You are on page 1of 9

GAGASAN KHILAFAH ISLAM

DAN POLITIK NEGARA BANGSA

Oleh : Fika Monika1

Gagasan Khilafah Islam (Islamic Caliphate) semakin nyaring terdengar dalam kancah
opini internasional terutama semenjak satu dasawarsa terakhir, tepatnya saat insiden 11
September 2001. Pasalnya, jaringan Al-Qaeda yang dituduh paling bertanggungjawab atas
serangan itu memiliki tujuan yang fenomenal, yaitu mengembalikan Khilafah Islam.
Pergerakan Al Qaeda yang dipimpin oleh Osama bin Laden dengan tujuan mengembalikan
Khilafah inilah yang ditulis oleh Charles Allen2 sebagai karakter terorisme abad ke-21,
karena kekuatannya melintasi batas negara dan menyebarkan pengaruh pada generasi
muda Muslim dari berbagai negara, berikut kutipannya :
“…we now face an enemy unmatched by anything we saw or experienced among
terrorist groups of the twentieth century. Al-Qaeda is a cultlike organization drawing
to it youthful adherents from Muslim countries and communities around the world
with the objective of restoring “the caliphate,” which stretched at one time from
southern Europe through Indonesia…” 3

Di luar jaringan Al Qaeda, ada juga kelompok Islam lain yang berada di garis depan
dalam mempromosikan tujuannya mengembalikan Khilafah Islam. Salah satu kelompok itu
adalah Hizbut Tahrir. Namun berbeda dengan Al-Qaeda, Hizbut Tahrir tidak bisa terkategori

1
Mahasiswa Pasca Sarjana Ketahanan Nasional, UI (angkatan 27)
2
Charles Allen is undersecretary for the Office of Intelligence and Analysis and chief of intelligence at the
Department of Homeland Security. His career has included appointments as special assistant to the director of the
Central Intelligence Agency (CIA) and as the CIA’s national intelligence officer for counterterrorism.
3
Charles Allen, Terrorism in the Twenty-First Century : Implication for Homeland Security, The Washington
Institute, 2008
sebagai kelompok teroris karena tidak pernah merestui penggunaan kekerasan dalam
aktivitasnya.4
Khilafah Islam adalah sebuah institusi politik pan Islamis yang bersifat transnasional
yang akan menyatukan seluruh negara-negara bangsa Muslim dalam satu kesatuan politik
negara. Khilafah adalah kepemimpinan umum bagi seluruh kaum Muslim di dunia. Khilafah
bertanggung jawab menerapkan hukum Islam, dan menyampaikan risalah Islam ke seluruh
muka bumi. Khilafah terkadang juga disebut Imamah; dua kata ini mengandung pengertian
yang sama dan banyak digunakan dalam hadits-hadits shahih. Sistem pemerintahan
Khilafah tidak sama dengan sistem manapun yang sekarang ada di Dunia Islam. 5

SURVEY OPINI PUBLIK DUNIA ISLAM


Menguatnya gagasan Khilafah Islam ini merupakan tantangan yang sangat besar bagi
konsepsi negara-bangsa (nation state) yang selama ini diakui dalam hukum internasional.
Meskipun baru berupa gagasan, tetapi realitas opini publik di dunia Islam menunjukkan
kuatnya keinginan untuk mengembalikan Khilafah sangat signifikan. Sebuah survey yang
dilakukan oleh Universitas Maryland dengan programnya WorldPublicOpinion.org
menunjukkan bahwa dunia Muslim tidak bisa sepenuhnya menerima konsepsi negara
bangsa begitu saja. Survey yang berjudul ”Public Opinion in the Islamic World on Terrorism,
al Qaeda, and U.S Policies” dipublikasikan Februari 2009, ini dilakukan di beberapa negara
besar dengan penduduk mayoritas Muslim yaitu Mesir, Indonesia, Turki, Pakistan, Moroko,
Palestina, Iran, dan Azerbaijan. Survey ini menunjukkan mayoritas dukungan yang signifikan
terhadap kembalinya Khilafah Islam; seperti 70% responden Mesir meyakini bahwa Mesir
harus dihapus untuk menjadi bagian dari super state, 69% responden Pakistan setuju bahwa
negara mereka harus dibubarkan untuk alasan yang sama, 67% responden Moroko juga
menyatakan sikap yang sama, sementara responden Indonesia hanya mendukung 35%. 6

4
The Washington Institute, Presidential Task Force on Confronting the Ideology of Radical Extremist; Rewriting the
Narrative An Integrated Strategy for Counterradicalization. Halaman 4-5.
5
http://hizbut-tahrir.or.id/2010/06/21/apa-itu-khilafah/
6
Kull, Stephen et al. “Public Opinion in the Islamic World on Terrorism, al Qaeda, and US Policies.” February 25,
2009. World Public Opinion.org. http://www.worldpublicopinion.org/pipa/pdf/feb09/STARTII_Feb09_rpt.pdf.
Halaman 21
Mayoritas responden juga cenderung meyakini bahwa sistem nation state sebagai
konspirasi asing untuk melemahkan dan memecahbelah dunia Muslim. “Weaken and
Divide” begitulah sebutan yang dipergunakan dalam polling tersebut untuk
merepresentasikan tujuan dari strategi Amerika Serikat terhadap dunia Muslim. 87%
responden Mesir menyatakan bahwa weaken and divide adalah tujuan Amerika Serikat
terhadap dunia Islam, 62% responden Indonesia juga menyatakan demikian, Pakistan 74%,
Moroko 78%, Palestina 87%, Iran 84%, Turki 82%, Yordania 80%, dan Azerbaijan 65%. 7

THE END OF NATION STATES


Namun nampaknya tantangan besar bagi nation state bukan hanya dari Khilafah Islam,
fenomena globalisasi dari aspek ekonomi juga sempat menjadi tantangan serius bagi entitas
ini. Globalisasi yang ditandai dengan peningkatan yang tajam dalam perdagangan
Internasional; investasi; arus kapital; dan kemajuan dalam bidang teknologi investasi, serta
meningkatnya peran institusi-institusi multilateral bersamaan dengan semakin melemahnya
kedaulatan negara, telah membuat seakan negara satu dan lainnya kehilangan batas-batas
jelas teritorialnya serta berujung pada hilangnya status “negara–bangsa”, yang sama persis
seperti ramalan Profesor Kenichi Ohmae didalam bukunya yang berjudul The End of Nation
State. Dalam buku itu, Kenichi Ohmae mengatakan bahwa era globalisasi yang berwujud
adanya perpindahan lintas batas yang cepat sekali dari Investasi, Industri, teknologi
Informasi dan konsumen yang Individual – kemudian disebut 4 I - maka negara bangsa akan
berakhir, dimana oleh Ohmae diprediksikan akan terjadi Nation of Corporations (bangsa
perusahaan) dan State of Markets (negara pasar). 8 Contoh riil dari ancaman perpindahan
lintas batas yang teramat cepat tersebut adalah perdagangan internasional ilegal yang
terdiri dari lima bentuk yaitu perdagangan obat-obatan (drugs), senjata, hak milik
intelektual, manusia dan uang. Keuntungan finansial yang sangat besar memotivasi
kegiatan-kegiatan tersebut. 9

7
Kull, Stephen, op cit., halaman 11
8
Kenichi Ohmae, The End of Nation State : The Rise of Regional Economics, The Free Press, New York, 1995.
Halaman 3-5.
9
Bantarto Bandoro, Masalah-masalah Keamanan Internasional Abad 21, Makalah Seminar Pembangunan Hukum
Nasional VIII, Denpasar 2003. Halaman 8-11
Sementara John Naisbitt dalam bukunya Global Paradox (1994) menyatakan bahwa
dengan adanya globalisasi yang ditandai dengan demokratisasi, merupakan babak awal
sejarah baru (the beginning of history), yaitu terpecahnya negara-bangsa menjadi unit-unit
kecil, menurutnya demokrasi membesarkan dan melipatgandakan kearsetifan suku.
Semakin banyak demokrasi, semakin banyak negara, semakin kecil unit atau bagian dari
ekonomi global, inilah sebuah paradoks global. John Naisbitt pun menegaskan bahwa ide
pemerintahan pusat adalah bagian penting dari sebuah pemerintahan kini sudah usang, ide
negara dan perbatasan menjadi tidak lagi relevan, pendeknya semakin subur demokrasi
semakin banyak negara. Bahkan, secara meyakinkan ia meramalkan bahwa jika pada
dekade 1990-an jumlah negara bangsa mendekati 200 unit, maka menjelang tahun 2000
akan ada 300 negara, dan di masa depan angka ini akan terus membengkak mencapai 1000
negara. 10
Penting untuk dicermati bahwa fenomena konektivitas global dan interdependensi
dalam dua dasawarsa terakhir telah membawa dua konsekuensi ke hadapan entitas negara-
bangsa yaitu “integrasi” dan “fragmentasi”. Integrasi bermakna pergeseran kedaulatan
negara yang meninggi ke atas yaitu ke struktur transnasional, sementara fragmentasi
menggambarkan menurunnya atau hilangnya kekuatan negara ke bawah beralih ke
kelompok-kelompok subnasional. Sehingga kekuatan negara-bangsa bisa kehilangan
kedaulatannya dari atas (ke aktor transnasional) ataupun juga dari bawah (ke aktor
subnasional). Penyebabnya bisa sangat kompleks meliputi kondisi eksternal dan internal
suatu negara, seperti menurunnya tingkat perang antar negara, ketidakmampuan untuk
menjamin keamanan dalam negeri, ekonomi global, komunikasi global, dan berbagai
ancaman transnasional, semua faktor ini menyumbangkan bagiannya dalam krisis legitimasi
negara-bangsa. Bisa dibilang hari ini negara-bangsa telah kehilangan vitalitasnya, bahkan
negara-bangsa tidak lagi mampu mengontrol pikiran setiap warga negaranya yang tidak lagi
memberikan loyalitas pada bangsa dan negaranya. 11 Jean­Marie Guehenno menyebut
fenomena ini sebagai “the common space of politics has lost its legitimacy”. Mengapa

10
Lili Romli, Tantangan Nasionalisme di Era Globalisasi, Jurnal Widya, halaman 28-29
www.katalog.pdii.lipi.go.id/index.php/searchkatalog/.../2267/2268.pdf
11
Phil Howison, The Decline of Nation State, Victoria University, Wellington, New Zealand
Jean-Marie Guehenno menyebut negara-bangsa sebagai the common space of politics?
Karena selama dua abad terakhir konsep bangsa dianggap sebagai sebuah kelaziman dan
ide yang modern, juga karena seruan nasionalisme pernah menjadi mesin penggerak bagi
proses dekolonisasi dunia. 12

SEJARAH NEGARA BANGSA


Entitas negara bangsa lahir di tengah pergolakan politik dahsyat di belahan bumi Eropa
pada akhir abad ke-18. Pergolakan ini dikenal dengan revolusi sistem ketatanegaraan yang
menjungkirbalikkan entitas politik monarki yang bersimbiosis dengan institusi keagamaan -
dalam konteks ini Gereja- menjadi entitas politik yang sama sekali baru dan cenderung
menafikan dominasi institusi agama. Kekuatan paham nasionalisme kemudian pada
perkembangannya tersebar ke seluruh dunia dan akhirnya juga mengilhami dunia Islam.
Negara-negara Timur Tengah yang sebelumnya berbentuk Khilafah Islam (Ottoman Empire)
dengan wilayah kekuasaan yang membujur dari barat; Mesir dan sekitarnya ke timur;
Pakistan dan sekitarnya serta melintang dari utara; Austria, Hungaria ke selatan; sampai ke
Yaman, harus terfragmentasi akibat menguatnya nasionalisme di internal umat Islam kala
itu. Muncullah kemudian entitas-entitas politik baru yang bernafaskan negara-bangsa
seperti Turki yang sukses merevolusi diri menjadi entitas sekuler di bawah panduan Mustafa
Kemal Pasha (Attaturk), Irak, Iran, Saudi Arabia, Kuwait, Yordania, Suriah, Mesir, Yaman, Uni
Emirat Arab, Libanon, dan lain sebagainya. Masing-masing dari negara ini memiliki kepala
negara dan pemerintahannya sendiri-sendiri, tidak lagi sama ketika mereka dulu bergabung
dengan Imperium Islam Turki di bawah satu kepemimpinan Khilafah. 13
Selama dua abad terakhir konsep bangsa dianggap sebagai sebuah kelaziman dan ide
yang modern. Bermula dari perjanjian Westphalian tahun 1648 yang merupakan tonggak
terbentuknya sistem internasional dari negara modern yang berdaulat, dimana perjanjian
itu mengakhiri perang tiga puluh tahun karena konflik agama di Eropa. Kemudian pada abad

12
Jean-Marie Guéhenno, (diterjemahkan oleh Victoria Elliot). The End of the Nation-State, (Minneapolis, MN: U of
Minnesota P, 1995), halaman. 12.
13
Fahlesa Munabari, Negara-Bangsa dan Nasionalisme: Sebuah Refleksi,
http://munabari.wordpress.com/2007/04/28/negara-bangsa-dan-nasionalisme-sebuah-refleksi/
ke-18 hingga awal abad 20, nasionalisme menjelma menjadi pergerakan ideologi romantis
yang mempunyai kekuatan pemersatu, bahkan saat Napoleon Bonaparte menggunakan
kekuatan nasionalisme dengan levée en masse, maka pasukannya bisa menyapu seluruh
Eropa.

DUA TANTANGAN TRANSNASIONAL


Dari dua tantangan transnasional di atas – Khilafah Islam dan Globalisasi Ekonomi –,
maka kajian terhadap konsep negara-bangsa menjadi sangat penting dilakukan. Karena jika
kita perhatikan dengan seksama setidaknya dalam kurun waktu dua dasawarsa terakhir,
kerangka konsep negara-bangsa begitu banyak mendapatkan tantangan transnasional yang
bersifat mengancam kedaulatan (sovereignity) negara-bangsa. Dasawarsa pertama yaitu
sepanjang periode 1990-an, mulai datang tantangan serius dari fenomena globalisasi
ekonomi. Sementara dasawarsa kedua yaitu memasuki abad ke-21 sejak 2001 hingga kini,
kembali gagasan nation-state mendapat tantangan yang tak kalah serius dari propaganda
terorisme global dan pergerakan opini tentang Khilafah Islam.
Oleh karena itu kajian terhadap konsep negara-bangsa yang dikaitkan dengan sejarah
umat Islam dan bagaimana sebenarnya sikap ajaran Islam terhadap nasionalisme, akhirnya
juga perlu dilakukan. Hal ini sangat krusial, khususnya dalam menyikapi gagasan Khilafah
Islam yang semakin meluas selama 10 tahun terakhir.
Dalam konteks Indonesia, kajian ini tentu sangat relevan karena bagaimanapun
Indonesia adalah negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia. Apalagi realitas
menunjukkan dukungan di dalam negeri pada gagasan Khilafah tidak mengalami
penurunan. Hal ini diindikasikan pada bulan Agustus 2007, cabang organisasi Hizbut Tahrir
di Indonesia menyelenggarakan Konferensi Khilafah Internasional ketiga di Jakarta. Berbeda
dengan konferensi yang pertama pada bulan Mei 2000, yang hanya dihadiri oleh sekitar
5000 peserta, maka Konferensi Khilafah Internasional 2007 dihadiri oleh sekitar 100.000
pesera dari 39 negara yang berbeda.
Di lain pihak, Indonesia saat ini juga berada dalam zona bahaya atau zona merah dari
sebuah negara-bangsa lemah yang bergerak menuju negara-bangsa yang gagal, seperti yang
14
diungkap oleh Robert I. Rotberg. Pernyataan ini bukan tanpa dasar dan analisa pada
kenyataan yang dihadapi Indonesia saat ini. Bangsa ini mengalami kompleksitas persoalan
yang tidak bisa dipandang remeh. Di antara persoalan itu, seperti isu disintegrasi bangsa,
hal ini ditunjukkan dengan konflik di daerah-daerah yang belum tuntas; ancaman terorisme,
penegakan hukum yang ambivalen; pemberantasan KKN yang setengah hati; dan upaya
perbaikan ekonomi yang belum menandakan keberhasilan. 15
Maka mengkaji ulang kelayakan sistem politik negara bangsa dalam kehidupan
bernegara kita, adalah sebuah keniscayaan. Apalagi melihat tantangan-tantangan
transnasional yang terus berkembang dan menguat, membuat banyak pihak
mempertanyakan ulang kekuatan sistem politik negara bangsa.
Ketika banyak orang melihat globalisasi sebagai suatu hal yang positif, maka seharusnya
gagasan Khilafah Islam jangan dulu buru-buru dipandang sebagai sebuah ancaman bagi
negeri ini. Siapa tahu Khilafah adalah solusi terbaik bagi negeri ini, mari kita diskusikan
dengan semangat perbaikan negeri bukan dengan kacamata apriori!

REFERENSI

BUKU
Gerges, Fawaz A., Amerika dan Islam Politik : Benturan Peradaban atau Benturan
Kepentingan? (Jakarta : Alvabet, 2002)

Guéhenno, Jean-Marie., (diterjemahkan oleh Victoria Elliot). The End of the Nation-
State, (Minneapolis, MN: U of Minnesota P, 1995),

Huntington, Samuel P., Benturan Antar Peradaban dan Masa Depan Politik Dunia
(Yogyakarta : CV. Qalam, 2003)

14
The New Nature of Nation-State Failure, http://www.twq.com/02summer/rotberg.pdf dan Indonesia dalam
Zona Bahaya ke Arah Negara yang "Gagal", Kompas, 28 Maret 2002
15
http://www.dephan.go.id/modules.php?name=Sections&op=viewarticle&artid=36
Kenneth McKenzie, Jr. The Revenge of the Melians: Asymmetric Threats and the next
QDR. Chapter 1.

Khalid, Abdurrahman Muhammad, Soal Jawab; Seputar Gerakan Islam (Jakarta : Al-Islam
Press, 2003)

Mas’oed, Mohtar, Ilmu Hubungan Internasional; Disiplin dan Metodologi (Jakarta :


LP3ES, 1990)

Mill, John Stuart., Considerations on Representative Government (1861), Gutenberg


Project, 2004 http://www.gutenberg.org/etext/5669

Steven Metz and Douglas V. Johnson II. Asymmetry and U.S. Military Strategy:
Definition, Background, and Strategic Concepts.

Ohmae, Kenichi., The End of Nation State : The Rise of Regional Economics, The Free
Press, New York, 1995

Wan Usman, Daya Tahan Bangsa. Program Studi Pengkajian Ketahanan Nasional
Universitas Indonesia, Jakarta, 2003

Yulius, Hermawan. P, Transformasi dalam Studi Hubungan Internasional : Aktor, Isu dan
Metodologi, Graha Ilmu, 2007

JURNAL & MAKALAH


 Rewriting the Narrative An Integrated Strategy for Counterradicalization , The
Washington Institute for Near East Policy, Maret 2009
www.thewashingtoninstitute.org/pubPDFs/PTF2-Counterradicalization.pdf
 Seth G. Jones & Martin C. Libicki, HOW TERRORIST GROUPS END Lessons for
Countering al Qa’ida , RAND Corporation, 2008
www.rand.org/pubs/monographs/MG741-1.pdf
 Kull, Stephen et al. “Public Opinion in the Islamic World on Terrorism, al Qaeda, and
US Policies.” February 25, 2009. World Public Opinion.org.
http://www.worldpublicopinion.org/pipa/pdf/feb09/STARTII_Feb09_rpt.pdf.
 Phil Howison, The Decline of Nation State,
Victoria University, Wellington, New Zealand http://pacificempire.org.nz/wp-
content/uploads/TheDeclineOfTheNationState.pdf
 Robert I. Rotberg, The New Nature of Nation-State Failure,
http://www.twq.com/02summer/rotberg.pdf
 Bantarto Bandoro, Masalah-masalah Keamanan Internasional Abad 21, Makalah
Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, Denpasar 2003.
http://www.scribd.com/doc/27055013/Masalah-Keamanan-Internasional-Bantarto-
Bandoro
 Lili Romli, Tantangan Nasionalisme di Era Globalisasi, Jurnal Widya, halaman 28-29
www.katalog.pdii.lipi.go.id/index.php/searchkatalog/.../2267/2268.pdf
 Fahlesa Munabari, Negara-Bangsa dan Nasionalisme: Sebuah Refleksi,
http://munabari.wordpress.com/2007/04/28/negara-bangsa-dan-nasionalisme-
sebuah-refleksi/

INTERNET
 http://hizbut-tahrir.or.id/2010/06/21/apa-itu-khilafah/
 http://www.dephan.go.id/modules.php?name=Sections&op=viewarticle&artid=36
 Indonesia dalam Zona Bahaya ke Arah Negara yang "Gagal", Kompas, 28 Maret 2002

You might also like