Professional Documents
Culture Documents
Konsep Manajemen Sekolah
Posted on 3 Februari 2008 by AKHMAD SUDRAJAT
“Manajemen adalah proses untuk mencapai tujuan – tujuan organisasi dengan melakukan
kegiatan dari empat fungsi utama yaitu merencanakan (planning), mengorganisasi
(organizing), memimpin (leading), dan mengendalikan (controlling). Dengan demikian,
manajemen adalah sebuah kegiatan yang berkesinambungan”.
Sedangkan dari Stoner sebagaimana dikutip oleh T. Hani Handoko (1995) mengemukakan
bahwa:
Secara khusus dalam konteks pendidikan, Djam’an Satori (1980) memberikan pengertian
manajemen pendidikan dengan menggunakan istilah administrasi pendidikan yang diartikan
sebagai “keseluruhan proses kerjasama dengan memanfaatkan semua sumber personil dan
materil yang tersedia dan sesuai untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan
secara efektif dan efisien”. Sementara itu, Hadari Nawawi (1992) mengemukakan bahwa
“administrasi pendidikan sebagai rangkaian kegiatan atau keseluruhan proses pengendalian
usaha kerjasama sejumlah orang untuk mencapai tujuan pendidikan secara sistematis yang
diselenggarakan di lingkungan tertentu terutama berupa lembaga pendidikan formal”.
Meski ditemukan pengertian manajemen atau administrasi yang beragam, baik yang bersifat
umum maupun khusus tentang kependidikan, namun secara esensial dapat ditarik benang
merah tentang pengertian manajemen pendidikan, bahwa : (1) manajemen pendidikan
merupakan suatu kegiatan; (2) manajemen pendidikan memanfaatkan berbagai sumber daya;
dan (3) manajemen pendidikan berupaya untuk mencapai tujuan tertentu.
B. Fungsi Manajemen
Sementara itu, Harold Koontz dan Cyril O’ Donnel mengemukakan lima fungsi manajemen,
mencakup :
(1) planning (perencanaan);
(2) organizing (pengorganisasian);
(3) staffing (penentuan staf);
(4) directing (pengarahan); dan
(5) controlling (pengawasan).
Untuk memahami lebih jauh tentang fungsi-fungsi manajemen pendidikan, di bawah akan
dipaparkan tentang fungsi-fungsi manajemen pendidikan dalam perspektif persekolahan,
dengan merujuk kepada pemikiran G.R. Terry, meliputi : (1) perencanaan (planning); (2)
pengorganisasian (organizing); (3) pelaksanaan (actuating) dan (4) pengawasan (controlling).
1. Perencanaan (planning)
Perencanaan tidak lain merupakan kegiatan untuk menetapkan tujuan yang akan dicapai
beserta cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut. Sebagaimana disampaikan oleh Louise E.
Boone dan David L. Kurtz (1984) bahwa: planning may be defined as the proses by which
manager set objective, asses the future, and develop course of action designed to accomplish
these objective. Sedangkan T. Hani Handoko (1995) mengemukakan bahwa :
“ Perencanaan (planning) adalah pemilihan atau penetapan tujuan organisasi dan penentuan
strategi, kebijaksanaan, proyek, program, prosedur, metode, sistem, anggaran dan standar
yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan. Pembuatan keputusan banyak terlibat dalam fungsi
ini.”
Arti penting perencanaan terutama adalah memberikan kejelasan arah bagi setiap kegiatan,
sehingga setiap kegiatan dapat diusahakan dan dilaksanakan seefisien dan seefektif mungkin.
T. Hani Handoko mengemukakan sembilan manfaat perencanaan bahwa perencanaan: (a)
membantu manajemen untuk menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan lingkungan;
(b) membantu dalam kristalisasi persesuaian pada masalah-masalah utama; (c)
memungkinkan manajer memahami keseluruhan gambaran; (d) membantu penempatan
tanggung jawab lebih tepat; (e) memberikan cara pemberian perintah untuk beroperasi; (f)
memudahkan dalam melakukan koordinasi di antara berbagai bagian organisasi; (g) membuat
tujuan lebih khusus, terperinci dan lebih mudah dipahami; (h) meminimumkan pekerjaan
yang tidak pasti; dan (i) menghemat waktu, usaha dan dana.
Indriyo Gito Sudarmo dan Agus Mulyono (1996) mengemukakan langkah-langkah pokok
dalam perencanaan, yaitu :
Hal senada dikemukakan pula oleh T. Hani Handoko (1995) bahwa terdapat empat tahap
dalam perencanaan, yaitu : (a) menetapkan tujuan atau serangkaian tujuan; (b) merumuskan
keadaan saat ini; (c) mengidentifikasi segala kemudahan dan hambatan; (d) mengembangkan
rencana atau serangkaian kegiatan untuk pencapaian tujuan.
Pada bagian lain, Indriyo Gito Sudarmo dan Agus Mulyono (1996) mengemukakan bahwa
atas dasar luasnya cakupan masalah serta jangkauan yang terkandung dalam suatu
perencanaan, maka perencanaan dapat dibedakan dalam tiga bentuk, yaitu : (1) rencana
global yang merupakan penentuan tujuan secara menyeluruh dan jangka panjang, (2) rencana
strategis merupakan rencana yang disusun guna menentukan tujuan-tujuan kegiatan atau
tugas yang mempunyai arti strategis dan mempunyai dimensi jangka panjang, dan (3) rencana
operasional yang merupakan rencana kegiatan-kegiatan yang berjangka pendek guna
menopang pencapaian tujuan jangka panjang, baik dalam perencanaan global maupun
perencanaan strategis.
Perencanaan strategik akhir-akhir ini menjadi sangat penting sejalan dengan perkembangan
lingkungan yang sangat pesat dan sangat sulit diprediksikan, seperti perkembangan teknologi
yang sangat pesat, pekerjaan manajerial yang semakin kompleks, dan percepatan perubahan
lingkungan eksternal lainnya.
Pada bagian lain, T. Hani Handoko memaparkan secara ringkas tentang langkah-langkah
dalam penyusunan perencanaan strategik, sebagai berikut:
1. Penentuan misi dan tujuan, yang mencakup pernyataan umum tentang misi, falsafah
dan tujuan. Perumusan misi dan tujuan ini merupakan tanggung jawab kunci manajer
puncak. Perumusan ini dipengaruhi oleh nilai-nilai yang dibawakan manajer. Nilai-
nilai ini dapat mencakup masalah-masalah sosial dan etika, atau masalah-masalah
umum seperti macam produk atau jasa yang akan diproduksi atau cara pengoperasian
perusahaan.
2. Pengembangan profil perusahaan, yang mencerminkan kondisi internal dan
kemampuan perusahaan dan merupakan hasil analisis internal untuk mengidentifikasi
tujuan dan strategi sekarang, serta memerinci kuantitas dan kualitas sumber daya
-sumber daya perusahaan yang tersedia. Profil perusahaan menunjukkan kesuksesan
perusahaan di masa lalu dan kemampuannya untuk mendukung pelaksanaan kegiatan
sebagai implementasi strategi dalam pencapaian tujuan di masa yang akan datang.
3. Analisa lingkungan eksternal, dengan maksud untuk mengidentifikasi cara-cara dan
dalam apa perubahan-perubahan lingkungan dapat mempengaruhi organisasi.
Disamping itu, perusahaan perlu mengidentifikasi lingkungan lebih khusus, seperti
para penyedia, pasar organisasi, para pesaing, pasar tenaga kerja dan lembaga-
lembaga keuangan, di mana kekuatan-kekuatan ini akan mempengaruhi secara
langsung operasi perusahaan.
Meski pendapat di atas lebih menggambarkan perencanaan strategik dalam konteks bisnis,
namun secara esensial konsep perencanaan strategik ini dapat diterapkan pula dalam konteks
pendidikan, khususnya pada tingkat persekolahan, karena memang pendidikan di Indonesia
dewasa ini sedang menghadapi berbagai tantangan internal maupun eksternal, sehingga
membutuhkan perencanaan yang benar-benar dapat menjamin sustanabilitas pendidikan itu
sendiri.
2. Pengorganisasian (organizing)
3. Pelaksanaan (actuating)
4. Pengawasan (controlling)
Pengawasan (controlling) merupakan fungsi manajemen yang tidak kalah pentingnya dalam
suatu organisasi. Semua fungsi terdahulu, tidak akan efektif tanpa disertai fungsi
pengawasan. Dalam hal ini, Louis E. Boone dan David L. Kurtz (1984) memberikan rumusan
tentang pengawasan sebagai : “… the process by which manager determine wether actual
operation are consistent with plans”.
Sementara itu, Robert J. Mocker sebagaimana disampaikan oleh T. Hani Handoko (1995)
mengemukakan definisi pengawasan yang di dalamnya memuat unsur esensial proses
pengawasan, bahwa :
“Pengawasan manajemen adalah suatu usaha sistematik untuk menetapkan standar
pelaksanaan dengan tujuan – tujuan perencanaan, merancang sistem informasi umpan balik,
membandingkan kegiatan nyata dengan standar yang telah ditetapkan sebelumnya,
menentukan dan mengukur penyimpangan-penyimpangan, serta mengambil tindakan koreksi
yang diperlukan untuk menjamin bahwa semua sumber daya perusahaan dipergunakan
dengan cara paling efektif dan efisien dalam pencapaian tujuan-tujuan perusahaan.”
Dengan demikian, pengawasan merupakan suatu kegiatan yang berusaha untuk
mengendalikan agar pelaksanaan dapat berjalan sesuai dengan rencana dan memastikan
apakah tujuan organisasi tercapai. Apabila terjadi penyimpangan di mana letak
penyimpangan itu dan bagaimana pula tindakan yang diperlukan untuk mengatasinya.
Selanjutnya dikemukakan pula oleh T. Hani Handoko bahwa proses pengawasan memiliki
lima tahapan, yaitu : (a) penetapan standar pelaksanaan; (b) penentuan pengukuran
pelaksanaan kegiatan; (c) pengukuran pelaksanaan kegiatan nyata; (d) pembandingan
pelaksanaan kegiatan dengan standar dan penganalisaan penyimpangan-penyimpangan; dan
(e) pengambilan tindakan koreksi, bila diperlukan.
Fungsi-fungsi manajemen ini berjalan saling berinteraksi dan saling kait mengkait antara satu
dengan lainnya, sehingga menghasilkan apa yang disebut dengan proses manajemen. Dengan
demikian, proses manajemen sebenarnya merupakan proses interaksi antara berbagai fungsi
manajemen.
Dalam perspektif persekolahan, agar tujuan pendidikan di sekolah dapat tercapai secara
efektif dan efisien, maka proses manajemen pendidikan memiliki peranan yang amat vital.
Karena bagaimana pun sekolah merupakan suatu sistem yang di dalamnya melibatkan
berbagai komponen dan sejumlah kegiatan yang perlu dikelola secara baik dan tertib. Sekolah
tanpa didukung proses manajemen yang baik, boleh jadi hanya akan menghasilkan
kesemrawutan lajunya organisasi, yang pada gilirannya tujuan pendidikan pun tidak akan
pernah tercapai secara semestinya.
Dengan demikian, setiap kegiatan pendidikan di sekolah harus memiliki perencanaan yang
jelas dan realisitis, pengorganisasian yang efektif dan efisien, pengerahan dan pemotivasian
seluruh personil sekolah untuk selalu dapat meningkatkan kualitas kinerjanya, dan
pengawasan secara berkelanjutan.
Berbicara tentang kegiatan pendidikan, di bawah ini beberapa pandangan dari para ahli
tentang bidang-bidang kegiatan yang menjadi wilayah garapan manajemen pendidikan.
Ngalim Purwanto (1986) mengelompokkannya ke dalam tiga bidang garapan yaitu :
Hal serupa dikemukakan pula oleh M. Rifa’i (1980) bahwa bidang-bidang administrasi
pendidikan terdiri dari :
1. Bidang kependidikan atau bidang edukatif, yang menyangkut kurikulum, metode dan
cara mengajar, evaluasi dan sebagainya.
2. Bidang personil, yang mencakup unsur-unsur manusia yang belajar, yang mengajar,
dan personil lain yang berhubungan dengan kegiatan belajar mengajar.
3. Bidang alat dan keuangan, sebagai alat-alat pembantu untuk melancarkan siatuasi
belajar mengajar dan untuk mencapai tujuan pendidikan sebaik-baiknya.
Sementara itu, Thomas J. Sergiovani sebagimana dikutip oleh Uhar Suharsaputra (2002)
mengemukakan delapan bidang administrasi pendidikan, mencakup : (1) instruction and
curriculum development; (2) pupil personnel; (3) community school leadership; (4) staff
personnel; (5) school plant; (6) school trasportation; (7) organization and structure dan (8)
School finance and business management.
Di lain pihak, Direktorat Pendidikan Menengah Umum Depdiknas (1999) telah menerbitkan
buku Panduan Manajemen Sekolah, yang didalamnya mengetengahkan bidang-bidang
kegiatan manajemen pendidikan, meliputi: (1) manajemen kurikulum; (2) manajemen
personalia; (3) manajemen kesiswaan; (4) manajemen keuangan; (5) manajemen perawatan
preventif sarana dan prasarana sekolah.
Dari beberapa pendapat di atas, agaknya yang perlu digarisbawahi yaitu mengenai bidang
administrasi pendidikan yang dikemukakan oleh Thomas J. Sergiovani. Dalam konteks
pendidikan di Indonesia saat ini, pandangan Thomas J. Sergiovani kiranya belum sepenuhnya
dapat dilaksanakan, terutama dalam bidang school transportation dan business management.
Dengan alasan tertentu, kebijakan umum pendidikan nasional belum dapat menjangkau ke
arah sana. Kendati demikian, dalam kerangka peningkatkan mutu pendidikan, ke depannya
pemikiran ini sangat menarik untuk diterapkan menjadi kebijakan pendidikan di Indonesia.
Merujuk kepada kebijakan Direktorat Pendidikan Menengah Umum Depdiknas dalam buku
Panduan Manajemen Sekolah, berikut ini akan diuraikan secara ringkas tentang bidang-
bidang kegiatan pendidikan di sekolah, yang mencakup :
1. Manajemen kurikulum
Manajemen kurikulum merupakan subtansi manajemen yang utama di sekolah. Prinsip dasar
manajemen kurikulum ini adalah berusaha agar proses pembelajaran dapat berjalan dengan
baik, dengan tolok ukur pencapaian tujuan oleh siswa dan mendorong guru untuk menyusun
dan terus menerus menyempurnakan strategi pembelajarannya. Tahapan manajemen
kurikulum di sekolah dilakukan melalui empat tahap : (a) perencanaan; (b) pengorganisasian
dan koordinasi; (c) pelaksanaan; dan (d) pengendalian.
Dalam konteks Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), Tita Lestari (2006)
mengemukakan tentang siklus manajemen kurikulum yang terdiri dari empat tahap :
2. Manajemen Kesiswaan
Dalam manajemen kesiswaan terdapat empat prinsip dasar, yaitu : (a) siswa harus
diperlakukan sebagai subyek dan bukan obyek, sehingga harus didorong untuk berperan serta
dalam setiap perencanaan dan pengambilan keputusan yang terkait dengan kegiatan mereka;
(b) kondisi siswa sangat beragam, ditinjau dari kondisi fisik, kemampuan intelektual, sosial
ekonomi, minat dan seterusnya. Oleh karena itu diperlukan wahana kegiatan yang beragam,
sehingga setiap siswa memiliki wahana untuk berkembang secara optimal; (c) siswa hanya
termotivasi belajar, jika mereka menyenangi apa yang diajarkan; dan (d) pengembangan
potensi siswa tidak hanya menyangkut ranah kognitif, tetapi juga ranah afektif, dan
psikomotor.
3. Manajemen personalia
Terdapat empat prinsip dasar manajemen personalia yaitu : (a) dalam mengembangkan
sekolah, sumber daya manusia adalah komponen paling berharga; (b) sumber daya manusia
akan berperan secara optimal jika dikelola dengan baik, sehingga mendukung tujuan
institusional; (c) kultur dan suasana organisasi di sekolah, serta perilaku manajerial sekolah
sangat berpengaruh terhadap pencapaian tujuan pengembangan sekolah; dan (d) manajemen
personalia di sekolah pada prinsipnya mengupayakan agar setiap warga dapat bekerja sama
dan saling mendukung untuk mencapai tujuan sekolah.
Disamping faktor ketersediaan sumber daya manusia, hal yang amat penting dalam
manajamen personalia adalah berkenaan penguasaan kompetensi dari para personil di
sekolah. Oleh karena itu, upaya pengembangan kompetensi dari setiap personil sekolah
menjadi mutlak diperlukan.
4. Manajemen keuangan
Manajemen keuangan di sekolah terutama berkenaan dengan kiat sekolah dalam menggali
dana, kiat sekolah dalam mengelola dana, pengelolaan keuangan dikaitkan dengan program
tahunan sekolah, cara mengadministrasikan dana sekolah, dan cara melakukan pengawasan,
pengendalian serta pemeriksaan.
Inti dari manajemen keuangan adalah pencapaian efisiensi dan efektivitas. Oleh karena itu,
disamping mengupayakan ketersediaan dana yang memadai untuk kebutuhan pembangunan
maupun kegiatan rutin operasional di sekolah, juga perlu diperhatikan faktor akuntabilitas
dan transparansi setiap penggunaan keuangan baik yang bersumber pemerintah, masyarakat
dan sumber-sumber lainnya.
Manajemen peserta didik dapat diartikan sebagai usaha pengaturan terhadap peserta didik
mulai dari peserta didik tersebut masuk sekolah sampai dengan mereka lulus sekolah.
Knezevich (1961) mengartikan manajemen peserta didik atau pupil personnel administration
sebagai suatu layanan yang memusatkan perhatian pada pengaturan, pengawasan dan layanan
siswa di kelas dan di luar kelas seperti: pengenalan, pendaftaran, layanan individual seperti
pengembangan keseluruhan kemampuan, minat, kebutuhan sampai ia matang di sekolah.
Layanan atas kesamaan yang dilakukan oleh sistem schooling tersebut dipertanyakan, dan
sebagai responsinya kemudian diselipkan layanan-layanan yang berbeda pada sistem
schooling tersebut.
Adanya dua tuntutan pelayanan terhadap siswa,– yakni aksentuasi pada layanan kesamaan
dan perbedaan anak–, melahirkan pemikiran pentingnya manajemen peserta didik untuk
mengatur bagaimana agar tuntutan dua macam layanan tersebut dapat dipenuhi di sekolah.
Baik layanan yang teraksentuasi pada kesamaan maupun pada perbedaan peserta didik, sama-
sama diarahkan agar peserta didik berkembang seoptimal mungkin sesuai dengan
kemampuannya.
Tujuan umum manajemen peserta didik adalah: mengatur kegiatan-kegiatan peserta didik
agar kegiatan-kegiatan tersebut menunjang proses belajar mengajar di sekolah; lebih lanjut,
proses belajar mengajar di sekolah dapat berjalan lancar, tertib dan teratur sehingga dapat
memberikan kontribusi bagi pencapaian tujuan sekolah dan tujuan pendidikan secara
keseluruhan.
Fungsi manajemen peserta didik secara umum adalah: sebagai wahana bagi peserta didik
untuk mengembangkan diri seoptimal mungkin, baik yang berkenaan dengan segi-segi
individualitasnya, segi sosialnya, segi aspirasinya, segi kebutuhannya dan segi-segi potensi
peserta didik lainnya.
1. Fungsi yang berkenaan dengan pengembangan individualitas peserta didik, ialah agar
mereka dapat mengembangkan potensi-potensi individualitasnya tanpa banyak
terhambat. Potensi-potensi bawaan tersebut meliputi: kemampuan umum
(kecerdasan), kemampuan khusus (bakat), dan kemampuan lainnya.
2. Fungsi yang berkenaan dengan pengembangan fungsi sosial peserta didik ialah agar
peserta didik dapat mengadakan sosialisasi dengan sebayanya, dengan orang tua dan
keluarganya, dengan lingkungan sosial sekolahnya dan lingkungan sosial
masyarakatnya. Fungsi ini berkaitan dengan hakekat peserta didik sebagai makhluk
sosial.
3. Fungsi yang berkenaan dengan penyaluran aspirasi dan harapan peserta didik, ialah
agar peserta didik tersalur hobi, kesenangan dan minatnya. Hobi, kesenangan dan
minat peserta didik demikian patut disalurkan, oleh karena ia juga dapat menunjang
terhadap perkembangan diri peserta didik secara keseluruhan.
4. Fungsi yang berkenaan dengan pemenuhan kebutuhan dan kesejahteraan peserta didik
ialah agar peserta didik sejahtera dalam hidupnya. Kesejahteraan demikian sangat
penting karena dengan demikian ia akan juga turut memikirkan kesejahteraan
sebayanya.
Yang dimaksudkan dengan prinsip adalah sesuatu yang harus dipedomani dalam
melaksanakan tugas. Jika sesuatu tersebut sudah tidak dipedomani lagi, maka akan tanggal
sebagai suatu prinsip. Prinsip manajemen peserta didik mengandung arti bahwa dalam rangka
memanaj peserta didik, prinsip-prinsip yang disebutkan di bawah ini haruslah selalu dipegang
dan dipedomani. Adapun prinsip-prinsip manajemen peserta didik tersebut adalah sebagai
berikut:
Wujud pendekatan ini dalam manajemen peserta didik secara operasional adalah:
mengharuskan kehadiran secara mutlak bagi peserta didik di sekolah, memperketat presensi,
penuntutan disiplin yang tinggi, menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan kepadanya.
Pendekatan demikian, memang teraksentuasi pada upaya agar peserta didik menjadi mampu.
Kedua, pendekatan kualitatif (the qualitative approach). Pendekatan ini lebih memberikan
perhatian kepada kesejahteraan peserta didik. Jika pendekatan kuantitatif di atas diarahkan
agar peserta didik mampu, maka pendekatan kualitatif ini lebih diarahkan agar peserta didik
senang. Asumsi dari pendekatan ini adalah, jika peserta didik senang dan sejahtera, maka
mereka dapat belajar dengan baik serta senang juga untuk mengembangkan diri mereka
sendiri di lembaga pendidikan seperti sekolah. Pendekatan ini juga menekankan perlunya
penyediaan iklim yang kondusif dan menyenangkan bagi pengembangan diri secara optimal.
Di antara kedua pendekatan tersebut, tentu dapat diambil jalan tengahnya, atau sebutlah
dengan pendekatan padu. Dalam pendekatan padu demikian, peserta didik diminta untuk
memenuhi tuntutan-tuntutan birokratik dan administratif sekolah di satu pihak, tetapi di sisi
lain sekolah juga menawarkan insentif-insentif lain yang dapat memenuhi kebutuhan dan
kesejahteraannya. Di satu pihak siswa diminta untuk menyelesaikan tugas-tugas berat yang
berasal dari lembaganya, tetapi di sisi lain juga disediakan iklim yang kondusif untuk
menyelesaikan tugasnya. Atau, jika dikemukakan dengan kalimat terbalik, penyediaan
kesejahteraan, iklim yang kondusif, pemberian layanan-layanan yang andal adalah dalam
rangka mendisiplinkan peserta didik, penyelesaian tugas-tugas peserta didik.
=====================
Diambil dan adaptasi dari Materi Pembinaan Kepala Sekolah. Direktorat Tenaga
Kependidikan. Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan.
Departemen Pendidikan Nasional. 2007)
Konsep Dasar Manajemen Keuangan Sekol
ah
Posted on 18 Januari 2010 by AKHMAD SUDRAJAT
Melalui kegiatan manajemen keuangan maka kebutuhan pendanaan kegiatan sekolah dapat
direncanakan, diupayakan pengadaannya, dibukukan secara transparan, dan digunakan untuk
membiayai pelaksanaan program sekolah secara efektif dan efisien. Untuk itu tujuan
manajemen keuangan adalah:
Untuk mencapai tujuan tersebut, maka dibutuhkan kreativitas kepala sekolah dalam menggali
sumber-sumber dana, menempatkan bendaharawan yang menguasai dalam pembukuan dan
pertanggung-jawaban keuangan serta memanfaatkannya secara benar sesuai peraturan
perundangan yang berlaku.
1. Transparansi
Transparan berarti adanya keterbukaan. Transparan di bidang manajemen berarti adanya
keterbukaan dalam mengelola suatu kegiatan. Di lembaga pendidikan, bidang manajemen
keuangan yang transparan berarti adanya keterbukaan dalam manajemen keuangan lembaga
pendidikan, yaitu keterbukaan sumber keuangan dan jumlahnya, rincian penggunaan, dan
pertanggungjawabannya harus jelas sehingga bisa memudahkan pihak-pihak yang
berkepentingan untuk mengetahuinya. Transparansi keuangan sangat diperlukan dalam
rangka meningkatkan dukungan orangtua, masyarakat dan pemerintah dalam
penyelenggaraan seluruh program pendidikan di sekolah. Disamping itu transparansi dapat
menciptakan kepercayaan timbal balik antara pemerintah, masyarakat, orang tua siswa dan
warga sekolah melalui penyediaan informasi dan menjamin kemudahan di dalam
memperoleh informasi yang akurat dan memadai.
Beberapa informasi keuangan yang bebas diketahui oleh semua warga sekolah dan orang tua
siswa misalnya rencana anggaran pendapatan dan belanja sekolah (RAPBS) bisa ditempel di
papan pengumuman di ruang guru atau di depan ruang tata usaha sehingga bagi siapa saja
yang membutuhkan informasi itu dapat dengan mudah mendapatkannya. Orang tua siswa
bisa mengetahui berapa jumlah uang yang diterima sekolah dari orang tua siswa dan
digunakan untuk apa saja uang itu. Perolehan informasi ini menambah kepercayaan orang tua
siswa terhadap sekolah.
2. Akuntabilitas
Akuntabilitas adalah kondisi seseorang yang dinilai oleh orang lain karena kualitas
performansinya dalam menyelesaikan tugas untuk mencapai tujuan yang menjadi tanggung
jawabnya. Akuntabilitas di dalam manajemen keuangan berarti penggunaan uang sekolah
dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan perencanaan yang telah ditetapkan. Berdasarkan
perencanaan yang telah ditetapkan dan peraturan yang berlaku maka pihak sekolah
membelanjakan uang secara bertanggung jawab. Pertanggungjawaban dapat dilakukan
kepada orang tua, masyarakat dan pemerintah. Ada tiga pilar utama yang menjadi prasyarat
terbangunnya akuntabilitas, yaitu (1) adanya transparansi para penyelenggara sekolah
dengan menerima masukan dan mengikutsertakan berbagai komponen dalam mengelola
sekolah , (2) adanya standar kinerja di setiap institusi yang dapat diukur dalam
melaksanakan tugas, fungsi dan wewenangnya, (3) adanya partisipasi untuk saling
menciptakan suasana kondusif dalam menciptakan pelayanan masyarakat dengan prosedur
yang mudah, biaya yang murah dan pelayanan yang cepat
3. Efektivitas
Efektif seringkali diartikan sebagai pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Garner(2004)
mendefinisikan efektivitas lebih dalam lagi, karena sebenarnya efektivitas tidak berhenti
sampai tujuan tercapai tetapi sampai pada kualitatif hasil yang dikaitkan dengan pencapaian
visi lembaga. Effectiveness ”characterized by qualitative outcomes”. Efektivitas lebih
menekankan pada kualitatif outcomes. Manajemen keuangan dikatakan memenuhi prinsip
efektivitas kalau kegiatan yang dilakukan dapat mengatur keuangan untuk membiayai
aktivitas dalam rangka mencapai tujuan lembaga yang bersangkutan dan kualitatif outcomes-
nya sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan.
4. Efisiensi
Efisiensi berkaitan dengan kuantitas hasil suatu kegiatan. Efficiency ”characterized by
quantitative outputs” (Garner,2004). Efisiensi adalah perbandingan yang terbaik antara
masukan (input) dan keluaran (out put) atau antara daya dan hasil. Daya yang dimaksud
meliputi tenaga, pikiran, waktu, biaya. Perbandingan tersebut dapat dilihat dari dua hal:
Kegiatan dapat dikatakan efisien kalau penggunaan waktu, tenaga dan biaya yang sekecil-
kecilnya dapat mencapai hasil yang ditetapkan.
Ragam efisiensi dapat dijelaskan melalui hubungan antara penggunaan waktu, tenaga, biaya
dan hasil yang diharapkan dapat dilihat pada gambar berikut ini:
Pada gambar di atas menunjukkan penggunaan daya C dan hasil D yang paling efisien,
sedangkan penggunaan daya A dan hasil D menunjukkan paling tidak efisien.
Kegiatan dapat dikatakan efisien kalau dengan penggunaan waktu, tenaga dan biaya tertentu
memberikan hasil sebanyak-banyaknya baik kuantitas maupun kualitasnya.
Pada gambar di atas menunjukkan penggunaan waktu, tenaga, biaya A dan hasil B paling
tidak efisien. Sedangkan penggunaan waktu, tenaga, biaya A dan hasil D paling efisien.
=====================
Diambil dan adaptasi dari Materi Pembinaan Profesi Kepala Sekolah/Madrasah. Direktorat
Tenaga Kependidikan. Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga
Kependidikan. Departemen Pendidikan Nasional. 2007)
=====================
Daftar Rujukan
Campbell, Roald F., Edwin M.Bridges, dan Raphael O.Nystrand. 1983. Introduction to
Educational Administration. 5th edition. Boston: Allyn and Bacon, Inc
Gorton, Richard A. & Schneider, Gail T. 1991. School-Based Leadership: Callenges and
Opportunities. Dubuque, IA: Wm. C. Brown Publishers
Kadarman, A.M. dan Udaya, Jusuf. 1992. Pengantar Ilmu Manajemen: Buku Panduan
Mahasiswa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 056/U/2001 tentang
Pedoman Pembiayaan Penyelenggaraan Pendidikan di Sekolah. Jakarta: CV Tamita Utama
Pemerintah Kota Malang. 2002. Kutipan Buku Pedoman Kerja dan Penekanan Tugas.
Malang: Dinas Pendidikan Kota Malang
Supriadi, Dedi. 2004. Satuan Biaya Pendidikan Dasar dan Menengah. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya
Timan, Agus, Maisyaroh, Djum Djum Noor Benty. 2000. Pengantar Manajemen Pendidikan.
Malang: AP FIP Universitas Negeri Malang.
Konsep Dasar
Manajemen Peran Serta Masyarakat
Posted on 10 Januari 2010 by AKHMAD SUDRAJAT
1. Pengertian
Secara umum orang dapat mengatakan apabila terjadi kontak, pertemuan dan lain-lain antara
sekolah dengan orang di luar sekolah, adalah kegiatan hubungan sekolah dengan masyarakat.
Apakah ini yang dimaksud dengan hubungan sekolah dengan masyarakat, tentunya yang
dimaksudkan dalam uraian di sini tidak sesederhana pengertian tersebut. Arthur B. Mochlan
menyatakan school public relation adalah kegiatan yang dilakukan sekolah atau sekolah
untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Apa sebenarnya kebutuhan masyarakat terhadap sekolah itu? Masyarakat (lebih khusus lagi
orang tua murid) mengirimkan anak-anaknya ke sekolah agar mereka dapat menjadi manusia
dewasa yang bermanfaat bagi kehidupannya dan bagi masyarakat secara umum. Secara
praktis sering kita dengar para orang tua menginginkan anaknya dapat berprestasi di sekolah
Ini berarti kebutuhan masyarakat terhadap sekolah adalah penyelenggaraan dan pelayanan
proses belajar mengajar yang berkualitas dengan out put yang berkualitas pula. Dengan
tuntutan yang demikian akan menjadi beban bagi sekolah, dengan segala keterbatasan yang
dimilikinya (tenaga, biaya, waktu dan sebagainya).
Pengertian di atas memberikan isyarat kepada kita bahwa hubungan sekolah dengan
masyarakat lebih banyak menekankan pada pemenuhan akan kebutuhan masyarakat yang
terkait dengan sekolah. Di sisi lain pengertian tersebut di atas menggambarkan bahwa
pelaksanaan hubungan masyarakat tidak menunggu adanya permintaan masyarakat, tetapi
sekolah berusaha secara aktif (jemput bola), serta mengambil inisiatif untuk melakukan
berbagai aktivitas agar tercipta hubungan dan kerjasama harmonis.
Apabila dicermati pengertian tersebut di atas, nampaknya lebih mengarah pada pola
hubungan satu arah, yaitu kemauan sekolah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat tentang
hal-hal yang berkaitan dengan sekolah. Ini berarti pihak sekolah kurang mendapatkan balikan
dari pihak masyarakat.
Definisi yang lebih lengkap diungkapkan oleh Bernays seperti dikutip oleh Suriansyah
(2000), yang menyatakan bahwa hubungan sekolah dengan masyarakat adalah:
1. Information given to the public (memberikan informasi secara jelas dan lengkap
kepada masyarakat)
2. Persuasion directed at the public, to modify attitude and action (melakukan persuasi
kepada masyarakat dalam rangka merubah sikap dan tindakan yang perlu mereka
lakukan terhadap sekolah)
3. Effort to integrated attitudes and action of institution with its public and of public
with the institution (suatu upaya untuk menyatukan sikap dan tindakan yang
dilakukan oleh sekolah dengan sikap dan tindakan yang dilakukan oleh masyarakat
secara timbal balik, yaitu dari sekolah ke masyarakat dan dari masyarakat ke sekolah.
Pengertian di atas memberikan gambaran kepada kita apa sebenarnya hakekat hubungan
sekolah dan masyarakat. Hal terpenting dari pengertian di atas, adalah adanya informasi yang
diberikan kepada masyarakat yang dampaknya dapat merubah sikap dan tindakan masyarakat
terhadap pendidikan serta masyarakat memberikan sesuatu untuk perbaikan pendidikan.
Dengan memahami dua pengertian hubungan sekolah dengan masyarakat di atas, kita dapat
membuat suatu pengertian sederhana tentang hubungan sekolah dan masyarakat sebagai suatu
“proses kegiatan menumbuhkan dan membina saling pengertian kepada masyarakat dan
orang tua murid tentang visi dan misi sekolah, program kerja sekolah, masalah-masalah yang
dihadapi serta berbagai aktivitas sekolah lainnya”.
Pengertian ini memberikan dasar bagi sekolah, bahwa sekolah perlu memiliki visi dan misi
serta program kerja yang jelas, agar masyarakat memahami apa yang ingin dicapai oleh
sekolah dan masalah/kendala yang dihadapi sekolah dalam mencapai tujuan, melalui berbagai
kegiatan yang dilakukan oleh sekolah. Dengan demikian mereka dapat memikirkan tentang
peranan apa yang dapat dilakukan oleh masyarakat/orang tua murid dan stakeholders lainnya
untuk membantu sekolah.
Pemahaman masyarakat yang mendalam, jelas dan konprehensip tentang sekolah merupakan
salah satu faktor pendorong lahirnya dukungan dan bantuan mereka terhadap sekolah. Hal ini
sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh C.L. Brownell seperti dikutip oleh Suriansyah
(2001) yang menyatakan bahwa: Knowledge of the program is essential to understanding,
and understanding is basic to appreciation, appreciation is basic to support.
Bertolak dari pendapat yang diungkapkan Brownell tersebut di atas, dapat dipahami bahwa
ssekolah perlu melakukan beberapa aktivitas dalam melaksanakan manajemen peran serta
masyarakat agar dapat mencapai hasil yang diharapkan dan memberdayakan masyarakat dan
stakeholders lainnya. Beberapa aktivitas tersebut adalah:
Apabila penjelasan-penjelasan tersebut dipahami masyarakat dan apa yang diinginkan serta
program-program tersebut sesuai dengan kebutuhan masyarakat, maka penghargaan mereka
terhadap sekolah akan tumbuh. Tumbuhnya penghargaan inilah yang akan mendorong
adanya dukungan dan bantuan mereka pada sekolah. Dengan demikian maka program
sekolah harus seiring dengan kebutuhan masyarakat. Karena memang pelanggan dan
pengguna hasil lulusan sekolah adalah masyarakat. Atau dengan kata lain pelanggan sekolah
itu pada hakekatnya adalah siswa dan orang tua siswa serta masyarakat. Karena itu kebutuhan
dan kepuasan pelanggan merupakan hal pokok yang harus diperhatikan oleh lembaga
sekolah. Sebagai contoh: Bagaimana masyarakat mau membantu sekolah apabila sekolah di
tengah masyarakat religius dan fanatik, sekolah tidak pernah memprogramkan kegiatan
sekolah yang bersifat religius, sehingga sekolah terisolir dari masyarakatnya. Sekolah
menjadi menara gading bagi lingkungan masyarakatnya sendiri. Kondisi ini yang mendorong
masyarakat untuk tidak terlibat apalagi berpartisipasi membantu sekolah.
Bertolak dari gambaran tersebut di atas, Nampak manfaat yang sangat besar bagi sekolah
dan masyarakat, apabila hubungan sekolah dengan masyarakat benar-benar dapat dikelola
dan direalisasikan secara utuh sesuai dengan konsepsi di atas.
1. Masyarakat/orang tua murid dan stakeholders lainnya akan mengerti dengan jelas
tentang visi, misi, tujuan dan program kerja sekolah, kemajuan sekolah beserta
masalah-masalah yang dihadapi sekolah secara lengakap, jelas dan akurat.
2. Masyarakat/orang tua murid dan stakeholders lainnya akan mengetahui persoalan-
persolan yang dihadapi atau mungkin dihadapi sekolah dalam mencapai tujuan yang
diinginkan sekolah. Dengan demikian mereka dapat melihat secara jelas dimana
mereka dapat berpartisipasi untuk membantu sekolah.
3. Sekolah akan mengenal secara mendalam latar belakang, keinginan dan harapan-
harapan masyarakat terhadap sekolah. Pengenalan harapan masyarakat dan orang tua
murid terhadap sekolah, khususnya sekolah merupakan unsur penting guna
menumbuhkan dukungan yang kuat dari masyarakat. Apabila hal ini tercipta, maka
sikap apatis, acuh tak acuh dan masa bodoh masyarakat akan hilang. Yang menjadi
pertanyaan adalah, sudahkah sekolah mengenal harapan masyarakat? Atau sekarang
justru sekolah memaksakan harapannya kepada masyarakat! Coba kita analisis
kondisi tersebut berdasarkan pengalaman dan penglihatan selama ini dalam praktek
penyelenggaraan pendidikan di tingkat sekolah. Apabila kita belum melakukan hal
tersebut, maka sudah saatnya mulai sekarang sekolah berbenah diri untuk membangun
kemitraan dengan masyarakat/ stakeholders untuk kemajuan sekolah.
Apabila kondisi dia atas tercipta, para siswa secara langsung mengetahui bahwa mereka
mendapat perhatian yang besar dari kedua belah pihak, baik pihak orang tua/masyarakat
maupun pihak sekolah. Hal ini tentunya merupakan kartu kendali bagi sekolah untuk
bersikap, berperilaku dan bertindak di luar aturan sekolah yang ada. Kendali/control yang
dilakukan bersama antara sekolah dan masyarakat secara terpadu akan memberikan ruang
sempit bagi siswa, maupun warga sekolah lainnya yang akan bertindak atau berperilaku tidak
sesuai dengan norma dan nilai yang berlaku di lingkungan sekolah dan lingkungan
masyarakat.
Dalam kenyataan yang ditemui di lembaga-sekolah sekarang ini nampaknya masih sedikit
ditemukan pola-pola hubungan yang dapat mendorong terciptanya keempat hal pokok di atas.
Hal ini disebabkan adanya persepsi bahwa peningkatan mutu sekolah dan peningkatan proses
pembelajaran cukup dilakukan oleh pihak sekolah atau pihak pemerintah secara sepihak.
Sedangkan pihak masyarakat dan orang tua murid cukup dimintakan bantuannya dalam
bentuk keuangan saja, atau ada semacam persepsi seolah-olah sekolah yang bertanggung
jawab dalam peningkatan mutu. Sedangkan orang tua (masyarakat) tidak perlu terlibat dalam
upaya peningkatan mutu di sekolah. Keterlibatan orang tua/masyarakat sering
diinterpretasikan atau dipersepsi sebagai bentuk intervensi yang terlalu jauh memasuki
kawasan otonomi sekolah. Keadaan ini juga turut berpengaruh terhadap terciptanya hubungan
yang akrab antar sekolah dengan pihak masyarakat. Persepsi yang salah ini sebagai akibat
dari kurangnya pemahaman masyarakat tentang pendidikan dan juga pemahaman warga
sekolah tentang apa dan bagaimana harusnya pengelolaan hubungan sekolah dengan
masyarakat dibangun. Di samping itu pemberdayaan masyarakat masih cenderung pada aspek
pembiayaan.
Pengelolaan hubungan sekolah dengan masyarakat sebagai salah satu aktivitas yang
mendapat kedudukan setara dengan kegiatan pengajaran, pengelolaan keuangan, pengelolaan
kesiswaan dan sebagainya (ingat substansi kegiatan management sekolah) juga harus
direncanakan, dikelola dan dievaluasi secara baik. Tanpa perencanaan dan pengelolaan serta
evaluasi yang baik, tujuan yang hakiki dari kegiatan hubungan sekolah dengan masyarakat
tidak akan tercapai.
Apa sebenarnya yang ingin dicapai dalam kegiatan hubungan sekolah dengan masyarakat?,
gambaran pada pembahasan di atas sudah memperlihatkan kepada kita tentang apa yang ingin
dicapai dalam kegiatan ini. Secara lebih lengkap Elsbree dan Mc Nelly seperti dikutip oleh
Suriansyah (2001) menyatakan bahwa kegiatan hubungan sekolah dengan masyarakat
bertujuan untuk
Dari pendapat ini terlihat bahwa yang ingin dicapai dalam kegiatan hubungan sekolah dengan
masyarakat ini tidak hanya sekedar mendapat bantuan keuangan dari orang tua
murid/masyarakat, tetapi lebih jauh dari hal tersebut yaitu pengembangan kemampuan
belajar anak dan peningkatan kualitas kehidupan masyarakat, yang pada akhirnya dapat
menumbuhkan dukungan mereka akan pendidikan.
Sebagai bahan perbandingan, anda dapat mempelajari tujuan hubungan sekolah dengan
masyarakat yang dikemukakan oleh L. Hagman sebagai berikut:
1. Untuk memperoleh bantuan dari orang tua murid/masyarakat, Bantuan apa? Ingat
bantuan ini bukan hanya sekedar uang! Untuk melaporkan perkembangan dan
kemajuan, masalah dan prestasi-prestasi yang dapat dicapai sekolah. Kapan
sebenarnya laporan ini perlu dilakukan oleh pihak sekolah ?
2. Untuk memajukan program pendidikan.
3. Untuk mengembangkan kebersamaan dan kerjasama yang erat, sehingga segala
permasalahan dan lain-lain dapat dilakukan secara bersama dan dalam waktu yang
tepat.
Dari berbagai uraian di atas dapat disimpulkan bahwa hubungan sekolah dengan masyarakat
sebenarnya bertujuan untuk meningkatkan:
1. Kualitas pembelajaran. Kualitas lulusan sekolah dalam aspek kognitif, afektif maupun
psikomotor hanya akan dapat tercipta melalui proses pembelajar di kelas maupun di
luar kelas. Proses pembelajaran yang berkualitas akan dapat dicapai apabila didukung
oleh berbagai pihak termasuk orang tua murid/masyarakat.
2. Kualitas hasil belajar siswa. Kualitas belajar siswa akan tercapai apabila terjadi
kebersamaan persepsi dan tindakan antara sekolah, masyarakat dan orang tua siswa.
Kebersamaan ini terutama dalam memberikan arahan, bimbingan dan pengawasan
pada anak/murid dalam belajar. Karena itu peningkatan kemitraan sekolah dengan
orang tua murid dan masyarakat merupakan prasyarat yang tidak dapat ditinggalkan
dalam konteks peningkatan mutu hasil belajar.
3. Kualitas pertumbuhan dan perkembangan peserta didik serta kualitas masyarakat
(orang tua murid) itu sendiri. Kualitas masyarakat akan dapat dibangun melalui proses
pendidikan dan hasil pendidikan yang handal. Lulusan yang berkualitas merupakan
modal utama dalam membangun kualitas masyarakat di masa depan.
Ini berarti segala program yang dilakukan dalam kegiatan hubungan sekolah dengan
masyarakat harus mengacu pada peningkatan kualitas pembelajaran, kualitas hasil belajar dan
kualitas pertumbuhan/perkembangan peserta didik. Apabila hal tersebut dapat kita lakukan,
maka persepsi masyarakat tentang sekolah akan dapat dibangun secara optimal.
Apabila kegiatan hubungan sekolah dengan masyarakat ingin berhasil mencapai sasaran, baik
dalam arti sasaran masyarakat/orang tua yang dapat diajak kerjasama maupun sasaran hasil
yang diinginkan, maka beberapa prinsip-prinsip pelaksanaan di bawah ini harus menjadi
pertimbangan dan perhatian. Beberapa prinsip yang perlu diperhatikan dan dipertimbangkan
dalam pelaksanaan hubungan sekolah dengan masyarakat adalah sebagai berikut:
1. Integrity.
Prinsip ini mengandung makna bahwa semua kegiatan hubungan sekolah dengan masyarakat
harus terpadu, dalam arti apa yang dijelaskan, disampaikan dan disuguhkan kepada
masyarakat harus informasi yang terpadu antara informasi kegiatan akademik maupun
informasi kegiatan yang bersifat non akademik. Hindarkan sejauh mungkin upaya
menyembunyikan (hidden activity) kegiatan yang telah, sedang dan akan dijalankan oleh
sekolah, untuk menghindari salah persepsi serta kecurigaan terhadap sekolah. Biasanya sering
terjadi sekolah tidak menginformasikan atau menutupi sesuatu yang sebenarnya menjadi
masalah sekolah dan perlu bantuan atau dukungan orang tua murid. Oleh sebab itu sekolah
harus sedini mungkin mengantisipasi kemungkinan adanya salah persepsi, salah interpretasi
tentang informasi yang disajikan dengan melengkapi informasi yang akurat dan data yang
lengkap, sehingga dapat diterima secara rasional oleh masyarakat. Hal ini sangat penting
untuk meningkatkan penilaian dan kepercayaan masyarakat/orang tua murid terhadap
sekolah, atau dengan kata lain transparansi sekolah sangat diperlukan, lebih-lebih dalam era
reformasi dan abad informasi ini, masyarakat akan semakin kritis dan berani memberikan
penilaian secara langsung tentang sekolah. Bahkan tidak jarang penilaian dan persepsi yang
disampaikan masyarakatan tentang sekolah sering tidak memiliki dasar dan data yang akurat
dan valid. Persepsi yang demikian apabila tidak dihindari akan menyebabkan hal yang negatif
bagi sekolah, akibatnya sekolah tidak akan mendapat dukungan bahkan mungkin sekolah
hanya akan menunggu waktu kematiannya. Karena dia tidak dibutuhkan keberadaannya oleh
masyarakatnya sendiri.
2. Continuity.
Prinsip ini berarti bahwa pelaksanaan hubungan sekolah dengan masyarakat, harus dilakukan
secara terus menerus. Jadi pelaksanaan hubungan sekolah dengan masyarakat jangan hanya
dilakukan secara insedental atau sewaktu-waktu, misalnya hanya 1 kali dalam satu tahun atau
sekali dalam satu semester/caturwulan, atau hanya dilakukan oleh sekolah pada saat akan
meminta bantuan keuangan kepada orang tua/masyarakat. Hal inilah yang menyebabkan
masyarakat selalu beranggapan bahwa apabila ada panggilan sekolah untuk datang ke sekolah
selalu dikaitkan dengan minta bantuan uang. Akibatnya mereka cenderung untuk tidak datang
atau sekedar mewakilkan kepada orang lain untuk menghadiri undangan sekolah. Kenyataan
selama ini menunjukkan bahwa undangan kepada orang tua murid dari sekolah sering
diwakilkan kehadirannya kepada orang lain, sehingga kehadiran mereka hanya berkisar
antara 60% – 70% bahkan tidak jarang kurang dari 30%. Apabila ini terkondisi, maka sekolah
akan sulit mendapat dukungan yang kuat dari semua orang tua murid dan
masyarakat.Perkembangan informasi, perkembangan kemajuan sekolah, permasalahan-
permasalahan sekolah bahkan permasalahan belajar siswa selalu muncul dan tumbuh setiap
saat, karena itu maka diperlukan penjelasan informasi yang terus menerus dari sekolah untuk
masyarakat/orang tua murid, sehingga mereka sadar akan pentingnya keikutsertaan mereka
dalam meningkatkan mutu pendidikan putra-putrinya. Oleh sebab itu maka informasi tentang
sekolah yang akan disampaikan kepada masyarakat juga harus di updating setiap saat.
Informasi yang sudah out update akan memberikan kesan kurang baik oleh masyarakat
kepada sekolah.
3. Simplicity
Prinsip ini menghendaki agar dalam proses hubungan sekolah dengan masyarakat yang
dilakukan baik komunikasi personal maupun komunikasi kelompok pihak pemberi informasi
(sekolah) dapat menyederhanakan berbagai informasi yang disajikan kepada masyarakat.
Informasi yang disajikan kepada masyarakat melalui pertemuan langsung maupun melalui
media hendaknya disajikan dalam bentuk sederhana sesuai dengan kondisi dan karakteristik
pendengar (masyarakat setempat). Prinsip kesederhanaan ini juga mengandung makna
bahwa:
Informasi yang disajikan dinyatakan dengan kata-kata yang penuh persahabatan dan
mudah dimengerti. Banyak masyarakat yang tidak memahami istilah-istilah yang
sangat ilmiah, oleh sebab itu penggunaan istilah sedapat mungkin disesuaikan dengan
tingkat pemahaman masyarakat yang menjadi audience.
Penggunaan kata-kata yang jelas, disukai oleh masyarakat atau akrab bagi pendengar.
Informasi yang disajikan menggunakan pendekatan budaya setempat.
4. Coverage
Kegiatan pemberian informasi hendaknya menyeluruh dan mencakup semua aspek, factor
atau substansi yang perlu disampaikan dan diketahui oleh masyarakat, misalnya program
ekstra kurikuler, kegiatan kurikuler, remedial teaching dan lain-lain kegiatan. Prinsip ini juga
mengandung makna bahwa segala informasi hendaknya lengkap, akurat dan up to date.
Lengkap artinya tidak satu informasipun yang harus ditutupi atau disimpan, padahal
masyarakat/orang tua murid mempunyai hak untuk mengetahui keberadaan dan kemajuan
(progress) sekolah dimana anaknya belajar. Oleh sebab itu informasi kemajuan sekolah,
kegagalan/masalah yang dihadapi sekolah serta prestasi yang dapat dicapai sekolah harus
dinformasikan kepada masyarakat. Akurat artinya informasi yang diberikan memang tepat
dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat, dalam kaitannya ini juga berarti bahwa informasi
yang diberikan jangan dibuat-buat atau informasi yang obyektif. Sedangkan up to date berarti
informasi yang diberikan adalah informasi perkembangan, kemajuan, masalah dan prestasi
sekolah terakhir. Dengan demikian masyarakat dapat memberikan penilaian sejauh mana
sekolah dapat mencapai misi dan visi yang disusunnya.
5. Constructiveness
Program hubungan sekolah dengan masyarakat hendaknya konstruktif dalam arti sekolah
memberikan informasi yang konstruktif kepada masyarakat. Dengan demikian masyarakat
akan memberikan respon hal-hal positif tentang sekolah serta mengerti dan memahami
secara detail berbagai masalah (problem dan constrain) yang dihadapi sekolah. Apabila hal
tersebut dapat mereka mengerti, akan merupakan salah satu faktor yang dapat mendorong
mereka untuk memberikan bantuan kepada sekolah sesuai dengan permasalahan sekolah yang
perlu mendapat perhatian dan pemecahan bersama. Hal ini menuntut sekolah untuk membuat
daftar masalah (list of problems) yang perlu dikomunikasikan secara terus menerus kepada
sasaran masyarakat tertentu.
Prinsip ini juga berarti dalam penyajian informasi hendaknya obyektif tanpa emosi dan
rekayasa tertentu, termasuk dalam hal ini memberitahukan kelemahan-kelemahan sekolah
dalam memacu peningkatan mutu pendidikan di sekolah.
Prinsip ini juga berarti bahwa informasi yang disajikan kepada khalayak sasaran harus dapat
membangun kemauan dan merangsang untuk berpikir bagi penerima informasi.
Penjelasan yang konstruktif akan menarik bagi masyarakat dan akan diterima oleh
masyarakat tanpa prasangka tertentu, hal ini akan mengarahkan mereka untuk berbuat sesuatu
sesuai dengan keinginan sekolah. Untuk itu informasi yang ramah, obyektif berdasarkan data-
data yang ada pada sekolah.
6. Adaptability
Pengertian-pengertian yang benar dan valid tentang opini serta faktor-faktor yang mendukung
akan dapat menumbuhkan kemauan bagi masyarakat untuk berpartisipasi ke dalam
pemecahan persoalan-persoalan yang dihadapi sekolah.
=====================
Diambil dan adaptasi dari Materi Pembinaan Profesi Kepala Sekolah/Madrasah. Direktorat
Tenaga Kependidikan. Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga
Kependidikan. Departemen Pendidikan Nasional. 2007)
=====================
DAFTAR PUSTAKA
Ace Suryadi (1991). Indikator Mutu dan Efisiensi Pendidikan SD Di Indonesia (Laporan
Analisis Tahap Awal). Jakarta : Balitbangdikbud, Pusat Informatika.
Ahmad Suriansyah (1987). Mutu Pendidikan di SLTP Kalsel “Analisis Partisipasi Orang
Tua Murid dalam Pendidikan. Banjarmasin
Ahmad Suriansyah, (2001). Hubungan Sekolah Dengan Masyarakat. Diktat Bahan Kuliah
pada Program Studi Administrai Pendidikan, FKIP Unlam. Banjarmasin: FKIP Unlam
Bambang Siswanto. (1992). Humas, Teori dan Praktek. Jakarta: Bina Aksara
Brownwll,. C.L., Gans, L., Maroon T.Z. (1955). Public Relation In Education. New York:
Mc Grow Hill Book Company, Inc.
Gorton, R.A. (1977). School Administration. Wm. Mc Grow Company Publisher, Dubuque,
Iowa.
Husen, T. (1975). Learning Society. Trans. Miarso (Ed) (1988). Jakarta : Rajawali Pers.
Kumars, D. (1989). Sistem Pendidikan Dasar dan Menengah dan Pendidikan Tinggi suatu
Perbandingan di Beberapa Negara. Jakarta : Depdikbud, Dikti, P2LPTK.
Pidarta, M. (1988). Manajemen Pendidikan Indonesia. Edisi Pertama, Jakarta : Bina Aksara.
Pramudya Sunu, (1999). Peran SDM dalam Penerapan ISO 9000. Jakarta: Grasindo
Roem, T., Mansour Fakih., Toto Rahardja (Penyunting). (2000). Merubah Kebijakan Publik.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.
Rosady Ruslan, (2002). Manajemen Humas dan Komunikasi: Konsepsi dan Aplikasi.
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Sallis, Edward. 1993) Total Quality Management in Education. London: Bidles Ltd,
Guildford and Kings Lynn.
Soleh Soemirat, Elvinaro Ardianto. (2002). Dasar-dasar Public Relations. Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya
Torsten Husen. (1988). Masyarakat Belajar. Jakarta: Pusat Antar Universitas Terbuka
bekerjasama dengan CV. Rajawali Pers.
Manajemen Sekolah
dalam Upaya Mengantisipasi Perubahan
Posted on 26 Maret 2008 by AKHMAD SUDRAJAT
Bentuk sikap antisipatif dan adaptif ini dapat dilakukan melalui upaya untuk melaksanakan
perbaikan secara terus-menerus dalam proses manajemen. Jika kita mengacu pada konsep Total
Quality Manajemen, maka upaya perbaikan secara terus menerus dalam proses manajemen di
sekolah menjadi kebutuhan organisasi yang sangat mendasar. Dalam hal ini, Gostch dan Davis
(Sudarwan Danim 2002:102) mengemukakan bahwa salah satu kaidah dalam mengaplikasikan TQM
adalah adanya perbaikan kinerja sistem secara berkelanjutan. Untuk itu, kegiatan evaluasi dan riset
menjadi amat penting adanya. Dengan melalui kegiatan evaluasi dan riset ini akan diperoleh data
yang akurat untuk dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan yang
berkenaan dengan usaha inovatif organisasi dan penyesuaiaian-penyesuaian terhadap berbagai
perubahan.
Berbicara tentang sikap antisipatif ini, kita akan diingatkan pula dengan konsep budaya organisasi
yang adaptif yang dikemukakan oleh Ralph Klinmann bahwa budaya adaptif merupakan sebuah
budaya dengan pendekatan yang bersifat siap menanggung resiko, percaya, dan proaktif terhadap
kehidupan individu. Para anggota secara aktif mendukung usaha satu sama lain untuk
mengidentifikasi semua masalah dan mengimplementasikan pemecahan yang dapat berfungsi. Ada
suatu rasa percaya (confidence) yang dimiliki bersama. Para anggotanya percaya, tanpa rasa
bimbang bahwa mereka dapat menata olah secara efektif masalah baru dan peluang apa saja yang
akan mereka temui. Kegairahan yang menyebar luas, satu semangat untuk melakukan apa saja yang
dia hadapi untuk mencapai keberhasilan organisasi. Para anggota ini reseptif terhadap perubahan
dan inovasi. Rosabeth Kanter mengemukakan bahwa jenis budaya ini menghargai dan mendorong
kewiraswastaan, yang dapat membantu sebuah organisasi beradaptasi dengan lingkungan yang
berubah, dengan memungkinkannya mengidentifikasi dan mengeksploitasi peluang-peluang baru.
(John P. Kotter dan James L. Heskett: 17- 49). Dengan demikian, sikap antisipatif dan adaptif
terhadap perubahan seyogyanya menjadi bagian dari budaya organisasi di sekolah, yang ditunjukkan
dengan upaya melakukan berbagai perbaikan dalam proses manajemen.
Berkenaan dengan perbaikan pada proses manajemen. Ross (Sudarwan Danim, 2002:121)
mengetengahkan tentang perubahan kultural dari kultur tradisional ke budaya mutu, yang
mencakup 4 fokus, sebagaimana tampak dalam tabel berikut ini:
Manajemen Kinerja Guru
Posted on 3 Februari 2008 by AKHMAD SUDRAJAT
Dari ungkapan di atas, maka manajemen kinerja guru terutama berkaitan erat dengan tugas
kepala sekolah untuk selalu melakukan komunikasi yang berkesinambungan, melalui jalinan
kemitraan dengan seluruh guru di sekolahnya. Dalam mengembangkan manajemen kinerja
guru, didalamnya harus dapat membangun harapan yang jelas serta pemahaman tentang :
Fungsi kerja esensial yang diharapkan dari para guru.
Selanjutnya, Robert Bacal mengemukakan pula bahwa dalam manajemen kinerja diantaranya
meliputi perencanaan kinerja, komunikasi kinerja yang berkesinambungan dan evaluasi
kinerja.
Perencanaan kinerja merupakan suatu proses di mana guru dan kepala sekolah bekerja sama
merencanakan apa yang harus dikerjakan guru pada tahun mendatang, menentukan
bagaimana kinerja harus diukur, mengenali dan merencanakan cara mengatasi kendala, serta
mencapai pemahaman bersama tentang pekerjaan itu.
Komunikasi yang berkesinambungan merupakan proses di mana kepala sekolah dan guru
bekerja sama untuk saling berbagi informasi mengenai perkembangan kerja, hambatan dan
permasalahan yang mungkin timbul, solusi yang dapat digunakan untuk mengatasi berbagai
masalah, dan bagaimana kepala sekolah dapat membantu guru. Arti pentingnya terletak pada
kemampuannya mengidentifikasi dan menanggulangi kesulitan atau persoalan sebelum itu
menjadi besar.
Evaluasi kinerja adalah salah satu bagian dari manajemen kinerja, yang merupakan proses di
mana kinerja perseorangan dinilai dan dievaluasi. Ini dipakai untuk menjawab pertanyaan, “
Seberapa baikkah kinerja seorang guru pada suatu periode tertentu ?”. Metode apapun yang
dipergunakan untuk menilai kinerja, penting sekali bagi kita untuk menghindari dua
perangkap. Pertama, tidak mengasumsikan masalah kinerja terjadi secara terpisah satu sama
lain, atau “selalu salahnya guru”. Kedua, tiada satu pun taksiran yang dapat memberikan
gambaran keseluruhan tentang apa yang terjadi dan mengapa. Penilaian kinerja hanyalah
sebuah titik awal bagi diskusi serta diagnosis lebih lanjut.
Sementara itu, Karen Seeker dan Joe B. Wilson (2000) memberikan gambaran tentang proses
manajemen kinerja dengan apa yang disebut dengan siklus manajemen kinerja, yang terdiri
dari tiga fase yakni perencanaan, pembinaan, dan evaluasi.
Perencanaan merupakan fase pendefinisian dan pembahasan peran, tanggung jawab, dan
ekpektasi yang terukur. Perencanaan tadi membawa pada fase pembinaan,– di mana guru
dibimbing dan dikembangkan – mendorong atau mengarahkan upaya mereka melalui
dukungan, umpan balik, dan penghargaan. Kemudian dalam fase evaluasi, kinerja guru dikaji
dan dibandingkan dengan ekspektasi yang telah ditetapkan dalam rencana kinerja. Rencana
terus dikembangkan, siklus terus berulang, dan guru, kepala sekolah, dan staf administrasi ,
serta organisasi terus belajar dan tumbuh.
Setiap fase didasarkan pada masukan dari fase sebelumnya dan menghasilkan keluaran, yang
pada gilirannya, menjadi masukan fase berikutnya lagi. Semua dari ketiga fase Siklus
Manajemen Kinerja sama pentingnya bagi mutu proses dan ketiganya harus diperlakukan
secara berurut. Perencanaan harus dilakukan pertama kali, kemudian diikuti Pembinaan, dan
akhirnya Evaluasi.
Dengan tidak bermaksud mengesampingkan arti penting perencanaan kinerja dan pembinaan
atau komunikasi kinerja. Di bawah ini akan dipaparkan tentang evaluasi kinerja guru. Bahwa
agar kinerja guru dapat ditingkatkan dan memberikan sumbangan yang siginifikan terhadap
kinerja sekolah secara keseluruhan maka perlu dilakukan evaluasi terhadap kinerja guru.
Dalam hal ini, Ronald T.C. Boyd (2002) mengemukakan bahwa evaluasi kinerja guru
didesain untuk melayani dua tujuan, yaitu : (1) untuk mengukur kompetensi guru dan (2)
mendukung pengembangan profesional. Sistem evaluasi kinerja guru hendaknya memberikan
manfaat sebagai umpan balik untuk memenuhi berbagai kebutuhan di kelas (classroom
needs), dan dapat memberikan peluang bagi pengembangan teknik-teknik baru dalam
pengajaran, serta mendapatkan konseling dari kepala sekolah, pengawas pendidkan atau guru
lainnya untuk membuat berbagai perubahan di dalam kelas.
Untuk mencapai tujuan tersebut, seorang evaluator (baca: kepala sekolah atau pengawas
sekolah) terlebih dahulu harus menyusun prosedur spesifik dan menetapkan standar evaluasi.
Penetapan standar hendaknya dikaitkan dengan : (1) keterampilan-keterampilan dalam
mengajar; (2) bersifat seobyektif mungkin; (3) komunikasi secara jelas dengan guru sebelum
penilaian dilaksanakan dan ditinjau ulang setelah selesai dievaluasi, dan (4) dikaitkan dengan
pengembangan profesional guru .
Sumber Bacaan :
Bacal, Robert. 2001. Performance Management. Terj.Surya Darma dan Yanuar Irawan.
Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Boyd, Ronald T. C. 1989. Improving Teacher Evaluations; Practical Assessment, Research&
Evaluation”. ERIC Digest. .
Seeker, Karen R. dan Joe B. Wilson. 2000. Planning Succesful Employee Performance (terj.
Ramelan). Jakarta : PPM.
*)) Akhmad Sudrajat, M.Pd. adalah staf pengajar pada Program Studi PE FKIP-UNIKU dan
Pengawas Sekolah di lingkungan Dinas Pendidikan Kabupaten Kuningan
Konsep Visi Sekolah
Posted on 24 Agustus 2008 by AKHMAD SUDRAJAT
Penerapan konsep manajemen strategis di sekolah menuntut setiap sekolah
untuk dapat menetapkan dan mewujudkan visi yang hendak dicapai dari sekolah tersebut
secara eksplisit. Namun, sayangnya upaya perumusan visi yang terjadi di sekolah-sekolah
kita saat ini terkesan masih latah (stereotype) dan sekedar pengulangan dari nilai dan prioritas
nasional. Dari beberapa sekolah yang pernah penulis amati, pada umumnya perumusan visi
sekolah cenderung menggunakan rumusan dua kata yang hampir sama yaitu “prestasi” dan
“iman-taqwa”, Memang bukahlah hal yang keliru jika sekolah hendak mengusung visi
sekolah dengan merujuk pada kedua nilai tersebut. Tetapi jika perumusannya menjadi
seragam, kurang spesifik serta kurang inspirasional mungkin masih patut untuk
dipertanyakan kembali.
Boleh jadi, hal ini mengindikasikan adanya kesulitan tersendiri dari sekolah (pemimpin dan
warga sekolah sekolah yang bersangkutan) untuk merumuskan visi yang paling tepat bagi
sekolahnya, baik kesulitan yang terkait tentang pengertian dasar dari visi itu sendiri maupun
kesulitan dalam mengidentifikasi dan merefleksi nilai-nilai utama yang hendak
dikembangkan di sekolah.
Dalam perspektif manajemen, visi sekolah memiliki arti penting terutama berkaitan dengan
keberlanjutan (sustainability) organisasi sekolah itu sendiri, Tanpa visi, organisasi dan orang-
orang di dalamnya tidak mempunyai arahan yang jelas, tidak mempunyai cara yang tepat
dalam melangkah ke masa depan dan tidak memiliki komitmen (Foreman, 1998).
Saat ini tidak sedikit sekolah yang berjalan secara stagnan dan bahkan terpaksa harus gulung
tikar, hal ini sangat mungkin dikarenakan tidak memiliki visi yang jelas alias asal-asalan atau
setidaknya tidak berusaha fokus dan konsisten terhadap visi yang dicita-citakannya.
Visi bukanlah sekedar slogan berupa kata-kata tanpa makna bahkan bukan sekedar sebuah
gambaran kongkrit yang diberikan oleh pimpinan sekolah, melainkan sebuah rumusan yang
dapat memberikan klarifikasi dan artikulasi seperangkat nilai (Hopkins, 1996). Menurut
Block (1987), visi adalah masa depan yang dipilih, sebuah keadaan yang diinginkan dan
merupakan sebuah ekspresi optimisme dalam organisasi. Bennis and Nanus (1985)
mengartikan visi sebagai pandangan masa depan yang realistis, kredibel, dan menarik, yang
didalamnya tergambarkan cara-cara yang lebih baik dari cara yang sudah ada sebelumnya.
Memperhatikan pendapat para ahli di atas, tampak bahwa untuk menetapkan visi sekolah
kiranya tidak bisa dilakukan secara sembarangan, tetapi terlebih dahulu diperlukan
pengkajian yang mendalam. Perumusan visi yang tepat harus dapat memberikan inspirasi dan
memotivasi bagi seluruh warga sekolah dan masyarakat untuk bekerja dengan penuh
semangat dan antusias. Menurut Blum dan Butler (1989) visi sangat identik dengan perbaikan
sekolah.
Visi merupakan ciri khas peran kepemimpinan dan upaya untuk pembentukan visi sekolah
sangat bergantung pada pemimpin sekolah yang bersangkutan. Dalam hal ini pemimpin
sekolah dituntut untuk dapat mengidentifikasi, mengklarifikasi dan mengkomunikasikan
nilai-nilai utama yang terkandung dalam visi sekolah kepada seluruh warga sekolah, agar
dapat diyakini bersama dan diwujudkan dalam segala aktivitas keseharian di sekolah
sehingga pada gilirannya dapat membentuk sebuah budaya sekolah.
Kendati demikian, dalam pembentukan visi sekolah tidak bisa dilakukan secara “top-down”
yang bersifat memaksa warga sekolah untuk menerima gagasan dari pemimpinnya (kepala
sekolah) yang hanya membuat orang atau anggota membencinya dan merasa enggan untuk
berpartisipasi di dalamnya . Foreman (1998) mengingatkan bahwa visi tidak bisa dipaksakan
dan dimandatkan dari atas. Pembuatan visi adalah tentang keterlibatan kepentingan dan
aspirasi pihak lain.
Untuk lebih jelasnya terkait dengan upaya pembentukan visi ini, Beare et.al. (1993)
menawarkan beberapa pedoman dalam pembentukan visi, yaitu:
1. Visi seorang pemimpin sekolah mencakup gambaran tentang masa depan sekolah
yang diinginkan.
2. Visi akan membentuk pandangan pemimpin sekolah tentang apa yang menyebabkan
keutamaan atau keunggulan sekolah.
3. Visi seorang pemimpin sekolah juga mencakup gambaran masa depan sekolah yang
diinginkan di mata sekolah lain dan masyarakat secara umum.
4. Visi seorang pemimpin juga mencakup gambaran proses perubahan yang diinginkan
berdasarkan masa depan terbaik yang hendak dicapai.
5. Masing-masing aspek visi pendidikan dalam sekolah merefleksikan asumsi-asumsi,
nilai-nilai, dan keyakinan-keyakinan yang berbeda-beda tentang (a) watak dan sifat
manusia; (b) tujuan pendidikan dalam sekolah; (c) peran pemerintah, keluarga,
masyarakat terhadap pendidikan dalam sekolah; (d) pendekatan-pendekatan dalam
pengajaran dan pembelajaran; dan (e) pendekatan-pendekatan terhadap manajemen
perubahan.
Dengan demikian, akan terbentuk visi pendidikan dalam sekolah yang kompetitif dan
merefleksikan banyak hal yang mencakup perbedaan-perbedaan asumsi, nilai dan keyakinan.
Sumber:
Adaptasi dari Bush dan Coleman. 2008. Kepemimpinan Pendidikan: Manajemen Strategis
(ter. Fahrurruzi). Jogjakarta: IRCiSoD.
Analisis
Situasi Sekolah dalam Pengembangan KTS
P
Posted on 5 September 2008 by AKHMAD SUDRAJAT
A. Rasional
Keleluasaan sekolah dalam mengembangkan KTSP tentu harus diikuti dengan analasis
situasi sekolah untuk mencapai lingkup standar nasional pendidikan yang sudah ditetapkan,
di antaranya Standar Isi (SI)dalam Permendiknas no 22 tahun 2006 dan Standar
Kompetensi Lulusan (SKL) dalam Permendiknas no 23 tahun 2006. Hasil analisis tersebut
merupakan dasar pijakan untuk menentukan kedalaman dan keluasan target-target yang
ditetapkan, budaya yang akan dibangun, tujuan yang ingin dicapai, serta isi dan bahan
pelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan bermutu di sekolah tersebut. Pencapaian tujuan
pendidikan bermutu tersebut sesuai dengan UU Sisdiknas no 20 tahun 2003 pasal 5, yaitu
“Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang
bermutu”.
B. Tujuan
Tujuan Analisis Situasi Sekolah adalah (1) memperoleh gambaran nyata kondisi sekolah
dan (2) memperoleh gambaran nyata situasi sekolah
C. Analisis Konteks
Analisis konteks dalam pelaksanaan penyusunan KTSP berwujud evaluasi diri (self
evaluation) terhadap sekolah. Hal itu dapat dilakukan dengan menerapkan pendekatan
SWOT (strengths, weaknesses, opportunities, dan threats ). Dalam hal ini dapat diterapkan
kajian lingkungan internal untuk memahami strengths atau kekuatan dan weaknesses atau
kelemahan, serta kajian lingkungan eksternal untuk mengungkap opportunities atau peluang
dan threats atau tantangan. Adapun analisis konteks melalui SWOT terdiri atas hal-hal
sebagai berikut (cf. BSNP, 2006: 32):
Penetapan visi, misi, dan tujuan sekolah akan sangat berperan bagi pengembangan sekolah
di masa depan. Visi dan misi saling berkaitan. Visi (vision) merupakan gambaran (wawasan)
tentang sekoah yang diinginkan di masa jauh ke depan.
Tujuan sekolah seharusnya tidak betentangan dengan visi dan misi sekolah yang sudah
ditetapkan. Perumusan tujuan harus nyata dan terukur.
Deskripsi visi, misi, tujuan seharusnya (1) tidak bertentangan dengan visi, misi, tujuan dinas
pendidikan dan koheren dengan renstra depdiknas, (2) mencerminkan dengan jelas
kebutuhan lokal dan nasional atau bahkan internasional berkaitan dengan kemampuan
lulusan, (3) jelas bagi pihak-pihak yang berminat, ketercapaian tujuan dapat diamati,
ditunjukkan dan dapat diuji secara objektif, dipersepsi sebagai sesuatu yang berharga oleh
seluruh pihak yang berminat, realistis, (4) secara tersurat ada prioritas menghasilkan
peserta didik yang bermutu.
2. Identifikasi SI dan SKL
Para pendidik di sekolah perlu melakukan identifikasi SI dan SKL. Identifikasi dapat
dilakukan melalui tahap-tahap sebagai berikut: membaca secara saksama, memahami,
mengkaji, dan membedah SI dan SKL. Hal itu perlu dilakukan supaya penerapan SI dan
SKL di sekolah dan terutama dalam pembelajaran benar-benar baik.
a. Peserta Didik
Analisis terhadap kekuatan dan kelemahan peserta didik dapat dilihat dari input awal dan
saat pembelajaran. Analisi ini meliputi rata-rata kemampuan akademik peserta didik, minat,
dan bakat peserta didik. Jadi, analisis peserta didik meliputi analisis kemampuan akademik
dan nonakademik.
Analisis atas sarana yang dimiliki oleh sekolah meliputi perabot, peralatan pendidikan,
media pendidikan, buku dan sumber belajar lainnya, bahan habis pakai, serta perlengkapan
lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan.
(SNP pasal 42 ayat 1).
Perabot di antaranya meliputi meja, kursi, papan tulis yang ada di setiap kelas. Peralatan
meliputi peralatan laboratorium ilmu pengetahuan alam (IPA), laboratorium bahasa,
laboratorium komputer, dan peralatan pembelajaran lain (cf. SNP pasal 43). Media
pendidikan di antaranya alat peraga, OHP, LCD, slide, gambar yang mendukung
ketercapaian pembelajaran. Yang termasuk dalam buku dan sumber belajar di antaranya
adalah bahan cetakan baik jurnal, buku teks, maupun referensi; lingkungan; media cetak
maupun elektronik; narasumber. Adapun bahan habis pakai meliputi bahan-bahan yang
digunakan dalam praktik pembelajaran. Analisis terhadap kekuatan dan kelemahan semua
sarana itu meliputi kepemilikan, kelayakan, jumlah, dan kondisi sarana yang ada.
Analisis atas prasarana meliputi lahan, ruang kelas, ruang pimpinan sekolah, ruang
pendidik, ruang tata usaha, ruang perpustakaan, ruang laboratorium, ruang bengkel kerja,
ruang unit produksi, ruang kantin, instalasi daya dan jasa, tempat berolahraga, tempat
beribadah, tempat bermain, tempat berkreasi, dan ruang/tempat lain yang diperlukan untuk
menunjang proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan (SNP pasal 42 ayat 2).
Analisis terhadap kekuatan dan kelemahan prasarana di sekolah meliputi keberadaannya,
rasio banyaknya, kelayakannya, dan kebersihannya.
d. Biaya
Analisis biaya sesuai dengan pasal 62 tentang standar pembiayaan dalam SNP.
Pembiayaan pendidikan terdiri atas biaya investasi, biaya operasi, dan biaya personal.
Biaya investasi sekolah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya penyediaan
sarana dan prasarana, pengembangan sumberdaya manusia, dan modal kerja tetap. Biaya
personal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya pendidikan yang harus
dikeluarkan oleh peserta didik untuk bisa mengikuti proses pembelajaran secara teratur dan
berkelanjutan. Biaya operasi sekolah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
gaji pendidik dan tenaga kependidikan serta segala tunjangan yang melekat pada
gaji,
bahan atau peralatan pendidikan habis pakai, dan
biaya operasi pendidikan tak langsung berupa daya, air, jasa telekomunikasi,
pemeliharaan sarana dan prasarana, uang lembur, transportasi, konsumsi, pajak,
asuransi, dan lain sebagainya.
e. Program-program
KTSP disusun oleh sekolah untuk memungkinkan penyesuaian program pendidikan dengan
kebutuhan dan potensi yang ada di daerah. Analisis terhadap kekuatan dan kelemahan
program-program meliputi: program pendidikan (antara lain: pemilihan mata pelajaran
muatan nasional dan muatan lokal, pemilihan kegiatan pengembangan diri, penentuan
pendidikan kecakapan hidup, penentuan pendidikan berbasis keunggulan lokal dan global),
program pembelajaran, program remedial, dan program pengayaan.
Ada atau tidaknya program, keterlaksanaan, serta kesesuaian program dengan kebutuhan
dan potensi yang ada di sekolah/ daerah merupakan analisis yang sangat diperlukan untuk
mengembangkan KTSP.
a. Komite Sekolah
Komite sekolah/madrasah merupakan pihak yang ikut berlibat dalam penyusunan KTSP di
samping narasumber dan pihak lain yang terkait. Adapun tim penyusun KTSP terdiri atas
pendidik, konselor, dan kepala sekolah sebagai ketua merangkap anggota.
Pada tahap akhir, komite sekolah juga harus memberikan pertimbangan terhadap
penyusunan KTSP. Dalam BSNP (2006: 5) disebutkan, pengembangan KTSP mengacu
pada SI dan SKL dan berpedoman pada panduan penyusunan kurikulum yang disusun oleh
BSNP, serta memperhatikan pertimbangan komite sekolah/madrasah.
Dalam kaitannya dengan pengambilan keputusan, dalam SNP Pasal 51 ayat 2 dinyatakan
bahwa pengambilan keputusan pada sekolah dasar dan menengah di bidang nonakademik
dilakukan oleh komite sekolah yang dihadiri oleh kepala sekolah. Selain itu, komite sekolah
juga memutuskan pedoman struktur organisasi sekolah dan biaya operasional sekolah.
Komite sekolah juga memberikan masukan tentang tata tertib sekolah, yang minimal
meliputi tata tertib pendidik, tenaga kependidikan dan peserta didik, serta penggunaan dan
pemeliharaan sarana dan prasarana. Pimpinan sekolah dan komite sekolah juga melakukan
pemantauan untuk menilai efisiensi, efektivitas, dan akuntabilitas sekolah. Adapun
pelaksanaan pengelolaan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah
dipertanggungjawabkan oleh kepala sekolah kepada rapat dewan pendidik dan komite
sekolah/madrasah. Berdasarkan hal-hal itulah, analisis terhadap peluang dan tantangan dari
pihak komite sekolah/madrasah perlu dilakukan untuk mengembangkan KTSP.
b. Dewan Pendidikan
c. Dinas Pendidikan
d. Asosiasi Profesi
Ada beberapa asosiasi profesi secara umum yang ikut mendukung profesionalisme
pendidik. Akan tetapi, secara lebih khusus, asosiasi profesi untuk para pendidik/guru mata
pelajaran di SMP terwujud dalam Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) yang meliputi
MGMP sekolah, kabupaten/kota, dan provinsi. MGMP dapat berperan pula sebagai tim yang
menyusun silabus mata pelajaran tertentu. Keberadaan tim ini akan sangat membantu
pengembangan KTSP. Peluang dan tantangan atas keberadaan MGMP perlu dianalisis
untuk pengembangan KTSP.
Salah satu prinsip pengembangan KTSP adalah relevan dengan kebutuhan kehidupan.
Dalam hal ini, pengembangan kurikulum dilakukan dengan melibatkan pemangku
kepentingan (stakeholders) untuk menjamin relevansi pendidikan dengan kebutuhan
kehidupan, termasuk di dalamnya kehidupan kemasyarakatan, dunia usaha, dan dunia
kerja. Oleh karena itu, pengembangan keterampilan pribadi, keterampilan berpikir,
keterampilan sosial, keterampilan akademik, dan keterampilan vokasional merupakan
keniscayaan (BSNP, 2006).
Selain itu, KTSP disusun dengan memperhatikan berbagai hal, di antaranya adalah dunia
industri dan dunia kerja serta perkembangan ipteks. Dalam KTSP, rencana kegiatan
pembelajaran harus dapat mendukung tumbuh kembangnya pribadi peserta didik yang
berjiwa kewirausahaan dan mempunyai kecakapan hidup. Dalam hal ini, dunia indsutri di
sekitar sekolah dapat diberdayakan untuk menunjang program pendidikan sekolah yang
bersangkutan. Contoh: di dekat sekolah ada industri kerajinan, peserta didik dapat
melakukan berbagai kegiatan untuk mencapai kompetensi dasar sesuai konteks industri
kerajinan tersebut. Berdasarkan hal-hal itulah, analisis terhadap peluang dan tantangan
dunia industri dan dunia kerja di lingkungan sekolah perlu dilakukan untuk pengembangan
KTSP.
f. Sumber Daya Alam dan Sosial Budaya
KTSP disusun dengan memperhatikan berbagai hal, di antaranya adalah keragaman potensi
dan karakteristik daerah dan lingkungan; kondisi sosial budaya masyarakat setempat;
kesetaraan gender. Pada dasarnya, setiap daerah memiliki potensi, kebutuhan, tantangan,
dan keragaman karakteristik lingkungan. Masing-masing daerah memerlukan pendidikan
sesuai dengan karakteristik daerah dan pengalaman hidup sehari-hari. Oleh karena itu,
KTSP harus memuat keragaman tersebut untuk menghasilkan lulusan yang relevan dengan
kebutuhan pengembangan daerah. Sumber daya alam yang ada di lingkungan serta aspek
sosial budaya yang berlaku di tempat sekolah tersebut berada, dapat menjadi peluang
sekaligus tantangan bagi pelaksanaan penyusunan KTSP.
Sekolah yang berada di daerah pantai, dapat memanfaatkan aspek kelautan sebagai
peluang dan tantangan untuk mengembangkan potensi peserta didik. Pendidik dapat
mengajarkan dan mengajak peserta didik menanam bakau untuk menahan abrasi pantai. Ini
merupakan salah satu contoh pembelajaran untuk memahami alam sekitar dan sekaligus
mengatasi tantangan alam.
Selain itu, KTSP harus dikembangkan dengan memperhatikan karakteristik sosial budaya
masyarakat setempat dan menunjang kelestarian keragaman budaya. Penghayatan dan
apresiasi pada budaya setempat harus terlebih dahulu ditumbuhkan sebelum mempelajari
budaya dari daerah dan bangsa lain. Agar peluang dan tantangan yang tersedia di alam
sekitar dan ada di dalam kehidupan sosial budaya masyarakat dapat dimanfaatkan secara
maksimal serta dapat memberikan nilai tambah bagi perkembangan peserta didik,
diperlukan upaya identifikasi dengan memperhatikan berbagai hal, antara lain:
keterjangkauan jarak, waktu, dan biaya; kesesuaian dengan visi, misi, dan tujuan sekolah;
ketersediaan dan kemampuan SDM dalam mengelola sekolah; kebermanfaatan aspek
sosial budaya bagi peserta didik di masa kini dan yang akan datang. Pada sisi lain, KTSP
juga harus diarahkan kepada terciptanya pendidikan yang berkeadilan dan memperhatikan
kesetaraan gender.
Berdasarkan hal itulah, analisis terhadap peluang dan tantangan sumber daya alam dan
sosial budaya lingkungan sekolah perlu dilakukan untuk mengembangkan KTSP.
D. Pengembangan Instrumen
Dunia Industri/kerajinan
Data yang telah diperoleh dianalisis. Hasil analisis tersebut diklasifikasi atas peluang atau
tantangan yang akan menjadi kesimpulan pengambilan keputusan
Contoh
Contoh pemanfaatan
G. Penutup
Pada prinsipnya, KTSP untuk pendidikan dasar dikembangkan oleh setiap sekolah di bawah
koordinasi dan supervisi dinas pendidikan atau kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota.
Pengembangan KTSP mengacu pada SI dan SKL dan berpedoman pada panduan
penyusunan kurikulum yang disusun oleh BSNP, serta memperhatikan pertimbangan komite
sekolah/madrasah.
Dalam pengembangan KTSP ini, analisis situasi sekolah sangat perlu dilakukan sehingga
KTSP yang dikembangkan benar-benar didasarkan pada kondisi dan situasi sekolah (di
samping didasarkan pula pada prinsip-prinsip pengembangan KTSP). KTSP yang
dikembangkan berdasarkan analisis situasi sekolah diharapkan akan benar-benar
mencerminkan upaya peningkatan kondisi internal yang ada di sekolah yang meliputi
peserta didik, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana prasarana, biaya, dan program-
program lainnya. Di samping itu, KTSP yang baik harus dikembangkan atas dasar analisis
peluang dan tantangan situasi eksternal yang berhubungan dengan masyarakat dan
lingkungan sekitar, yang meliputi: komite sekolah, dewan pendidikan, dinas pendidikan,
asosiasi profesi, dunia industri dan dunia kerja, sumber daya alam dan sosial budaya.
Sepuluh Langkah
Menjaga Inovasi dalam Organisasi
Posted on 23 April 2008 by AKHMAD SUDRAJAT
1. Hilangkan rasa takut dalam organisasi. Innovasi artinya melakukan sesuatu yang baru
dan sesuatu yang baru itu mungkin akan gagal, jika orang-orang senantiasa diliputi
ketakutan akan kegagalan.
2. Jadikan inovasi sebagai bagian dari sistem penilaian kinerja setiap orang. Tanyakan
kepada mereka, apa yang akan mereka ciptakan atau tingkatkan pada masa-masa yang
akan datang, kemudian ikuti kemajuannya.
3. Dokumentasikan setiap proses inovasi dan pastikan setiap orang dapat memahami
peran didalamnya dengan sebaik-baiknya.
4. Berikan keluasaan kepada setiap orang untuk dapat mengeksplorasi kemungkinan-
kemungkinan baru (new possibilities) dan berkolaborasi dengan orang lain, baik yang
ada dalam organisasi maupun di luar organisasi.
5. Pastikan setiap orang dapat memahami strategi organisasi dan pastikan pula bahwa
semua usaha inovasi benar-benar sudah selaras dengan strategi yang ada.
6. Belajarkan setiap orang untuk mampu memindai lingkungan, seperti tentang trend
baru, teknologi atau perubahan mindset pelanggan.
7. Belajarkan setiap orang untuk menghargai keragaman, baik dalam gaya berfikir,
perspektif, pengalaman maupun keahlian, karena keragaman seluruh aktivitas ini
merupakan bagian yang penting dan tidak dapat dipisahkan dalam proses menuju
inovasi.
8. Tentukan kriteria yang terukur dengan fokus pada cita-cita masa depan organisasi.
Kriteria yang ketat hanya akan menghambat terhadap pencapaian cita-cita dan
melestarikan berbagai asumsi dan mindset masa lampau. Curahkan waktu untuk
pengembangan dan kesuksesan yang hendak organisasi pada masa yang akan datang.
9. Team Inovasi berbeda dengan team proyek regular. Oleh karena itu, dibutuhkan
perlengkapan dan mindset yang berbeda pula. Sediakanlah pelatihan yang cukup
sehingga setiap orang dapat bekerja dalam inovasi secara sukses.
10. Kembangkan sistem pengelolaan gagasan dan tangkaplah setiap gagasan untuk
dikembangkan dan dievaluasi berbagai kemungkinannya
Sumber:
Adaptasi dari: Joyce Wycoff .2004. Ten Practical Steps to Keep Your Innovation System
Alive & Well. http://thinksmart.com/
Difusi Inovasi
Posted on 8 November 2008 by AKHMAD SUDRAJAT
Dalam Pengantar buku (edisi ketiga) Diffusion of Innovations, The Free Press, N.Y.,
Rogers, Everet M. (1983), penulisnya, menjelaskan bahwa edisi pertama terbit tahun 1962
dan edisi kedua (dengan judul Communication of Innovations: A Cross-Cultural Approach
dan dengan penulis kedua F.Floyd Shoemaker) terbit pada tahun 1972. Dalam Pengantar
tersebut disajikan (a) kesamaan difusi dengan riset persuasi: (a1) bukan komunikasi satu
kepada orang banyak, tapi sesuatu yang dikerjakan bersama orang lain, dan (a2) tidak semata
berpusat pada aksi atau isu (menjual produk, aksi atau kebijakan), tapi juga menjual
kredibilitas diri dan/atau orang lain; (b) kontras difusi (fokus lebih pada adopsi/ keputusan
untuk menggunakan dan mengimplementasikan gagasan baru, bukan pada implementasi
aktual atau konsekuensi inovasi) dengan riset persuasi (fokus lebih pada pengubahan sikap,
bukan perilaku); (c) pergeseran studi difusi dari yang mendasarkan pada model komunikasi
linier (proses di mana pesan ditransfer dari sumber ke penerima) ke yang mendasarkan pada
model komunikasi konvergensi (proses saling tukar informasi diantara sesama partisipan) dan
(d) definisi inovasi difusi sebagai pada dasarnya suatu proses sosial di mana informasi
tentang gagasan baru yang dipersepsi secara subjektif dikomunikasikan.
Pembahasan pada bab 1 sampai dengan bab 11 masing-masing diberi judul (1) Unsur-unsur
Difusi, (2) Sejarah Riset Difusi, (3) Kontribusi dan Kritik riset Difusi, (4) Lahirnya Inovasi,
(5) Proses Keputusan Inovasi, (6) Atribut Inovasi dan Tingkat Adopsinya, (7) Kategori
Keinovatifan dan Kategori Adopter, (8) Kepemimpinan Opini dan Network Difusi, (9) Agen
Perubahan, (10) Inovasi dalam Organisasi dan (11) Konsekuensi-konsekuensi Inovasi. Bab 1
membahas empat unsur inovasi (a) inovasi (b) saluran komunikasi, (c) waktu dan (d) sistem
sosial. Inovasi -sering disinonimkan dengan teknologi- suatu gagasan, praktek atau objek
yang dipersepsi baru oleh seorang individu atau suatu unit adopter. Inovasi dibedakan dari
reinvensi: tingkat inovasi diubah atau dimodifikasi pengguna pada proses adopsi dan
implementasi. Inovasi sering berupa cluster teknologi karena dengan demikian akan lebih
mudah untuk diadopsi.
Bab 1 selanjutnya meringkas materi yang akan dibahas pada bab 4 sampai dengan bab 11.
Bab 2 diawali dengan komentar Elihu Katz dkk. (1963) ‘berbagai tradisi riset ironisnya
ditemukan secara sendiri-sendiri’. Tradisi riset adalah sederet penelitian tentang topik sejenis
di mana penelitian sebelumnya berpengaruh pada penelitian sesudahnya. Tradisi riset pada
dasarnya adalah suatu ‘universitas tidak terlihat’. Riset difusi dimulai di Perancis, Inggris dan
Jerman-Austria di awal abad 20. Di Perancis, Tarde (1903) mengemukakan hukum imitasi
‘dari 100 inovasi, 10 akan menyebar luas sementara 90 akan dilupakan’. Selanjutnya
disajikan sembilan tradisi riset: antropologi, sosiologi awal, sosiologi pedesaan, pendidikan,
sosiologi medis, komunikasi, pemasaran, geografi dan sosiologi umum. Akhirnya, disajikan
delapan tipe riset difusi (1) kapan inovasi diketahui, (2) tingkat adopsi inovasi, (3)
keinovatifan, (4) kepemimpinan opini, (5) jaringan difusi, (6) tingkat adopsi dalam berbagai
sistem sosial, (7) saluran komunikasi dan (8) konsekuensi inovasi.
Bab 3 menyajikan kontribusi riset difusi berupa (a) model difusi sebagai paradigma
konseptual yang relevan dengan banyak disiplin ilmu, (b) sifat pragmatisnya dalam
memecahkan masalah penggunaan hasil riset, (c) memungkinkan periset mengemas ulang
temuan empirisinya dalam bentuk generalisasi lebih teoritis lagi dan (d) metodologinya yang
jelas dan relatif facile. Selanjutnya,disajikan kritik pada riset difusi: (a) bias pro-inovasi:
inovasi harus diadopsi semua anggota suatu sistem sosial dengan cara cepat dan inovasi tidak
boleh ditolak atau direinvensi, (b) bias menyalahkan individu: kecenderungan menyalahkan
individu, bukan sistem, (c) masalah ingatan: ketidakakuratan responden dalam mengingat
proses adopsi inovasi dan (d) isu ekualitas: inovasi cenderung memperlebar kesenjangan
kaya-miskin. Akhirnya, disajikan prosedur meta-riset, yaitu sintesis riset empiris menjadi
kesimpulan umum yang lebih teoritis: (a) perumusan konsep (dimensi yang dinyatakan dalam
istilah paling mendasar), (b) menyusun hubungan dua konsep dalam bentuk hipotesis teoritis,
(c) menguji hipotesis teoritis dengan hipotesis empiris yang dinyatakan dalam postulat
hubungan dua konsep operasional, (d) uji hipotesis empiris dengan uji signifikansi atau uji
lainnya dan (e) hipotesis teoritis ditolak atau diterima berdasarkan ditolak atau diterimanya
hipotesis empiris.
Bab 4 menyajikan enam momen proses inovasi yang merupakan paduan dari (a) analisis
kebutuhan (momen pertama: perumusan masalah atau analisis kebutuhan), (b) tracer study
(momen kedua sampai ke lima: penelitian murni/terapan, pengembangan, komersialisasi/
sosialisasi serta difusi dan inovasi) dan (c) studi difusi klasik (momen ke lima dan ke enam:
difusi/ inovasi dan konsekuensi inovasi). Masalah yang umumnya ditemukan adalah
rendahnya penjualan hasil penelitian yang sudah dipatenkan (di Amerika mislanya adalah
1500 dari 30000 paten). Pengembangan teknologi mengalami empat tahap (a) trial and error
dalam skala kecil, (b) imitasi, (c) kompetisi tekonologi dan (d) keluar dari kompetisi dan
melakukan standarisasi produk. Beberapa konsekuensi inovasi adalah (a) ke enam momen
difusi inovasi mungkin tidak semuanya ada dalam suatu inovasi, (b) kemungkinan ketidak
sinkronan konsekuensi yang diharapkan dengan yang benar-benar terjadi, dan (c) pelebaran
kesenjangan kaya-miskin. Akhirnya, dibahas (a) kelemahan tracer study: tergantung ada
tidaknya publikasi, sedikitnya data fase difusi/ adopsi dan sifatnya rekonstruksi rasionalistik
dan (b) inovasi organisasi yang muncul secara individual, kolektif, atas instruksi atasan atau
didorong inovasi sebelumnya mempunyai dua momen, yaitu inisiasi dan implementasi.
Bab 5 membahas lima proses keputusan inovasi (a) mengetahui inovasi, (b) peruasi, (c)
keputusan, (d) implementasi (seutuhnya atau lewat reinvensi) dan (e) konfirmasi atau
meniadakan/mengurangi disonansi, suatu ketidaksetimbangan internal yang disebabkan (e1)
kebutuhan, (e2) belum mengadopsi sesuatu yang diinginkan atau (e3) setelah mengadopsi
untuk meneruskan atau diskontinu. Inovasi dapat tidak dilanjutkan (diskontinu) karena (a)
kecewa atau (b) diganti dengan invasi lainnya. Beberapa temuan proses keputusan inovasi
adalah (a) Inovasi yang tingkat adopsinya tinggi tingkat diskontinu; (b) diskontinu cenderung
dilakukan oleh adopter akhir; (c) riset selama ini kebanyakan riset variansi sehingga
diperlukan riset proses; (d) beberapa saluran komunikasi difusi inovasi adalah media massa
dan hubungan antar-pribadi serta saluran kosmopolit dan lokalit; (e) media massa dan saluran
kosmopolit terutama penting pada tahap mengetahui inovasi; sementara hubungan antar-
pribadi dan saluran lokalit terutama penting pada tahap persuasi; (f) media massa dan saluran
kosmopolit lebih penting bagi adopter awal; (g) tingkat mengetahui inovasi lebih cepat dari
tingkat adopsi dan (h) adopter awal mengalami proses keputusan inovasi lebih cepat.
Bab 6 menyatakan bahwa tingkat inovasi dipengaruhi oleh satu atau beberapa karakteristik
berikut: (a) keuntungan relatif, (b) kompatibilitas atau kekonsistenannya dengan nilai yang
dianut, (c) kompleksitas atau tingkat kemudahan untuk dipahami, (d) triabilitas atau kedapat-
dicobaannya dalam skala kecil dan (e) observabilitas atau keterlihatannya oleh orang/pihak
lain. Tingkat adopasi dipengaruhi oleh (a) jenis keputusan inovasi (opsional, kolektif atau
atas dasar otoritas), (b) jenis saluran komunikasi yang digunakan, (c) norma, sifat
kesalingterhubungan individu, dst. dalam komunitas adopter dan (d) upaya agen perubahan.
Selain itu, ditemukan bahwa (a) sampai tingkat kesadaran inovasi mencapai 20-30% tingkat
adopsi rendah, sedangkan setelah ambang tersebut tingkat kesadaran dan tingkat adopsi
meninggi dan (b) overadopsi adalah fenomena inovasi diadopsi padahal menurut para ahli
sebaiknya tidak diadopsi.
Bab 7 mencatat bahwa kontinum keinovatifan dapat dibagi menjadi lima kategori (a) invator,
(b) adopter awal, (c) mayoritas awal, (d) mayoritas akhir dan (e) laggards. Masing-masing
kategori tersebut mempunyai karakteristik (a) venturesome, (b) respectable, (c) deliberate, (d)
skeptis dan (e) tradisional. Usia adopter awal relatif sama dengan adopter akhir hanya saja
adopter awal cenderung lebih unggul dalam hal (a) pendidikan, (b) literasi, (c) status sosial,
(d) mobilitas ke atas, (e) ukuran ladang, perusahaan, dst., (f) sikap terhadap kredit dan (g)
tingkat spesialisasi pekerjaan. Selain itu, dalam hal kepribadian, dibandingkan dengan
adopter akhir, adopter awal mempunyai (a) empati lebih besar, (b) kurang dogmatis, (c) lebih
mampu melakukan abstraksi, (d) lebih rasional, (e) lebih intelejen, (f) lebih mudah menerima
perubahan, (g) lebih mampu mengangani ketidakpastian dan resiko, (h) lebih menghargai
pendidikan dan sains, (i) kurang fatalis, (j) mempunyai motivasi pencapaian lebih besar, (k)
aspirasi lebih tinggi pada pendidikan, pekerjaan, dst. Akhirnya, dalam hal perilaku
komunikasi, dibandingkan dengan adopter akhir, adopter awal mempunyai (a) partisipasi
sosial lebih tinggi, (b) kontak sosial lebih banyak dengan sesamanya dan/atau dengan agen
perubahan, (c) lebih kosmopolit, dan terekspose pada media massa, (d) lebih aktif mencari
informasi dan lebih banyak tahu tentang inovasi dan (e) lebih tinggi kepemimpinan opininya.
Bab 8 membahas model kepemimpinan opini aliran dua-langkah: pesan mengalir dari sumber
via media massa ke pemimpin opini yang pada gilirannya menyampaikannya pada para
pengikutnya. Model tersebut ditentang oleh model ‘jarum hipodermik’ di mana dipostulatkan
bahwa media massa mempunyai pengaruh langsung, segera dan kuat pada individu-individu
yang terkait dengan media massa, tapi tidak terkait satu dengan lainnya. Menurut teori
Granovetter individu cenderung terkait dengan orang yang secara fisik dekat dan menurut
atribut-atribut seperti kepercayaan, pendidikan dan status sosial relatif sama (homofili;
kontras dengan heterofili di mana atribut-atribut tersebut relatif beda). Duff dan Liu (1975)
menyatakan bahwa dalam satu network komunikasi, pertukaran informasi dari satu clique
(yang ditandai dengan promiximitas komunikasi tinggi) ke clique lain dijembatani oleh
proximitas komunikasi rendah yang heterofili (misal, dari clique berstatus sosial tinggi ke
clique berstatus sosial lebih rendah). Beberapa temuan lainnya ialah (a) Dalam network
heterofili, pengikut cenderung mencari pemimpin opini yang mempunyai status sosial,
pendidikan, ekspose ke media massa, tingkat keinovatifan, tingkat kekosmopolitan dan
tingkat kontak dengan agen perubahan lebih tinggi, (b) pemimpin opini lebih sejalan dengan
norma sistem dibanding dengan pengikutnya, (c) pemimpin opini dapat dibedakan menjadi
polimorfis (mempunyai opini dalam banyak bidang) atau monomorfis (mempunyai opini
hanya dalam satu bidang), dan (d) network personal radial (dari satu ke banyak orang) lebih
penting untuk inovasi dibanding dengan network interlocking di mana individu saling
berinteraksi.
Bab 9 membahas masalah yang dihadapi agen perubahan adalah (a) sebagai penengah antara
agensi perubahan dan klien dan (b) kemungkinan kesulitan mengolah informasi yang
cenderung melimpah; sementara itu, masalah aide lebih parah lagi karena kredibiltas
kompetensi atau profesionalismenya diragukan. Tujuh peran agen perubah adalah (a)
menumbuhkan kebutuhan dalam diri klien, (b) membangun hubungan pertukaran informasi,
(c) mendiagnosa masalah klien, (d) menumbuhkan niat berubah pada klien, (e)
menerjemahkan niat klien ke dalam tindakan, (f) menstabilkan adopsi dan mencegah
diskontinu adopsi dan (g) mencapai hubungan terminal dengan klien (yaitu ketika klien
berubah menjadi agen perubahan). Kesuksesan agen perubahan tergantung pada (a) upayanya
menghubungi klien, (b) orientasinya yang lebih kepada klien, bukan pada agensi perubahan,
(c) tingkat kesesuaian inovasi dengan kebutuhan klien, (d) empatinya kepada klien, (e)
homofilitasnya dengan klien, (f) kredibilitasnya di mata klien, (g) tingkat kesejalanannya
dengan pemimpin opini dan (h) kemampuan klien mengevaluasi inovasi. Selanjutnya,
hubungan agen perubahan secara positif tergantung pada lebih tingginya klien dalam hal (a)
status sosial, (b) partispasi sosial, (c) pendidikan dan (d) kekosmoplitannya. Akhirnya, juga
dibahas mengenai sistem difusi sentralistik dipadu dengan sistem difusi desentralistik
dan/atau penerapan kedua sistem tersebut disesuaikan dengan kebutuhan. Dalam sistem difusi
sentralistik, difusi dilakukan oleh pemerintah dan/atau ahli; sementara itu, dalam sistem
difusi desentralistik, inovasi datang dari ekpserimentasi lokal yang sering dilakukan oleh
pengguna itu sendiri dan/atau atas dasar saling tukar informasi untuk mencapai suatu
pemahaman bersama. Difusi lewat network horizontal dilakukan unit lokal dengan tingkat
kemungkin reinvensi yang tinggi.
Bab 10 mendefinisikan organisasi sebagai suatu sistem stabil dari sejumlah individu yang
bekerja sama untuk mecapai tujuan bersama lewat suatu hiearki jabatan dan pembagian tugas.
Inovasi dilakukan secara opsional, kolektif atau didasarkan pada otoritas atau inovasi
sebelumnya . Sampai tahun 1970-an, inovasi dalam organisasi diteliti dengan riset variansi,
yaitu diteliti korelasinya dengan sejumlah variabel bebas. Variabel bebas dan sifat
korelasinya dengan keinovatifan (+ atau -) tersebut adalah (a) karakteristik pemimpin: sikap
pemimpin terhadap perubahan (+), dst.; (b) karakteristik internal struktur organisasi:
sentralisasi (-), kompleksitas (+), formalitas (-), kesalingterkaitan (+), ketersediaan cadangan
(+), dst. dan (c ) karakteristik eksternal organisasi: keterbukaan sistem (+), dst. Riset variansi
sekarang diganti dengan riset proses inovasi yang mempunyai dua momen, yaitu inisiasi dan
implementasi. Dalam inisiasi terdapat tahap agenda setting (perumusan masalah) dan
matching (penyelarasan masalah dan solusi), sementara dalam implementasi ada tahap
redefinisi/restruktrurisasi masalah, klarifikasi dan rutinisasi (hasil) inovasi.
Akhirnya, bab 11 mendefinisikan konsekuensi inovasi sebagai perubahan yang terjadi pada
individu atau sistem sosial sebagai akibat dari adopsi suatu inovasi. Konsekuensi inovasi
jarang diteliti karena (a) agensi perubahan memberi perhatian terlalu banyak pada adopsi dan
mengasumsikan konsekuensi adopsi pasti positif, (b) metode riset survei mungkin tidak
cocok untuk meneliti konsekuensi inovasi dan (c) sulitnya mengukur konsekuensi inovasi.
Konsekuensi inovasi dapat dibagi menjadi (a) diinginkan vs. tidak diinginkan, (b) langsung
vs. tidak langsung dan (c) diantisipasi vs. tidak diantisipasi; sementara itu, dari contoh
penggunaan kappa besi di suku Aborijinal, diketahui tiga unsur intrinsik dari inovasi: (a)
bentuk: penampakan fisik dan substansi inovasi; (b) fungsi: kontribusi inovasi pada cara
hidup adopter dan (c) makna: persepsi subjektif dan sering di bawah sadar dari adopter
terhadap inovasi. Hal lain yang berkaitan dengan konsekuensi inovasi adalah tingkat
perubahan dalam sistem yang mungkin mengalami (a) kesetimbangan stabil (inovasi tidak
menyebabkan perubahan dalam struktur dan/atau fungsi sistem sosial), (b) kesetimbangan
dinamis (perubahan yang disebabkan inovasi setara dengan kemampuan sistem sosial untuk
menanganinya), atau (c) disequilibrium (perubahan yang disebabkan inovasi terlalu cepat
untuk dapat ditangani sistem sosial). Dengan demikian, tujuan dari inovasi adalah untuk
mencapai kesetimbangan dinamis.
Akhirnya, hal lainnya lagi yang harus dikaji dalam konsekuensi inovasi adalah cara
mengatasi kenyataan bahwa inovasi sering memperlebar kesenjangan sosio-ekonomik
masyarakat. Beberapa cara tersebut adalah (a) menangani kecenderungan orang kaya
mempunyai akses lebih banyak dibanding orang miskin: pesan disampaikan lewat (a1) cara
masal seperti lewat radio atau televisi; penggunaan bahasa yang dimengerti orang miskin;
penggunaan multi-media yang didasarkan kondisi sosial budaya orang miskin; penyampaian
dalam kelompok kecil di mana orang miskin biasanya berkumpul, dan pengubahan fokus dari
sasaran inovasi tradisional (yaitu pada kelompok yang paling berpotensi untuk berubah) ke
kelompok yang paling tidak berpotensi untuk berubah; (b) menangani kecenderungan orang
kaya mempunyai akses lebih banyak pada hasil evaluasi inovasi dibanding orang miskin:
pemimpin opini orang miskin harus ditemukan (meski pun relatif lebih sulit dibanding
dengan menemukan pemimpin opini orang kaya) dan hubungan agen perubahan
dikonsentrasikan pada mereka, aide dari kalangan orang miskin digunakan untuk
menghubungi kelompok homofilinya dan kelompok formal di kalangan orang miskin
diperkuat dan/atau dibina serta ( c) menangani kecenderungan orang kaya mempunyai
sumber daya lebih dibanding orang miskin: pemilihan inovasi yang cocok untuk orang
miskin; membangun organisasi (misalnya koperasi) di kalangan orang miskin; memberi
kesempatan orang miskin berpartisipasi dalam perencanaan dan pelaksanaan inovasi;
pengembangan programdan/atau agensi yang diperuntukkan khusus orang miskin dan
pergeseran dari difusi inovasi yang datang dari riset dan pengembangan (R & D) formal ke
penyebaran informasi tentang gagasan yang didasarkan pada pengalaman lewat sistem difusi
desentralistik: sering untuk ikatan intelektual dari kebijakan konvensional adalah eksperimen
di lapangan.
Diambil dari: Dodi Sukmayadi..2004. Cakrawala Inovasi Pendidikan: Upaya Mencari Model
Inovasi (Book Report. Rogers, Everet M. (1983), 3rd, Diffusion of Innovations, The Free
Press, N.Y). Bandung Program Pasca Sarjana- Universitas Pendidikan Indonesia.
Buku ini membahas tentang makna (baru) perubahan pendidikan dalam tiga bagian dan enam
belas bab. Judul ketiga bagian tersebut adalah (I) Memahami Perubahan Pendidikan, (II)
Perubahan Pendidikan pada Tingkat Lokal dan (III) Perubahan Pendidikan pada Tingkat
Regional dan Nasional.
Adapun judul-judul keenambelas bab tersebut adalah: (1) Tujuan dan Sistematika Buku, (2)
Sumber-Sumber Perubahan Pendidikan, (3) Makna Perubahan Pendidikan, (4) Sebab dan
Proses Inisiasi, (5) Sebab/Proses Implementasi dan Kontinuasi, (6) Merencanakan,
Melaksanakan dan Menangani Perubahan, (7) Guru, (8) Kepala Sekolah, (9) Siswa, (10)
Administratur Distrik, (11) Konsultan, (12) Orang Tua dan Komunitas, (13) Pemerintah, (14)
Persiapan peofesional Guru, (15) Pengembangan Profesional Pendidik dan (15) Masa
Depan Perubahan Pendidikan.
Bab 1 membahas tujuan dan sistematika buku. Bab 2 menyajikan tiga sumber perubahan
pendidikan yaitu: (a) bencana alam, (b) pengaruh faktor luar dan (c) kontradiksi internal.
Tipologi perubahan pendidikan disajikan dalam gambar berikut.
Apakah
diimplemetasikan?
Ya Tidak
Apakah perubahan sangat menguntungkan Ya I II
dan secara teknis sangat baik? Tidak III IV
Dikatakan bahwa perubahan pendidikan pada tahun 1960-an dan reformasi berbasis
kompetensi 1980an yang mencoba ‘to legislate learning’ adalah tipe IV. Selanjutnya, dicatat
opportunisme dalam perubahan pendidikan ‘sebagai ”ara murah” untuk menyelesaikan
tekanan birokratis atau politis…agar distrik nampak up-to-date dan progresif di mata
masyarakat atau untuk “melakukan sesuatu” untuk suatu kelompok tertentu’ (Berman dan
McLaughlin, 1978). Atau, inovasi masih dilihat sebagai alat sekelompok orang untuk
mengontrol kehidupan orang lain dan anak-anaknya menurut konsepsinya sendiri (Whiteside,
1978). Inovasi gagal menyentuh hal pokok yang dituju perubahan pendidik-an: ‘Buat apa
pendidikan sebenarnya? Manusia dan masyarakat seperti apa yang diinginkan? Metode dan
organisasi kelas serta bahan ajar apa yang diperlukan? Pengetahuan mana yang paling
berharga? (Silberman, 1970). Perubahan pendidikan menyentuh hanya perubahan tingkat
pertama, yaitu: perubahan untuk memperbaiki efisiensi dan efektivitas aktivitas yang
dilakukan sekarang tanpa ‘mengubah fitur organisasional dasar, tanpa mengubah secara
substantif cara siswa dan pendidikan menjalankan peran mereka’ (Cuban 1988). Perubahan
tingkat kedua –dimana cara fundamental seperti tujuan, struktur dan peran baru diubah
menjadi, misal, berorientasi pada kultur kerja kolaboratif- tidak tersentuh: menurut
peribahasa Cina, ‘bahan berubah, tapi supnya tetap sama’ (ibid.).
Bab 3 membahas makna perubahan secara umum, subjektif dan objektif serta implikasinya.
Dalam makna secara umum ditemukan bahwa ‘tiap upaya untuk pre-empt konflik, argumen
atau protes dengan perencanaan rasional… seberapa rasionalnya pun … tetap harus memberi
waktu untuk impuls penolakan. Reformer telah mengasimilasi perubahan …mungkin
berbulan-bulan atau bertahun-tahun… Jika mereka mengingkari orang lain kesempatan waktu
setara, mereka pada dasarnya memperlakukan orang lain seperti boneka yang dapat diatur
sesuai kehendaknya (Marris, 1975). Dalam makna subjektif ditemukan, tekanan kelas bagi
guru ‘tekanan segera dan kongkrit, sekitar 200.000 pertemuan per tahunnya; tekanan
multidimensionalitas dan simultanitas; adaptasi kondisi selalu berubah atau unpredictability
dan tekanan untuk terlibat dengan siswa’ (Huberman, 1983; Crandall et. al., 1982). Inovasi
adalah acts of faith. Mereka harus percaya inovasi akan berhasil dan berguna, meski hasil
segera tidak terlihat (House, 1974). Dalam makna objektif dinyatakan tiga komponen
program atau kebijakan: (a) materi baru atau revisi, (b) pendekatan pembelajaran dan (c)
kepercayaan (misal, asumsi dan teori yang melandasi suatu program atau kebijakan). Tentang
implikasi perubahan pendidikan dikatakan ada enam aspek yang dapat diamati (a) the
soundness dari perubahan yang diusulkan, (b) memahami kegagalan perubahan yang
direncanakan dengan baik, (c) petunjuk untuk memahami hakekat dan feasibilitas suatu
perubahan, (d) realitas status-quo, (e) kedalaman perubahan dan (e) pertanyaan tentang
penilaian.
Bab 4 mencatat bahwa tekanan untuk perubahan menurun saat adopsi yang diikuti dengan
implementasi (Berman dan mcLaughlin, 1979). Model perubahan mempunyai empat
komponen (a) inisiasi, mobilisasi atau adopsi, (b) implementasi (biasanya 2-3 tahun pertama
sejak adopsi), (c) kontinuasi, inkorporasi, rutinisasi atau institusionalisasi dan (d) outcome.
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi inisiasi adalah (a) keberada-an dan kualitas
inovasi, (b) akses pada informasi, (c) advokasi dari atas(an), (d) advokasi guru, (e) agen
perubah eksternal, (f) tekanan, dukungan atau apati masyarakat, (g) sumber dana: lokal,
negara bagian atau federal, (h) orientasi birokratis dan pemecahan masalah. Akhirnya,
konsiderasi dalam perencanaan untuk adopsi paling baik jika mengkombinasikan 3R: (a)
Relevansi: dilihat dari praktikalitas dan kebutuhan, (b) Readiness: tergantung pada kapasitas
dan kebutuhan dan (c) Resources/ketersediaan dukungan.
Bab 5 menyajikan tiga kategori faktor dalam proses implementasi (1) karakteristik proyek
inovasi atau perubahan: kebutuhan, kejelasan, kompleksitas dan kualitas/praktikalitas, (2)
Karakteristik atau peranan lokal: distrik, komunitas, kepala sekolah, guru, dan (3) faktor
eksternal: pemerintah dan agensi lainnya.Tema-tema dalam proses implementasi adalah (a)
membangun visi, (b) perencanaan evolusioner, (c) pengambilan inisiatif dan pemberdayaan,
(d) pengembangan staf dan asistensi sumber daya, (e) monitoring/pemecahan masalah[1] >
dan (f) restrukturisasi. Selanjutnya, ada empat tilikan tidak predictable yang ternyata penting
dalam proses implementasi: (a) inisiasi dan partisipasi aktif, starting small and thinking big,
bias untuk tindakan dan belajar sambil bekerja, (b) tekanan dan dukungan, (c) perubahan
perilaku dan kepercayaan dan (d) masalah kepemilikan perubahan pendidikan.
Dalam Bab 6 disajikan alasan mengapa perencanaan perubahan gagal: asumsi dan cara
berpikir keliru tentang perubahan, diantaranya, ‘melompat’ dari rencana pribadi ke
implementasi publik (Lighthall, 1973), kekuasaan legal atau organisasional diandalkan
sebagai motor perubahan (Sarason, 1971) dan fallacy rasionalisme: dunia social ingin diubah
dengan argumen rasional. Alasan lain mengapa perencanaan gagal ialah menangani masalah
tidak terpecahkan, karena beda nilai yang dianut dan kesempurnaan teknis serta tidak
memperhitungkan faktor yang berpengaruh. Untuk sukses menurut harry Truman dan Pierre
Trudeau ‘we need more one-armed economist…[when frus-trated by the advice] on the one
hand … on the other hand’. Niat baik dan gagasan baik adalah perlu tapi tidak cukup untuk
tindakan yang konsisten (Sarason, 1990). Kiat lain ialah (a) ‘sedikit kekaburan mungkin
esensial agar kebijakan dapat diterima…mungkin lebih efektif dalam waktu pendek untuk
berkonsentrasi pada legislasi baru’, dan (b) menggunakan pendekatan developmental: mulai
dari hal yang paling mungkin terus berkembang ke hal-hal lain (Sarason, 1971).
Bab 7 sampai dengan Bab 12 -[(bab 7) Guru, (Bab Kepala Sekolah, (Bab 9) Siswa, (Bab
10) Administratur Distrik, (Bab 11) Konsultan, (Bab 12) Orang Tua dan Komunitas]- masuk
ke dalam bagian II, yaitu bagian yang membahas perubahan pendidikan pada tingkat lokal.
Bab 7 membahas kenyataan bahwa perubahan pendidikan tergantung pada yang dilakukan
dan dipikirkan guru: persoalannya sesederhana dan sekompleks itu (Sarason, 1971) dan jika
program berhasil, guru dilupakan; tapi jika gagal, guru disalahkan. Suatu faktor efektivitas
kelas dan sekolah adalah kualitas guru. Sebagai indikator kualitas, dari sampel guru di
Ontario, Kanada, Rees dkk. (1989) menemukan bahwa 71% guru wanita dan 64% guru laki-
laki di SD menyatakan guru sebagai pilihan pertama untuk berkarir; sementara itu, 56% guru
wanita dan 37% guru laki-laki di SL menyatakan guru sebagai pilihan pertama untuk
berkarir. Dalam tiga dari empat kelompok guru tersebut, satu dari lima guru memi-kirkan
untuk tidak jadi guru lagi dan satu dari lima guru laki-laki SL mempertimbangkan untuk tidak
jadi guru lagi. Beberapa kesulitan guru adalah (a) beban kerja multi-dimensi (Sarason, 1982;
h. 126), (b) lebih peduli pada identitas diri bukan pada kebersamaan dalam suatu
komunitas… tidak dilibatkan dalam persoalan yang menyangkut sekolah umumnya
(Goodlad, 1984; h. 123), (c) transfer informasi sesama guru cenderung personal, bukan
profesional (House dan Lapan, 1978; h. 122); dan (d) perlu keluar dari ‘tugas’ tradisional
untuk menyatakan kepemimpinannya (Barth, 1990; h 141). Model sekolah yang ‘ideal’
adalah sebagai berikut.
jumlah tugas kepala sekolah lanjutan sebanyak rata-rata 149 tugas per hari. 59%
diantaranya diinterupsi, 84% diantaranya berlangsung antara 1-4 menit, dan 17%
berkaitan dengan pengajaran (Martin dan Willower, 1981). Studi pada periode 1910
sampai 1980-an menunjukkan ‘meskipun gaya kepemimpinan beda, peran manajerial,
bukan kepemimpinan pembelajaran, mendominasi kepala sekolah (Cuban, 1988: 84).
Smith dan Andrews (1989) mendukung temuan Louis dan Miles (1990): tidak ada
dikotomi waktu untuk manajerial, operasi dan relasi distrik (34% vs 39%) dan
perbaikan program instruksional (41% vs 27%).
Studi Interaksi Kepala Sekolah-Guru (PTI) menunjukkan selama periode 3 tahun ada
1855 intervensi pada kepala sekolah yang berkenaan dengan masalah organisasi
(36%), konsultasi dan penguatan (24%), monitoring dan evaluasi (22%), pelatihan
dan infor-masi (7%) dan lain-lain (11%). Kepala sekolah sebagai fasilitator perubahan
berkorelasi 0.76 dengan kesuksesan seluruhnya; sekolah dengan gaya inisiator paling
sukses, diikuti oleh kepala sekolah gaya manajerial dan kepala sekolah gaya perespon
(Hall & Hord, 1987).
Studi pada 137 kepala dan wakil kepala sekolah menunjukkan selama 5 tahun terakhir
tuntutan tugas makin tinggi sementara keyakinan akan efektivitasnya makin menurun
(Educon, 1984). Kurang dari 10% kepala sekolah yang termasuk ke dalam ‘pemecah-
masalah sistematik’ (level tertinggi dari empat level efektivitas) (Leithwood dan
Montgomery, 1986).
Studi pada 2500 guru dan 1200 kepala sekolah, menunjukkan kepala sekolah terlibat
dalam empat interaksi strategis dengan guru: (a) penyedia sumber daya, (b) sumber
daya pembelajaran, (c) komunikator dan (d) ‘hanya untuk penampilan’. Rating positif
dari guru terhadap pemimpin kuat, rata-rata dan lemah masing-masing sebanyak 90%,
52% dan 33% (Smith dan Andrews, 1989).
Porporsi kepala sekolah wanita di SD maupun di SL cenderung rendah: 20-50% dan
5-20% (Marshall dkk., 1989; Mertz,dkk., 1989; Schneider, 1988); 5, 14, 23% dan 36,
42, 47 % (studi 44 sekolah besar tahun 1972,1982 dan 1986); 19% dan 4%
(Wisconsin, 1986-87, Schneider, 1988); 25% dan 8% (statistik nasional, Marshall
dkk., 1989);18% dan 11% (Ontario, 1990).
Bab 9 diawali dengan pertanyaan Bowles dan Gintis (1976), ‘ mengapa dalam suatu
masyarakat demokratis, kontak riil pertama seorang individu dengan suatu lembaga formal
bersifat sangat anti-demokratis’. Ketika orang memikirkan perubahan pendidikan mereka
memikirkan dampak perubahan tersebut pada peserta didik dari sudut pandang keterampilan,
sikap dan pekerjaannya di masa yang akan datang, mereka jarang berpikir tentang bagaimana
melibatkan mereka dalam kehidupan organisasi (termasuk organisasi sekolah). Kalau pun
program semacam itu ada, peserta didik cenderung mengalami resistensi, ‘selama ini mereka
memperlakukan kita seperti bayi, sekarang mereka mencoba memperlakukan kita seperti
seorang dewasa’. Dari sampel sebesar 3593 siswa, siswa SD, SMP dan SMA masing-masing
41%, 33% dan 25% berpikir gurunya tidak memahami mereka; masing-masing 19%, 16%
dan 13% menyatakan mereka ditanya bagaimana atau materi yang harus diajarkan dan
masing-masing 29%, 26% dan 50% menyatakan kelas membosankan .
Firestone dan Rosenblum (1988) merinci lima faktor yang mempengaruhi komitmen guru
dan siswa: (a) kebermaknaan program, (b) keterkaitan dengan lingkungan sekitarnya, (c)
kejelasan aturan dan peran guru dan siswa, (d) ekspektasi guru dan siswa dan (e) rasa hormat
dan perhatian guru dan siswa. Komitmen guru dan siswa juga dapat dipe-roleh dari inovasi
baru-baru ini tentang pembelajaran kooperatif yang pada prakteknya adalah mengurangi
metode ceramah sebanyak 20% (dari 48% menjadi 28% dari total waktu pembelajaran).
Bab 10 menyajikan karakteristik superintenden yang jumlahnya sekitar 95% laki-laki dan
yang menangani sistem sekolah yang siswanya bervariasi dari 100 sampai 200.000 siswa dan
masa kerja rata-rata 3 tahun (di Amerika) dan 6-7 tahun di Kanada. Review Goldhammer
(1977) dari 1954 sampai 1974 menunjukkan pergeseran peran superintenden dari juru bicara
dan manajer eksekutif sistem sekolah homogen ke situasi di mana negosiasi dan manajemen
konflik berbagai kelompok kepentingan. Studi Duignan (1979) pada delapan superintenden di
Alberta menemukan bahwa ‘tiap hari superin-tenden terlibat dalam rata-rata 26 diskusi yang
merupakan 70% waktu kerjanya; 70% dari diskusi tersebut dilakukan dengan trusti sekolah,
pejabat pusat dan administratur sekolah, kurang dari 7% dengan guru dan kurang dari 1%
dengan siswa.
Studi Fullan dkk. (1987) tentang 200 pejabat supervisi di 26 distrik sekolah (se-perempat
jumlah di seluruh provinsi) menemukan mereka menekankan sistem (bukan sekolah), serta
berpikir reflektif (bukan parsial) dan generalis (bukan spesialis). Studi LaRoque dan Coleman
(1989a: 169) menyusun hipotesis etos distrik positif yang ditandai dengan enam fokus (a)
pembelajaran, (b) akuntabiltas, (c) perubahan, (d) perhatian pada stakeholder, (e) komitmen
bersama dan (f) dukungan komunitas. Atas studi pada lima sekolah (dua diantaranya
dikategorikan berhasil), Louis (1989) menyusun diagram karaktersitik hubungan distrik dan
sekolah sebagai berikut:
Bab 11 merangkum ke dalam istilah konsultan sejumlah pekerjaan/peran sebagai berikut: ahli
materi, kurikulum, program, guru, pengembangan organisasi, agen perubahan, direktur
proyek, agen penghubung, dst. Studi Ross dan Reagan (1990) tentang dua be-las konsultan
kurikulum distrikdi dua sekolah menyimpulkan bahwa ‘ perencanaan sistem, networking
dengan tim konsultan dan mengkoordinasikan dukungan atasan adalah kunci konsultan
berpengalaman’. Hall dan Hord (1984) menemukan bahwa CF (change facilitator, yang
boleh jadi adalah konsultan distrik, guru hli dan adang-kadang wakil kepala sekolah) terlibat
dalam interaksi lebih kompleks, dibanding kepala sekolah yang berinterkasi dengan cepat,
sederhana dan to the point. Miles dkk. (1988; 188) menyarankan seleksi konsultan didasarkan
pada latar belakang pendidikan (broad based); mudah menjalin hubungan interpersonal;
keahlian kependidikan, pengalaman kepelatihan, kependidikan dan organisasi sebelumnya,
serta inisiatif dan energi.
Bab 12 diawali dengan pernyataan implisit bahwa sekolah itu sebenarnya milik orang tua
siswa dan komunitasnya (cf. Gold dan Miles, 1981). Namun, jika guru dan ad-ministatur
pendidikan yang terlibat masalah pendidikan 40-60 jam per minggunya sulit memahami
perubahan pendidikan, maka orang tua dan komunitas lebih sulit lagi memahaminya, padahal
secara umum, makin orang tua siswa terlibat makin baik pencapaian belajar siswa (cf.
Mortimore dkk., 1988). Menurut Epstein dan Dauber (1988) peran yang mungkin diperankan
orang tua siswa adalah (a) sukarelawan, asisten, dst, (b) tutor/ pembimbing di rumah, (c)
komunikator dan (d) dewan penasihat. Evaluasi SDC (System De-velopment Corporation)
atas 869 sekolah di 369 distrik menetapkan 34 sekolah dengan orang tua siswa asisten
bayaran dan 17 sekolah dengan orang tua sebagai tutor dirumah. Survey Becker (1981)
terhadap 3700 guru SD dan 600 kepala sekolah menunjukkan se-dikitnya keterlibatan orang
tua siswa. Survey Kanada tahun 1979 pada 2000 orang tua siswa menunjukkan 63.4%
diantaranya tidak bersedia menjadi anggota komite penaihat rumah-sekolah. Studi Lucas,
dkk. (1978-79) tentang content analysis notulen komite dari sepuluh SD dan lima SL
menunjukkan (a) isu pedagogi jarang dibicarakan, (b) diskusi sifatnya informasi,
rekomendasi hanya 4%-nya dan (c) orang tua sebagai inisiator topik diskusi di SD dan SL
masing-masing adalah 27.6% dan 17.9%, sementara guru/admi-nistrator sebagai inisiator
masing-masing adalah 67.2% dan 78%. Studi Schaffarzick (Boyd, 1978: 613) tentang 34
distrik di San Fransisco menunjukkan 62% keputusan kurikulum tidak melibatkan komunitas.
Bab 13 sampai dengan bab 16 -(13) Pemerintah, (14) Persiapan Profesional Guru, (15)
Pengembangan Profesional Pendidik dan (15) Masa Depan Perubahan Pendidikan – masuk
ke dalam bagian III, yaitu bagian yang membahas tentang perubahan pendidikan pada tingkat
regional dan nasional. Bab 13 membahas (a) peran pemerintah federal Amerika dalam dunia
pendidikan yang makin menurun, tapi tetap masih signifikan misalnya lewat ‘semboyan’ A
Nation at Risk dan (b) –seperti ditekankan Elmore dan McLaughlin (1988)- ketidak-selarasan
waktu perumusan kebijakan yang tergantung pada ‘electoral time’ dan implementasi
kebijakan yang tergantung pada ‘administrative or practice time’. Sementara itu, di Kanada
keberadaan federal dalam dunia pendidikan diakui ‘sepanjang tidak ada seorang pun
menamakannya kebijakan pendidikan dan sepanjang tidak ada tun-tutan eksplisit sebagai
imbalan atas uang dari Ottawa tersebut’. Keterlibatan pemerintah federal di Amerika ada dua
jalur (a) Beberapa program yang disponsori pemerintah fe-deral sejak 1965: Title I, Title IV,
Basic Skills, Emergency School Aid Act, Follow Through, Title VII, Bureau of Education
Handicapped dan Vocational Education dan (b) Riset, Development dan Diseminiasi (RDD)
dilembagakan pada periode 1972-1985 dengan pendirian the National Institute of Education
(NIE). Tahun 1985, NIE direorga-nisasi menjadi OERI (the Office of Educational Research
and Improvement). Di Kanada, ketidak-puasan pada sistem pendidikan dan lambatnya
perubahan pendidikan, pemerintah (bukan hanya menteri pendidikan) melaksanakan
reformasi komprehensif dan fundamen-tal. Sebagai contoh British Columbia merencanakan
Year 2000: A Curriculum and Assessment Framework for the Future yang mengatur ulang
sistem pendidikan dengan 3 prinsip pembelajar dan peserta didik, 12 prinsip kurikulum, 5
prinsip asesmen dan evaluasi serta 3 prinsip pelaporan. Akhirnya, pedoman untuk pemerintah
dalam melaksanakan perubahan pendidikan adalah (a) agar memperbaiki kapasitas agensi
untuk meng-implementasikan perubahan, (b) menjelaskan dan bekerja sama dengan agensi
lokal tentang makna, ekspektasi dan kebutuhannya, (c) fleksibel dalam implementasi, (d) staf
diberi kesempatan mengembangkan pengetahuan dan kompetensinya selain memfasilitasi
implementasi, (e) menekankan pada perubahan mendasar profesi guru, praktek dan or-
ganisasi pembelajaran serta pola dan pengalaman belajar peserta didik dan (f) menerapkan
strategi komprehensif, multi-faceted, saling terkait, jangka pendek-menengah dan panjang
secara persisten (serta tidak meminta perubahan segera dan total dalam waktu singkat).
Dalam bab 14 dicatat bahwa ‘membantu orang lain berubah tanpa kita menyadari-nya sendiri
sama halnya dengan penyajian produk atau pelayanan yang tidak atau sedikit signifikansinya
untuk pertumbuhan intelektual kita’ (Sarason, 1972). Pengembangan guru adalah belajar
berkelanjutan dan tidak terpisahkan dari perkembangan sekolah dan dengan demikian lebih
baik dari sekedar inovasi-inovasi yang berkesan tidak berkelanjut-an selain sama-sama
memerlukan biaya,waktu dan tenaga besar. Terdapat 1400-an lembaga pendidikan guru di
Amerika dan 50-an fakultas pendidikan di Kanada yang didalam-nya ditemukan banyak mata
kuliah yang tujuannya ‘kompleks dan tidak jelas’. Menurut Hollingsworth (1989) setidaknya
ada tiga basis pengetahuan yang diperlukan agar guru efektif (a) materi –isi dan cara
pembelajarannya, (b) manajemen umum dan pedagogi instruksional dan (c) ekologi kelas –
pengetahuan tentang bagaimana peserta didik belajar, bagaimana mendiagnosa dan
mengevaluasi proses dan outcome belajar. Kenyataannya, calon guru yang umumnya
menganggap transisi menjadi guru pengalaman besar –atau bahkan traumatik- lebih
disibukkan oleh (a) pendidikan yang sifatnya individualistik padahal kenyataan di lapangan
memerlukan bukan hanya pendidikan yang invidualistik dan (b) oleh ‘struktur hari sekolah;
kurikulum, isi dan materi baku; serta tekanan pada ketertiban, kontrol dan kesibukan peserta
didik… [bahwa] tidak ada justifikasi pada tilikan “pengalaman praktis itu perlu” …[maka
harap diingat bahwa kata Dewey] keliru mengasumsikan tiap pengalaman mempunyai nilai
instrinsik selain mampu untuk membangkitkan kualitas respon tertentu dari seseorang’
(Tabachnick, dkk., 1979-80). Akibatnya, fakultas pendidikan kehilangan baik respektabilitas
universitas mau pun efektivitas di lapangan. Diantaranya untuk memberi bekal lebih dan
menangani tingkat alih profesi guru ke pekerjaan lain (30% dalam dua tahun pertama, 40-
50% dalam tujuh tahun pertama dibanding dengan 6% secara keseluruhan), sejak dua dekade
lalu digulirkan program induksi, yaitu suatu program seksama untuk mendukung guru baru.
Induksi pada giliran-nya memunculkan kesempatan pengembangan profesionalisme baru,
yaitu mentoring. Namun, program induksi dan mentoring menghadapi kendala biaya yang
mahal. Akhirnya, alternatif pengembangan profesionalisme lainnya adalah sertifikasi
alternatif,yaitu sertifikasi yang diberikan oleh praktisi dan mempunyai kecenderungan
standarnya dise-suaikan dengan kebutuhan employer (pihak yang memperkerjakan guru).
Sebagian besar pembahasan pada bab 15 masih tentang guru. Pertama disajikan beberapa
alasan mengapa pengembangan profesional guru tidak berhasil. Selanjutnya, disajikan empat
contoh kasus pengembangan profesional yang berhasil. Pengembangan profesional guru
tergantung pada motivasi dan kesempatan (dalam arti ketersediaan program dan
pengorganisasian secara struktural dan normatif yang memungkinkan berlang-sungnya
pengembangan profesional). Akhirnya setelah pengembangan profesionalisme administatur
dan konsultan disinggung, disajikan saran pengembangan profesional: (a) fakultas pendidikan
dan sekolah sebaiknya menggunakan tiga strategi saling terkait –penggantian staf, inovasi
program dan produksi pengetahuan, (b) semua staf di lembaga dan pada level mana saja
harus belajar, berkoordinasi dan terintegrasi pengembangannya dan (c) semua pengembangan
profesional arus memenuhi dua syarat (c1) mengarah ke atribut pengembangan profesional
yang berhasil pada sebanyak-banyak aktivitas yang dapat dilaksanakan dan (c2) tujuan akhir
pengembangan profesional tidak semata pada mengimplementasikan inovasi tapi untuk
menciptakan kebiasaan dan struktur individual dan organisasional yang membuat belajar
berkelanjutan bagian berharga dan endemic dari kultur sekolah dan pembelajaran.
Akhirnya, pada bab terakhir, yaitu bab 16 disajikan enam karakteristik perubahan pendidikan
di masa depan diantaranya sebagai koreksi/alternatif atas model rasional di mana pihak
otoritas perubahan meningkatkan advokasi, legislasi, akuntabilitas, sumber daya, dst.
berhadapan dengan pihak penerima perubahan dengan pintu lebih tertutup lagi, resistensi
kolektif, isolasionisme, keluar dari dunia pendidikan, dst. Keenam karakteristik tersebut
adalah:
pergeseran dari politik negatif berupa resistensi dari bawah, indoktrinasi dari atas, dst.
menjadi politik positif: (a1) fokus pada prioritas: ‘kita tidak dapat melaksanakan x’
tidak dapat diterima lagi, kecuali dengan alasan ‘karena kita sedang mengerjakan y, z,
dst.’. dan (a2) mulai dari lingkungan terdekat.
pergeseran dari solusi monolitik/seragam ke solusi-solusi alternatif/ variatif yang ber-
cirikan (b1) sekolah sebagai pusat pembaharuan berkelanjutan, (b2) perubahan yang
dilaksanakan dengan proses komunikasi, negosiasi dan kolaborasi, (b3) membangun
kapasitas sekolah untuk mampu terus berubah dan (b4) mengurangi atau bahkan me-
niadakan ketergantungan pada solusi yang ditawarkan pihak lain.
pergeseran dari inovasi ke pengembangan kelembagaan, suatu inovasi sering
ditujukan untuk menyelesaikan suatu masalah (‘memadamkan kebakaran’) atau
sekedar fashion saja, sementara pengembangan kelembagaan berfokus pada
peningkatan kinerja dan kapasitas kerja lembaga.
pergeseran dari pengembangan profesional individual ke pengembangan profesional
interaktif/ aliansi di mana ditekankan akses dan perhatian pada gagasan dan praktek
rekan kerja/ lembaga lain.
peningkatan apresiasi pada dilemma-dilema pembaharuan: visi jelas vs. pikiran ter-
buka, inisiatif vs. pemberdayaan, tekanan vs. dukungan, start small vs. thing big,
mengharapkan hasil vs. sabar dan persisten, mengalami ketidak-pastian vs. merasa
puas, top-down vs. bottom up, pola umum vs.keunikan.
pergeseran dari model rasional ‘if…then…’ atau, jika gagal ‘if…only …’ ke ‘if I …’
dan/atau ‘If we …’.
[1] Peters (1987) menyatakan bahwa organisasi berhasil ‘mengukur hal yang penting’ karena
dilakukan dengan cara (1) kesederhanaan presentasi, (2) visibilitas pengukuran, (3)
keterlibatan semua orang, (4) pengumpulan data primer yang tidak distortif, (5) mengukur hal
penting dan (6) pencapaian rasa urgensi dan perbaikan terus-menerus yang menyeluruh.
Sementara itu, sistem paling baik untuk memastikan pilihan terbaik adalah (a) visi jelas, (b)
saling cerita bagaimana orang lain pada berbagai level bereaksi pada situasi baru yang
konsisten dengan visi dan penghargaan untuk pekerjaan yang baik.
===========================
Diambil dari: Dodi Sukmayadi.2004. Cakrawala Inovasi Pendidikan: Upaya Mencari Model
Inovasi (Book Report. Fullan, Michael G. dan Stiegelbauer, Suzanne (1991), 2nd, The New
Meaning of Education Change, Teacher College Press, N.Y.). Bandung Program Pasca
Sarjana- Universitas Pendidikan Indonesia
Judul-judul keempat bagian tersebut adalah (I) Perubahan Pendidikan dan Penyusunan
Kebijakan, (II) Hubungan antara Perubahan Sosial dan Perubahan Pendidikan, (III)
Konseptualisasi Proses Perubahan Sekolah dan (IV) Menyiapkan Guru untuk Terlibat dalam
Perubahan Pendidikan.
Adapun judul-judul dan penulis dari ketiga belas tulisan tersebut adalah: (1) Perubahan
Ekonomi, Penyusunan Kebijakan Pendidikan dan Peranan Negara, Ernest R. House; (2)
Bagaimana Pendidikan Tidak Ditangani Lembaga Mana pun, Barry MacDonald; (3)
Mengembangkan Keadaan Muram: Perkembangan Personal dan Sosial Siswa dan Proses
Sekolah, John Schostak; (4) Komunitas, Perubahan Sekolah dan Networking Strategis, Peter
Posch; (5) Individu dan Perubahan Sosial: Perubahan Pola Komunitas dan Tantangan
Sekolah, Marie Brennan dan Susan Noffke; (6) Perubahan Sosial, Bahan Ajar dan Guru, J.
Myron Atkin; (7) Perubahan Kultur Sekolah, Christine Finnan dan Henry M. Levin; (8)
Beberapa Unsur Teori Mikro-Politik Perkembangan Sekolah, Herbert Altrichter dan Stefan
Salzgeber; (9) Perubahan Konsepsi Kaji Tindak, Bridget Somekh; (10) Pendidikan Reflektif
dan Kultur Sekolah: Sosialisasi Calon Guru, Angel Perez Gomez; (11) Studi Kasus dan
Catatan Kasus: Suatu Percakapan tantang Proyek Hathaway, Susan Groundwater Smith dan
Rob Walker; (12) Ahli Masa Depan?, Christine O’Hanlon; dan (13) Kontrol Guru dan
Reformasi Pengembangan Profesionalitas, Lawrence Ingvarson. Berikut adalah substansi
tiap tulisan dimaksud.
House dalam bab 1 mengidentifikasi empat aspek ekonomi yang mempengaruhi kebijakan
pendidikan. Keempat hal tersebut adalah (a) ekonomi mempengaruhi besar anggaran
pendidikan dan menimbulkan konsekuensi sosial, seperti ketidakmerataan ‘kue ekonomi’
yang memberi sekolah masalah, (b) tujuan kebijakan pendidikan tertentu menuntut sekolah
lebih efisien dan lebih produktif, (c) pendidikan yang lebih baik menuntun pada kemampuan
teknologi dan pekerjaan yang lebih baik dan (d) pemikiran ekonomi melanda dunia
pendidikan, misalnya, kebijakan pendidikan dirumuskan dari sudut pandang kebutuhan
sekolah menciptakan dan merespon ‘pasar’. Kebijakan ‘pemasaran’ secara agresif makin
meminta peran penting. Gagasan muncul dari elit di ibu kota yang didanai oleh sumber-
sumber non pendidikan (Ricci, 1993). Semua periset nampak seperti ‘tentara sewaan’ dan
semua think tanks nampak menggunakan semua sumber daya institusionalnya untuk
mengajukan pandangannya (Smith, 1991).
Tanah, tenaga kerja dan semua faktor produksi menjadi komoditas untuk diperjual-belikan
dan tergantung pada pasar. Semua ada harganya, ‘nilai itu dilihat dari harganya’ (Gilpin,
1987). Pasar merusak peran lembaga tradisional –keluarga, komunitas, lembaga agama.
Rusaknya peran lembaga-lembaga tradisional tersebut juga merusak basis dukungan
tradisional dari pemerintah; pemerintah jatuh-bangun dilihat dari kemampuannya
meningkatkan kesejahteraan warga negaranya dan dengan demikian pemerintah makin
tergantung pada pebisnis. ‘isu politik sentral dalam kapitalisme… [adalah] hubungan antar
bisnis dan pemerintah atau dari perspektif lebih jauh, antara ekonomi dan negara (Heilbroner,
1993). Khusus dalam bidang pendidikan, dari banyak data empiris, kebijakan pemerintah
sering counter-produktif, yaitu tidak menghasilan pendidikan atau produktivitas lebih baik.
Meskipun banyak contoh reformasi yang berhasil, kebijakan sering tidak dirumuskan sesuai
dengan bagaimana lembaga pendidikan berfungsi dalam prakteknya.
MacDonald dalam bab 2 menyatakan bahwa pendidikan masal yang umurnya sekitar seabad
nampak tidak berperan mengubah gap kaya-miskin di Inggris yang sekarang ditandai dengan
peran demokrasi sebagai alat mempertahankan kekuasaan. Tahun 1987-88, sekolah diberi
kebebasan mengelola keuangan sendiri, dan atas persetujuan orang tua murid dapat
melepaskan diri pengaruh pemerintah lokal. Pada saat sama, kurikulum nasional diberlakukan
dan disupervisi oleh pejabat pusat yangtidak berpengalaman dan/atau tidak kompeten.
Kurikulum sekolah dasar dikonsentrasikan secara sempit pada keterampilan dasar dan
akuntabilitas penyampaiannya diuji dengan tes, sementara itu dalam kurikulum sekolah
menengah masalah personal, sosial dan semua yang kondusif untuk pendidikan
kewarganegaraan atau politik dimarjinalisasi. Semua hal tersebut disiapkan untuk menaikkan
usia anak meninggalkan sekolah (sampai usia 16 tahun pada tahun 1972). Akibatnya
diperlukan kurikulum dan pedagogi (terutama sekolah menengah) yang lebih relevan dengan
kehidupan dan pada gilirannya sekolah perlu melakukan interpretasi lebih liberal tentang
subject matter, integrasi tematik disiplin ilmu di sekitar isu kemanusiaan, belajar yang lebih
didasarkan pada inkuiri dan pendekatan child-centered. Solusi-solusi manajerial untuk
mencapai target nasional dan berkurangnya peran pemerintah lokal menyebabkan terlihatnya
kelemahan kurikulum nasional. Akhir tahun 90-an, kelemahan diatasi dengan pensiun awal,
penolakan siswa recalcitrant dan teralienasi, sehingga timbul masalah baru, yaitu sulitnya
merekrut guru. Akhir tahun 1980-an, kondisi konservatif serupa juga terjadi di Amerika,
hanya ‘sentralisasi’ berada pada level negara bagian. Benang merah yang mendasari kondisi
konservatif adalah ekonomi, yang menurut Small (1907) –pengagum Adam Smith- makin
terpisah dari filosofi moral, makin seperti ‘tata bahasa tanpa bahasa’, yang melahirkan prinsip
‘everything counts and nothing matters’.
John Schostak dalam bab 3 menyatakan bahwa sejarah tahun 1980-an dan 1990-an
merupakan reaksi pada tahun 1960-an dan 1970-an dengan Amerika dan Inggris masuk ke
neo-konservatisme yang menuntut ‘back to basics’ dan nilai-nilai keluarga serta menolak
pendidikan dan politik trendi dan progresif dengan tekanan pada efisiensi sekolah. Dalam
keadaan tersebut, kurikulum adalah manifestasi dari bagaimana pengalaman subjektif orang-
orang lain dikemas dalam proses belajar mengajar (PBM) di sekolah, atau dengan kata lain,
kurikulum adalah suatu proses yang memunculkan subjektivitas kultural. Studi psikoanalisis,
feminisme dan studi kultural menunjukkan bahwa proses rekayasa individu –atas dasar
efisiensi misalnya- selalu menuntun pada resistensi, sehingga dalam masyarakat timbul
polarisasi individu/kelompok dominan (D) dan individu/kelompok yang didominasi atau
disebut Orang lain (O). Beberapa alternatif yang dapat ditempuh O terhadap D adalah (a)
solusi fundamentalis atau kultus: percaya penuh D; (b) solusi hermeneutik: berusaha
memahami D; (c) solusi radikal/ revolusioner/ subversif: membuat diskursus alternatif; (d)
solusi menyerah/ kepatuhan total atau sebagian; (e) solusi ‘hidup tenang’: kamuflase yang
menuntun pada apati bukan pada perubahan sosial yang riil; (f) solusi penolakan
tersembunyi/ gerakan bawah tanah dan (g) solusi penolakan terbuka/ gerilya /perang terbuka.
Dalam rangka mencari kepercayaan atau kepatuhan total, antisipasiyang mungkin dari D
adalah: (a) memakai diskursus kasih saying: D adalah (sepertinya) untuk kepentingan O; (b)
memakai kekuasaan, ancama, teror; (c) peniadaan hak individu; (d) memakai diskursus
salahkan/ puji diri sendiri. Dalam mengevaluasi hubungan D dan O ada tiga jenis evaluasi
yang tersedia: (a) evaluasi birokratik: menerima nilai pejabat dan memberinya informasi yang
membuatnya mencapai yang dicanangkannya; (b) evaluasi otokratik: menyediakan informasi
pada lembaga pemerintah yang mengontrol alokasi sumber daya dan (c) evaluasi demokratis:
pengaturan informasi sehingga timbul dialog rasional antara D dan O. Kutipan dari
MacDonald (1996) menutup tulisan Schostak, ‘lebih penting dari skor sains dan matematika
adalah keterlibatan generasi akan datang dalam mempertahankan demokrasi dan menolong
orang lemah: anak-anak, orang tua, orang sakit, terbelakang, buta huruf, tidak punya rumah
dan orang yang lapar’.
Marie Brennan dan Susan Noffke dalam bab 5 menyatakan bahwa sekolah di satu sisi
dituntut untuk selalu mengikuti perubahan, sementara di sisi lain diharapkan menyediakan
institusi relatif stabil yang atas dasar identitas dan komunitas dibentuk. Sekolah juga
mempunyai sejarah mereproduksi inekualitas dalam masyarakat (apple, 1979), namun juga
sejarah dalam menciptakan komunitas dan sebagai tempat perjuangan lokal. Dua proyek yang
diamati tulisan ini adalah (a) SIP (School Improvement Project) 1982-1990 di Victoria
Australia dan (b) Proyek Kurikulum Afrika dan Afrika-Amerika (PKAA). SIP mengekplorasi
penggantian sistem inspeksi kualitas yang sentralistik dengan program partisipasi lokal dalam
evaluasi. Jadi terhadap tiga jenis evaluasi yang dikemukakan macDonald (birokratik,
otokratik dan demokratik), ditambahkan lagi evaluasi partisipatorik (Brown, 1982). SIP
menekankan pengembangan berlanjut kapasitas berbagai komunitas yang minat dan
latarbelakangnya beda untuk terus sharing dan mempertanyakan nilai yang diberlakukan di
sekolah. Sekolah diperlakukan sebagai mikro-kosmos dari masyarakat dan sistem sekolah
selalu berada dalam posisi mendukung perubahan mendasar dan sistemik. Basil Bernstein
(1996) yang mendiskusikan demokrasi dan hak pedagogis menyatakan tiga hal perlu ada agar
tercipta sekolah demokratis: (a) pemberian kesempatan pada individu, (b) inklusi sosial,
intelektual, kultural dan personal, dan (c) partisipasi (politis) bukan saja dalam hal diskursus
tapi juga dalam hal outcome. PKAA adalah upaya mengatasi kurikulum Amerika yang
umumnya berssifat rasis dan mengatasinya dengan cara melengkapinya dengan sejarah dan
peradaban Afrika dan Afrika-Amerika. Secara formal upaya dimulai tahun 1987. Tahun
1990-an, fokus awal diperumit dengan diskusi tentang pendidikan ‘multi-kultural’ yang oleh
sebagian partisipan dianggap upaya membelokkan fokus awal. Banyak waktu digunakan
untuk merumuskan tujuan umum yang menekankan keberagaman kelompok dan komitmen
bersama mengubah sistem pendidikan yang rasis menjadi yang fair dan ekuitabel bagi semua
orang (1993). Dari sudut pandang perubahan pendidikan perlu dicatat (a) metodologi kaji
tindak yang diimport dari luar pada konteks yang mengakui atau mendukungnya tidak
mendukung upaya yang dilakukan, (b) perlu upaya menangani konflik dengan komunitas
yang sebelumnya memang sedang konflik dan (c) bagi mereka yang terlibat dan identitasnya
cukup berlainan (misal, orang Eropa-Amerika dalam PKAA) perlu mengkaji identitas
personalnya.
J. Myron Atkin dalam bab 6 mencatat bahwa faktor di luar berpengaruh banyak pada apa
yang terjadi di dalam kelas: kondisi kerja, status, otoritas, sosialisasi professional, susunan
organisasi. Tulisan ini menambahkan dua hal lagi (a) image bahan ajar, khususnya sains dan
implikasinya pada perubahan sosial dan (b) kepercayaan, keterampilan dan perspektif umum
guru (yang pada dasarnya adalah tujuan semua perubahan pendidikan). Guru memberikan
alasan beda mengapa sains penting: untuk persiapan di dunia kerja, memahami implikasinya
pada masyarakat, mempunyai nilai estetik karena mengungkap pola dan keteraturan, dst.
Image sains pada abad 19 adalah mengagungkan Tuhan dan perlunya patuh pada orang tua;
ada akhir abad 19 sains adalah untuk melatih pemikiran sejalan dengan populernya psikologi
faculty; ada awal abad 20 sains adalah studi tentang alam yang dipersepsi setara alam rural
murni dan indah, kontras dengan alam urban yang kotor, jahat dan penuh dosa; pada tahun
1920-1930-an sains adalah untuk mengurangi kerja kasar dan mengurangi penyakit dan
selepas perang dunia II sains adalah bidang yang harus diwaspadai aplikasinya. Beberapa
image kontemporer tentang sains (a) fokus pada sains yang dapat diterapkan dengan segera,
(b) guru menghadapi siswa yang bervariasi latar belakangnya dibanding dengan 30 tahun
lalu, (c) guru sains yang mempersepsi dirinya ‘serba eksak’ berhadapan dengan penerapan
sains –misalnya menentukan lokasi pembuangan sampah- yang memerlukan pertimbangan
berbagai aspek yang tidak ‘eksak’.
Christine Finnan dan Henry M. Levin dalam bab 7 mencatat pendapat Mead bahwa kultur itu
seperti ikan yang tidak sadar hidupnya berada di air. Dua fitur kultur digunakan tulisan ini
ialah (a) kultur berada pada level masyarakat/ kelompok orang (misal Barat, masa kanak-
kanak, schooling), lokal (berdasarkan geografi, agama, etnis, okupasi, tempat
kerja/sekolah,dst.) dan personal (untuk memahami dan membentuk interaksi antar orang) dan
(b) fitur yang nampak kontradiktif dari kultur yaitu di satu sisi konservatif namun di sisi lain
selalu berubah. Lima kepercayaan dan asumsi yang mendasari kultur sekolah adalah (a)
Ekspektasi sekolah pada siswa: sekolah miskin menekankan kepatuhan dan disiplin,
sementara sekolah kaya menekankan berpikir kritis; (b) ekspektasi siswa terhadap sekolah:
sebagian resisten karena mendapat pengaruh dari masyarakat sekitarnya; sebagian sukses
karena percaya pendidikan jalan ke kesuksesan, dst.; (c) karakteristik sekolah: sekolah miskin
ditandai rendahnya percaya diri guru, pendapat pihak luar (orang tua, dst.) dianggap
penghambat dan resisten terhadap perubahan, sekolah kaya sebaliknya; (d) praktek sekolah:
misi yang didasarkan filosofi jelas (Montesori, bilingual, open learning, dst.), menuntun ke
praktek yang jelas; ekspektasi dan siswa rendah menuntun ke praktek memorisasi dan
pengajaran keterampilan dasar, dst. dan (e) tuntutan perubahan: jika keputusan diambil pada
level birokrasi lebih tinggi, tuntutan berubah rendah. Hal yang tidak boleh dilupakan dalam
kultur sekolah adalah sejarah sekolah. ASP (Accelerated School Project) adalah suatu
reformasi pendidikan yang mengakui pentingnya kultur sekolah. Sejak 1986, ASP menyebar
ke sekitar 1000 sekolah dasar dan lanjutan di 40 negara bagian, 12 pusat pendukung dan 300
tenaga terlatih yang memantau sekolah. Proyek bertujuan untuk mempercepat proses belajar
terutama bagi siswa yang berisiko gagal dengan sekolah mengambil keputusan dalam hal-hal:
eksplorasi semua dimensi sekolah, konstruksi tujuan dan visi, menetapkan prioritas, sistem
pengelolaan yang melibatkan semua orang, pendekatan sistematis pada kaji-tindak dan
pemecahan masalah serta tentang pedagogi menyeluruh yang menyatakan semua sumberdaya
sekolah dikerahkan untuk menghadapi tantangan proses belajar mengajar.
Herbert Altrichter dan Stefan Salzgeber dalam bab 8 mengamati dekade lalu ditandai oleh
reformasi sekolah yang bertema otonomi sekolah, desentralisasi dan devolusi baik di negara
yang dulunya sentralistik (Austria dan negara Eropa lainnya) maupun di negara yang dulunya
desentralistik (Inggris, Wales, dst.). Menurut ‘teori strukturasi rasional-kontinjen, organisasi
itu sifatnya berorientasi tujuan dengan sistem perencanaan rasional dan dengan struktur
objektif, sementara pengembangan organisasi dilaksanakan oleh konstruktor organisasi atas
dasar kalkulasi rasional (Turk, 1989). Kontinjen artinya tergantung variabel konteks.
Sementara itu, teori mikro-politik berpandangan (a) organisasi mempunyai beragam tujuan
dan pengaruh, meskipun demikian teori (seharusnya) tidak menjelaskan konsensus sebagai
suatu bentuk dominasi, eliminasi, pre-emprif atau menutup-nutupi konflik, (b) pelaku
mengejar kepentingannya masing-masing sesuai nilai yang dianutnya, dan (c) perjuangan
strategis dan penuh konflik terjadi atas definisi dan struktur organisasi. Beberapa masalah
teori mikro-politik adalah (a) harus dapat menjelaskan bagaimana organisasi relatif stabil dan
bertahan suatu waktu tertentu, (b) pengaruh dari luar organisasi, (c) tidak melihat politik
semata sebagai pengkhianatan, konspirasi dan akumulasi pengaruh atau lawan dari kebenaran
dan penalaran. Organisasi hampir tidak dapat dikonsepsi semata sebagai konglomerasi
kekuasaan dan permainan (yang ditandai oleh resiko, pemenangan, cheating, dst.). Konsensus
tidak semata diperoleh lewat negosiasi eksplisit, tapi juga bersumber dalam lebenswelt yang
dapat dipahamkan sebagai konsensus historis generasi terdahulu yang kurang lebih dikenal
luas serta yang sekarang direproduksi lewat tindakan. Doyle dan Ponder (1976) menafsirkan
kesulitan yang dialami sekolah dasar ketika tugas pembelajaran makin kompleks dikenalkan
sebagai proses negosiasi. Tugas makin kompleks menyebabkan siswa tidak nyaman dan
‘mengancam’ untuk tidak disiplin dan dengan demikian secara implisit melakukan negosiasi
dengan pendidik: tugas lebih sederhana yang dikompensasi dengan disiplin di kelas.
Bridget Somekh dalam bab 9 mengawali tulisannya dengan parabel yang membawa pesan
bagaimana seseorang dapat menikmati pendidikan/ pengembangan profesionalisme yang
dikatakan bagus tapi kemudian setelah berhasil malah membuatnya menjadi budak orang
lain. Kaji tindak adalah model perubahan yang tidak demikian, sembari menekankan prinsip
kepemilikan dan profesionalisme guru. Kaji tindak dirumuskan dari riset perilaku individu
dan kelompok oleh Lewin, Schon, dst. Tahun 1970-an kaji tindak disempurnakan di
Impington dan secara luas didukung Education Act tahun 1944. Tahun 1980-1990-an,
pemerintahan Thatcher mempunyai posisi oposisional –menekankan dualisme yang lekat
dalam masyarakat Barat- dengan misalnya ucapan yang mengkultuskan individualisme lewat
perkataannya ‘Tidak ada yang disebut masyarakat itu’. Posisi oposisional tersebut tidak
sejalan dengan tema kaji tindak yang menolak posisi oposisional, dan malah mengeksplorasi
serta membangun hubungan antara teori dan praktek, objektivitas dan subjektivitas, dst.,
sehingga dengan demikian tema kaji tindak adalah ‘tugas dobel’ yang dilaksanakan bersama-
sama/ kolektif atau apa yang dinamakan Gidden ‘demokrasi dialogis’. Namun, tetap harus
diingat bahwa ketika mendeskripsikan diskursus sebagai ‘regimes of truth’ yang dikonstruksi
orang-orang sepemikiran, Foucault memprediksi ketidak-terhindaran semua sistem –seberapa
besarnya pun niatnya untuk memberdayakan orang lain- mengembangkan ortodoksi dan
mekanisme untuk memaksakannya dan beliau menyarankan gagasan dalam bukunya ‘sebagai
alat… untuk menghancurkan sistem kekuasaan, termasuk kekuasaan yang darinya bukunya
tersebut terbit’ (Foucault, 1975).
Angel Perez Gomez, dalam bab 10 menyarikan studi kasus praktek mengajar (practicum)
delapan calon guru di delapan universitas di Andalusia (Spanyol). Tiap studi kasus
berlangsung selama empat bulan. Beberapa faktor yang sangat berpengaruh dan persisten
adalah (a) tekanan kultur sekolah dan kelas yang harus diikuti jika ingin berhasil, (b)
ketidaknyamanan personal dalam menguasai situasi kompleks dan asing serta ketakutan tidak
dihargai sebagai guru, (c) teori yang dipelajari ditemukan tidak berguna untuk dipraktekkan
di lapangan, (d) kekurangan acuan dan laternatif teoritis/praktis untuk men’judge’ semua
yang diamati dan dialami dan (e) tidak berfungsinya supervisor sebagai penyeimbang kultur
sekolah dan kelas.
Susan Groundwater Smith dan Rob Walker dalam bab 11 menyajikan studi dan catatan kasus
sekolah dasar Hathaway (SDH) yang terletak di daerah migran di Sidney. Organisasi kelas
SDH didesain ‘terbuka’: tiap hari berurusan dengan kebijakan dari atas dan dengan
perubahan sosial di lingkungan sekitarnya. Studi SDH diinisiasi satu dekade lalu oleh Susan
Groundwater Smith dengan tujuan untuk memperoleh catatan kasus untuk digunakan dalam
program pendidikan guru. Di dunia pendidikan, studi kasus dikembangkan sejalan dengan
proyek untuk mengimplementasikan perubahan kurikulum dan organisasi. Studi kasus
merupakan tilikan sentral saat ini dalam kaji tindak, evaluasi, pengembangan kurikulum dan
studi kebijakan. Dari sudut pandang metodologi, studi kasus sering dianggap istilah
pantechnicon yang setara dengan riset kualitatif dan secara longgar dikaitkan dengan istilah-
istilah evuvurncaluasi ilmunatif dan responsif, riset partisipan, etnografi pendidikan, riset
naturalistik, dst. Studi SDH menyatakan perlunya bertanya secara eksplisit mengapa masalah
tertentu saja yang dikaji dan mengapa masalah yang lainnya tidak dikaji. Hal lain yang juga
dikaji SDH adalah perlunya guru dapat mengembangkan kaleidoskop permasalahan: fakta-
fakta dapat disusun berulang-ulang untuk sampai pada kesimpulan yang berbeda-beda. Hal
lainnya lagi adalah terdapat dua makna author; (a) membuat deskripsi koheren bagi diri
sendiri dan (b) membuat deskripsi ‘ko-author’ dengan periset. Tahun 1970an Lawrence
Stenhouse mendesain penelitian membandingkan interview (‘sejarah oral’) yang datanya
dicari oleh Lawrence Stenhouse dan Jean Rudduck dengan observasi (‘etnografik’) yang
datanya dicari oleh Stephen Ball dan Rob Walker. Dengan mengacu ke Alfred Schutz,
Stephen selalu menyatakan bahwa interview sebagai suatu konstruksi sosial yang tidak dapat
diperlakukan sebagai data yang lepas konteks (decontextualized data); persoalan serupa juga
diamati Stephen dan Walker dalam memisahkan etnografer dari etnogarfi yang dibuatnya. Isu
tersebut diberi tekanan oleh Stenhouse untuk membuat archives data yang padanya
komunitas peneliti dapat menyumbang dan menggunakannya sebagai sumber analisis.
Christine O’Hanlon dalam bab 12 mencatat bahwa sejak tahun 1970an Eropa dan Amerika
turun pertumbuhan ekonomi, pengaruh politik global dan legitimasi kulturalnya. Hal tersebut
menyebabkan munculnya diskursus-diskursus reflektif dan kritikal: teori kritikal,
fenomenologi, etno-metodologi, Marxisme, eksistensialisme dan pasca-modernisme. Tema-
tema tersebut dalam fokus akademis dipadukan dengan perspektif konstruksionisme sosial,
dekonstruksionisme dan pasca-modernisme. Dalam perspektif pasca-modern masyarakat
dipandang sebagai text serta teks ilmiah dan akademik sendiri dipandang sebagai tindakan
retorik yang tidak mempunyai legitimasi logis atau empiris (inheren) ….(tapi adalah)
representasi ideologi, kelompok dan kepentingan berbeda-beda. Dalam dunia pendidikan,
tekanan critique ideologi dan pasca-empiris tersebut mempertanyakan pendidikan guru
tradisional yang menekankan kemampuan akademis dan intelektual, sementara pengetahuan
dan pengalaman praktis dianggap sebagai insidental dan bahkan ditiadakan karena dianggap
subjektif atau anekdotal jika digunakan sebagai bukti dalam karya tulis dan disertasi. Praktek
tradisional menuntut praktisi patuh pada suatu ‘otoritas’ yang dibangun dari pengalaman
praktis. Hanya dengan cara demikian guru memperoleh pengetahuan praktis dan standards of
excellence yang dengannya kompetensi praktisnya dapat dievaluasi. Sekarang ini, debat
tentang pedagogi … mengabaikan bentuk keseluruhan ‘kurikulum’ dalam semua level dan
gagal untuk menempatkannya dalam faktor sosio-kultural kompleks yang lebih luas yang
berkaitan dengan concern ekonomi, politik dan strategis dalam masyarakat Barat…
Sayangnya, kurikulum nasional tidak mengijinkan prinsip atau bahan ajar yang disusunnya
untuk didebat, hanya detil-detilnya yang dapat dikaji ulang…[Padahal hal yang diperlukan
adalah misalnya] pengembangan profesional guru menjadi pendidikan guru ketika teori
kritikal tentang situasi pengajaran memberi kesempatan pada guru untuk menjelaskan dan
memahami bagaimana pembelajaran dikontrol faktor-faktor di luar kelas dalam konteks
masyarakat dan politik. Profesional dalam bidang pendidikan perlu mengenali bahwa
pengetahuan pedagogi dan kurikulum selalu problematik dan dengan demikian selalu terbuka
untuk dikaji, dinilai dan direvisi secara seksama.
Diambil dari:
Dodi Sukmayadi..2004. Cakrawala Inovasi Pendidikan: Upaya Mencari Model Inovasi
(Book Report . Altrichter, Herbert dan Elliott, John (2000), Ed., The Images of Educational
Change, Open University Press, Buckingham). Bandung Program Pasca Sarjana- Universitas
Pendidikan Indonesia.
10 Cara Meningkatkan Inovasi
Posted on 10 Desember 2008 by AKHMAD SUDRAJAT
Untuk menghadapi dinamika perubahan dan kompetisi yang sangat tajam dan ketat dan demi
keberangsungan hidup organisasi itu sendiri, maka setiap orang dalam organisasi dituntut
untuk dapat berfikir dan bertindak secara inovatif. Paul Sloane dalam sebuah tulisannya
mengetengahkan 10 cara untuk meningkatkan inovasi dalam suatu organisasi, yakni:
Jangan berharap suatu tim akan menjadi inovatif apabila mereka tidak mengetahui tujuan
yang hendak dicapai ke depan. Inovasi harus memiliki tujuan dan seorang pemimpin harus
mampu menyatakan dan mendefinisikan tujuan secara jelas sehingga setiap orang dapat
memahami dan mengingatnya. Para pemimpin besar banyak meluangkan waktu untuk
menggambarkan dan menjelaskan visi, tujuan dan tantangan masa depan kepada setiap
orang . Mereka berusaha meyakinkan setiap orang akan peran pentingnya dalam upaya
mencapai visi dan tujuan, serta dalam menghadapi berbagai tantangan. Mereka mengilhami
kepada setiap orang untuk menjadi enterpreneur yang bersemangat dan menemukan cara-cara
yang inovatif untuk memperoleh kesuksesan.
Seorang pemodal yang berani mengambil resiko akan menggunakan pendekatan portofolio,
berusaha mencari keseimbangan antara kegagalan dengan kesuksesan. Mereka senang
mempertimbangkan berbagai usulan atau gagasan tetapi tetap merasa nyaman dengan
berbagai pemikiran yang menggambarkan tentang kegagalan-kegagalan yang mungkin akan
diterima.
Anda harus memfokus pada rencana usulan yang benar-benar hebat, setiap rencana mudah
dilaksanakan, sumber tersedia dengan baik, responsif dan terbuka untuk semuanya. Berikan
penghargaan dan respons yang wajar kepada karyawan serta para senior harus memliki
komitmen agar karyawan tetap dapat menjaga kesegarannya dalam melaksanakan setiap
pekerjaan.
5. Mematahkan Aturan
Untuk mencapai inovasi yang radikal, Anda harus memiliki keberanian manantang berbagai
asumsi aturan yang ada di sekitar lingkungan. Bisnis bukan seperti permainan olah raga yang
selalu terikat dengan aturan dan keputusan wasit, tetapi bisnis tak ubahnya seperti seni, yang
di dalamnya memiliki banyak kesempatan untuk berfikir secara lateral, sehingga mampu
menciptakan cara-cara baru tentang aneka benda dan jasa yang diinginkan para pelanggan.
Berikan setiap orang dua pekerjaan pokok. Mintalah kepada mereka untuk melaksanakan
pekerjaan sehari-hari mereka secara efektif dan pada saat yang bersamaan kepada mereka
diminta pula untuk menemukan cara-cara baru dalam melaksanakan pekerjaannya. Doronglah
mereka untuk bertanya pada diri sendiri tentang apa sebenarnya tujuan esensial dari peran
saya? Hasil dan nilai riil apa yang bisa saya berikan kepada klien saya, baik internal maupun
eksternal? Apakah ada cara yang lebih baik untuk memberikan dan mencapai nilai atau
tujuan tersebut? Dan jawabannya selalu mengatakan “YA”. Tetapi, kebanyakan orang tidak
pernah atau jarang menanyakan hal-hal seperti itu.
7. Kolaborasi
Beberapa eksekutif perusahaan memandang kolaborasi sebagai kunci sukses dalam inovasi.
Mereka menyadari bahwa tidak semua dapat dilakukan hanya dengan mengandalkan pada
sumber-sumber internal. Oleh karena itu, mereka melihat dunia luar dan mengajak organisasi
lain sebagai mitra, sehingga bisa saling bertukar pengalaman dan keterampilan dalam team.
8. Menerima kegagalan
9. Membangun prototipe
Anda harus berani mencobakan suatu ide baru yang biaya dan resikonya relatif rendah ke
dalam pasar (dunia nyata), kemudian lihat apa reaksi dari pelanggan dan orang-orang. Di
sana sesungguhnya Anda akan lebih banyak belajar tentang dunia nyata, dibandingkan jika
Anda hanya melakukan uji coba dalam laboratorium atau terfokus pada sekelompok orang
saja.
10. Bersemangat
Anda harus fokus terhadap segala sesuatu yang ingin dirubah. Siap dan senantiasa bergairah
dan bersemangat dalam menghadapi dan menanggulangi berbagai tantangan. Energi dan
semangat yang Anda miliki akan menular dan mengilhami setiap orang. Tak ada gunanya jika
Anda mengisi bus dengan penumpang yang selalu merasa asyik dengan dirinya sendiri. Anda
membutuhkan dan menghendaki orang-orang dan para pendukung Anda dengan semangat
yang berkobar-kobar. Anda mengharapkan setiap orang dapat meyakini bahwa upaya
mencapai tujuan merupakan sesuatu yang amat penting dan bermanfaat.
Jika Anda menghendaki setiap orang dapat terinpirasi untuk menjadi inovatif, merubah cara-
cara yang biasa mereka lakukan, dan untuk mencapai hasil yang luar biasa, maka Anda
mutlak harus memiliki semangat yang menyala-nyala tentang apa yang Anda yakini dan
Anda harus dapat mengkomunikasikannya setiap saat ketika Anda berbicara dengan orang.
*)) terjemahan bebas dari tulisan Paul Sloane, pengarang The Innovative Leader, yang
berjudul “Ten Ways to Boost Innovation” dipublikasikan oleh Kogan Page.
www.director.co.uk
Pengembangan Budaya Sekolah
Posted on 4 Maret 2010 by AKHMAD SUDRAJAT
Budaya sekolah adalah nilai-nilai dominan yang didukung oleh sekolah atau falsafah yang
menuntun kebijakan sekolah terhadap semua unsur dan komponen sekolah termasuk
stakeholders pendidikan, seperti cara melaksanakan pekerjaan di sekolah serta asumsi atau
kepercayaan dasar yang dianut oleh personil sekolah. Budaya sekolah merujuk pada suatu
sistem nilai, kepercayaan dan norma-norma yang diterima secara bersama, serta dilaksanakan
dengan penuh kesadaran sebagai perilaku alami, yang dibentuk oleh lingkungan yang
menciptakan pemahaman yang sama diantara seluruh unsur dan personil sekolah baik itu
kepala sekolah, guru, staf, siswa dan jika perlu membentuk opini masyarakat yang sama
dengan sekolah.
Beberapa manfaat yang bisa diambil dari upaya pengembangan budaya sekolah, diantaranya :
(1) menjamin kualitas kerja yang lebih baik; (2) membuka seluruh jaringan komunikasi dari
segala jenis dan level baik komunikasi vertikal maupun horisontal; (3) lebih terbuka dan
transparan; (4) menciptakan kebersamaan dan rasa saling memiliki yang tinggi; (4)
meningkatkan solidaritas dan rasa kekeluargaan; (5) jika menemukan kesalahan akan segera
dapat diperbaiki; dan (6) dapat beradaptasi dengan baik terhadap perkembangan IPTEK.
Selain beberapa manfaat di atas, manfaat lain bagi individu (pribadi) dan kelompok adalah :
(1) meningkatkan kepuasan kerja; (2) pergaulan lebih akrab; (3) disiplin meningkat; (4)
pengawasan fungsional bisa lebih ringan; (5) muncul keinginan untuk selalu ingin berbuat
proaktif; (6) belajar dan berprestasi terus serta; dan (7) selalu ingin memberikan yang terbaik
bagi sekolah, keluarga, orang lain dan diri sendiri.
Upaya pengembangan budaya sekolah seyogyanya mengacu kepada beberapa prinsip berikut
ini.
1. Berfokus pada Visi, Misi dan Tujuan Sekolah. Pengembangan budaya sekolah
harus senantiasa sejalan dengan visi, misi dan tujuan sekolah. Fungsi visi, misi, dan
tujuan sekolah adalah mengarahkan pengembangan budaya sekolah. Visi tentang
keunggulan mutu misalnya, harus disertai dengan program-program yang nyata
mengenai penciptaan budaya sekolah.
2. Penciptaan Komunikasi Formal dan Informal. Komunikasi merupakan dasar bagi
koordinasi dalam sekolah, termasuk dalam menyampaikan pesan-pesan pentingnya
budaya sekolah. Komunikasi informal sama pentingnya dengan komunikasi formal.
Dengan demikian kedua jalur komunikasi tersebut perlu digunakan dalam
menyampaikan pesan secara efektif dan efisien.
3. Inovatif dan Bersedia Mengambil Resiko. Salah satu dimensi budaya organisasi
adalah inovasi dan kesediaan mengambil resiko. Setiap perubahan budaya sekolah
menyebabkan adanya resiko yang harus diterima khususnya bagi para pembaharu.
Ketakutan akan resiko menyebabkan kurang beraninya seorang pemimpin mengambil
sikap dan keputusan dalam waktu cepat.
4. Memiliki Strategi yang Jelas. Pengembangan budaya sekolah perlu ditopang oleh
strategi dan program. Startegi mencakup cara-cara yang ditempuh sedangkan program
menyangkut kegiatan operasional yang perlu dilakukan. Strategi dan program
merupakan dua hal yang selalu berkaitan.
5. Berorientasi Kinerja. Pengembangan budaya sekolah perlu diarahkan pada sasaran
yang sedapat mungkin dapat diukur. Sasaran yang dapat diukur akan mempermudah
pengukuran capaian kinerja dari suatu sekolah.
6. Sistem Evaluasi yang Jelas. Untuk mengetahui kinerja pengembangan budaya
sekolah perlu dilakukan evaluasi secara rutin dan bertahap: jangka pendek, sedang,
dan jangka panjang. Karena itu perlu dikembangkan sistem evaluasi terutama dalam
hal: kapan evaluasi dilakukan, siapa yang melakukan dan mekanisme tindak lanjut
yang harus dilakukan.
7. Memiliki Komitmen yang Kuat. Komitmen dari pimpinan dan warga sekolah sangat
menentukan implementasi program-program pengembangan budaya sekolah. Banyak
bukti menunjukkan bahwa komitmen yang lemah terutama dari pimpinan
menyebabkan program-program tidak terlaksana dengan baik.
8. Keputusan Berdasarkan Konsensus. Ciri budaya organisasi yang positif adalah
pengembilan keputusan partisipatif yang berujung pada pengambilan keputusan
secara konsensus. Meskipun hal itu tergantung pada situasi keputusan, namun pada
umumnya konsensus dapat meningkatkan komitmen anggota organisasi dalam
melaksanakan keputusan tersebut.
9. Sistem Imbalan yang Jelas. Pengembangan budaya sekolah hendaknya disertai
dengan sistem imbalan meskipun tidak selalu dalam bentuk barang atau uang. Bentuk
lainnya adalah penghargaan atau kredit poin terutama bagi siswa yang menunjukkan
perilaku positif yang sejalan dengan pengembangan budaya sekolah.
10. Evaluasi Diri. Evaluasi diri merupakan salah satu alat untuk mengetahui masalah-
masalah yang dihadapi di sekolah. Evaluasi dapat dilakukan dengan menggunakan
pendekatan curah pendapat atau menggunakan skala penilaian diri. Kepala sekolah
dapat mengembangkan metode penilaian diri yang berguna bagi pengembangan
budaya sekolah. Halaman berikut ini dikemukakan satu contoh untuk mengukur
budaya sekolah.
Selain mengacu kepada sejumlah prinsip di atas, upaya pengembangan budaya sekolah juga
seyogyanya berpegang pada asas-asas berikut ini:
1. Kerjasama tim (team work). Pada dasarnya sebuah komunitas sekolah merupakan
sebuah tim/kumpulan individu yang bekerja sama untuk mencapai tujuan. Untuk itu,
nilai kerja sama merupakan suatu keharusan dan kerjasama merupakan aktivitas yang
bertujuan untuk membangun kekuatan-kekuatan atau sumber daya yang dimilki oleh
personil sekolah.
2. Kemampuan. Menunjuk pada kemampuan untuk mengerjakan tugas dan tanggung
jawab pada tingkat kelas atau sekolah. Dalam lingkungan pembelajaran, kemampuan
profesional guru bukan hanya ditunjukkan dalam bidang akademik tetapi juga dalam
bersikap dan bertindak yang mencerminkan pribadi pendidik.
3. Keinginan. Keinginan di sini merujuk pada kemauan atau kerelaan untuk melakukan
tugas dan tanggung jawab untuk memberikan kepuasan terhadap siswa dan
masyarakat. Semua nilai di atas tidak berarti apa-apa jika tidak diiringi dengan
keinginan. Keinginan juga harus diarahkan pada usaha untuk memperbaiki dan
meningkatkan kemampuan dan kompetensi diri dalam melaksanakan tugas dan
tanggung jawab sebagai budaya yang muncul dalam diri pribadi baik sebagai kepala
sekolah, guru, dan staf dalam memberikan pelayanan kepada siswa dan masyarakat.
4. Kegembiraan (happiness). Nilai kegembiraan ini harus dimiliki oleh seluruh personil
sekolah dengan harapan kegembiraan yang kita miliki akan berimplikasi pada
lingkungan dan iklim sekolah yang ramah dan menumbuhkan perasaan puas, nyaman,
bahagia dan bangga sebagai bagian dari personil sekolah. Jika perlu dibuat wilayah-
wilayah yang dapat membuat suasana dan memberi nuansa yang indah, nyaman, asri
dan menyenangkan, seperti taman sekolah ditata dengan baik dan dibuat wilayah
bebas masalah atau wilayah harus senyum dan sebagainya.
5. Hormat (respect). Rasa hormat merupakan nilai yang memperlihatkan penghargaan
kepada siapa saja baik dalam lingkungan sekolah maupun dengan stakeholders
pendidikan lainnya. Keluhan-keluhan yang terjadi karena perasaan tidak dihargai atau
tidak diperlakukan dengan wajar akan menjadikan sekolah kurang dipercaya. Sikap
respek dapat diungkapkan dengan cara memberi senyuman dan sapaan kepada siapa
saja yang kita temui, bisa juga dengan memberikan hadiah yang menarik sebagai
ungkapan rasa hormat dan penghargaan kita atas hasil kerja yang dilakukan dengan
baik. Atau mengundang secara khusus dan menyampaikan selamat atas prestasi yang
diperoleh dan sebagaianya.
6. Jujur (honesty). Nilai kejujuran merupakan nilai yang paling mendasar dalam
lingkungan sekolah, baik kejujuran pada diri sendiri maupun kejujuran kepada orang
lain. Nilai kejujuran tidak terbatas pada kebenaran dalam melakukan pekerjaan atau
tugas tetapi mencakup cara terbaik dalam membentuk pribadi yang obyektif. Tanpa
kejujuran, kepercayaan tidak akan diperoleh. Oleh karena itu budaya jujur dalam
setiap situasi dimanapun kita berada harus senantiasa dipertahankan. Jujur dalam
memberikan penilaian, jujur dalam mengelola keuangan, jujur dalam penggunaan
waktu serta konsisten pada tugas dan tanggung jawab merupakan pribadi yang kuat
dalam menciptakan budaya sekolah yang baik.
7. Disiplin (discipline). Disiplin merupakan suatu bentuk ketaatan pada peraturan dan
sanksi yang berlaku dalam lingkungan sekolah. Disiplin yang dimaksudkan dalam
asas ini adalah sikap dan perilaku disiplin yang muncul karena kesadaran dan kerelaan
kita untuk hidup teratur dan rapi serta mampu menempatkan sesuatu sesuai pada
kondisi yang seharusnya. Jadi disiplin disini bukanlah sesuatu yang harus dan tidak
harus dilakukan karena peraturan yang menuntut kita untuk taat pada aturan yang ada.
Aturan atau tata tertib yang dipajang dimana-mana bahkan merupakan atribut, tidak
akan menjamin untuk dipatuhi apabila tidak didukung dengan suasana atau iklim
lingkungan sekolah yang disiplin. Disiplin tidak hanya berlaku pada orang tertentu
saja di sekolah tetapi untuk semua personil sekolah tidak kecuali kepala sekolah, guru
dan staf.
8. Empati (empathy). Empati adalah kemampuan menempatkan diri atau dapat
merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain namun tidak ikut larut dalam perasaan
itu. Sikap ini perlu dimiliki oleh seluruh personil sekolah agar dalam berinteraksi
dengan siapa saja dan dimana saja mereka dapat memahami penyebab dari masalah
yang mungkin dihadapai oleh orang lain dan mampu menempatkan diri sesuai dengan
harapan orang tersebut. Dengan sifat empati warga sekolah dapat menumbuhkan
budaya sekolah yang lebih baik karena dilandasi oleh perasaan yang saling
memahami.
9. Pengetahuan dan Kesopanan. Pengetahuan dan kesopanan para personil sekolah
yang disertai dengan kemampuan untuk memperoleh kepercayaan dari siapa saja akan
memberikan kesan yang meyakinkan bagi orang lain. Dimensi ini menuntut para
guru, staf dan kepala sekolah tarmpil, profesional dan terlatih dalam memainkan
perannya memenuhi tuntutan dan kebutuhan siswa, orang tua dan masyarakat.
=================
Sumber adaptasi dari: Direktorat Tenaga Kependidikan Direktorat Jenderal Peningkatan
Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Departemen Pendidikan Nasional.2007.
Pengembangan Budaya dan Iklim Pembelajaran di Sekolah (materi diklat pembinaan
kompetensi calon kepala sekolah/kepala sekolah). Jakarta.
Konsep Disiplin Kerja
Posted on 5 November 2008 by AKHMAD SUDRAJAT
Dalam kaitannya dengan disiplin kerja, Siswanto (1989) mengemukakan disiplin kerja
sebagai suatu sikap menghormati, menghargai patuh dan taat terhadap peraturan-peraturan
yang berlaku baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis serta sanggup menjalankannya dan
tidak mengelak menerima sanksi-sanksi apabila ia melanggar tugas dan wewenang yang
diberikan kepadanya. Sementara itu, Jerry Wyckoff dan Barbara C. Unel, (1990)
mendefinisikan disiplin sebagai suatu proses bekerja yang mengarah kepada ketertiban dan
pengendalian diri.
Dari beberapa pengertian yang diungkapkan di atas tampak bahwa disiplin pada dasarnya
merupakan tindakan manajemen untuk mendorong agar para anggota organisasi dapat
memenuhi berbagai ketentuan dan peraturan yang berlaku dalam suatu organisasi, yang di
dalamnya mencakup: (1) adanya tata tertib atau ketentuan-ketentuan; (2) adanya kepatuhan
para pengikut; dan (3) adanya sanksi bagi pelanggar
Pada bagian lain, Jerry Wyckoff dan Barbara C. Unel, (1990) menyebutkan bahwa disiplin
kerja adalah kesadaran, kemauan dan kesediaan kerja orang lain agar dapat taat dan tunduk
terhadap semua peraturan dan norma yang berlaku, kesadaaran kerja adalah sikap sukarela
dan merupakan panggilan akan tugas dan tanggung jawab bagi seorang karyawan. Karyawan
akan mematuhi atau mengerjakan semua tugasnya dengan baik dan bukan mematuhi
tugasnya itu dengan paksaan. Kesediaan kerja adalah suatu sikap perilaku dan perbuatan
seseorang yang sesuai dengan tugas pokok sebagai seorang karyawan. Karyawan harus
memiliki prinsip dan memaksimalkan potensi kerja, agar karyawan lain mengikutinya
sehingga dapat menanamkan jiwa disiplin dalam bekerja.
Menurut Wayne Mondy dan Robert M. Noe (1990) disiplin adalah status pengendalian diri
seseorang karyawan, sebagai tanda ketertiban dan kerapian dalam melakukan kerjasama dari
sekelompok unit kerja di dalam suatu organisasi (someone status selfcontrol as orderliness
sign order and accuration in doing cooperation from a group of unit work in a organization)
Jackclass (1991) membedakan disiplin dalan dua kategori, yaitu self dicipline dan social
dicipline. Self dicipline merupakan disiplin pribadi karyawan yang tercermin dari pribadinya
dalam melakukan tugas kerja rutin yang harus dilaksanakan, sedangkan social dicipline
adalah pelaksanaan disiplin dalam organisasi secara keseluruhan.
Menurut Daniel M. Colyer. 1991), disiplin pada umumnya termasuk dalam aspek
pengawasan yang sifatnya lebih keras dan tegas (hard and coherent). Dikatakan keras karena
ada sanksi dan dikatakan tegas karena adanya tindakan sanksi yang harus dieksekusi bila
terjadi pelanggaran.
Terdapat dua jenis disiplin dalam organisasi, yaitu : (1) disiplin preventif dan (2) disiplin
korektif (Sondang P. Siagaan, 1996). Disiplin preventif adalah tindakan yang mendorong para
karyawan untuk taat kepada berbagai ketentuan yang berlaku dan memenuhi standar yang
telah ditetapkan. Artinya melalui kejelasan dan penjelasan tentang pola sikap, tindakan dan
prilaku yang diinginkan dari setiap anggota organisasi, untuk mencegah jangan sampai para
karyawan berperilaku negatif. Keberhasilan penerapan pendisiplinan karyawan (disiplin
preventif) terletak pada disiplin pribadi para anggota organisasi. Dalam hal ini terdapat tiga
hal yang perlu mendapat perhatian manajemen di dalam penerapan disiplin pribadi, yaitu :
Triguno (2000) menyebutkan bahwa tujuan pokok dari pendisiplinan preventif adalah untuk
mendorong karyawan agar memiliki disiplin pribadi yang tinggi, agar peran kepemimpinan
tidak terlalu berat dengan pengawasan, yang dapat mematikan prakarsa, kreativitas serta
partisipasi sumber daya manusia.
1. Para anggota organisasi perlu didorong, agar mempunyai rasa memiliki organisasi,
karena secara logika seseorang tidak akan merusak sesuatu yang menjadi miliknya.
2. Para karyawan perlu diberi penjelasan tentang berbagai ketentuan yang wajib ditaati
dan standar yang harus dipenuhi. Penjelasan dimaksudkan seyogyanya disertai oleh
informasi yang lengkap mengenai latar belakang berbagai ketentuan yang bersifat
normatif.
3. Para karyawan didorong, menentukan sendiri cara-cara pendisiplinan diri dalam
rangka ketentuan-ketentuan yang berlaku umum bagi seluruh anggota organisasi.
Disiplin korektif adalah upaya penerapan disiplin kepada karyawan yang nyata-nyata telah
melakukan pelanggaran atas ketentuan-ketentuan yang berlaku atau gagal memenuhi standar
yang telah ditetapkan dan kepadanya dikenakan sanksi secara bertahap. Horald D. Garret.
(1994) menyebutkan bahwa bila dalam instruksinya seorang karyawan dari unit kelompok
kerja memiliki tugas yang sudah jelas dan sudah mendengarkan masalah yang perlu
dilakukan dalam tugasnya, serta pimpinan sudah mencoba untuk membantu melakukan
tugasnya secara baik, dan pimpinan memberikan kebijaksanaan kritikan dalam menjalankan
tugasnya, namun seseorang karyawan tersebut masih tetap gagal untuk mencapai standar
kriteria tata tertib, maka sekalipun agak enggan, maka perlu untuk memaksa dengan
menggunakan tindakan korektif, sesuai aturan disiplin yang berlaku.
Tindakan sanksi korektif seyogyanya dilakukan secara bertahap, mulai dari yang paling
ringan hingga yang paling berat. Sayles dan Strauss menyebutkan empat tahap pemberian
sanksi korektif, yaitu: (1) peringatan lisan (oral warning), (2) peringatan tulisan (written
warning), (3) disiplin pemberhentian sementara (discipline layoff), dan (4) pemecatan
(discharge).
Di samping itu, dalam pemberian sanksi korektif seyogyanya memperhatikan tiga hal berikut:
(1) karyawan yang diberikan sanksi harus diberitahu pelanggaran atau kesalahan apa yang
telah diperbuatnya; (2) kepada yang bersangkutan diberi kesempatan membela diri dan (3)
dalam hal pengenaan sanksi terberat, yaitu pemberhentian, perlu dilakukan “wawancara
keluar” (exit interview) pada waktu mana dijelaskan antara lain, mengapa manajemen
terpaksa mengambil tindakan sekeras itu.
Burack (1993) mengingatkan bahwa pemberian sanksi korektif yang efektif terpusat pada
sikap atau perilaku seseorang dalam unit kelompok kerja yang melakukan kesalahan dalam
melakukan kegiatan kerja dan bukan karena kepribadiannya.
Untuk itu, dalam penerapan sanksi korektif hendaknya hati-hati jangan sampai merusak
seseorang maupun suasana organisasi secara keseluruhan. Dalam pemberian sanksi korektif
harus mengikuti prosedur yang benar sehingga tidak berdampak negatif terhadap moral kerja
anggota kelompok. Ada beberapa pengaruh negatif bilamana tindakan sanksi korektif
dilakukan secara tidak benar, yaitu: (1) disiplin manajerial, (2) disiplin tim, (3) disiplin diri.
(Robert F. Hopkins, 1996). Pengaruh negatif atas penerapan tindakan sanksi korektif yang
tidak benar akan berpengaruh terhadap kewibawaan manajerial yang akan jadi menurun,
demikian juga dalam tindakan sanksi korektif dalam tim yang tidak benar dapat berakibat
terhadap kurangnya partisipasi karyawan terhadap organisasi, dimana kerja tim akan menjadi
tidak bersemangat dalam melaksanakan tugas kerja samanya, dan menjadi tercerai berai
karena kesalahan tindakan disiplin tim.
13 Ciri-Ciri Sekolah Bermutu
Posted on 8 Oktober 2008 by AKHMAD SUDRAJAT
Merujuk pada pemikiran Edward Sallis, Sudarwan Danim (2006) mengidentifikasi 13 ciri-ciri
sekolah bermutu, yaitu:
Sudarwan Danim. 2006. Visi Baru Manajemen Sekolah: Dari Unit Birokrasi ke Lembaga
Akademik. Jakarta: Bumi Aksara
Mutu Pendidikan
Kita Rendah, yang salah siapa….?
Posted on 5 September 2008 by AKHMAD SUDRAJAT
Pengantar
Tidak terasa dalam bulan ini Republik-ku telah berulangtahun yang ke 63. sebuah
perjalanan panjang bangsa ini, menapaki hari hari yang penuh harapan. Membangun kejayaan
bangsa yang makin lama makin redup seiring perubahan yang terjadi. Kita hidup dalam dunia yang
penuh perubahan. Jika kita kita mampu mengelola perubahan itu menjadi sesuatu yang
menguntungkan bagi kita maka dengan sendirinya kita akan tergilas didalam perubahan itu.
Perubahan terjadi dimana mana, termasuk dalam dunia pendidikan kita.
Dewasa ini Sumber Daya Manusia dituntut mampu berkompetisi dalam dalam dunia global.
Membangun sumber daya manusia berkualitas tentu merupakan suatu tantangan tersendiri.
Akhir-akhir ini bangsa Indonesia diperhadapkan dengan sangat terpuruk nya mutu
pendidikan, walaupun tidak dapat kita pungkiri dilain sisi terdapat beberapa anak bangsa
berhasil mencetak prestasi yang membanggakan bagi kita semua. Tentunya kita tidak dapat
berpuas diri dengan hanya mengandalkan beberapa orang saja dari sekian ratus juta jiwa anak
bangsa yang hidup di republik ini dalam mencetak berbagai prestasi berkaliber dunia.
Di Nusa Tenggara Timur mutu pendidikan kita sangat rendah. Hal ini ditunjukkan dengan
hasil ujian nasional yang sangat terpuruk dan merosot. Masing-masing orang mulai mencari
kambing hitam. Berbagai kesalahan ditimpakan kepada Guru yang tidak cakap mengajar,
Siswa yang kurang belajar, Orang tua yang tidak bisa mendidik, lembaga pendidikan yang
tidak mampu mengelola sebuah konsep pendidikan yang bermutu, bahkan pemerintah yang
dinilai kurang cermat dalam menyusun kurikulum.
Mutu Pendidikan
Kesadaran akan pentingnya mutu pendidikan sungguh merupakan tantangan yang tidak
ringan. Jikalau kita baru berpikir bahwa kita harus berubah, sesungguhnya kita sudah
terlambat untuk itu. Oleh karenanya permasalahan ini harus segera diatasi. Mutu pendidikan
yang terpuruk di negeri ini harus kita tekan. Setiap lembaga pendidikan yang ada di republik
ini memiliki tanggung jawab besar terhadap mutu pendidikan yang dimulai dari proses
pendidikan itu sendiri dan berakhir pada hasil pendidikan yang dicapai.
Berbicara mengenai mutu pendidikan sebenarnya kita membicarakan tentang dua sisi yang
sangat penting yaitu proses dan hasil. Mutu dalam “proses pendidikan” melibatkan berbagai
input, seperti; bahan ajar (kognitif, afektif, atau psikomotorik), metodologi (bervariasi sesuai
kemampuan guru) sarana prasarana lembaga pendidikan, dukungan administrasi, berbagai
sumber daya dan upaya penciptaan suasana yang fair dan nyaman untuk belajar. Mutu dalam
konteks “hasil pendidikan” mengacu pada prestasi yang dicapai oleh lembaga pendidikan
pada setiap kurun waktu tertentu (apakah tiap akhir semester/cawu, akhir tahun, 3 tahun,
bahkan 10 tahun). Prestasi yang dicapai atau hasil pendidikan (student achievement) dapat
berupa hasil test kemampuan akademis (misalnya ulangan umum dan ujian nasional). Dapat
pula berupa prestasi di bidang lain seperti cabang olah raga, seni atau keterampilan tambahan
tertentu misalnya: komputer, beragam jenis teknik, jasa. Bahkan prestasi lembaga pendidikan
dapat berupa kondisi yang tidak dapat dipegang (intangible) seperti suasana disiplin,
keramahtamahan, keakraban, saling menghormati, kebersihan, toleransi, dsb. Antara proses
dan hasil pendidikan yang bermutu saling berhubungan satu sama lainnya, akan tetapi agar
proses pendidikan dapat bermutu dan tepat sasaran, maka mutu dalam artian hasil (ouput)
harus dirumuskan lebih dahulu oleh Lembaga Pendidikan. Lembaga Pendidikan wajib
menetapkan target yang jelas untuk dicapai setiap tahun atau kurun waktu tertentu. Berbagai
input dan proses harus selalu mengacu pada mutu-hasil (output) yang ingin dicapai. Dengan
kata lain tanggung jawab lembaga pendidikan dalam memperbaiki mutu pendidikan bukan
hanya pada proses pendidikan saja, melainkan lebih dari pada itu adalah pada hasil yang
dicapai.
Untuk mengetahui hasil/prestasi yang dicapai oleh lembaga pendidikan ‘ terutama yang
menyangkut aspek kemampuan akademik atau “kognitif” dapat dilakukan benchmarking
(menggunakan titik acuan standar, misalnya : NEM oleh PKG atau MGMP). Evaluasi
terhadap seluruh hasil pendidikan pada tiap lembaga pendidikan baik yang berdasarkan titik
acuan standar (benchmarking) maupun kegiatan ekstra-kurikuler dilakukan oleh individu
lembaga pendidikan sebagai evaluasi diri dan dimanfaatkan untuk memperbaiki target mutu
dan proses pendidikan tahun berikutnya.
Lembaga pendidikan unggulan itu sesungguhnya dibangun secara bersama-sama oleh seluruh
warga lembaga pendidikan, bukan hanya oleh pemegang otoritas pendidikan atau owner
lembaga pendidikan saja melainkan melibatkan seluruh komponen didalamnnya. Berbagai
komponen dalam lembaga pendidikan yang ikut bertanggung jawab dan terlibat dalam proses
pendidikan antara lain kepala lembaga pendidikan, wakil kepala lembaga pendidikan, guru,
konsultan ahli dan staf lainnya sehingga akan menciptakan iklim lembaga pendidikan yang
mempu membentuk keunggulan lembaga pendidikan. Diperlukan adanya synergy dengan
berbagai pihak antara lain lembaga pendidikan, masyarakat dan pemerintah dengan tanggung
jawabnya masing – masing ini. Pengelola sebuah lembaga pendidikan harus mampu
memahami konsep penting pendidikan yang diluncurkan oleh pemerintah sehingga mampu
menjawab tuntutan publik akan pendidikan bermutu.
Di dalam masyarakat yang komplek seperti sekarang dimana kita hidup dalam dunia yang
penuh dengan perubahan yang telah membawa kepada perubahan tata nilai yang bervariasi
dan harapan yang lebih besar terhadap pendidikan terjadi begitu cepat, maka diyakini bahwa
kita perlu menyesuaikan diri dengan perubahan yang agar kita tidak tergilas didalamnya.
Kondisi ini telah membawa kepada suatu kesadaran bahwa lembaga pendidikan harus
dikelola secara profesional sehingga mampu merespon aspirasi masyarakat secara tepat dan
cepat dalam hal mutu pendidikan. Institusi pendidikan memiliki peranan yang sangat penting
dalam membangun sumber daya manusia dan menjawab harapan bangsa.
Konsep manajemen peningkatan mutu berbasis lembaga pendidikan ini membawa isu
desentralisasi dalam manajemen (pengelolaan) pendidikan dimana birokrasi pusat hanya
berperan sebagai penentu kebijakan makro, prioritas pembangunan, dan standar secara
keseluruhan melalui sistem monitoring dan pengendalian mutu sedangkan tanggung jawab
individu lembaga pendidikan dan masyarakat pendukungnya untuk merancang mutu yang
diinginkan, melaksanakan, dan mengevaluasi hasilnya, dan secara terus menerus
menyempurnakan dirinya sehingga berakhir kepada peningkatan mutu siswa (lulusan).
Di Nusa Tenggara Timur terdapat beberapa lembaga pendidikan unggulan salah satu
diantaranya adalah SMA Kristen Mercusuar. Tentunya banyak pihak yang bertanya dan ingin
mengetahui tentang keunggulan lembaga pendidikan yang berprestasi luar biasa tersebut;
SMA Kristen Mercusuar yang memiliki AKREDITASI A (Terbaik) dari Dinas Pendidikan &
Kebudayaan Propinsi Nusa Tenggara Timur. Lembaga Pendidikan ini berproses dengan
mengacu dan menerapkan sepenuhnya kurikulum nasional serta menambah berbagai disiplin
ilmu pengetahuan dan ketrampilan untuk memperluas wawasan peserta didik agar dapat
berkompetisi secara global. Setiap peserta didik dibekali dengan penguasan IPTEK seperti:
Manajemen informatika dan access internet yang terbuka sehingga dapat diakses kapan saja.
Lembaga ini juga menerapkan Full Day School, pengawasan KBM yang ketat, pengawasan
kemajuan belajar siswa oleh Pusat Informasi dan Pengendalian Mutu SMP-SMA Kristen
Mercusuar secara teratur dan sistematis, & Penerapan Metode Pengajaran Moderen. SMA
Kristen Mercusuar juga merupakan Sekolah Pertama dan Satu-satunya di NTT yang
menerapkan Rombongan belajar per kelas 20 – 25 siswa dengan di dampingi oleh 2 (dua)
orang guru dalam 1 kelas. Memasuki tahun ajaran 2008 / 2009 ini, SMP – SMA Kristen
Mercusuar mulai meluncurkan program E – Learning, sebuah proses pembelajaran yang
berbasis teknologi wifi-hotspot memampukan siswa mengakses bahan belajar secara baik.
Kegiatan kegiatan lainnya yang tidak kalah pentingnya untuk meningkatkan kadar keimanan
seluruh komponen dalam lingkup SMP – SMA KRISTEN MERCUSUAR menerapkan
kegiatan kerohanian secara terpadu dalam lingkungan pendidikan berupa kegiatan ibadah
bersama dan kegiatan pendalaman alkitab. Secara singkat semua upaya (proses) yang
dilaksanakan secara terpadu tersebut sebagai upaya mempersiapkan dan memenuhi
kebutuhan masa depan para peserta didik sehingga dapat bersaing dalam kompetisi global.
Dalam rangka peningkatan mutu pendidikan pada setiap lembaga pendidikan di Indonesia
umumnya dan di Nusa Tenggara Timur khususnya, maka diperlukan partisipasi aktif dan
dinamis dari orang tua, siswa, guru dan staf lainnya termasuk institusi yang memiliki
kepedulian terhadap pendidikan lembaga pendidikan. Beberapa hal yang perlu diperhatikan
dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan antara lain:
Lembaga Pendidikan perlu membentuk sebuah unit kerja yang bertugas melakukan
penyusunan basis data dan profil lembaga pendidikan secara sistimatis yang menyangkut
berbagai aspek akademis, administratif (siswa, guru, staf), dan keuangan. Hal ini
memudahkan bagi guru dan kepala lembaga pendidikan sehingga mereka hanya fokus pada
KBM sedangkan urusan administrasi menjadi tugas dan tanggungjawab daripada Unit
Informasi dan Pengendalian Mutu.
Masalahnya sekarang adalah kebanyakan di berbagai lembaga pendidikan telah ada staf
administrasi namun dalam jumlah yang terbatas sehingga memaksa guru dan kepala lembaga
pendidikan terpaksa turun tangan menangani masalah administrasi dan keuangan. Yang lebih
parah lagi adalah para kepala sekolah terlihat sangat sibuk dengan urusan administrasi dan
keuangan sehingga kurang melakukan supervisi terhadap guru. Unit kerja seperti Pusat
Informasi dan pengendalian Mutu bertugas melakukan evaluasi internal (internal assesment)
dalam sebuah lembaga pendidikan untuk menganalisa sumber daya lembaga pendidikan,
kinerja personil lembaga pendidikan dalam kerangka mengembangkan dan mencapai target
kurikulum. Semua proses ini harus dipantau secara teratur dan berkesinambungan sehingga
akan terasa hasilnya. Informasi yang terangkum dengan sistematis tersebut selanjutnya
diteruskan pihak lembaga pendidikan sehingga dapat memahami secara jelas pada posisi
mana derajat kualitas pendidikan sebuah lembaga pendidikannya berada saat ini. Para
konsultan menyajikan data secara terperinci sehingga para pengambil kebijakan dilingkungan
lembaga pendidikan dapat mengambil keputusan penting yang menyangkut pembangunan
konsep pendidikan dan arah rencana pendidikan kedepan yang akan dicapai.
Lembaga pendidikan perlu memperhatikan secara seksama proses pendidikan sebab ternyata
strategi input-output yang diperkenalkan oleh teori education production function (Hanushek,
1979,1981) tidak berfungsi sepenuhnya di lembaga pendidikan. Sebuah lembaga pendidikan
itu sifatnya dinamis dan berirama alias tidak statis oleh karenanya tidak bisa disamakan
dengan institusi ekonomi dan industri. Selama ini pembangunan pendidikan kita hanya
terfokus pada penyediaan faktor input pendidikan sedangkan faktor proses pendidikan kadang
terabaikan. Input pendidikan merupakan hal yang mutlak harus ada tetapi tidak menjadi
jaminan dapat secara otomatis meningkatkan mutu pendidikan. Lembaga pendidikan sebagai
unit pelaksana pendidikan formal terdepan dengan berbagai keragaman potensi anak didik
yang memerlukan layanan pendidikan yang beragam, kondisi lingkungan yang berbeda satu
dengan lainnya, maka lembaga pendidikan harus dinamis dan kreatif dalam melaksanakan
perannya untuk mengupayakan peningkatan kualitas/mutu pendidikan.
Kebanyakan guru-guru pada setiap lembaga pendidikan mulai dari SD sampai dengan
perguruan tinggi hanya mengejar target untuk menyelesaikan muatan materi pembelajaran
yang sangat padat itu dalam setahun. Upaya mengejar materi pelajaran ini memang sah-sah
saja namun demikian kenyataan yang kita hadapi adalah kebanyakan peserta didik kesulitan
dalam mengerjakan ujian akhir nasional, akibatnya prosentasi kelulusan rendah sehingga
yang oleh banyak pengamat dikatakan sebagai rendahnya mutu pendidikan.
Setiap lembaga pendidikan harus memiliki otonomi dan kewenangan untuk mengevaluasi
sejauhmana kemampuan yang dimiliki peserta didik. Kewenangan tegas untuk tidak
membiarkan (let go) peserta didik yang tidak sanggup mengikuti pelajaran dikelas berikutnya
perlu diterapkan sehingga siswa yang berada pada level berikutnya adalah benar-benar
seorang peserta didik yang sanggup untuk mencerna pengetahuan dan mengakses informasi.
Kegagalan sekolah selama ini adalah menaikkan peserta didik yang sebenarnya harus ‘tahan
kelas’ ke kelas berikutnya. Ini adalah kekeliruan yang dibuat oleh lembaga pendidikan,
padahal sebuah lembaga pendidikan memiliki otoritas untuk menahan peserta didik yang
tidak mampu sehingga memberinya kesempatan belajar dan memperbaiki diri agar kedepan
prestasinya dapat meningkat.
PENUTUP
Setiap lembaga pendidikan akan menjadi lembaga pendidikan unggulan apabila diberi
wewenang untuk mengelola dirinya sendiri dan diberi tanggung jawab penuh. Selama
lembaga pendidikan-lembaga pendidikan hanya dijadikan alat oleh birokrasi di atasnya maka
lembaga pendidikan tidak akan pernah menjadi lembaga pendidikan unggulan.
Proses perbaikan dan peningkatan mutu pendidikan dI Nusa Tenggara Timur saat ini sangat
mendesak dan perlu segera dilakukan dengan synergy harmonis yang muncul dengan tidak
saling mempersalahkan dari lembaga pendidikan, orang tua, dan shareholder serta
stakeholder yang ada demi kejayaan pendidikan di Nusa Tenggara Timur.
BIODATA PENULIS
DATA DIRI
Nama Lengkap : Ricky Ekaputra Foeh.,SPd.,MM
Alamat Rumah : Jalan Salak II/3 Kel. Oepura Kupang – NTT
Telepon / HP : 081239416641
Memperbaiki
Mutu Pendidikan melalui Team Work
Posted on 1 April 2008 by AKHMAD SUDRAJAT
Dengan mengutip pemikiran Cunningham and Gresso, Oswald (1996) mengemukakan dua
faktor esensial dalam suatu team yang dapat semakin memantapkan budaya team (culture
team), yaitu: bonding (ikatan) dan cohesiveness (kesatupaduan). Bonding akan memastikan
bahwa anggota team memiliki komitmen yang kuat, misalnya terhadap waktu, pengetahuan,
keterampilan dan energi untuk mencapai tujuan team. Team yang terikat akan lebih enthusias,
loyal kepada organisasi dan team itu sendiri. Para anggota dapat memulai proses pengikatan
ini pada saat pertemuan (rapat) pertama kali, mereka menentukan tujuan, peran, dan
tanggunggjawab individu dan kelompok. Cohesiveness (kesatupaduan) didefinsiikan oleh
Cunningham dan Gresso sebagai rasa kebersamaan dalam kelompok, yang ditandai oleh
adanya rasa memiliki dan keterkaitan diantara sesama anggota.
Langkah awal untuk membentuk sebuah team yang baik adalah setiap anggota terlebih
dahulu harus memahami tujuan dan misi team secara jelas. Setiap anggota seharusnya
mampu menjawab pertanyaan “ Mengapa saya berada disini”, demikian dikemukakan oleh
Margot Helphand (1994). Berikutnya, menentukan peran dan tanggung jawab masing-masing
anggota. Dalam hal ini, Yadi Heryadi mengemukakan beberapa peran penting dalam suatu
Team :
Dalam sebuah team work perlu adanya seorang ketua atau pemimpin yang bertugas untuk
mengendalikan seluruh kegiatan team, baik dalam perencanaan, pengimplementasian,
maupun penilaian. Ketua bisa dipilih oleh anggota atau ditunjuk oleh pihak yang memiliki
kewenangan.
Yadi Haryadi mengetengahkan tentang ciri-ciri ketua dan anggota team yang baik.
Penerapan konsep Team Work dalam pendidikan, khususnya di sekolah akan muncul dalam
berbagai bentuk. Snyder and Anderson, menyebutkan bahwa team work di sekolah, dapat
berbentuk team manajemen (management team) yang akan membantu kepala sekolah dalam
pengambilan keputusan atau memecahkan masalah-masalah yang muncul di sekolah. Atau
mungkin muncul dalam bentuk team khusus, yang mengerjakan tugas-tugas khusus pula,
seperti: team pengembang kurikulum, team bimbingan dan konseling dan sebagainya, yang
intinya team-team tersebut dibentuk untuk kepentingan peningkatan mutu pelayanan
pendidikan di sekolah.
Selain itu penerapan konsep team work dalam pendidikan dapat digunakan kepentingkan
peningkatan proses pembelajaran yang dilaksanakan guru, misalnya melalui kegiatan
Penelitian Tindakan Kelas, Lesson Study, atau supervisi.
Konsep team work telah diadopsi pula sebagai bagian dari strategi pembelajaran, yang
dikenal dengan sebutan Collaborative Teamwork Learning, yaitu suatu model pembelajaran
yang memungkinkan siswa untuk untuk mengembangkan kemampuan siswa bekerja secara
kolaboratif dalam Team.
Terdapat beberapa alasan pentingnya penerapan konsep team work di sekolah diantaranya :
(1) dengan berusaha melibatkan setiap orang dalam proses pengambilan keputusan, maka
diharapkan setiap orang akan dapat lebih bertanggung jawab dalam mengimplementasikan
setiap keputusan yang diambil, (2) setiap orang dapat saling belajar tentang berbagai
pemikiran inovatif dari orang lain secara terus menerus, (3) informasi dan tindakan akan lebih
baik jika datang dari sebuah kelompok dengan sumber dan keterampilan yang beragam, (4)
memungkinkan terjadinya peningkatan karena setiap kesalahan yang terjadi akan dapat
diketahui dan dikoreksi, dan (5) adanya keberanian mengambil resiko karena adanya
kekuatan kolektif dari kelompok.
Sumber :
Online : http://www.uncwil.edu/cte/et/articles/howard/
Online : http://www.eric.ed.gov/ERICWebPortal/Home
Yadi Haryadi (tt). Team Work. (Bahan Presentasi Tim Pengembangan Dewan Pendidikan dan
Komite Sekolah)
Online : http://www.depdiknas.go.id/
Oleh: Depdiknas
1. Pengertian
Penjelasan PP No. 19 Tahun 2005 pasal 11 ayat 2 menyebutkan bahwa
pemerintah mengkategorikan sekolah/madrasah yang telah atau hampir memenuhi standar
nasional ke dalam kategori mandiri. Penjelasan selanjutnya menyebutkan bahwa sekolah
kategori mandiri (SKM) harus menerapkan sistem kredit semester (SKS). SKS adalah salah
satu sistem penerapan program pendidikan yang menempatkan peserta didik sebagai subyek.
Pembelajaran berpusat pada peserta didik, yaitu bagaimana peserta didik belajar. Peserta
didik diberi kebebasan untuk merencanakan kegiatan belajarnya sesuai dengan minat,
kemampuan, dan harapan masing-masing (Chandramohan, 2006).
Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi menyatakan bahwa sistem kredit
semester adalah sistem penyelenggaraan program pendidikan yang peserta didiknya
menentukan sendiri beban belajar dan mata pelajaran yang diikuti setiap semester pada satuan
pendidikan. Mengacu pada konsep tersebut, SKS dapat diterapkan untuk menunjang realisasi
konsep belajar tuntas yang digunakan dalam menerapkan Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP). Pada Sistem Kredit Semester, setiap satu satuan kredit semester (1 SKS)
berbobot dua jam kegiatan pembelajaran per minggu selama 16 minggu per semester. Pada
SMA/MA/SMLB, SMK/MAK atau bentuk lain yang sederajat, satu jam kegiatan tatap muka
berlangsung selama 45 menit, sedangkan 25 menit kegiatan terstruktur dan 25 menit kegiatan
mandiri.
Dengan demikian, penerapan SKS pada KTSP perlu dilakukan penyesuaian dengan
menggunakan pendekatan pembelajaran tuntas di mana satuan kegiatan belajar peserta didik
tidak diukur berdasarkan lama waktu kegiatan per minggu-semester tetapi pada satuan (unit)
kompetensi yang dicapai.
2. Karakteristik
Berdasarkan penjelasan PP No. 19 Tahun 2005 Pasal 11 ayat (2) bahwa ciri Sekolah Kategori
Mandiri/Sekolah Standar Nasional adalah terpenuhinya standar nasional pendidikan dan
mampu menjalankan sistem kredit semester.
Dari ciri tersebut Sekolah Kategori Mandiri/Sekolah Standar Nasional memiliki profil
sebagai persyaratan minimal yang meliputi :
a. Dukungan Internal:
b. Dukungan Eksternal
Untuk menyelenggarakan SKM/SSN berasal dari dukungan komite sekolah, orang tua peserta
didik, dukungan dari Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota, dukungan dari tenaga pendamping
pelaksanaan SKS.
Sumber:
Konflik dapat diartikan sebagai suatu keadaan dimana seseorang dihadapkan dengan
motif, keyakinan, nilai dan tujuan yang saling bertentangan. Konflik bisa dialami oleh siapapun dan di
manapun, termasuk oleh komunitas di sekolah. Siswa, guru, atau pun kepala sekolah dalam waktu-
waktu tertentu sangat mungkin dihadapkan dengan konflik.
Konflik yang dialami individu di sekolah dapat hadir dalam berbagai bentuk, bisa dalam bentuk
individu dengan individu, individu dengan kelompok atau kelompok dengan kelompok. Misalnya,
seorang guru berhadapan seorang guru, seorang guru berhadapan dengan sekelompok guru,
sekelompok guru tertentu berhadapan dengan sekelompok guru lainnya., dan sejenisnya. Konflik
yang terjadi diantara mereka bisa bersifat tertutup, terbuka atau bahkan menjadi konfrontasi.
Apabila konflik yang terjadi di sekolah tidak terkelola dan bersifat destruktif, maka selain dapat
mengganggu kesehatan dan kualitas kehidupan seseorang, juga dapat mengganggu terhadap
pencapaian efektivitas dan efisiensi pendidikan di sekolah secara keseluruhan.
Terkait dengan upaya mengelola konflik di sekolah, Daniel Robin (2004) dalam sebuah artikelnya
menawarkan tujuh sikap yang diperlukan untuk mencairkan konflik.
Definisikan secara jelas konflik apa yang sedang berkembang. Tanyakan pada setiap orang
“Ada issue apa?”, lalu tanyakan pula “Apa kepedulian Anda di sini? atau “Apa yang kamu
rasakan dan manfaat dari pertengkaran ini”. Secara berkala tanyakan pula “Apa yang ingin
Anda capai dan bagamana kita harus mengerjakannya?”
2. It’s not you versus me; it’s you and me versus the problem
Memiliki keyakinan bahwa “Ini bukanlah pertentangan antara anda dengan saya, tetapi ini
adalah saya bersama anda melawan masalah itu”. Masalah yang sebenarnya adalah masalah
itu sendiri, yang harsus diselesaikan, bukan terletak pada orangnya. Adalah hal yang amat
bodoh, jika Anda mencoba mengalahkan salah satu dari antara pihak yang berkonflik, karena
suatu saat setelah mereka dikalahkan, meraka akan kembali melakukan pertempuran ulang
(rematch) yang terus-menerus, yang mungkin dengan daya tembak yang lebih kuat. Jangan
paksa orang untuk bertekuk lutut!
Lakukan identifikasi orang-orang yang memiliki kepedulian yang sama dengan Anda dan
orang–orang yang justru berseberangan dengan Anda. Jika dihadapkan pada suatu konflik,
buatlah semacam kesepakatan dengan kelompok yang memiliki hubungan paling kuat
(dimana Anda menyetujuinya), tidak dengan kelompok yang paling lemah. Ini akan lebih
mudah dan juga lebih efektif, apabila Anda hendak mengalihkan hal-hal yang disetujui
maupun tidak disetujui. Pahami sudut pandang mereka dan berikan penghargaan atas
perbedaaan yang ada.
Memilah interpretasi berdasarkan fakta. Jangan meminta suatu pendapat dari orang yang
sedang berkonflik, karena hanya akan memperoleh pendapat dan penafsiran versi mereka.
Tetapi sebaiknya ungkapkan “Apa yang telah kamu lakukan atau katakan?” pertanyaan
semacam ini akan lebih menggiring pada fakta, yang selanjutnya dapat dijadikan dasar bagi
pemecahan konflik
Kembangkan rasa untuk memaafkan. Tidak mungkin terjadi rekonsiliasi tanpa belajar
memaafkan kesalahan orang lain. Banyak orang melakukan perdamaian tetapi tidak bisa
mengubur kejadian yang sudah-sudah sehingga pada hari kemudian memunculkan lagi
pertengkaran. Oleh karena itu, setiap orang penting untuk dibelajarkan mau memaafkan
orang lain secara tulus. Yang lalu biar berlalu, hari ini kenyataan dan esok hari adalah
harapan!
Belajar mendengar secara aktif. Putarlah paradigma dari ungkapan “ Ketika saya bicara,
orang lain mendengarkan” menjadi “Ketika saya mendengarkan, orang lain berbicara
kepada saya”. Mendengarkan dengan tujuan untuk memahami, bukan untuk menjawab
Mulailah dengan berusaha memahami, kemudian menjadi dipahami. Setidaknya dengan cara
ini, akan membantu melepaskan ego atau uneg-uneg yang bersangkutan (katarsis)
Terakhir, berusaha mensucikan hati. Hati yang bersih merupakan benteng utama dari berbagai
serangan dari luar dan juga akan pembimbing kita dalam setiap tindakan. Anda tidak akan
mendapatkan konflik atau kekerasan dari orang lain, jika dalam hati dan jiwa Anda bersemayam
kebajikan. Rasa benci, iri dan dengki yang bercokol di hati kerapkali menjadi pemicu terjadinya
konflik.
11 Karakteristik Manajemen Sekolah
Posted on 2 Maret 2009 by AKHMAD SUDRAJAT
Sumber:
Tentang Standar Pendidikan
Posted on 13 Mei 2010 by AKHMAD SUDRAJAT
Kehadiran Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
dapat dipandang sebagai tonggak penting untuk menuju pendidikan nasional yang
terstandarkan. Dalam Peraturan Pemerintah tersebut dikatakan bahwa Standar Nasional
Pendidikan (SNP) adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah
hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia, dengan lingkup terdiri 8 standar, yaitu: (1)
standar isi; (2) standar proses; (3) standar kompetensi lulusan; (4) standar pendidik dan
tenaga kependidikan; (5) standar sarana dan prasarana; (6) standar pengelolaan; (7) standar
pembiayaan; dan (8) standar penilaian pendidikan
Dilihat dari fungsi dan tujuannya, Standar Nasional Pendidikan memiliki fungsi sebagai
dasar dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pendidikan dalam rangka
mewujudkan pendidikan nasional yang bermutu, dan bertujuan untuk menjamin mutu
pendidikan nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk watak
serta peradaban bangsa yang bermartabat.
Dalam Peraturan Pemerintah ini terdapat pasal-pasal yang mengamanatkan perlunya dibuat
Peraturan Menteri sebagai penjabaran lebih lanjut dari delapan standar penddikan dimaksud.
Hingga akhir tahun 2009 pemerintah melalui Mendiknas (era kepemimpinan Bambang
Sudibyo) telah berhasil menerbitkan sejumlah PERMENDIKNAS (bisa dilihat DISINI)
Tulisan ini tidak bermaksud menganalisis secara detail isi yang terkandung dari setiap
peraturan yang ada, tetapi saya hanya ingin menggambarkan secara garis besarnya
keterkaitan dan interdependensi kedelapan standar pendidikan, khususnya dalam konteks
sekolah, karena kedelapan lingkup standar pendidikan ini pada dasarnya tidak berjalan
sendiri-sendiri, tetapi merupakan sebuah rangkaian yang utuh dan saling terkait.
Melihat gambar di atas, dari kedelapan lingkup standar pendidikan, Standar Kompetensi
Lulusan (I) seyogyanya dapat dijadikan sebagai titik sentral sekaligus inti dari seluruh
standar pendidikan yang ada. Dengan demikian, segenap aktivitas pendidikan dari standar
pendidikan lainnya harus tertuju pada pencapaian Standar Kompetensi Lulusan.
Untuk mencapai Standar Kompetensi Lulusan, terdapat wilayah yang bersentuhan langsung
yang berada pada aras A, yaitu: Standar Pendidik (II.a), Standar Isi (III); Standar
Proses (IV); dan Standar Penilaian (V). Pada aras A ini, yang menjadi komponen
terpenting adalah Standar Pendidik. Melalui pendidik yang terstandarkan diharapkan dapat
menjalankan komponen-komponen yang berada pada aras A secara standar.
Aras A tidak akan berputar dengan baik apabila tidak ditopang oleh komponen-komponen
yang berada pada aras B, yaitu: Standar Kepala Sekolah (II.b), dan Standar Tenaga
Kependidikan (II.c), Standar Pengelolaan (VI), Standar Sarana dan Prasarana (VII)
dan Standar Pembiayaan (VIII). Dari berbagai komponen yang berada pada aras B, saya
melihat tumpuan harapan terletak pada Standar Kepala Sekolah Melalui Kepala Sekolah
yang terstandarkan diharapkan dapat menjalankan komponen-komponen yang berada pada
aras B dan juga aras A, sehingga pada akhirnya dapat berdampak pula pada bergeraknya
inti pendidikan yakni pencapaian SKL.
Dari seluruh rangkaian standar pendidikan sebagaimana tampak dalam gambar di atas, terus
terang saya mengalami kesulitan untuk memposisikan Standar Konselor (Permendiknas No.
27 tahun 2008). Secara formal konselor digolongkan sebagai pendidik, tetapi keberadaannya
tidak mungkin untuk disentuhkan langsung dengan SKL, karena dalam Permendiknas No. 23
tahun 2006 sama sekali tidak disinggung SKL yang bisa dicapai melalui pelayanan konseling.
Sepengetahuan saya, Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia telah menawarkan Draft
Standar Kompetensi Kemandirian (SKK) yang merupakan SKL-nya pelayanan konseling
di sekolah, namun entah kenapa hingga saat ini tampaknya pemerintah belum tergoda untuk
mensahkannya sebagai sebuah kebijakan resmi.
Selain itu, mungkin diantara Anda ada yang mempertanyakan dimana letak Pengawas Satuan
Pendidikan? (Permendiknas No. 12 Tahun 2007). Dalam konteks ini, saya berfikir bahwa
posisi pengawas satuan pendidikan mungkin perlu dibuat Aras C, dimana kedudukannya
dapat diletakkan bersama-sama dengan Standar Pengelolaan Pemerintah Pusat (PP No 19
pasal 60) dan Standar Pengelolaan Pemerintah Daerah (PP No 19 pasal 59) yang akan
menopang pergerakan komponen-komponen yang berada pada Aras B mau pun Aras A.
Terlepas dari kelemahan-kelemahan yang ada, kita harus akui bahwa era kepemimpinan
Bambang Sudibyo bisa dipandang telah berhasil meletakkan dasar-dasar bagi upaya
standarisasi pendidikan nasional. Kita berharap pada era kepemimpinan pendidikan sekarang
ini kiranya dapat melahirkan berbagai kebijakan dan regulasi yang semakin dapat
menyempurnakan sekaligus memperkokoh upaya standarisasi pendidikan nasional yang
telah dirintis sebelumnya.
Pengambilan Keputusan Partisipatif di Sek
olah
Posted on 16 Mei 2010 by AKHMAD SUDRAJAT
Berbagai penelitian menemukan bahwa orang memberikan respek dan memperoleh manfaat
dari teknik pengambilan keputusan partisipatif. Temuan itu menunjukkan bahwa:
1. Individu kehilangan kepentingan dalam pemecahan masalah jika tidak terlibat secara
aktif;
2. Partisipasi dalam pembuatan keputusan mengurangi penolakan terhadap perubahan,
karena kelompok dapat terus berfungsi secara efektif meskipun kehilangan kedudukan
sebagai pemimpin jika kepemimpinan telah dibagi dengan anggota kelompok;
3. Keterlibatan dalam pengawasan yang berhubungan dengan tugas dapat meningkatkan
motivasi dan kepuasan kerja;
4. Interaksi kelompok seringkali mengarahkan untuk mengambil risiko lebih besar atas
bagian daripada anggota kelompok, bahwa kelompok pembuat keputusan
memperkuat nilai perilaku anggota kelompok yang secara umum diterima dalam
budaya tertentu;
5. Partisipasi dalam pembuatan keputusan merupakan faktor utama yang mempengaruhi
kepuasan guru di sekolah;
Temuan penelitian di atas meneguhkan asumsi bahwa peningkatan peranan individu dan
kelompok dalam proses pembuatan keputusan dapat meningkatkan produktivitas dan
kepuasan diri yang lebih besar. Penelitian ini juga menemukan bahwa peningkatan peranan
manajemen (level) bawah dalam pembuatan keputusan dapat meningkatkan produktivitas.
Disamping temuan penelitian di atas, ada beberapa temuan berbeda yang diperoleh dalam
penelitian Alutto dan Belasco (Newwel, 1978) yang telah mengidentifikasi tiga keadaan
keputusan dari para guru, yaitu: (1) kehilangan (guru yang ingin lebih berpartisipasi); (2)
keseimbangan (guru yang ingin tidak ada perubahan dalam partisipasinya sekarang); (3)
kejenuhan (para guru yang ingin mengurangi partisipasinya). Temuan ini berdasarkan
pandangan guru muda yang mengajar pada sekolah menengah di daerah pinggiran yang
merasa kehilangan kesempatan berpartisipasi dalam pembuatan keputusan. Sedangkan guru
yang lebih tua pada sekolah dasar di daerah pertanian cenderung mengalami rasa jenuh yang
sangat besar dalam pengambilan keputusan. Singkatnya, temuan penelitian secara umum
mengindikasikan bahwa keterlibatan dalam pengambilan keputusan sangat disukai, tetapi
struktur pembuatan keputusan harus cukup fleksibel untuk membolehkan bagi keragaman
tingkat partisipasi.
Menurut Simon (1985: 177), aspek internal dan eksternal yang mempengaruhi perilaku
individu dalam organisasi hubungannya dengan pengambilan keputusan adalah kewenangan,
komunikasi, pelatihan, efisiensi dan loyalitas kepatuhan. Kelima aspek ini merupakan konsep
yang dapat mendorong seseorang membuat dan melaksanakan keputusan organisasi. Di
dalamnya ada premis nilai dan premis fakta. Oleh karena itu, kewenangan ada dalam struktur
formal organisasi yang memiliki pengaruh lebih besar terhadap perilaku seseorang sebagai
anggota organisasi dibanding yang lainnya. Unity dan coordination membentuk group mind.
Simon (1985: 179) selanjutnya menyatakan bahwa “Authority is as the power to make
decision which guide actions of anothers”. Dalam hal ini pola perilaku dari kewenangan
menurutnya adalah perintah. Kewenangan ada dalam hubungan antara atasan dengan
bawahan. Oleh karena itu, pimpinan membuat dan mengirimkan keputusan dengan harapan
bawahan menerima. Sementara itu, bawahan berharap akan melakukan pekerjaan
berdasarkan keputusan tersebut.
Cara manajer menentukan saat yang tepat menggunakan wewenangnya adalah dengan cara
mengomunikasikan keputusan yang dibuatnya kepada bawahan untuk memelihara koordinasi
perilaku dalam satu kelompok dimana keputusan atasan dikomunikasikan kepada yang lain.
Dalam hal ini fungsi keputusan menurut Simon (1997: 187) ada tiga, yaitu (1) it enforce
responsibility of the individual to choose who wield the authority; (2) it secures expertise in
the making of decisions; (3) it permits coordination of activity. Dengan demikian, jika semua
warga sekolah memahami fungsi keputusan yang mencakup upaya memperkuat tanggung
jawab individu kepala sekolah bersama warga sekolah untuk mau menjalankan kewenangan,
memelihara keahlian dalam membuat keputusan dan memungkinkan adanya koordinasi
aktivitas maka konflik dapat dihindarkan di antara anggota organisasi sekolah.
Menurut Bauer (1992), pengambilan keputusan partisipatif meliputi banyak bentuk dan
menekankan beberapa keyakinan umum atau premis. Pertama, keputusan partisipatif berarti
lebih dekat kepada anak didik dan tindakannya sehingga akan dibuat keputusan terbaik
tentang pendidikan bagi anak-anak. Kedua, guru, orang tua dan staf sekolah memiliki lebih
banyak pendapat tentang kebijakan dan program yang mempengaruhi sekolah dan anak didik.
Ketiga, tanggung jawab pengambilan keputusan partisipatif memiliki kekuatan dalam
menentukan keputusan. Akhirnya, perubahan yang dilakukan cocok dan efektif dan bila
dilaksanakan maka keputusan tersebut menjadi milik bersama kepala sekolah dan seluruh
warga sekolah.
Tujuan pengambilan keputusan partisipatif ialah untuk meningkatkan efektivitas sekolah dan
pembelajaran murid dengan cara peningkatan komitmen staf dan menjamin bahwa sekolah
lebih bertanggung jawab terhadap kebutuhan anak didik dan masyarakat. Keberhasilan anak
didik dan prestasi yang dicapai dipelihara dalam pencerahan pemikiran kita sebagai alasan
untuk mengimplementasikan pemikiran tentang pengambilan keputusan partisipatif.
Penggunaan teknik pengambilan keputusan partisipatif ini bertujuan untuk pergantian
akuntabilitas atau mengabaikan tanggung jawab dari atas kepada pusat kekuatan staf,
membuat sederhana pembagian pengambilan keputusan kepada yang lain. Setiap orang yang
berpartisipasi membuat keputusan harus dimintai tanggung jawab terhadap hasil yang
dicapai.
Sejumlah alternatif besar dapat diajukan dan dianalisis bila banyak orang dilibatkan. Hal itu
seringkali menghasilkan pendekatan inovatif terhadap persoalan. Otonomi dapat
dikembangkan, keputusan lebih baik dicapai dibandingkan dengan manajemen sekolah
terpusat. Kepercayaan sekolah juga ditingkatkan sehingga staf memperoleh pengertian
tentang kompleksitas manajemen dan kepala sekolah mempelajari penghargaan atas
pertimbangan program.
Ada beberapa petunjuk yang disarankan oleh para perintis pengambilan keputusan bersama
(partisipatif) sebagai berikut:
1. Mulai dari yang kecil dan berjalan dengan pelan. Untuk hal ini banyak bukti yang
dapat dijadikan sebagai pelajaran dalam adopsi inovasi. Oleh karena itu, pengambilan
keputusan partisipatif akan lebih berhasil jika diawali dengan langkah kecil daripada
“perubahan menyeluruh” yang dianggap asing oleh warga sekolah. Caranya ialah
menganalisis kebutuhan sekolah, kemudian mengadaptasi pemilihan proses yang
memperhatikan situasi lokal. Komponennya dapat ditambahkan bila staf sudah siap.
2. Setuju atas penataan yang khusus. Tidak ada kebenaran “tunggal” dalam cara
melakukan pengambilan keputusan bersama. Hal itu bergantung atas apa yang
diinginkan dari kebersamaan. Banyak sekolah mengembangkan satu tim pengambilan
keputusan atau menggunakan kelompok lain atau komite. Jika tidak ada mandat maka
dapat diputuskan orang yang akan terlibat (bisa saja guru, pelajar, orang tua, anggota
masyarakat dan konsultan luar). Ukuran kelompok dapat bervariasi dari sembilan
sampai tujuh belas orang yang penting ada jaminan bahwa kelompok terwakili.
Selanjutnya, menentukan bagaimana keputusan akan dibuat (ambil suara terbanyak
atau konsensus) dan siapa yang akan membuat keputusan akhir atas persoalan yang
dihadapi.
3. Prosedur yang jelas mengenai peranan dan harapan. Staf membutuhkan pengertian
akan langkah-langkah dan prosedur untuk diikuti sebelum keputusan dibuat.
Ketidakjelasan proses menciptakan kebingungan yang menimbulkan fragmentasi
tindakan. Sementara itu, kejelasan proses memberdayakan anggota kelompok juga
membutuhkan pengertian apakah mereka diikutkan membuat batang tubuh keputusan
atau sebagai pemberi masukan saja. Hal ini akan mengurangi moral kelompok untuk
berpikir membuat keputusan hanya mengambil keputusan demi kepentingannya
semata.
4. Berikan kesempatan setiap orang untuk melibatkan diri. Keputusan yang dibuat
berdasarkan pemikiran administratif dalam menghadapi memilih atau kelompok
sukarelawan mungkin mendahului sebagai keputusan dari atas ke bawah. Kedudukan
para sukarelawan atau kekuatan tugas mereka memberikan peluang baginya untuk
berpartisipasi sebanyak atau sesedikit mungkin sesuai yang diinginkan. Paling tidak,
semua guru dan staf dapat mengaksesnya.
5. Bangun kepercayaan dan dukungan. Jika kurang kepercayaan dan penghargaan di
antara administrator, guru dan staf maka dapat dipastikan pengambilan keputusan
bersama kurang dapat diterima. Oleh karena itu, jangan menolak solusi kelompok
atau lebih kuat memberikan keputusan kepada kelompok pengambil keputusan
bersama. Derajat dukungan yang kurang juga menjadi gagal jika kultur luar sekolah
tidak berubah.
Sumber :
Pengambilan Keputusan
Posted on 16 Mei 2010 by AKHMAD SUDRAJAT
Para pakar memberikan pengertian keputusan sesuai dengan sudut pandang dan latar
belakang pemikirannya. Menurut James A.F. Stoner, keputusan adalah pemilihan di antara
berbagai alternatif. Definisi ini mengandung tiga pengertian, yaitu: (1) ada pilihan atas dasar
logika atau pertimbangan; (2) ada beberapa alternatif yang harus dipilih salah satu yang
terbaik; dan (3) ada tujuan yang ingin dicapai dan keputusan itu makin mendekatkan pada
tujuan tersebut. Pengertian keputusan yang lain dikemukakan oleh Prajudi Atmosudirjo
bahwa keputusan adalah suatu pengakhiran daripada proses pemikiran tentang suatu masalah
dengan menjatuhkan pilihan pada suatu alternatif.
Dari pengertian keputusan tersebut dapat diperoleh pemahaman bahwa keputusan merupakan
suatu pemecahan masalah sebagai suatu hukum situasi yang dilakukan melalui pemilihan satu
alternatif dari beberapa alternatif.
Pengambilan keputusan sebagai kelanjutan dari cara pemecahan masalah memiliki fungsi
sebagai pangkal atau permulaan dari semua aktivitas manusia yang sadar dan terarah secara
individual dan secara kelompok baik secara institusional maupun secara organisasional. Di
samping itu, fungsi pengambilan keputusan merupakan sesuatu yang bersifat futuristik,
artinya bersangkut paut dengan hari depan, masa yang akan datang, dimana efek atau
pengaruhnya berlangsung cukup lama.
Terkait dengan fungsi tersebut, maka tujuan pengambilan keputusan dapat dibedakan: (1)
tujuan yang bersifat tunggal. Tujuan pengambilan keputusan yang bersifat tunggal terjadi
apabila keputusan yang dihasilkan hanya menyangkut satu masalah, artinya bahwa sekali
diputuskan, tidak ada kaitannya dengan masalah lain dan (2) tujuan yang bersifat ganda.
Tujuan pengambilan keputusan yang bersifat ganda terjadi apabila keputusan yang dihasilkan
menyangkut lebih dari satu masalah, artinya keputusan yang diambil itu sekaligus
memecahkan dua (atau lebih) masalah yang bersifat kontradiktif atau yang bersifat tidak
kontradiktif.
Agar pengambilan keputusan dapat lebih terarah, maka perlu diketahui unsur atau komponen
pengambilan keputusan. Unsur pengambilan keputusan itu adalah: (1) tujuan dari
pengambilan keputusan; (2) identifikasi alternatif keputusan yang memecahkan masalah; (3)
perhitungan tentang faktor-faktor yang tidak dapat diketahui sebelumnya atau di luar
jangkauan manusia; dan (4) sarana dan perlengkapan untuk mengevaluasi atau mengukur
hasil dari suatu pengambilan keputusan.
Sementara itu, George R. Terry menyebutkan 5 dasar (basis) dalam pengambilan keputusan,
yaitu: (1) intuisi; (2) pengalaman; (3) fakta; (4) wewenang; dan (5) rasional.
1. Intuisi.
2. Pengalaman.
3. Wewenang.
4. Fakta.
Pengambilan keputusan berdasarkan data dan fakta empiris dapat memberikan keputusan
yang sehat, solid dan baik. Dengan fakta, tingkat kepercayaan terhadap pengambil keputusan
dapat lebih tinggi, sehingga orang dapat menerima keputusan yang dibuat itu dengan rela dan
lapang dada.
5. Rasional.
Pada pengambilan keputusan yang berdasarkan rasio, keputusan yang dihasilkan bersifat
objektif, logis, lebih transparan dan konsisten untuk memaksimumkan hasil atau nilai dalam
batas kendala tertentu, sehingga dapat dikatakan mendekati kebenaran atau sesuai dengan apa
yang diinginkan. Pengambilan keputusan secara rasional ini berlaku sepenuhnya dalam
keadaan yang ideal. Pada pengambilan keputusan secara rasional terdapat beberapa hal
sebagai berikut:
Sumber :
Tentang Kantin Sekolah
Posted on 3 Juni 2010 by AKHMAD SUDRAJAT
Layanan kantin atau kafetaria merupakan salah satu bentuk layanan khusus di sekolah yang
berusaha menyediakan makanan dan minuman yang dibutuhkan siswa atau personil sekolah.
Good (1959) dalam bukunya Dictionary of Education mengatakan bahwa: “cafetaria a room
or building in which public school pupuils or college student select prepared food and serve
themselves”. Kantin adalah suatu ruang atau bangunan yang berada di sekolah maupun
perguruan tinggi, di mana menyediakan makanan pilihan/sehat untuk siswa yang dilayani
oleh petugas kantin.
William H. Roe dalam bukunya School Business Management menyebutkan beberapa tujuan
yang dapat dicapai melalui penyediaan layanan kantin di sekolah:
1. memberikan kesempatan kepada murid untuk belajar memilih makanan yang baik
atau sehat;
2. memberikan bantuan dalam mengajarkan ilmu gizi secara nyata;
3. menganjurkan kebersihan dan kesehatan;
4. menekankan kesopanan dalam masyarakat, dalam bekerja, dan kehidupan bersama;
5. menekankan penggunaan tata krama yang benar dan sesuai dengan yang berlaku di
masyarakat;
6. memberikan gambaran tentang manajemen yang praktis dan baik;
7. menunjukan adanya koordinasi antara bidang pertanian dengan bidang industri;
8. menghindari terbelinya makanan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan
kebersihannya dan kesehatannya.
Dilihat dari tujuan kantin sekolah di atas, maka kantin sekolah dapat berfungsi untuk:
Terkait dengan bentuk pelayanan kantin sekolah, terdapat 3 (tiga) alternatif bentuk layanan,
yaitu:
1. Self service system. Sistem pelayanan dimana pembeli melayani dirinya sendiri
makanan yang diingini;
2. Wait service system Sistem pelayanan dimana pembeli menunggu dilayani oleh
petugas kantin sesuai dengan pesanan;
3. Tray service system. Sistem pelayanan dimana pembeli dilayani petugas kantin, dan
penyajian makanannya dengan menggunakan baki atau nampan.
Kantin sekolah memberikan peluang untuk mengembangkan tingkah laku dan kebiasaan
positif di kalangan siswa. Hal-hal berikut dapat diperhitungkan oleh kepala sekolah untuk
memperbaiki lingkungan kantin sekolah:
1. menentukan prosedur untuk menutup dan membuka kantin atau kapan anak-anak
memasuki dan meninggalkan kantin;
2. memperhatikan semua perilaku murid dalam kantin;
3. menyusun suatu aturan pembayaran yang tidak merugikan kantin;
4. membuat pengaturan tempat duduk yang serasi;
5. menentukan aturan-aturan bagi perilaku anak-anak di meja makan;
6. mengatur dekorasi, seperti: lukisan, poster-poster kesehatan;
7. menyajikan musik selama jam makan siang;
8. mengatur anak-anak yang makan siang dengan membawa makanan sendiri; menyusun
prosedur pengembalian talam atau tempat makanan dan pada saat meninggalkan
ruangan makan
Dengan dimikian, keberadaan kantin di sekolah, tidak hanya sekedar untuk memenuhi
kebutuhan makan dan minum siswa semata, namun juga dapat dijadikan sebagai wahana
untuk mendidik siswa tentang kesehatan, kebersihan, kejujuran, saling menghargai, disiplin
dan nilai-nilai lainnya.
Di sinilah letak arti penting manajemen kantin sekolah sebagai salah satu substansi
manajemen sekolah.
Sumber:
Disarikan dari : Depdiknas. 2007. Manajemen Layanan Khusus: materi diklat pembinaan
kompetensi calon kepala sekolah/kepala sekolah). Jakarta.