Professional Documents
Culture Documents
A. LATAR BELAKANG
Leukemia adalah penyakit neoplastik yang ditandai dengan diferensiasi dan proliferasi sel induk
hematopoietik yang mengalami transformasi dan ganas, menyebabkan supresi dan penggantian
elemen sumsum normal (Baldy, 2006). Leukemia dibagi menjadi 2 tipe umum: leukemia
limfositik dan leukemia mielogenosa (Guyton and Hall, 2007).
Berikut ini adalah permasalahan dalam skenario 1:
Ny. Kassian DL, 42 tahun, datang ke poliklinik dengan keluhan lemas, pucat, mudah capai,
kadang panas, yang sudah dirasakan sejak 6 bulan terakhir. Akhir-akhir ini sering disertai
perdarahan lewat hidung. Pada pemeriksaan fisik didapatkan: pucat, gizi kesan kurang. Suhu
aksiler 38,5° C, nadi 108 kali/menit, irama teratur, tekanan darah 124/78 mmHg, frekuensi
nafas 18 kali/menit. Konjungtiva anemis, sklera tidak ikterik, papil lidah atrofi, tidak
ditemukan pembengkakan gusi. Terdapat limfadenopati leher, pada pemeriksaan abdomen
didapatkan hepatomegali dan splenomegali. Hasil pemeriksaan laboratorium: Hb 7,5 g/dL;
jumlah leukosit 24.500/mm3; jumlah trombosit 67 x 103/mm3. Penderita dianjurkan dirujuk ke
rumah sakit.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apakah penyakit yang diderita oleh pasien?
2. Mengapa pasien mengalami gejala-gejala klinis seperti dalam kasus?
3. Bagaimanakah penatalaksanaan penyakit yang diderita pasien?
C. TUJUAN PENULISAN
1. Mengetahui penyakit yang diderita oleh pasien.
2. Mengetahui penyebab pasien mengalami gejala-gejala klinis seperti dalam kasus.
3. Mengetahui penatalaksanaan penyakit yang diderita pasien.
D. MANFAAT PENULISAN
• Mahasiswa mampu menjelaskan konsep patogenesis dan patofisiologi penyakit
hematologi.
• Mahasiswa mampu menentukan pemeriksaan penunjang diagnosis penyakit hematologi.
• Mahasiswa mampu menyusun data dari gejala, pemeriksaan fisik, prosedur klinis, dan
pemeriksaan laboratorium untuk mengambil kesimpulan suatu diagnosis penyakit
hematologi.
• Mahasiswa mampu merancang manajemen penyakit hematologi secaraa komprehensif.
F. HIPOTESIS
Pasien dalam kasus mengalami leukemia. Hal ini ditandai dengan adanya gejala trias leukemia
yang berupa 1) anemia; 2) leukositosis; dan 3) trombositopenia.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. A. Etiologi Leukemia
Walaupun penyebab dari leukemia tidak diketahui, predisposisi genetik maupun faktor-faktor
lingkungan kelihatannya memainkan peranan (Baldy, 2006). Diduga hal ini dapat disebabkan
oleh interaksi sejumlah faktor, diantaranya 1) Neoplasia; 2) Infeksi; 3) Radiasi; 4) Keturunan; 5)
Zat kimia; dan 6) Perubahan kromosom (Hoffbrand and Petit, 1996).
1. B. Klasifikasi Leukemia
t: translokasi
*sel null: limfosit yang kekurangan sel B (immunoglobulin membrane) atau penanda sel T
(pembentukan rosette-E)
Badan auer: badan berwarna merah yang terlihat dalam sitoplasma mieloblas yang khas pada
leukemia mielogenosa akut
‡CD10: dahulu cALLa (antigen LLA yang lazim)—kompleks glikoprotein membran permukaan
yang jelas dibawa oleh 70% limfoblas leukemia sel bukan-T
(Baldy, 2006)
Klasifikasi besar adalah leukemia akut dan kronis. Leukemia akut, dimana terdapat lebih 50%
mieloblas atau limfoblas dalam sumsum tulang pada gambaran klinis, lebih lanjut dibagi dalam
leukemia mieloid (mieloblastik) akut (AML) dan leukemia limfoblastik akut (ALL).
Leukemia kronis mencakup dua tipe utama, leukemia granulositik (mieloid) kronis (CGL/CML)
dan leukemia limfositik kronis (CLL). Tipe kronis lain termasuk leukemia sel berambut,
leukemia prolimfositik, dan berbagai sindroma mielodisplastik, yang sebagian dianggap sebagai
bentuk leukemia kronis dan lainnya sebagai “pre-leukemia” (Hoffbrand and Petit, 1996).
Leukemia limfositik disebabkan oleh produksi sel limfoid yang bersifat kanker, biasanya dimulai
di nodus limfe atau jaringan limfositik lain dan menyebar ke daerah tubuh lainnya. Leukimia
mielogenosa dimulai dengan produksi sel mielogenosa muda yang bersifat kanker di sumsum
tulang dan kemudian menyebar ke seluruh tubuh, sehingga leukosit diproduksi di banyak organ
ekstramedular, terutama di nodus limfe, limpa, dan hati (Guyton and Hall, 2007).
1. C. Pemeriksaan dan Diagnosis Leukemia
• Hematologi rutin dan Hitung darah lengkap digunakan untuk mengetahui kadar Hb-
eritrosit, leukosit, dan trombosit.
• Apus darah tepi digunakan untuk mengetahui morfologi sel darah, berupa bentuk, ukuran,
maupun warna sel-sel darah, yang dapat menunjukkan kelainan hematologi.
• Aspirasi dan biopsi sumsum tulang digunakan untuk mengetahui kondisi sumsum tulang,
apakah terdapat kelainan atau tidak.
• Karyotipik digunakan untuk mengetahui keadaan kromosom dengan metode FISH
(Flurosescent In Situ Hybridization).
• Immunophenotyping mengidentifikasi jenis sel dan tingkat maturitasnya dengan antibodi
yang spesifik terhadap antigen yang terdapat pada permukaan membran sel.
• Sitokimia merupakan metode pewarnaan tertentu sehingga hasilnya lebih spesifik
daripada hanya menggunakan morfologi sel blas pada apus darah tepi atau sumsum
tulang.
• Analisis sitogenetik digunakan untuk mengetahui kelainan sitogenetik tertentu, yang pada
leukemia dibagi menjadi 2: kelainan yang menyebabkan hilang atau bertambahnya materi
kromosom dan kelainan yang menyebabkan perubahan yang seimbang tanpa
menyebabkan hilang atau bertambahnya materi kromosom.
• Biologi molekuler mengetahui kelainan genetik, dan digunakan untuk menggantikan
analisis sitogenetik rutin apabila gagal.
(Sudoyo et.al, 2007).
1. D. Patogenesis dan Patofisiologi Leukemia
Populasi sel leukemik ALL dan banyak AML mungkin diakibatkan proliferasi klonal dengan
pembelahan berturut-turut dari sel blas tunggal yang abnormal. Sel-sel ini gagal berdiferensiasi
normal tetapi sanggup membelah lebih lanjut. Penimbunannya mengakibatkan pertukaran sel
prekursor hemopoietik normal pada sumsum tulang, dan akhirnya mengakibatkan kegagalan
sumsum tulang. Keadaan klinis pasien dapat berkaitan dengan jumlah total sel leukemik
abnormal di dalam tubuh. Gambaran klinis dan mortalitas pada leukemia akut berasal terutama
dari neutropenia, trombositopenia, dan anemia karena kegagalan sumsum tulang (Hoffbrand and
Petit, 1996).
Blokade maturitas pada AML menyebabkan terhentinya diferensiasi sel-sel mieloid pada sel
muda (blast) dengan akibat terjadi akumulasi blast di sumsum tulang. Akumulasi blast di dalam
sumsum tulang akan mengakibatkan gangguan hematopoiesis normal dan pada gilirannya akan
mengakibatkan sindrom kegagalan sumsum tulang (bone marrow failure syndrome) yang
ditandai dengan adanya sitopenia (anemia, leukopenia, dan trombositopenia). Selain itu, infiltrasi
sel-sel blast akan menyebabkan tanda/gejala yang bervariasi tergantung organ yang diinfiltrasi,
misalnya kulit, tulang, gusi, dan menings (Kurnianda, 2007).
Pada umumnya gejala klinis ALL menggambarkan kegagalan sumsum tulang atau keterlibatan
ekstramedular oleh sel leukemia. Akumulasi sel-sel limfoblas ganas di sumsum tulang
menyebabkan kurangnya sel-sel normal di darah perifer dan gejala klinis dapat berhubungan
dengan anemia, infeksi, dan perdarahan. Demam atau infeksi yang jelas dapat ditemukan pada
separuh pasien ALL, sedangkan gejala perdarahan pada sepertiga pasien yang baru didiagnosis
ALL (Fianza, 2007).
CGL/CML adalah penyakit gangguan mieloproliferatif, yang ditandai oleh seri grabulosit tanpa
gangguan diferensiasi, sehingga pada apusan darah tepi kita dapat dengan mudah melihat
tingkatan diferensiasi seri granulosit, mulai dari promielosit (bahkan mieloblas), meta mielosit,
mielosit, sampai granulosit. Pada awalnya, pasien sering mengeluh pembesaran limpa, atau
keluhan lain yang tidak spesifik, seperti rasa cepat lelah, lemah badan, demam yang tidak terlalu
tinggi, keringat malam, dan penurunan berat badan yang berlangsung lama. Semua keluhan
tersebut merupakan gambaran hipermetabolisme akibat proliferasi sel-sel leukemia. Anemia dan
trombositopenia terjadi pada tahap akhir penyakit (Fadjari, 2007).
CLL pada awal diagnosis, kebanyakan pasien CLL tidak menunjukkan gejala (asimptomatik).
Gejala yang paling sering ditemukan pada pasien adalah limfadenopati generalisata, penurunan
berat badan, dan kelelahan. Gejala lain meliputi hilangnya nafsu makan dan penurunan
kemampuan latihan/olahraga. Demam, keringat malam, dan infeksi jarang terjadi pada awalnya,
tetapi semakin menyolok sejalan dengan penyakitnya. Akibat penuumpukan sel B neoplastik,
pasien mengalami limfadenopati, splenomegali, dan hepatomegali. Kegagalan sumsum tulang
yang progresif pada CLL ditandai dengan memburuknya anemia dan atau trombositopenia
(Rotty, 2007).
1. E. Penatalaksanaan Leukemia
Pengobatan utama untuk keganasan hematologi selama beberapa dekade adalah pembedahan,
kemoterapi, dan terapi radiasi (Baldy, 2006). Saat ini, pengobatan yang lain tersedia terbatas
tetapi penggunaannya meningkat, dengan kemajuan dalam uji klinis, yang dikenal sebagai
Biological. Kelompok obat ini adalah zat alami yang diambil dari sumber alami atau disintesis
dalam laboratorium untuk menyerang target biologi tertentu (Finley, 2000). Biological dianggap
menjaga sel induk hematopoietik dan oleh karena itu kurang toksik dan bersifat kuratif (Baldy,
2006).
Kemoterapi atau Terapi Obat Sitotoksik. Obat sitotoksik merusak kapasitas sel untuk
reproduksi. Tujuan terapi sitotoksik mula-mula menginduksi remisi dan selanjutnya mengurangi
populasi sel leukemik yang tersembunyi, dan memulihkan sumsum tulang dengan kombinasi
siklik dua, tiga atau empat obat. Pemulihan ini tergantung pada pola pertumbuhan kembali
(differential regrowth pattern) sel hemopoietik normal dan sel leukemik.
Transplantasi Sumsum Tulang. Transplantasi sumsum tulang dilakukan untuk memulihkan
sistem hemopoietik pasien setelah penyinaran seluruh tubuh dan kemoterapi intensif diberikan
dalam usaha membunuh semua leukemmik yang tinggal (Hoffbrand and Petit, 1996).
Terapi ALL dibagi menjadi:
• Induksi remisi
Terapi ini biasanya terdiri dari prednisone, vinkristin, antrasiklin dan L-asparaginase.
• Intensifikasi atau konsolidasi
Berbagai dosis mielosupresi dari obat yang berbeda diberikan tergantung protocol yang dipakai.
• Profilaksis SSP
Terdiri dari kombinasi kemoterapi intratekal, radiasi cranial, dan pemberian sistemik obat yang
mempunyai bioavailabilitas yang tinggi seperti metotreksat dosis tinggi dan sitarabin dosis
tinggi.
• Pemeliharaan jangka panjang
Terapi ini terdiri dari 6-merkaptopurin tiap hari dan metotreksat seminggu sekali selama 2 tahun
(Fianza, 2007).
BAB III
PEMBAHASAN
Apakah penyakit yang diderita oleh pasien?
Berdasarkan gejala-gejala klinis dan hasil pemeriksaan fisik serta pemeriksaan laboratorium
yang ada, pasien menderita leukemia. Namun jenis leukemia yang diderita belum dapat
dipastikan lebih lanjut, karena masih membutuhkan beberapa pemeriksaan lain seperti morfologi
sel darah melalui pemeriksaan apusan darah, aspirasi dan biopsi sumsum tulang, analisis
sitogenetik, serta immunophenotyping.
Untuk diagnosis sementara sebelum dilakukan pemeriksaan penunjang seperti diatas, manifestasi
klinis yang ada lebih merujuk ke arah leukemia limfoblastik. Perkembangan penyakit, yaitu
dalam 6 bulan telah menimbulkan gejala hepatomegali dan splenomegali merujuk ke arah
leukemia akut. Selain itu anemia dan trombositopenia pada leukemia kronis timbul pada stadium
akhir penyakit. Padahal, stadium akhir leukemia kronik dicapai setelah penyakit berjalan selama
bertahun-tahun. Sementara, dalam kasus, anemia dan trombositopenia terjadi dalam rentang
waktu yang relatif singkat, hanya 6 bulan. Kemudian tidak adanya pembengkakan gusi mungkin
dapat menjadi salah satu petunjuk bahwa pasien tidak mengalami leukemia limfoblastik akut
(AML). Jadi, kesimpulan yang didapatkan dari kasus, pasien mengalami leukemia limfoblastik
akut (ALL).
Mengapa pasien mengalami gejala-gejala klinis seperti terdapat dalam kasus?
Lemas, mudah lelah, demam yang tidak terlalu tinggi (aksiler 38,5°C), dan gizi kesan
kurang. Disebabkan oleh hipermetabolisme yang terjadi karena aktivitas proliferasi sel-sel
leukemia. Semua cadangan energi tubuh dipergunakan oleh aktivitas sel-sel leukemik yang
ganas, sehingga semakin lama cadangan lemak dalam jaringan adiposa semakin berkurang,
akibatnya gizi pasien terkesan kurang, lemas, dan mudah lelah. Kemungkinan lain penyebab
penurunan status gizi pasien adalah anemia dan gangguan oksigenasi jaringan. Peningkatan
aktivitas seluler yang terjadi mengakibatkan peningkatan suhu inti, akibatnya tubuh menjalankan
mekanisme pengaturan suhu sehingga terjadi demam. Kemungkinan lain akibat terjadinya
demam adalah adanya infeksi. Walaupun sel-sel leukosit yang berperan dalam sistem imunitas
meningkat, tetapi sel yang terbentuk tidak berdiferensiasi dengan sel imun jenis apapun,
sehingga tidak fungsional dalam menjaga kekebalan tubuh. Fenomena ini disebut dengan
leukopenia fungsional.
Perdarahan lewat hidung dan trombositopenia (trombosit 67 x 103/mm3 [normal 1,5-3 x
105/mm3]). Akibat dari terjadinya penekanan hematopoiesis lainnya di sumsum tulang, maka
produksi trombosit menurun. Padahal, trombosit berperan penting dalam sistem hemostasis
primer. Jika trombosit berkurang, maka akan terjadi perdarahan yang waktunya lebih panjang
daripada jika kondisi dan jumlah trombositnya normal. Kapiler pada keadaan normal memang
sering mengalami ruptur, tetapi hal ini dapat cepat diatasi oleh sistem hemostasis primer, yaitu
trombosit. Jika terjadi trombositopenia maka salah satu gejala yang timbul adalah perdarahan
hidung akibat pecahnya dinding kapiler.
Takikardi (108x/menit [normal 60-100/menit]), konjungtiva anemis, papil lidah atrofi, dan
anemia (Hb 7,5 g/dl [normal 12-16 g/dl]). Serupa dengan trombositopenia, anemia yang timbul
terjadi akibat penekanan hematopoietik oleh sel-sel leukemik pada sumsum tulang. Akibatnya
timbul manifestasi klinis khas anemia seperti di atas. Takikardi timbul akibat kerja keras jantung
dalam memenuhi kebutuhan oksigen jaringan karena kuantitas hemoglobin (Hb) yang rendah
dengan mekanisme mempercepat jalannya aliran darah. Kuantitas Hb yang rendah
mengakibatkan central pallor eritrosit berwarna pucat. Hal inilah yang kemudian
direpresentasikan oleh berbagai jaringan tubuh, misalnya konjungtiva, bantalan kuku, telapak
tangan, serta membran mukosa mulut. Atrofi papil lidah mungkin saja terjadi akibat cedera sel
papila akibat kekurangan oksigen yang terjadi akibat anemia yang diderita oleh pasien.
Limfadenopati leher. Hiperplasia terjadi akibat kerja limfonodus yang berlebihan dalam
memproduksi limfosit. Sehingga sel-sel limfonodus yang berlebihan menyebabkan timbulnya
rasa sakit (pathy).
Hepatomegali. Terjadi dapat disebabkan karena tiga hal terkait: 1) infeksi; 2) akibat anemia
hemolitik; atau 3) akibat infiltrasi. Namun, dalam kasus ini, kaitan yang paling mungkin adalah
hepatomegali terjadi akibat infiltrasi sel-sel leukemik ke dalam jaringan hepar.
Splenomegali. Splenomegali yang terjadi dapat disebabkan karena tiga hal terkait: 1) infiltrasi;
2) infeksi; atau 3) sumbatan/gangguan aliran darah. Namun, dalam kasus ini, kemungkinan yang
paling besar splenomegali terjadi akibat infiltrasi sel-sel leukemia ke dalam limpa/splen.
Bagaimanakah penatalaksanaan pasien dalam kasus?
Berdasarkan kesimpulan, pasien dalam kasus menderita leukemia limfositik akut (ALL).
Sehingga penatalaksanaan pasien dalam kasus lebih difokuskan pada terapi untuk ALL. Terapi
ALL itu sendiri meliputi induksi remisi, intensifikasi atau konsolidasi, profilaksis SSP, dan
pemeliharaan jangka panjang.
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pemeriksaan yang didapatkan sementara dan manifestasi klinis yang ada,
pasien dalam kasus mengalami leukemia limfoblastik akut (ALL).
B. SARAN
1. Sebaiknya pasien menjalani pemeriksaan lanjutan untuk menentukan jenis leukemia yang
diderita, agar rencana penatalaksanaan dapat ditentukan sesegera mungkin.
2. Pemeriksaan lanjutan minimal yang dilaksanakan sebaiknya pemeriksaan morfologi sel
darah dan aspirasi sumsum tulang.
DAFTAR PUSTAKA
Baldy, Catherine M. Gangguan Sel Darah Putih dalam Price, Sylvia A. Wilson, Lorraine M.
2006. Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit edisi 6. Jakarta: EGC.
Fadjari, Heri. Leukemia Granulositik Kronis dalam Sudoyo, Aru W. Setiyohadi, Bambang. Alwi,
Idrus. Simadibrata K, Marcellus. Setiati, Siti. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta:
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
Fianza, Panji Irani. Leukemia Limfoblastik Akut. —————————————
Greer JP et.al, Acute myelogenous leukemia. In Lee RG et. al, editors: Wintrobe’s clinical
hematology, ed 10, Baltimore, 1999, Williams & Wilkins.
Guyton, Arthur C. Hall, John E. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta: EGC.
Hoffbrand, A.V. Petit, J.E. 1996. Kapita Selekta Haematologi. Jakarta: EGC.
Kurnianda, Johan. Leukemia Mieloblastik Akut dalam Sudoyo, Aru W. Setiyohadi, Bambang.
Alwi, Idrus. Simadibrata K, Marcellus. Setiati, Siti.et.al. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
Rotty, Linda W.A. Leukemia Limfositik Kronis. ————————
Granuloma sel raksasa perifer (granuloma giant cell perifer) terutama dikenal sebagai epulis sel
raksasa adalah kondisi serupa tumor yang biasanya berkembang dari tepi bebas gusi. Istilah
granuloma sel raksasa perifer lebih disukai daripada granuloma reparatif sel raksasa perifer. Lesi
ini ditemukan pada semua kelompok usia, dengan puncak insiden tertinggi pada orang dewasa
usia 30 tahun dan anak-anak selama periode gigi bercampur.
Dalam bahan penelitian yang terdiri dari 173 penderita granuloma sel raksasa perifer, dijumpai
bahwa tingkat terjadinya penyakit tersebut paling tinggi adalah pada periode gigi-geligi
bercampur. Pada masa kanak-kanak granuloma lebih umum terdapat pada anak laki-laki daripada
anak perempuan, setelah usia 16 tahun jumlah wanita yang terkena adalah dua kali jumlah laki-
laki yang terkena. Mandibula sedikit lebih sering terkena dibandingkan terhadap maksilla dan
lebih sering terjadi di daerah premolar-molar daripada di daerah incisivus-caninus. Kadang-
kadang, lesi ditemukan pada daerah edentulous ridge alveolar.
Granuloma giant cell perifer memiliki etiologi yang tidak diketahui, dengan beberapa
perdebatan apakah lesi ini menunjukkan proses yang reaktif ataukah neoplastik. Walaupun
demikian, kebanyakan ahli percaya bahwa granuloma giant cell perifer termasuk lesi yang
reaktif.
Granuloma giant cell perifer termasuk lesi reaktif yang jarang terjadi. Lesi ini juga dikenal
sebagai giant-cell epulis, osteoclastoma, giant cell reparative granuloma atau giant cell
hyperplasia dan myeloid epulis. Granuloma giant cell perifer termasuk lesi giant cell yang paling
sering terjadi pada rahang dan berasal dari jaringan ikat periosteum atau dari membran
periodontal, sebagai respon terhadap iritasi lokal atau trauma kronis.
Defenisi Granuloma Giant Cell Perifer
Granuloma giant cell perifer merupakan nodul ekstraosseus yang terdiri dari proliferasi
mononuklear dan multinukleasi giant cell yang berhubungan dengan vaskularisasi yang
ditemukan pada gingiva atau ridge alveolar.
Granuloma giant cell perifer adalah reaksi hiperplastik pada jaringan ikat gingiva yang
didominasi oleh komponen seluler histiositik dan endotelial. Kedua jenis sel tersebut bercampur
baur dan tersusun pada pola lobular yang dipisahkan oleh jaringan ikat fibrous yang mengandung
pembuluh darah sinusoid yang besar.
Nama lesi ini diambil dari kecenderungan histiosit mononuklear untuk membentuk giant cell
multinukleasi yang luas; lokasi perifer (ekstraosseus) dari lesi ini lebih sempit, lebih cenderung
ke tengah (intraosseus); dan gambaran klinis dari lesi gingiva ini mirip dengan respon terhadap
granuloma yang reaktif.
Faktor-faktor yang mengawali terjadinya lesi tidak diketahui. Lesi mengandung jaringan giant
cell mirip dengan yang ditemukan pada bagian lain dari tubuh tetapi utamanya pada tulang.
Penyebab (Etilogy) Granuloma Giant Cell Perifer
Penyebab granuloma giant cell perifer tidak diketahui, meskipun iritasi lokal yang disebabkan
oleh plak gigi atau kalkulus, penyakit periodontal, restorasi gigi yang buruk, protesa yang buruk,
atau pencabutan gigi, telah dianggap ikut berpartisipasi pada perkembangan lesi ini.
Penelitian baru-baru ini, menggambarkan perkembangan dari granuloma giant cell perifer yang
berhubungan dengan implan gigi. Granuloma giant cell perifer muncul sebagai akibat dari
komplikasi yang tidak umum pada penempatan implan, berkembang dari beberapa bulan sampai
beberapa tahun setelah penempatan implan gigi.
Gambaran Klinis Granuloma Giant Cell Perifer
Lesi diawali dengan pembengkakan berbentuk kubah berwarna kemerah-merahan atau keungu-
unguan pada papilla interdental atau ridge alveolar. Pada pasien dentulous lesi sering terlihat
lebih kemerahan disebabkan oleh adanya ulserasi yang terjadi ketika makanan dikunyah dan
mengenai epitelium yang tipis dari massa yang menonjol.
Lesi yang lebih luas biasanya mengelilingi satu atau lebih gigi, sering melibatkan ligamen
periodontal, termasuk apeks gigi. Lesi ini menyebabkan hilangnya dan bergeraknya gigi. Pada
daerah edentulous lesi berbentuk kubah, ungu, dan biasanya mempunyai permukaan yang utuh.
Radiografi periapikal umumnya menunjukkan hilangnya lapisan superficial dari tulang kortikal,
dan sisa tulang di bagian tengah yang tidak ikut terlibat.
Granuloma sel raksasa perifer ditandai oleh suatu pembengkakan berbatas jelas , keras, dan
jarang berulserasi. Dasarnya tidak bertangkai, permukaannya licin atau sedikit bergranula dan
warnanya merah muda sampai merah ungu tua. Nodula tersebut biasanya beberapa mm sampai 1
cm diameternya, meskipun pembesaran yang cepat dapat menciptakan pertumbuhan besar yang
mengganggu pada gigi-gigi disampingnya. Lesi tersebut umumnya tanpa gejala, tatapi karena
sifatnya yang agresif, maka tulang alveolar dibawahnya seringkali terlibat dan membuat
radiolusensi “peripheral cuff” superfisial patognomonik.
Histopatologi Granuloma Giant Cell Perifer
Gambaran mikroskopis menunjukkan susunan nodular dari jaringan giant cell dipisahkan oleh
septum fibrous. Jaringan giant cell terdiri dari campuran mononuklear dan giant cell
multinukleasi yang mendasari ekstravasasi sel darah merah. Terdapat beberapa pembuluh kapiler
dan ruang sinusoid. Stroma fibrous menipis atau menebal, dan mengandung jaringan yang luas
dan struktur dinding vaskular yang tipis. Kandungan hemosiderin dalam jumlah besar umumnya
terdapat dalam jaringan giant cell dan mengelilingi komponen fibrous.
Secara histologis dijumpai banyak sel raksasa beriti multipel dan fibroblast-fibroblast di seluruh
spesimen. Secara histologis, lesi ini tidak dapat dibedakan dari granuloma sel raksasa sentral dan
tumor coklat dari hiperparatiroidisme.
Diagnosa Banding Giant Cell Perifer
Granuloma giant cell perifer dapat dibedakan dari osteosarcoma osteoblastic melalui beragam sel
stroma dan kurangnya displasia pada sel-sel tersebut. Pada remaja, walaupun gambaran mitosis
bervariasi, dan proliferasi aktif dari sel stroma mungkin membuat perbedaan ini menjadi sulit.
Granuloma giant cell perifer tidak dapat dibedakan dengan brown tumor ekstraosseus dari
hiperparatiroidisme yang jarang terjadi.
Perawatan dan Pronosis Giant Cell Perifer
Granuloma giant cell perifer dirawat dengan eksisi bedah, termasuk dasar lesi dan kuretasi tulang
di bawahnya. Pembuangan yang tidak tuntas mengakibatkan kecenderungan yang jelas untuk
kambuh. Pasien dentulous biasanya perlu pengangkatan satu atau lebih banyak gigi dan kuretase
soket.
Granuloma giant cell perifer memiliki prognosis yang baik.3 Kira-Kira 10% kasus yang
dilaporkan dapat kambuh kembali, hal ini mungkin disebabkan oleh pengangkatan yang tidak
sempurna.
ARTIKEL MENARIK LAINNYA:
• Migrain tanda awal kerusakan otak?
Pernah mengalami sakit kepala sebagian atau migrain? Mungkin banyak yang menggangap sakit kepala
disertai 'aura' (gangguan pandangan yang bisa seperti kilatan cahaya atau bintik-bintik hitam) ini seba...
• Referat GANGGUAN KEPRIBADIAN DEPRESIF
PENDAHULUANDepresi biasanya terjadi saat stress yang dialami seseorang tidak kunjung reda, atau
dapat pula berkorelasi dengan kejadian dramatis yang baru terjadi atau menimpa seseorang. Depresi
adalah...
• TIPS : Atasi Kelelahan dengan Cara Alami
Urusan yang menyita mental dan fisik, stres, serta kurang tidur dapat menyebabkan kelelahan. Ayurveda,
sistem pengobatan tradisional India, punya sejumlah kiat untuk mengatasi kelelahan dan meningkatk...
• Kontroversi Holocaust
Kontroversi sejarah tragedi Holocaust kembali menjadi bahan gunjingan masyarakat Eropa. Ini terjadi tak
lain karena ketabuan mitos tentang pembunuhan umat Yahudi pada Perang Dunia II itu kembali memin...
• Referat Kedokteran: Patofisiologi dan Gejala Klinis Kejang Demam
Kejang disebabkan oleh pelepasan hantaran listrik yang abnormal. Gejala-gejala yang timbul dapat
bermacam-macam tergantung pada bagian otak yang terpengaruh, tetapi umumnya kejang berkaitan dengan
sua...
crazy canina
Selasa, 20 April 2010
neoplasma rongga mulut
2.1. DEFINISI, ETIOLOGI DAN KLASIFIKASI NEOPLASMA
Definisi
Pembentukan jaringan baru yang abnormal yang bertumbuh dengan kecepatan
yang tidak biasa, progresif, dan tidak dapat dikontrol oleh tubuh. Neoplasma dapak
jinak(benigna) maupun ganas(maligna).
• Neoplasia jinak : pertumbuhan jaringan baru yang lambat, ekspansif, terlokalisir,
berkapsul, dan tidak bermetastasis
• Neoplasia ganas : pertumbuhan jaringan baru yang cepat, infiltratif ke jaringan
sekitarnya, dan dapat menyebar ke organ-organ lain/ metastase, sering juga
disebut kanker.
Etiologi
Ada dua tipe neoplasia, yaitu neoplasia jinak (benign neoplasm) dan neoplasia
ganas (malignant neoplasm). Perlu diperhatikan perbedaan antara keduanya,
bahwa neoplasia jinak merupakan pembentukan jaringan baru yang abnormal
dengan proses pembelahan sel yang masih terkontrol dan penyebarannya
terlokalisir. Sebaliknya pada neoplasia ganas, pembelahan sel sudah tidak
terkontrol dan penyebarannya meluas. Pada neoplasia ganas, sel tidak akan
berhenti membelah selama masih mendapat suplai makanan.
Proses terjadinya neoplasma tidak dapat lepas dari siklus sel karena sistem kontrol
pembelahan sel terdapat pada siklus sel. Gangguan pada siklus sel dapat
mengganggu proses pembelahan sel sehingga dapat menyebabkan neoplasma.
Kerusakan sel pada bagian kecilnya, misalnya gen, dapat menyebabkan neoplasma
ganas. Tetapi jika belum mengalami kerusakan pada gen digolongkan pada
neoplasma jinak, sel hanya mengalami gangguan pada faktor-faktor pertumbuhan
(growth factors) sehingga fungsi gen masih berjalan baik dan kontrol pembelahan
sel masih ada.
Tumor/neoplasma jinak di rongga mulut dapat berasal dari sel odontogen atau non
odontogen. Tumor-tumor odontogen sama seperti pembentukan gigi normal,
merupakan interaksi antara epitel odontogen dan jaringan ektomesenkim
odontogen. Dengan demikian proses pembentukan gigi sangat berpengaruh dalam
tumor ini. Sedangkan tumor non odontogen rongga mulut dapat berasal dari epitel
mulut, nevus/pigmen, jaringanikatmulut, dan kelenjar ludah.
Neoplasia/tumor jinak adalah pertumbuhan jaringan baru abnormal yang tanpa
disertai perubahan atau mutasi gen. Faktor penyebab yang merangsang tumor jinak
digolongkan dalam dua kategori, yaitu :
• Faktor internal, yaitu faktor yang berhubungan dengan herediter dan faktor-faktor
pertumbuhan, misalnya gangguan hormonal dan metabolisme.
• Faktor eksternal, misalnya trauma kronis, iritasi termal kronis (panas/dingin),
kebiasaan buruk yang kronis, dan obat-obatan.
Klasifikasi Neoplasma
A. Neoplasma Jinak (Benigna)
1. Odontogenik
a. Epitelium odontogenik (berdasarkan asal jaringan)
-Ameloblastoma
-Calcifyng epitelial odontogenik tumor (pinborg tumor)
-Clear cell odontogenik tumor
-Squamos odontogenik tumor
-Adenomatoid odontogenik tumor
b. Epitelium dan ectomesenkim odontogenik
-Ameloblastic fibroma
-Ameloblastic fibroodontoma
-Odontoameloblastoma
-Complex Odontoma
-Compound Odontoma
c. Ektomesenkim( dengan atau tanpa epitelium odontogenik)
-Odontogenik fibroma
-Odontogenik Myxoma
-Benigna cementoblastoma
2. Non odontogenik
a. Osteogenik neoplasm
-cemento-ossifyng fibroma
b. Lesi tulang non neoplastik
-cherubism -central giant cell granuloma, dll
B. Neoplasma Ganas (Malignant)
1. Odontogenik
a. Ektodermal : intraalveolar carcinoma
b. Mesodermal : odontogenik sarcoma
c. Ektodermal & mesodermal : ameloblastic fibrosarcoma
2. Non odontogenik
-osteosarcoma
-Ewing sarcoma
-Multiple myeloma
Carcinoma : tumor ganas yang berasal dari jar. epitel
Sarkoma : tumor ganas yang berasal dari jar.ikat
Benigna pada rongga mulut dapatdijumpai pada :
Pd jar. Gusi / membran mukoperiosteal dari pros.alveolar RA/RB Fibroma,
Hyperplasia, pyogenic granuloma, pregnancy tumor, papilloma, hemangioma,
peripheral giant cell reparative granuloma, peripheral giant cell tumor, neuroma
Pada tulang kortikal RA/RB Exostoses, torus palatina, torus mandibula, chondroma,
osteochondroma, osteoma atau diffus hiperostosis
Dalam tulang kanselus RA/RB Diffuse hyperostosis osteoma, ossifyng fibroma,
asteoid osteoma, ameloblastoma, myxoma, odontoma, dll
Diatas atau dibawah mukosa pipi Fibroma, neuro fibroma, lipoma, fibropapilloma,
hemangioma, epulis fisuratum, pleomorpic adenoma,dll
Pada palatum Fibroma, fibromatosis, fibropapilloma, myxofibroma, rhabdomyoma,
mixed tumor, dll
Pada lidah Papilloma, hemangioma, rhabdomyoma, myoblastoma, leiomyoma,
lympangioma
Pada dasar mulut Mixed tumor (plemorpic adenoma), myxofibroma, dll
BIOPSI
Merupakan pengambilan jaringan patologi untuk tujuan pemeriksaan mikroskopik.
Indikasi :
• Jika pemeriksaan klinis& tanda gejala tdk cukup untuk menegakan diagnosis
• Lesi yg persistensi setelah dilakukan removal
• Untuk melihat perubahan malignansi
Kontraindikasi :
• Lesi yang pulsatile (vaskularisasi aktif)
• Lesi radiolusen intrabony(sepsis pada lesi & jaringan sekitar)
• Lesi yang berpigmen (tingkat malignansi tinggi)
Jenis -jenis:
• Biopsi insisi : lesi ganas & tumor jinak agresif
• Biopsi eksisi : lesi kecil (<1cm) & lesi jinak, dilakukan sampai 1-2mm
• Punch biopsi : jarang dilakukan dimulut, lebih sering untuk kulit
• Biopsi aspirasi : massa jaringan lunak dikepala dan leher( KGB & kel.saliva)
• Cytological smear : lesi epitel dipermukaan, terutama yg tdk brkeratin tebal
Label: fall
Riwayat gigi
Untuk menentukan apakah penyakit yang sedang dialami berasal dari komplikasi
dental dan faktor medik seperti restorasi dan jaringan periodontal yang berkaitan
dengan gangguan sistemik seperti DM. Adapun data yang harus diketahui dokter
gigi dari pasien tentang riwayat giginya adalah :
• Frekuensi kunjungan ke dokter gigi
• Ada / tidak restorasi pada gigi
• Ada / tidak penyakit periodontal, perawatan endodontik atau pernah melakukan
perawatan bedah mulut
• Alasan penyebab kehilangan gigi
• Riwayat fluoride
• Apakah pernah menggunakan alat ortho atau gigi tiruan
• Apakah pernah terkena radiasi sinar rontgen
Riwayat medik
1. Riwayat penyakit serius
Pasien ditanyakan tentang penyakit serius yang pernah dialami sehingga pasien
membutuhkan perhatian khusus dari dokter, dimana pasien membutuhkan istirahat
di tempat tidur untuk beberapa hari atau pasien yang secara rutin memperoleh
pengobatan dari dokter. Riwayat penyakit jantung, hati, ginjal, atau paru – paru
dapat ditanyakan, kondisi kongenital, penyakit infeksi, gangguan immunologi,
masalah hormonal atau diabetes, radiasi atau kemoterapi kanker, diskrasiasis
darah. Pertanyaan ini juga membantu mengingatkan pasien tentang masalah medik
yang dapat menjadi pusat perhatian bagi dokter gigi.
3. Riwayat transfusi
Riwayat transfusi darah, termasuk tanggal setiap transfusi dan jumlah unit transfusi
darah dapat menandai bahwa sebelumnya pasien memiliki masalah medik serius
atau masalah pembedahan yang menjadi evaluasi penting bagi pasien.
4. Riwayat alergi
Data pasien harus tercatat beberapa riwayat reaksi alergi klasik seperti urticaria,
hay fever, asthma atau eczema. Reaksi alergi dapat ditandai dengan tanda – tanda
seperti pingsan, sakit perut, lemah, gatal – gatal, hidung tersumbat, gangguan
pernafasan akut.
5. Riwayat medikasi
Mencatat semua jenis medikasi yang pernah digunakan oleh pasien. Identifikasi
medikasi membantu mengenal penyakit iatrogenik dan gangguan pada mulut yang
berhubungan dengan medikasi yang berbeda. Tipe obat – obatan dengan
perubahan dosis mengindikasikan status penyakit yang diderita.
6. Kehamilan
Prosedur yang harus dipertimbangkan untuk pasien hamil (mengandung) adalah
pemberian radiasi.
Riwayat keluarga
Gangguan dapat dikenali apakah berbasis genetik (kanker, penyakit
kardiovaskular,hipertensi, alergi, asma, penyakit ginjal, anemia, diabetes mellitus,
ulser perut). Juga perlu ditanyakan apakah orang tua, saudara kandung, anak –
cucu masih hidup atau sudah meninggal. Jika sudah meninggal, umur kematian dan
penyebab dari kematian dicatat. Informasi ini akan menyiagakan dokter terhadap
perkembangn kondisi medik yang serius pada pasien.
Tinjauan jaringan
1. Umum : perubahan berat badan, malaise, lelah / letih
2. Kepala : sakit kepala, masalah sinus
3. Mata : perubahan penglihatan, photophobia, diplopia, berbintik
4. Telinga : perubahan pendengaran, vertigo, tinnitus, rasa sakit
5. Hidung : epistaxis, obstruksi
6. Tenggorokan : rasa sakit
7. Pernafasan : sakit pada dada, dyspnea, hemoptysis, ada bunyi saat bernafas
8. Kardiovaskular : sakit pada dada, dyspnea, orthopnea, edema
9. Dermatologi : kanker kulit (epidermoid carcinoma, melanoma), lesi, pruritus
10. Gastrointesnital : dysphagia, perubahan nafsu makan, diarrhea, melena
11. Genitourinary : hematuria
12. Gynecologic : menopause, perubahan menstrual, dysmenorrhea
13. Endokrin : polyuria, polydipsia, polyphagia, intolerans temperatur
14. Muskuloskeletal : sakit pada sendi & otot, pembengkakan sendi, spasme
15. Hematologi : pendarahan setelah trauma , pembesaran nodus limfa
16. Neuropsychiatric : perubahan koordinasi, sensasi, memori, mood atau pola tidur
2. Temperatur
Temperatur pada pasien dentak diambil ketika kedua respon sistemik (bakterimia)
tidak membahayakan. Temperatur mulut normal (sublingual) adalah 37o C ( 98,6o F
). Sedangkan temperatur normal mulut < 37o C (100o F). Infeksi mulut yang parah
dapat mengubah temperatur lokal dalam mulut tanpa menyebabkan demam.
3. Denyut nadi
Denyut nadi normal berada diantara 60 – 100 denyut / menit. Jika > 100 denyut /
menit disebut tachycardia.
4. Tekanan darah
• Nonhipertensi
*optimal : sistolik < 120 mm/Hg -- diastolik < 80 mm/Hg
*normal : sistolik < 130 mm/Hg -- diastolik < 85 mm/Hg
*sangat normal : sistolik 130 – 139 mm/Hg -- diastolik 85 – 89 mm/Hg
• Hipertensi
*tahap 1 : sistolik 140 – 149 mm/Hg -- diastolik 90 – 99 mm/Hg
*tahap 2 : sistolik 160 – 179 mm/Hg -- diastolik 100 – 109 mm/Hg
*tahap 3 : sistolik > 180 mm/Hg -- diastolik > 110 mm/Hg
Pemeriksaan ekstraoral
1. Struktur wajah
Perhatikan warna kulit, cacat, jerawat, tahi lalat dan pigmentasi abnormal,
abnormalitas vaskular seperti angiomas, telangiectasis, nevi, asimetri,
pembengkakan. Palpasi rahang dan kelunakan serta deformitas otot mastikasi.
2. Bibir
Tandai warna bibir, tekstur, beberapa abnormalitas pada permukaan, fisur vertikal
atau angular, pit bibir, ulser. Palpasi bibir atas dan bawah untuk melihat adanya
penebalan atau pembengkakan. Perlu diperhatikan orifis pada kelenjar saliva minor
dan adanya granula Fordyce.
3. Pipi
Tandai beberapa perubahan pigmentasi dan kemampuan mukosa untuk bergerak,
linea alba, leukoedema, pembengkakan intraoral, ulser. Amati pembukaan duktus
Stensen untuk melihat aliran saliva dari duktus. Palpasi otot mastikasi.
Pemeriksaan intraoral
1. Mucobuccal fold maksila & mandibula
Amati warna, tekstur, pembengkakan dan fistula. Palpasi untuk pembengkakan dan
kelunakan insersi buccinator dengan menekan secara lateral dengan jari
dimasukkan diatas akar gigi Molar maksila.
3. Lidah
Periksa dorsum lidah saat istirahat dari ulser, bengkak, variasi ukuran dan tekstur.
Periksa pinggiran lidah dan tandai distribusi filiform dan fungiform papilla, fisur,
ulser dan area keratosis. Tamdai perlekatan frenulum dan beberapa deviasi saat
pasienn menjulurkan lidah ke luar dan pergerakan lidah ke kiri dan ke kanan.
4. Dasar mulut
Dengan lidah masih sedikit terangkat, perhatikan pembukaan duktus Wharton,
aliran saliva, sekresi saliva dan adanya pembengkakan serta ulser.
5. Gingiva
Perhatikan warna, tekstur, kontur, dan perlekatan frenulum. Tandai adanya ulser,
inflamasi margin, resorpsi, pembengkakan dan fistula.
8. Kelenjar saliva
Marker perubahan ukuran kelenjar saliva major. Pembesaran kelenjar parotid dapat
mengganggu kontur fasial. Evaluasi fungsi kelenjar parotid dengan cara keringkan
mukosa pipi disekitar orifis dari setiap duktus parotid dan pijat bagian tersebut.
Periksa jumlah sekresi saliva dana karakter cairan.
9. Temporomandibular joint
Deteksi alur pembukaan dan penutupan gerak mandibula juga pergerakan vertikal
serta horizontal. Palpasi sendi TMJ dan dengarkan adanya clicking dan krepitasi saat
membuka dan menutup TMJ dengan menggunakan stetoskop untuk mendeteksi
area suara secara adekuat.
Prinsip biopsy
Empat tipe utama dari biopsy dalam rongga mulut adalah sitologi,aspirasi biopsy,
insisional biopsy dan eksisional biopsy.
1. Oral Sitologi
Pemeriksaan sitologi untuk sel tumor pertama kali didapatkan atau terlihat dari
prosedur diagnostik untuk mendeteksi tumor/keganasan pada leher rahim.
Sekalipun aplikasi pada rongga mulut telah dianjurkan, ini dapat dilakukan atau
dipakai sebagai tambahan bukan sebagai pengganti biopsy. Diketahui oral sitologi
bisa menjadi tidak dapat dipercaya khususnya bila spesimen yang diperiksa oleh
patologis yang kurang ahli dalam oral sitologi.
Sitologi mengikuti pemeriksaan sel individu tetapi tidak dapat menyediakan bentuk
histologi dan sangat penting untuk diagnostik yang akurat.
Indikasi :
Ketika area besar dari mukosa berubah harus dilihat pada perubahan displastik,
seperti perubahan paska radiasi, herpes, dan pemphigus, sitologi sangat
membantu.
Teknik :
Lesi dikerok berulang-ulang dan kuat dengan alat penekan lidah yang dibasahkan
atau menggunakan semen spatula. Sel itu didapatkan dengan ulasan pada kaca
slide dan slide ini dicelupkan dengan segera pada cairan campur atau dengan
pelekat ( lebih baik hairspray). Sel-sel yang telah bercampur dan karakter sel
diperiksa dibawah mikroskop.
2. Aspirasi biopsy
- Aspirasi biopsy menggunakan jarum dan syringe untuk menembus lesi untuk
aspiirasi pada isinya. Sekalipun tidak ada jaringan didapat melalui aspirasi. Sering
dipakai untuk lesi disekitar dan dalam mulut. Kalau tidak bias diaspirasi
kemungkinan solid.
- Dapat menghasilkan informasi berguna yang luar biasa tentang lesi alami walau
menyebabkan sedikit ketidaknyamanan pada pasien.
- Sebuah lesi radiolusensi dirahang dapat menghasilkan cairan berwarna pada
pipet, pada aspirasi yang sering terlihat seperti lesi kista.
- Kalau yang didapatkan pus, inflamasinya adalah abses.
- Udara pada aspirasi dapat mengindikasikan bahwa terbentuknya rongga tulang
traumatik.
- Darah aspirasi dapat melambangkan beberapa lesi, yang paling penting adalah
ketidaksempurnaan dari pembuluh darah pada rahang.
- Meskipun demikian, lesi pembuluh darah yang lain dapat menyebabkan adanya
darah saat aspirasi.
- Pembengkakan tulang kista, granuloma besar yang terpusat dan lesi lain yang
menghasilkan darah pada aspirasi.
- Sebuah massa fluktuan pada jaringan lunak dapat diaspirasi untuk menentukan
isinya sebelum dilakukan perawatan yang pasti.
- Beberapa radiolusensi pada tulang di tulang harus diaspirasi sebelum dilakukan
bedah untuk menentukan sebuah lesi pembuluh darah yang dapat menghasilkan
tanda-tanda pendarahan saat diinsisi.
- Material yang didapat dari aspirasi biopsy dapat menunjukkan atau memberikan
pendapat pada pemeriksaan patologis, analisis kimia dan kultur mikrobiologi.
Indikasi :
Aspirasi biopsy dapat menampilkan semua lesi yang diperkirakan berisi cairan atau
lesi intraosseus sebelum pembedahan.
Teknik :
- Jarum tipe 18 dihubungkan dengan syringe atau spet berisi 5-10 ml. area
teranastesi dan tipe jarum 18 dimasukkan ke dalam bagian yang dalam selama
aspirasi. Ujung dari jarum harus direposisi berulang-ulang dengan sebuah usaha
untuk meletakannya pada pusat cairan. Dari intraosseus lesi bila pelebaran dan
penipisan dari kortikal plat telah ditemukan, jarum itu harus diaplikasikan dengan
kuat langsung melewati mukosa periosteum pada tulang belutan sampai
menembus tulang kortikal.
- Jika gagal, maka flap mukoperiosteum mungkin terangkat dan bur yang dipakai
pada kortikal plate, jarum itu akan maju melewati rongga kortikal.
3. Insisional biopsy
Sebuah biopsy yang sampelnya khusus atau mewakili bagian dari lesi. Jika lesinya
besar atau memiliki karakteristik yang berbeda pada lokasi yang berbeda, lebih dari
satu daerah lesi dibutuhkan
Indikasi :
Jika daerah dibawah bagian yang diperiksa menunjukkan kesulitan dalam
pemotongan karena ukuran yang lebih besar (lebih besar dari d=1mm) atau lokasi
berbahaya atau adanya kecurigaan yang besar pada tumor, insisional biopsy
disarankan.
4. Eksisional biopsy
Eksisional biopsy menunjukkan pemotongan dari keseluruhan lesi pada saat
prosedur diagnosis bedah dilakukan. Sebuah perimeter dari jaringan normal yang
mengelilingi lesi juga dieksisi untuk meyakinkan pembuangan total yang sempurna.
Indikasi :
Biopsy eksisional seharusnya disertai dengan lesi yang lebih kecil ( < d=1mm) pada
pemeriksaan klinis tampak lunak. Pigmentasi dan vaskularisasi yang kecil dapat
diangkat secara keseluruhan.
Kista Odontogenik
Kista odontogenik adalah kista yang berasal dari sisa-sisa epithelium pembentuk
gigi (epithelium odontogenik). Kista odontogenik disubklasifikasikan menjadi kista
yang berasal dari developmental dan inflammatory. Kista developmental adalah
kista yang tidak diketahui penyebabnya, dan tidak terlihat sebagai hasil dari reaksi
inflamasi. Sedangkan inflammatory merupakan kista yang terjadi karena adanya
inflanmasi.
Etilogi
Ada tiga macam sisa jaringan yang masing-masing berperan sebagai asal kista
odontogenik.
1. The epithelial rest or glands of Serres yang tersisa setelah terputusnya dental
lamina. Odontogenik keratosis dapat berasal dari jarinagn ini, dan beberapa kista
lain seperti kista gingival.
2. Email epithelium tereduksi yang berasal dari organ email dan selubung gigi yang
belum erupsi namun telah terbentuk sempurna. Kista dentigerous dan kista erupsi
berasal dari jaringan ini.
3. The rests of Malassez yang terbentuk melalui fragmentasi dari epithelium root
selubung Hertwig.
a. Kista Radikular
Definisi
Kista radikular adalah suatu kista yang berasal dari sisa-sisa epitel Malassez yang
berada di ligamen periodontal, karena suatu infeksi gigi (gangren pulpa, gangren
radik) ataupun trauma yang menyebabkan gigi nekrosis.
Etiologi
Suatu kista radikular mensyaratkan injuri fisis, kimiawi ataupun bakterial yang
menyebabkan matinya pulpa, diikuti oleh stimulasi sisa epitel Malassez, yang
biasanya dijumpai pada ligamen periodontal.
Gejala-gejala
Tidak ada gejala yang dihubungkan dengan perkembangan suatu kista, kecuali
yang kebetulan diikuti nekrosis pulpa. Suatu kista dapat menjadi cukup besar untuk
secara nyata menjadi pembengkakan.
Tekanan kista cukup untuk menggerakkan gigi yang bersangkutan, yang
disebabkan oleh timbunan cairan kista. Pada kasus semacam itu, apeks-apeks gigi
yang bersangkutan menjadi renggang, sehingga mahkota gigi dipaksa keluar
jajaran. Gigi juga dapat menjadi goyang. Bila dibiarkan tidak dirawat, suatu kista
dapat terus tumbuh dan merugikan rahang atas atau rahang bawah.
Diagnosis
Pulpa gigi dengan kista radikular tidak bereaksi terhadap stimuli listrik atau termal,
dan hasil tes klinis lainnya adalah negatif, kecuali radiografik. Pasien mungkin
melaporkan suatu riwayat sakit sebelumnya. Biasanya pada pemeriksaan radiograf,
terlihat tidak adanya kontinuitas lamina dura, dengan suatu daerah rerefaksi.
Daerah radiolusen biasanya bulat dalam garis bentuknya, kecuali bila mendekati
gigi sebelahnya, yang dalam kasus ini dapat mendatar atau mempunyai bentuk
oval. Daerah radiolusen lebih besar dari pada suatu granuloma dan dapat meliputi
lebih dari satu gigi, baik ukuran maupun bentuk daerah rerefaksi bukan indikasi
definitif suatu kista.
Diagnosis Banding
Gambaran radiografik kista akar yang kecil tidak dapat dibedakan dari gambaran
granuloma. Meskipun suatu perbedaan positif antara suatu kista dan granuloma
tidak dapat dibuat dari radiograf saja, sifat-sifat tertentu dapat memberi kesan
adanya suatu kista. Suatu kista biasanya lebih besar dari pada granuloma dan
dapat menyebabkan akar berdekatan merenggang karena tekanan terus-menerus
dari akumulasi cairan kista.
Bakteriologi
Suatu kista mungkin atau tidak mungkin terinfeksi. Sebagai suatu granuloma, suatu
kista menunjukkan suatu reaksi defensif jaringan terhadap iritan ringan. Organisme
actinomyces pernah diisolasi dari kista periapikal.
Histopatologi
Kista radikular terdiri dari suatu kavitas yang dilapisi oleh epitelium skuamus
berasal dari sisa sel Malassez yang terdapat didalam ligamen periodontal. Suatu
teori pembentukan kista adalah bahwa perubahan inflamatori periradikular
menyebabkan epitelium berpoliferasi. Bila epitelium tumbuh dalam suatu massa
sel, bagian pusat kehilangan sumber nutrisi dari jaringan periferal. Perubahan ini
menyebabkan nekrosis di pusat, suatu kavitas terbentuk, dan tercipta suatu kista.
Perawatan
Pengambilan secara bedah seluruh kista radikular sehingga bersih tidak perlu
dilakukan pada semua kasus. Kista di jumpai pada sekitar 42% atau kurang pada
daerah rerefaksi akar gigi. Resolusi (hilangnya inflamasi) daerah rerefaksi ini terjadi
setelah terapi saluran akar pada 80 sampai 98% kasus. Drainase juga bisa
mengurangi tekanan kista pada dinding kavitas tulang dan merangsang fibroplasia
dan perbaikan dari perifer lesi.
Prognosis
Prognosis tergantung pada gigi khususnya, perluasan tulang yang rusak, dan
mudah dicapainya perawatan.
Gambaran RO
• Lokasinya
Mendekati apeks gigi-gigi non-vital, tanpa pada permukaan mesial akar gigi, pada
pembukaan canal aksesoris atau pada pocket periodontal gigi dalam.
• Batas dan Bentuk
Biasanya memiliki batas kortical. Jika kista menjadi infeksi sekunder, reaksi
inflamasi disekitar tulang menyebabkan hilangnya lapisan luar (corteks) atau cortex
berubah menjadi lebih banyak pinggiran sklerotik.
• Struktur internal
Pada kebanyakan kasus, struktur internal kista ini adalah radiolusen. Kadang-
kadang kalsifikasi distrofik bisa berkembang pada kista lama (menetap), kelihatan
seperti penyebaran tipis, radioopasitas kecil.
2. Kista residual
Gambaran klinis
• Asymtomatik
• Sering ditemukan pada pemeriksaan RO daerah edentulous
• Mungkin terjadi ekspansi pada rahang atau nyeri pada kasus dengan infeksi
sekunder
Gambaran RO
• Lokasi
Terjadi pada kedua rahang
Lebih sering pada mandibula
Epicenter terletak pada lokasi periapikal
Pada mandibula ; epicenter selalu diatas canal inferior alveolar nerve
• Batas dan Bentuk
Memiliki garis tepi cortical kecuali jika menjadi infeksi sekunder. Bentuk kista
residual ini adalah oval atau bulat.
• Struktur Internal
Radiolusen, kalsifikasi bisa terdapat pada kista lama.
Kista residual dapat menyebabkan displacement gigi atau resorbsi. Kista bisa
invaginasi pada antrum maxilla atau menekan saluran inferior alveolar nerve.
3. Dentigerous Cyst
Gambaran Klinis
• Berkembang disekitar mahkota gigi yang tidak erupsi/ gigi supernumerary
• Pemeriksaan klinis menunjukkan suatu missing, pembengkakan yang keras (hard
swelling) dan biasanya mengakibatkan asimetri wajah.
• Khasnya pasien tidak merasakan nyeri dan ketidaknyamanan
Gambaran RO
• Lokasi
Epicenter kista tepat diatas mahkota gigi yang bersangkutan, biasanya M3 maxilla
atau mandibula, atau yang paling sering terjadi adalah C maxilla. Kista melekat
pada CEJ. Terkadang kista berkembang dari aspek lateral follicle, menempati area
disamping mahkota.
• Batas Luar dan Bentuk
Secara khas memiliki batas luar yang tegas (well-defined cortex) dengan garis
berkurva atau sirkular.
• Struktur Internal
Bagian internal radiolusen secara menyeluruh kecuali mahkota gigi.
• Pengaruh pada struktur sekitar
Kista ini cenderung memindahkan (menggerakkan) dan meresorbsi gigi geligi
tetangganya. Biasanya pada direksi apical. Contohnya : M3 mandibula dapat
digerakkan pada region condilar atau coronoid/ hingga cortex inferior dr mandibula.
4. Buccal Bifurcation Cyst (BBC)
Gambaran klinis
• Tertundanya erupsi M1 dan M2 mandibula
• Pada pemeriksaan klinis, molar mungkin missing atau puncak cusp lingual bisa
abnormal menonjol keluar melalui mukosa, lebih tinggi dari pada posisi cusp buccal.
• Gigi geligi selalu vital
• Hard swelling bisa terdapat pada buccal molar dan jika terdapat infeksi sekunder,
pasien bisa merasakan nyeri.
Gambaran RO
• Lokasi
Paling sering terjadi pada m1 mandibula
Terkadang terjadi secara bilateral
Selalu terdapat pada furkasi buccal dari molar yang bersangkutan
• Batas Luar dan Bentuk
Pada beberapa kasus tidak ada batas luar, lesi bisa sangat halus region
radiolusen berlapis pada gambaran akar molar.
Beberapa kasus, lesi memiliki bentuk sirkular dengan tepi cortical yang tegas
• Struktur Internal
Radiolusen
5. Odontogenik Keratocyst (OKC)
Gambaran klinis
• Terkadang terbentuk disekitar gigi yang tidak erupsi
• Biasanya asymtomatik walaupun terdapat pembengkakan ringan
• Nyeri bisa terjadi dengan infeksi sekunder
• Aspirasi menunjukkan suatu material tebal, kuning dan cheesy material (keratin)
• Kista ini cenderung berulang
Gambaran RO
• Lokasi
Badan posterior mandibula dan ramus mandibula
Epicenter terdapat pada superior hingga inferior alveolar nerve canal
• Batas luar dan bentuk
Menunjukkan tepi kortical seperti kista-kista lainnya kecuali jika terjadi infeksi
sekunder, smooth round atau berbentuk oval atau scalloped outline.
• Struktur internal
Radiolusen, adanya keratin internal tidak meningkatkan radioopasitas.
Pada beberapa kasus dapat menunjukkan septa internal berkurang, memberikan
gambaran lesi multilocular.
6. Basal Cell Nevus Syndrome
Gambaran klinis
Mulai terlihat pada awal-awal kehidupan, biasanya setelah umur 5 tahun dan
sebelum 3 tahun, dengan perkembangan kista rahang dan karsinoma sel basal
kulit. Lesi terjadi sebagai OKC multiple pada rahang, biasanya pada beberapa
kuadran. Lesi kulit kecil, flat, berwarna daging atau papul-papul coklat yang dapat
terjadi dimana saja pada tubuh khususnya pada muka dan leher.
Gambaran RO
• Lokasi
Multiple keratosis dapat berkembang secara bilateral dan dapat berukuran macam-
macam mulai dari 1mm-beberapa cm diameternya.
7. Lateral Periodontal Cyst
Gambaran klinis
• Lesi biasanya asymtomatik dan diameternya kurang dari 1cm. jika kista terinfeksi
sekunder, maka lesi ini akan menunjukkan suatu abses lateral periodontal.
Gambaran RO
• Lokasi
50-75% berkembang pada mandibula, umumnya pada I1-P2, pada maxilla I1-C’
• Batas luar dan bentuk
Radiolusensi berbatas tegas dengan kortical boundary dan berbentuk bulat oval.
• Struktur internal
Aspek internal biasanya radiolusen
• Pengaruh pada struktur sekitar
Kista kecil bisa mempengaruhi lamina dura gigi tetangga. Kista yang berukuran
besar dapat menggeser gigi-gigi tetangga dan mengakibatkan ekspasi.
2. Kista Nasolabial
Asal dari kista ini bisa jadi suatu kista fisural yang muncul dari suatu sisa epitel
dalam garis fusi globular, lateral nasal, dan prosesus maksila.
Gambaran klinis
• Pembengkakan unilateral pada pembungkus nasolabial dan dapat menyebabkan
nyeri atau ketidaknyamanan jika kista berukuran kecil.
• Jika kista berukuran besar dapat masuk ke dalam kavitas nasal yang dapat
menyebabkan obstruksi, pengembangan alae hidung, distorsi nostril hidung da
pembesaran bibir atas
Gambaran Radiograf
• Lokasinya dekat prosesus alveolaris diatas apeks insisif karena kista ini
merupakan lesi jaringan lunak sehingga radiograf tidak cukup jelas.
• Lesi berbentuk sirkular atau oval dengan peninggian ringan jaringan lunak pada
tepi kista.
• Struktur internal radiolusensi homogen
• Mengakibatkan erosi tulang , peningkatan prosesus alveolar dibawah kista dan
apikal insisif, distorsi border inferior fosa nasal.
3. Kista Dermoid
Suatu kista yang berasal dari sel-sel embrionik yang terperangkap. Kista dibatasi
oleh epidermis dan diisi dengan keratin atau material sebasea.
Gambaran klinis
• Pembengkakan, nyeri dan dapat berkembang hingga diameternya bertambah
besar beberapa senti meter.
• Jika terdapat pada leher atau lidah maka dapat mengganggu pernapasan, bicara
dan makan
• Pada palpasi kista bisa fluktuan
Gambaran Radiograf
• Kista ini merupakan kista jaringan lunak sehingga di gunakan CT atau MRI.
• Kista ini memiliki batas yang jelas dan jaringan lunak disekitarnya lebih radioopak.
• Struktur internalnya radiolusen
Indikasi :
• Pengangkatan kista pada rahang
• Ukuran lesi kecil, sehingga tidak banyak melibatkan struktur jaringan yang
berdekatan
Keuntungan :
• Pemeriksaan patologi dari seluruh kista dapat dilakukan
• Pasien tidak dilakukan perawatan untuk kavitas marsupialisasi dengan irigasi
konstan
• Jika akses flap mucoperiosteal sudah sembuh, pasien tidak merasa terganggu
lebih lama oleh kavitas kista yang ada
Kerugian :
Jika beberapa kondisi diindikasikan untuk marsupialisasi, enukleasi bersifat
merugikan seperti :
• Fraktur rahang
• Devitalisasi pada gigi
• Impaksi gigi
• Banyak jaringan normal yang terlibat
Teknik :
• Insisi
• Flap mucoperiosteal
• Pembuangan tulang pada aspek labial dari lesi
• Osseous window untuk membuka bagian lesi
• Pengangkatan kista dari kavitas menggunakan hemostate & kuret
• Menjahit daerah pembedahan
• Penyembuhan mukosa & remodelling tulang, dimana terbentuk jaringan granulasi
pada dinding kavitas yang bertulang dalam waktu 3-4 hari. Dan remodelling tulang
akan terjadi selama 6 – 12 bulan.
2.4.2 Marsupialisasi
Merupakan metode pembedahan yang menghasilkan surgical window pada dinding
kista, mengevakuasi isi kista dan memelihara kontinuitas antara kista dan rongga
mulut, sinus maksilary atau rongga nasal. Proses ini mengurangi tekanan inrakista
dan meningkatkan pengerutan pada kista. Marsupialisasi dapat digunakan sebaga
terapi tunggal atau sebagai tahap preeliminary dalam perawatan dengan enukleasi.
Indikasi :
• Jumlah jaringan yang terluka
Dekatnya kista dengan struktur vital berarti keterlibatan jaringan tidak baik jika
dilakukan enukleasi.
Contoh : jika enuklesi pada kista menyebabkan luka pada struktur neurovaskular
mayor atau devitalisasi gigi sehat, sebaiknya diindikasikan metode marsupialisasi.
• Akses pembedahan
Jika akses untuk pengangkatan kista sulit, sebaiknya dilakukan marsupialisasi untuk
mencegah lesi rekuren.
• Luas pembedahan
Untuk pasien dengan kondisi medik yang kurang baik, marsupialisasi merupakan
alternatif yang tepat dibandingkan enukleasi, karena prosedurnya yang sederhana
dan sedikit tekanan untuk pasien.
• Ukuran kista
Pada kista yang sangat besar, adanya resiko fraktur rahang selama enukleasi. Ini
lebih baik dilakukan marsupialisasi, setelah remodelling tulang dapat dilakukan
enukleasi.
Keuntungan :
• Prosedur yang dilakukan sederhana
• Memisahkan struktur vital dari kerusakan akibat pembedahan
Kerugian :
• Jaringan patologi kemungkinan masih tertinggal di dalam kavitas
• Tidak dapat dilakukan pemeriksaan histologi secara teliti
• Terselip debris makanan akibat adanya kavitas
• Pasien harus irigasi kavitas beberapa kali setiap hari
Teknik :
• Diberikan antibiotik sistemik, untuk pasien dengan kondisi yang tidak sehat
• Pemberian anastesi lokal
• Aspirasi kista, jika aspirasi dapat memperkuat diagnosis kista, prosedur
marsupialisasi dapat dilakukan
• Insisi awal, biasanya sirkular / ellips dan menghasilkan saluran yang besar (1 cm
atau lebih besar) di dalam kavitas kista.
• Jika lapisan atas tulang tebal, osseous window dibelah secara hati – hati dengan
round bur atau rongeurs
• Pengambilan isi kista
• Menjahit tepi luka hingga membentuk sseperti kantung
• Irigasi kavitas kista untuk menghilangkan beberapa fragmen residual debris
• Masukkan iodoform gauze ke dalam kavitas kista
• Irigasi kavitas rutin selama 2 minggu
• Menjahit daerah pembedahan
Indikasi :
• Jika dokter melakukan pengangkatan keratosis odontogenik, dimana keratosis
odontogenik memiliki potensi yang tinggi untuk rekuren.
• Jika terdapat beberapa kista rekuren setelah dilakukan pengangkatan kista
Keuntungan :
Jika enukleasi meninggalkan sel – sel epitelium, kuretase dapat mengangkat sisa –
sisa epitelium tersebut, sehingga kemungkinan untuk rekuren minimal.
Kerugian :
Kuretase lebih merusak tulang dan jaringan yang berdekatan. Pulpa gigi
kemungkinan akan hilang suplai neurovaskularnya ketika kuretase dilakukan dekat
dengan ujung akar. Kuretase harus dilakukan dengan ketelitian yang baik untuk
mencegah terjadinya resiko ini.
Teknik :
• Kista dienukleasi atau diangkat
• Memeriksa kavitas serta stryktur yang berdekatan dengannya
• Melakukan kuretase dengan rigasi steril untuk mengangkat lapisan tulang 1 – 2
mm sekitar kavitas kista
• Dibersihkan dan ditutup
Teknik :
• Kista pertama kali dimarsupialisasi
• Menunggu penyembuhan tulang, untuk mencegah terjadinga fraktur rahang saat
melakukan enukleasi
• Terjadi penurunan ukuran kista
• Dilakukan enukleasi
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Kasus:
“Seorang Ibu usia 47 tahun dating ke Poliklinik Bedah Mulut. Ia mengeluh terdapat
benjolan rahang bawah kanan sejak ± 2tahun yang lalu. Ia merasakan benjolan
tersebut bertambah besar dan wajah semakin asimetris. Ia tidak pernah mengeluh
sakit, tetapi ia merasakan gigi rahang bawah kanannya semakin bergeser dan
goyang. Gigi 47 dan 48 tidak erupsi. Dan terjadi pembesaran rahang ke arah bukal.
Ibu ini mempunyai riwayat kelainan jantung.
Pembahasan kasus:
1. Diagnosis kasus: Kista Dentigerous (kista follikular)
2. Definisi kista dentigerous: suatu rongga patologi yang mengelilingi suatu gigi
yang belum erupsi.
3. Etiologi : kista dentigerous disebabkan karena penumpukan atau akumulasi
cairan antara sisa- sisa organa email dan mahkota gigi dan kadang- kadang didalam
organa email itu sendiri.
4. Gambaran klinis:
• Berkembang disekitar makota gigi yang belum erupsi atau gigi supernumerary
• Pemeriksaan klinis menunjukkan tidak tumbuhnya gigi pada region yang
membengkak, adanya pergeseran letak gigi yang ekstri, dan pemebengkakan
wajah yang menyebabkan keasimetrisan wajah
• Khasnya pasien tidak merasakan nyeri atau sakit bila terjadi infeksi. Kista ini
dapat terinfeksi secxara hematogen.
5. Gambaran radiograf: daerah radiolusensi yang mengelilingi gigi yang tidak erupsi
6. Diagnosis banding: ameloblastoma, odontogenik keratosis dan tumor
odontogenik
7. Rencana perawatannya:
• rujuk pasien dikarenakan ada riwayat kelainan jantung
• anamnesis
• pemeriksaan ektraoral dan intraoral
• pemeriksaan detail pembengkakan dan nyeri (jika ada)
• pemeriksaan selanjutnya untuk penegakan diagnosis( radiograf dan biopsy secara
aspirasi)
• kurangi tingkat stress dan kecemasan pasien sebelum perawatan
• Anastesi menggunakan vasokonstriktor yang nonadrenalin
• Kista dentigerous mudah diangkat dengan cara enukleasi, gigi yang berhubungan
juga dilakukan ekstraksi. Untuk kista yang lebih besar harus dilakukan dengan cara
marsupialisasi karena jika dilakukan enukleasi dan ekstraksi gigi dapat merusak
saraf dan pembuluh darah terhadap gigi
8. Prognosis: prognosis baik jika manajemen perwatannya dilakukan dengan benar
dan memperhatikan keadaan pasien yang mempunyai kelainan penyakit jantung.
Kista dentigerous jarang terjadi rekurensi jika pengankatan kistanya dilakukan
dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
Burket. Oral Medicine diagnosis & treatment 10th edition. BC Decker.Inc.London :
2003. Hal 9 – 20
Bhalaji. Oral and maxillofacial surgery.
White SC & Pharoah. Oral Radiology 5th ed. Mosby. St Louis. 2000
Peterson. Contemporary oral and Maxillofacial Surgery. 2nd ed. CV Mosby Company.
1993
Label: fall
Mengenai Saya
cuma mahasiswa yang lagi nuntut ilmu di universitas syiah kuala, ngambil jurusan kedokteran
gigi.... and punya mimpi ngambil spesialis di german!!!!!
Lihat profil lengkapku
Link
• Google News
• Edit-Me
• Edit-Me
Posting Sebelumnya
• neoplasma rongga mulut
• kista odontogenik
Arsip
• April 2010
Berlangganan
Entri [Atom]
CRAZY CANINA
Top of Form
Search :
Bottom of Form
Blog Archives
Top of Form
Bottom of Form
Latest Entries
Tomography Memberikan informasi secara proporsional -struktur terlihat dalam keadaan preselected plane
-dimensi yg akurat -Tinggi radiasi
-mahal
-alat terbatas
CT scan -lokasi & staging tumor
-Evaluasi pengobatan - menghasilkan gambar dari banyak sisi
- dapat mengetahui sampai densitas yg kecil - peralatan yg rumit
-mahal
-alat terbatas
MRI -tumor jaringan lunak
-metastasis
-ekstensi tumor pd rahang ke jaringan lunak -tidak ada radiasi
- noninvasif
-tissue contrast
-diskriminasi jaringan -mahal
-alat terbatas
-gambaran detil tulang yang kurang baik
-lama
Radionuclide Imaging -metastasis
-artritis
-infeksi skeletal - deteksi penyakit yg menyebar luar
-menunjukan anatomi -lama
-semua organ terekspos
BIOPSI
Merupakan pengambilan jaringan patologi untuk tujuan pemeriksaan mikroskopik.
Indikasi :
• Jika pemeriksaan klinis& tanda gejala tdk cukup untuk menegakan diagnosis
• Lesi yg persistensi setelah dilakukan removal
• Untuk melihat perubahan malignansi
Kontraindikasi :
• Lesi yang pulsatile (vaskularisasi aktif)
• Lesi radiolusen intrabony(sepsis pada lesi & jaringan sekitar)
• Lesi yang berpigmen (tingkat malignansi tinggi)
Jenis -jenis:
• Biopsi insisi : lesi ganas & tumor jinak agresif
• Biopsi eksisi : lesi kecil (<1cm) & lesi jinak, dilakukan sampai 1-2mm
• Punch biopsi : jarang dilakukan dimulut, lebih sering untuk kulit
• Biopsi aspirasi : massa jaringan lunak dikepala dan leher( KGB & kel.saliva)
• Cytological smear : lesi epitel dipermukaan, terutama yg tdk brkeratin tebal
Label: fall
kista odontogenik
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 PEMERIKSAAN KLINIS
2.1.1 Memperoleh Riwayat Pasien
A. Anamnesa & riwayat rasa sakit (HPI)
Keluhan utama dari pasien didapatkan dengan cara menanyakan kepada pasien tentang masalah / penyakit apa yang
pasien rasakan sehigga pasien tersebut datang untuk meminta perawatan. Keluhan utama dicatat berdasarkan perkataan
pasien sendiri tanpa menggunakan bahasa diagnostik formal. Pasien dapat atau tidak bersedia untuk menceritakan
keluhannya secara detail, untuk mengatasinya dokter dapat memberikan pertanyaan yang terdiri dari riwayat rasa sakit
yang dirasakan oleh pasien. Pertanyaan secara langsung dan spesifik digunakan untuk mendapatkan informasi dan harus di
catat dalam bentuk naratif pada catatan pasien. Contoh pertanyaan yang diberikan sebagai berikut :
• Kapan penyakit tersebut dimulai ?
• Kapan anda meraskan rasa sakit tersebut ?
• Apakah anda memiliki masalah atau gejala yang berhubungan dengan penyakit ini ?
• Apakah faktor yang dapat menyebabkan penyakit tersebut menjadi lebih baik atau lebih buruk ?
• Apakah anda sudah pernah memeriksakan penyakit ini sebelumnya ?
• Apakah anda sudah pernah berkonsultasi dengan dokter gigi atau dokter lain yang berhubungan dengan penyakit ini ?
• Apakah anda pernah melakukan perawatan untuk penyakit ini sebelumnya ?
Riwayat gigi
Untuk menentukan apakah penyakit yang sedang dialami berasal dari komplikasi dental dan faktor medik seperti restorasi
dan jaringan periodontal yang berkaitan dengan gangguan sistemik seperti DM. Adapun data yang harus diketahui dokter
gigi dari pasien tentang riwayat giginya adalah :
• Frekuensi kunjungan ke dokter gigi
• Ada / tidak restorasi pada gigi
• Ada / tidak penyakit periodontal, perawatan endodontik atau pernah melakukan perawatan bedah mulut
• Alasan penyebab kehilangan gigi
• Riwayat fluoride
• Apakah pernah menggunakan alat ortho atau gigi tiruan
• Apakah pernah terkena radiasi sinar rontgen
Riwayat medik
1. Riwayat penyakit serius
Pasien ditanyakan tentang penyakit serius yang pernah dialami sehingga pasien membutuhkan perhatian khusus dari
dokter, dimana pasien membutuhkan istirahat di tempat tidur untuk beberapa hari atau pasien yang secara rutin
memperoleh pengobatan dari dokter. Riwayat penyakit jantung, hati, ginjal, atau paru – paru dapat ditanyakan, kondisi
kongenital, penyakit infeksi, gangguan immunologi, masalah hormonal atau diabetes, radiasi atau kemoterapi kanker,
diskrasiasis darah. Pertanyaan ini juga membantu mengingatkan pasien tentang masalah medik yang dapat menjadi pusat
perhatian bagi dokter gigi.
3. Riwayat transfusi
Riwayat transfusi darah, termasuk tanggal setiap transfusi dan jumlah unit transfusi darah dapat menandai bahwa
sebelumnya pasien memiliki masalah medik serius atau masalah pembedahan yang menjadi evaluasi penting bagi pasien.
4. Riwayat alergi
Data pasien harus tercatat beberapa riwayat reaksi alergi klasik seperti urticaria, hay fever, asthma atau eczema. Reaksi
alergi dapat ditandai dengan tanda – tanda seperti pingsan, sakit perut, lemah, gatal – gatal, hidung tersumbat, gangguan
pernafasan akut.
5. Riwayat medikasi
Mencatat semua jenis medikasi yang pernah digunakan oleh pasien. Identifikasi medikasi membantu mengenal penyakit
iatrogenik dan gangguan pada mulut yang berhubungan dengan medikasi yang berbeda. Tipe obat – obatan dengan
perubahan dosis mengindikasikan status penyakit yang diderita.
6. Kehamilan
Prosedur yang harus dipertimbangkan untuk pasien hamil (mengandung) adalah pemberian radiasi.
Riwayat keluarga
Gangguan dapat dikenali apakah berbasis genetik (kanker, penyakit kardiovaskular,hipertensi, alergi, asma, penyakit
ginjal, anemia, diabetes mellitus, ulser perut). Juga perlu ditanyakan apakah orang tua, saudara kandung, anak – cucu
masih hidup atau sudah meninggal. Jika sudah meninggal, umur kematian dan penyebab dari kematian dicatat. Informasi
ini akan menyiagakan dokter terhadap perkembangn kondisi medik yang serius pada pasien.
Tinjauan jaringan
1. Umum : perubahan berat badan, malaise, lelah / letih
2. Kepala : sakit kepala, masalah sinus
3. Mata : perubahan penglihatan, photophobia, diplopia, berbintik
4. Telinga : perubahan pendengaran, vertigo, tinnitus, rasa sakit
5. Hidung : epistaxis, obstruksi
6. Tenggorokan : rasa sakit
7. Pernafasan : sakit pada dada, dyspnea, hemoptysis, ada bunyi saat bernafas
8. Kardiovaskular : sakit pada dada, dyspnea, orthopnea, edema
9. Dermatologi : kanker kulit (epidermoid carcinoma, melanoma), lesi, pruritus
10. Gastrointesnital : dysphagia, perubahan nafsu makan, diarrhea, melena
11. Genitourinary : hematuria
12. Gynecologic : menopause, perubahan menstrual, dysmenorrhea
13. Endokrin : polyuria, polydipsia, polyphagia, intolerans temperatur
14. Muskuloskeletal : sakit pada sendi & otot, pembengkakan sendi, spasme
15. Hematologi : pendarahan setelah trauma , pembesaran nodus limfa
16. Neuropsychiatric : perubahan koordinasi, sensasi, memori, mood atau pola tidur
2. Temperatur
Temperatur pada pasien dentak diambil ketika kedua respon sistemik (bakterimia) tidak membahayakan. Temperatur
mulut normal (sublingual) adalah 37o C ( 98,6o F ). Sedangkan temperatur normal mulut < 37o C (100o F). Infeksi mulut
yang parah dapat mengubah temperatur lokal dalam mulut tanpa menyebabkan demam.
3. Denyut nadi
Denyut nadi normal berada diantara 60 – 100 denyut / menit. Jika > 100 denyut / menit disebut tachycardia.
4. Tekanan darah
• Nonhipertensi
*optimal : sistolik < 120 mm/Hg -- diastolik < 80 mm/Hg
*normal : sistolik < 130 mm/Hg -- diastolik < 85 mm/Hg
*sangat normal : sistolik 130 – 139 mm/Hg -- diastolik 85 – 89 mm/Hg
• Hipertensi
*tahap 1 : sistolik 140 – 149 mm/Hg -- diastolik 90 – 99 mm/Hg
*tahap 2 : sistolik 160 – 179 mm/Hg -- diastolik 100 – 109 mm/Hg
*tahap 3 : sistolik > 180 mm/Hg -- diastolik > 110 mm/Hg
Pemeriksaan ekstraoral
1. Struktur wajah
Perhatikan warna kulit, cacat, jerawat, tahi lalat dan pigmentasi abnormal, abnormalitas vaskular seperti angiomas,
telangiectasis, nevi, asimetri, pembengkakan. Palpasi rahang dan kelunakan serta deformitas otot mastikasi.
2. Bibir
Tandai warna bibir, tekstur, beberapa abnormalitas pada permukaan, fisur vertikal atau angular, pit bibir, ulser. Palpasi
bibir atas dan bawah untuk melihat adanya penebalan atau pembengkakan. Perlu diperhatikan orifis pada kelenjar saliva
minor dan adanya granula Fordyce.
3. Pipi
Tandai beberapa perubahan pigmentasi dan kemampuan mukosa untuk bergerak, linea alba, leukoedema, pembengkakan
intraoral, ulser. Amati pembukaan duktus Stensen untuk melihat aliran saliva dari duktus. Palpasi otot mastikasi.
Pemeriksaan intraoral
1. Mucobuccal fold maksila & mandibula
Amati warna, tekstur, pembengkakan dan fistula. Palpasi untuk pembengkakan dan kelunakan insersi buccinator dengan
menekan secara lateral dengan jari dimasukkan diatas akar gigi Molar maksila.
3. Lidah
Periksa dorsum lidah saat istirahat dari ulser, bengkak, variasi ukuran dan tekstur. Periksa pinggiran lidah dan tandai
distribusi filiform dan fungiform papilla, fisur, ulser dan area keratosis. Tamdai perlekatan frenulum dan beberapa deviasi
saat pasienn menjulurkan lidah ke luar dan pergerakan lidah ke kiri dan ke kanan.
4. Dasar mulut
Dengan lidah masih sedikit terangkat, perhatikan pembukaan duktus Wharton, aliran saliva, sekresi saliva dan adanya
pembengkakan serta ulser.
5. Gingiva
Perhatikan warna, tekstur, kontur, dan perlekatan frenulum. Tandai adanya ulser, inflamasi margin, resorpsi,
pembengkakan dan fistula.
8. Kelenjar saliva
Marker perubahan ukuran kelenjar saliva major. Pembesaran kelenjar parotid dapat mengganggu kontur fasial. Evaluasi
fungsi kelenjar parotid dengan cara keringkan mukosa pipi disekitar orifis dari setiap duktus parotid dan pijat bagian
tersebut. Periksa jumlah sekresi saliva dana karakter cairan.
9. Temporomandibular joint
Deteksi alur pembukaan dan penutupan gerak mandibula juga pergerakan vertikal serta horizontal. Palpasi sendi TMJ dan
dengarkan adanya clicking dan krepitasi saat membuka dan menutup TMJ dengan menggunakan stetoskop untuk
mendeteksi area suara secara adekuat.
Prinsip biopsy
Biopsy adalah pengambilan jaringan dari individu hidup untuk pemeriksaan diagnosis. Ini merupakan pemeriksaan
diagnostik yang paling sering dilakukan dari semua prosedur diagnostik yang dilakukan di lab dan harus dilakukan ketika
diagnosis langsung tidak bias didapatkan dengan diagnostik yang kurang
Empat tipe utama dari biopsy dalam rongga mulut adalah sitologi,aspirasi biopsy, insisional biopsy dan eksisional biopsy.
1. Oral Sitologi
Pemeriksaan sitologi untuk sel tumor pertama kali didapatkan atau terlihat dari prosedur diagnostik untuk mendeteksi
tumor/keganasan pada leher rahim. Sekalipun aplikasi pada rongga mulut telah dianjurkan, ini dapat dilakukan atau
dipakai sebagai tambahan bukan sebagai pengganti biopsy. Diketahui oral sitologi bisa menjadi tidak dapat dipercaya
khususnya bila spesimen yang diperiksa oleh patologis yang kurang ahli dalam oral sitologi.
Sitologi mengikuti pemeriksaan sel individu tetapi tidak dapat menyediakan bentuk histologi dan sangat penting untuk
diagnostik yang akurat.
Indikasi :
Ketika area besar dari mukosa berubah harus dilihat pada perubahan displastik, seperti perubahan paska radiasi, herpes,
dan pemphigus, sitologi sangat membantu.
Teknik :
Lesi dikerok berulang-ulang dan kuat dengan alat penekan lidah yang dibasahkan atau menggunakan semen spatula. Sel
itu didapatkan dengan ulasan pada kaca slide dan slide ini dicelupkan dengan segera pada cairan campur atau dengan
pelekat ( lebih baik hairspray). Sel-sel yang telah bercampur dan karakter sel diperiksa dibawah mikroskop.
2. Aspirasi biopsy
- Aspirasi biopsy menggunakan jarum dan syringe untuk menembus lesi untuk aspiirasi pada isinya. Sekalipun tidak ada
jaringan didapat melalui aspirasi. Sering dipakai untuk lesi disekitar dan dalam mulut. Kalau tidak bias diaspirasi
kemungkinan solid.
- Dapat menghasilkan informasi berguna yang luar biasa tentang lesi alami walau menyebabkan sedikit ketidaknyamanan
pada pasien.
- Sebuah lesi radiolusensi dirahang dapat menghasilkan cairan berwarna pada pipet, pada aspirasi yang sering terlihat
seperti lesi kista.
- Kalau yang didapatkan pus, inflamasinya adalah abses.
- Udara pada aspirasi dapat mengindikasikan bahwa terbentuknya rongga tulang traumatik.
- Darah aspirasi dapat melambangkan beberapa lesi, yang paling penting adalah ketidaksempurnaan dari pembuluh darah
pada rahang.
- Meskipun demikian, lesi pembuluh darah yang lain dapat menyebabkan adanya darah saat aspirasi.
- Pembengkakan tulang kista, granuloma besar yang terpusat dan lesi lain yang menghasilkan darah pada aspirasi.
- Sebuah massa fluktuan pada jaringan lunak dapat diaspirasi untuk menentukan isinya sebelum dilakukan perawatan yang
pasti.
- Beberapa radiolusensi pada tulang di tulang harus diaspirasi sebelum dilakukan bedah untuk menentukan sebuah lesi
pembuluh darah yang dapat menghasilkan tanda-tanda pendarahan saat diinsisi.
- Material yang didapat dari aspirasi biopsy dapat menunjukkan atau memberikan pendapat pada pemeriksaan patologis,
analisis kimia dan kultur mikrobiologi.
Indikasi :
Aspirasi biopsy dapat menampilkan semua lesi yang diperkirakan berisi cairan atau lesi intraosseus sebelum pembedahan.
Teknik :
- Jarum tipe 18 dihubungkan dengan syringe atau spet berisi 5-10 ml. area teranastesi dan tipe jarum 18 dimasukkan ke
dalam bagian yang dalam selama aspirasi. Ujung dari jarum harus direposisi berulang-ulang dengan sebuah usaha untuk
meletakannya pada pusat cairan. Dari intraosseus lesi bila pelebaran dan penipisan dari kortikal plat telah ditemukan,
jarum itu harus diaplikasikan dengan kuat langsung melewati mukosa periosteum pada tulang belutan sampai menembus
tulang kortikal.
- Jika gagal, maka flap mukoperiosteum mungkin terangkat dan bur yang dipakai pada kortikal plate, jarum itu akan maju
melewati rongga kortikal.
3. Insisional biopsy
Sebuah biopsy yang sampelnya khusus atau mewakili bagian dari lesi. Jika lesinya besar atau memiliki karakteristik yang
berbeda pada lokasi yang berbeda, lebih dari satu daerah lesi dibutuhkan
Indikasi :
Jika daerah dibawah bagian yang diperiksa menunjukkan kesulitan dalam pemotongan karena ukuran yang lebih besar
(lebih besar dari d=1mm) atau lokasi berbahaya atau adanya kecurigaan yang besar pada tumor, insisional biopsy
disarankan.
4. Eksisional biopsy
Eksisional biopsy menunjukkan pemotongan dari keseluruhan lesi pada saat prosedur diagnosis bedah dilakukan. Sebuah
perimeter dari jaringan normal yang mengelilingi lesi juga dieksisi untuk meyakinkan pembuangan total yang sempurna.
Indikasi :
Biopsy eksisional seharusnya disertai dengan lesi yang lebih kecil ( < d=1mm) pada pemeriksaan klinis tampak lunak.
Pigmentasi dan vaskularisasi yang kecil dapat diangkat secara keseluruhan.
Kista Odontogenik
Kista odontogenik adalah kista yang berasal dari sisa-sisa epithelium pembentuk gigi (epithelium odontogenik). Kista
odontogenik disubklasifikasikan menjadi kista yang berasal dari developmental dan inflammatory. Kista developmental
adalah kista yang tidak diketahui penyebabnya, dan tidak terlihat sebagai hasil dari reaksi inflamasi. Sedangkan
inflammatory merupakan kista yang terjadi karena adanya inflanmasi.
Etilogi
Ada tiga macam sisa jaringan yang masing-masing berperan sebagai asal kista odontogenik.
1. The epithelial rest or glands of Serres yang tersisa setelah terputusnya dental lamina. Odontogenik keratosis dapat
berasal dari jarinagn ini, dan beberapa kista lain seperti kista gingival.
2. Email epithelium tereduksi yang berasal dari organ email dan selubung gigi yang belum erupsi namun telah terbentuk
sempurna. Kista dentigerous dan kista erupsi berasal dari jaringan ini.
3. The rests of Malassez yang terbentuk melalui fragmentasi dari epithelium root selubung Hertwig.
a. Kista Radikular
Definisi
Kista radikular adalah suatu kista yang berasal dari sisa-sisa epitel Malassez yang berada di ligamen periodontal, karena
suatu infeksi gigi (gangren pulpa, gangren radik) ataupun trauma yang menyebabkan gigi nekrosis.
Etiologi
Suatu kista radikular mensyaratkan injuri fisis, kimiawi ataupun bakterial yang menyebabkan matinya pulpa, diikuti oleh
stimulasi sisa epitel Malassez, yang biasanya dijumpai pada ligamen periodontal.
Gejala-gejala
Tidak ada gejala yang dihubungkan dengan perkembangan suatu kista, kecuali yang kebetulan diikuti nekrosis pulpa.
Suatu kista dapat menjadi cukup besar untuk secara nyata menjadi pembengkakan.
Tekanan kista cukup untuk menggerakkan gigi yang bersangkutan, yang disebabkan oleh timbunan cairan kista. Pada
kasus semacam itu, apeks-apeks gigi yang bersangkutan menjadi renggang, sehingga mahkota gigi dipaksa keluar jajaran.
Gigi juga dapat menjadi goyang. Bila dibiarkan tidak dirawat, suatu kista dapat terus tumbuh dan merugikan rahang atas
atau rahang bawah.
Diagnosis
Pulpa gigi dengan kista radikular tidak bereaksi terhadap stimuli listrik atau termal, dan hasil tes klinis lainnya adalah
negatif, kecuali radiografik. Pasien mungkin melaporkan suatu riwayat sakit sebelumnya. Biasanya pada pemeriksaan
radiograf, terlihat tidak adanya kontinuitas lamina dura, dengan suatu daerah rerefaksi. Daerah radiolusen biasanya bulat
dalam garis bentuknya, kecuali bila mendekati gigi sebelahnya, yang dalam kasus ini dapat mendatar atau mempunyai
bentuk oval. Daerah radiolusen lebih besar dari pada suatu granuloma dan dapat meliputi lebih dari satu gigi, baik ukuran
maupun bentuk daerah rerefaksi bukan indikasi definitif suatu kista.
Diagnosis Banding
Gambaran radiografik kista akar yang kecil tidak dapat dibedakan dari gambaran granuloma. Meskipun suatu perbedaan
positif antara suatu kista dan granuloma tidak dapat dibuat dari radiograf saja, sifat-sifat tertentu dapat memberi kesan
adanya suatu kista. Suatu kista biasanya lebih besar dari pada granuloma dan dapat menyebabkan akar berdekatan
merenggang karena tekanan terus-menerus dari akumulasi cairan kista.
Bakteriologi
Suatu kista mungkin atau tidak mungkin terinfeksi. Sebagai suatu granuloma, suatu kista menunjukkan suatu reaksi
defensif jaringan terhadap iritan ringan. Organisme actinomyces pernah diisolasi dari kista periapikal.
Histopatologi
Kista radikular terdiri dari suatu kavitas yang dilapisi oleh epitelium skuamus berasal dari sisa sel Malassez yang terdapat
didalam ligamen periodontal. Suatu teori pembentukan kista adalah bahwa perubahan inflamatori periradikular
menyebabkan epitelium berpoliferasi. Bila epitelium tumbuh dalam suatu massa sel, bagian pusat kehilangan sumber
nutrisi dari jaringan periferal. Perubahan ini menyebabkan nekrosis di pusat, suatu kavitas terbentuk, dan tercipta suatu
kista.
Perawatan
Pengambilan secara bedah seluruh kista radikular sehingga bersih tidak perlu dilakukan pada semua kasus. Kista di jumpai
pada sekitar 42% atau kurang pada daerah rerefaksi akar gigi. Resolusi (hilangnya inflamasi) daerah rerefaksi ini terjadi
setelah terapi saluran akar pada 80 sampai 98% kasus. Drainase juga bisa mengurangi tekanan kista pada dinding kavitas
tulang dan merangsang fibroplasia dan perbaikan dari perifer lesi.
Prognosis
Prognosis tergantung pada gigi khususnya, perluasan tulang yang rusak, dan mudah dicapainya perawatan.
Gambaran RO
• Lokasinya
Mendekati apeks gigi-gigi non-vital, tanpa pada permukaan mesial akar gigi, pada pembukaan canal aksesoris atau pada
pocket periodontal gigi dalam.
• Batas dan Bentuk
Biasanya memiliki batas kortical. Jika kista menjadi infeksi sekunder, reaksi inflamasi disekitar tulang menyebabkan
hilangnya lapisan luar (corteks) atau cortex berubah menjadi lebih banyak pinggiran sklerotik.
• Struktur internal
Pada kebanyakan kasus, struktur internal kista ini adalah radiolusen. Kadang-kadang kalsifikasi distrofik bisa berkembang
pada kista lama (menetap), kelihatan seperti penyebaran tipis, radioopasitas kecil.
2. Kista residual
Gambaran klinis
• Asymtomatik
• Sering ditemukan pada pemeriksaan RO daerah edentulous
• Mungkin terjadi ekspansi pada rahang atau nyeri pada kasus dengan infeksi sekunder
Gambaran RO
• Lokasi
Terjadi pada kedua rahang
Lebih sering pada mandibula
Epicenter terletak pada lokasi periapikal
Pada mandibula ; epicenter selalu diatas canal inferior alveolar nerve
• Batas dan Bentuk
Memiliki garis tepi cortical kecuali jika menjadi infeksi sekunder. Bentuk kista residual ini adalah oval atau bulat.
• Struktur Internal
Radiolusen, kalsifikasi bisa terdapat pada kista lama.
Kista residual dapat menyebabkan displacement gigi atau resorbsi. Kista bisa invaginasi pada antrum maxilla atau
menekan saluran inferior alveolar nerve.
3. Dentigerous Cyst
Gambaran Klinis
• Berkembang disekitar mahkota gigi yang tidak erupsi/ gigi supernumerary
• Pemeriksaan klinis menunjukkan suatu missing, pembengkakan yang keras (hard swelling) dan biasanya mengakibatkan
asimetri wajah.
• Khasnya pasien tidak merasakan nyeri dan ketidaknyamanan
Gambaran RO
• Lokasi
Epicenter kista tepat diatas mahkota gigi yang bersangkutan, biasanya M3 maxilla atau mandibula, atau yang paling sering
terjadi adalah C maxilla. Kista melekat pada CEJ. Terkadang kista berkembang dari aspek lateral follicle, menempati
area disamping mahkota.
• Batas Luar dan Bentuk
Secara khas memiliki batas luar yang tegas (well-defined cortex) dengan garis berkurva atau sirkular.
• Struktur Internal
Bagian internal radiolusen secara menyeluruh kecuali mahkota gigi.
• Pengaruh pada struktur sekitar
Kista ini cenderung memindahkan (menggerakkan) dan meresorbsi gigi geligi tetangganya. Biasanya pada direksi apical.
Contohnya : M3 mandibula dapat digerakkan pada region condilar atau coronoid/ hingga cortex inferior dr mandibula.
4. Buccal Bifurcation Cyst (BBC)
Gambaran klinis
• Tertundanya erupsi M1 dan M2 mandibula
• Pada pemeriksaan klinis, molar mungkin missing atau puncak cusp lingual bisa abnormal menonjol keluar melalui
mukosa, lebih tinggi dari pada posisi cusp buccal.
• Gigi geligi selalu vital
• Hard swelling bisa terdapat pada buccal molar dan jika terdapat infeksi sekunder, pasien bisa merasakan nyeri.
Gambaran RO
• Lokasi
Paling sering terjadi pada m1 mandibula
Terkadang terjadi secara bilateral
Selalu terdapat pada furkasi buccal dari molar yang bersangkutan
• Batas Luar dan Bentuk
Pada beberapa kasus tidak ada batas luar, lesi bisa sangat halus region radiolusen berlapis pada gambaran akar molar.
Beberapa kasus, lesi memiliki bentuk sirkular dengan tepi cortical yang tegas
• Struktur Internal
Radiolusen
5. Odontogenik Keratocyst (OKC)
Gambaran klinis
• Terkadang terbentuk disekitar gigi yang tidak erupsi
• Biasanya asymtomatik walaupun terdapat pembengkakan ringan
• Nyeri bisa terjadi dengan infeksi sekunder
• Aspirasi menunjukkan suatu material tebal, kuning dan cheesy material (keratin)
• Kista ini cenderung berulang
Gambaran RO
• Lokasi
Badan posterior mandibula dan ramus mandibula
Epicenter terdapat pada superior hingga inferior alveolar nerve canal
• Batas luar dan bentuk
Menunjukkan tepi kortical seperti kista-kista lainnya kecuali jika terjadi infeksi sekunder, smooth round atau berbentuk
oval atau scalloped outline.
• Struktur internal
Radiolusen, adanya keratin internal tidak meningkatkan radioopasitas.
Pada beberapa kasus dapat menunjukkan septa internal berkurang, memberikan gambaran lesi multilocular.
6. Basal Cell Nevus Syndrome
Gambaran klinis
Mulai terlihat pada awal-awal kehidupan, biasanya setelah umur 5 tahun dan sebelum 3 tahun, dengan perkembangan
kista rahang dan karsinoma sel basal kulit. Lesi terjadi sebagai OKC multiple pada rahang, biasanya pada beberapa
kuadran. Lesi kulit kecil, flat, berwarna daging atau papul-papul coklat yang dapat terjadi dimana saja pada tubuh
khususnya pada muka dan leher.
Gambaran RO
• Lokasi
Multiple keratosis dapat berkembang secara bilateral dan dapat berukuran macam-macam mulai dari 1mm-beberapa cm
diameternya.
7. Lateral Periodontal Cyst
Gambaran klinis
• Lesi biasanya asymtomatik dan diameternya kurang dari 1cm. jika kista terinfeksi sekunder, maka lesi ini akan
menunjukkan suatu abses lateral periodontal.
Gambaran RO
• Lokasi
50-75% berkembang pada mandibula, umumnya pada I1-P2, pada maxilla I1-C’
• Batas luar dan bentuk
Radiolusensi berbatas tegas dengan kortical boundary dan berbentuk bulat oval.
• Struktur internal
Aspek internal biasanya radiolusen
• Pengaruh pada struktur sekitar
Kista kecil bisa mempengaruhi lamina dura gigi tetangga. Kista yang berukuran besar dapat menggeser gigi-gigi tetangga
dan mengakibatkan ekspasi.
2. Kista Nasolabial
Asal dari kista ini bisa jadi suatu kista fisural yang muncul dari suatu sisa epitel dalam garis fusi globular, lateral nasal,
dan prosesus maksila.
Gambaran klinis
• Pembengkakan unilateral pada pembungkus nasolabial dan dapat menyebabkan nyeri atau ketidaknyamanan jika kista
berukuran kecil.
• Jika kista berukuran besar dapat masuk ke dalam kavitas nasal yang dapat menyebabkan obstruksi, pengembangan alae
hidung, distorsi nostril hidung da pembesaran bibir atas
Gambaran Radiograf
• Lokasinya dekat prosesus alveolaris diatas apeks insisif karena kista ini merupakan lesi jaringan lunak sehingga radiograf
tidak cukup jelas.
• Lesi berbentuk sirkular atau oval dengan peninggian ringan jaringan lunak pada tepi kista.
• Struktur internal radiolusensi homogen
• Mengakibatkan erosi tulang , peningkatan prosesus alveolar dibawah kista dan apikal insisif, distorsi border inferior fosa
nasal.
3. Kista Dermoid
Suatu kista yang berasal dari sel-sel embrionik yang terperangkap. Kista dibatasi oleh epidermis dan diisi dengan keratin
atau material sebasea.
Gambaran klinis
• Pembengkakan, nyeri dan dapat berkembang hingga diameternya bertambah besar beberapa senti meter.
• Jika terdapat pada leher atau lidah maka dapat mengganggu pernapasan, bicara dan makan
• Pada palpasi kista bisa fluktuan
Gambaran Radiograf
• Kista ini merupakan kista jaringan lunak sehingga di gunakan CT atau MRI.
• Kista ini memiliki batas yang jelas dan jaringan lunak disekitarnya lebih radioopak.
• Struktur internalnya radiolusen
Indikasi :
• Pengangkatan kista pada rahang
• Ukuran lesi kecil, sehingga tidak banyak melibatkan struktur jaringan yang berdekatan
Keuntungan :
• Pemeriksaan patologi dari seluruh kista dapat dilakukan
• Pasien tidak dilakukan perawatan untuk kavitas marsupialisasi dengan irigasi konstan
• Jika akses flap mucoperiosteal sudah sembuh, pasien tidak merasa terganggu lebih lama oleh kavitas kista yang ada
Kerugian :
Jika beberapa kondisi diindikasikan untuk marsupialisasi, enukleasi bersifat merugikan seperti :
• Fraktur rahang
• Devitalisasi pada gigi
• Impaksi gigi
• Banyak jaringan normal yang terlibat
Teknik :
• Insisi
• Flap mucoperiosteal
• Pembuangan tulang pada aspek labial dari lesi
• Osseous window untuk membuka bagian lesi
• Pengangkatan kista dari kavitas menggunakan hemostate & kuret
• Menjahit daerah pembedahan
• Penyembuhan mukosa & remodelling tulang, dimana terbentuk jaringan granulasi pada dinding kavitas yang bertulang
dalam waktu 3-4 hari. Dan remodelling tulang akan terjadi selama 6 – 12 bulan.
2.4.2 Marsupialisasi
Merupakan metode pembedahan yang menghasilkan surgical window pada dinding kista, mengevakuasi isi kista dan
memelihara kontinuitas antara kista dan rongga mulut, sinus maksilary atau rongga nasal. Proses ini mengurangi tekanan
inrakista dan meningkatkan pengerutan pada kista. Marsupialisasi dapat digunakan sebaga terapi tunggal atau sebagai
tahap preeliminary dalam perawatan dengan enukleasi.
Indikasi :
• Jumlah jaringan yang terluka
Dekatnya kista dengan struktur vital berarti keterlibatan jaringan tidak baik jika dilakukan enukleasi.
Contoh : jika enuklesi pada kista menyebabkan luka pada struktur neurovaskular mayor atau devitalisasi gigi sehat,
sebaiknya diindikasikan metode marsupialisasi.
• Akses pembedahan
Jika akses untuk pengangkatan kista sulit, sebaiknya dilakukan marsupialisasi untuk mencegah lesi rekuren.
• Luas pembedahan
Untuk pasien dengan kondisi medik yang kurang baik, marsupialisasi merupakan alternatif yang tepat dibandingkan
enukleasi, karena prosedurnya yang sederhana dan sedikit tekanan untuk pasien.
• Ukuran kista
Pada kista yang sangat besar, adanya resiko fraktur rahang selama enukleasi. Ini lebih baik dilakukan marsupialisasi,
setelah remodelling tulang dapat dilakukan enukleasi.
Keuntungan :
• Prosedur yang dilakukan sederhana
• Memisahkan struktur vital dari kerusakan akibat pembedahan
Kerugian :
• Jaringan patologi kemungkinan masih tertinggal di dalam kavitas
• Tidak dapat dilakukan pemeriksaan histologi secara teliti
• Terselip debris makanan akibat adanya kavitas
• Pasien harus irigasi kavitas beberapa kali setiap hari
Teknik :
• Diberikan antibiotik sistemik, untuk pasien dengan kondisi yang tidak sehat
• Pemberian anastesi lokal
• Aspirasi kista, jika aspirasi dapat memperkuat diagnosis kista, prosedur marsupialisasi dapat dilakukan
• Insisi awal, biasanya sirkular / ellips dan menghasilkan saluran yang besar (1 cm atau lebih besar) di dalam kavitas
kista.
• Jika lapisan atas tulang tebal, osseous window dibelah secara hati – hati dengan round bur atau rongeurs
• Pengambilan isi kista
• Menjahit tepi luka hingga membentuk sseperti kantung
• Irigasi kavitas kista untuk menghilangkan beberapa fragmen residual debris
• Masukkan iodoform gauze ke dalam kavitas kista
• Irigasi kavitas rutin selama 2 minggu
• Menjahit daerah pembedahan
2.4.3 Enukleasi dengan kuretase
Dimana setelah dilakukan enukleasi, dilakukan kuretase untuk mengangkat 1 – 2 mm tulang sekitar periphery kavitas
kista. Ini dilakukan untuk membuang beberapa sel epitelial yang tersisa pada dinding kavitas.
Indikasi :
• Jika dokter melakukan pengangkatan keratosis odontogenik, dimana keratosis odontogenik memiliki potensi yang tinggi
untuk rekuren.
• Jika terdapat beberapa kista rekuren setelah dilakukan pengangkatan kista
Keuntungan :
Jika enukleasi meninggalkan sel – sel epitelium, kuretase dapat mengangkat sisa – sisa epitelium tersebut, sehingga
kemungkinan untuk rekuren minimal.
Kerugian :
Kuretase lebih merusak tulang dan jaringan yang berdekatan. Pulpa gigi kemungkinan akan hilang suplai neurovaskularnya
ketika kuretase dilakukan dekat dengan ujung akar. Kuretase harus dilakukan dengan ketelitian yang baik untuk
mencegah terjadinya resiko ini.
Teknik :
• Kista dienukleasi atau diangkat
• Memeriksa kavitas serta stryktur yang berdekatan dengannya
• Melakukan kuretase dengan rigasi steril untuk mengangkat lapisan tulang 1 – 2 mm sekitar kavitas kista
• Dibersihkan dan ditutup
Teknik :
• Kista pertama kali dimarsupialisasi
• Menunggu penyembuhan tulang, untuk mencegah terjadinga fraktur rahang saat melakukan enukleasi
• Terjadi penurunan ukuran kista
• Dilakukan enukleasi
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Kasus:
“Seorang Ibu usia 47 tahun dating ke Poliklinik Bedah Mulut. Ia mengeluh terdapat benjolan rahang bawah kanan sejak ±
2tahun yang lalu. Ia merasakan benjolan tersebut bertambah besar dan wajah semakin asimetris. Ia tidak pernah
mengeluh sakit, tetapi ia merasakan gigi rahang bawah kanannya semakin bergeser dan goyang. Gigi 47 dan 48 tidak
erupsi. Dan terjadi pembesaran rahang ke arah bukal. Ibu ini mempunyai riwayat kelainan jantung.
Pembahasan kasus:
1. Diagnosis kasus: Kista Dentigerous (kista follikular)
2. Definisi kista dentigerous: suatu rongga patologi yang mengelilingi suatu gigi yang belum erupsi.
3. Etiologi : kista dentigerous disebabkan karena penumpukan atau akumulasi cairan antara sisa- sisa organa email dan
mahkota gigi dan kadang- kadang didalam organa email itu sendiri.
4. Gambaran klinis:
• Berkembang disekitar makota gigi yang belum erupsi atau gigi supernumerary
• Pemeriksaan klinis menunjukkan tidak tumbuhnya gigi pada region yang membengkak, adanya pergeseran letak gigi
yang ekstri, dan pemebengkakan wajah yang menyebabkan keasimetrisan wajah
• Khasnya pasien tidak merasakan nyeri atau sakit bila terjadi infeksi. Kista ini dapat terinfeksi secxara hematogen.
5. Gambaran radiograf: daerah radiolusensi yang mengelilingi gigi yang tidak erupsi
6. Diagnosis banding: ameloblastoma, odontogenik keratosis dan tumor odontogenik
7. Rencana perawatannya:
• rujuk pasien dikarenakan ada riwayat kelainan jantung
• anamnesis
• pemeriksaan ektraoral dan intraoral
• pemeriksaan detail pembengkakan dan nyeri (jika ada)
• pemeriksaan selanjutnya untuk penegakan diagnosis( radiograf dan biopsy secara aspirasi)
• kurangi tingkat stress dan kecemasan pasien sebelum perawatan
• Anastesi menggunakan vasokonstriktor yang nonadrenalin
• Kista dentigerous mudah diangkat dengan cara enukleasi, gigi yang berhubungan juga dilakukan ekstraksi. Untuk kista
yang lebih besar harus dilakukan dengan cara marsupialisasi karena jika dilakukan enukleasi dan ekstraksi gigi dapat
merusak saraf dan pembuluh darah terhadap gigi
8. Prognosis: prognosis baik jika manajemen perwatannya dilakukan dengan benar dan memperhatikan keadaan pasien
yang mempunyai kelainan penyakit jantung. Kista dentigerous jarang terjadi rekurensi jika pengankatan kistanya
dilakukan dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
Burket. Oral Medicine diagnosis & treatment 10th edition. BC Decker.Inc.London : 2003. Hal 9 – 20
Bhalaji. Oral and maxillofacial surgery.
White SC & Pharoah. Oral
Radiology 5th ed. Mosby. St Louis. 2000
Peterson. Contemporary oral and Maxillofacial Surgery. 2nd ed. CV Mosby Company. 1993
Label: fall
• Home
• Posts RSS
• Comments RSS
• Edit
KERATOSIS SEBORHEIK
Sifat-Sifat Penting
• Makula, papula, plak atau lesi polipoid yang sangat umum, biasanya
mengenai orang yang berusia diatas 30 tahun; jumlahnya terus meningkat
seiring dengan bertambahnya usia.
• Sering tampak seperti kutil (verrucous) atau melekat pada kulit.
• Cenderung terjadi pada wajah, leher dan trunkus
• Bisa terjadi dimana saja kecuali membran mukosa, telapak tangan, atau
telapak kaki
• Banyak variannya dan bisa berbeda-beda warnanya mulai dari putih sampai
hitam.
• Sangat jarang tanda Leser-Trelat, sebuah proliferasi atau peningkatan ukuran
dan jumlah keratosis seborheik multiple, bisa menjadi penanda tumor ganas
internal.
Pendahuluan
Keratosis seborheik merupakan lesi jinak yang sangat umum pada kulit,
yang banyak ditemukan pada orang-orang yang lebih tua. Terkadang
letaknya terpencil, lesi-lesi ini tampak sebagai banyak papula atau plak
coklat (Gbr. 110.1). Lesi-lesi ini sering mengganggu penampilan pasien,
dan bisa menjadi gatal atau teriritasi. Keratosis seborheik juga bisa
disalahartikan sebagai melanoma, khususnya apabila berpigmen gelap.
Penglihatan dan pendengaran bisa terganggu jika lesi terdapat pada
kelopak mata atau auditory meatus eksternal.
Banyak varian klinis dan histologis dari keratosis seborheik yang telah
dilaporkan dan, walaupun keratosis seborheik biasanya mudah dikenali
secara klinis, beberapa diantaranya sulit didiagnosa dengan pemeriksaan
saja sehingga biopsi untuk pemeriksaan histopatologi mungkin
diperlukan. Ini khususnya berlaku apabila terdapat riwayat perubahan
terbaru atau jika terjadi inflamasi. Tanda Leser-Trelat, kenampakan
secara tiba-tiba atau ekspansi ukuran dan jumlah keratosis seborheik
multiple secara besar-besaran, khususnya jika disertai dengan pruritus,
telah diketahui sebagai sebuah penanda kutaneous untuk tumor-ganas
internal.
Sejarah
Epidemiologi
Gambaran Klinis
Keratosis seborheik hanya terjadi pada kulit yang ditumbuhi rambut, dan
selalu tidak mengenai permukaan-permukaan mukosal, telapak tangan,
dan telapak kaki. Wajah, leher, dan trunkus – khususnya punggung atas,
dan esktremitas – umum terkena. Lesi biasanya berbatas tegas, dan
mencakup makula, papula, atau plak, tergantung pada stadium
perkembangannya. Lesi biasanya berwarna coklat terang (lihat Gbr.
110.1) tetapi bisa juga tampak kuning berlilin sampai hitam kecoklatan.
Terkadang pasien mengalami keratosis berwarna putih pada batang
tubuhnya. Lesi-lesi ini biasanya datar saat pertama kali ditemukan, tetapi
dari waktu ke waktu, lesi-lesi ini menjadi verrucous, polipoid atau
pedunculated. Sumbatan keratotik dengan tonjolan folikular
menghasilkan permukaan yang berbintik atau halus dan memberikan
kenampakan seperti “melengket”, yang biasanya membantu dalam
membedakan keratosis seborheik dari lesi-lesi berpigmen lainnya. Lesi-
lesi individual bisa tumbuh lebih dari 5 cm, tetapi kebanyakan lesi
biasanya hanya berukuran 0,5-1 cm diameternya. Lesi-lesi bisa menjadi
inflamasi akibat pecahnya pseudocyst horn kecil atau trauma. Infeksi
dengan mikroorganisme seperti Staphylococcus aureus tidak lazim terjadi.
Lesi yang terinflamasi atau trauma sering eritematosa dan berkerak, dan
bisa terasa nyeri atau pruritus. Kebanyakan keratosis seborheik bersifat
asimptomatik, kecuali untuk kenampakan kosmesisnya.
Tipe klonal, atau tipe nested dari keratopsis seborheik ditandai dengan
kumpulan-kumpulan sel dalam epitelium, yang menyerupai pola Borst-
Jadassohn seperti yang diamati pada beberapa contoh penyakit Bowen.
Kumpulan-kumpulan sel ini sebagian besar tersusun atas keratinosit-
keratinosit dengan berbagai ukuran yang sering lebih pucat dibanding sel-
sel di sekitarnya. Sel-sel ini bisa mengandung melanosit. Jembatan antar-
sel terdapat diantara keratinosit-keratinosit, tetapi terkadang sulit
diamati. Keratosis seborheik klonal bisa dianggap sebagai tipe khusus
dari keratosis seborheik teriritasi.
Diagnosis Banding
Hubungan antara tumor ganas kulit yang muncul baik didalam maupun
disekitar sebuah keratosis seborheik belum dipahami dengan baik,
walaupun terkadang diamati. Karsinoma sel basal (BCC), in situ, SCC
invasif, keratoacanthoma, dan melanoma semua telah ditunjukkan
berhubungan dengan keratosis seborheik. Karsinoma sel basal merupakan
neoplasma paling umum yang ditemukan dalam kaitannya dengan
keratosis seborheik, walaupun baru satu penelitian prospektif yang
mengidentifikasi hanya SCC in situ ketika 1310 kasus yang dikelompokkan
sebagai keratosis seborheik klinis dievaluasi secara histologis. Karsinoma
sel skuampus in situ ditemukan secara histologis pada 60 dari spesimen
ini (1,4%). Teori “tubrukan”, yang mengusulkan bahwa proses jinak dan
proses ganas terpisah terjadi pada tempat sama, telah dianggap sebagai
penyebab kejadian ini, khususnya karena prevalensi kedua lesi ini yang
terjadi secara independen. Akan tetapi, yang lain menyebutkan bahwa
BCC dan keratosis seborheik keduanya berasal dari bagian infundibular
folikel rambut yang bisa berkembang menjadi neoplasma. Pada beberapa
kasus keduanya bisa terjadi bersamaan.
Pengobatan
Related Posts
• Be Careful! Yeast Infection Affect Everyone
• Peranan Ion-Ion Kalsium dalam Regulasi Homeostasis Sawar Kulit
• Epidermal dan Kohesi Epidermal-Dermal
• Kecemasan Pasien Terhadap Berbagai Perawatan Gigi di Sebuah Rumah Sakit
Universitas di Nigeria
• Onycho-pachydermo periostitis psoriatik
Post a Comment
Newer Post Older Post Home
Bottom of Form
Advertisement
Recent Posts
Health Tips
• Accessories
• Alternative Medicine
• Diseases and Conditions
• Gardening
• Home Improvement
• Home Security
• Medicine
• Meditation
• Nutritions
• Supplements and Vitamins
• Wellness
Blog Archive
• ► 2010 (213)
○ June (1)
○ May (4)
○ April (38)
○ March (25)
○ February (30)
○ January (115)
• ▼ 2009 (32)
○ December (23)
○ November (9)
My Blog List
• Let's Speak English
• Bahasa Inggris Online
• Masdin Site!
• Technology Blog
• Penerjemah Online Inggris-Indonesia
• InfotechnosCom
• BlogLinguistik
• Top Reference
• InfoJurnals
• Jurnal Terjemahan
Site Info
Koas Unhas
Tidak Mau Menjadi Koas Biasa
• Home
Top of Form
w w w .irw anasha
Bottom of Form
Custom Search
• Health
• news
• Opinion
• Sports
Pendahuluan
Melanoma merupakan neoplasma ganas yang muncul akibat perkembangan
melanocytes yang tidak terkontrol, ditemukan pigmentasi sel pada lapisan basal
epidermis dan membran mukosa. Melanoma membran mukosa jarang terjadi dan
biasanya menyerang palatum anterior, ridge alveolar maksilla dan ginggiva. Tumor
ini merupakan salah satu neoplasma yang mematikan karena bersifat agresif dan
prognosisnya sangat buruk. Deteksi dan diagnosis awal lesi memberikan prognosis
yang lebih baik. Insiden melanoma oral mempunyai persentase 0,2-0,8 % dan rata-
rata kelangsungan hidupnya sangat rendah. Melanoma Oral, awalnya tidak
bergejala dan biasanya tidak diperhatikan oleh pasien sehingga hal ini
memperbesar penundaan diagnosisnya. Tumor ini muncul dari pertumbuhan massa
yang lambat pada area amelanotic selama sebulan atau setahun. Warnanya
beragam mulai dari hitam kebiru-biruan hingga coklat kehitam-hitaman. Ada
beragam bentuk dari melanoma membran mukosa oral seperti makula
berpigmentasi, nodul atau lesi pigmentasi exophytic besar. Manifestasi klinis
lainnya dapat berupa ulser, pembengkakan, massa nodular merah, pembesaran
cepat atau melepas gigi. Pada makalah ini, dilaporkan kasus melanoma membran
mukosa oral. Tumor didiagnosa lebih awal dan diangkat dengan prosedur bedah
konservatif. 2 tahun setelah bedah, tumor tidak muncul kembali.
Laporan kasus
Seorang wanita berusia 45 tahun berkunjung ke klinik dokter gigi untuk perawatan
gigi rutin. Terlihat lesi pigmentasi pada ridge alveolar bawah bekas pencabutan gigi
46. Pasien tidak menyadari keberadaan lesi karena bersifat asimptomatik.
Konsistensi lesi lunak, memanjang, ukurannya 9 mm x 5 mm dan tidak diketahui
awal munculnya (gbr.1).
Pasien nampak sehat tanpa masalah kesehatan lain. Pemeriksaan fisik tidak
mengungkapkan abnormalitas pada rongga mulut atau adanya daerah
limphadenopathy. Plain X-rays (panoramic dan CT scan) tidak memperlihatkan
sedikitpun perubahan jaringan lunak atau dekstruksi tulang. Diagnosis banding
seperti racial pigmentasi, amalgam tattoo dan melanoma. Pasien diberitahu
mengenai timbulnya lesi dan setuju dilakukan prosedur biopsi.
Diagnosis histopatologis pada insisi biopsi adalah melanoma ganas, yang dilakukan
dengan menggunakan pewarnaan H&E stain dan S-100 immunostain. Hasil
pemeriksaan tersebut menyatakan “ sel lesi berlapis, berkelompok seperti
gabungan dari nevus atau sel melanocytic dengan sel epitheloid predominant. Sel-
selnya menunjukkan pleomorphism selluler dan nuclear, hiperkromatin, sel
multinukleat dan sel bizarre. Pigmen melanoma banyak ditemukan baik didalam
maupun di luar sel. Tidak ada batas yang jelas diantara sel lesi dengan ephitelium
yang melapisi ( gambar 2A,B,C,D). Immunostain S-100 memperjelas bahwa
melanocytec berasal dari sel lesi ( gambar 3A,B,C,D ).
Pasien dipanggil kembali, kemudian dikonsul ke klinik Oral and Maxillofacial of
National Guard Hospital, untuk menentukan perawatan (gbr. 4). Lesi diangkat
secara keseluruhan dengan menjaga agar tepi tetap adekuat dan tidak melibatkan
tulang dibawahnya. Gigi 44 dan 45 diangkat selama eksisi. Pemeriksaan
histopatologik diperoleh dari biopsi insisi. Dua tahun setelah pembedahan tidak
ditemukan kekambuhan secara klinis dan radiografi.
Diskusi
Lesi pigmentasi dari membran mukosa oral merupakan hal yang tidak biasa.
Pigmentasi ini dibedakan berdasarkan etiologinya dan bentuknya bervariasi, baik
berupa pigmen jinak ataupun manifestasi dari penyakit sistemik sampai pada lesi
ganas yang mematikan. Beberapa pigmentasi tersebut berkembang seperti nevi
pigmentasi yang banyak terdapat pada kulit tetapi jarang terjadi pada kavitas
rongga mulut. Secara intra oral, nevi diklasifikasikan berdasarkan gambaran
histopatologisnya pada intra mukosa,yaitu berwarna biru, bercampur ataupun
junctional nevi, dan bisa terjadi pada beberapa umur. Palatum merupakan tempat
yang paling sering terkena.
Pigmentasi akibat gangguan metabolik disebabkan oleh hipovitaminosis atau
disfungsi hormonal seperti yang tampak pada penyakit addison’s dan Peutz-Jegher’s
syndrome. Gangguan metabolik biasanya menghasilkan pigmentasi yang lebih
umum dimana secara klinis mudah dibedakan dengan melanoma membran
mukosa, tanpa dilakukan tes hormonal dan hematologik. Melanoma oral harus
dibedakan dari kelompok lesi inflamasi yang umumnya terlihat pada kavitas oral
seperti lesi inflamasi reaktif pada granuloma pyogenic. Jenis lesi ini harus diangkat
dan dilakukan pemeriksaan histopatologi untuk mencegah keganasannya.
Meskipun amalgam tattoo termasuk pigmentasi bawaan yang paling banyak terlihat
pada kavitas oral, diagnosisnya tidak menyulitkan, disebabkan oleh gambaran
klinisnya dan adanya granula pigmentasi diatas tambalan amalgam dan kadang-
kadang partikel amalgam dapat dilihat pada film sinar X, tetapi secara biopsi masih
diragukan. Sistem “ABCD” pada evaluasi lesi pigmentasi oral dan test yang
dinamakan “gosok dengan tampon” pada permukaan lesi sangat membantu dalam
diagnosis banding lesi pigmentasi. Sistem “ABCD” pada gambaran klinis melanoma
adalah asimetris (disebabkan pola pertumbuhan yang tidak terkontrol ), tepi yang
irreguler ( sering bergelombang, variasi warna, ( coraknya berwarna coklat
kehitaman, putih, merah dan biru disebabkan oleh jumlah melanin dan kedalaman )
dan diameternya lebih besar dari 6 mm.
Melanoma pertama kali dipaparkan oleh Weber pada tahun 1859 dan termasuk lesi
pigmentasi paling parah pada kavitas oral. Lesi ini termasuk tumor melanocytes
ganas yang jarang. Melanocytes mempunyai sel embrionik yang berasal dari crest
neural kemudian melanocytes tersebut bermigrasi pada permukaan ephitelial dan
berada diantara sel basal. Bila sel-sel tersebut aktif (berproliferasi) yang disebabkan
oleh faktor yang berbeda, melanocytes ini akan meningkat pada membran mukosa
oral.
Beberapa faktor menyatakan bahwa melanoma kutaneous ,bukan merupakan
melanoma oral. Melanoma kutaneus termasuk keganasan kulit ketiga yang paling
sering terjadi. Melanoma oral termasuk tumor yang jarang dan lebih banyak
menyerang laki-laki dibanding perempuan dengan rasio 2:1. Umur yang paling
sering terkena biasanya antara 40 dan 70 tahun dengan rata-rata umur 55 tahun
dan palatum termasuk bagian yang paling sering terkena.
Pasien yang dilaporkan disini adalah seorang wanita berusia 45 tahun dengan lesi
pigementasi pada bagian kanan ridge mandibula ( alveolar ridge ) yang telah
dilakukan pembedahan dan dirawat selama 4 minggu setelah diagnosis awal.
Sekitar 2 tahun setelah perawatan, pasien ditinjau ulang setiap 3 bulan, dan
terbukti tumor tidak kambuh kembali.
Kasus ini dilaporkan agar dapat menjadi perhatian para dokter gigi untuk lebih
bertanggung jawab dalam screening pasien dengan lesi pigmentasi oral dan
merujuk kasus yang diragukan. Sebagai tambahan, kasus seperti ini, walaupun
tidak sering, dapat memberikan kesadaran dan pengetahuan para dokter gigi
umum mengenai penyakit-penyakit yang parah dan mematikan seperti kanker
mulut yang melibatkan jaringan lunak mulut.
Labels: Health
0 comments:
Post a Comment
Newer Post Older Post Home
About Me
Male | Pseudolover | PS2 Addicted | Nocturnal Guys | Non extra Ordinary Person!
Ads Powered
by:KumpulBlogger.com
Blog Archive
• ► 2010 (15)
○ ► May (1)
Curhat Akhir Kuliah
○ ► April (3)
Epidemiologi Abses Hati
Abses Hati
Epidural Hematoma
○ ► March (5)
Batu Saluran Kemih
You Were not Losing Fat but Muscles or Water
Keratomikosis
Rabdomiosarkoma
Teknik Autopsi Forensik
○ ► January (6)
Celoteh Lirih Jiwa yang Gamang
Mekanisme Pembentukan Urine
Meningioma
Hirschsprung Disease
Benign Paroxymal Positional Vertigo
Hubungan Dokter - Pasien
• ▼ 2009 (154)
○ ► December (16)
Karakteristik Pusat-pusat Kebugaran Jasmani (physi...
Perdarahan Subaraknoid
Aspek Medikolegal Keluarga Berencana
Penggantungan
Presbikusis
Preeklamsi Berat
Tetanus
Retinopati Diabetik
Sindroma Nefrotik
Mesotelioma
Kehamilan Ektopik
Higroma Kistik
Hemofilia
Epilepsi Pada Anak dan Penanganannya
Benign Prostatic Hyperplasia
Tumor Jinak Payudara
○ ► November (8)
Epistaksis
Epiglotittis Akut
Ptosis
Polineuropati
Leptospirosis
Trikomoniasis Vaginalis
Konjungtivitis Folikularis
Peritonitis
○ ► September (11)
Avian Influenza
Cardiac Arrest
Rhinolith
Syok Hipovolemik
Angiodema
Dermatitis Kontak Iritan
Epilepsi pada Anak dan Penangannya
Gangguan Hemodinamik pada Kasus Penggantungan
Trauma Laring
Intoksikasi Methampetamine
Atresia Esofagus
○ ► August (1)
○ ► July (1)
○ ► June (2)
○ ► May (2)
○ ► April (23)
○ ▼ March (73)
Selamat Datang Mahasiswa
Dermatitis Atopik
Osteoporosis masa kini dan masa mendatang
Nyeri Pinggang Bawah Akibat Osteoporosis
Osteoporosis dan Penatalaksanaanya
Manifestasi Klinis dan Penatalaksanaan Osteoporosi...
Peran kalsium dan Vitamin D pada Metabolisme Tulan...
Hubungan Antara Densitas Massa Tulang dengan Kejad...
Hiperkalsemia, Hipokalsemia dan Osteomalasia
Dasar-dasar Pemeriksaan Densitas Massa Tulang
Struktur dan Metabolisme Tulang
Kalsitonin & Osteoporosis
Potret Buram Sepak Bola Indonesia
Tuberkulosis Osteoartikuler
Sruktur Molekuler Kolagen, Elastin dan Proteoglika...
Struktur Molekuler Jaringan Ikat
Struktur dan Fungsi Sendi
Sistematika Pendekatan Pada Nyeri Pinggang
Panduan Penatalaksanaan Osteoartritis Lutut dan Pa...
Penatalaksanaan Osteoartritis
Oains Dalam Bidang Reumatologi: Pemilihan Oains Se...
Manfaat Glukosamin dan Khondroitin Sulfate untuk T...
Komposisi Rawan Sendi Artikuler
Komposisi Rawan Sendi Artikuler Normal dan Perubah...
Indikasi Pemakaian NSAIDs Rasional pada Penyakit ...
Fisiologi Sinovium dan Sinoviosit
Biologi Molekul Osteoartritis: Peran Sinovium Dala...
Beberapa Aspek Perkembangan Terbaru di Bidang Reum...
Radiografi dan Diagnosis Periodontal
Pemeriksaan Klinis
Reliabilitas Pada Pengukuran Jarak Linear Untuk Pa...
Intrusi Implan-Gigi Yang Mendukung Protesa Cekat: ...
Aktivitas Antibakteri Sealer Endontik Terbaru Terh...
Diagnosis, Pencegahan, dan Peraawatan Karies Akar
Melanoma pada membran mukosa oral
Bahagia Karena Cantik
Peranan Interleukin-1 dan Interleukin-1 Reseptor A...
Hiperurisemia
Artritis, Diet, dan Nutrisi
Artritis Gout
Sepak Bola Indonesia : Harus Belajar Fokus
Spondiloartropati Seronegatif : Gambaran Klinis Da...
Pola Klinis Spondiloartropati Seronegatif dan Pena...
Hubungan Infeksi Usus dan Artritis
Diagnosis dan Pengobatan Artritis Psoriatik
Artritis Psoriatik
Memaafkan Berarti Memahami Ketidaktahuan
Penyakit Paru Akibat Gangguan Kerja (skripsi)
Pengetahuan Petugas Kesehatan tentang Patient Safe...
Studi Pelaksaanaan Pelayanan Kesehatan
Malaria
Kesehatan Reproduksi
Gambaran Karakteristik Penderita Glaukoma
Kesehatan Kerja
Aritmia
Akalasia Esofagus
Menggugat (cinta) Manusia Modern
Hepatitis
Urticaria
Appendisitis Acute
Glaukoma
Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Aritmia
Kesehatan Reproduksi
Limfoma sel-T
Sindrom Nefritik Akut
Urtikaria
Radiografi dan Diagnosis Periodontal
Reccurent Aphthous Stomatitis (RAS)
Susunan Somatomotorik
Bakterial Vaginosis
Insect Bite
Prurigo Nodularis
○ ► February (15)
○ ► January (2)
• ► 2008 (44)
○ ► November (1)
○ ► August (3)
○ ► June (1)
○ ► March (2)
○ ► February (2)
○ ► January (35)
• ► 2007 (10)
○ ► December (3)
○ ► October (1)
○ ► July (2)
○ ► June (3)
○ ► May (1)
Categories
• Health
• news
• Opinion
• Sports
Inbox
<a href="http://www5.shoutmix.com/?irwanirga">View shoutbox</a>
ShoutMix chat widget
Link
• Anto
• Ardi
• Business
• Cylong
• Haekal
• Health Blog
• Ika Magfirah
• Maya
• Rara
• Style
• Travel
• Uci
• Ukki
• Zhuna
Copyright 2009. All Rights Reserved. Revolution Two Lifestyle theme by Brian Gardner.
BlogspotMagazine by MagzNetwork
Nah dalam istilah kedokteran gigi, PIGMENTASI RONGGA MULUT merupakan kondisi
adanya pertambahan pigmen dalam lapisan sel-sel epitel mukosa mulut.
Pertambahan pigmen ini berkaitan dengan zat yang diserap pada kondisi tertentu.
Pigmentasi merupakan keadaan abnormal pada kulit dan membran mukosa dapat
berupa penambahan kadar pigmen (hiperpigmentasi) atau dapat juga pengurangan
kadar pigmen (hipopigmentasi). Pigmentasi pada mukosa mulut dapat terjadi
secara fisiologis dan patologis, serta berasal dari luar tubuh (eksogen) maupun dari
dalam tubuh (endogen).
Faktor eksogen berupa berbagai keracunan zat asing yaitu bismuth, timah,
mercury, perak, arsen,dan fosfor, sedangkan gangguan pada kelenjar endokrin,
hiperpituitary, Hormon sex wanita, Neurofibromatosis, Hemacromatosis,
Carotenemia, Kadar bilirubin yang meningkat merupakan faktor endogen
Dalam kondisi normal, pada lapisan kulit manusia, terdapat banyak sel-sel epitel
nah dibawah sel-sel epitel ini terdapat sel-sel yang terus menerus berkembang,
sebagai bentuk dari bagian pertahanan tubuh juga dari adanya rangsangan dari
luar.
Secara simpel, bila ada rangsang dari luar (misalnya sinar UV dari matahari) maka
akan meningkatkan sel-sel melanosit yang memiliki pigmen melanin, maka akan
terbentuk lah penumpukan pigmen melanin, dan secara klinis maka akibatnya kulit
akan terlihat
lebih gelap karena adanya penumpukan melanin.
Begitu juga halnya dengan perokok berat, asap rokok dan panas yang dihasilkan
oleh rokok akan membuat terjadinya rangsangan yang berlebih terhadap sel-sel
melanosit di mukosa mulut, sehingga akan menyebabkan penumpukan pigmen-
pigmen melanin, maka
efeknya pun jelas gusi, bibir perokok pun kan bertambah gelap warnanya.....
kenario 1
Seorang laki-laki berumur ± 30 tahun
Skenario 2
Pembahasan
Skenario I
1. Diagnosis penyakit pada gambar adalah Homogenous Leukoplakia.
Leukoplakia merupakan lesi putih yang tidak dapat dihilangkan dengan dikerok dan tidak dapat
didiagnosis sebagai suatu penyakit tertentu. Leukoplakia dapat disebabkan oleh defisiensi
vitamin A dan C, arus galvanik, candidiasis, iritasi kronis dan malnutrisi.
Leukoplakia bisa mengenai semua usia, tetapi sebagian besar kasus terjadi pada pria antara usia
45 tahun dan 65 tahun.
Sebagian besar leukoplakia (80%) adalah jinak, kasus sisanya adalah displastik atau kanker. Oleh
karena itu kebanyakan leukoplakia tidak menunjukkan dysplasia secara histologis.
Makroskopis :
Tidak dapat ditentukan atau dilihat apakah leukoplakia sudah berubah menjadi ganas (karsinoma
sel skuamosa). Tampak berupa bercak-bercak putih sampai merah pada selaput lender mulut
dengan permukaan rata, licin, sampai agak menonjol dan berbatas jelas. Leukoplakia pada
palatum durum pada perokok berat dinamakan smoker’s palate.
Mikroskopis:
Bervariasi, dari perubahan jinak sampai keadaan keganasan. Terlihat adanya hyperplasia epitel
gepeng berlapis, sebukan sel radang dalam jaringan ikat di bawah epitel, akantosis (penebalan
spinosum), dysplasia (sel-sel bervariasi dalam ukuran, orientasi dan bentuk) dan atipia (sel-sel
tak teratur, tanda ganas).
Insiden leukoplakia umumnya lebih sering pada pria (9:1). Dapat terjadi di setiap tempat di
rongga mulut, tetapi yang lebih sering adalah di mukosa pipi yang berhadapan dengan gigi Molar
ke-3, permukaan atas dan bawah lidah, serta palatum.
Leukoplakia sering merupakan tanda keganasan dan disebut juga sebagai pra kanker, terutama
tipe eritrosit dan verukosa. Oleh karena itu, selalu perlu dibuat eksisi percobaan, diperiksa di
bawah mikroskop untuk mengetahui apakah sudah terdapat tanda-tanda ganas seperti displasia
dan atipia.
Etiologi:
Etiologi belum pasti tetapi ada beberapa faktor predisposisi yaitu merokok, alkohol, radiasi UV,
ketidak seimbangan hormone, galvanisme, gesekan kronis, kandidiasis, mikroorganisme dan
trauma.
Manifestasi klinis:
• Leukoplakia termasuk dalam bentuk plak. Plak adalah suatu daerah yang menimbul
padat, rata, dan diameternya lebih besar dari 1cm. Tepi-tepinya bisa landai dan kadang-
kadang permukaan keratinnya berproliferasi, suatu keadaan yang dikenal sebagai
lichenifikasi.
• Ditemukan di bibir, mukosa pipi, dan gusi. Tempat yang beresiko tinggi adalah dasar
mulut, ventral lidah, lateral lidah, mukosa alveolar, gusi cekat mandibula, trigonum
retromolar-palatum lunak, dan kompleks uvulo-palatal.
• Lesi awal dapat berupa warna kelabu atau sedikit putih yang agak transparan, berfissura
atau keriput dan secara khas lunak dan datar.
• Permukaan lesinya dapat tampak licin dan homogeny, tipis dan mudah hancur, pecah-
pecah, berkerut, verukoid, noduler, atau bercak-bercak.
• Warnanya dapat merupakan variasi lembut dari lesi-lesi putih translusen pucat sampai
abu-abu atau putih-coklat.
• Biasanya batasnya tegas tetapi dapat juga berbatas tidak tegas .
• Dalam perkembangannya leukoplakia dapat berubah menjadi meluas dan menebal
disebut leukoplakia homogen.
• Selanjutnya leukoplakia dapat berkembang menjadi granular atau nodular leukoplakia.
• Leukoplakia juga dapat berkembang an juga berubah bentuk menjadi eritoplakia.
2. Lining Mucosa
• Lapisan epitel tebal, lebih tebal dari masticatory mucosa
• Permukaannya fleksibel dan tahan terhadap stretching
• Mucosa Alveolar dan Mucosa yang menutup dasar mulut menempel renggang dengan
struktur submukosa yang tebal
• Sebagai proteksi terhadap lingkungan rongga mulut:
○ Iritasi mekanis (kompresi, stretching, shearing, abrasi permukaan dari partikel
keras makanan)
○ Mikroba
○ Efek toksik produk mikroba
○ Umumnya tidak berkeratin
○ Lamina propia tipis dan elastis
○ Ikatan lamina propia dengan submukosa bervariasi (elastisitas tinggi dan terikat
erat), tergantung regio.
○ Submukosa terikat pada otot (sering bergerak) → sering terkena trauma
○ Lining mukosa terdapat pada:
a. Mukosa bibir bagian dalam
b. Pallatum Molle
c. Mukosa pipi
d. Permukaan bawah lidah
e. Dasar mulut
f. Vestibulum
g. Mukosa Alveolar
Specialized Mucosa
• Dorsal lidah, paling beda dengan yang lain
• Walaupun ditutup dgn masticatory mucosa, lining-nya dapat memanjang dan terdapat
papila-papila
• Membran mukosa terdiri atas 2 bagian: V-shaped groove dan terminal groove
• Anterior, 2/3 lidah, mukosa dari first pharyngeal arch, disebut body
• 1/3 posterior, mukosa dari third pharyngeal arch, disebut base
• Mukosa yg menutup dasar lidah mengandung jaringan limfoid, disebut lingual tonsils
• Epitel berkeratin
• Lamina Propria padat dan tipis
• Lamina Propria terikat erat pada otot di bawahnya
• Memberi informasi bagaimana keadaan dalam rongga mulut, mengandung:
○ Reseptor: suhu, sentuhan, sakit
○ Reseptor terhadap taste of water
○ Signal terhadap rasa haus
○ Refleks seperti: penelanan, gagging, stretching, shearing
Masticatory Mucosa
• Palatum keras, gingiva yg banyak menerima tekanan dan abrasi selama pengunyahan
makanan
• Epitel tebal dan biasanya orthokeratinisasi, namun parakeratinisasi di daerah gingiva dan
palatal kadang ada
• Lamina propria tebal, mengandung serat kolagen yang tebal
• Lamina propria melekat langsung ke periosteum
• Sering buntuk mengunyah
• Pada epitel yang sering mengalami keratinisasi
• Mastikatori mukosa terdiri dari:
○ Gingiva dan epithelial attachment (free gingiva dan attached gingival)
○ Sub mukosa bervariasi:
v. Gingiva à submukosa (-)
v. Palatum à submukosa (+)
v. Lamina Propia
1. Serabut
• Serabut kolagen (collagen fibers)
Struktur tersusun tiga dimensi yang menentukan:
- stabilitas mekanik
- mempertahankan bentuk dan ekstensibilitas jaringan
• Sistem serabut berada dalam substansi dasar (matriks), yang terdiri dari:
a. Kompleks karbohidrat-protein
b. Fibroblasàsel yang bertanggung jawab pada sekresi serabut dan matriks.
2. Saraf, pembuluh darah, dan pembuluh limfe
v. Submukosa
• Mengandung kelenjar liur
- Kel. Parotis
- Kel Submandibularis
- Kel Sublingualis
• Pembuluh darah
• Syaraf
4. Warna merah muda –> putih pada mukosa pipi disebabkan karena adanya hyperkeratosis yang
terjadi sebagai respon perlindungan/respon pertahanan alami. Hal ini menyebabkan lapisan epitel
menjadi tebal sehingga bayangan pembuluh darah yang ada di bawah jaringan tidak terlihat.
6. Pada perokok berat dapat terjadi lesi yang tampak sebagai bercak-bercak pigmentasi berwarna
coklat hingga coklat kehitaman terutama pada gingival, mukosa pipi maupun bibir. Hal ini
disebabkan oleh tembakau yang terkandung dalam rokok. Tembakau akan menstimulasi sel
melanosit untuk memproduksi melanin. Jumlah dan intensitas lesi tergantung pada dosis
merokok. Lesi ini dapat hilang sendiri jika kebiasaan merokok dihilangkan. Lesi ini tidak
mempunyai potensi menjadi ganas, hanya secara estetik mungkin sangat mengganggu.
Skenario II
1. Dilihat dari adanya gigi yang abnormal (karies/fraktur) di dekat daerah lateral lidah, lesi pada
slide tersebut adalah Ulkus Dekubitalis. Gigi yang abnormal tersebut tajam, sehingga bagian
lateral lidah tergesek. Gesekan tersebut menimbulkan luka pada bagian lateral lidah yang
menyebabkan terjadinya ulkus dekubitalis.
Ulkus adalah suatu luka terbuka dari kulit atau jaringan mukosa yang memperlihatkan
disintegrasi dan nekrosis jaringan yang sedikit demi sedikit. Ulkus meluas melewati lapisan basal
dari epitel dan ke dalam dermisnya; karenanya pembentukan jaringan parut dapat mengikuti
penyembuhannya.
Penyebab:
• Chronic cheek / lip chewing (kebiasaan menggigit pipi)
• Mengunyah pada alveolar, tidak pada gigi
Tempat predileksi:
• Tempat yang sering terkena trauma
• Bibir
• Mukosa pipi sepanjang oklusi
• Lateral lidah
Manifestasi Klinis:
• Tampak lesi berwarna putih, keras dan menonjol pada lateral lidah.
4. Penyebabnya terdapat pada gigi yang mengalami kerusakan. Gigi tersebut rusak sehingga
permukaanny menjadi runcing/tajam. Ini menyebabkan bagian lateral lidah tergesek/terkena pada
gigi yang abnormal itu, sehingga lidah menjadi luka.
Waktu pemulihannya sekita dua minggu karena untuk penyembuhan lesi di dalam mulut terjadi
10-14 hari. Bila nutrisi tidak cukup/buruk, penyembuhan akan lama.
6. Lesi pada mulut akan lebih cepat sembuh karena di dalam rongga mulut terdapat saliva yang
mengandung zat anti bakteri, immunoglobulin A dan bersifat lembab.
Referensi
1. http://yukiicettea.blogspot.com/2009/08/oral-manifestation-of-smoking-patient_23.html
2. Garner and Hiatt. 2007. Color Textbook of Histology. 3rd Edition. Saunders Elsevier.
Philadelphia.
3. Kumar, J.;Cotran, R.; Robbin, S. 2005. Basic Pathology. Saunders. Philadelphia.
4. Wood N. K. dan Goaz P. W. 1975. Differential Diagnosis of Oral Lesions. St. Louis. CV
Mosby.
5. Langlais, Robert P.; Miller, Craig S. 1998. Atlas Berwarna: Kelainan Rongga Mulut
Yang Lazim. Jakarta: Hipokrates.
Irrashaimase, minna~
Welcome to My BLOG - One Stop Dentist and Dentist ni narimasu
Pendahuluan
Pemeriksaan rongga mulut adalah daerah diagnosis fisik yang – dalam berbagai alasan – secara
tradisional menerima sedikit penekanan pada kurikulum medis predoktoral. Meskipun demikian,
beberapa informasi dapat diperoleh melalui evauasi sistematik jaringan lunak dan keras rongga
mulut. Terlepas dari tujuan utamanya adalah untuk membedakan antara kondisi sehat dan
penyakit, pemeriksaan rongga mulut yang menyeluruh – berbarengan dengan riwayat medik dan
dental – dapat memberikan wawasan penting terhadap kesehatan dan kesejahteraan pasien secara
keseluruhan. Pada beberapa kasus, hal in merupakan kompenen penting pada pasien yang akan
mendapat terapi kanker. Pemeriksaan rongga mulut juga mempunyai pengaruh signifikan pada
klasifikasi pasien terinfeksi HIV, penemuan oral kadang menentukan terapi antiretrovirus yang
pada akhirnya akan digunakan.
Sebagian besar lesi jaringan lunak di rongga mulut sering merupakan lesi infeksi, traumatik
ataupun proses reaktif, etiologi yang tepat kadang ditentukan melalui anamnesa dan pemeriksaan
klinis yang teliti. Sebagai contoh, efek samping obat – yang menimbulkan xerostomia dapat
mempunyai efek yang besar pada keseharan rongga mulut. Dengan alasan itulah, riwayat medis
lengkap sebaiknya diperoleh secara rutin. Kebiasaan, pasta gigi dan mothwash dapat
mempengaruhi jaringan rongga mulut dalam keadaan khusus.
Jika diagnosis klinis lesi oral tidak dapat ditentukan dengan dasar gejaland an tanda, pemeriksaan
rongga mulut dapat ditunjang dengan biopsi. Pada sebagian besar kasus, penemuan mikroskopik,
bersamaan dengan pemeriksaan klinis, cukup untuk menentukan diagnosis.
Tergantung pada situasi dan kondisi selama pemeriksaan, pendokumentasian penampakan klinis
jaringan rongga mulut dapat bermanfaat. Hal ini biasanya berguna ketika memonitor perjalanan
penyakit kronis dan respon pasien terhadap perawatan. Kamera tradisional reflektor lensa
tunggal 35 mm dapat beradaptasi dengan mudah untuk merekam penemuan rongga mulut. Lebih
jauh lagi, kamera digital telah berevolusi menjadi alternatif yang dapat diandalkan.
Pemeriksaan Klinis
Selalu mulai dengan pemeriksaan ekstra oral kepala dan leher. Pada beberapa kasus, informasi
klinis yang diperoleh sangat berharga dalam menentukan etiologi dan perjalanan penyakit mulut
pada pasien yang mencari perawatan. Sebagai contoh, manifestasi oral utama sindrom
hamartoma adalah adanya papiloma oral multipel. Pemeriksaan histopatologi melalui spesimen
biopsi pada pasien tersebut tidak menunjukkan perubahan karakteristik mikroskopik tertentu;
meski demikian, adanya trikolemoma yang dikaitkan dengan sindrom tersebut dapat
menegakkan diagnosis. Perubahan pigmentasi mukosa rongga mulut (seperti yang terlihat pada
insufisiensi korteks adrenal, sebagai efek samping terapi minosiklin) memiliki kemiripan satu
sama lain di kulit kepala dan leher.
Adanya massa di leher bukan penemuan yang tidak umum, terutama pada pasien-pasien dengan
infeksi oral dan malignansi lanjut. Limfonodi yang paling sering terlibat adalah limfonodi leher
anterior, meski limfonodi regional lainnya dapat membesar juga. Limfadenopati sekunder karena
infeksi biasanya mobile dan lunak, sedangkan limfadenopati metastatik biasanya asimptomatik
dan terfiksir pada struktur di bawahnya; meski variasi-variasi limfadenopati ditemukan sebagai
penemuan subjektif maupun objektif (Image 4). Massa ekstraoral yang umum ditemukan
selanjutnya yang mungkin ditemukan melalui palpasi adalah neoplasma glandula saliva.
Neoplasma parotis, secara khusus, paling baik dideteksi melalui palpasi kulit preaurikular (Image
5). Palpasi ekstraoral glandula submandibuler kadang kadang mengungkapkan pembesaran dan
perlunakan; palpasi bimanual biasanya lebih efektif.
Pasien kadang melaporkan adanya nyeri dan disfungsi TMJ. Etiologi ketidaknyamanan biasanya
multifaktor dan susah untuk dilokalisir. Krepitasi, clicking dan popping pada TMJ dapat
dideteksi dengan cara meletakkan ujung jari kelingking pada meatus accusticus eksternus dan
menginstruksikan pasien supaya membuka dan menutup mulut dan menggerakkan mandibula ke
lateral kanan-kiri (Image 6). Nyeri wajak atipikal dapat karena penyebab selain disfungsi TMJ
(misalnya sindroma disfungsi nyeri miofasial, distrofi simpatis refleks, tic douloureux dan
kondisi yang berkaitan). Diagnosis definitif kondisi semacam itu kadang rumit, sulit dan
memerlukan kerja sama antara dokter, dokter gigi dan profesi kesehatan lainnya – misalnya
terapis.
Bibir diperiksa secara visual dan palpasi. Vermilion border seharusnya halus dan lembut (Image
7). Kerusakan aktinik pada bibir (actinic cheilitis), terutama pada bibir bawah bermanifestasi
pada perubahan atrofi yang berkaitan dengan eritema atau leukoplakia dengan penebalam
epitelium. Kedua perubahan ini sering ditemukan secara simultan pada area yang berdekatan
dengan vermilion border. Maserasi dan cracking pada sudut mulut (angular chelitis) dianggap
disebabkan oleh:
• Infeksi lokal, terutama melibatkan Candida albicans
• Defisiensi nutrisi, terutama vitamin B kompleks
• Penutupa n rahang berlebih; disebabkan karena kehilangan gigi (bruxism, gigi, protesa usang)
Defisiensi nutrisi dan kehilangan vertikal dimensi berkontribusi terhadap angular cheilitis,
sebagian besar kasus merespon baik pada agen-agen anti jamur, sering tanpa intervensi
tambahan.
Sama seperti pemeriksaan fisik lainnya, pemeriksaan pada rongga mulut sebaiknya dilakukan
secara seragam dan cara yang konsisten. Pada beberapa individu, pemeriksaan rongga mulut
merupakan kecakapan klinis yang diperoleh melalui repetisi. Hal yang memegang peran penting
bagi klinisi dalam memeriksan rongga mulut adalah pencahayaan yang cukup. Ruang praktik
dilengkapi dengan peralatan sedemikian rupa; merskipun, klinisi yang tidak terbiasa
menggunakan lampu pemeriksaan yang dipasang di kepala, mungkin harus mengandalkan senter
yang dipegang tangan, ditunjang dengan pencahayaan ruangan sekitar.
Warna membran mukosa diperiksa dengan teliti. Mukosa rongga mulut dideskripsikan sebagai
warna pink-salmon; meski variasi tertentu hadir karena adanya rasial pigmentasi, vaskularisasi
dan keratinisasi. Sejumlah pigmentasi kutan muncul secara umum proporsional dengan jumlah
pigmentasi pada mukosa rongga mulut; perubahan warna pada mukosa rongga mulut yang tidak
seharusnya dapat mengindikasikan penyakit sistemik. Bibir kemudian ditarik ke depan dan
inspeksi mukosa labial (Image 8).
Pada individu yang sehat, mukosa labial halus, lembut dan terlumasi dengan baik oleh glandula
saliva minor. Kecemasan berkaitan dengan pemeriksaan dapat mengakibatkan xerostomia
sementara. Pada kasus demikian, mukosa menjadi lengket ketika disentuh. Glandula saliva minor
pada bibir bawah biasanya dapat dipalpasi. Bibir bawah kadang mengalami trauma yang dapat
menyebabkan luka pada duktus glandula saliva minor yang menyebabkan pembentukan
mucocele.
Pemeriksaan mukosa bukal paling mudah dilakukan dengan cara menginstruksikan pada pasien
untuk membuka mulutnya setengah, kemudian menarik mukosa bukal dengan mirror atau tongue
blade. Poplasi kulit berwarna biasanya mempunyai penampakan seperti susu pada mukosa
bukalnya yang hilang jika diregangkan. Leukoedema ini merupakan variasi anatomis yang
menggambarkan hidrasi epitel mukosa bukal dan tidak memerlukan perawatan (Image 9).
Glandula sebacea ektopik (Fordyce granulr) ditemukan pada sebagian besar pasien dan nampak
sebagai papula berwarna putih-kekuningan yang terletak bilateral pada mukosa bukal. Kadang-
kadang juga muncul pada mikosa bukal meskipun lebih jarang dijumpai. Rigi horisontal sering
dijumpai pada mukosa bukal setinggi interdigitasi gigi geligi (linea alba) yang menunjukkan
adanya hiperkeratosis benigna sekunder terhadap iritasi jangka panjang ringan tonjol-tonjol gigi.
Muara glandula parotis (ductus Stensen) dapat ditemukan sebagai massa jaringan lunak kecil
pada mukosa bukal berdekatan dengan molar pertama atas (Image 10).
Saliva seharusnya mengalir dari saluran tersebut; meski demikian, pemijatan glandula secara
ekstraoral mungkin perlu. Saliva nampak jernih dan berair; pasien tidak merasakan adanya
ketidaknyamanan dari prosedur tersebut. Pada bibir, mukosa bukal juga seharusnya dilumasi
dengan saliva. Glandula saliva minor dan Fordyce granule dapat berupa tekstur granuler pada
mukosa bukal. Kecuali lesi-lesi Human Herpes Virus (HHV-tipe 1) rekuren – yang terbatas pada
mukosa terkeratinisasi, penyakit vesikuloerosif paling sering melibatkan mukosa bukal.
Permukaan dorsal lidah paling mudah diinspeksi dengan cara menginstruksikan pada pasien
untuk menjulurkan lidah ke arah kaudal (dagu). Alternatif lain yang dapat dilakukan adalah
dengan cara memegang dengan tangan dilapisi kasa spon 2x2. Permukaan dorsal lidah dilapisi
dengan papila filiform – yang seperti rambut (Image 11). Tersebar diantara papilla filiform
adalah papilla fungiform yang berbentuk jamur, dan tiap-tiapnya mengandung satu atau lebih
kuncup rasa (Image 12)
Papilla circumvallata terletak pada perbatasan dua-pertiga anterior lidah dengan sepertiga
posterior lidah. Papilla ini biasanya berjumlah 8-12 dan teratur pada pola bentuk V. Seperti
papilla fungiform, papilla circumvallata mempunyai sejumlah kuncup rasa. Papilla filiform
kadang-kadang memanjang (hairy tongue) dan sisa makanan dapat menyangkut padanya – hal ini
dapat mengarah pada halitosis. Papila memanjang dapat juga menyebabkan sensasi pada palatum
menjadi tidak nyaman dan dapat mengacu pada perasaan ingin muntah. Pembentukan fisur pada
permukaan dorsal lidah ditemukan pada anomali trisomi 21; adanya fisur pada lidah tidak
mempunyai signifikansi klinis pada sebagian besar kasus.
Atropi permukaan dorsal lidah dapat disebabkan oleh beberapa hal. Defisiensi nutrisi – menurut
sejarah – telah dikaitkan dengan atrofi permukaan dorsal lidah; manifestasi oral penyakit
mukokutan juga sering menjadi penyebab yang mendasari. Selain ketidaknyamanan, pasien
kadang melaporkan adanya perubahan sensasi rasa atau kehilangan persepsi rasa sama sekali.
Sisi lateral lidah dapat diperiksa dengan cara menjepit lidah dengan kasa, menarik lidah dan
kemudian memutarnya ke lateral. Sisi lateral lidah tidak dilapisi dengan sejumlah papila. Mukosa
lateral lidah lebih eritematus dan makin ke posterior, fisur-fisur vertikal makin jelas terlihat.
Sekumpulan jaringan berwarna dengan protuberansia dapat ditemukan pada dasar lidah. Jaringan
limfe accesori (tonsila lingualis) adalah komponen dari cincin Waldeyer dan dapat membesar
jika terjadi infeksi ataupun inflamasi (Image 13).
Permukaan ventral lidah paling mudah diperiksan dengan menginstruksikan pasien menyentuh
langit-langit mulut dengan lidahnya. Pembuluh darah sublingual biasanya nampak jelas, terutama
pada individu yang lebih tua. Plica sublingualis – yang berbentuk daun pakis – dapat diinspeksi
dengan cara memanjangkan permukaan ventral lidah (Image 14). Dasar mulut, mirip dengan
mukosa bukal, berwarna pink-salmon. Muara glandula submandibular (ductus Wharton) tampak
sebagai sepasang papila pada midline pada sisi lateral frenulum lingualis (Image 15).
Saliva biasanya menggenang pada dasar mulut. Saliva tergenang ini dapat dihilangkan dengan
mudah oleh kasa. Palpasi bimanual glandula submandibula biasanya memunculkan saliva dari
ductus Wharton. Saliva yang dihasilkan biasanya lebih kental dibandingkan saliva yang
dihasilkan glandula parotis karena persentase mukus yang lebih tinggi.
Baik permukaan ventral alteral dan dasar mulut adalah lokasi umum penemuan carcinoma sel
skuamous. Dengan alasan inilah, indeks kecurigaan terhadap lesi-lesi jaringan lunak pada daerah
ini harus ditekankan, termasuk adanya penampakan lesi merah atau putih yang tampak tidak
berbahaya. Kecuali didapatkan riwayat lesi dan bukti klinis yang meyakinkan mengatakan
sebaliknya, biopsi harus didapatkan jika terdapat perubahan kronis dan pembentukan massa yang
jelas untuk mengesampingkan kemungkinan premalignansi ataupun malignansi.
Inspeksi visual langsung palatum durum dapat dicapai dengan cara menggunakan mirror.
Palatum durum, mirip dengan gingiva cekar, dalam keadaan normal berwarna kurang pink
dibandingkan mukosa rongga mulut lainnya karena adanya peningkatan keratinisasi (Image 16).
Palatum durum dan gingiva cekat hanyalah salah duanya mukosa yang biasanya terlibat dalam
infeksi virus herpes simpleks rekuren. Palatum durum anterior dilapisi dengan rigi-rigi fibrous
atau disebut dengan rugae (Image 17).
Glandula saliva minor banyak terdapat di palatum durum; karena hal inilah, neoplasma glandula
saliva minor – baik benigna maupun maligna – mempunyai insidensi tinggi di sini. Papilla
incisivus terletak di posterior gigi incisivus maksilla pada palatum durum. Struktur anatomis
normal ini tampak sebagai nodul kecil imobil yang terletak langsung di bawah muara ductus
nasopalatinal, dimana kumparan neurovaskuler keluar dari maksila untuk mensupai mukosa
palaum.
Lain halnya dengan palatum lunak, mukosanya tidak berkeratin dan berwarna pink-salmon.
Dapat diamati dengan mudah melalui pemeriksaan langsung dengan cara mnekan lidah dengan
tongue blade dan menginstruksikan pasien untuk berkata “Ahhh” (Image 18). Deviasi palatum
lunak pada salah satu sisi dapat mengindikasikan masalah neurologis ataupun neoplasma. Ketika
lidah bagian posterior sudah diturunkan dan pasien mengangkat palatum molle-nya, orofaring
juga mungkin terlihat. Hal ini kadang menjadi sedikit rumit pada pasien yang mempunyai refleks
muntah berlebihan; pada kasus demikian, refleks muntah dapat ditekan dengan menggunakan
anestesi lokal. Pilar tonsilar biasanya terlihat dengan cara menggerakkan lidah ke lateral dengan
tongue blade.
Kripta tonsilar mempunyai vaskularisasi tinggi dan tampak lebih eritem dibandingkan dengan
daerah sekitarnya. Kadang ditemukan sel-sel epitel terdeskuamasi, sisa makanan pada kripta
tonsilar yang dapat menyebabkan sensasi kasar-gatal pada kerongkongan dan halitosis. Adenois
(jaringan limfe pada posterior faring) tampak sebagai papula pucat ireguler. Jaringa ini mungkin
membesar dengan adanya inflamasi atau infeksi. Perubahan faring tidak umum ditemukan –
terutama karena infeksi virus – misalnya herpangina, hand, foot, and mouth disease).
Gingiva dapat diperiksa paling mudah dengan cara menutup mulut sebagian dan bibir diretraksi
dengan jari-jari, tongue blade atau lip retractor). Gingiva cekat terkeratinisasi dan tampak lebih
pucat daripada mukoa lainnya (Image 19). Jaringan ini biasanya cekat, stipling dan melekat erat
pada tulang di bawahnya. Mukosa alveolar memanjang dari gingiva cekat hingga vestibulum
oris. Mukosa alveolar – kontras dengan gingiva cekat – tidak terkeratinisasi dan berwarna lebih
gelap (Image 20). Gingiva cekat biasanya mengandung pigmen yang kadan berkorelasi dengan
pigmentasi pada kulit lainnya; sedangkan mukosa alveolar jarang terpigmentasi, meski pada
orang kulit berwarna (image 21).
Perubahan tampilan klinis gingiva dapat menjadi indikator penyakit lokal maupun sistemik.
Penyebab paling umum eritema pada gingiva adalah kebersihan mulut yang buruk. Plak dan
kalkulus menyebabkan gingivitis dan jika tidak dihilangkan dapat merudak struktur pendukung
gigi. Retendi plak dan kalkulus dapat pula menyebabkan lesi gingiv reaktif seperti piogenik
granuloma. Gingiva juga kadang menjadi tempat inisiasi penyakit mukokutan – misalnya lichen
planus, pemphigoid cicatrical, pemphigus vulgaris. Gingiva juga kadang menjadi indikator
infeksi HIV dan indikator pertama imunosupresi.
Pemeriksaan gigi sebaikya menjadi tahap terakhir pemeriksaan rongg mulut. Beberapa kelainan
perkembangan gigi dapat nampak, misalnya anodonsia parsial (yang melibatkan gigi incisivus
lateral maxilla), dan supernumerari (mesiodens). Anodonsia dan gigi supernumerari merupakan
penemuan umum pada pasien sindrom Gardner dan sindrom digital facial oral. Karies pada
permukaan oklusal tampak sebagai lubang diskolorisasi dan menunjukkan kebersihan mulut
yang buruk. Karies interproksimal mungkin secara klinis tidak nampak jika tidak ditunjang
dengan adanya radiografi. Karies pada margin gingiva dapat menjadi manifestasi awal
xerostomia. Karies permukaan akar juga sering dijumpai pada pasien geriatri dengan resesi
gingiva.
Pemeriksaan Laboratorium
Kultur bakteri tidak secara rutin dilakukan pada lesi-lesi ronga mulut karena masaah kontaminasi
silang. Kultur virus dilakukan dengan frekuensi yang lebih, terutama pada pasien imunosupresi
dengan dugaan lesi oral yang disebabkan oleh virus. (Image 27). Tes Tzanck – digunakan untuk
melihat adanya akantolisis pada penyakit virus (misalnya herpes labialis) dan penyakit
mukokutan autoimun (pemphigus vulgaris) biasanya digunakan. Kedua tes sayangnya
memerlukan lesi yang intak yang kadang susah didapatkan pada kasus, antigen virus spesifik
dapat juga dideteksu pada spesimen biopsi menggunakan teknik imunohistokimia yang
bervariasi.
Infeksi jamur juga merupakan penemuan umum pada rongga mulut. Potasium hidroksida sering
digunakan untuk menegakkan diagnosis; mikroskop mdan gelap dan fase kontras juga membantu
dalam menegakkan diagnosis. Sampel yang diwarnai secara histokimia biasanya memakan
waktu lebih lama dan lebih maha. Kultur jamur mempunyai nilai yang rendah pada kebanyakan
kasus karena karakteristik jamur yang tumbuh lama. Diagnosis yang cepat dapat dilakukan
dengan cara aglutinasi lateks – yang dapat digunakan untuk mendiagnosis kandidiasis
vulvovaginal (Image 28). Kit ini relatif tidak mahal, akurat dan diagnosis dapat didapatkan
dalam waktu 2 menit.
Tes Lain-lain
Beberapa tes diagnostik rutin digunakan untuk menunjang pemeriksaan menyeluruh dan
memberikan informasi tambahan yang penting untuk menegakkan diagnosis definitif dan
rencana perawatan. Prosedur dan tes yang dilakukan harus berdasar pada nilai diagnostik, resiko
berkaitan (morbiditas) dan biaya. Diagnosis yang lebih awal biasanya mengarah pada perawatan
yang lebih awal dan prognosis yang lebih baik.
Biopsi jaringan lunak merupakan tes diagnostik yang paling sering digunakan. Prosedur ini
relatif sederhana dan operator berpengalaman biasanya mudah melakukannya. Pencahayaan dan
suction yang memadai sangat esensial. Antibiotika premedikasi diperlukan pada pasien resiko
endokarditis dan pasien dengan protesa sendi. Vasokonstriktor (epinefrin) yang ada pada anestesi
lokal disarankan digunakan untuk mengontrol perdarahan dan mengurangi difusi anestesi lokal
pada jaringan sekitar; meski pada beberapa pasien, vasokonstriktor dikontraindikasikan karena
hipersensitivitas atau faktor komplikasi lainnya. Lidokain topikal secara rutin digunakan pada
daerah insersi jarum untuk meminimalisir ketidaknyamanan berkaitan dengan insersi jarum
(Image 22).
Pemilihan lokasi biopsi dan teknik biopsi ditentukan berdasarkan diagnosis dugaan dan lokasi
lesi. Sebagai contoh, penyakit mukokutan memerlukan biopsi insisi untuk menentukan diagnosis
spesifik dan perawatannya. Pada kasus tersebut, biopsi punch insisi berdiameter 3-4 mm sudah
cukup (Image 23). Lesi yang bermasa lebih besar – misalnya mucocele di dasar mulut –
memerlukan eksisi scalper (Image 24).
Karena vaskularitas regio anatomis ini, incisi skalpel sebaiknya dilakukan pada arah
anteroposterior untuk meminimalisir perlukaan pada struktur neuromuskuler. Gingiva tepi
sebaiknya tidak diikutkan karena alasan estetik, terutama pada maksilla anterior. Spesimen
dijepit dengan forsep Adson – daripada dengan forsep gigi-tikus yang dapat merusak integritas
spesimen. Spesimen selanjutnya diletakkan pada medium fiksatif setelah keluar dari
ronggamulut. Larutan buffer formalin netral 10 persen merupakan pilihan, larutan Michel
merupakan media transport terbaik jika akan dilakukan direct immunofluoresence staining
(Image 25).
Perkembangan terbaru teknik biopsi rongga mulut adalah biopsi sikal mukosa (mucosal brush
biopsy) (Image 26). Teknik ini menggunakan sikat disposable untuk mengumpulkan sel sampel
transepitelial. Sampel kemudian diskrining dengan komputer berjaring neural yang diprogram
untuk mendeteksi perubahan sitologis berkaitan dengan premalignansi dan carcinoma sel
skuamous. Spesimen kemudian ditinjau oleh ahli patologi untuk mendapatkan diagnosis akhir.
Teknik ini ideal untuk menentukan kebutuhan akan biopsi skalpel pada leukoplakia mukosa yang
tampak benigna.
Kata kunci
Jaringan keras ronggal mulut, jaringan lunak rongga mulut, pemeriksaan rongga mulut, lesi oral,
kanker mulut, infeksi rongga mulut, malignansi oral, glandula saliva, papilla, kuncup rasa,
pemeriksaan lidah, pemeriksaan nodus limfatikus.
0 comments:
Post a Comment
Newer Post Older Post Home
Pages
• Home
Shoutbox
<a href="http://www6.shoutmix.com/?yuki_kawaii">View shoutbox</a>
ShoutMix chat widget
Followers
Search Engine
Top of Form
GO!
Bottom of Form
Barter Ikimasho~
MEGA POSTER DEATH NOTE - For Terms and Conditions, please email beforehand or
see my post about it.
MEGA POSTER NARUTO
Yahoo Messenger
Labels
• ANAESTHESIOLOGY (7)
• anatomy (18)
• biochemistry (21)
• biomaterial (10)
• DENTISTRY (93)
• DIABETES mellitus (8)
• DORAMA (1)
• FANFIC (19)
• Forensic (3)
• MANGA (5)
• ORAL MEDICINE (21)
• our HEALTH (3)
• TOBACCO (2)
• yuki no koto (21)
Archive
• ► 2010 (16)
○ ► October (5)
Biomaterial: Bahan Cetak - Hidrokoloid
Biomaterial: Bahan Cetak - Pendahuluan
Biomaterial: Bonding (part 2)
Biomaterial: Adhesi
Biomaterial: Amalgam
○ ► September (5)
Anatomy: Fungsi dan Anatomi Sinus Paranasalis
Merokok, Tekanan Darah Tinggi dan Diabetes Dapat M...
Dental Implications of Diabetes Mellitus
Biomaterial: Bonding
Biomaterial: Dental Waxes (Malam Gigi)
○ ► July (1)
Biomaterial - Semen Ionomer Kaca
○ ► June (4)
Biomaterial - GIPS
Biomaterial - Material Tanam Investment
Biomaterial - Pendahuluan
TADAIMA!
○ ► February (1)
Tadaima Kenzan
• ▼ 2009 (114)
○ ▼ December (33)
Biochemistry: Fluoride (F)
Biochemistry: Iodium (I)
Biochemistry: Chromium (Cr)
Biochemistry: Seng (Zn)
Biochemistry: Mangan (Mg)
Biochemistry: Selenium (Se)
Biochemistry: Molibdenum (Mo)
New Label: Our Health - Kalium
Biochemistry: Besi (Fe)
Radiology: Introduction
Quote from Nabari no Oh vol 5
Ouran High School Host Club Episode 2
Orange and Our Health
Rangkuman Nervi Cranialis
Happy Muharram New Year
Anatomy: Perkembangan Neurocranium (part 2)
Anatomy: Perkembangan Neurocranium (part 1)
Biochemistry: Tembaga (Cu)
Biochemistry: Cobalt (Co)
Biochemistry: Kalium (K)
Biochemistry: Natrium (Na)
Biochemistry: Magnesium (Mg)
Lyrics "Anna ni Isshou Datta no ni" - Gundam SEED,...
Ouran High School Host Club Episode 1
Third Stage: Prosthodontic and Oeerative Dentistry...
Apple and Our Health
Hyposalivation in Elderly Patient
SIDIK DNA
Pemeriksaan Rongga Mulut
My Trip to Bekasi
Barter Poster Naruto
Forensik: PEMERIKSAAN ODONTOLOGIS DALAM PELAYANAN ...
Forensik: PERAN ANTROPOLOGI FORENSIK DALAM MENUNJA...
○ ► October (29)
Fire Emblem: The Blazing Sword (part 4)
○ ► September (22)
○ ► August (25)
○ ► July (3)
○ ► June (2)
• ► 2008 (1)
○ ► November (1)
About Me
yuki
Nakama
•
Chris - GAZEBO
magnificant peoples
5 days ago
•
•
UKESMA UGM
Bahaya Menahan Bersin
1 week ago
•
Lia's Blog
Tes Kesehatan PLN
4 months ago
•
Counter
Recent Comments
Di dunia ini ada tiga macam rahasia: rahasia karena tidak ingin diketahui orang
lain; rahasia karena tidak dapat mengatakannya pada orang lain; dan rahasia
karena berharap orang lain menanyakannya akan hal itu. (Yukimi to Gau Meguro /
Nabari no Oh 5 / Yuhki Kamatani / Square Enix)
Watermark template by Josh Peterson. Powered by Blogger.
Granuloma sel raksasa perifer (granuloma giant cell perifer) terutama dikenal sebagai epulis sel
raksasa adalah kondisi serupa tumor yang biasanya berkembang dari tepi bebas gusi. Istilah
granuloma sel raksasa perifer lebih disukai daripada granuloma reparatif sel raksasa perifer. Lesi
ini ditemukan pada semua kelompok usia, dengan puncak insiden tertinggi pada orang dewasa
usia 30 tahun dan anak-anak selama periode gigi bercampur.
Dalam bahan penelitian yang terdiri dari 173 penderita granuloma sel raksasa perifer, dijumpai
bahwa tingkat terjadinya penyakit tersebut paling tinggi adalah pada periode gigi-geligi
bercampur. Pada masa kanak-kanak granuloma lebih umum terdapat pada anak laki-laki daripada
anak perempuan, setelah usia 16 tahun jumlah wanita yang terkena adalah dua kali jumlah laki-
laki yang terkena. Mandibula sedikit lebih sering terkena dibandingkan terhadap maksilla dan
lebih sering terjadi di daerah premolar-molar daripada di daerah incisivus-caninus. Kadang-
kadang, lesi ditemukan pada daerah edentulous ridge alveolar.
Granuloma giant cell perifer memiliki etiologi yang tidak diketahui, dengan beberapa
perdebatan apakah lesi ini menunjukkan proses yang reaktif ataukah neoplastik. Walaupun
demikian, kebanyakan ahli percaya bahwa granuloma giant cell perifer termasuk lesi yang
reaktif.
Granuloma giant cell perifer termasuk lesi reaktif yang jarang terjadi. Lesi ini juga dikenal
sebagai giant-cell epulis, osteoclastoma, giant cell reparative granuloma atau giant cell
hyperplasia dan myeloid epulis. Granuloma giant cell perifer termasuk lesi giant cell yang paling
sering terjadi pada rahang dan berasal dari jaringan ikat periosteum atau dari membran
periodontal, sebagai respon terhadap iritasi lokal atau trauma kronis.
Defenisi Granuloma Giant Cell Perifer
Granuloma giant cell perifer merupakan nodul ekstraosseus yang terdiri dari proliferasi
mononuklear dan multinukleasi giant cell yang berhubungan dengan vaskularisasi yang
ditemukan pada gingiva atau ridge alveolar.
Granuloma giant cell perifer adalah reaksi hiperplastik pada jaringan ikat gingiva yang
didominasi oleh komponen seluler histiositik dan endotelial. Kedua jenis sel tersebut bercampur
baur dan tersusun pada pola lobular yang dipisahkan oleh jaringan ikat fibrous yang mengandung
pembuluh darah sinusoid yang besar.
Nama lesi ini diambil dari kecenderungan histiosit mononuklear untuk membentuk giant cell
multinukleasi yang luas; lokasi perifer (ekstraosseus) dari lesi ini lebih sempit, lebih cenderung
ke tengah (intraosseus); dan gambaran klinis dari lesi gingiva ini mirip dengan respon terhadap
granuloma yang reaktif.
Faktor-faktor yang mengawali terjadinya lesi tidak diketahui. Lesi mengandung jaringan giant
cell mirip dengan yang ditemukan pada bagian lain dari tubuh tetapi utamanya pada tulang.
Penyebab (Etilogy) Granuloma Giant Cell Perifer
Penyebab granuloma giant cell perifer tidak diketahui, meskipun iritasi lokal yang disebabkan
oleh plak gigi atau kalkulus, penyakit periodontal, restorasi gigi yang buruk, protesa yang buruk,
atau pencabutan gigi, telah dianggap ikut berpartisipasi pada perkembangan lesi ini.
Penelitian baru-baru ini, menggambarkan perkembangan dari granuloma giant cell perifer yang
berhubungan dengan implan gigi. Granuloma giant cell perifer muncul sebagai akibat dari
komplikasi yang tidak umum pada penempatan implan, berkembang dari beberapa bulan sampai
beberapa tahun setelah penempatan implan gigi.
Gambaran Klinis Granuloma Giant Cell Perifer
Lesi diawali dengan pembengkakan berbentuk kubah berwarna kemerah-merahan atau keungu-
unguan pada papilla interdental atau ridge alveolar. Pada pasien dentulous lesi sering terlihat
lebih kemerahan disebabkan oleh adanya ulserasi yang terjadi ketika makanan dikunyah dan
mengenai epitelium yang tipis dari massa yang menonjol.
Lesi yang lebih luas biasanya mengelilingi satu atau lebih gigi, sering melibatkan ligamen
periodontal, termasuk apeks gigi. Lesi ini menyebabkan hilangnya dan bergeraknya gigi. Pada
daerah edentulous lesi berbentuk kubah, ungu, dan biasanya mempunyai permukaan yang utuh.
Radiografi periapikal umumnya menunjukkan hilangnya lapisan superficial dari tulang kortikal,
dan sisa tulang di bagian tengah yang tidak ikut terlibat.
Granuloma sel raksasa perifer ditandai oleh suatu pembengkakan berbatas jelas , keras, dan
jarang berulserasi. Dasarnya tidak bertangkai, permukaannya licin atau sedikit bergranula dan
warnanya merah muda sampai merah ungu tua. Nodula tersebut biasanya beberapa mm sampai 1
cm diameternya, meskipun pembesaran yang cepat dapat menciptakan pertumbuhan besar yang
mengganggu pada gigi-gigi disampingnya. Lesi tersebut umumnya tanpa gejala, tatapi karena
sifatnya yang agresif, maka tulang alveolar dibawahnya seringkali terlibat dan membuat
radiolusensi “peripheral cuff” superfisial patognomonik.
Histopatologi Granuloma Giant Cell Perifer
Gambaran mikroskopis menunjukkan susunan nodular dari jaringan giant cell dipisahkan oleh
septum fibrous. Jaringan giant cell terdiri dari campuran mononuklear dan giant cell
multinukleasi yang mendasari ekstravasasi sel darah merah. Terdapat beberapa pembuluh kapiler
dan ruang sinusoid. Stroma fibrous menipis atau menebal, dan mengandung jaringan yang luas
dan struktur dinding vaskular yang tipis. Kandungan hemosiderin dalam jumlah besar umumnya
terdapat dalam jaringan giant cell dan mengelilingi komponen fibrous.
Secara histologis dijumpai banyak sel raksasa beriti multipel dan fibroblast-fibroblast di seluruh
spesimen. Secara histologis, lesi ini tidak dapat dibedakan dari granuloma sel raksasa sentral dan
tumor coklat dari hiperparatiroidisme.
Diagnosa Banding Giant Cell Perifer
Granuloma giant cell perifer dapat dibedakan dari osteosarcoma osteoblastic melalui beragam sel
stroma dan kurangnya displasia pada sel-sel tersebut. Pada remaja, walaupun gambaran mitosis
bervariasi, dan proliferasi aktif dari sel stroma mungkin membuat perbedaan ini menjadi sulit.
Granuloma giant cell perifer tidak dapat dibedakan dengan brown tumor ekstraosseus dari
hiperparatiroidisme yang jarang terjadi.
Perawatan dan Pronosis Giant Cell Perifer
Granuloma giant cell perifer dirawat dengan eksisi bedah, termasuk dasar lesi dan kuretasi tulang
di bawahnya. Pembuangan yang tidak tuntas mengakibatkan kecenderungan yang jelas untuk
kambuh. Pasien dentulous biasanya perlu pengangkatan satu atau lebih banyak gigi dan kuretase
soket.
Granuloma giant cell perifer memiliki prognosis yang baik.3 Kira-Kira 10% kasus yang
dilaporkan dapat kambuh kembali, hal ini mungkin disebabkan oleh pengangkatan yang tidak
sempurna.
ShareThis
ARTIKEL MENARIK LAINNYA:
• Selamat, Prof. dr. Irawan, Ph.D!
Pagi tadi saya diundang menghadiri pidato pengukuhan guru besar tetap dr. Irawan Jusuf, Ph.D di Ruang
Rapat Senat Unhas. Irawan Jusuf adalah juga Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makas...
• Spanyol Juara EURO 2008
Luar biasa! Lewat permainan apik nan menawan, tim nasional sepakbola Spanyol menjuarai EURO 2008.
Iker Casillas dkk mampu menumbangkan tim Panzer Jerman lewat gol tunggal yang dibukukan oleh
Fernando ...
• Referat Kedokteran: Resusitasi Cairan Pada Perdarahan Akut
Konsep resusitasi cairan pada pasien perdarahan akut telah mengalami beberapa kali perubahan. Pada
waktu perang Korea pengganti perdarahan dilakukan semata-mata dengan transfusi darah. Banyak kesulit...
• Pemeriksaan Kesehatan
Ketika pasien mengunjungi dokter untuk membantunya dalam mengurangi dan menyembuhkan derita dari
penyakit yang dialaminya, dokter memerlukan sejumlah rangkaian pemeriksaan baik pemeriksaan fisik,
peme...
• OPINI : Islam dan Spirit Kenabian dalam Konteks Pluralisme Agama
TERMINOLOGI “agama” acapkali menghias topik diskusi dan perbincangan masyarakat kita dewasa ini,
termasuk di dalamnya upaya “pemaknaan” terhadap eksistensi agama itu sendiri, khususnya dalam
realitas ...
3. Hiperplasia Ginggiva Akibat Obat-Obatan
Defenisi :
Suatu pelebaran atau peningkatan yang berlebihan gingiva akibat proliferasi sel yang
timbul akibat pengkonsumsian obat-obatan.
GEJALA-GEJALA:
Gingiva terlihat membengkak, memerah, menggembung.
Bisa saja terjadi pendarahan.
PENYEBAB HYPERPLASIA :
Pelebaran gusi ini diakibatkan pengkonsumsian obat-obatan.
Ada tiga golongan obat penyebab penyakit ini:
Golongan Anticonvulsant Phenytoin:
Obat-obatan yang biasa digunakan pada penderita epilepsi, pengendali saraf,
tekanan darah. Dapat menghasilkan bermacam-macam gangguan pada ginggiva
termasuk pipi dan bibir. Gangguan yang dihasilkan dapat berupa kebengkakan,
pucatnya warna gingiva dan lain-lain. Contoh golongan Anticonvulsant .P:
Dilantin ( Phenytoin), digunakan untuk perawatan terhadap epilepsi
Procardia ( Nifedipine), digunakan untuk perawatan tekanan darah tinggi, angina
( sakit dada/peti), sertajantung arrhythmias dan lain-lain.
Neoral ( Cyclosporine), Neoral digunakan sendiri atau di (dalam) kombinasi dengan
immunosuppressive obatlain untuk radang sendi atau setelah pengoperasian organ
ataupun pencangkokan.
Golongan Immunosuppressive:
Yaitu obat-obatan yang dapat diberikan pada saat orang selsesai operasi,
pencangkokan, atau adanya penolakan thd organ pasca operasi serta pengembalian
sistem imun seseorang terhadap operasi.
Golongan Calcium Channel Blockers, penghalang saluran kalsium yang
menyebabkan gingiva memerah, bengkak, mudah berdarah.
PENGOBATAN:
Pertama dengan pengujian periodontal, dilanjutkan dengan gingivectomy
Bisa juga dicegah dengan menjaga kebersihan oral, serta penghentian konsumsi
obat-obat sejenis.
Sel merupakan partisipan aktif di lingkungannya, yang secara tetap menyesuaikan struktur dan
fungsinya untuk mengakomodasi tuntutan perubahan dan stres ekstrasel. Sel cenderung
mempertahankan lingkungan segera dan intraselnya dalam rentang parameter fisiologis yang
relatif sempit ketika mengalami stres fisiologis atau rangsangan patologis, sel bisa beradaptasi,
mencapai kondisi baru dan mempertahankan kelangsungan hidupnya.
Respons adaptasi sel terhadap stressor dapat terjadi: atrofi, hipertrofi, hiperplasia, dan
metaplasia. Respons ini bergantung jenis cedera, durasi/aging/senescence, dan keparahannya.
Atrofi merupakan pengerutan ukuran sel dengan hilangnya substasi sel tersebut.
Hipertrofi merupakan penambahan ukuran sel dan menyebabkan penambahan ukuran organ.
Hipertrofi dapat fisiologik atau patologik dan disebabkan oleh peningkatan kebutuhan fungsional
atau rangsangan hormonal spesifik. Hipertrofi dan hiperplasia dapat terjadi bersamaan akibat
pembesaran organ (hipertrofik). Hipertrofi fisiologik masif pada uterus selama kehamilan
terjadi akibat rangsangan estrogen dari hipertrofi dan hiperplasia otot polos. Sel otot lurik dapat
mengalami hipertrofi saja akibat respon terhadap peningkatan kebuthan sel.
Hiperplasia merupakan peningkatan jumlah sel dalam organ atau jaringan. Hiperplasia dapat
fisiologik atau patologik. Hiperplasia fisiologik misalnya hiperplasia hormonal (ex. proliferasi
epitel kelenjar payudara perempuan pada masa pubertas dan kehamilan), serta hiperplasia
kompensatoris yaitu hiperplasia yang terjadi saat sebagian jaringan dibuang atau sakit (namun
sifatnya reversible). Hiperplasia patologik biasanya terjadi akibat stimulasi faktor pertumbuhan
atau hormonal yang berlebih.
Metaplasia merupakan perubahan reversibel yaitu pada satu jenis sel dewasa (epitelial atau
mesenkimal) digantikan oleh jenis sel dewasa lain.
Respons Subseluler terhadap jejas bisa terjadi berupa katabolisme lisosom, induksi (hipertrofi)
Retikulum Endoplasma Halus, perubahan mitokondrial, abnormalitas sitoskeletal, protein syok
panas.
Lisosom (primer) merupakan organela yang intrasel yang dilapisi membran yang mengandung
beragam enzim hidrolitik; lisosom berfusi sebagai pencerna pembentuk lisosom sekunder, atau
fagolisosom. Lisosom terlibat dalam pemecahan material yang dicerna melalui cara heterofagi
atau autofagi. Heterogi dengan melalui proses endositosis (fagositosis untuk pengambilan
material yang berukuran lebih besar, pinositosis untuk molekul yang lebih kecil).
Galuhsrini’s Weblog
Just another WordPress.com weblog
• Beranda
• About
Keterlibatan mukosa mulut jarang, kasus pertama telah dilaporan oleh Suton,
yaitu yang mengenai palatum ditahun 1939. Sejak itu 2 kasus tambahan dari PRP
yang melibatkan mukosa bukal telah digambarkan. Pada kasus ini, penyajian oral
pityriasis rubra pilaris telah disusun berdasarkan ciri-ciri tersendiri. Berupa plak
putih berbatas tegas pada palatum yang kemudian menyebar bilateral menjadi plak
putih keabuan menjadi lapisan yang kasar pada mukosa bukal, dan lesi kemerahan
dengan jaring-jaring putih yang secara klinis seperti lichen planus pada mukosa
labial, gingiva, dan palatum lunak. Pada kasus ini, papula berwarna putih
kemerahan dan plak pada dorsal dan ventral lidah, juga pada palatum keras dan
lunak, penampilan klinis seperti ini mengaju pada papula lichen planus. Diagnosis
banding dari PRP meliputi papula lichen planus, Darier’s disease (DD), papillary
hyperplasia pada palatum, dan stomatitis nikotina. Oral papula lichen planus bisa
sulit dibedakan dari manifestasi oral DD. Walaupun begitu, oral papula lichen planus
menunjukan hubungan simetris dan pruritik papulaskuamosa dermatosis yang
dikarakeristikan dengan stria wickham dan tipe mikroskopik serta gambaran
imunologis yang berbeda dgn PRP. Oral DD biasanya terlihat pada palatum diikuti
dengan gingiva, mukosa bukal, dan lidah. Sekitar 30 % pasien DD, disertai
pembengkakan kelenjar parotis. Secara klinis, DD ditandai dengan erupsi kulit yang
menyebar berbentuk papula keratotik seperti brownish yang akhirnya membentuk
plak yang berbau busuk, sedangkan PRP dikarakteristikan dengan lapisan kulit
keratosis bilateral yang dikelilingi oleh eritema. Hiperplasia papil pada palatum
sering dihubungkan gigi palsu yang menyeluruh tapi tidak disertai dengan penyakit
kulit. Pada stomatitis nikotina biasanya terdapat pada palatum keras, dan biasanya
terdapat riwayat kebiasaan merokok, dan tidak ada hubungannya dengan kondisi
kulit.
Gambaran mikroskopis dari PRP pada kulit tidak spesifik dan terdiri dari ortho
keratosis, parakeratosis baik vertikal maupun horizontal, adanya hipergranulosis,
daerah epidermal yang luas, eksositosis limfosit, spongiosis, akantolisis, dan pada
beberapa kasus terdapat infiltrasi lichenoid pada kulit. Adanya akantolisis bisa
disamakan dengan gambaran mikroskopik DD. Lagipula, PRP dapat dikelirukan
dengan psoriasis hanya dari gambaran mikroskopis akan tetapi juga secara klinis.
Ciri mikroskopik oral PRP hanya dapat digambarkan 1 dari 3 kasus yang dihadirkan
selama ini. Pada kasus ini, telah diamati adanya pembengkakan perivaskular pada
papila lamina propria dan inflamasi sel kronis pada lapisan superfisial. Sebagai
tambahan, terdapat pembelahan subepitel dan sedikit dengenerasi vakuola pada
lapisan sel basal. Kasus ini juga menunjukan adanya penyebaran limfosit yang
cukup menyuluruh pada papilla lamina propria ditengah-tengah kehilangan kapiler
darah, limfositik eksostosis ringan, dan degenerasi fokal sel basal. Penemuan
mikroskopik ini cocok dengan yang telah dilaporkan sebelumnya pada oral PRP.
Patogenesis dari oral PRP tidak diketahui. Mengkin dikarenakan adanya peningkatan
pertumbuhan sel epidermal yang disebabkan oleh rangsang yang tidak diketahui.
Hal ini didukung oleh adanya keadaan abnormal pada penilaian biokimia dari
diferensiasi epidermal yang ditemukan pada pasien PRP. Pengaktivan sel T supresor
dan dihalangi oleh sel T helper dapat dipisahkan pada pasien PRP. Pityriasis rubra
pilaris dapat menjadi manifestasi awal dari penyakit keganasan, myasthenia gravis,
AIDS, serta leukemia yang sebelumnya mungkin tidak terdiagnosa.
Tidak ada tes laboratorium yang spesifik yang tersedia untuk memperkuat
diagnosis PRP. Diagnosis dibuat berdasarkan hubungan antara penemuan klinis dan
histopatologis. Ciri histopatologis tidak pathognomonic. Ciri histopatologis yang
biasanya terdapat pada PRP adalah perubahan bentuk psoriasis epidermal yang
meliputi daerah yang luas, dibatasi oleh papila dermal, dan infiltrasi limfosit pada
lapisan tipis superfisial. Sumbatan folikular oleh keratin dan ketebalan perivascular
yang cukup, serta terlihat pula infiltrasi perifolicular limfosit. Pada beberapa kasus
terlihat fokal akantolisis diskeratosis. Adanya akantolisis, hipergranulosis, pengisian
folikular, kekurangan dilatasi kapiler, dan abses subepitel dapat membantu
membedakan PRP dengan psoriasis. Pada kasus ini diperlihatkan semua ciri
histologis dari biopsy kulit dan adanya parakeratosis epithelium dengan inflamasi
infiltrasi kronis yang terdiri atas limfosit pada biopsy lidah. Tujuan dari perawatan
adalah untuk mengurangi keadaan tidak sehat dan untuk mencegah komplikasi.
Sekarang, retinoids ( isitretinoin, etretinate, vitamin A) dan anti metabolisme
( metotrexate dan azathioprine ) adalah yg paling berhasil untuk mengatasi PRP.
Calcipotriol topical telah dicoba juga dan berhasil, dan baru-baru ini , pengobatan
ester fumarik telah menunjukan hasil yang sama.
Pasien telah ditangani dengan retinoid sistemik dan kortikosteroid kumur.
Ditulis oleh galuhsriniblog
Disimpan di Uncategorized
2 Komentar - komentar »
Disimpan di Uncategorized
Leukoplakia
April 11, 2008
Pendahuluan
Lesi pra-ganas adalah kondisi penyakit yang secara klinis belum menunjukkan tanda-tanda yang
mengarah pada lesi ganas, namun di dalamnya sudah terjadi perubahan-perubahan patologis yang
merupakan pertanda akan terjadinya keganasan. Hal ini perlu diperhatikan mengingat pada umumnya
kelainan yang terjadi di dalam rongga mulut, terutama pada mukosa rongga mulut, kurang mendapat
perhatian karena lesi tersebut sama sekali tidak memberikan keluhan.
Di Asia Tenggara, frekuensi tumor ganas rongga mulut lebih tinggi bila dibandingkan dengan negara
lainnya di seluruh dunia. Keadaan yang demikian diduga ada hubungannya dengan kebiasaan
mengunyah tembakau yang dilakukan sebagian masyarakat di kawasan Asia.
Mukosa rongga mulut merupakan bagian yang paling mudah mengalami perubahan, karena lokasinya
yang sering berhubungan dengan pengunyahan, sehingga sering pula mengalami iritasi mekanis. Di
samping itu, banyak perubahan yang sering terjadi akibat adanya kelainan sistemik. Perlu diingat bahwa
kelainan yang terjadi pada umumnya memberikan gambaran yang mirip antara yang satu dengan yang
lainnya, sehingga dapat menimbulkan kesukaran dalam menentukan diagnosis yang tepat. Untuk itu,
diperlukan diagnosis banding, karena di antara kelainan yang terjadi ada yang berpotensial menjadi
maligna (keganasan). Pemahaman mengenai pentingnya pendekatan patologik akan meningkatkan
kemampuan para dokter gigi pada era globalisasi. Ada beberapa macam lesi pra-ganas rongga mulut,
antara lain erithroplakia, carsinoma in situ, dan lai-lain. Tetapi, lesi yang paling sering ditemukan pada
rongga mulut adalah leukoplakia.
Leukoplakia
Leukoplakia merupakan salah satu kelainan yang terjadi di mukosa rongga mulut. Meskipun leukoplakia
tidak termasuk dalam jenis tumor, lesi ini sering meluas sehingga menjadi suatu lesi pre-cancer.
Leukoplakia merupakan suatu istilah lama yang digunakan untuk menunjukkan adanya suatu bercak
putih atau plak yang tidak normal yang terdapat pada membran mukosa. Pendapat lain mengatakan
bahwa leukoplakia hanya merupakan suatu bercak putih yang terdapat pada membran mukosa dan sukar
untuk dihilangkan atau terkelupas.
Untuk menentukan diagnosis yang tepat, perlu dilakukan pemeriksaan yang teliti baik secara klinis
maupun histopatologis, karena lesi ini secara klinis mempunyai gambaran yang serupa dengan “lichen
plannus” dan “white sponge naevus”.
Etiologi
Etiologi yang pasti dari leukoplakia sampai sekarang belum diketahui dengan pasti, tetapi predisposisi
menurut beberapa ahli klinikus terdiri dari faktor yang multiple,, yaitu faktor lokal faktor sistemik dan
malnutrisi vitamin.
Faktor lokal
Biasanya merupakan segala macam bentuk iritasi kronis, antara lain:
Trauma
• Trauma dapat berupa gigitan tepi atau akar gigi yang tajam
• Iritasi dari gigi yang malposisi
• Pemakaian protesa yang kurang baik sehingga menyebabkan iritasi
• Adanya kebiasaan jelek, antara lain kebiasaan jelek menggigit-gigit jaringan mulut, pipi, maupun
lidah.
Kemikal atau termal
Pada penggunaan bahan-bahan yang kaustik mungkin diikuti oleh terjadinya leukoplakia dan perubahan
keganasan.
Faktor-faktor kaustik tersebut antara lain:
• Tembakau
Terjadinya iritasi pada jaringan mukosa mulut tidak hanya disebabkan oleh asap rokok dan panas yang
terjadi pada waktu merokok, tetapi dapat juga disebabkan oleh zat-zat yang terdapat di dalam tembakau
yang ikut terkunyah. Banyak peneliti yang berpendapat bahwa pipa rokok juga merupakan benda yang
berbahaya, sebab dapat menyebabkan lesi yang spesifik pada palatum yang disebut “stomatitis Nicotine”.
Pada lesi ini, dijumpai adanya warna kemerahan dan timbul pembengkakan pada palatum. Selanjutnya,
palatum akan berwarna putih kepucatan, serta terjadi penebalan yang sifatnya merata. Ditemukan pula
adanya “multinodulair” dengan bintik-bintik kemerahan pada pusat noduli. Kelenjar ludah akan
membengkak dan terjadi perubahan di daerah sekitarnya. Banyak peneliti yang kemudian berpendapat
bahwa lesi ini merupakan salah satu bentuk dari leukoplakia.
• Alkohol
Telah banyak diketahui bahwa alkohol merupakan salah satu faktor yang memudahkan terjadinya
leukoplakia, karena pemakaian alkohol dapat menimbulkan iritasi pada mukosa.
• Bakterial
Leukoplakia dapat terjadi karena adanya infeksi bakteri, penyakit periodontal yang disertai higiene mulut
yang jelek.
Faktor sistemik
Adanya kemungkinan konstitutional karakteristik, karena ada yang berpendapat bahwa penyakit ini lebih
mudah berkembang pada individu yang berkulit putih dan bermata biru. Pendapat ini dikemukakan oleh
Shaffer dan Burket. Kemungkinan lain adalah adanya penyakit sistemik, misalnya sipilis. Pada penderita
dengan penyakit sipilis pada umumnya ditemukan adanya “syphilis glositis”. Candidiasis yang kronik
dapat menyebabkan terjadinya leukoplakia. Hal ini telah dibuktikan oleh peneliti yang melakukan biopsi di
klinik. Ternyata, dari 171 penderita candidiasis kronik, 50 di antaranya ditemukan gambaran yang
menyerupai leukoplakia.
Untuk mengetahui diagnosis yang pasti dari leukokplakia, sebaiknya dilakukan pemeriksaan klinik,
histopatologi, serta latar belakang etiologi terjadinya lesi ini.
Defisiensi vitamin A diperkirakan dapat mengakibatkan metaplasia dan keratinisasi dari susunan epitel,
terutama epitel kelenjar dan epitel mukosa respiratorius. Beberapa ahli menyatakan bahwa leukoplakia di
uvula merupakan manifestasi dari intake vitamin A yang tidak cukup. Apabila kelainan tersebut parah,
gambarannya mirip dengan leukoplakia. Selain itu, pada percobaan dengan menggunakan binatang
tikus, dapat diketahui bahwa kekurangan vitamin B kompleks akan menimbulkan perubahan
hiperkeratotik.
Gambaran Klinik
Dari pemeriksaan klinik, ternyata oral leukoplakia mempunyai bermacam-macam bentuk. Secara klinis
lesi ini sukar dibedakan dan dikenal pasti karena banyak lesi lain yang memberikan gambaran yang
serupa serta tanda-tanda yang hampir sama. Pada umumnya, lesi ini lebih banyak ditemukan pada
penderita dengan usia di atas 40 tahun dan lebih banyak pria daripada wanita. Hal ini terjadi karena
sebagian besar pria merupakan perokok berat. Lesi ini sering ditemukan pada daerah alveolar, mukosa
lidah, bibir, palatum lunak dan keras, daerah dasar mulut, gingival, mukosa lipatan bukal, serta
mandibular alveolar ridge. Bermacam-macam bentuk lesi dan daerah terjadinya lesi tergantung dari awal
terjadinya lesi tersebut, dan setiap individu akan berbeda.
Secara klinis, lesi tampak kecil, berwarna putih, terlokalisir, barbatas jelas, dan permukaannya tampak
melipat. Bila dilakukan palpasi akan terasa keras, tebal, berfisure, halus, datar atau agak menonjol.
Kadang-kadang lesi ini dapat berwarna seperti mutiara putih atau kekuningan. Pada perokok berat,
warna jaringan yang terkena berwarna putih kecoklatan. Ketiga gambaran tersebut di atas lebih dikenal
dengan esbutan “speckled leukoplakia”.
FACTOR-FAKTOR ETIOLOGI SEBAGAI BERIKUT :
A. Bahan kimia
Obat kumur yang terlalu keras efeknya, tablet aspirin yang diletakkan pada kavitas
gigi yang sedang berdenyut, obat-obatan dengan efek membakar, dan kontak tidak
sengaja dengan bahan kimia seperti fenol dan perak nitrat bisa menimbulkan
inflamasi akut dengan ulserasi pada gingiva.
B. Efek radiasi
khususnya dijumpai pada penderita kanker rongga mulut atau disekitar kepala dan
leher yang mendapat perawatan dengan radiasi. Radiasi bisa menyebabkan
pembentukan eritema dan deskuamasi mukosa termasuk gingiva. Apabila
radiasinya berlangsung lama bisa menyebabkan atrofi epitel, jaringan ikat menjadi
fibrous dengan pembuluh darah yang berkurang jumlahnya. Pada tulang alveolar
bisa terjadi degenerasi dan berkurangnya osteoklas dan osteoblast. Akibat
perubahan tersebut tulang menjadi tempat masuknya infeksi dengan akibat
terjadinya osteoradionekrosis. Radiasi juga menyebabkan atrofi kelenjar saliva
sehingga terjadi xerostomia dengan akibat perubahan flora oral yang menjurus ke
pembentukan karies.
B. Anemia
Anemia adalah defisiensi dalam defisiensi dalam kuantitas maupun kualitas darah
yang dimanifestasikan dengan berkurangnya jumlah eritrosit dan hemoglobin.
Ada empat tipe anemia berdasarkan morfologi selulernya dan kandungan
hemoglobinnya, yaitu:
(1) anemia makrositik hiperkromik (pernicious anemia);
(2) anemia mikrositik hipokromik (iron deficiency anemia);
(3) sickle cell anemia; dan
(4) anemia normositik-normokromik (hemolytic anemia/aplastic anemia).
Diantara keempat tipe anemia tersebut, tampaknya anemia aplastik yang turut
berperan dalam etiologi penyakit gingival dan periodontal. Pada tipe anemia ini
kerentanan gingival terhadap inflamasi meningkat karena terjadinya neutropenia.
16. Peranan faktor-faktor sebagai faktor etiologi sistemik :
A. Penyakit yang melemahkan
Penyakit yang melemahkan (debilitating diseases) seperti sifilis, nefritis kronis, dan
tuberkulosa bisa menjadi factor pendorong bagi terjadinya penyakit gingival dan
periodontal, dengan jalan melemahkan pertahanan periodonsium terhadap iritan
local, dan menimbulkan kecenderungan terjadinya gingivitis dan kehilangan tulang
alveolar.
B. Gangguan Psikosomatik
Dengan gangguan psikosomatik dimaksudkan efek merusak sebagai akibat
pengaruh psikis terhadap control organic jaringan. Ada dua cara gangguan
psikosomatik mempengaruhi periodonsium dan jaringan di rongga mulut lainnya:
(1) melalui timbulnya kebiasaan buruk yang dapat mencederai periodonsium;
(2) dengan efek langsung system saraf otonom terhadap keseimbangan jaringan
yang fisiologis.
Dibawah tekanan mental atau emosional, mulut akan menjadi sasaran pemuasan
bagi orang dewasa. Hal ini menimbulkan kebiasaan buruk seperti: klensing;
menggigit pensil, ballpoint, atau kuku; merokok secara berlebihan; yang
kesemuanya berpotensi mencederai periodonsium.
Meningkatnya aktivitas system saraf otonom oleh pengaruh psikis antara lain bisa
menyebabkan perubahan respon pada kapiler gingival.
b. Mekanisme berperannya
Mekanisme penginduksian hyperplasia gingival oleh obat-obatan tersebut diatas
atau oleh metabolitnya belumlah jelas betul, namun terlepas darimana yang paling
berperan ada beberapa hipotesa yang dikemukakan :
• Pengaruh obat atau metabolit secara tidak langsung
Obat atau metabolit menstimulasi diproduksinya IL-2 oleh sel-T, atau diproduksinya
metabolit testosterone oleh fibroblast gingiva, yang pada akhirnya akan
menstimulasi proliferasi dan atau sintesa kolagen oleh fibroblast gingiva
• Pengaruh obat atau metabolit secara langsung
Obat/metabolit secara langsung menstimulasi proliferasi fibroblast gingival, sintesa
protein, dan produksi kolagen
• Penghambatan aktivitas kolagenase
Obat/metabolit dapat menghambat aktivitas kolagenase hingga penghancuran
matriks akan terhambat
• Penghambatan degradasi kolagenase
Obat/metabolit menstimulasi terbentuknya kolagenase fibroblastic inaktif, dengan
akibat degradasi kolagen akan terhambat
• Faktor estetis
Akhir-akhir ini dihipotesakan adanya faktor genetis yang menentukan
kecenderungan bisa terjadi hyperplasia yang diinduksikan obat-obatan pada
seseorang.
REFERENSI
Daliemunthe, Saidina Hamzah. 2001. Periodonsia Edisi Revisi 2008. Medan.
Genco RJ, Loe H. The role of systemic conditions and disorders in periodontal
diseases. Periodontology 2000 1993,(2):98-116
http://id.88db.com/Kesehatan-Pengobatan/Perawatan-Kesehatan/ad-88755/
http://gigidanmulutsehat.blogspot.com/2009/11/kalkuluskarang-gigitartardan-
apalah.html#more
http://theo766hi.wordpress.com/2010/01/30/karang-gigi/
http://savechildfromsmoke.wordpress.com/2009/08/28/perokok-perokok-pasif-dan-
kanker-rongga-mulut/
http://www.scribd.com/doc/20949995/Cdk-140-Bunga-Rampai-Penyakit-Dalam
http://drgdondy.blogspot.com/2008_07_01_archive.html
Dr. Y. Kim 2000-12-04.foodimp01-Microsoft Word
http://drgdondy.blogspot.com/2008/07/penyakit-periodontal-pada-penderita.html
http://chawdnextholmes.blogspot.com/
plaque.pdf – Adobe Reader
cdk_113_gigi.pdf – Adobe Reader. Kalkulus Hubungannya dengan Penyakit
Periodontal dan Penanganannya
http://www.toothiq.com/dental-symptoms/dental-symptom-dental-overhang.html
http://www.americandentalcenter.us/cosmetic_dentistry.html
http://dentechblog.blogspot.com/2010/01/lares-laser-cleared-for-subgingival.html
http://www.whocollab.od.mah.se/expl/ohigv60.html
Diposkan oleh tiomida sartika andryani di Rabu, April 28, 2010 0 komentar Link
ke posting ini
Reaks
i:
Beranda
Pengikut
Arsip Blog
• ▼ 2010 (1)
○ ▼ April (1)
faktor etiologi penyakit gingival dan periodontal
Mengenai Saya