Adanya tanda (-) di depan angka 0,679

menunjukkan bahwa korelasi memiliki pola negatif atau tidak searah. Dengan

demikian, dapat disimpulakn bahwa semakin tinggi harga transfer, maka akan

menurunkan kinerja unit bisnis sebagai pusat laba.

3. Analisis Regresi Linier Sederhana

Analisis regresi dipergunakan untuk menelaah hubungan antara dua

variabel atau lebih, terutama untuk menelusuri pola hubungan yang modelnya

belum diketahui dengan sempurna, atau untuk mengetahui bagaimana variasi dari

beberapa variabel independen mempengaurhi variabel dependen dalam suatu

fenomena yang kompleks, bertujuan untuk mempelajari hubungan linier antara

dua variabel.

Berikut ini adalah hasil perhitungan mengenai analisis regresi linier

sederhana antara harga transfer dengan kinerja unit bisnis sebagai pusat laba

menggunakan software SPSS 13.0, maka hasilnya dapat dilihat pada tabel 4.10

dan tabel 4.11.


150

Tabel 4.10
Analisis Regresi Linier Sederhana antara Harga Transfer dengan
Kinerja Unit Bisnis
ANOVA(b)

Sum of
Model Squares df Mean Square F Sig.
1 Regression .079 1 .079 8.548 .015(a)
Residual .093 10 .009
Total .172 11
a Predictors: (Constant), Harga Transfer
b Dependent Variable: Kinerja Unit Bisnis sebagai Pusat Laba

Pada table 4.10, nilai F = 8,548 dengan p (Sig) = 0.015. Oleh karena nilai

p < 0,05 maka regresi dapat dipakai untuk memprediksi kinerja unit bisnis sebagai

pusat laba.

Tabel 4.11
Analisis Regresi Linier Sederhana antara Harga Transfer dengan
Kinerja Unit Bisnis
Coefficients(a)
Standardized
Unstandardized Coefficients Coefficients
Model B Std. Error Beta t Sig.
1 (Constant) .408 .140 2.909 .016
Harga Transfer -.0000000063607639 .000 -.679 -2.924 .015
a Dependent Variable: Kinerja Unit Bisnis sebagai Pusat Laba

Berdasarkan tabel 4.11 di atas, dengan nilai B constant dan B harga

transfer, maka diperoleh model regresi sebagai berikut:

Y = 0,408 - 0,0000000063607639 X

Artinya nilai B (koefisien) Constant sebesar 0,408, menunjukkan bahwa

apabila tidak ada variabel harga transfer, maka kinerja unit bisnis sebagai pusat

laba adalah sebesar 0,408. Nilai B (koefisien) variabel harga transfer sebesar -

0,0000000063607639, menunjukkan bahwa setiap peningkatan harga transfer


151

sebesar Rp 1 akan menurunkan kinerja unit bisnis sebagai pusat laba sebesar

0,0000000063607639.

4. Koefisien Determinasi

Koefisien determinasi bertujuan untuk menentukan besarnya kontribusi

suatu variabel independen terhadap variabel dependen. Berikut ini adalah hasil

perhitungan mengenai koefisien determinasi secara parsial antara harga transfer

dengan kinerja unit bisnis sebagai pusat laba dengan menggunakan software SPSS

13.0, maka hasilnya dapat dilihat pada tabel 4.12.

Tabel 4.12
Analisis Koefisien Determinasi antara Harga Transfer
dengan Kinerja Unit Bisnis
Model Summary(b)

Adjusted R Std. Error of


Model R R Square Square the Estimate
1 .679(a) .461 .407 .0963991
a Predictors: (Constant), Harga Transfer
b Dependent Variable: Kinerja Unit Bisnis sebagai Pusat Laba

Besarnya kontribusi variabel harga transfer terhadap kinerja unit bisnis

sebagai pusat laba ditunjukkan dengan besarnya koefisien determinasi (hasil

pengkuadratan dari koefisien korelasi dikali 100%) atau R square. Dari tabel 4.12

di atas dapat terlihat bahwa nilai koefisien determinasi yang dihasilkan adalah

sebesar 0,6792 x 100% = 46,10% artinya bahwa kinerja unit bisnis sebagai pusat

laba dipengaruhi oleh harga transfer sebesar 46,10%, sedangkan sisanya 53,90%

dipengaruhi oleh faktor lain diluar variabel harga transfer seperti intensitas

persaingan pasar dan sistem akuntansi manajemen. Standard error of estimste


152

sebesar 0,0963991 lebih kecil dari standar deviasi sebesar 0,1251774 (lihat

lampiran), maka model regresi layak digunakan.

5. Pengujian Hipotesis

Pengujian hipotesis dilakukan sebagai upaya memperoleh gambaran

mengenai suatu populasi dari sampel. Dengan demikian, informasi dari sampel

digunakan untuk menyusun suatu pendugaan terhadap nilai parameter populasinya

yang tidak diketahui.

Hipotesis yang dirumuskan adalah :

Ho3 : ρ = 0, Harga transfer tidak berpengaruh terhadap kinerja unit bisnis

sebagai pusat laba.

Ha3 : ρ ≠ 0, Harga transfer berpengaruh terhadap kinerja unit bisnis sebagai

pusat laba.

Uji t digunakan untuk menguji pengaruh variabel independen terhadap

variabel dependen terhadap titik bebasnya, dengan membandingkan t tabel dan t

hitung. Bedasarkan hasil pengolahan data dengan menggunakan SPSS 13.0, maka

hasilnya dapat dilihat pada tabel 4.13.

Tabel 4.13
Uji signifikansi t / Coefficients variabel Harga Transfer dengan
Kinerja Unit Bisnis
Coefficients(a)
Standardized
Unstandardized Coefficients Coefficients
Model B Std. Error Beta t Sig.
1 (Constant) .408 .140 2.909 .016
Harga Transfer -.0000000063607639 .000 -.679 -2.924 .015
a Dependent Variable: Kinerja Unit Bisnis sebagai Pusat Laba
153

Berdasarkan tabel 4.12 diatas, nilai thitung untuk variabel harga transfer

adalah -2,924. Dengan dk = 12 – 2 =10, maka nilai ttabel pada taraf kepercayaan

95% (signifikansi 5%) adalah 2,228. Dapat disimpulkan bahwa ±thitung (-2,924) >

±ttabel (2,228), maka H0 ditolak dan Ha1 diterima.

Gambar 4.1

Daerah Penerimaan dan Penolakan Ho (Uji t) variabel Harga Transfer

dengan Kinerja Unit Bisnis

Daerah Penolakan H0 Daerah Penolakan H0

Daerah Penerimaan H0

thitung (-2,924) - ttabel (-2,228) 0 + ttabel (2,228)

Dengan demikian hipotesis yang penulis ajukan diterima yaitu: “Tedapat

pengaruh signifikan harga transfer terhadap kinerja unit bisnis sebagai pusat laba”.

4.2.6. Analisis Seberapa Besar Pengaruh Harga Jual Terhadap Kinerja

Unit Bisnis pada Direktorat Aerostructure di PT Dirgantara Indonesia

1. Analisis Korelasi Pearson Product Moment

Pada analisis ini akan dijelaskan mengenai tinggi-rendah, kuat-lemah, atau

besar-kecilnya suatu korelasi. Korelasi itu berarti hubungan, begitu pula analisis

korelasi yaitu suatu analisis yang digunakan untuk melihat hubungan antara dua

variabel. Korelasi parsial adalah suatu nilai yang memberikan kuatnya hubungan
154

dua variabel antara variabel X dengan variabel Y, yang salah satu bagian variabel

bebasnya dianggap konstan atau dibuat tetap.

Berikut ini adalah hasil perhitungan mengenai korelasi parsial antara harga

jual dengan kinerja unit bisnis sebagai pusat laba dengan menggunakan software

SPSS 13.0, maka hasilnya dapat dilihat pada tabel 4.14.

Tabel 4.14
Analisis Korelasi antara Harga Jual dengan
Kinerja Unit Bisnis
Correlations(a)

Kinerja Unit
Bisnis
sebagai
Harga Jual Pusat Laba
Harga Jual Pearson Correlation 1 -.675(*)
Sig. (2-tailed) .016
Kinerja Unit Bisnis Pearson Correlation -.675(*) 1
sebagai Pusat Laba Sig. (2-tailed)
.016

* Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).


a Listwise N=12

Berdasarkan tabel 4.14 di atas, diperoleh nilai koefisien korelasi antara

harga transfer dengan kinerja unit bisnis sebagai pusat laba sebesar -0,675. Angka

tersebut berdasarkan tabel 3.5 di bab 3 menunjukkan korelasi yang “Kuat” karena

berada pada interval 0,60 - 0,799. Adanya tanda (-) di depan angka 0,675

menunjukkan bahwa korelasi memiliki pola negatif atau tidak searah. Dengan

demikian, dapat disimpulakn bahwa semakin tinggi harga jual, maka akan

menurunkan kinerja unit bisnis sebagai pusat laba.


155

2. Analisis Regresi Linier Sederhana

Analisis regresi dipergunakan untuk menelaah hubungan antara dua

variabel atau lebih, terutama untuk menelusuri pola hubungan yang modelnya

belum diketahui dengan sempurna, atau untuk mengetahui bagaimana variasi dari

beberapa variabel independen mempengaurhi variabel dependen dalam suatu

fenomena yang kompleks, bertujuan untuk mempelajari hubungan linier antara

dua variabel.

Berikut ini adalah hasil perhitungan mengenai analisis regresi linier

sederhana antara harga jual dengan kinerja unit bisnis sebagai pusat laba

menggunakan software SPSS 13.0, maka hasilnya dapat dilihat pada tabel 4.15

dan tabel 4.16.

Tabel 4.15
Analisis Regresi Linier Sederhana antara Harga Jual dengan
Kinerja Unit Bisnis
ANOVA(b)

Sum of
Model Squares df Mean Square F Sig.
1 Regression .079 1 .079 8.384 .016(a)
Residual .094 10 .009
Total .172 11
a Predictors: (Constant), Harga Jual
b Dependent Variable: Kinerja Unit Bisnis sebagai Pusat Laba

Pada tabel 4.15, nilai F = 8,384 dengan p (Sig) = 0.016. Oleh karena nilai

p < 0,05 maka regresi dapat dipakai untuk memprediksi kinerja unit bisnis sebagai

pusat laba.
156

Tabel 4.16
Analisis Regresi Linier Sederhana antara Harga Jual dengan
Kinerja Unit Bisnis
Coefficients(a)

Standardized
Model Unstandardized Coefficients Coefficients

B Std. Error Beta t Sig.


1 (Constant) .369 .128 2.874 .017
Harga Jual -.0000000047853702 .000 -.675 -2.895 .016
a Dependent Variable: Kinerja Unit Bisnis sebagai Pusat Laba

Berdasarkan tabel 4.16 di atas, dengan nilai B constant dan B harga

transfer, maka diperoleh model regresi sebagai berikut:

Y = 0,369 - 0,0000000047853702 X

Artinya nilai B (koefisien) Constant sebesar 0,369, menunjukkan bahwa

apabila tidak ada variabel harga transfer, maka kinerja unit bisnis sebagai pusat

laba adalah sebesar 0,369. Nilai B (koefisien) variabel harga transfer sebesar -

0,0000000047853702, menunjukkan bahwa setiap peningkatan harga transfer

sebesar Rp 1 akan menurunkan kinerja unit bisnis sebagai pusat laba sebesar

0,0000000047853702.

3. Koefisien Determinasi

Koefisien determinasi bertujuan untuk menentukan besarnya kontribusi

suatu variabel independen terhadap variabel dependen. Berikut ini adalah hasil

perhitungan mengenai koefisien determinasi parsial antara harga jual dengan

kinerja unit bisnis sebagai pusat laba dengan menggunakan software SPSS 13.0,

maka hasilnya dapat dilihat pada tabel 4.17.


157

Tabel 4.17
Analisis Koefisien Determinasi Parsial antara Harga Jual dengan
Kinerja Unit Bisnis
Model Summary(b)

Adjusted R Std. Error of


Model R R Square Square the Estimate
1 .675(a) .456 .402 .0968286
a Predictors: (Constant), Harga Jual
b Dependent Variable: Kinerja Unit Bisnis sebagai Pusat Laba

Besarnya kontribusi variabel harga jual terhadap kinerja unit bisnis sebagai

pusat laba ditunjukkan dengan besarnya koefisien determinasi (hasil

pengkuadratan dari koefisien korelasi dikali 100%) atau R square. Dari tabel 4.16

di atas dapat terlihat bahwa nilai koefisien determinasi yang dihasilkan adalah

sebesar 0,6752 x 100% = 45,60% artinya bahwa kinerja unit bisnis sebagai pusat

laba dipengaruhi oleh harga jual sebesar 45,60%, sedangkan sisanya 54,40%

dipengaruhi oleh faktor lain diluar variabel harga jual seperti intensitas

persaingan pasar dan sistem akuntansi manajemen. Standard error of estimste

sebesar 0,0968286 lebih kecil dari standar deviasi sebesar 0,1251774 (lihat

lampiran), maka model regresi layak digunakan.

4. Pengujian Hipotesis

Pengujian hipotesis dilakukan sebagai upaya memperoleh gambaran

mengenai suatu populasi dari sampel. Dengan demikian, informasi dari sampel

digunakan untuk menyusun suatu pendugaan terhadap nilai parameter populasinya

yang tidak diketahui.

Hipotesis yang dirumuskan adalah :

Ho2 : ρ = 0, Harga jual tidak berpengaruh terhadap kinerja unit bisnis sebagai

pusat laba.
158

Ha2 : ρ ≠ 0, Harga jual berpengaruh terhadap kinerja unit bisnis sebagai pusat

laba.

Uji t digunakan untuk menguji pengaruh variabel independen terhadap

variabel dependen terhadap titik bebasnya, dengan membandingkan t tabel dan t

hitung. Bedasarkan hasil pengolahan data dengan menggunakan SPSS 13.0, maka

hasilnya dapat dilihat pada tabel 4.18.

Tabel 4.18
Uji signifikansi t / Coefficients variabel Harga Jual dengan
Kinerja Unit Bisnis
Coefficients(a)

Standardized
Model Unstandardized Coefficients Coefficients

B Std. Error Beta t Sig.


1 (Constant) .369 .128 2.874 .017
Harga Jual -.0000000047853702 .000 -.675 -2.895 .016
a Dependent Variable: Kinerja Unit Bisnis sebagai Pusat Laba

Berdasarkan tabel 4.18 diatas, nilai thitung untuk variabel harga jual adalah -

2,895. Dengan dk = 12 – 2 =10, maka nilai ttabel pada taraf kepercayaan 95%

(signifikansi 5%) adalah 2,228. Dapat disimpulkan bahwa ±thitung (-2,895) > ±ttabel

(2,228), maka H0 ditolak dan Ha2 diterima.

Gambar 4.2
Daerah Penerimaan dan Penolakan Ho (Uji t) variabel Harga Jual dengan
Kinerja Unit Bisnis

Daerah Penolakan H0 Daerah Penolakan H0

Daerah Penerimaan H0

thitung (-2,895) - ttabel (-2,228) 0 + ttabel (2,228)


159

Dengan demikian hipotesis yang penulis ajukan diterima yaitu: “Tedapat

pengaruh signifikan harga jual terhadap kinerja unit bisnis sebagai pusat laba”.
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan data penelitian yang telah diperoleh dari Direktorat

Aerostructure di PT Dirgantara Indonesia, melalui observasi (observation) dan

dokumentasi (documentation) yang berkaitan dengan harga transfer, harga jual

dan kinerja unit bisnis sebagai pusat laba, maka penulis dapat menarik

kesimpulan sebagai berikut:

1. Harga transfer pada Direktorat Aerostructure di PT Dirgantara Indonesia

pertriwulan selama tahun 2007 – 2009 (12 triwulan) adalah “Rendah”. Hasil

ini ditunjukkan berdasarkan kriteria untuk harga transfer dan harga jual yang

dalam hal ini nilai rata-rata harga transfer sebesar Rp 63.248.607,35 berada

pada interval Rp 57.733.529,07 – Rp 66.968.063,60.

2. Harga jual pada Direktorat Aerostructure di PT Dirgantara Indonesia

pertriwulan selama tahun 2007 – 2009 (12 triwulan) adalah “Sedang”. Hasil

ini ditunjukkan berdasarkan kriteria untuk harga transfer dan harga jual yang

dalam hal ini nilai rata-rata harga jual sebesar Rp 75.802.810,08 berada pada

interval Rp 66.968.063,60 – Rp 76.202.598,14.

3. Perbedaan antara harga transfer dengan harga jual berdasarkan Thitung adalah

1,964 dengan probabilitas (sig) = 0,062. Oleh karena p > 0,05; maka Ho1

160
161

diterima atau “Harga Transfer tidak berbeda dengan Harga Jual” pada

Direktorat Aerostructure di PT Dirgantara Indonesia”.

4. Kinerja unit bisnis pada Direktorat Aerostructure di PT Dirgantara Indonesia

pertriwulan selama tahun 2007 – 2009 (12 triwulan) adalah “Rendah”. Hasil

ini ditunjukkan berdasarkan kriteria untuk kinerja unit bisnis sebagai pusat

laba yang dalam hal ini nilai rata-rata ROI sebesar 0.61% berada pada interval

0.59% - 0.86%.

5. Besarnya pengaruh harga transfer terhadap kinerja unit bisnis pada Direktorat

Aerostructure di PT Dirgantara Indonesia ditunjukkan berdasarkan koefisien

determinasi yaitu sebesar 46,10%. Artinya bahwa kinerja unit bisnis sebagai

pusat laba pada Direktorat Aerostructure di PT Dirgantara Indonesia

dipengaruhi oleh harga transfer sebesar 46,10%. Sedangkan sisanya 53,90%

dipengaruhi oleh faktor lain diluar variabel harga transfer seperti intensitas

kompetisi pasar dan informasi sistem akuntansi manajemen. Pengaruh harga

transfer terhadap kinerja unit bisnis memiliki hubungan yang ”Kuat”, hal ini

ditunjukan dari koefisien korelasi sebesar -0,679. Adanya tanda (-) di depan

angka 0,679 menunjukkan bahwa korelasi memiliki pola negatif atau tidak

searah. Dengan demikian, dapat disimpulakn bahwa semakin tinggi harga

transfer, maka akan menurunkan kinerja unit bisnis sebagai pusat laba. Nilai

±thitung (-2,924) > ±ttabel (2,228), maka Ho3 ditolak dan Ha3 diterima yang

artinya hipotesis yang penulis ajukan diterima yaitu: “Tedapat pengaruh

signifikan harga transfer terhadap kinerja unit bisnis sebagai pusat laba”.
162

6. Besarnya pengaruh harga jual terhadap kinerja unit bisnis pada Direktorat

Aerostructure di PT Dirgantara Indonesia ditunjukkan berdasarkan koefisien

determinasi yaitu sebesar 45,60%. Artinya bahwa kinerja unit bisnis sebagai

pusat laba pada Direktorat Aerostructure di PT Dirgantara Indonesia

dipengaruhi oleh harga jual sebesar 45,60%. Sedangkan sisanya 54,40%

dipengaruhi oleh faktor lain diluar variabel harga jual seperti intensitas

kompetisi pasar dan informasi sistem akuntansi manajemen. Pengaruh harga

jual terhadap kinerja unit bisnis memiliki hubungan yang ”Kuat”, hal ini

ditunjukan dari koefisien korelasi sebesar -0,675. Adanya tanda (-) di depan

angka 0,675 menunjukkan bahwa korelasi memiliki pola negatif atau tidak

searah. Dengan demikian, dapat disimpulakn bahwa semakin tinggi harga jual,

maka akan menurunkan kinerja unit bisnis sebagai pusat laba. Nilai ±thitung (-

2,895) > ±ttabel (2,228), maka Ho2 ditolak dan Ha2 diterima yang artinya

hipotesis yang penulis ajukan diterima yaitu: “Tedapat pengaruh signifikan

harga jual terhadap kinerja unit bisnis sebagai pusat laba”.

5.2. Saran

5.2.1. Saran untuk Direktorat Aerostructure di PT Dirgantara Indonesia

Berdasarkan kesimpulan dan pembahasan dari bab-bab sebelumnya,

penulis memberikan beberapa saran yang diharapkan dapat bermanfaat dan dapat

dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi perusahaan, antara lain:

a. Berdasarkan kesimpulan, harga transfer berada pada kriteria “Rendah”. Yang

dalam hal ini nilai rata-rata harga transfer sebesar Rp 63.248.607,35 berada
163

pada interval Rp 57.733.529,07 – Rp 66.968.063,60. Dengan demikian

sebaiknya dalam penentuan harga transfer PT Dirgantara Indonesia membuat

kebijakan yang dalam hal ini divisi pembeli dan divisi penjual harus

menyepakati dasar yang akan dipakai sebagai landasan penentuan harga

barang atau jasa yang ditransfer antar divisi tersebut yang tidak boleh

merugikan salah satu pihak dan juga meningkatakan harga transfer dengan

cara menaikan besarnya profit didalam penentuan harga transfer. Jika harga

pasar tidak dapat diterapkan, sehingga digunakan metode biaya ditambah laba,

hendaknya disusun prosedur administratif yang adil agar divisi yang terlibat,

yaitu divisi penjual dan divisi pembeli, diberikan kesempatan untuk

merundingkan biaya dan laba yang akan ditransfer. Hal ini dimaksudkan untuk

mendorong efisiensi, sehingga harga transfer lebih optimal.

b. Berdasarkan kesimpulan, kinerja unit bisnis yang diukur dengan ROI berada

pada kriteria “Rendah”. Yang dalam hal ini nilai rata-rata ROI sebesar 0.61%

berada pada interval 0.59% - 0.86%. Dengan demikian sebaiknya PT

Dirgantara Indonesia menigkatkan ROI dengan cara meningkatkan besarnya

laba, atau menurunkan besarnya total aset dengan cara mengeluarkan aktiva

yang tidak produktif, ataupun kedua-duanya. Adapun cara lainnya dengan

meningkatakan besarnya profit margin, atau meningkatkan perputaran

aktivanya, atau kedua-duanya.


164

5.2.2. Saran Untuk Peneliti Selanjutnya

Penelitian ini tentunya tidak lepas dari kesalahan dan kelemahan. Penulis

memberikan beberapa saran. Hal ini ditunjukan berdasarkan kelemahan-

kelemahan penulis dalam penelitian ini yaitu:

1. Penulis hanya meneliti mengenai harga transfer dan harga jual untuk satu

produk saja.

2. Penulis hanya meneliti pada 1 (satu) perusahaan saja, karena keterbatasan

waktu dan dana.

Maka penulis memberikan beberapa saran untuk peneliti selanjutnya agar

penelitian selanjutnya dapat lebih baik lagi yaitu:

1. Memperluas penelitian tidak hanya untuk harga transfer dan harga jual untuk

satu produk saja, namun untuk produk lainnya. Dan juga faktor-faktor lain

yang mempengaruhi kinerja unit bisnis sebagai pusat laba seperti intensitas

persaingan pasar dan sistem akuntansi manajemen.

2. Melakukan penelitian di beberapa perusahaan, supaya terlihat dengan jelas

perbedaan pelaksanaan harga transfer dan harga jual di perusahaan-perusahaan

tersebut serta bagaimana pengaruhnya terhadap kinerja unit bisnis sebagai

pusat laba, sehingga hasil penelitian lebih mewakili objek yang diteliti.
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah., Mochamad Arif (2004), Pengaruh Penerapan Harga Transfer


Terhadap Kinerja Suatu Unit Usaha Sebagai Pusat Laba (Studi Kasus
Pada PT Bank X Unit Bisnis Bandung), Skripsi, UNPAD, Bandung.

Anthony, Robert N., Vijay Govindarajan, (2008), Sistem Pengendalian


Manajemen, Buku 1, ed. 11, Alih Bahasa: Drs. F.X. Kurniawan T.M.Si,
Ak, Salemba empat, Jakarta.

Carter, William K., Milton F Usry, (2005), Cost Accounting, Buku 2, ed. 13, Alih
Bahasa : Krista S.E., Ak, Salemba Empat, Jakarta.

Cools, Martine., Regine Slagmulder, (2005), Transfer Pricing Systems and


Performance Measurement in Multinational Enterprises, Presented at
the 4th EIASM Conference on New Directions in Management
Accounting and the MAS Mid-Year Meeting, [online]. Tersedia:
www.rsm.nl/portal/page/portal/RSM2/attachments/pdf1/050503Cools.pdf.
[10 Maret 2010].

Ekatherina O.K., (2008), Analisis Pengaruh Harga Jual Produk Terhadap


Profitabilitas Perusahaan Pada PT. Mega Eltra (Persero) Cabang
Medan, Skripsi, USU, Medan.

Faisal, (2006), Analisis Pengaruh Intensitas Persaingan dan Variabel


Kontekstual Terhadap Penggunaan Informasi Sistem Akuntansi
Manajemen dan Kinerja Unit Bisnis dengan Pendekatan Partial Least
Square, Simposium Nasional Akuntansi 9, Padang.

Faisal, Tri Jatmiko Wahyu Prabowo, (2005), Pengaruh Intensitas Persaingan


Pasar Terhadap Penggunaan Informasi Benchmarking dan
Monitoring dan Kinerja Manajer Unit Bisnis, Jurnal Bisnis dan
Akuntansi, 7, 3, 257-271.
Fitrianita, Mardiana., (2008), Analisis Pengaruh Harga Transfer Terhadap
Profitabilitas Divisi Mesin Industri dan Jasa PT Pindad (Persero),
Skripsi, UNPAD, Bandung.

165
166

Garmana, Gagan., (2004), Pengaruh Harga Transfer Terhadap Profitabilitas


Unit Usaha (Studi Verifikatif Pada Divisi Tempa dan Cor PT Pindad),
Skripsi, UNPAD, Bandung.

Halim, Abdul., Ahmad Tjahjono, Muh. Fakhri Husein, (2000), Sistem


Pengendalian Manajemen, UPP AMP YKPN, Yogyakarta.

Imron, Moch., (2003), Pengaruh Ketidakpastian Lingkungan dan Strategi


Bisnis Terhadap Hubungan Antara Karakteristik Informasi Sistem
Akuntansi Manajemen Broadscope dengan Kinerja Unit Bisnis
Strategis, Tesis, UNDIP, Semarang.

Junita, Juyun., (2004), Pengaruh Harga Transfer (Transfer Price) Terhadap


Return On Investment (ROI), Skipsi, UNPAS, Bandung.

Kurnia, (2002), Pengaruh Desain Organisasional dan Locus Of Control


Terhadap Perilaku Manipulatif dalam Penetapan Harga Transfer:
Sebuah Eksperimen Semu, JAAI, 6, 1, 21-45.

Obreja, Student Camelia., (2008), The Role Of Responsibility Centers In The


Overall Performance Of The Entity, The Annals of The "Ştefan cel Mare"
University Suceava. Fascicle of The Faculty of Economics and Public
Administration, No. 8, 162-169.

Mulyadi, (2001), Akuntansi Manajemen: Konsep, Manfaat dan Rekayasa, ed.


3, Salemba empat, Jakarta.

Mulyani, Sri., (2006), Pengaruh Harga Transfer Terhadap Kinerja Unit


Usaha Sebagai pusat Laba Pada PT Pindad (Persero), Skripsi,
UNPAD, Bandung.

Rahmayawaty, Siska., (2004), Pengaruh Penerapan Harga Transfer Terhadap


Perhitungan Harga Jual, Skripsi, UNPAS, Bandung.

Santoso, Iman., (2004), Advance Pricing Agreement dan Problematika Transfer


Pricing dari Prespektif Perpajakan Indonesia, JURNAL AKUNTANSI
& KEUANGAN, 6, 2, 123-139.
167

Sugiyono, (2008), Metode Penelitian Bisnis, Cetakan Keempat, CV.Alfabeta,


Bandung.

Susanto, Yulius Kurnia., Gudono, (2007), Pengaruh Intensitas Kompetisi Pasar


Terhadap Hubungan Antara Hubungan Penggunaan Informasi
Sistem Akuntansi Manajemen dan Kinerja Unit Bisnis dan Kepuasan
Kerja, Jurnal Bisnis dan Akuntansi, 9, 3, 177-198.

Supriyono, R.A., (2000), Sistem Pengendalian Manajemen, Buku 1, ed. 1,


BPFE, Yogyakarta.

Syamsuddin, Lukman., (2004), Manajemen Keuangan Perusahaan: Konsep


Aplikasi dalam: Perencanaan, Pengawasan, dan Pengambilan
Keputusan, ed. Baru, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta.

Tjiptono, Fandy., (1997), Strategi Pemasaran, ed. 2, ANDI, Yogyakarta.

Sumber lain :

http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2010/06/general-appliance-corporation/

http://aa-multimedia.blogspot.com/2009/04/pengembangan-sistem
multimedia.html

You might also like