You are on page 1of 8

MITOS DAN BAHAYA

DEMOKRATISASI DI NEGERI MUSLIM


Oleh : Zidniy Sa’adah, ST

WAJAH DEMOKRASI INDONESIA


Sebagai negeri muslim terbesar, Indonesia dipandang paling berhasil melangsungkan
demokratisasi di antara negeri-negeri muslim lainnya, setidaknya begitulah menurut penilaian
Amerika Serikat - sang kampiun demokrasi. Amerika Serikat memang mempunyai misi
menyebarkan nilai-nilai demokrasi ke seluruh dunia. Inilah yang oleh O’Donnell dan Schmitter
(1993) disebut praktik "ekspor" demokrasi oleh AS ke berbagai negara di dunia. Indonesia yang
berpenduduk keempat terbesar di dunia memiliki posisi strategis di kawasan Asia untuk
mengembangkan dan menyebarkan nilai-nilai demokrasi ala Amerika (Barat). Keberhasilan
Indonesia dalam konteks ini akan dipandang menjadi keberhasilan AS pula. Tentu bukan tanpa
alasan kalau Hillary Clinton dalam kunjungan terakhirnya di Indonesia, memuji-muji negeri ini
sebagai negara muslim demokratis terbesar dunia yang berhasil menggabungkan Islam dan
demokrasi. Bukan tanpa alasan pula kalau negara Barat memberikan bantuan dana yang besar
bagi suksesnya pemilu Indonesia termasuk menghadirkan pemantau asing.
Klaim dari Amerika Serikat tersebut sebenarnya patut kita pertanyakan, kalau tidak bisa
kita sebut menyesatkan. Karena realitas perjalanan demokrasi di Indonesia justru sangat
memilukan. Demokratisasi Indonesia pasca reformasi sudah ditandai dengan tiga kali ‘ritual’ pesta
demokrasi (baca: pemilu) yaitu 1999, 2004 dan 2009. Dan potret keberhasilan Pemilu 2009 kali ini
ternyata jauh panggang dari api, justru malah mengalami kemunduran dari pemilu-pemilu
sebelumnya. Jauh sebelum dimulainya pemilu, sudah banyak kekhawatiran dari kalangan
intelektual -yang akhirnya memang menjadi kenyataan- yaitu merosotnya angka partisipasi rakyat
alias ’golput’. Ditambah kasus DPT yang juga sudah menghantui sejak babak awal Pemilu 2009
dimulai. Belum lagi ancaman konflik sosial yang meluas akibat besarnya peluang kegagalan para
caleg dalam kompetisi pemilu legislatif.
Dan satu fakta yang paling menyedihkan adalah kekalahan partai-partai Islam yang hampir
pasti selalu terjadi setiap Pemilu di Indonesia, mungkin inilah yang disebut oleh Hillary sebagai
keberhasilan Indonesia dalam menggabungkan Islam dan Demokrasi. Yaitu keberhasilan
‘meminggirkan’ Islam dari ranah politik bernegara. Tentu ada baiknya jika mengingat kutipan
strategi Amerika Serikat dalam membangun karakter Islam Moderat; “Meski selalu ada potensi
bahaya dari partai Islam terhadap kebebasan yang demokratis, jika kelak berkuasa, pelibatan
partai-partai tersebut dalam institusi-institusi demokrasi secara terbuka dalam jangka panjang
akan mendorong lahirnya sikap moderat” (RAND Project AIR FORCE)
Fenomena demokratisasi di daerah juga tidak kalah memilukan. Setelah lahirnya Undang-
Undang No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah yang diikuti pelaksanaan pemilihan kepala
daerah langsung (pilkada) seakan menjadi suntikan baru bagi partisipasi politik masyarakat.
Tetapi sebenarnya terobosan otonomi daerah ini adalah sebuah kemunduran dalam berdemokrasi,
seperti yang disampaikan oleh Muladi, ketua Lemhanas, yang menginginkan Gubernur di daerah
ditunjuk langsung saja oleh presiden. Bayangkan, Pilkada harus berlangsung di 226 daerah, terdiri
11 provinsi dan 215 kabupaten/kota, dan menelan dana sekitar Rp1,25 triliun, suatu harga mahal
tentunya yang harus di bayar oleh rakyat indonesia untuk bisa berdemokrasi di tengah kemiskinan
yang melanda negeri ini. Pilkada Jatim 2008 saja menghabiskan dana Rp 830 miliar. Untuk daerah
lain, Litbang Kompas mencatat, Pilkada DKI Jakarta Agustus 2007 menghabiskan dana Rp 194
miliar; Pilkada di Jawa Barat dan Jawa Tengah juga menelan biaya tidak kurang dari Rp 500
miliar. Tentu ini belum biaya yang dikeluarkan masing-masing calon.
Kesimpulannya baik Pemilu maupun Pilkada yang dianggap sebagai indikator demokrasi di
sebuah negara adalah sangat melelahkan dan menghabiskan biaya yang sangat besar. Secara
umum rakyat Indonesia yang miskin harus mencoblos atau mecontreng 3 hari sekali dalam Pemilu
atau Pilkada. Belum lagi kalau terjadi sengketa, konflik dan anarkisme akibat Pilkada. Sungguh
potret demokrasi yang sangat ironis.

KESABARAN YANG TERLALU NAIF


Kecacatan dan kelemahan demokrasi yang tercatat dalam sejarah reformasi di negeri ini,
anehnya selalu mendapat pemakluman dan toleransi yang besar dari pemimpin negeri, bahkan
juga dari sebagian besar intelektual dan tokoh masyarakat. Mereka berargumen bahwa bangsa ini
masih ‘belajar’ berdemokrasi, bahwa saat ini Indonesia sedang melalui fase ‘transisi demokrasi’,
dan bahwa usia demokrasi Indonesia masih sangat muda baru 11 tahun, dan sejumlah argumen
lain yang terdengar klise. Toleransi dan harapan yang besar terhadap demokrasi seakan menutup
mata mereka terhadap kerusakan yang ditimbulkannya. Mereka terus mengumandangkan bahwa
bangsa Indonesia harus ‘bersabar’ dalam menjalani proses transisi demokrasi ini. Jadi, wajar jika
masih terjadi kekurangan di sana-sini karena 'masih merupakan proses transisi demokratisasi'.
Begitulah argumen naif yang sering kita dengar berulangkali.
Pertanyaannya, apakah kesabaran itu harus diletakkan dalam kerangka ‘ketidakpastian’?
apakah kita masih harus tetap bersabar, sementara tidak ada satupun jaminan/garansi bahwa
demokrasi akan menghantarkan Indonesia menjadi lebih baik? Pertanyaannya, sampai kapan
proses transisi itu berakhir (never-ending process)?
Sebenarnya kalangan pakar dari Barat pun mengakui; bahwa tidak ada satupun jaminan
yang bisa diberikan oleh demokrasi. Paham demokrasi sama sekali tidak bisa menjamin bahwa
warga-masyarakat suatu negara yang menjalankannya akan bahagia, makmur, damai, dan adil.
Pemerintahan manapun, termasuk pemerintahan yang paling demokratis, tak akan mampu
memenuhi tujuan-tujuan ideal tersebut di muka. Bahkan dalam praktiknya demokrasi selalu
mengecewakan dari apa yang dicita-citakan olehnya. Seperti usaha-usaha sebelumnya untuk
mencapai pemerintahan yang demokratis, negara-negara demokrasi modern juga menderita
banyak kerusakan (Snyder, 2003).
Penelitian dari Jurnal LIPI, bertajuk “Kritik atas Determinisme dalam Model Transisi
Demokrasi”, menyebutkan, fakta hanya sedikitnya negara yang “berhasil” dalam transisi.
Sejumlah negara yang telah meninggalkan bentuk otoritarianisme ternyata masih jauh dari sebuah
demokrasi, bahkan tanda-tanda surutnya demokrasi kembali ke bentuk otoriter masih terbuka.
Kondisi terakhir ini persis terjadi di negara-negara Eropa Selatan (1970-an) dan Amerika latin
(1980-an), sebagaimana yang digambarkan Guillermo O’Donnel, Philippe C. Schmitter, dan
Laurence Whitehead (1986), dalam bukunya ”Transitions from Authoritarian Rule”.
Benang merah dari buku tersebut menyebutkan, transisi menuju demokrasi pasti
mengalami rangkaian kemungkinan dan ketidakpastian (uncertainity). Ketidakpastian yang oleh
Przeworski disebut sebagai ciri utama demokrasi yang menyesatkan.
Untuk itulah tulisan ini berusaha mengupas demokrasi secara lebih dalam, dengan tinjauan
yang lebih komprehensif. Ada dua tinjauan penting dari demokrasi yang harus dikaji, yaitu
demokrasi sebagai sebuah tatanan nilai (value) dan demokrasi sebagai perangkat sistem yang
‘dipasarkan’ Barat kepada dunia Islam, tinjauan terakhir ini lebih sering disebut dengan istilah
‘demokratisasi’ atau lebih spesifiknya Huntington mengistilahkan sebagai ‘gelombang
demokratisasi ketiga’.

DEMOKRASI : TIDAK COMPATIBLE UNTUK NEGERI MUSLIM


Demokrasi lahir dari epistemologi sekuler, yang sangat bertentangan dengan Islam.
Demokrasi lahir dilatarbelakangi oleh keberadaan para penguasa di Eropa yang mengklaim bahwa
seorang penguasa adalah wakil Tuhan di bumi dan berhak memerintah rakyat berdasakan
kekuasaann-Nya. Mereka beranggapan bahwa Tuhan telah memberi mereka kewenangan untuk
membuat hukum sekaligus menerapkannya. Dengan kata lain, seorang penguasa dianggap
memiliki kewenangan untuk memerintah rakyat dengan peraturan yang dibuatnya sendiri, karena
kekuasaan mereka berpijak pada kekuasaan yang bersumber dari Tuhan, bukan dari rakyat.
Akibatnya mereka secara leluasa menzhalimi rakyat. Akhirnya timbullah pergolakan dan
konflik antara penguasa Eropa dengan rakyatnya. Dan muncullah gerakan reformasi Gereja yang
menentang dominasi gereja, dan menghendaki disingkirkannya agama dari kehidupan serta
menuntut kebebasan (feedom). Puncaknya adalah Revolusi Perancis tahun 1789 yang berujung
pada sekulerisasi, yakni upaya kompromistik untuk memisahkan gereja dari masyarakat, negara
dan politik.
Pada masa itu, pemikir Eropa mencari sebuah model agar kekuasaan tidak dimonopoli oleh
satu orang, keluarga kerajaan, kaum bangsawan ataupun penguasa Gereja. Dan satu-satunya
referensi mereka adalah pemikiran sejarah Yunani kuno, dimana dalam bahasa Yunani, kata
”demokrasi” berasal dari dua kata yaitu demos yang berarti rakyat dan kratos/cratein yang
berarti pemerintahan. Gagasan demokrasi ini muncul dalam bentuknya yang masih sangat
sederhana di Yunani Kuno sekitar abad ke-6 sampai abadke-3 SM dalam bentuk demokrasi
langsung (direct democracy) yaitu suatu bentuk pemerintahan dimana hak untuk membuat
keputusan-keputusan politik dijalankan secara langsung oleh seluruh warga negara yang bertindak
berdasarkan prosedur mayoritas.
Sistem inilah yang dipilih oleh masyarakat Eropa pada masa itu, sebagai model sistem
kenegaraan terbaik, setelah penderitaan panjang akibat tekanan kediktatoran sistem monarki
feodal yang berkuasa berabad-abad di Eropa. Setidaknya begitulah anggapan mereka.
Jadi secara historisitas, demokrasi muncul karena Eropa saat itu mengalami masalah serius
pada dua aspek yaitu (1) problem ajaran Kristen dan (2) problem kepemimpinan negara.
Penjelasannya sebagai berikut:
(1) Demokrasi jelas dilahirkan dari cara berfikir sekuler (pemisahan agama dari kehidupan) yang
sangat bertentangan dengan Islam. Karena Islam adalah agama yang sempurna, tidak sedekar
agama eskatologis (akherat oriented), tetapi juga agama dunia (din, dunya dan daulah). Poin
mendasar inilah yang membedakannya dengan Agama Kristen. Jadi sesungguhnya umat Islam
tidak pernah mengalami masalah dengan agamanya seperti halnya masyarakat Eropa Kristen.
Ciri mendasar dari kesekuleran demokrasi terdapat dalam dua poin, yaitu :
a. Ide demokrasi yang sangat antroposentrik (berpusat pada manusia). Terlihat pada prinsip
berikut yakni: (1) kedaulatan di tangan rakyat dan (2) rakyat sebagai sumber
kekuasaan. Manusia bisa membuat sendiri hukum dan aturan kehidupan.
b. Ide Kebebasan. Kebebasan invididu menjadi prinsip penting dalam demokrasi, agar rakyat
dapat menjadi penguasa bagi dirinya sendiri tanpa disertai tekanan dan paksaan.
Kebebasan individu ini, sesuai Deklarasi Universal HAM PBB pada tahun 1948 nampak
dalam empat hal:
(1) kebebasan beragama, (2) kebebasan berpendapat, (3) kebebasan kepemilikan dan
(4) kebebasan bertingkahlaku.

(2) Demokrasi adalah solusi yang dipilih oleh peradaban Barat – Sekuler, karena trauma kegagalan
sistem mereka pada aspek kepemimpinan negara. Sistem yang mereka miliki tidak berhasil
mencetak sosok pemimpin sejati yang mengayomi rakyat. Karena itulah mereka selalu
mempertentangkan antara konsep “Demokrasi” dengan “Otokrasi” juga dengan “Teokrasi”.
Dari sini bisa kita pahami ketakutan mereka yang berlebihan terhadap sistem otoriter,
termasuk pada kepemimpinan bersendikan agama. Sementara, umat Islam juga tidak pernah
mengalami traumatik kepemimpinan yang sangat mendalam seperti halnya yang dialami oleh
Barat.

ISLAM VS DEMOKRASI
Salah satu pemikiran paling mendasar dari demokrasi adalah kedaulatan di tangan rakyat.
Bahwa rakyat (baca: manusia / makhluq) memiliki kekuasaan untuk membuat hukum (legislasi).
Inilah hakikat demokrasi. Sebagai konsekuensi dari ide kedaulatan rakyat, rakyat melalui wakilnya
dipandang memiliki hak untuk membuat konstitusi, peraturan dan undang-undang apapun.
Sehingga dalam demokrasi semua standar dikembalikan pada akal manusia.
Dalam kerangka pemikiran Islam, akal manusia memiliki keterbatasan. Akal tidak dapat
menilai apakah sesuatu itu baik (khayr) atau buruk (syarr), terpuji (hasan) atau tercela (qabih).
Manusia bukan al-Hakim. Hanya Sang Pencipta, Allah SWT saja yang memiliki kedaulatan untuk
menentukan hukum. Ditambah lagi bahwa kesempurnaan Islam sebagai sebuah ideologi. Islam
sebagai agama sekaligus mabda’ yang berbeda dengan yang lain. Islam bukan saja agama yang
mengurusi masalah ruhiyyah (spiritual), akan tetapi juga meliputi masalah politik (siyasiyyah),
lengkapnya Islam adalah akidah spiritual dan politik (al-aqidah ar-ruhiyyah wa as-siyasiyah).
Kalangan Barat paham betul bahwa kaum Muslim tidak akan pernah menerima demokrasi
dalam pengertiannya yang hakiki tersebut. Karena itu negara-negara Barat (khususnya AS)
berusaha memeasarkan demokrasi di negeri-negeri Muslim melalui kemasan yang penuh tipuan.
Mereka memasukan demokrasi ke negeri Muslim, dengan propaganda bahwa demokrasi adalah
alat/ metode terbaik untuk memilih pemimpin/ penguasa negara. Dan ditanamkanlah dalam
benak kaum Muslim rasa apriori terhadap bentuk kekuasaan tunggal (otoritarian), kemudian kaum
Muslim diperkenalkan kepada bentuk kekuasaan kolektif dengan sistem pembagian kekuasaan.
Cara pemasaran Barat inilah yang kemudian dikenal dengan ‘proses demokratisasi’ atau
‘gelombang demokratisasi’.

DEMOKRATISASI : SEBUAH TEKNOLOGI PENJAJAHAN BARU


“Gelombang demokratisasi ketiga” (1974‐1990) begitu Samuel Huntington menyebutnya,
seorang ilmuwan politik terkemuka abad ini. Sebenarnya semenjak dekade 1980‐an dunia
internasional sudah menyaksikan gelombang demokratisasi baru yang dimulai dengan rontoknya
sejumlah rezim otoritarian di kawasan Eropa Selatan, Amerika Latin, Eropa Timur, Asia dan
beberapa negara di Afrika. Gelombang demokratisasi ini merupakan agenda perubahan politik
paling menyolok akhir abad 20, dengan keruntuhan Uni Sovyet sebagai klimaksnya.
Di negara‐negara yang dulunya dipimpin oleh rejim otoriter (seperti Indonesia, Argentina,
Rusia, Korea Selatan atau Brazilia) agenda kapitalisme-neoliberal atas nama demokrasi masuk,
ketika negara‐negara itu mengalami krisis politik dan krisis ekonomi. Pada masa itulah melalui
sejumlah agen‐agen utamanya semisal IMF dan World Bank, agenda neoliberalisme mulai masuk
dan membuat sejumlah “penyesuaian struktural”. Dan disambutlah sebuah jaman yang seringkali
disebut‐sebut dengan nada optimis yang meluap: transisi menuju demokrasi.
Proses ‘demokratisasi’ kemudian dimulai secara massif. Penguatan teoritik dan supply
energi politik di kalangan negara liberal Barat meneguhkan kebijakan mereka untuk mempercepat
laju gelombang demokrasi liberal ke negara-negara Selatan ataupun negara-negara yang belum
menganut paham demokrasi liberal. Maka, berbagai program pun diluncurkan untuk menyokong
perkembangan demokrasi dan pembentukan sistem politik dan tata pemerintahan di dunia ketiga
yang sejalan dengan garis liberal dalam corak pembangunannya.

1. Munculnya Program Good Governance


Pelacakan Abrahamsen (2000: 56) membuktikan pada tahun 1990 Democracy Initiative dari
US Agency for International Development (USAID) diluncurkan untuk membantu mendorong dan
mengonsolidasikan demokrasi sebagai prinsip pengelolaan sistem politik yang legitimate di
seluruh dunia. Satu tahun sebelumnya, 1989, World Bank mengintrodusir untuk pertama kali
istilah “good governance”, sebagai doktrin pembangunan baru dan tata kelola pemerintahan yang
segaris dengan demokrasi liberal. Doktrin ini meyakini bahwa demokrasi tidak hanya dikehendaki
dari perspektif hak asasi manusia, tetapi juga dibutuhkan sebagai syarat untuk pertumbuhan
ekonomi dan kesejahteraan berkelanjutan. Demokrasi liberal dan “anak ideologisnya”, good
governance, lantas menjadi tawaran baru bagi pembangunan negara di berbagai belahan dunia,
terutama dunia ketiga.
Lembaga-lembaga donor internasional yang dikoordinatori UNDP sepenuhnya menyadari
arti penting gelombang besar demokratisasi ini dalam mewujudkan sistem ekonomi dan politik
global yang sustainable. Bahkan UNDP merumuskan arti penting dari peran tiga institusi makro:
negara, pasar (ekonomi), dan masyarakat sebagai troika dalam membangun Good Governance
(UNDP, 2000). Dalam konteks Indonesia, di masa kepemimpinan Abdurrahman Wahid, Indonesia
pernah mendapatkan suntikan dana sebesar 300.000 dolar AS dari UNDP (United Nations
Development Program) untuk menciptakan good governance (Cides online)
Good governance itu sendiri dikritik sebagai tipe demokrasi baru yang sebetulnya
"pengemasan" paling berbahaya yang pernah dilakukan kelompok kapitalisme liberal untuk
memasukkan agenda mereka dengan masuk langsung dalam sistem politik (me-manage satu
negara), menghilangkan "peran negara", dan menggantikannya dengan "pasar" yang tersembunyi
lewat kata "masyarakat sipil" (Leftwich: 1993, Gibson: 1993; Hadenius dan Uggla: 1990).
2. Ritual Pesta Demokrasi (Pemilu)
Praktek Pemilu yang dikembangkan di dunia Islam saat ini khususnya Indonesia, tidak lain
dan tidak bukan juga merupakan desain dari proyek demokratisasi good governance. Desain
Pemilu ini lebih merepresentasikan model demokrasi elektoral-prosedural, pemaknaan demokrasi
lantas lebih terfokus pada persoalan penciptaan prosedur dan berbagai aturan main dalam
pemilu. Pemilu multipartai dikatakan sebagai esensi demokrasi, sementara kompetisi melalui
pemilu diletakkan sebagai upaya inti untuk mengglobalkan demokrasi. Perhatian pada pemilu ini
digambarkan melalui definisi Huntington tentang demokrasi yakni “apabila pembuat kebijakan
yang paling kuat dipilih dalam pemilu yang periodik, jujur, dan adil, manakala kandidat dapat
secara bebas bersaing merebut suara dan hampir semua penduduk dewasa bisa memberikan
suaranya. Demokrasi (elektoral) memberikan “jaminan kebebasan tak tertandingi oleh sistem
politik manapun” (Diamond, 2003:3)
Oleh karena itulah banyak sekali intervensi asing pada proses Pemilu di negeri ini. Untuk
Pemilu 2009 ini, Indonesia mendapat bantuan sebesar 37,5 juta dolar Amerika. Dana itu
digunakan bagi pemilu mulai dari proses sosialiasi hingga selesai. Pendanaan itu dikoordinasikan
oleh UNDP (United Nations Development Programme). Dana itu berasal dari berbagai negara
donor di antara-nya Inggris, Belanda, Spanyol, Amerika Serikat, Australia. Tercatat beberapa
negara dan lembaga-lembaga interna-sional telah mendaftarkan diri di Komite Pemilihan Umum
(KPU) sebagai tim pemantau pemilu 2009. Mereka yang telah men-dapatkan akreditasi dari KPU
sebanyak tujuh lembaga yakni National Democratic Institute (NDI), International Foundation for
Electoral System (IFES), Friedrich Naumann Stiftung fur die Freiheit (FNS), Anfrel Foun-dation
(Asian Network for Free Elections Foundation), Australia Election Commission), The Carter
Center, dan International Republican Institute (IRI). Sebagian besar lembaga itu bernaung di
bawah USAID. Juga ada delegasi Uni Eropa, Comelec Uni (KPU Philipines), KPU Afgha-nistan, KPU
Timor Leste, Ausaid (Kedutaan Australia), Duta Besar Brunei Darussalam, dan Duta Besar
Pakistan.

KHATIMAH
Konsep demokrasi terbukti tidak pernah sesuai dengan realitas. Ide-ide demokrasi hanyalah
mitos, ide khayalan, tidak realistis dan mustahil terwujud dalam tatanan kehidupan. Demokrasi
tak akan pernah terwujud sampai kapanpun.
Karena sejatinya demokrasi digunakan untuk menjauhkan kaum Muslim dari sistem Islam yang
bersumber dari Allah Swt. Sebab, demokrasi menyerahkan kedaulatan ke tangan manusia,
sementara dalam Islam kedaulatan ada di tangan Allah Swt. Demokrasi pun digunakan untuk
memerangi kaum Muslim. Atas nama menegakkan demokrasi dan memerangi terorisme, negeri-
negeri Islam diserang dan dijajah, seperti yang terjadi di Irak dan Afganistan.
Agama dikerdilkan sebatas moral, ritual, kewajiban individual. Kalaupun bersinggungan
dengan politik hanya sebatas nilai substansialnya saja seperti kejujuran, amanah, dan
semacamnya. Berdasarkan prinsip sekuler ini, siapapun yang ingin menegakkan syariah Islam akan
diserang dengan opini: Indonesia bukan negara agama, Indonesia bukan hanya milik umat Islam!
Propaganda demokratisasi di negeri-negeri Islam pada dasarnya tidak bisa dilepaskan dari
kepentingan negara-negara kapitalis penjajah. Sebab, tujuan dari politik luar negeri dari negara-
negara kapitalis itu memang menyebarkan ideologi Kapitalisme mereka, dengan demokrasi
sebagai derivatnya. Tersebarnya nilai-nilai Kapitalisme di dunia ini akan menguntungkan negara-
negara kapitalis; mereka akan tetap dapat mempertahankan penjajahannya atas negeri-negeri
Islam.
Maka dari itu, kaum muslimin haram mengambil dan menyebarluaskan demokrasi serta
mendirikan partai-partai politik yang berasaskan demokrasi. Haram pula bagi mereka menjadikan
demokrasi sebagai pandangan hidup dan menerapkannya; atau menjadikannya sebagai asas bagi
konstitusi dan undang-undang atau sebagai sumber bagi konstitusi dan undang-undang; atau
sebagai asas bagi sistem pendidikan dan penentuan tujuannya.

You might also like