You are on page 1of 14

BERBAGAI KELEMAHAN UNDANG-UNDANG NOMOR 32

TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN


PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

Oleh : Ahmad Amrullah Sudiarto

Pada dasarnya alam mempunyai sifat yang beraneka


ragam, namun serasi dan seimbang, olehnya itu, perlindungan
dan pengelolaan sumber daya alam harus terus dilakukan untuk
mempertahankan keserasian dan keseimbangan itu. Semua
kekayaan bumi, baik biotik maupun abiotik, yang dapat
dimanfaatkan untuk kesejahteraan manusia merupakan sumber
daya alam, dan pemanfaatan sumber daya alam harus diikuti
oleh pemeliharaan dan pelestarian karena sumber daya alam
bersifat terbatas.

Bumi (alam) sebenarnya cukup untuk memenuhi hajat


hidup seluruh manusia, seperti yang diucapkan oleh Mahatma
Gandhi, bahwa “bumi cukup memenuhi kebutuhan umat
manusia, tapi ia tidak cukup untuk memenuhi keinginan satu
orang manusia yang serakah.” Namun keserakahan manusia
terkadang mengabaikan aspek keseimbangan (equalibrium)
yang menimbulkan kemerosotan kualitas lingkungan.

“Jika Pohon terakhir telah ditebang, Ikan terakhir telah


ditangkap, Sungai terakhir telah mengering, Manusia baru sadar
kalau uang tak dapat dimakan,” Untaian bahasa bijak orang
Indian yang dipopulerkan oleh Greenpeace itu, sangat cocok
mengambarkan keserakahan dan apatisme manusia terhadap
alam dan lingkungannya.
Sekarang ini, dengan merosotnya kualitas lingkungan di
sertai ancaman global warming, masyarakat dunia mulai sadar
bahwa apa yang pernah diungkapkan Mahatmah Gandhi dan
pepatah bijak suku Indian tersebut, ditandai dengan
meningkatkan kesadaran masyarakat dunia terhadap lingkungan
seperti dengan maraknya gerakan-gerakan dan kegiatan
kampanye lingkungan di berbagai belahan bumi, karena timbul
kesadaran bahwa pada akhirnya kerusakan lingkungan akan
berdampak pada kehidupan manusia itu sendiri.

Dalam suatu lingkungan hidup yang baik, terjalin suatu


interaksi yang harmonis dan seimbang antar komponen-
komponen lingkungan hidup. Stabilitas keseimbangan dan
keserasian interaksi antar komponen lingkungan hidup tersebut
tergantung pada usaha manusia. Karena manusia adalah
komponen lingkungan hidup yang paling dominan dalam
mempengaruhi lingkungan. Sebaliknya lingkungan pun
mempengaruhi manusia. Sehingga terdapat hubungan yang
saling mempengaruhi antara manusia dan lingkungan hidupnya.
Hal demikian, merupakan interaksi antara manusia dan
lingkungan.

Emil Salim1 mengemukakan bahwa, jaringan hubungan


timbal balik antara manusia dengan segala jenis benda, zat
organis dan bukan organis serta kondisi yang ada dalam suatu
lingkungan membentuk suatu ekosistem. Jaringan hubungan
dalam ekosistem ini bisa tumbuh secara stabil apabila berbagai
unsur dan zat dalam lingkungan ini berada dalam keseimbangan.

1 Andi Sudirman Hamsah, 2007 : 98


Hubungan yang sedemikian erat dan ketergantungan
manusia terhadap lingkungannya, seyogyanya menimbulkan
kesadaran akan pentingngnya keberlanjutan lingkungan hidup
yang lestari dan seimbang sehingga hal tersebut perlu di atur
dengan jelas, apalagi sebahagian besar negara di dunia ini
menganut sistem atau mengklaim negaranya sebagai negara
hukum.

Pemikiran atau konsepsi manusia tentang Negara hukum


juga lahir dan berkembang dalam situasi kesejarahan. Karena
itu, meskipun konsep negara hukum dianggap sebagi konsep
universal, pada daratan implementasi ternyata memiliki
karakteristik yang beragam. Hal ini dikarenakan adanya
pengaruh-pengaruh kesejarahan tadi, disamping pengaruh
falsafah bangsa, ideologi negara dan lain-lain. Atas dasar itu,
secara historis dan praktis, konsep negara hukum muncul dalam
berbagai model seperti negara hukum menurut Alquran dan
Sunnah atau nomokrasi Islam, negara hukum menurut Eropa
Kontinental yang di namakan rechtsstaat, negara hukum
menurut konsep Anglo Saxon (rule of law), konsepsocialist
legality, dan konsep negara hukum pancasila (Ridwan
HR,2006:1-2). Sebagai negara hukum, maka usaha penegakan
hukum harus berdasar pada prinsip bahwa hukum harus tetap
dipegang teguh, karena tegaknya hukum dalam suatu negara
hukum merupakan jaminan pengakuan akan hak-hak
masyarakat.

Di Indonesia sendiri, dalam UUD 1945 Pasal 1 ayat (3)


dinyatakan dengan tegas bahwa negara Indonesia adalah negara
hukum. Konsepsi negara hukum pada masa sekarang ini adalah
sesuatu yang popular, bahwa konsep tersebut selalu dikaitkan
dengan konsep perlindungan hukum.2

Sejak merdeka para pendiri bangsa ini telah memikirkan


pentingnya pemanfaatan lingkungan secara lestari dan
berkelanjutan untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan
makmur, di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945 (UUD 1945) telah diatur dalam pasal 33 ayat (3),
yaitu :” Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung
didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Kemakmuran berarti harus
dapat dinikmati baik oleh generasi sekarang maupun generasi
yang akan datang.

Di dalam pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, juga


ditekankan bahwa pembangunan ekonomi nasional harus selaras
dengan masalah sosial dan lingkungan. Hal ini tertuang dalam
pasal 33 ayat(4) yaitu“ Perekonomian nasional diselenggarakan
berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan,
efesiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan,
kemandirian serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan
kesatuan ekonomi nasional”.

Namun, hak atas lingkungan yang sehat dan baik baru


diatur dalam sebuah UU No.4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-
ketentuan Pokok Tentang Lingkungan Hidup yang diganti dengan
UU No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Kemudian juga hak atas lingkungan hidup yang sehat dan baik di
Indonesia diakui sebagai HAM melalui ketetapan MPR RI Nomor
XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia. Di salah pasal pada

2 Machfud MD dalam Andi Sudirman Hamsah, 2007:14


Dekrasi Nasional tentang HAM menetapkan bahwa,” setiap orang
berhak atas lingkungan hidup yang sehat dan baik. Dalam
perkembanganya dengan keluarnya UU No. 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia, di Bab HAM dan Kebebasan Dasar
Manusia, dibawah bagian Hak untuk Hidup. Hak atas lingkungan
hidup yang baik dan sehat, dasarnya pada Pasal 28H UUD 1945,
dengan ditempatkan hak lingkungan ini diharapkan semua
lapisan masyarakat semakin menjaga kualitas lingkungan hidup
dengan perlu dilakukan suatu perlindungan dan pengelolaan
yang terpadu, intragrasi dan seksama untuk mengantisipasi
penurunan akibat pemanasan global.3

Kelemahan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009

Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

Untuk pelestarian terhadap masalah lingkungan hidup


sangat kompleks dan pemecahan masalahnya memerlukan
perhatian yang bersifat komperehensif dan menjadi tanggung
jawab pemerintah didukung pertisipasi masyarakat. Di Indonesia,
pengelolaan lingkungan hidup harus berdasarkan pada dasar
hukum yang jelas dan menyeluruh sehingga diperoleh suatu
kepastian hukum.4

3 Siti Khotijah, 2009 :


http://gagasanhukum.wordpress.com/2009/11/lg/analisis-filosofi-uu-nomor-
32-tahun-2009/

4 Siswanto Sunarso, 2005:31


Keluarnya Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup (UUPPLH) No. 32 Tahun 2009 menggantikan
Undang Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH) tahun
1997 yang dianggap belum bisa menyelesaikan persoalan-
persoalan lingkungan banyak mendapat apresiasi dan sebagai
upaya yang serius dari pemerintah dalam menangani masalah-
masalah pengelolaan lingkungan.

UU No 32 Tahun 2009, juga memasuhkan landasan filosofi


tentang konsep pembangunan berkelanjutan dan berwawasan
lingkungan dalam rangka pembangunan ekonomi. Ini penting
dalam pembangunan ekonomi nasional karena persoalan
lingkungan kedepan semakin komplek dan syarat dengan
kepentingan investasi. Karenannya persoalan lingkungan adalah
persoalan kita semua, baik pemerintah, dunia investasi maupun
masyarakat pada umumnya.5

Tetapi bila dicermati lebih jauh, masih banyak hal-hal yang


perlu dibenahi dalam UUPPLH tersebut, seperti dalam pasal 26
ayat (2) bahwa” pelibatan masyarakat harus dilakukan
berdasarkan prinsip pemberian informasi yang transparan dan
lengkap serta diberitahukan sebelum kegiatan dilaksanakan”.
Dalam pasal ini, tidak diikuti penjelasan seperti apa dan
bagaimana bentuk informasi secara lengkap tersebut dan upaya
hukum apa yang dapat dilakukan bila hal tersebut tidak
dilakukan, begitupula dalam ayat (4) “masyarakat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat mengajukan keberatan terhadap
dokumen amdal” juga tidak di ikuti penjelasan sehingga dapat
menimbulkan kerancuan dalam hal yang seperti apa masyarakat

5 Siti Khotijah, 2009:


http://gagasanhukum.wordpress.com/2009/11/lg/analisis-filosofi-uu-nomor-
32-tahun-2009/)
menolak dokumen tersebut, sehingga justru mereduksi hak-hak
masyarakat dalam proses awal pembangunan.

Padahal tingkat pengetahuan masyarakat dalam


memahami undang-undang sangat kurang, seperti yang
dikatakan Tasdyanto Rohadi (Ketua Umum Ikatan Ahli
Lingkungan Hidup Indonesia), survei terhadap tingkat
pemahaman UU 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup yang sudah berlaku lebih dari 10 tahun menunjukkan 15 %
masyarakat sebuah kota memahami UU tersebut dengan baik.
Sebagian besar lagi, yaitu 25 % mengetahui judul tanpa
mengetahui substansi pengaturan dengan baik. Yang
menyedihkan adalah, sisanya, 60 % masyarakat kota tersebut
tidak mengetahui judul dan substansi pengaturan dengan baik,
dan hal ini menunjukkan bahwa cara menyelenggarakan
kebijakan kepada masing-masing segmen tersebut
membutuhkan cara dan strategi yang berbeda. UUPPLH yang
sangat bernuansa ilmiah dan akademis hanya akan mampu
dipahami oleh komunitas rasional. Hanya sayangnya komunitas
rasional di perkotaan tidak lebih dari 30 %, bahkan di desa-desa,
komunitas rasional tidak melebihi dari 5 %.6

Selain itu, dari ketigabelas instrumen pencegahan


pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang termuat
dalam pasal 14 UU no. 32 Tahun 2009 tersebut, diperkenalkan
instrumen baru yang tidak terdapat dalam UUPLH sebelumnya,
yaitu Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang wajib
dilakukan oleh pemerintah dan pemerintah daerah untuk
memastikan terintegrasinya prinsip pembangunan berkelanjutan

6 Agus Adianto, 2009:


http://www.mediaindonesia.com/webtorial/klh/index.php?ac-id=NjkzMw==
dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana
dan/atau program (pasal 15 ayat 1 UU no. 32 tahun 2009).
Namun demikian, tidak seperti halnya analisa dampak
lingkungan (AMDAL) yang disertai sanksi berat pelanggarannya,
UUPPLH ini tidak mencantumkan sanksi apapun bagi pemerintah
atau pemerintah daerah yang tidak melakukannya.7

Hal yang perlu di perhatikan bahwa komitmen pemerintah


daerah dalam masalah lingkungan hidup masih kurang, seperti
dalam hasil survey yang dilakukan oleh Sugeng Suryadi Syndicat
tahun 2006 yang mengatakan bahwa kepala daerah kurang
peduli terhadap lingkungan hidup. Menurutnya sekitar 47%
kepala daerah kurang peduli dengan lingkungan hidup, 9% tidak
peduli, cukup peduli 37% dan sangat peduli hanya berkisar
6,4%.8 Mudah-mudahan ditahun 2010 ini kepedulian pemerintah
terhadap masalah lingkungan sudah membaik.

Dalam pelaksanaannya biokrasi memerlukan komitmen


yang tinggi dalam semua tatanan, mulai dari perumusan
kebijakan sampai pada pelaksanaan operasional dilapangan.
Perlu dikembangkan suatu mekanisme pelaksanaan biokrasi
pada semua level. Sehingga apa yang yang sudah dirumuskan
pada tingkat kebijakan dapat dilaksanakan ditingkat operasional.
Para politisi, aparat birokrat dan masyarakat bersama-sama
perlu memahami biokrasi dan tahu bagaimana
melaksanakannya.

7 Anonime, 2009: http://www.duniaesai.com/direktori/esai/42-


lingkungan/231-waspadai-pelaksanaan-uu-pplh-no-32-tahun-2009.html

8 Darmansyah, 2008: http://id.shvoong.com/books/1824482-benang-kusut-


pengelolaan-lingkungan-hidup/
Dalam pasal 46, berbunyi “Selain ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 45, dalam rangka pemulihan kondisi
lingkungan hidup yang kualitasnya telah mengalami pencemaran
dan/atau kerusakan pada saat undang-undang ini ditetapkan,
Pemerintah dan pemerintah daerah wajib mengalokasikan
anggaran untuk pemulihan lingkungan hidup”. Ketentuan ini
akan sangat merugikan karena pencemarnya tidak diungkit
sama sekali, dan anehnya di penjelasannya juga tertulis “cukup
jelas”, padahal ketentuan dalam pasal ini bisa melepaskan
pencemarnya begitu saja dan pemulihan justru dibebankan
kepada pemerintah.

Pasal 66 dari UUPPLH yang perlu untuk dicermati dan kritis


adalah pasal 66. Selengkapnya pasal ini berbunyi:”Setiap orang
yang memperjuangkan hak atas linkungan hidup yang baik dan
sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara
perdata”. Tentunya bila ditelaah dengan baik, tidak ada yang
salah dari pasal ini. Namun dalam penjelasan pasal ini berbunyi
bahwa ketentuan ini dimaksudkan untuk melindungi korban dan /
atau pelapor yang menempuh cara hukum akibat pencemaran
dan / atau perusakan lingkungan hidup dan perlindungan
dimaksudkan untuk mencegah tindakan pembalasan dari
terlapor melalui pemidanaan dan/gugatan perdata dengan tetap
memperhatikan kemandirian peradilan.9

Kalimat terakhir yang sekaligus penutup dari penjelasan


tersebut “dengan tetap memperhatikan kemandirian peradilan
merupakan kalimat kunci yang dimaksudkan untuk
mematahkan/mementahkan janji dari pasal 66. Artinya

9 Edy Rachmad, 2010: http://waspadamedan.com/index.php?


option=com¬_content&view=article&id=hati-hati-dengan-pasal-66-uu-
no32-tahun-2008&catid=63:surat-pembaca&Itemd=234
diberlakukannya hak perlindungan sebagaimana yang diatur
dalam pasal 66 masih harus ditentukan dan diuji lagi oleh
peradilan. Bahwa disidang peradilan segala sesuatu (apapun)
masih mungkin terjadi termasuk mengabaikan pemberlakuan
pasal 66 karena hakim bebas dan memiliki hak mutlak untuk
menentukan/menjatuhkan putusannya.10 Padahal berbagai kasus
saksi pelapor seringkali menjadi korban dan kurang mendapat
perlindungan serta hak-haknya sering terabaikan bahkan justru
jadi korban seperti dalam kasus Susno Duadji.

Dalam UU No.32 tahun 2009 yang dimaksud dengan baku


mutu lingkungan hidup adalah ukuran batas atau kadar makhluk
hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada
dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya
dalam suatu sumber daya tertentu sebagai unsur lingkungan
hidup. Selanjutnya pada pasal 20 dinyatakan baku mutu
lingkungan meliputi, baku mutu air, baku mutu air limbah, baku
mutu air laut, baku mutu udara ambient, baku mutu emisi, baku
mutu gangguan, dan baku mutu lain sesuai dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Untuk
menerapkan baku mutu lingkungan terkait temperatur air seperti
yang dipersyaratkan tersebut, diperlukan proses yang tidak
sederhana dan membutuhkan investasi yang besar sehingga
tidak dapat diterapkan dalam waktu cepat.11

Unsur-unsur perbuatan melawan hukum dalam hukum


pidana, biasanya di jabarkan secara rinci tetapi dalam pasal 98

10 Edy Rachmad, 2010: http://waspadamedan.com/index.php?


option=com_content&view=article&id=hati-hati-dengan-pasal-66-uu-no32-
tahun-2008&catid=63:surat-pembaca&Itemd=234

11 Anonime, http://www.esdm.go.id/berita/migas/40-migas/3197-implikasi-uu-
no-32-tahun-2009-terhadap-industri-migas-nasional.html
dan 99 UUPPLH terdapat kesalahan fatal karena diabaikannya
(dihilangkan) unsur perbuatan melawan hukum yg seharusnya
ada selain itu, sanksi hukum dalam Pasal 101 UUPPLH berbunyi”
setia orang yang melepaskan dan/atau mengedarkan produk
rekayasa genetik ke media lingkungan hidup yang bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan atau izin lingkungan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf g, dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling
lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga
miliar rupiah) serta dalam pasal 102 UUPPLH berbunyi” setiap
orang yang melakukan pengelolaan limbah B3 tanpa izin
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (4), dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling
lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga
miliar rupiah). Hal ini justru menunjukkan ketidakpedulian
Negara terhadap nilai keadilan akibat kejahatan yg berkaitan
limbah B3, apalagi jika dibandingkan dengan sanksi hukum
dalam Pasal 108 UUPPLH.

Di Pasal 108 UUPLH sangat penting untuk dilakukan


sosialisasi, karena hal ini bisa menimbulkan kesalah pahaman
dan kesewenang-wenagan dalam penerapannya. Dalam
masyarakat pedesaan, masih banyak lahan milik masyarakat
(perorangan) yang luasnya diatas 2 (dua) hektar. Sebagimana
bunyi pasal 108 bahwa “Setiap orang yang melakukan
pembakaran lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat
(1) huruf h, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3
(tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda
paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling
banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)”. Dan
dalam penjelasan pasal 69 ayat (1) huruf h sebagaimana yang
dimaksud kearifan lokal dalam pasal 69 ayat (2) yaitu, kearifan
lokal yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah melakukan
pembakaran lahan dengan luas lahan maksimal 2 hektare per
kepala keluarga untuk ditanami tanaman jenis varietas lokal dan
dikelilingi oleh sekat bakar sebagai pencegah penjalaran api ke
wilayah sekelilingnya. Jika hal ini tidak tersosialisasikan ke
masyarakat, terutama masyarakat pedesaan bisa saja akan
menimbulkan permasalahan dan konflik baru.

Selain beberapa permasalahan dalam UUPPLH diatas,


masih banyak hal-hal yang berpengaruh dalam penegakan
hukum lingkungan, ketentuan hukum (Undang-Undang) memang
sangat penting dan berperang dalam hal ini, tetapi faktor-faktor
lain seperti kesadaran masyarakat tidak bisa dinafikan.

Posisi dan peranan aturan tersebut hanyalah sebagai


sarana penunjang belaka, sebagai sarana penunjang maka
keampuhan dan kedayagunaannya akan selalu tergantung
kepada siapa dan dengan cara bagaimana digunakannya. Betapa
pun ampuh dan sempurnanya sarana, namun jika yang
menggunakannya tidak memiliki keterampilan dan kemahiran
sudah pasti keampuhan dan kesempurnaan daripada sarana
tersebut tidak akan terwujud.

Referensi
HR, Ridwan. 2003. Hukum Administrasi Negara. PT Raja Grafindo
Persada. Jakarta.

Sudirman, Andi Hamsah. 2007. Perlindungan Hukum Terhadap


Kars Maros-Pangkep dalam Rangka Pelestarian Fungsi
Lingkungan Hidup pada Taman Nasional Bantimurung
Bulusaraung. Tesis tidak diterbitkan. Makassar. Program
Pascasarjana UNHAS.

Sunarso, Siswanto. 2005. Hukum Pidana Lingkungan Hidup dan


Strateg Penyelesaian Sengketa. Rineka Cipta. Jakarta.

Adianto, Agus. 2009. Online,


http://www.mediaindonesia.com/webtorial/klh/index. php?ac-
id=NjkzMw==.

Anonime,2010:http://www.duniaesai.com/direktori/esai/42-
lingkungan/231-waspadai-pelaksanaan-uu-pplh-no-32-tahun-
2009.html.

Anonime, 2009. Online, http://www.esdm.go.id/berita/migas/40-


migas/3197-implikasi-uu-no-32-tahun-2009-terhadap-industri-
migas-nasional.html.

Anonime, 2010. Online (http://id.wikipedia.org/wikihukum-


lingkungan2010).

Darmansyah, 2008. Online,


http://id.shvoong.com/books/1824482-benang-kusut-
pengelolaan-lingkungan-hidup/.
Khotijah,Siti. 2009. Online,
http://gagasanhukum.wordpress.com/2009/11/lg/analisis-filosofi-
uu-nomor-32-tahun-2009/.

Rachmad,Edy.2010.Online.http://waspadamedan.com/index.php?
option=com_content&view=article&id=hati-hati-dengan-pasal-
66-uu-no32-tahun-2008&catid=63:surat-pembaca&Itemd=234.

You might also like