You are on page 1of 17

MAKALAH TUGAS AKHIR

KAJIAN NYAMPUNG (Calophyllum inophyllum L.)

SEBAGAI BAHAN BIODIESEL

Diusulkan Oleh :

R. Anisa Nurfitria (240110070046)

Yulian Nugraha (240110070059)

Budi Trisnowati (240110070062)

Zana Fauzillah (240110070065)

Dadan Jaya N (240110060007)

FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSRTI PERTANIAN

UNIVERSITAS PADJADJARAN

JATINANGOR

2009
BAB I
PENDAHALUAN

1.1. Latar Belakang

Krisis energi dunia yang terjadi pada dekade terakhir memberikan dampak
yang signifikan pada meningkatnya harga bahan bakar minyak (BBM), telah
mendorong pengembangan energi alternatif dengan pemanfaatan sumberdaya
energi terbarukan (renewable resources). Salah satu bentuk energi alternatif yang
saat ini mulai di kembangkan adalah biofuel yang mem puny ai tingkat ke layakan
teknologi cukup tinggi. Untuk me ndorong peng embangan biofuel, pemerintah
telah mengeluarkan Kebijakan Energi Nasional diantaranya dengan menetapkan
target produksi biofuel pada tahun 2025 sebesar 5 % dari total kebutuhan energi
minyak nasional dan penugasan kepada Departemen Kehutanan untuk berperan
dalam penyediaan bahan baku biofuel termasuk pemberian ijin pemanfaatan lahan
hutan terutama lahan yang tidak produktif. Salahsatu tanaman hutan yang
mempunyai potensi sebagai bahan baku biofuel adalah Nyamplung (Calophyllum
inophyllum L.).
Nyamplung termasuk dalam marga Callophylum yang mempunyai sebaran
cukup luas di dunia yaitu Madagaskar, Afrika Timur, Asia Selatan dan Tenggara,
Kepula uan Pasifik, Hindia Barat, dan Amerika Selatan. Di Indonesia nyamplung
tersebar mulai dari bagian Barat sampai Bagian Timur Indonesia. Distribusi po
hon nyamplung di Indonesia, mulai Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Se
latan, Lampung, Jawa, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi, Maluku,
hingga Nusa Tenggara Timur dan Papua . Selain itu, pohon tersebut juga ditemui
di wilayah Malaysia,Filipina, Thailand, dan Papua Nugini.
Kelebihan nyamplung sebagai bahan baku biofuel adalah biji mempunyai
rendemen yang tinggi (bisa mencapai 74%), lebih tinggi dari rendemen jarak
(35%) dan dalam pemanfaatannya tidak berkompetisi dengan kepentingan
pangan. Dengan demikian nyamplung sangat berpotensi untuk dikembangkan
menjadi altenatif sumber biodiesel.
Dalam makalah ini akan dibahas mengenai pengenalan biodiesel dari
nyampung, potensi serta pengolahan nyamplung menjadi biodiesel.
1.2. Tujuan

Tujuan dibuatnya makalah ini, diantaranya :

1. Memberikan penjelasan kepada masyarakat tentang potensi nyamplung


sebagai penghasil biodiesel.
2. Memberikan penjelasan mengenai proses pembuatan bodiesel dari bahan
biji nyamlung.
3. Menganalisa sifat fisiko kimia biodiesel nyampung berkaitan dengan
Standar Nasional Indonesia
BAB II
DESKRIPSI UMUM NYAMPUNG

2.1. Karakteristik Pohon


Pada gambar 1 dapat dilihat ciri‐ciri tegakan dan seluruh bagian pohon.
Pohon bertajuk rimbun menghijau (evergreen trees) dengan akar tunjang. Tinggi
pohon dapat mencapai 25 m dengan tinggi bebas cabang 4 ‐ 10 m, diameter dapat
mencapai 150 cm. Batang berkayu dengan percabangan mendatar dan jarang
berbanir, kulit batang bagian luar berwarna kelabu atau putih, beralur dangkal dan
mengelupas besar‐besar tipis, pada kulit kayu terdapat saluran getah berwarna
kuning. Daun tunggal bersilang‐berhadapan bulat memanjang atau bulat telur,
ujung tumpul, pangkal membulat, tepi rata, pertulangan menyirip, panjang 20‐21
cm, lebar 6‐11 cm, tangkai 1,5‐2,5 cm, daging daun seperti kulit/belulang, warna
hijau. Bunga majemuk, bentuk tandan di ketiak daun yang teratas, berkelamin
dua, diameter 2‐3 cm, tujuh sampai tiga belas, daun kelopak empat tidak
beraturan, benangsari banyak , tangkai putik membengko, kepala putik berbentuk
perisai, daun mahkota empat, lonjong, putih. Buah muda berwarna hi jau dan yang
sudah tua berwarna kekuning‐kuningan, apabila dibiarkan lama buah berwarna
seperti kayu, buah termasuk kategori buah batu, bulat seperti peluru dengan
mancung kecil didepannya, diameter antara 2,5‐5 cm. Biji berbentuk bulat tebal
dan keras, beruk uran relatif besar berdiame ter 2,5‐4 cm, daging biji tipis dan biji
yang telah kering dapat tahan disimpan selama 1 bulan, inti biji mengandung
minyak berwarna kuning kecoklatan.

Gambar 1. Ciri pohon nyamplung (pohon, bunga, buah dan kulit batang)
2.2. Sebaran dan Potensi Alami
Nyamplung tersebar di Asia Tenggara, India, Afrika, Australia Utara,
Queensland Utara dan lain-lain. Di Indonesia dijumpai hampir di seluruh daerah
terutama pada daerah pesisir pantai antara lain: Taman Nasional(TN) Alas
Purwo , TN Kepulauan Seribu, TN Baluran, TN Ujung Kulon, Cagar Alam (CA)
Pananjung Panga ndaran, Kawasan Wisata (KW) Batu Karas, Pantai Carita
Banten, P. Yapen, Jayapura, Biak, Nabire, Ma nokwari, Sorong, Fak fak (wilayah
Papua), Halmahera dan Ternate (Maluku Utara), TN Berbak (Pantai Barat
Sumatera).
Sampai saat ini potensi alami nyamplung di Indonesia belum diketahui
secara pasti, namun dari hasil penafsiran tutupan lahan dari Citra Satelit Landsat 7
ETM+ seluruh pantai di Indonesia tiap provinsi (2003), diduga tegakan alami
nyamplung mencapai total luasan 480,000 ha, dan sebagian besar (± 60 %) berada
dalam kawasan hutan. Rincian luasan di masing-masing wilayah tertera pada
Tabel 1.
Tabel 1. Luasan lahan pantai berindikasi tegakan nyamplung di masing-
masing wilayah di Indonesia
Mengingat budidaya nyamplung masih dalam taraf awal, maka
diperkirakan seluruh produksi buah/biji selama lima tahun kedepan (2010-2015)
hanya bisa diperoleh dalam jumlah besar dari hutan alam. Apa bila, dari luasan
indikatif total hutan alam sebesar 10 % bertegakan nyamplung produktif yaitu
seluas 50.000 ha (Tabel 1) dan produksi minimal perpohon sebesar 50 kg , maka
besarnya dugaan produksi biji per ha sebesar 10 ton atau total produksi sebesar
500 ribu ton.

Gambar 2. Peta Sebaran Nyampung di Indonesia

2.3. Budidaya Nyampung

2.3.1. Cara generatif


Pembibitan secara generatif dilakukan dengan menggunakan benih yang
telah masak secara fisiologis dengan beberapa cara, antara lain: rendam jemur,
meretakan tempurung benih atau melepaskan tempurung.
Dari pengalaman pembibitan KPH Kedu Selatan (2008), benih yang sudah
dilepaskan dari tempurungnya akan berkecambah setelah 7–12 hari dengan persen
kecambah sekitar 90%, sedangkan tanpa dilepaskan dari tempurungnya akan
berkecambah sete lah 1,5–2 bulan dengan persen kecambah sekitar 60-80%.
Percobaan oleh BPK Ciamis (2008), pembibitan dengan benih bertempurung
menggunakan campuran media tanah dan kompos (1:1), benih mulai berkecambah
setelah 1,5 – 2 bulan dengan persen hidup 97 %. Setelah 5 bulan bibit mencapai
tinggi rata-rata 39,2 cm dengan jumlah daun rata-rata 17 helai. Perbanyakan
secara generatif dapat juga dilakukan denganmenggunakan anakan alam melalui
cabutan dan puteran. Cara ini digunakan karena pada musim penghujan anakan
alam di bawah tegakan cukup berlimpah, namun apa bila tidak segera dipindahkan
ke persemaianan akan mati. Anakan alam yang dapat di gunakan untuk bibit rata-
rata tinggi antara 20-30 cm dengan media tanam berupa campuran tanah dan
kompos (7: 3). Persen hidup bibit berkisar antara 60-80%. Perakaran bibit secara
generatif cukup panjang sehingga diperlukan polybag minimal dengan ukuran 10
x 15 cm. Persemaian dilakukan di bawah tegakan atau naungan dengan intensitas
cahaya sekitar 50%. Ke dua teknik tersebut diatas sudah diterapkan di KPH Kedu
Selatan dan KPH Banyuwangi Selatan.
Waktu yang diperlukan untuk perbanyakan secara generatif sekitar 6 bulan
dengan tinggi bibit ±30 cm. Di KPH Banyumas Barat, cabutan yang disemaikan
menggunakan media campuran tanah kompos kotoran kelelawar (10:1) dengan
persentase tumbuh mencapai 70-80 % (Gambar 3).

Gambar 3. Bibit hasil perbanyakan generatif dari benih dan cabutan (anakan alam)

2.3.2. Cara vegetatif


Pembibitan vegetatif dapat dilakukan dengan cara makro (konvensional)
dan mikro (kultur jaringan).
Sampai saat ini tingkat keberhasilan teknik perbanyakan cara makro
dengan stek batang masih rendah (sulit berakar) seperti yang pernah dilakukan di
Purworejo, namun dengan menggunakan teknik kultur jaringan memungkinkan
tanaman nyamplung diperbanyak secara masal dalam waktu yang cepat dengan
tingkat keberhasilan lebih tinggi.
Teknik kultur jaringan terdiri dari beberapa tahap, namun tahapan yang
paling penting adalah tahap aklimatisasi sebelum di tanam di lapang. Pada tahap
aklimatisasi, media steril yang digunakan adalah campuran tanah, cocopeat dan
pasir (1:2:1), kemudian diletakkan dalam rumah kaca pada temperatur 25 ± 2 oC
dengan kelembaban 80%. Pada tahapan tersebut diperoleh tingkat keberhasilan
77%. Setelah 8 minggu, bibit dipindahkan ke persemaian terbuka selanjutnya
ditanam di lapang dengan pertumbuhan baik dan diperoleh persen hidup 72%.
Teknik ini telah dikemba ngk an di India (Gambar 4).

(A ) Stek batang (B ) Bibit pada media kultur (C) bibit hasil kultur jaringan
Gambar 4. Bibit hasil perbanyakan vegetatif
BAB III
PENGOLAHAN NYAMPUNG MENJADI BIODIESEL

3.1. Tahapan Proses Pengolahan Biodiesel


Proses pengolahan biodiesel dari nyamplung hampir sama dengan
pengolahan minyak sawit, kelapa dan jarak pagar. Tetapi karena biji nyamplung
mengandung zat ekstraktif yang tinggi, maka pada proses pengukusan lebih lama
dan pemisahan getah (degumming) dilakukan pada konsentrasi tinggi
Tahapan pengolahan biji nyamplung hingga menghasilkan minyak
nyamplung:
1. Penyimpanan Biji
Penyimpanan biji Dilakukan pada biji yang telah dikuliti (daging biji
dipisahkan dari tempurung) dan telah dikeringkan dan mencapai kadar air 8-
12%. Biji dimasukan kedalam karung goni dan ditutup rapat. Karung berisi
biji nyamplung di simpan didalam gudang dengan suhu 26-27oC dan
kelembapan sekitar 60-70%.
2. Pengeringan biji
Pengeringan biji tanpa tempurung bisa dilakukan dengan berbagai cara, yaitu :
- Dikeringkan di bawah sinar matahari
- Digoreng tanpa minyak (sangrai)
- Pengeringan dengan mesin

Pengeringan dilakukan sampai biji nyamplung berwarna coklat


kemerahan. Pengeringan yang tepat akan menentukan rendemen minyak yang
dihasilkan

Gambar 5. Mesin Pengering Biji


3. Pengepresan biji
Proses Pengepresan bisa dilakukan dengan dua macam mesin pres, yaitu :
Mesin pres hidrolik manual dan mesin pres ekstruder (sistem ulir). Mesin pres
hidrolik memerlukan energi listrik yang kecil (1000 watt) karena produksi
minyaknya dalam satu hari juga kecil yaitu 10 liter. Sedangkan mesin pres
ekstruder memerlukan energi listrik hingga 5 KVA dengan produksi minyak 100
liter/hari. Minyak yang keluar dari mesin pres berwarna hitam/gelap karena
mengandung kotoran dari kulit dan senyawa kimia seperti : alkoloid, fosfatida,
karotenoid, khlorofil, dan lain-lain.
Proses selanjutnya adalah pemisahan getah (dugemming terhadap minyak
nyamplung yang dihasilkan oleh mesin pres.

4. Degumming
Degumming dilakukan pada suhu 80 oC selama 15 menit, sampai terjadi
endapan. Endapan dipoisah kan, kemudian dicuci dengan air hangat (suhu 60 oC)
hingga jernih. Selanjutnya air dipisahkan/diuapkan dari minyak dengan
o
pengeringan vakum pada suhu 80 C agar tidak terjadi reaksi oksidasi.
Degumming bertujuan untuk memisahkan minyak dari getah/lendir yang terdiri
dari fostatida, protein, karbohidrat, residu, air dan resin. Proses degumming
dilakukan dengan penambahan asam fosfat 20% sebesar 0,3-0,5% (b/b)
minyak,sehingga akan terbentuk senyawa fosfasida yang mudah terpisah dari
minyak. Hasil dari proses degumming akan memperlihatkan perbedaan warna
yang jelas dari minyak asalnya, yaitu berwarna jernih kemerah-merahan.
Selanjutnya proses yang dilakukan adalah pengolahan minyak nyamplung
menjadi biodiesel. Namun hasil penelitian terbaru dengan tahapan pengolahan
yang berbeda dari tahapan di atas, memberikan standar kualitas minyak
nyamplung yang lebih baik. Tahapan pengolahan dari penelitian terbaru adalah
sebagai berikut :
a. Pemipilan/pemisahan daging biji dengan tempurungnya.
b. Pengukusan biji tanpa tempurung dilakukan selama dua jam.
c. Degumming dilakukan untuk mengendapkan asam fosfat teknis pada
konsentrasi 1%.
Proses pengolahan yang baru ini menghasilkan minyak yang standarnya
sesuai dengan SNI hingga 100% karena semua parameter standar telah terpenuhi.

5. Pengolahan minyak nyamplung menjadi biodiesel


Setelah minyak nyamplung dipisahkan getahnya, dianalisi skadar asam
lemak bebasnya (FFA) dan ditetapkan besaran jumlah preaksi metanol yang
digunakan, kemudian minyak tersebut diolah lanjut menjadi biodiesel. Hasil
penelitian menunjukkan, untuk proses esterifikasi, perbandingan molar metanol
terhadap kadar FFA minyak nyamplung hasil deguming yang optimum adalah
20:1. Setelah itu barulah dilakukan proses pengolahannya.
Proses pengolahan minyak nyamplung menjadi biodiesel sangat
tergantung dari kadar asam lemak bebas awal dari minyak nyamplung setelah
deguming (refined oil). Ada 3 kate gori proses pengola han minyak nyamplung
berdasarkan klasifikasi kompleks/ kerumitan pengolahannya yaitu :
1. Proses Transesterifikasi (T)
Proses ini digunakan apabila kadar FFA dari refined oil ≤ 1%.
2. Proses EsterifikasiTransesterifikasi (ET)
Proses ini digunakan apa bila kadar FFA dari refined oil berkisar
antara 10 -20%.
3. Proses EsterifikasiEsterifikasi Transesterifikasi (EET)
Proses ini digunakan apabila kadar FFA refined oil lebih besar dari
20%. Proses transesterifkasi, prinsipnya adalah mereaksikan refined oil
dengan metanol teknis dalam perbandingan molar metanol terhadap berat
refined oil 6:1 dengan menggunakan katalis Na OH/ KOH 0,5% dan dipa
naskan pada suhu 60oC selama 0,5 jam disertai pengadukan didalam reaktor
estrans yang terbuat stainless steel yang tertutup rapat dan dilengkapi dengan
sistim destilasi metanol yang menguap. Sete lah proses selesai, biodiesel
yang dihasilkan diendapkan selama 3–4 jam untuk memisahkan gliserol yang
terbentuk dari pembuatan biodiesel tersebut. Dalam proses skala pabrik,
pemisahan gliserol ini dapat dilakukan secara cepat dengan menggunakan
alat sentrifuge. Air yang terbentuk dibawah permukaan biodiesel dicuci
dengan menambahkan asam asetat glasia l sebesar 0,01%, dicuci dengan air
hangat suhu 60oC, dan kemudian sisaair diuapkan. Metanol yang tersisa
dikeluarkan dan disatukan dengan larutan metanol yang terdestilasi untuk
digunakan dalam proses berikutnya. Dengan proses ini, trigliserida langsung
diubah menjadi metil ester, sedang asam lemak bebasakan tersabunkan dan
bersatu dengan gliserol.
Proses esterifikasitransesterifikasi (ET), proses ini digunakan apabila
kadar FFA dari refined oil cukup tinggi, karena apabila proses yang
digunakan langsung transesterifikasi maka asam lemak bebas bukan diubah
menjadi biodiesel, tetapi menjadi sabun. Prinsip proses ini adalah melakukan
terlebih dahulu proses esterifikasi sebelum proses transesterifikasi . Proses
transesterifikasi dilakukan persis sama seperti dikemuk akan dalam paragraf
sebelumnya. Proses esterifikasi dilakukan dengan menambahkan metanol
teknis dalam perba ndingan molar metanol terhadap berat FFA 20:1, dan
menggunakan katalis HCl 1%, dipanaskan pada suhu 60oC selama 1 jam
dengan disertai pengadukan di dalam reaktor estrans yang terbuat dari baja
tahan karat (stainless steel) yang tertutup rapat dilengkapi dengan sistim
destilasi untuk metanol yang menguap.
Selanjutnya setelah selesai, terhada prefined oil dilanjutkan dengan
proses transesterifikasi seperti yang di terangkan dalam paragraf sebelumnya.
Proses esterifikasieste rifikasitranse sterifikasi (EET), proses ini digunakan
apabila kadar FFA dari refined oil sangat tinggi, sehingga kadarasam lemak
bebasnya juga tinggi. Kadar asam lemak bebas tersebut harus diubah dahulu
dengan proses esterifikasi sebanyak 2 kali, sehingga asam lemak bebas dapat
terbentuk menjadi metil ester daripada terbentuk sabun. Prosedurnya sama de
ngan proses ET hanya saja proses esterifikasi dilakukan sebany ak 2 kali.
Apabila dengan 2 kali esterifika sibelum berhasil (biasanya dalam keadaan
ekstrim), maka dilakukan proses netralisasi dengan NaOH teknis untuk
mengubah asam lemak bebas menjadi sabun. Risiko proses netralisasi ini
adalah menurunnya nilai rendemen.
Gambar 6. Mesin Press dan Reaktor Entrans

Kualitas minyak yang telah dihasilkan dari proses ini telah mencakup
parameter Densitas, Viskositas Tititk Kabut, Residu Karbon dan Bilangan asam,
oleh karena itu 100% telah kualitasnya memenuhi SNI.

Gambar 7. Minyak Nyampung dan Biodiesel Nyamplung

3.2. Karakterisasi Biodiesel Nyamplung


Analisis sifat fisiko kimia biodiesel terdiri dari massa jenis, viskositas
kinematik, bilangan setana, titik nyala, titik kabut, korosi kepingan tembaga,
residu karbon, air dan sedimen, suhu distilasi, abu tersulfatkan, belerang, fosfor,
bilangan asam, gliserol total, kadar ester alkil dan bilangan iodium.
Metode uji menggunakan prosedur dari ASTM, AOCS dan SNI (Tabel 2).
Sifat-sifat biodiesel minyak nyamplung hampir seluruhnya telah memenuhi
persyaratan SNI 04-7182-2006. Khusus untuk bilangan asam dengan proses EET
dapat diturunkan dari nilai yang sangat tinggi 59,94 mg KOH/g menjadi sangat
rendah, sehingga memenuhi persyaratan SNI. Kadar esteralkil sebesar 96,99%
secara langsung menunjukkan bahwa proses EET telah sesuai untuk pembuatan
biodiesel minyak nyamplung, karena nilainya lebih tinggi dari standar (96,5%).
Tabel 2. Sifat fisiko kimia biodiesel nyamplung dibandingkan dengan
standar SNI 04- 7182-2006

Beberapa parameter kualitas nyamplung yang memenuhi syarat SNI 04-


7182-2006 adalah : Viskositas kinematik pada 40 oC, bilangan asam, titik kabut,
korosi kepingan tembaga.
Bilangan setana menentukan suhu ruang pembakaran dan kemudahannya
untuk mesin distarter, bilangan asam menentukan tingkat korositas biodiesel
terhadap mesin, titik nyala berhubungan dengan keamanan pengangkutan
biodiesel karena kemudahannya terbakar, ester alkali menunjukkan persentase
asam lemak yang diubah menjadi metil ester, bilangan iod menunjukkan
banyaknya jumlah ikatan rangkap pada asam lemak , viskositas menunjukkan
kekentalan biodiesel yang menentukan kelancaran aliran dalam permesinan, titik
kabut berhubungan dengan kemudahannya biodiesel tersebut membeku.
Parameter lainnya berhubungan dengan emisi dan polusi.
Sifat yang menonjol dari minyak nyamplung adalah dengan porsi 30%
minyak nyamplung terhadap solar sudah memberikan bilangan setana yang sesuai
dengan standar SNI. Artinya nilai kalor dari minyak tersebut pada porsi 100%
tanpa pencampuran akan sangat tinggi. Sifat ini akan menguntungkan bila minyak
nyamplung digunakan untuk tujuan pembakaran langsung seperti pengganti
minyak tanah (biokerosene).
Titik kabut yang tinggi akan menyebabkan biodiesel mudah membeku
pada suhu ruang, hal ini disebabkan kandungan asam lemak rantai panjang (C20)
yaitu asam arachidat dan eurekat. Kedua asam tersebut menyebabkan tingginya
nilai kalor, tapi dipihak lain juga menyebabkan biodiesel mudah membeku. Oleh
karena itu, dianj urkan biodiesel nyamplung penggunaannya untuk sementara
waktu hanya sebagaipencampur solar (< 30%).
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

1. Walaupun sumber benih dalam rangka pengembangan hutan tanaman


biofuel cukup tersedia , namun untuk meningkatkan kualitas sumber benih
perlu dilakukan program pemuliaan tanaman hutan dan bioteknologi.
2. Agar perluasan penanaman dapat di jamin keberhasilannya maka sebelum
program penanaman dilakukan secara besar‐be saran perlu kajian
kemampuan dan kesesuaian lahan dari areal yang dialokasikan.
3. Untuk menjamin keberhasil an pengembangan budidaya nyamplung, perlu
didukung oleh penelitian teknik budidaya secara intensif termasuk teknik
pembiakan generatif dan vegetatif (kultur jaringan) serta pengendalian
hama/penyakit.
4. Teknologi pengolahan minyak nyamplung dan hasil rekayasa alat pengolah
minyak dan hasil sampingannya perlu disosialisasikan. Hal ini diharapkan
dapat menarik minat pengguna dan berkembangnya industry pengolahan
biofuel dari nyamplung.
5. Untuk mendukung pengembangan usaha industri pengolahan minyak
nyamplung yang berkesinambungan perlu kajian analisis finansial dan
ekonomi lebih lanjut dengan skala objek kajian yang lebih luas.
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2008. Nyamplungsumberenergibiofuelyang potensial.


DepartemenKehutanan. Jakarta.

ESDM.2006. Blueprint pengelolaanenerginasional2006 –20025.


SesuaiPeraturanPresidennomor 5 tahun2006.Jakarta.

Heriansyah,I.2005.PotensipengembanganenergidaribiomassahutandiIndonesia.IN
OVASI online.Ed.Vol.3/XVII/Maret 2005.Website: http://io.ppi.jepang.org
(diakes : 19 Desember 2009)

Sulaem an, A.G. 2008. Je nis-jenis Tanaman biofuel dan Karakteristiknya


Calophyllum elatum. http://macklin.tmip-unpad.net (Diakses : 19
Desember 2009)

You might also like