You are on page 1of 10

PERBANKAN SYARIAH:

PELUANG DAN STRATEGI PENGEMBANGAN

Oleh: Malia Rochma*

Latar Belakang

Sistem Perbankan Syariah Indonesia dimulai tahun 1992 dengan

digulirkannya UU No. 7/1992 yang memungkinkan bank menjalankan

operasional bisnisnya dengan sistem bagi hasil. Pada tahun yang sama lahir bank

syariah pertama di Indonesia, Bank Syariah Muamalat Indonesia (BMI). Hingga

tahun 1998 praktis bank syariah tidak berkembang. Baru setelah diluncurkan Dual

Banking System melalui UU No. 10/1998, perbankan syariah mulai menggeliat

naik. Dalam 5 tahun saja sejak diberlakukan Dual Banking System, pelaku bank

syariah bertambah menjadi 10 bank dengan perincian 2 bank merupakan entitas

mandiri (BMI dan Bank Syariah Mandiri) dan lainnya merupakan unit/divisi

syariah bank konvensional. Pendatang-pendatang baru perbankan syariah

dipastikan terus bertambah mengingat pada akhir 2003, beberapa bank

konvensional sudah mengantungi ijin Bank Indonesia untuk membuka unit/divisi

syariah tahun ini.

Analisis Pasar Perbankan Syariah

Seiring dengan makin bertambahnya jumlah bank syariah yang beroperasi

di Indonesia, jumlah dana yang berhasil dihimpun perbankan syariah juga terus

bertambah. Jika pada 1997 dana masyarakat bank syariah baru mencapai Rp 463

M maka pada Desember 2003 telah meningkat menjadi Rp 5,7 T. Pesatnya

1
pertumbuhan dana masyarakat ini dipicu oleh beberapa faktor. Di samping karena

kinerja bank syariah yang mengesankan, sistem bagi hasil yang ditawarkan

perbankan syariah lebih stabil terhadap gejolak ekonomi makro. Di tengah terus

menurunnya suku bunga bank konvensional, margin bagi hasil memberikan

keuntungan yang relatif lebih tinggi dibandingkan bunga yang ditawarkan bank

konvensional. Hal ini terjadi karena sistem bagi hasil diberikan berdasarkan

nisbah (perbandingan bagi hasil) keuntungan yang disepakati saat nasabah

membuka rekening. Dalam periode 1997-2003, produk dana berupa deposito

mudharabah merupakan pilihan terbesar dari seluruh dana masyarakat yang

disimpan pada perbankan syariah.

Gambar 1. Jumlah dan Pertumbuhan Dana Perbankan Syariah Indonesia

Tingginya tingkat bagi hasil yang ditawarkan perbankan syariah tidak

terlepas dari besarnya tingkat pembiayaan syariah. Financing to Deposit Ratio

2
(FDR) perbankan syariah yang berada pada kisaran 100% jauh melampaui Loan

to Deposit Ratio (LDR) perbankan konvensional yang sekitar 40%.

Berbeda dengan bank konvensional yang fungsi intermediasinya dilakukan

dengan mengucurkan kredit secara tunai, pada perbankan syariah konsep

pembiayaan tidak dilakukan secara tunai tetapi dengan cara membiayai/mendanai

langsung sejumlah kebutuhan yang diajukan debitur, baik pembelian barang

maupun pendirian suatu usaha. Dengan demikian transaksi tunai tidak terjadi

secara langsung antara bank dan debitur melainkan antara bank dengan pihak lain

yang berbisnis dengan debitur seperti dealer mobil, pengembang atau yang lain.

Gambar 2. FDR dan LDR

Hingga tahun 2003 perbankan syariah telah mendanai pembiayaan sebesar

Rp 5,53 T dengan tingkat FDR 96,6%. Dari seluruh skim pembiayaan syariah,

total pembiayaan masih didominasi oleh pembiayaan murabahah/jual beli (70%),

disusul pembiayaan mudharabah/bagi hasil (19%) dan pembiayaan musyarakah

3
(2%). Tingkat Non Performing Financing (NPF) sebesar 2,3 % pada Desember

2003, stabil di bawah 5% sejak tahun 2000.

Dari segi asset, pada 2003 perbankan syariah mengalami peningkatan

pesat dengan tingkat penetrasi aset terhadap perbankan konvensional sebesar

0,7% (Rp 7,859 ). Pertumbuhan aset bank-bank syariah melonjak dengan adanya

Dual Banking System pada 1998. Ini terlihat dari compound annual growth rate

(CAGR) setelah tahun 1998 yang mencapai 70%. Bank Indonesia menargetkan

penetrasi aset perbankan syariah terhadap asset perbankan konvensional akan

mencapai 5% pada tahun 2010.

Gambar 3. NPF Syariah dan NPL Konvensional.

Pengalaman serupa juga dialami Perbankan Syariah Malaysia. Ketika

diperkenalkan Islamic Banking Act pada 1983, bank syariah pertama di Malaysia

mulai beroperasi. Hingga tahun 1993, praktis tidak ada pertumbuhan perbankan

syariah yang berarti. Dengan diluncurkannya Islamic Banking

System/Introduction of Windows System (seperti Dual Banking System di

4
Indonesia), perbankan syariah Malaysia tumbuh pesat dengan bertambahnya

bank-bank syariah. Hingga tahun 2000, bank syariah di Malaysia berjumlah 46

bank dengan perincian 2 islamic banks (entitas mandiri), dan 44 merupakan

unit/divisi syariah bank konvensional. Pertumbuhan asset Perbakan Syariah

Malaysia tahun 1993-2000 adalah sebesar 57% dengan total asset penetration

terhadap aset bank konvensional mencapai 7%.

Prospek Perbankan Syariah Di Indonesia

Gambar 4. Pertumbuhan Aset Bank Syariah.

Hasil survei Bank Indonesia di beberapa propinsi di Jawa dan Sumatra

pada tahun 2000-2001 menunjukkan bahwa antusiasme masyarakat terhadap

perbankan syariah cukup tinggi. Dari survei ini dapat disimpulkan bahwa nasabah

potensial bank syariah mencapai 78% dengan perincian 11% merupakan syariah

5
loyalis, yaitu nasabah yang akan beralih ke bank syariah terdekat dan 67%

merupakan floating customer yaitu nasabah yang akan beralih ke bank syariah

jika infrastruktur dan pelayanan yang ditawarkan perbankan syariah tidak berbeda

dengan bank konvensional. Di luar 78% merupakan konvensional loyalis yang

tidak terlalu terpengaruh dengan keberadaan bank syariah.

Gambar 5. Analisis Survey BI

Survey Bank Indonesia juga menunjukkan variasi persepsi masyarakat

terhadap bank syariah baik dari persepsi prinsip syariah, produk maupun

pelayanan. Dari prinsip syariah, masyarakat masih meragukan bank syariah yang

dioperasikan dengan Dual Banking System, beranggapan bagi hasil sama saja

dengan bunga, tingkat bagi hasil pinjaman yang tinggi, dan tidak begitu paham

dengan sistem syariah. Pada produk, persepsi masyarakat masih berkisar seputar

informasi produk dan variasi produk yang terbatas. Dari segi pelayanan

6
masyarakat beranggapan fasilitas bank syariah kurang lengkap dan pelayanan di

counter kurang memuaskan.

Melihat pengalaman Malaysia yang memiliki pertumbuhan aset sebesar

57% dan bertahan terus selama 10 tahun, pasar syariah di Indonesia diyakini akan

terus tumbuh. Dengan skenario konservatif dan benchmark pengalaman Malaysia,

prediksi Bank Indonesia bahwa penetrasi aset perbankan syariah terhadap asset

konvensional mencapai 5% pada tahun 2010, akan dapat terlampaui.

Profitabilitas Bank-bank Syariah

Hingga Desember 2003 total kantor bank syariah berjumlah 263 kantor

layanan (termasuk kantor pusat). Meskipun belum menjangkau semua propinsi di

Indonesia, hampir semua bank-bank syariah menawarkan pelayanan melalui ATM

bersifat nasional dengan akses internasional.Profitabilitas bank-bank syariah

tercermin pada return on asset (ROA) dan return on equity (ROE). Jika

dibandingkan dengan rerata ROA-ROE bank konvensional (ROA=1,5% dan

ROE=15%), hanya Bank Syariah Muamalat Indonesia yang sudah berada dalam

kuadran profitable.

Gambar 6. Peta Posisi bank-bank syariah berdasarkan ROA-ROE.

7
Strategi Bank-bank Syariah

Tidak dapat dipungkiri Fatwa MUI pada Desember 2003 merupakan

trigger penting dalam proses pertumbuhan perbankan syariah di Indonesia.

Namun demikian, sebagai unit bisnis yang terukur kinerjanya bank-bank syariah

harus menyiapkan strategi pasca Fatwa MUI untuk memposisikan diri sebagai

bisnis yang kokoh.

Dengan nasabah potensial mencapai 78%, bank-bank syariah seharusnya

mulai berbenah diri. Tingginya potensi nasabah dengan rendahnya persepsi

masyarakat terhadap syariah menunjukkan minimnya informasi syariah di

masyarakat. Untuk itu strategi pertama yang harus ditempuh bank syariah adalah

komunikasi eksternal baik dalam rangka edukasi prinsip syariah maupun produk

produk yang ditawarkan. Sebagai bisnis yang masih baru berkembang, sudah

selayaknya pelaku perbankan syariah melakukan kerja sama baik dalam iklan

bersama maupun mensponsori suatu event tertentu.

Strategi kedua adalah menciptakan efisiensi melalui inovasi produk dan

inovasi proses. Tidak seperti perbankan konvensional yang didukung oleh banyak

instrumen keuangan, produk-produk syariah cenderung terbatas mengingat belum

lengkapnya instrumen keuangan syariah. Tingginya margin bagi hasil yang

ditawarkan saat ini (relatif terhadap bunga bank konvensional) menjadikan bank

syariah cenderung mengalami excess funding. Untuk itu perlu dilakukan inovasi

produk pembiayaan dengan skim yang menarik untuk menjaga agar tingkat bagi

hasil yang ditawarkan tetap bersaing. Inovasi proses untuk efisiensi dapat

dilakukan dengan cara menyederhanakan adopsi proses kredit bank konvensional

8
untuk proses pembiayaan bank syariah. Sistem referensi cross-selling dan sistem

skoring pada kredit bank konvensional merupakan beberapa inovasi yang dapat

ditiru perbankan syariah.

Excess funding juga bisa disebabkan oleh kurang agresifnya sistem

pemasaran perbankan syariah. Survei Bank Indonesia menunjukkan kurangnya

sense of marketing pelaku perbankan syariah. Hasil survei menyebutkan, dari 6

sampel perusahaan yang terdaftar dalam Jakarta Islamic Index, hanya 2

perusahaan mengaku pernah didatangi tenaga pemasar bank syariah. Semua

perusahaan ini berharap mendapatkan penawaran pembiayaan dari perbankan

syariah. Tidak boleh tidak, perbankan syariah harus mulai menata dan

merencanakan sistem pemasaran yang lebih baik dan mulai melihat potensi bisnis

non ritel untuk menggiatkan pembiayaannya.

Bank syariah juga tidak dapat menghindari timbulnya risiko pembiayaan.

Hal tersebut terjadi ketika bank tidak dapat memperoleh kembali sebagian atau

seluruh pembiayaan yang disalurkan atau investasi yang sedang dilakukannya.

Risiko pembiayaan dapat mempengaruhi tingkat profitabilitas bank syariah. Hal

ini disebabkan ketika tingkat jumlah pembiayaan bermasalah (Non Performing

Financing) menjadi besar, semakin besar pula jumlah kebutuhan biaya

penyisihan penghapusan pembiayaan yang berpengaruh terhadap kemampuan

bank untuk menghasilkan keuntungan. Maka dari itu pembiayaan dan investasi

yang disalurkan harus dijaga serta dikelola dengan hati-hati (Prudential) agar

tidak menjadi pembiayaan yang bermasalah (Non Performing Financing).

9
Strategi berikutnya adalah megembangkan budaya syariah sebagai salah

satu usaha menuju good corporate governance. Mengingat 8 dari 10 pelaku

perbankan syariah Indonesia (per Desember 2003) adalah merupakan unit/divisi

syariah perbankan konvensional, diperlukan komitmen yang kuat untuk

menciptakan budaya syariah yang berbeda dengan budaya perbakan konvensional.

Syariah adalah bisnis yang tidak hanya murni binsis. Inilah bisnis yang didukung

oleh moral dan niat baik untuk mengembalikan uang pada fungsinya, yaitu murni

sebagai alat tukar yang tidak akan bertambah/berkurang semata-mata karena

waktu. Inisiasi budaya syariah ini dapat dilakukan dengan cara mengembangkan

motivasi kerja berdasarkan syariah, rekrutmen pegawai yang tidak hanya

didasarkan pada kemampuan intelektual, menumbuhkan syariah leadership style,

dan sebagainya.

Penutup

Pertumbuhan perbankan syariah di Indonesia merupakan fenomena yang

menarik. Mungkin inilah bisnis yang tidak hanya menggiurkan dari sisi potensi

profitabilitasnya namun juga sangat kondusif dari latar belakang syariahnya.

Tingginya potensi profitabilitas bisnis bank syariah tercermin dari banyaknya

pelaku perbankan dunia yang membuka unit syariah dengan menangguk untung

yang tidak sedikit. Citibank, ABN Amro, dan HSBC merupakan contoh gurita-

gurita perbankan yang sukses merambah bisnis bank syariah di Timur Tengah dan

Malaysia. Dari latar belakangnya, bisnis bank syariah sarat dengan misi moral

untuk menciptakan kehidupan perekonomian yang lebih adil.

10

You might also like