You are on page 1of 10

Sekularisasi Gereja

Suatu Tinjuan Peran Gereja di dalam Pelayanan Holistik dan Implikasinya kepada Pola
Penggembalaan di STT/Seminari.

Pendahuluan
“Siapakah yang akan ibu pilih nanti waktu nyoblos?”
“Wah, gak tahu nih. Bingung mau milih siapa?” Percakapan singkat ini adalah
percakapan yang terjadi pada saat persiapan PEMILU beberapa waktu yang lalu. Orang tidak
tahu harus memilih siapa, berdasarkan apa, dan untuk tujuan apa. Bahkan sempat beredar rumor
kemenangan SBY (Bp. Susilo Bambang Yudhoyono) itu dikarenakan ke-ganteng-annya. Tentu
saja banyak suara yang masuk itu dari pihak wanita. Namun tidak dapat disangkali, wawasan
orang Indonesia di dalam dunia politik masih sangat minim. Hal ini juga terjadi di kalangan
orang-orang percaya. Tidak sedikit orang-orang Kristen yang buta politik. Bahkan bukan hanya
buta politik, tetapi juga buta sosial, hukum, lingkungan hidup, dan aspek-aspek lain.
Salah satu penyebab hal ini terjadi adalah kurangnya peran gereja di dalam membentuk
wawasan anggota-anggota jemaatnya secara holistik. Gereja-gereja, terutama yang beraliran
Injili, lebih banyak terjun di dalam dunia yang rohani dan kurang memperhatikan bidang-bidang
yang sekular.1 Pada akhirnya hal ini menimbulkan suatu dikotomi di dalam pemikiran orang-
orang percaya.2 Maka tidak heran jika kita banyak menemui jemaat-jemaat hidup secara baik,
giat melayani, ramah di dalam gereja, sedangkan kehidupan di luar gereja sangat rusak. Ia
melakukan praktek-praktek korupsi, nepotisme dan lain-lain. Dampak lebih global, pemikiran
dikotomi ini akan merusak peran dan tanggung jawab gereja dan orang-orang percaya di dalam
dunia ini.3
Di dalam Kejadian 1:28, Tuhan memberikan perintah bagi manusia untuk bertambah
banyak dan memenuhi serta menguasai bumi. Hal ini seringkali dikenal sebagai mandat kultural
1
Yang dimaksudkan bidang “rohani” adalah bidang-bidang yang berkaitan dengan Tuhan dan hal-hal
keagamaan. Sedangkan yang dimaksudkan dengan bidang-bidang “secular” adalah bidang-bidang yang sama sekali
tidak berhubungan dengan hal-hal keagamaan dan segala macam ritualnya.
2
Pemikiran dikotomi ini menyebabkan orang-orang percaya bahkan juga yang belum percaya merasa
bahwa teologi Kristen adalah teologi bayangan. Teologi Kristen tidak mampu diterapkan di dalam praktik
kehidupan langsung. Teologi Kristen hanya berupa teori tentang Tuhan saja. Berbeda dengan agama lain, seperti
Islam. Islam mengakui bahwa perbuatan-perbuatan sosial adalah suatu perwujudan dari iman mereka. Hal ini
umumnya kita kenal dengan salogan “kebersihan adalah sebagian dari iman” dan banyak lagi yang lain.
3
Yang dimaksudkan dengan gereja adalah kumpulan orang-orang yang sudah menerima karya
keselamatan di dalam Yesus Krsitus. Sedangkan yang dimaksud dengan orang percaya, adalah pribadi-pribadi yang
menerima karya keselamatan.

1
atau mandat budaya. Perintah Tuhan ini merupakan perintah yang diberikan kepada Adam
sebagai representatif seluruh umat manusia. Jika kita tarik lebih lanjut, maka perintah atau
mandat kultural ini juga diberikan kepada semua orang yang ada di dalam dunia ini. Tidak
peduli itu orang percaya (termasuk gereja) ataupun itu orang yang belum percaya. Semua orang
mempunyai tanggung jawab yang sama di dalam menjalankan mandat Tuhan ini. Hal ini juga
berarti bahwa tugas dan madat kultural ini diberikan juga kepada gereja.
Namun sayangnya, gereja-gereja kurang memperhatikan akan panggilan Tuhan ini. Hal
ini mengakibatkan tidak adanya warna iman Kristen di dalam pemenuhan mandat budaya itu.
Warna-warna dari agama dan kepercayaan lain justru mendominasi. Ironisnya adalah Tuhan
yang memberikan mandat kultural itu adalah Tuhan yang membentuk gereja. Tuhan yang
memberi perintah itu adalah Tuhan yang disembah dan diakui oleh orang-orang percaya.
Kesimpulan yang dapat ditarik adalah gereja-gereja yang ada sekarang ini adalah gereja-
gereja yang sedang timpang. Terlalu berfokus kepada satu peran dan mengabaikan peran
lainnya. Gereja yang kurang atau belum mampu mengaplikasikan pengetahuan teologianya ke
dalam kehidupan nyata.
Melihat semua fenomena-fenomena ini, maka penulis ingin menyajikan suatu pandangan
yang ingin mengembalikan peranan gereja di dalam dunia sekular saat ini. Pandangan yang
diangkat berdasarkan sejarah gereja dan dunia di masa modern yang mempengaruhi banyak
teolog-teolog modern. Secara khusus, Dietrich Bonhoeffer, yang melihat pentingnya peranan
gereja di dalam hal sekular, yang lebih umum dikenal dengan sekularisasi.
Harapan dari penulis adalah bahwa makalah ini dapat membantu pemimpin-pemimpin
gereja, secara khusus ditujukan untuk hamba-hamba Tuhan, untuk kembali bangkit dan melihat
akan panggilan zaman ini, yaitu untuk mewarnai dunia sekular ini dengan pemahaman iman
Kristen berdasarkan firman Tuhan.

Definisi Gereja
Konsep tentang gereja ini bukan dimulai di kitab PB, tetap konsep dasar tentang gereja
sudah ada di dalam PL. Di dalam PL, kata yang digunakan untuk menggambarkan gereja adalah
kata lxq, yang memiliki arti an assembly for religious purposes.4 Kemudian di dalam PB5, kata
4
Bdk. R. Laird Harris, Gleason L. Archer, Jr., Bruce K. Waltke, Theological Wordbook of the Old
Testament (one volume, Chicago: Moody, 1980) 1991.
5
Kata lxq yang diterjemahkan sebagai ekklesia ada pada Kis. 7:38, yang ditulis di dalam konteks
Keluaran 20:18-21.

2
ini diterjemahkan sebagai ekklesia yang memiliki arti to call out, denotes the popular
assembly of the competent citizens of a ‘polis’, city state.6
Dari pengertian ini dapat diperoleh dua pengertian dasar tentang gereja. Yang pertama,
gereja adalah sebuah kumpulan orang.7 Yang menjadi prasyarat untuk menjadi anggota dari
kumpulan itu adalah panggilan untuk keluar dan beribadah kepada Tuhan.8 Di dalam konteks
PB, panggilan keluar itu dimengerti sebagai suatu panggilan untuk kembali kepada Tuhan
melalui penebusan Kristus Yesus yang membebaskan mereka yang percaya dari dosa. 9 Dan
pengertian ini sekaligus menyatakan adanya perbedaan antara gereja dengan dunia. 10
Yang kedua, gereja dipanggil keluar untuk beribadah kepada Allah dan bersekutu di
dalam anggota ‘polis’. Tugas ini dilukiskan di dalam suatu pertemuan yang biasa untuk
dilakukan (popular assembly). Dengan kata lain, pertemuan-pertemuan ibadah gereja harus
mencakup dua hal ini, yaitu worship11 dan fellowship12.

Dari dua hal ini, maka gereja dapat didefinisikan sebagai berikut :

6
Bdk. Verlyn D. Verbrugge (ed.), New International Dictionary of New Testament Theology (abridged
edition; Grand Rapids: Zondervan, 2000) 170. Walaupun pengertian ini ditulis di dalam konteks politik, tetapi tetap
dapat digunakan juga di dalam konteks teologia.
7
Pengertian ini diperoleh dari kata lxq yang lebih menggambarkan sebuah kumpulan daripada totalitas
orang Israel. Bdk. Waltke, Testament, 1991. Pandangan ini diperkuat dengan pengertian ekklesia yang hanya
ditujukkan bagi competent citizens. Bdk. Verbrugge, Theology, 170.
8
Tentu saja panggilan untuk keluar ini dilihat dari sejarah bangsa Isreal yang dibebaskan dari penjajahan
Mesir.
9
The Church is a spiritual society, which replaces Israel as the people of God in the world. Bdk. Alister
McGrath, Christian Theology (Oxford: Blackwell, 2001).477. Bdk. Winfrid Prayogi, “Mencari Esensi dan Misi
Gereja dalam Konteks Indonesia Awal Abad 21,” Veritas 1 (2000) 39. Inilah yang disebutkan sebagai competente
citizen.
10
Dalam Alkitab, dunia ini digambarkan sebagai dunia yang jahat dan kotor, dunia yang penuh dengan
dosa dan melawan Allah. Namun berbeda dengan gereja. Gereja berdiri didasarkan kepada karya penebusan
Kristus di atas kayu salib. Bdk. James Montgomery Boice, Foundation of Christian Faith (Downers Grove:
InterVarsity, 1986) 568. Bdk. Walter A. Elwell (ed.), Evangelical Dictionary of Theology (Grand Rapids: Baker,
2001) 247. Bdk. Herman Ridderbos, Paul: An Outline of His Thought (Grand Rapids: Eerdmans, 1996) 331. Maka
natur gereja itu suci, karena Allah yang memanggil adalah suci (I Ptr. 1:16).
11
Bdk. David L. Smith, All God’s People (Illinois: A Bridge Point, 1996) 346. Bdk. Prayogi, “Indonesia”
42. Prayogi menggunakan istilah ibadah.
12
Yang dimaksudkan di dalam bagian ini adalah unsur persekutuan bagian-bagian di dalam tubuh Kristus.
Seluruh orang percaya adalah bagian-bagian di dalam tubuh Kristus. Dan orang-orang percaya ini bersekutu
membentuk satu unit yang lebih besar, yaitu gereja. Bdk. Grudem, Systematic, 858. Bdk. I Korintus 12:12-31. Jika
I Korintus 12:12-31 dan Efesus 2:10 itu digabung, maka dapat terlihat satu pemahamn teologia Paulus mengenai
konsep orang Kristen, gereja, dan Kerajaan Sorga. Orang percaya adalah bagian dari satu tubuh Kristus yaitu gereja.
Dan gereja adalah perwakilan dari kehadiran kerajaan Sorga di bumi. Bdk. Clowney, Church, 16. Kerajaan Sorga
memiliki misi kekal, dan gereja ambil bagian di dalam pemenuhan dari misi kerajaan sorga. Orang-orang percaya,
di mana panggilan mereka sebagai orang-orang pilihan juga telah ditetapkan satu tugas khusus yang nantinya akan
juga terkait dengan misi kerajaan Sorga.

3
“Gereja adalah komunitas orang-orang yang sudah ditebus oleh Kristus dari dunia ini,
dijadikan satu di dalam ikatan tubuh Kristus di dalam kedaulatan Allah untuk hidup bagi Allah.”

Tugas atau Peran Gereja


Secara umum, gereja itu dipanggil untuk melakukan tiga tugas utamanya, yaitu melayani
Tuhan, melayani gereja (anggota gereja yang lain) dan melayani dunia ini.13

Melayani Tuhan (Ministry to God)


Yang disebut ministry to God adalah pelayanan yang dilakukan oleh gereja untuk
menyembah dan memuliakan Tuhan. Pelayanan ini disebut juga leitourgia.14 Gereja dipanggil
untuk melayani Tuhan, untuk beribadah dan menyembah Dia. Pelayanan ini terdiri dari
beberapa bagian, antara lain pujian, doa, dan persembahan.

Melayani gereja (Ministry to Church)


Pelayanan ini meliputi dua pelayanan yaitu pelayanan “diakonia” (service) dan pelayanan
“koinonia” (fellowship).15 Intinya kedua pelayanan ini ditujukan kepada anggota gereja, untuk
dapat melayani satu dengan yang lain. Pelayanan diakonia bersifat pelayanan bagi orang-orang,
yang merupakan anggota jemaat, yang mengalami penderitaan. Sedangkan pelayanan koinonia
adalah pelayanan yang dilakukan di dalam suatu persekutuan di antara saudara-saudara seiman.

Melayani dunia (Ministry to the World)


Pelayanan kepada dunia ini memiliki satu tujuan utama yaitu untuk menyaksikan kepada
dunia ini akan cinta kasih dan kasih karunia Tuhan kepada dunia supaya dunia kembali kepada-
Nya.16 Tugas pelayanan ini didasarkan kepada Filipi 2:10-11 yang mengatakan
‘... supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di
atas bumi dan yang ada di bawah bumi, dan segala lidah mengaku “‘Yesus Kristus adalah
Tuhan,’ bagi kemuliaan Allah, Bapa!”

13
Ibid. 209
14
Bdk. Smith, People, 346. Bdk. Prayogi, “Indonesia” 42. Prayogi menggunakan istilah ibadah.
15
Bdk. Smith, People, 342-346. Bdk. Prayogi, “Indonesia” 42-43. Prayogi menggunakan istilah
pembinaan..
16
Bdk. Smith, People, 341. Bdk. Prayogi, “Indonesia” 42-43. Paryogi membagi pelayanan ini menjadi
dua bidang yaitu pelayanan pengabaran injil dan pelayanan social kemasyarakatan.

4
Penekanan utamanya ada pada kata segala lidah mengaku “Yesus Kristus adalah Tuhan”.
Pengertian Tuhan di dalam bagian ini adalah tuan (kurios). Tuan di dalam segala bidang aspek
kehidupan manusia.17 Gereja hadir untuk menyatakan bahwa tuan dari segala sesuatu yang ada
adalah Kristus, dan Ia-lah sentral dari segala sesuatu.
Ketiga tugas dan peran gereja ini merupakan satu kesatuan yang utuh dan tidak dapat
dipisah-pisahkan. Sehingga gereja harus dapat melakukan semua tugas dan perannya ini dengan
seimbang.18

Latar Belakang Sekularisasi Gereja


Di dalam sejarah, gereja terbukti gagal dalam memainkan ketiga peranan itu secara
seimbang dan holistik. Gereja cenderung hanya mendekam di dalam tempurung aspek
kerohanian dan kehidupan spiritual saja, sehingga untuk bidang-bidang yang lain gereja tidak
mau ikut campur.
Salah satu contohnya adalah kegagalan gereja untuk berperan holistik di dalam zaman
Bonhoeffer. Dietrich Bonhoeffer adalah seorang pendeta dan teolog yang hidup di Jerman pada
masa pemerintahan Nazi. Pada masa itu, begitu banyak penderitaan, ketidak-adilan,
penganiayaan (secara khusus kepada orang Yahudi), dan tidak adanya kebebasan untuk
beragama (karena wajib mengikuti doktrin dari Nazi). Namun melihat semuanya itu gereja
hanya diam saja dan tidak berkutik. Gereja yang seharusnya juga memiliki peran sebagai nabi
Tuhan untuk menyuarakan suara Tuhan tidak mengumandangkan suaranya. Sehingga gereja
seakan-akan sudah mati dan tidak lagi dapat berpartisipasi untuk mengubah dunia saat itu.19
Melihat semua kondisi yang tidak wajar itu Bonhoeffer berusaha untuk menyuarakan
kembali peran dan tanggung jawab yang ada pada gereja. Gereja bukan hanya untuk
menyembah Tuhan saja (aspek rohani), namun gereja yang sesungguhnya adalah hadir untuk
sesama.20 Gereja juga harus menyuarakan kebenaran dan keadilan, dan menentang ketidak
adilan. Ini merupakan panggilan misi gereja di dalam secular calling.21
17
Hal ini juga berarti bahwa gereja harus memberikan warna di dalam setiap aspek kehidupan dunia ini.
Karena hanya gereja yang mengenal siapakah itu Yesus Kristus, maka hanya gereja yang dapat memainkan peranan
untuk memperkenalkan Yesus di dalam segala aspek kehidupan manusia.
18
Grudem, Systematic, 867-868. Grudem menekankan sekali bahwa gereja perlu untuk menjalankan
ketiga perannya ini dengan seimbang.
19
Di dalam tekanan Nazi, gereja tidak berani melawan karena gereja tersebut dapat ditutup.
20
Bdk. Georg Huntemann, Dietrich Bonhoeffer (Michigan: Baker, 1989) 304
21
Bdk. Dietrich Bonhoeffer, The Cost of Discipleship (New York: Macmilan, 1957) 247. “Let the
Christian remain in the world to engage in frontal assault on it, and let him live the life of his secular calling in

5
Konsep Sekularisasi Gereja Bonhoeffer
Gereja, di dalam benak Bonhoeffer, memiliki arti sebuah kumpulan murid Tuhan yang
sudah diangkat dari kuasa dunia, dijadikan satu di dalam tubuh Kristus.22 Dikatakan murid
Tuhan karena orang yang ada di dalam kumpulan itu adalah orang yang sudah ditransform
menjadi sesuai dengan image Tuhan (being transformed into his image).23 Dan murid itu
berkumpul menjadi satu kesatuan tubuh Kristus. Lebih jauh lagi, Bonhoeffer yang dipengaruhi
dan menganut Lutheran, mempercayai bahwa gereja itu adalah tubuh Kristus itu sendiri yang
nyata di dalam dunia sekarang.24
Dengan konsep gereja yang demikian, Bonhoeffer meyakini bahwa gereja berperan
sebagai Yesus. Gereja harus melakukan pekerjaan yang Yesus lakukan di dalam dunia.25 Di
dalam keempat Injil, Yesus digambarkan sebagai anak Manusia yang melayani bukan hanya di
dalam satu aspek saja. Yesus mengajar orang tentang firman Allah, menyatakan diri sebagai
jalan keselamatan, namun Yesus juga memperhatikan kebutuhan fisik, mental, dan psikologi
manusia. Yesus memberi 5000 orang (laki-laki tidak termasuk perempuan) makan setelah
mendengarkan kotbah-Nya. Yesus juga menyembuhkan orang sakit (yang berarti Yesus
membantu orang itu untuk hidup secara normal). Yesus juga menangis bersama dengan Maria
dan Marta yang kehilangan akan Lazarus saudara mereka. Yesus tidak memandang rendah
Zakheus yang tertolak oleh lingkungan (karena ia adalah pemungut cukai). Yesus
memperhatikan keseluruhan aspek manusia di dalam pelayanan yang Ia lakukan.
Yesus yang dituliskan di dalam Alkitab itu adalah Yesus yang melayani secara luas,
holistik dan menyeluruh. Seluruh aspek kehidupan manusia diperhatikan, dijangkau, dan
disentuh. Tidak ada bagian yang diabaikan. Maka gerejapun harus melakukan yang sama
dengan yang Tuhan Yesus lakukan. Gereja harus memperhatikan seluruh aspek kehidupan
manusia. Gereja harus melayani secara holistik dan menyeluruh.

order to show himself as a stranger in this world all the more.”


22
Bdk. Bonhoeffer, Discipleship, 305. Di dalam bukunya ini Bonhoffer menyebutnya dengan ecclesia
Christi.
23
Ibid.
24
“Communicatio idiomatum” atau the sharing of identity. Bdk. Bonhoeffer, Discipleship, 343. Di dalam
bagian itu dituliskan demikian : “We (church) be drawn into his image and identified with his form and become a
reflection of him.” Kata yang dicetak miring ditambahkan oleh penulis.
25
Christus pro me, Ecclesia pro me. Christus pro nobis, Ecclesia pro nobis. Christus pro mundi, Ecclesia
pro mundi.

6
Aplikasi
Kondisi Indonesia yang pluralis ini telah menjadi tempat yang subur untuk bertumbuh
kembangnya paham post-modern (posmo). Paham, yang sangat menjunjung tinggi relatifisme
dan pluralisme26, ini memberikan dampak yang besar bagi kehidupan agaman-agama dan
kepercayaan yang ada di Indonesia. Paham posmo ini memperkokoh eksistensi tiap-tiap agama
dan kepercayaan. Hal ini dikarenakan tiap-tiap agama tidak lagi perlu memusingkan persoalan
agama manakah yang benar. Masing-masing agama adalah benar dan kebenarannya tidak boleh
digugat. Bisa jadi kebenaran yang satu berbeda dengan kebenaran yang lain. Tetapi hal itu tidak
menjadi masalah. Dan tidak perlu dicari dan dibandingkan manakah kebenaran yang
sesungguhnya. Semuanya benar bagi diri mereka sendiri.
Dengan standart kebenaran yang seperti ini, maka setiap agama bebas mengembangkan
ajaran mereka dengan seluas-luasnya dan bebas mengekspresikan seluas-luasnya juga. Tinggal
setiap orang, dengan kebebasannya yang mutlak, menentukan pilihan, manakah yang mau
dianggap benar olehnya. Dan sekali lagi, kebebasan individu itu tidak boleh diganggu gugat.
Setiap individu bebas menentukan pilihan.
Karena setiap agama dan kepercayaan bebas menyatakan kebenaran menurut versi
mereka, maka tentu saja ada banyak paham dan ajaran yang hadir di Indonesia ini dan mewarnai
pola pergerakan dan kehidupan di Indonesia. Sebagai contoh di dalam dunia pendidikan, kaum
muslim telah masuk dengan bebas untuk mememberikan pengaruhnya melalui pemberlakuan
Undang-Undang Sisdiknas, di mana setiap sekolah wajib mengajarkan pelajaran agama menurut
dengan agama yang dianut oleh siswa yang bersangkutan. Contoh lainnya adalah gerakan orang
Budha yang mulai mengadakan perkumpulan-perkumpulan untuk tujuan sosial dan kemanusiaan.
Dan masih banyak contoh-contoh lainnya.
Namun, ke-Kristenan, secara khusus gereja, tidak atau kurang melihat hal ini sebagai
suatu ancaman yang berbahaya.27 Pilihan agama akan semakin terbuka lebar dan sangat sulit

26
Bdk. Stanley J. Grenz, A Primer on Postmodernism (Surabaya: Momentum, 2001) 29
27
Di lihat sebagai suatu bahaya karena paham posmo tentang kebenaran itu sangat bertentangan dengan
paham ke-Kristenan tentang kebenaran. Di dalam iman Kristen, kebenaran yang diakui adalah kebenaran yang
objektif dan universal, artinya yang disebut sebagai kebenaran adalah sesuatu yang harus benar diatas segala yang
lain dan menjadi suatu patokan. Dengan kata lain, kebenaran itu tidak mungkin mengandung hal-hal yang
berkontradiksi atau bertentangan satu dengan yang lain. Jika bertentangan, maka pasti ada yang benar dan pasti ada
yang salah.

7
untuk melakukan penginjilan.28 Indonesia akan semakin sulit untuk dibawa kepada Tuhan (yang
benar).
Hal ini seharusnya merupakan tantangan tersendiri bagi gereja. Bagaimana harus
menyampaikan kebenaran di tengah kekacauan konsep tentang kebenaran. Bagaimana untuk bisa
menjadi garam dan terang di tengah dunia yang banyak model “garam” dan “terang”.
Kegagalan gereja untuk melihat ancaman dan tantangan ini menyebabkan gereja
memiliki iman kepercayaan yang pasif. Gereja-gereja tidak bertindak dan tidak bergerak untuk
bangkit dan berkarya di tengah-tengah Indoensia ini. Akibatnya ke-Kristenan menjadi sesuatu
yang tidak peka akan kebutuhan dunia, tidak peduli dengan apapun yang terjadi, dan akhirnya
mati. Padahal seharusnya, orang-orang percaya dan gereja sebagai tubuh Kristus di zaman ini
berperan aktif dan berttindak bagi dunia, sama seperti yang Tuhan Yesus lakukan.
Namun, tidaklah fair jika tudingan kesalahan itu hanya ditujukan kepada gereja. Gereja
menutup diri seperti ini sebagai suatu akibat dari ketidak-pekaan dan ketidak-sadaran pemimpin-
pemimpin gereja, secara khusus hamba-hamba Tuhan yang menjadi panutan. Banyak hamba-
hamba Tuhan sekarang ini memiliki pandangan dan wawasan dunia yang sempit, yang melayani
bukan melayani Tuhan tetapi melayani gereja. Mereka terbiasa hidup di dalam area “rohani” di
dalam gereja tanpa mau turut campur dengan kehidupan gereja di dalam lingkungan sekuler.
Maka itu sangatlah penting untuk menyadarkan pemimpin-pemimpin gereja akan hal ini.
Cara yang perlu diambil untuk melakukan reformasi saat ini adalah dengan mendidik
calon-calon pemimpin-pemimpin gereja untuk memiliki wawasan dunia yang utuh dan
menyeluruh (holistik). Dan hal ini menjadi tugas dan tanggung-jawab sekolah-sekolah teologi
dan seminari-seminari.

Kesimpulan
Gereja dipanggil untuk menjalankan peran dan tanggung jawab, yang bukan hanya di
dalam area “rohani”, tetapi di dalam keseluruhan aspek kehidupan manusia. Ini adalah
panggilan yang sesuai dengan natur gereja sebagai tubuh Kristus. Seperti Kristu sudah melayani
manusia di dalam keseluruhan aspeknya, demikian juga gereja. Gereja harus peduli akan aspek-

28
Karena setiap agama harus diakui memiliki kebenaran bagi mereka sendiri.

8
aspek kehidupan manusia yang lain. Gereja harus membuka diri dengan luas, seluas tangan
Yesus yang dibuka untuk disalib.
Dan untuk hal itu, perlu pemimpin-pemimpin gereja yang memiliki wawasan dunia yang
luas dan terbuka, yang akan dapat menggerakan dan mengarahkan gereja untuk menjalankan
fungsi dan panggilannya. Maka itu, langkah awal yang perlu diambil adalah membekali
mahasiswa-mahasiswa teologi dengan wawasan dunia Kristen yang utuh dan holistik, untuk
dapat melihat pekerjaan Tuhan di dalam dunia ini secara utuh. Ini tugas sekolah-sekolah teologi
dan seminari-seminari.
Ini adalah pergerakan reformasi. Pergerakan yang penting dan mendasar. Pergerakan
yang akan membawa pembaharuan. Pergerakan yang memimpin ke arah yang lebih baik. Maka,
sekaranglah waktunya untuk berubah. Sekaranglah waktunya untuk REFORMASI!

Daftar Pustaka

Boice, James Montgomery. Foundation of Christian Faith. Illinois: IVP, 1986.


Bonhoeffer, Dietrich. Act and Being. Minneapolis: Fortress Press, 1996.
Bonhoeffer, Dietrich. The Cost of Discipleship. New York: Macmilan, 1957.

9
Elwell, Walter A. (ed.). Evangelical Dictionary of Theology. Grand Rapids: Baker, 2001.
Grenz, Stanley J. A Primer on Postmodernism. Surabaya: Momentum, 2001.
Grudem, Wayne. Systematic Theology. Downers Grove: IVP, 1994.
Harris, R. Laird, Gleason L. Archer, Jr., Bruce K. Waltke. Theological Wordbook of the Old
Testament. One volume, Chicago: Moody, 1980.
Huntemann, Georg. Dietrich Bonhoeffer. Michigan: Baker, 1989.
McGrath, Alister. Christian Theology. UK: Blackwell, 2001.
Prayogi, Winfrid. “Mencari Esensi dan Misi Gereja dalam Konteks Indonesia Awal Abad 21,”
Veritas. Malang: SAAT, 2000.
Ridderbos, Herman. Paul: An Outline of His Thought. Grand Rapids: Eerdmans, 1996.
Smith, David L. All God’s People. Illinois: A Bridge Point, 1996.
Verbrugge, Verlyn D. (ed.). New International Dictionary of New Testament Theology. Abridged
edition; Grand Rapids: Zondervan, 2000.

10

You might also like