Professional Documents
Culture Documents
Dalam makalah sederhana ini, kami akan memaparkan tentang bagaimana ADAT
ISTIADAT DALAM PERGAULAN ORANG MELAYU. Tata aturan tentang bagaimana
seharusnya orang melayu bergaul dan bersikap sesuai aturan.
Kami sadar akan tidak sempurnanya makalah kami ini, tidak ada gading yang tak
retak dan tak ada manusia yang sempurna kecuali Rasulullah SAW. Untuk itu kami
mengharapkan kritik dan juga saran untuk dapat memperkuat dan mebangun agar lebih baik
kedepannya.
Kiranya cukup banyak pihak yang membantu penulis untuk menyelesaikan makalah
ini. Kepada dosen pembibmbing, teman. Kepada mereka itu, selain penulis mengucapkan
terima kasih dan penghargaan, juga sekaligus mohon maaf.
Akhirnya, rasa syukur kepada allah dan doa. Semoga makalah ini berguna dan
membawa mamfaat pada pembaca. Amin.
Pekanbaru, 17-10-2010
Penulis
Rahmat Saleh
1
Daftar isi
Kata pengantar................................................................................................................................1
Daftar isi.........................................................................................................................................2
PENDAHULUAN..........................................................................................................................3
PEMBAHASAN............................................................................................................................4
PENUTUP....................................................................................................................................17
2
PENDAHULUAN
Orang Melayu menetapkan identitasnya dengan tiga ciri pokok, yaitu berbahasa
Melayu, beradat-istiadat Melayu, dan beragama Islam. Dalam makalah ini, penulis akan
mengemukakan beberapa hal pokok yang berkaitan dengan adat istiadat Melayu Riau.
Sejak dulu segala ketentuan adat-istiadat disampaikan dari satu generasi ke generasi
berikutnya secara lisan. Saat ini ketentuan adat yang disampaikan hanya terbatas pada adat
sopan-santun saja. Padahal adat itu tidak hanya sebatas adat sopan-santun saja. Untuk dapat
memahami adat-istiadat yang berlaku dalam pergaulan, perlu diketahui sumbernya terlebih
dahulu, yaitu adat yang disebut “adat yang sebenar adat”. Sebelumnya, akan dibahas
pengertian adat.
3
PEMBAHASAN
Pengertian adat di sini sangat terbatas, karena hanya berupa aturan-aturan tentang
beberapa segi kehidupan. Hal ini berbeda dengan pendapat Prof. Dr. J. Prins yang
mengatakan, “De adat overheerste tot voor kort alle terrein van het leven juist wat de
plichtenleer idealiter beoogt te doen” (Prins, 1954). Pendapat Prins ini lebih mendekati
pengertian yang sebenarnya, karena ia mengatakan bahwa adat meliputi semua segi
kehidupan dan hanya untuk jangka waktu yang singkat.
Adat Melayu pada mulanya berpangkal pada adat-istiadat Melayu yang digunakan dalam
negeri Tumasik, Bintan, dan Malaka. Pada zaman Malaka, adat itu menjadi Islam karena
rajanya pun telah memeluk Islam
4
2.Adat Dalam Masyarakat Melayu Riau
Adat yang berlaku dalam masyarakat Melayu di Riau bersumber dari Malaka dan
Johor, karena dahulu Malaka, Johor, dan Riau merupakan Kerajaan Melayu dan adatnya
berpunca dari istana, seperti disebutkan Tonel (1920) dalam bagian lain seperti berikut:
Maka segala adat-istiadat Melayu itu pun sah menurut syarak Islam dan syariat Islam. Adat-
istiadat itulah yang turun-temurun berkembang sampai ke negeri Johor, negeri Riau, negeri
Indragiri, negeri Siak, negeri Pelalawan, dan sekalian negeri orang Melayu adanya. Segala
adat yang tidak bersendikan syariat Islam salah dan tidak boleh dipakai lagi. Sejak itu, adat-
istiadat Melayu disebut adat bersendi syarak yang berpegang kepada kitab Allah dan sunah
Nabi.
Adat Melayu di Riau dapat dibagi dalam tiga tingkatan, yaitu adat sebenar adat, adat yang
diadatkan, dan adat yang teradat
Yang dimaksud dengan “adat sebenar adat” adalah prinsip adat Melayu yang tidak
dapat diubah-ubah. Prinsip tersebut tersimpul dalam “adat bersendikan syarak”. Ketentuan-
ketentuan adat yang bertentangan dengan hukum syarak tidak boleh dipakai lagi dan hukum
syaraklah yang dominan. Dalam ungkapan dinyatakan:
Dari ungkapan diatas maka kita dapat melihat betapa eratnya adat melayu dengan
Islam. Dasar adat Melayu menghendaki sunah Nabi dan Al Quran sebagai sandarannya.
Prinsip itu tidak dapat diubah, tidak dapat dibuang, apalagi dihilangkan, itulah yang disebut
“adat sebenar adat”
5
.b. Adat yang Diadatkan
“Adat yang diadatkan” adalah adat yang dibuat oleh penguasa pada suatu kurun waktu
dan adat itu terus berlaku selama tidak diubah oleh penguasa berikutnya. Adat ini dapat
berubah-ubah sesuai dengan situasi dan perkembangan zaman, sehingga dapat disamakan
dengan peraturan pelaksanaan dari suatu ketentuan adat. Perubahan terjadi karena
menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman dan perkembangan pandangan pihak
penguasa, seperti kata pepatah “Sekali air bah, sekali tepian beralih”.
Panuti H. M. Sujiman (1983) menyebutkan syarat dan sifat manusia yang baik dan ideal
berdasarkan pandangan adat Melayu adalah sebagai berikut:
Selanjutnya petuah-petuah yang diajarkan oleh Raja Ali Haji dalam Gurindam Dua
Belas juga memberikan bimbingan bagi anggota masyarakat Melayu tentang seharusnya
orang Melayu bersikap dan bertingkah-laku sesuai dengan yang diinginkan oleh adat Melayu.
Gurindam Dua Belas memuat dua belas pasal. Sebagai gambaran, berikut kutipan pasalnya:
Pasal lima
6
Jika hendak mengenal orang yang berakal
di dalam dunia mengambil bekal
Jika hendak mengenal orang yang baik perangai
Lihat kepada ketika bercampur dengan orang ramai
Jika “adat yang diadatkan” di seluruh wilayah Provinsi Riau dibahas secara
mendalam, akan dijumpai perbedaan dan persamaan antara kerajaan-kerajaan tersebut. Akan
tetapi, perbedaannya hanya terbatas dalam masalah “tingkat adat” saja, sedangkan “adat
sebenar adat” tetap sama. Demikian pula dengan ketentuan-ketentuan dalam upacara, seperti
dalam upacara nikah kawin, upacara yang menyangkut daur hidup, dan sebagainya.
Adat ini merupakan konsensus bersama yang dirasakan baik, sebagai pedoman dalam
menentuhan sikap dan tindakan dalam menghadapi setiap peristiwa dan masalah-masalah
yang dihadapi oleh masyarakat. Konsensus itu dijadikan pegangan bersama, sehingga
merupakan kebiasaan turun-temurun. Oleh karena itu, “adat yang teradat” ini pun dapat
berubah sesuai dengan nilai-nilai baru yang berkembang. Tingkat adat nilai-nilai baru yang
berkembang ini kemudian disebut sebagai tradisi. Dalam ungkapan disebutkan:
Pelanggaran terhadap adat ini sanksinya tidak seberat kedua tingkat adat yang
disebutkan di atas. Jika terjadi pelanggaran, maka orang yang melanggar hanya ditegur atau
dinasihati oleh pemangku adat atau orang-orang yang dituakan dalam masyarakat. Namun, si
pelanggar tetap dianggap sebagai orang yang kurang adab atau tidak tahu adat. Ketentuan
adat ini biasanya tidak tertulis, sehingga pengukuhannya dilestarikan dalam ungkapan yang
disebut “pepatah adat” atau “undang adat”. Apabila terjadi kasus, maka diadakan
musyawarah. Dalam musyawarah digunakan “ungkapan adat” yang disebut “bilang undang”.
Hal ini dijelaskan dalam ungkapan berikut:
Selanjutnya “bilang undang” itu mempunyai sifat-sifat petunjuk, seperti yang tersirat dalam
ungkapan berikut:
Dari uraian dapat disimpulkan bahwa ketentuan-ketentuan adat yang lebih dikenal sebagai
hukum tidak tertulis telah diwariskan dalam bentuk undang-undang, ungkapan, atau pepatah-
petitih.
Bertolak dari dasar pemikiran diadakannya Seminar Kebudayaan Melayu ini, penulis
mencoba mengemukakan pemikiran sebagai sumbangan dalam penyempurnaan tata-
pergaulan nasional. Berikut satu alenia yang menjadi dasar pemikiran tersebut:
Interaksi sosial antara sesama warga negara dalam masyarakat majemuk itu menuntut
kerangka rujukan (term of reference) maupun mekanisme pengendali yang mampu
memberikan arah dan makna kehidupan bermasyarakat, yaitu kebudayaan yang dapat
menjembatani pergaulan sesama warga negara secara efektif.
9
milik nasional dan dipahami oleh semua warga negara Indonesia. Ajaran, tuntunan, dan
falsafah yang diajarkan melalui pepatah, peribahasa, dan sebagainya itu telah membudaya di
seluruh Indonesia, sehingga tidak mudah untuk mengidentifikasi pepatah dan peribahasa
yang berasal dari Melayu dan yang bukan dari Melayu.
Dalam masyarakat Melayu di Riau, sikap dan tingkah-laku yang baik telah diajarkan
sejak dari buaian hingga dewasa. Sikap itu diajarkan secara lisan dan dikembangkan melalui
tulisan-tulisan. Raja Ali Haji, pujangga besar Riau telah banyak meninggalkan ajaran-ajaran
seperti Gurindam Dua Belas, Samaratul Muhimmah, dan manuskrip-manuskrip lainnya.
Syahdan maka lagi adalah yang dikehendaki oleh istiadat orang Melayu itu dan
dibilang orang yang majelis yaitu apabila ada ia mengada ia atas sesuatu kelakuan
melainkan dengan pertengahan jua adanya. Yakni daripada segala kelakuan dan perbuatan
dan pakaian dan perkataan dan makanan dan perjalanannya, sekalian itu tiada dengan
berlebih-lebihan dan dengan kekurangan, melainkan sekaliannya itu diadakan dengan
keadaan yang sederhana jua adanya. Maka orang itulah yang dibilang anak yang majelis.
Tambahan pula dengan adab pandai ia menyimpan dirinya. Maka tambah-tambahlah landib
atau sindib adanya, seperti kata hukuman, “Hendaklah kamu hukumkan kerongkongan kamu
tatkala dalam majelis makan, dan hukumkan matamu tatkala melihat perempuan, dan
tegahkan lidahmu dan pada banyak perkataan yang siasia dan tulikan telingamu dan pada
perkataan-perkataan yang keji-keji”. Maka apabila sampailah seseorang kepada segala
syarat ini ia itulah orang yang majelis namanya (Sujiman, 1983).
Kesederhanaan memang sudah menjadi sifat dasar orang Melayu sehingga terkadang
karena “salah bawa” menjadi sangat berlebihan. Kesederhanaan ini membawa sifat ramah
dan toleransi yang tinggi dalam pergaulan. Kesederhanaan ini digambarkan pula dalam
pepatah “Mandi di hilir-hilir, berkata di bawah-bawah, “Ibarat padi, kian berisi kian
runduk” .
10
Gotong-royong dan seia sekata sangat dianjurkan. Banyak pepatah dan ungkapan
yang menjadi falsafah hidup orang Melayu bertahan sampai sekarang, seperti misalnya:
a. Tutur-Kata
Dalam bertutur dan berkata, banyak dijumpai nasihat, karena kata sangat berpengaruh
bagi keselarasan pergaulan, “Bahasa menunjukkan bangsa”. Pengertian “bangsa” yang
dimaksud di sini adalah “orang baik-baik” atau orang berderajat yang juga disebut “orang
berbangsa”. Orang baik-baik tentu mengeluarkan kata-kata yang baik dan tekanan suaranya
11
akan menimbulkan simpati orang. Orang yang menggunakan kata-kata kasar dan tidak
senonoh, dia tentu orang yang “tidak berbangsa” atau derajatnya rendah.
Bahasa selalu dikaitkan dengan budi, oleh karena itu selalu disebut “budi bahasa”.
Dengan demikian, ketinggian budi seseorang juga diukur dari kata-katanya, seperti ungkapan:
Oleh karena kata dan ungkapan memegang peran penting dalam pergaulan, maka
selalu diberikan tuntunan tentang kata dan ungkapan agar kerukunan tetap terpelihara. Tinggi
rendah budi seseorang diukur dari cara berkata-kata. Seseorang yang mengeluarkan kata-kata
yang salah akan menjadi aib baginya, seperti kata pepatah “Biar salah kain asal jangan salah
cakap”.
b. Sopan-Santun Berpakaian
Dari pepatah “Biar salah kain asal jangan salah cakap” juga tercermin bahwa salah
kain juga merupakan aib. Dalam masyarakat Melayu, kesempurnaan berpakaian menjadi
ukuran bagi tinggi rendahnya budaya seseorang. Makin tinggi kebudayaannya, akan semakin
sempurna pakaiannya. Selain itu, sopan-santun berpakaian menurut Islam telah menyatu
dengan adat.
12
Orang yang sopan, pakaiannya akan sempurna, tidak bertelanjang dada, dan lututnya
tidak terbuka, seperti dinyatakan dalam ungkapan:
Orang Melayu sejak dahulu sudah mengenal mode, terbukti dengan adanya berbagai
jenis pakaian, baik pakaian pria maupun wanita. Demikian pula perhiasan sebagai pelengkap
berpakaian. Melayu mengenal penutup kepala bagi lakilaki yang disebut “tengkolok” atau
“tanjak” dengan 42 jenis ikatan.
Seperti yang telah penulis ungkapkan pada bagian depan, Kerajaan Siak Sri Indrapura
telah menetapkan cara berpakaian bagi para pejabat yang bekerja di balai (kantor) dan cara
berpakaian rakyat yang datang ke balai dalam Babul Qawa‘id. Dari uraian tersebut dapat
ditarik kesimpulan bahwa dalam pergaulan orang Melayu di Riau, kesopanan berpakaian
tidak boleh diabaikan.
Kerangka acuan adab dan sopan-santun dalam pergaulan adalah norma Islam yang
sudah melembaga menjadi adat. Di dalamnya terdapat berbagai pantangan, larangan, dan hal-
hal yang dianggap “sumbang”. Pelanggaran dalam hal ini menimbulkan aib besar dan si
pelanggar dianggap tidak beradab.
Terdapat beberapa sumbang, yaitu sumbang dipandang mata, sumbang sikap, dan
sumbang kata yang pada umumnya disebut “tidak baik”. Karakter anggota masyarakat
dibentuk oleh norma-norma ini. Dengan demikian tercipta pola sikap dalam pergaulan,
seperti sikap terhadap orang tua, terhadap ibu bapak, terhadap penguasa atau pejabat,
terhadap orang sebaya, terhadap orang yang lebih muda, antara pria dan wanita, bertamu ke
rumah orang, dalam upacara, dan sebagainya. Banyak ungkapan yang kita jumpai di dalam
masyarakat Melayu yang digunakan sebagai tuntunan, di antaranya sebagai berikut (Effendy,
1985):
14
Bergelut di halaman
Berunding di rumah
Karena begitu banyaknya ungkapan, maka tidak mungkin jika semuanya dikemukakan di
sini. Yang jelas, dalam masyarakat Melayu Riau etika pergaulan sangat dipentingkan.
15
PENUTUP
Dengan kerangka rujukan “adat bersendikan syarak” adat-istiadat Melayu Riau tidak
statis dan tidak menutup diri terhadap perkembangan zaman. Etika pergaulan orang Melayu
Riau telah memberikan saham dalam pergaulan antarwarga Indonesia. Ajaran sopan-santun
akhir-akhir ini telah diabaikan, sehingga kebiasaan ini perlu dipulihkan dengan cara-cara
yang sesuai dengan keadaan sekarang, yakni dengan:
16
2) Menerjemahkan dan menyebarluaskan pepatah, ungkapan, dan manuskrip yang
mengandung ajaran-ajaran.
3) Menulis buku pelajaran yang mengajarkan adab sopan-santun dengan kerangka
rujukan falsafah dan nilai yang terkandung dalam pepatah, ungkapan, pantun, dan
sebagainya, mulai dari tingkat dasar.
REFERENSI
http://melayuonline.com/ind/article/read/502/adat-istiadat-dalam-pergaulan-orang-melayu
http://wisatadanbudaya.blogspot.com/2009/09/adat-istiadat-dalam-pergaulan-orang.html
17