You are on page 1of 17

Kata pengantar

Subhanallah rabbul’alamin yang telah mengutus Rasulullah SAW untuk


menyampaikan firman-firman-NYA dan sabda Rasul-NYA kemudian menjadi dua sumber
cahaya kebenaran dalam perjalanan hidup manusia hingga akhir zaman. Salawat serta salam
kita sampaikan kepada nabi Muhammad saw, para sahabat, keluarga dan para pengikutnya
hingga akhir zaman.

Dalam makalah sederhana ini, kami akan memaparkan tentang bagaimana ADAT
ISTIADAT DALAM PERGAULAN ORANG MELAYU. Tata aturan tentang bagaimana
seharusnya orang melayu bergaul dan bersikap sesuai aturan.

Kami sadar akan tidak sempurnanya makalah kami ini, tidak ada gading yang tak
retak dan tak ada manusia yang sempurna kecuali Rasulullah SAW. Untuk itu kami
mengharapkan kritik dan juga saran untuk dapat memperkuat dan mebangun agar lebih baik
kedepannya.

Kiranya cukup banyak pihak yang membantu penulis untuk menyelesaikan makalah
ini. Kepada dosen pembibmbing, teman. Kepada mereka itu, selain penulis mengucapkan
terima kasih dan penghargaan, juga sekaligus mohon maaf.

Akhirnya, rasa syukur kepada allah dan doa. Semoga makalah ini berguna dan
membawa mamfaat pada pembaca. Amin.

Pekanbaru, 17-10-2010

Penulis

Rahmat Saleh

1
Daftar isi

Kata pengantar................................................................................................................................1

Daftar isi.........................................................................................................................................2

PENDAHULUAN..........................................................................................................................3

PEMBAHASAN............................................................................................................................4

1. Pengertian “Adat” Secara Umum...............................................................................................4

.2.Adat Dalam Masyarakat Melayu Riau........................................................................................5

4. Adat-Istiadat Dalam Pergaulan Orang Melayu Di Riau..............................................................9

PENUTUP....................................................................................................................................17

2
PENDAHULUAN

Orang Melayu menetapkan identitasnya dengan tiga ciri pokok, yaitu berbahasa
Melayu, beradat-istiadat Melayu, dan beragama Islam. Dalam makalah ini, penulis akan
mengemukakan beberapa hal pokok yang berkaitan dengan adat istiadat Melayu Riau.

Sejak dulu segala ketentuan adat-istiadat disampaikan dari satu generasi ke generasi
berikutnya secara lisan. Saat ini ketentuan adat yang disampaikan hanya terbatas pada adat
sopan-santun saja. Padahal adat itu tidak hanya sebatas adat sopan-santun saja. Untuk dapat
memahami adat-istiadat yang berlaku dalam pergaulan, perlu diketahui sumbernya terlebih
dahulu, yaitu adat yang disebut “adat yang sebenar adat”. Sebelumnya, akan dibahas
pengertian adat.

3
PEMBAHASAN

1. Pengertian “Adat” Secara Umum

Dalam Ensiklopedi Umum, kata “adat” diartikan sebagai:Aturan-aturan tentang


beberapa segi kehidupan manusia yang tumbuh dari usaha orang dalam suatu daerah yang
terbentuk di Indonesia sebagai kelompok sosial untuk mengatur tata tertib tingkah-laku
anggota masyarakatnya. Di Indonesia, aturan-aturan tentang segi kehidupan manusia itu
menjadi aturan hukum yang mengikat dan disebut hukum adat (Yayasan Kanisius, 1973).

Pengertian adat di sini sangat terbatas, karena hanya berupa aturan-aturan tentang
beberapa segi kehidupan. Hal ini berbeda dengan pendapat Prof. Dr. J. Prins yang
mengatakan, “De adat overheerste tot voor kort alle terrein van het leven juist wat de
plichtenleer idealiter beoogt te doen” (Prins, 1954). Pendapat Prins ini lebih mendekati
pengertian yang sebenarnya, karena ia mengatakan bahwa adat meliputi semua segi
kehidupan dan hanya untuk jangka waktu yang singkat.

Pengertian adat di Riau sendiri adalah ketentuan-ketentuan yang mengatur tingkah-


laku dan hubungan antara anggota masyarakat dalam segala segi kehidupan. Oleh karena itu,
adat merupakan hukum tidak tertulis dan sekaligus sebagai sumber hukum. Sebelum hukum
Barat masuk ke Indonesia, adat adalah satu-satunya hukum rakyat yang kemudian
disempurnakan dengan hukum Islam, sehingga disebut “adat bersendikan syarak”.
Menyatunya adat Melayu dengan hukum syarak diperkirakan terjadi setelah Islam masuk ke
Malaka pada akhir abad ke-14, sebagaimana diungkapkan Tonel (1920):

Adat Melayu pada mulanya berpangkal pada adat-istiadat Melayu yang digunakan dalam
negeri Tumasik, Bintan, dan Malaka. Pada zaman Malaka, adat itu menjadi Islam karena
rajanya pun telah memeluk Islam

4
2.Adat Dalam Masyarakat Melayu Riau

Adat yang berlaku dalam masyarakat Melayu di Riau bersumber dari Malaka dan
Johor, karena dahulu Malaka, Johor, dan Riau merupakan Kerajaan Melayu dan adatnya
berpunca dari istana, seperti disebutkan Tonel (1920) dalam bagian lain seperti berikut:

Maka segala adat-istiadat Melayu itu pun sah menurut syarak Islam dan syariat Islam. Adat-
istiadat itulah yang turun-temurun berkembang sampai ke negeri Johor, negeri Riau, negeri
Indragiri, negeri Siak, negeri Pelalawan, dan sekalian negeri orang Melayu adanya. Segala
adat yang tidak bersendikan syariat Islam salah dan tidak boleh dipakai lagi. Sejak itu, adat-
istiadat Melayu disebut adat bersendi syarak yang berpegang kepada kitab Allah dan sunah
Nabi.

Adat Melayu di Riau dapat dibagi dalam tiga tingkatan, yaitu adat sebenar adat, adat yang
diadatkan, dan adat yang teradat

a. Adat Sebenar Adat

Yang dimaksud dengan “adat sebenar adat” adalah prinsip adat Melayu yang tidak
dapat diubah-ubah. Prinsip tersebut tersimpul dalam “adat bersendikan syarak”. Ketentuan-
ketentuan adat yang bertentangan dengan hukum syarak tidak boleh dipakai lagi dan hukum
syaraklah yang dominan. Dalam ungkapan dinyatakan:

Adat berwaris kepada Nabi


Adat berkhalifah kepada Adam
Adat berinduk ke ulama
Adat bersurat dalam kertas
Adat tersirat dalam sunah
Adat dikungkung kitabullah

Itulah adat yang tahan banding


Itulah adat yang tahan asak

Dari ungkapan diatas maka kita dapat melihat betapa eratnya adat melayu dengan
Islam. Dasar adat Melayu menghendaki sunah Nabi dan Al Quran sebagai sandarannya.
Prinsip itu tidak dapat diubah, tidak dapat dibuang, apalagi dihilangkan, itulah yang disebut
“adat sebenar adat”

5
.b. Adat yang Diadatkan

“Adat yang diadatkan” adalah adat yang dibuat oleh penguasa pada suatu kurun waktu
dan adat itu terus berlaku selama tidak diubah oleh penguasa berikutnya. Adat ini dapat
berubah-ubah sesuai dengan situasi dan perkembangan zaman, sehingga dapat disamakan
dengan peraturan pelaksanaan dari suatu ketentuan adat. Perubahan terjadi karena
menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman dan perkembangan pandangan pihak
penguasa, seperti kata pepatah “Sekali air bah, sekali tepian beralih”.

Panuti H. M. Sujiman (1983) menyebutkan syarat dan sifat manusia yang baik dan ideal
berdasarkan pandangan adat Melayu adalah sebagai berikut:

Adapun syarat menjadi raja sekurang-kurangnya memenuhi empat perkara, pertama


tua hati betul, kedua bermuka manis, ketiga berlidah fasih, dan keempat bertangan
murah. Demikian syarat bagi semua raja. Hukum terdiri atas empat perkara juga,
pertama hukum yang adil, kedua hukum mengasihani, ketiga hukum kekerasan, dan
keempat berani.

Selanjutnya petuah-petuah yang diajarkan oleh Raja Ali Haji dalam Gurindam Dua
Belas juga memberikan bimbingan bagi anggota masyarakat Melayu tentang seharusnya
orang Melayu bersikap dan bertingkah-laku sesuai dengan yang diinginkan oleh adat Melayu.
Gurindam Dua Belas memuat dua belas pasal. Sebagai gambaran, berikut kutipan pasalnya:

Pasal lima

Jika hendak mengenal orang yang berbangsa


Lihat kepada budi dan bahasa
Jika hendak mengenal orang yang berbahagia
sangat memeliharakan yang sia-sia

Jika hendak mengenal orang yang mulia


Lihat kepada kelakuan dia
Jika hendak mengenal orang berilmu
bertanya dan belajar tidaklah jemu

6
Jika hendak mengenal orang yang berakal
di dalam dunia mengambil bekal
Jika hendak mengenal orang yang baik perangai
Lihat kepada ketika bercampur dengan orang ramai

Dalam perjalanan sejarah adat-istiadat Melayu, “adat yang diadatkan” mengalami


berbagai perubahan dan variasi. Hampir dapat dipastikan bahwa adat ini merupakan adat
yang paling banyak ragamnya, sesuai dengan wilayah tumbuh dan berkembangnya. “Adat
yang diadatkan” yang terdapat di daerah Riau beragam, karena di daerah Riau pernah
terdapat kerajaan-kerajaan yang tersebar dari kepulauan sampai ke hulu-hulu sungai. Setiap
kerajaan tentu mempunyai corak dan variasinya yang disesuaikan dengan kondisi dan latar
belakang sejarah, serta pengaruh yang masuk ke sana.

Jika “adat yang diadatkan” di seluruh wilayah Provinsi Riau dibahas secara
mendalam, akan dijumpai perbedaan dan persamaan antara kerajaan-kerajaan tersebut. Akan
tetapi, perbedaannya hanya terbatas dalam masalah “tingkat adat” saja, sedangkan “adat
sebenar adat” tetap sama. Demikian pula dengan ketentuan-ketentuan dalam upacara, seperti
dalam upacara nikah kawin, upacara yang menyangkut daur hidup, dan sebagainya.

c. Adat yang Teradat

Adat ini merupakan konsensus bersama yang dirasakan baik, sebagai pedoman dalam
menentuhan sikap dan tindakan dalam menghadapi setiap peristiwa dan masalah-masalah
yang dihadapi oleh masyarakat. Konsensus itu dijadikan pegangan bersama, sehingga
merupakan kebiasaan turun-temurun. Oleh karena itu, “adat yang teradat” ini pun dapat
berubah sesuai dengan nilai-nilai baru yang berkembang. Tingkat adat nilai-nilai baru yang
berkembang ini kemudian disebut sebagai tradisi. Dalam ungkapan disebutkan:

Adat yang teradat


Datang tidak bercerita
Pergi tidak berkabar
Adat disarung tidak berjahit
Adat berkelindan tidak bersimpul
Adat berjarum tidak berbenang
Yang terbawa burung lalu
Yang tumbuh tidak ditanam
7
Yang kembang tidak berkuntum
Yang bertunas tidak berpucuk
Adat yang datang kemudian
Yang diseret jalan panjang
Yang betenggek di sampan lalu
Yang berlabuh tidak bersauh
Yang berakar berurat tunggang

Itulah adat sementara


Adat yang dapat dialih-alih
Adat yang dapat ditukar salin

Pelanggaran terhadap adat ini sanksinya tidak seberat kedua tingkat adat yang
disebutkan di atas. Jika terjadi pelanggaran, maka orang yang melanggar hanya ditegur atau
dinasihati oleh pemangku adat atau orang-orang yang dituakan dalam masyarakat. Namun, si
pelanggar tetap dianggap sebagai orang yang kurang adab atau tidak tahu adat. Ketentuan
adat ini biasanya tidak tertulis, sehingga pengukuhannya dilestarikan dalam ungkapan yang
disebut “pepatah adat” atau “undang adat”. Apabila terjadi kasus, maka diadakan
musyawarah. Dalam musyawarah digunakan “ungkapan adat” yang disebut “bilang undang”.
Hal ini dijelaskan dalam ungkapan berikut:

Rumah ada adatnya


Tepian ada bahasanya
Tebing ditingkat dengan undang
Negeri dihuni dengan lembaga
Kampung dikungkung dengan adat
Kayu besar berkayu kecil
Kayu kecil beranak laras
Laut seperintah raja
Rantau seperintah datuk
Luhak seperintah penghulu
Ulayat seperintah batin
Anak rumah tangga rumah
Berselaras tangga turun
Bertelaga tangga naik
Pusaka banyak pusaka
Pusaka di atas tumbuh
Hilang adat karena dibuat
Hilang lembaga karena diikat

Selanjutnya “bilang undang” itu mempunyai sifat-sifat petunjuk, seperti yang tersirat dalam
ungkapan berikut:

Hukum sipalu palu ular


8
Ular dipalu tidak mati
Kayu pemalu tidak patah
Rumput dipalu tidak layu
Tanah terpalu tidak lembang
Hukum jatuh benar terletak
Gelak berderai timbal balik
Undang menarik rambut dalam tepung
Rambut ditarik tidak putus
Tepung tertarik tidak berserak
Minta wasiat kepada yang tua
Minta petuah kepada yang alim
Minta akal kepada yang cerdik
Minta daulat kepada raja
Minta suara kepada enggang
Minta kuat kepada gajah
Yang hesat diampelas
Yang berbongkol ditarah
Yang keruh dijernihkan
Yang kusut diuraikan

Dari uraian dapat disimpulkan bahwa ketentuan-ketentuan adat yang lebih dikenal sebagai
hukum tidak tertulis telah diwariskan dalam bentuk undang-undang, ungkapan, atau pepatah-
petitih.

4. Adat-Istiadat Dalam Pergaulan Orang Melayu Di Riau

Bertolak dari dasar pemikiran diadakannya Seminar Kebudayaan Melayu ini, penulis
mencoba mengemukakan pemikiran sebagai sumbangan dalam penyempurnaan tata-
pergaulan nasional. Berikut satu alenia yang menjadi dasar pemikiran tersebut:

Interaksi sosial antara sesama warga negara dalam masyarakat majemuk itu menuntut
kerangka rujukan (term of reference) maupun mekanisme pengendali yang mampu
memberikan arah dan makna kehidupan bermasyarakat, yaitu kebudayaan yang dapat
menjembatani pergaulan sesama warga negara secara efektif.

Adat-istiadat yang merupakan pola sopan-santun dalam pergaulan orang Melayu di


Riau sebenarnya sudah lama menjadi pola pergaulan nasional sesama warga negara. Bahasa
Melayu yang telah menjadi bahasa nasional Indonesia mengikutsertakan pepatah, ungkapan,
peribahasa, pantun, seloka, dan sebagainya yang hidup dalam masyarakat Melayu menjadi

9
milik nasional dan dipahami oleh semua warga negara Indonesia. Ajaran, tuntunan, dan
falsafah yang diajarkan melalui pepatah, peribahasa, dan sebagainya itu telah membudaya di
seluruh Indonesia, sehingga tidak mudah untuk mengidentifikasi pepatah dan peribahasa
yang berasal dari Melayu dan yang bukan dari Melayu.

Dalam masyarakat Melayu di Riau, sikap dan tingkah-laku yang baik telah diajarkan
sejak dari buaian hingga dewasa. Sikap itu diajarkan secara lisan dan dikembangkan melalui
tulisan-tulisan. Raja Ali Haji, pujangga besar Riau telah banyak meninggalkan ajaran-ajaran
seperti Gurindam Dua Belas, Samaratul Muhimmah, dan manuskrip-manuskrip lainnya.

Sopan-santun dalam pergaulan sesama masyarakat menyangkut beberapa hal, yaitu


tingkah-laku, tutur-bahasa, kesopanan berpakaian, serta sikap menghadapi orang tua/orang
sebaya, orang yang lebih muda, para pembesar, dan sebagainya. Tingkah-laku yang terpuji
adalah yang bersifat sederhana. Pola hidup sederhana yang dicanangkan oleh pemerintah
Republik Indonesia sejalan dengan sifat ideal orang Melayu. Sebagaimana penggalan dalam
kitab Adat Raja-raja Melayu:

Syahdan maka lagi adalah yang dikehendaki oleh istiadat orang Melayu itu dan
dibilang orang yang majelis yaitu apabila ada ia mengada ia atas sesuatu kelakuan
melainkan dengan pertengahan jua adanya. Yakni daripada segala kelakuan dan perbuatan
dan pakaian dan perkataan dan makanan dan perjalanannya, sekalian itu tiada dengan
berlebih-lebihan dan dengan kekurangan, melainkan sekaliannya itu diadakan dengan
keadaan yang sederhana jua adanya. Maka orang itulah yang dibilang anak yang majelis.
Tambahan pula dengan adab pandai ia menyimpan dirinya. Maka tambah-tambahlah landib
atau sindib adanya, seperti kata hukuman, “Hendaklah kamu hukumkan kerongkongan kamu
tatkala dalam majelis makan, dan hukumkan matamu tatkala melihat perempuan, dan
tegahkan lidahmu dan pada banyak perkataan yang siasia dan tulikan telingamu dan pada
perkataan-perkataan yang keji-keji”. Maka apabila sampailah seseorang kepada segala
syarat ini ia itulah orang yang majelis namanya (Sujiman, 1983).

Kesederhanaan memang sudah menjadi sifat dasar orang Melayu sehingga terkadang
karena “salah bawa” menjadi sangat berlebihan. Kesederhanaan ini membawa sifat ramah
dan toleransi yang tinggi dalam pergaulan. Kesederhanaan ini digambarkan pula dalam
pepatah “Mandi di hilir-hilir, berkata di bawah-bawah, “Ibarat padi, kian berisi kian
runduk” .

10
Gotong-royong dan seia sekata sangat dianjurkan. Banyak pepatah dan ungkapan
yang menjadi falsafah hidup orang Melayu bertahan sampai sekarang, seperti misalnya:

Berat sama dipikul


Ringan sama dijinjing
Ke bukit sama mendaki
Ke lurah sama menurun
Hati gajah sama dilapah
Hati tungau sama dicecah
Hidup jelang-menjelang
Sakit jenguk-menjenguk
Lapang sama berlegar
Sempit sama berhimpit
Lebih beri-memberi
Kalau berjalan beriringan
Yang dulu jangan menunjang
Yang tengah jangan membelok
Yang di belakang jangan menumit
Yang lupa diingatkan
Yang bengkok diluruskan
Yang tidur dijagakan
Yang salah tegur-menegur
Yang rendah angkat-mengangkat
Yang tinggi junjung-menjunjung
Yang tua memberi wasiat
Yang alim memberi amanat
Yang berani memberi kuat
Yang berkuasa memberi daulat
Kuat lidi karena diikat
Kuat hati karena mufakat

Ungkapan-ungkapan yang menyangkut kebersamaan masih sangat banyak, karena masalah


gotong royong dan kerukunan bersama merupakan masalah penting dalam pergaulan orang
Melayu. Ungkapan-ungkapan itu antara lain tercermin dalam.

a. Tutur-Kata

Dalam bertutur dan berkata, banyak dijumpai nasihat, karena kata sangat berpengaruh
bagi keselarasan pergaulan, “Bahasa menunjukkan bangsa”. Pengertian “bangsa” yang
dimaksud di sini adalah “orang baik-baik” atau orang berderajat yang juga disebut “orang
berbangsa”. Orang baik-baik tentu mengeluarkan kata-kata yang baik dan tekanan suaranya

11
akan menimbulkan simpati orang. Orang yang menggunakan kata-kata kasar dan tidak
senonoh, dia tentu orang yang “tidak berbangsa” atau derajatnya rendah.

Bahasa selalu dikaitkan dengan budi, oleh karena itu selalu disebut “budi bahasa”.
Dengan demikian, ketinggian budi seseorang juga diukur dari kata-katanya, seperti ungkapan:

Hidup sekandang sehalaman


tidak boleh tengking-menengking
tidak boleh tindih-menindih
tidak boleh dendam kesumat
Pantang membuka aib orang
Pantang merobek baju di badan
Pantang menepuk air di dulang
Hilang budi karena bahasa
Habis daulat karena kuasa
Pedas lada hingga ke mulut
Pedas kata menjemput maut
Bisa ular pada taringnya
Bisa lebah pada sengatnya
Bisa manusia pada mulutnya
Bisa racun boleh diobat
Bisa mulut nyawa padannya

Oleh karena kata dan ungkapan memegang peran penting dalam pergaulan, maka
selalu diberikan tuntunan tentang kata dan ungkapan agar kerukunan tetap terpelihara. Tinggi
rendah budi seseorang diukur dari cara berkata-kata. Seseorang yang mengeluarkan kata-kata
yang salah akan menjadi aib baginya, seperti kata pepatah “Biar salah kain asal jangan salah
cakap”.

b. Sopan-Santun Berpakaian

Dari pepatah “Biar salah kain asal jangan salah cakap” juga tercermin bahwa salah
kain juga merupakan aib. Dalam masyarakat Melayu, kesempurnaan berpakaian menjadi
ukuran bagi tinggi rendahnya budaya seseorang. Makin tinggi kebudayaannya, akan semakin
sempurna pakaiannya. Selain itu, sopan-santun berpakaian menurut Islam telah menyatu
dengan adat.

12
Orang yang sopan, pakaiannya akan sempurna, tidak bertelanjang dada, dan lututnya
tidak terbuka, seperti dinyatakan dalam ungkapan:

Elok sanggam menutup malu


Sanggam dipakai helat jamu

Elok dipakai berpatut-patut


Letak tidak membuka aib

Orang Melayu sejak dahulu sudah mengenal mode, terbukti dengan adanya berbagai
jenis pakaian, baik pakaian pria maupun wanita. Demikian pula perhiasan sebagai pelengkap
berpakaian. Melayu mengenal penutup kepala bagi lakilaki yang disebut “tengkolok” atau
“tanjak” dengan 42 jenis ikatan.

Pakaian daerah atau pakaian tradisonal Melayu bermacam-macam dan cara


memakainya pun disesuaikan dengan keperluan. Cara berpakaian untuk ke pasar, ke masjid,
bertandang ke rumah orang, atau ke majelis perjamuan dan upacara ada etikanya sendiri-
sendiri. Sebagai intermezo, penulis sajikan beberapa ungkapan mengenai pakaian (Effendy,
1985):

Seluar panjang semata kaki


Goyang bergoyang ditiup angin
Kibarnya tidak lebih sejengkal
Pesaknya tidak dalam amat
Elok sanggam menutup malu
Kalau melangkah tidak menyemak
Kalau duduk tidak menyesak
Kaki diberi awan-awanan
Berkelingking berbenang emas
Bayang membayang pucuk rebung
Tabur bertabur tampuk manggis
Elok dipakai dalam majelis
Sanggam dipakai helat jamu
Patut bertempat nikah kawin
Peratama disebut teluk belanga
Tebuk leher bertulang belut
Cengkam dijalin menjari lipan
Buah baju tunggal-tunggalan
Kalau bulat menelur burung
Kalau bertangkai memudung petai
Atau bermata bagai cincin
Labuhnya sampai segenggam tangan
Lebar dapat kipas berkipas
Lapang tidak menyangkut ranting
Kedua kain tenun-tenunan
13
Bertabuh berkepala emas
Tabur berserak bunga hutan
Kepala pekat berpucuk rebung
Dipakai dalam helat jamu
Dalam mejelis yang patut-patut
Kalau dibuat kain samping
Kepala kain sebelah kanan
Atau membelit kepala belakang
Kalau dipakai labuh-labuhan
Kepala terletak di belakang

Seperti yang telah penulis ungkapkan pada bagian depan, Kerajaan Siak Sri Indrapura
telah menetapkan cara berpakaian bagi para pejabat yang bekerja di balai (kantor) dan cara
berpakaian rakyat yang datang ke balai dalam Babul Qawa‘id. Dari uraian tersebut dapat
ditarik kesimpulan bahwa dalam pergaulan orang Melayu di Riau, kesopanan berpakaian
tidak boleh diabaikan.

c. Adab dalam Pergaulan

Kerangka acuan adab dan sopan-santun dalam pergaulan adalah norma Islam yang
sudah melembaga menjadi adat. Di dalamnya terdapat berbagai pantangan, larangan, dan hal-
hal yang dianggap “sumbang”. Pelanggaran dalam hal ini menimbulkan aib besar dan si
pelanggar dianggap tidak beradab.

Terdapat beberapa sumbang, yaitu sumbang dipandang mata, sumbang sikap, dan
sumbang kata yang pada umumnya disebut “tidak baik”. Karakter anggota masyarakat
dibentuk oleh norma-norma ini. Dengan demikian tercipta pola sikap dalam pergaulan,
seperti sikap terhadap orang tua, terhadap ibu bapak, terhadap penguasa atau pejabat,
terhadap orang sebaya, terhadap orang yang lebih muda, antara pria dan wanita, bertamu ke
rumah orang, dalam upacara, dan sebagainya. Banyak ungkapan yang kita jumpai di dalam
masyarakat Melayu yang digunakan sebagai tuntunan, di antaranya sebagai berikut (Effendy,
1985):

Guru kencing berdiri


Murid kencing berlari

Kalau menyengat kupiah imam


Akan melintang kupiah makmum

Berseloroh sama sebaya


Berunding sama setara

14
Bergelut di halaman
Berunding di rumah

Berbuat baik berpada-pada


Berbuat jahat jangan sekali

Yang patut dipatutkan


Yang tua dituakan
Yang berbangsa dibangsakan
Yang berbahasa dibahasakan

Kalau lepas ke halaman orang


Berkata dulu agak sepatah

Memberi tahu orang di rumah


Entah orang salah duduk
Entah orang salah tegak
Entah orang salah kain

Kalau betina turun di tangga


Surut selangkah kita dahulu
Jangan bersinggung turun naik
Kalau haus di kampung orang

Haus boleh minta air


Lapar boleh minta nasi
Tapi terbatas hingga di pintu
Sebelah kaki berjuntai
Sebelah boleh di atas bendul

Di mana bumi dipijak


Di situ langit dijunjung
Di mana air disauk
Di situ ranting dipatah

Karena begitu banyaknya ungkapan, maka tidak mungkin jika semuanya dikemukakan di
sini. Yang jelas, dalam masyarakat Melayu Riau etika pergaulan sangat dipentingkan.

15
PENUTUP

Dengan kerangka rujukan “adat bersendikan syarak” adat-istiadat Melayu Riau tidak
statis dan tidak menutup diri terhadap perkembangan zaman. Etika pergaulan orang Melayu
Riau telah memberikan saham dalam pergaulan antarwarga Indonesia. Ajaran sopan-santun
akhir-akhir ini telah diabaikan, sehingga kebiasaan ini perlu dipulihkan dengan cara-cara
yang sesuai dengan keadaan sekarang, yakni dengan:

1) Menghidupkan dan menyebarluaskan ungkapan, pepatah, dan sebagainya yang


mengandung adab sopan-santun melalui media cetak dan media massa.

16
2) Menerjemahkan dan menyebarluaskan pepatah, ungkapan, dan manuskrip yang
mengandung ajaran-ajaran.
3) Menulis buku pelajaran yang mengajarkan adab sopan-santun dengan kerangka
rujukan falsafah dan nilai yang terkandung dalam pepatah, ungkapan, pantun, dan
sebagainya, mulai dari tingkat dasar.

REFERENSI

http://melayuonline.com/ind/article/read/502/adat-istiadat-dalam-pergaulan-orang-melayu

http://wisatadanbudaya.blogspot.com/2009/09/adat-istiadat-dalam-pergaulan-orang.html

17

You might also like