You are on page 1of 3

Pio dan Harimau

Pio tampak gelisah. Kakeknya, Kakek Olan, belum juga pulang dari hutan. Akan tetapi, tak
lama kemudian, Kakek Olan tiba, la tampak membawa seikat rotan dan seekor anak harimau.
"Kek, anak, harimau ini dari mana? Bagaimana kalau nanti induknya mencarinya?" tanya Pio
ketakutan.
Kakek Olan tersenyum, "Justru karena itu, Kakek kasihan pada anak harimau ini. Ia terpisah dari
induknya. Kakek menemukannya di tepi jalan setapak. Ya, sudah, Kakek bawa pulang. Kita akan
pelihara dia. Mudah-mudahan dia betah
'Nanti jika induknya marah dan menerkam kita?' tanya Pio.
"Kita kan, tidak bermaksud jahat terhadap anak harimau ini.'
Kakek Olan segera membawa anak harimau itu ke belakang rumah la dimasukkan ke kandang
kambing yang sudah tidak dipakai. Sebelumnya, anak harimau itu dikalungi sebuah lonceng kecil.
Beberapa tahun kemudian, setelah Kakek Olan meninggal, anak harimau itu dilepas. Pio yakin anak,
harimau itu telah bisa mencari makes sendiri.
Sewaktu Pio mencari rotan di hutan, is melihat seekor anak burung yang terluka la melongok ke atas
pohon. Dilihatnya ada sarang burung di atas ranting Pohon. Pio segera memanjat. Ternyata, tiga ekor
anak burung ada di dalam sarang itu. Ia Jam memasukkan anak burung itu agar bersama dengan
teman-temannya.
Pio segera turun, la sangat terkejut! Ternyata, seekor harimau telah menantinya di bawah. Harimau
itu tiba-tiba meloncat ke atas pohon. Pip sangat ketakutan, Tubuhnya gemetar. Harimau itu melihat
dengan sorot mata yang tajam sambil menggerak-gerakkan ekornya.
Terdengar suara gemerincing lonceng. Pio seketika ingat suara lonceng itu Suara itu same dengan
lonceng yang dikalungkan ke leher si anak harimau beberapa tahun lain Darah Pio berdesir cepat.
Mungkinkah ini harimau yang pernah ia den kakeknya pelihara beberapa tahun lalu? Harimau itu
seolah-olah mengerti apa yang dipikirkan Pio, la menggerak-gerakkan lehernya. Gemerincing suara
lonceng pun semakin keras. Beberapa menit kemudian, harimau itu turun Kemudian, perlahan
menghilang ke tengah hutan.
Pio bergegas turun. la segera pulang ke kampungnya. Sepanjang perjalanan, ia berpikir tentang
harimau tadi.
“Untung harimau itu tidak menerkamku. Mungkin ia masih ingat apa yang telah Aku perbuat bersama
kakekku dulu. Setiap orang yang berbuat baik, lento akan mendapat balasan kebaikan pula” kata Pio
dalam hati.
Hikayat Saudagar Amin

Dahulu kala di Sumatra, hiduplah seorang saudagar bernama Syah Alam. Syah Alam
mempunyai seorang anak bernama Amir. Amir tidak dapat mengelola uang dengan baik.
Setiap hari ia membelanjakan uang yang diberikan ayahnya. Karena sayangnya pada Amir, Syah
Alam tak pernah memarahinya, terlebih menghukumnya. Amir adalah anak satu-satunya sehingga
Syah Alam tidak bisa berbuat apa-apa. Syah Alam dan istrinya hanya bisa mengelus dada. Akan
tetapi, lama-kelamaan mereka tak tahan lagi melihat tingkah laku anaknya. Syah Alam pun jatuh
sakit.
Sakitnya dari hari ke hari semakin parah. Banyak uang dikeluarkan untuk pengobatan, tetapi tak
kunjung sembuh. Lama-kelamaan mereka menjadi miskin. Kehidupan mereka semakin susah.
Sebelum meninggal, Syah Alam sempat berkata, "Amir, Ayah tak bisa memberikan apa-apa lagi
kepadamu. Engkau harus bisa membangun kembali usaha seperti ayahmu ini. Jangan engkau gunakan
waktu dengan sia-sia. Bekerjalah yang giat, pergilah dari rumah. Usahakan engkau jangan terlihat
oleh matahari, tetapi terlihat oleh bulan."
Ya, Ayah, Aku akan turuti nasihatmu." Tak lama kemudian, Syah Alam pun meninggal dunia. Maka
hiduplah Amir bersama ibunya. Akan tetapi, tak lama kemudian, ibunya pun meninggal pula.
Akhirnya, Amir bertekad ingin mencari pekerjaan. la teringat pada nasihat ayahnya agar tidak terlihat
oleh matahari, tetapi terlihat oleh bulan Olen Sebab itulah, ia ke mana-mana selalu memakai payung,
Karena selalu berpayung, ditambah lagi tidak punya keahlian, ia sulit sekali mendapat pekerjaan.
Pada suatu hari, Amir bertemu dengan Nasarudin seorang menteri yang panda. Dia sahabat ayahnya
dahulu. Nasarudin sangat heran dengan pemuda yang selalu memakai payung Itu. Nasarudin pun
bertanya kepadanya mengapa la berlaku seperti itu,
Amir pun bercerita mengapa ia selalu berpayung. Tentu saja Nasarudin tertawa, la pun berujar,
"Begini, ya, Amir. Bukan begitu maksud pesan ayahmu dulu. Akan tetapi, Pergilah sebelum matahari
terbit dan pulang malam. Jadi, tidak mengapa Engkau terkena Sinar matahari". Setelah memberi
nasihat, Nasarudin pun memberi pinjaman pang kepada Amir. Amir disuruhaya berdagang
sebagaimana dilakukan oleh ayahnya dulu.
Amir lalu berjualan makanan ban minuman. ia berjualan Siang dan malam. Pada Siang hari, Amir
menjajakan makanan, seperti nasi kapau, lemang dan es limau. Malam harinya, ia berjualan martabak,
sekoteng, dan nasi goreng. Lama-kelamaan, Amir pun bertambah maju usahanya. Sejak saat itu, Amir
menjadi saudagar yang kaya raya.
Si Malin Kundang

Pads zaman dulu tinggallah seorang janda bersama anak laki-lakinya. Mereka tinggal di tepi
pantai. Anak laki-laki itu bernama Malin Kundang. Malin Kundang cerdas, pandai bergaul, rendah
hati, dan disenangi teman sebayanya.
Setiap hari sang ibu menjajakan kue di kampong-kampung sepanjang pantai, suatu hri ibu yang tua
renta itu jatuh sakit. Malin Kundang yang mengambil alih tugas ibunya. Dia menjajakan kue dari
satu kampung ke kampung lain. Ia pun menawarkan kuenya kepada para nelayan di pantai. Akan
tetapi tak ada yang mau membeli kuenya.
Malin Kundang teringat ibunya yang sedang sakit. Pikirannya menjadi kacau. Badannya lemah.
Akhirnya, ia pun terjatuh di depan sebuah rumah besar. Rumah itu dihuni mempunyai anak bernama
Umi.
Melihat Malin Kundang jatuh, ayah Umi memerintahkan pelayannya untuk membawa Malin
Kundang ke dalam rumah. Malin Kundang diberi makan dan Minum.
Setelah badannya kuat, Malin Kundang mohon diri. la mengucapkan terima kasih. Akan tetapi, ayah
Umi mencegatnya di pintu pagar. la menanyakan tentang kehidupan Malin Kundang dengan ibunya.
Setelah mengetahui hal-Ikhwal" Malin Kundang, ayah Umi mengajak Malin bekerja di kapal
miliknya.
Bertahun-tahun Malin Kundang bekerja di kapal dagang itu. Malin Kundang seorang pekerja yang
terampil, ulet, dan cerdas. Oleh karena itu, ayah Umi memberikan jabatan tinggi kepada Malin
Kundang. Malin Kundang sering berlayar dari satu pulau ke pulau lain. Akibatnya, ia tidak pernah
pulang ke kampung halamannya.
Suatu hari, kapal Malin Kundang berlabuh di pantai. Pantai itu dekat dengan tempat tinggalnya.
Semua warga di desa amat bangga melihat keberhasilan Malin Kundang. Keberhasilan Malin
Kundang menjadi buah bibir orang-orang di kampungnya, terutama teman sepermainannya. Akan
tetapi, banyak temannya yang mengatakan bahwa Malin Kundang sombong.
Kabar kedatangan Malin Kundang sampai ke telinga Ibu Malin Kundang. Ibu Malin Kundang segera
pergi ke pantai, ia ingin berjumpa anaknya. Akan tetapi, Malin Kundang tidak mau bertemu Ibunya,
Ibunya amat sedih. Ibu Malin Kundang berdoa “Ya Allah sadarkanlah anaku! Ampunilah semua
perbuatannya” Setelah itu, Ibu Malin Kundang pergi. Malin Kundang hanya menetap kepergian
ibunya. Ia menyesal telah bersalah kepada ibunya.

You might also like