You are on page 1of 5

PEMUDA INTELEKTUAL PROGRESIF

Oleh Teuku Mukhlis

“Sesungguhnya pada tangan-tangan pemudalah urusan umat dan pada

kaki-kaki merekalah terdapat kehidupan umat”. Ungkapan ini diucapkan oleh

Syekh Mustafa Al-Ghulayaini, seorang pujangga Mesir sebagai motivasi untuk

membangkitkan semangat para pemuda. Era globalisasi sekarang ini – disadari

atau tidak – telah menjadi salah satu faktor yang menyebabkan kecenderungan

kaum pemuda untuk mengaplikasikan budaya instant, pergaulan tanpa batas,

lemahnya semangat intelektual, anarkisme, dan lain-lain. Dalam pemeberitaan

media massa pun, kebobrokan kaum pemuda dapat dilihat dari meningkatnya

kekerasan-kekerasan yang dipelopori oleh pemuda seperti tawuran, demonstrasi

yang menjurus kepada pengrusakan, pornografi, dan contoh-contoh lain.

Kejadian-kejadian serupa ini dapat menandakan bahwa kaum pemuda sedang

mengalami degradasi moral. Padahal sebagai aset sebuah bangsa dan calon

pemimpin masa depan, pemuda harus dapat memberikan contoh teladan yang baik

bagi masyarakat.

Selanjutnya dengan semangat yang masih menggelora, pemuda lebih

cenderung mempraktikkan pola perilaku yang kurang intelektual. Sebut saja

hedonisme yang dimanifestasikan dalam pergaulan pemuda hanya untuk mencari

kesenangan tanpa memikirkan efek masa depan. Bagi mereka pemuja hedonisme,

umur di masa muda memang hanya untuk bersenang-senang dengan menafikan

problema sosial yang ada di sekitar mereka. Kemudian perilaku narsisisme yang

menjadi mazhab kebebasan saat ini. Dengan dukungan kemajuan teknologi,

1
mazhab narsisisme dijadikan ruang untuk mengekspresikan diri mereka ke publik.

Padahal mereka tidak memiliki kapasitas intelektual, hanya mengedepankan

egoisme lalu mengkritik fenomena-fenomena sosial yang terjadi. Ada juga

gerakan individualisme pemuda yang diiringi dengan materialisme menyebabkan

pemuda menjadi sekelompok orang-orang egois dan sinis terhadap lingkungan

mereka.

Mazhab-mazhab seperti ini haruslah diantisipasi dengan meningkatkan

kapasitas intelektual mereka. Pemuda – baik kalangan pelajar dan mahasiswa –

haruslah merumuskan kembali jati diri mereka sebagai kelompok intelektual.

Mahasiswa melalui tridharma perguruan tinggi juga harus memahami lebih jauh

tujuan intelektual mereka. Dengan terus belajar dan mengintrospeksi diri dalam

bentuk pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat, pemuda intelektual

diharapkan menjadi pemuda yang progresif. Maksudnya adalah pemuda

intelektual yang memikirkan dan bekerja bagi masyarakat untuk perubahan dan

kemajuan ke depan.

Apa itu intelektual progresif? Ali Syari’ati (terjemahan oleh Rahmani

Astuti, 1989), membedakan tiga kategori intelektual dan pencerahan, yaitu orang

yang tercerahkan tetapi bukan intelektual, orang intelektual tetapi tidak

tercerahkan, dan orang yang tercerahkan dan intelektual. Apa yang diungkapkan

oleh Ali Syari’ati sangat relevan dengan kondisi gerakan pemuda yang terjadi di

Aceh saat ini. Yang tercerahkan adalah orang yang sadar akan “keadaan

kemanusiaan” di masanya, serta setting kesejarahannya dan kemasyarakatannya.

Pemuda tercerahkan seperti ini memiliki semangat dalam memperjuangkan nasib

2
masyarakat, tetapi kalangan ini bukan berasal dari kampus dan tidak pernah

merasakan intelektualisme di kampus. Pemuda-pemuda tercerahkan ini dapat lahir

di kalangan aktivis-aktivis sosial, buruh-buruh, dan lain-lain untuk mencerahkan

masyarakat melalui gerakan-gerakan mereka.

Sedangkan intelektual tetapi tidak tercerahkan adalah orang-orang yang

memiliki intelektualisme dan memperoleh gelar-gelar kesarjanaan namun tidak

mampu mengaplikasikan intelektualismenya ke dalam masyarakat. Pemuda-

pemuda intelektual seperti ini hanya duduk di belakang meja dengan melahirkan

teori-teori saja tanpa aksi. Mereka tidak memiliki kepekaan sosial, bahkan kerap

dimanfaatkan oleh penguasa untuk tujuan kekuasaannya. Dan yang terakhir

adalah orang yang tercerahkan dan intelektual. Pemuda-pemuda seperti inilah

yang merupakan gambaran dari intelektual progresif. Intelektual progresif yang

memiliki kepekaan sosial untuk menyerukan kesadaran, kebebasan, dan

keselamatan bagi masa depan rakyat.

Dalam konteks seorang muslim, pemuda juga dituntut untuk dapat

mengembangkan intelektualitasnya. Eko Prasetyo (2007) merumuskan tugas-

tugas seorang pemuda Islam yang merupakan gagasan Ali Syari’ati, yaitu

mempelajari dan memahami Islam sebagai aliran pemikiran yang membangkitkan

kehidupan manusia, perseorangan maupun masyarakat. Dan sebagai intelektual

dia memikul amanah demi masa depan umat manusia yang lebih baik. Dia harus

menyadari tugas ini sebagai tugas pribadi dan apapun bidang studinya dia harus

senantiasa menumbuhkan pemahaman yang segar tentang Islam.

3
Tugas-tugas intelektual ini dapat diaplikasikan karena krisis multi dimensi

yang dihadapi oleh bangsa saat ini memang sedang membutuhkan kehadiran

pemuda-pemuda yang reformis. Apalagi jika menilik agenda untuk melanjutkan

reformasi yang masih belum tuntas dan melanjutkan perjuangan-perjuangan

pemuda era 1998. Sebagai intelektual progresif, pemuda dapat melakukan banyak

hal untuk menjawab tantangan zaman dan krisis-krisis yang dihadapi oleh bangsa

saat ini.

Menurut penulis, banyak hal yang bisa dilakukan oleh seorang pemuda

saat ini yaitu pertama, belajar. Seorang pemuda (pelajar dan mahasiswa) tidak

boleh melupakan tujuan utamanya dalam hal belajar, baik mempelajari ilmu

agama, sosial, politik, budaya, sains, dan lain-lain. Namun perlu ditegaskan bahwa

mempelajari agama Islam juga tidak boleh ditinggalkan. Agama sebagai sebuah

landasan keyakinan akan menciptakan intelektual-intelektual yang memiliki

moral, akhlak, tidak menyekutukan Tuhan, dan akan meningkatkan kualitas ilmu

itu sendiri.

Kedua, peka terhadap isu-isu kemasyarakatan yang terjadi. Saat ini,

khususnya di Aceh, banyak sekali berkembang isu-isu yang menyangkut tataran

kehidupan masyarakat. Syari’at Islam, kegagalan kepemimpinan di berbagai

daerah, dan permasalahan-permasalahan lainnya harus dijawab oleh kaum

pemuda dengan menghasilkan karya dan aksi. Bukan hanya melakukan

demontrasi yang menyebabkan kerusakan jiwa dan harta. Kepekaan terhadap isu-

isu saat ini memang telah dijawab oleh para mahasiswa di Aceh. Namun tidak

sedikit pula yang tak peduli terhadap permasalahan tersebut.

4
Ketiga, meningkatkan akhlak. Akhlak seorang pemuda dapat

dimanifestasikan dalam pergaulan hidup (sosial dan budaya) dalam masyarakat.

Akhlak pemuda juga dapat diintegrasikan dalam berpolitik, seperti bagaimana

melakukan demonstrasi, berdebat dengan tidak menjatuhkan lawan baik berdebat

langsung maupun berdebat di media massa, juga dalam melakukan otokritik

terhadap pemerintahan dengan memberikan solusi-solusi yang mencerahkan.

Kelima, kebersamaan yang dinamis. Banyaknya kelompok-kelompok

pemuda dengan ragam ide, tujuan, maupun visi dapat dipersatukan dalam

rangkaian tema besar. Karena tidak jarang kelompok-kelompok pemuda terlibat

konflik akibat timbulnya perbedaan-perbedaan. Kebersamaan yang dinamis dapat

diwujudkan dengan dialog antar pemuda yang berbobot untuk merumuskan arah

gerakan kepemudaan. Dan keenam, mewujudkan harapan masyarakat. Banyak

sekali harapan-harapan masyarakat yang dialamatkan kepada pemuda intelektual.

Harapan-harapan tersebut di antaranya adalah sebagai sumber inspirasi,

menciptakan khazanah keilmuan dengan menghasilkan karya-karya, dapat

dijadikan rujukan yang mampu memecahkan masalah, dan menjadi suri teladan.

Akhirnya tulisan ini ditutup dengan sebuah syair orang-orang Palestina

(Eko Prasetyo, 2007), yang sedang berjuang dari penjajahan zionisme. “Kami,

anak muda, takkan pernah lelah, tujuan kami adalah merdeka atau musnah, kami

lebih suka gugur, daripada menjadi budak musuh”.

Penulis adalah pengurus HPI (Himpunan Pemuda Inshafuddin) Banda Aceh,


pernah tinggal di Asrama IPAU (Ikatan Pemuda Aceh Utara)

You might also like