You are on page 1of 89

LITA YANUARTI

20050310043
Penyakit menular yang menahun
Primer menyerang saraf tepi dan sekunder
menyerang sistem RES (Retikuloendotelial sistem),
kulit, testis dan organ lain
Menyebabkan kecacatan dan dampak psikososial
Kusta/Lepra  Sakit fisik, psikologik & sosial
Kusta ~ cacat  stigma
Stigma kusta  menurunkan kualitas hidup,
Mengganggu pekerjaan, hasil kerja dan
perkonomian
Terutama pada negara sedang berkembang
Terutama daerah tropis dan subtropis, serta negara
dengan sosial ekonomi rendah
Prevalensi di Indonesia: 1,57 per 10.000 penduduk
Indonesia: urutan ke-3 dunia setelah India dan
Myanmar
Insiden  sejalan dengan pe  insidens tuberkulosis
paru
RSCM : skrofuloderma (84%), tuberkulosis kutis
verukosa (13%), lain2 (3%)
Cara-cara penularan penyakit kusta sampai saat ini
masih merupakan tanda tanya. Yang diketahui hanya
pintu keluar kuman kusta dari tubuh si penderita,
yakni selaput lendir hidung. Tetapi ada yang
mengatakan bahwa penularan penyakit kusta adalah:
a. Melalui sekret hidung, basil yang berasal dari sekret
hidung penderita yang sudah mengering, diluar masih
dapat hidup 2–7 x 24 jam.
b. Kontak kulit dengan kulit. Syarat-syaratnya adalah
harus dibawah umur 15 tahun,keduanya harus ada lesi
baik mikoskopis maupun makroskopis, dan adanya
kontak yang lama dan berulang-ulang
Menurut Cocrane (1959), terlalu sedikit orang yang
tertular penyakit kusta secara kontak kulit dengan kasus-
kasus lepra terbuka.
Menurut Ress (1975) dapat ditarik kesimpulan bahwa
penularan dan perkembangan penyakit kusta hanya
tergantung dari dua hal yakni jumlah atau keganasan
Micobacterium Leprae dan daya tahan tubuh penderita
Sebagian besar (95%) manusia kebal terhadap kusta,
hampir sebagian kecil (5%) dapat ditulari. Dari 5% yang
tertular tersebut, sekitar 70% dapat sembuh sendiri dan
hanya 30% yang dapat menjadi sakit
Disamping itu faktor-faktor yang berperan dalam
penularan ini adalah :
- Usia : Anak-anak lebih peka dari pada orang dewasa
- Jenis kelamin : Laki-laki lebih banyak dijangkiti
- Ras : Bangsa Asia dan Afrika lebih banyak dijangkiti
- Kesadaran sosial :Umumnya negara-negara endemis
kusta adalah negara dengan tingkat sosial ekonomi
rendah
- Lingkungan : Fisik, biologi, sosial, yang kurang sehat
Mycobacterium leprae(M.leprae)
Basil tahan asam tahan alkohol, batang, ukuran 1-8 µ
Hidup dalam sel (Obligat intrasel), terutama jaringan
suhu dingin
Tidak dapat dikultur dalam media buatan
Dapat diisolasi dan diinokulasi, tetapi tidak dapat
dibiakkan
Membelah diri : 12-21 hari
Masa inkubasi : rata-rata 3-5 tahun
Mengenai semua usia, terbanyak 25-35 tahun
Faktor-faktor yang Menentukan Terjadinya
Penyakit Kusta :
a. Sumber Penularan
Hanya manusia satu-satunya sampai saat ini yang
dianggap sebagai sumber penularan walaupun kuman
kusta dapat hidup pada armadillo, simpanse, dan
pada
telapak kaki tikus yang tidak mempunyai kelenjar
thymus (Depkes RI, 9:2006).
b. Cara Keluar dari Pejamu (Host)
Mukosa hidung telah lama dikenal sebagai sumber dari
kuman. Suatu kerokan hidung dari penderita tipe
Lepromatous yang tidak diobati menunjukkan jumlah
kuman sebesar 10-10. Dan telah terbukti bahwa saluran
napas bagian atas dari penderita tipe Lepromatous
merupakan sumber kuman yang terpenting dalam
lingkungan (Depkes RI, 9:2006).
c. Cara Penularan
Kuman kusta mempunyai masa inkubasi selama 2-5
tahun, akan tetapi dapat juga bertahun-tahun. Penularan
terjadi apabila M. leprae yang utuh (hidup) keluar dari
tubuh penderita dan masuk ke dalam tubuh orang lain.
Belum diketahui secara pasti bagaimana cara penularan
penyakit kusta
d. Cara Masuk ke Pejamu
Tempat masuk kuman kusta ke dalam tubuh pejamu
sampai saat ini belum dapat dipastikan. Diperkirakan
cara masuknya adalah melalui saluran pernapasan
bagian atas dan melalui kontak kulit yang tidak utuh
e. Pejamu
Hanya sedikit orang yang akan terjangkit kusta setelah
kontak dengan penderita imunitas.
M. leprae termasuk kuman obligat intraseluler dan
sistem kekebalan yang efektif adalah sistem kekebalan
seluler.
Faktor fisiologik seperti pubertas, menopause,
kehamilan, serta faktor infeksi dan malnutrisi dapat
meningkatkan perubahan klinis penyakit kusta
M.Leprae masuk dalam tubuh  ditangkap oleh APC
(Antigen Presenting Cell)  melalui dua signal (Signal
pertama tergantung pada TCR- terkait antigen (TCR =
T cell receptor)  dipresentasikan oleh molekul MHC
pada permukaan APC; Signal kedua adalah produksi
sitokin dan ekspresinya pada permukaan dari molekul
APC yang berinteraksi dengan ligan sel T melalui
CD28)  kedua signal ini mengaktivasi To
berdifferensiasi menjadi Th1 dan Th2, dibantu oleh TNF
α
dan IL 12 Th 1 akan menghasilkan IL 2 dan IFN γ yang
akan meningkatkan fagositosis makrofag
Di dalam fagosit, fenolat glikolipid I akan melindungi
bakteri dari penghancuran oksidatif  Karena gagal
membunuh antigen maka sitokin dan growth factors
akan terus dihasilkan dan akan merusak jaringan 
makrofag akan terus diaktifkan dan lama kelamaan
sitoplasma dan organella dari makrofag akan
membesar  Sitokin dan GF tidak mengenali bagian
self atau nonself  akan merusak saraf dan saraf yang
rusak  diganti dengan jaringan fibrous  terjadilah
penebalan saraf tepi. Sel schwann merupakan APC
non professional(Wahyuni, 8:2009).
 Tanda-tanda penyakit kusta bermacam-macam,
tergantung dari tingkat atau tipe dari penyakit tersebut.
a. Adanya bercak tipis seperti panu pada badan/tubuh
manusia .Pada bercak putih ini pertamanya hanya sedikit,
tetapi lama-lama semakin melebar dan banyak.
b.Adanya pelebaran syaraf terutama pada syaraf ulnaris,
medianus, aulicularis magnus seryta peroneus. Kelenjar
keringat kurang kerja sehingga kulit menjadi tipis dan
mengkilat.
c. Adanya bintil-bintil kemerahan (leproma, nodul) yang
tersebar pada kulit
d.Alis rambut rontok
e. Muka berbenjol-benjol dan tegang yang disebut facies
leonina (muka singa)

Gejala-gejala umum pada lepra, reaksi :


a. Panas dari derajat yang rendah sampai dengan menggigil.
b.Anoreksia.
c. Nausea, kadang-kadang disertai vomitus.
d.Cephalgia.
e. Kadang-kadang disertai iritasi, Orchitis dan Pleuritis.
f. Kadang-kadang disertai dengan Nephrosia, Nepritis dan
hepatospleenomegali.
g.Neuritis.
Kelainan kulit:
 Makula anastesi (panas/dingin;nyeri;raba)
 Nodule , ichtyosis
 Ulkus (malperforan du pied)
 Madarosis
Kelainan Saraf:
 Pembesaran saraf tepi dengan gangguan sensibilitas
kulit yang dipersarafinya.
 Dapat disertai cacat akibat kerusakan saraf tepi,
sensorik, otonom maupun motorik
Kelainan organ lain:
Penebalan cuping telinga
Facies leonina
Saddle nose
Orchitis
Claw hand, drop hand, drop foot, mutilasi dll
Deformitas dapat terjadi pada kusta, ada dua jenis
yaitu primer dan sekunder.
Deformitas primer sebagai akibat langsung oleh
granuloma yang terbentuk sebagai reaksi terhadap
M.leprae, yang mendesak dan merusak jaringan
disekitarnya, yaitu kulit, mukosa traktus respiratorius
atas, tulang – tulang jari, dan wajah.
Deformitas sekunder terjadi sebagai akibat kerusakan
saraf, umumnya deformitas diakibatkan keduanya,
tetapi terutama karena kerusakan saraf.
Penebalan dan kerusakan syaraf tepi:
N.radialis  anestesi dorsum manus, serta ujung
proksimal jari telunjuk, tangan gantung (wrist drop)
dan tak mampu ekstensi jari – jari atau pergelangan
tangan.
N ulnaris  anestesia pada ujung jari anterior
kelingking dan jari manis, clawing kelingking dan jari
manis, dan atrofi hipotenar dan otot interoseus serta
kedua otot lumbrikalis medial.
N. medianus  anestesia pada ujung jari bagian
anterior ibu jari, telunjuk, dan jari tengah, tidak
mampu aduksi ibu jari, clawing ibu jari, telunjuk, dan
jari tengah, ibu jari kontraktur, dan juga atrofi otot
tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral
N. Poplitea lateralis  anestesi tungkai bawah, bagian
lateral dan dorsum pedis, kaki gantung (foot drop) dan
kelemahan otot peroneus.
N.tibialis posterior  anestesi telapak kaki, claw toes ,
dan paralisis otot intrinsik kaki dan kolaps arkus pedis.
N. Fasialis
- cabang temporal dan zigomatik  menyebabkan
lagoftalmus
- cabang bukal, mandibular serta servikal 
menyebabkan kehilangan ekspresi wajah dan
kegagalan mengatupkan bibir.
N.trigeminus  anestesi kulit wajah, kornea dan
konjungtiva mata
Kerusakan mata pada kusta dapat primer dan
sekunder.
Primer mengakibatkan alopesia pada alis mata dan
bulu mata, juga dapat mendesak jaringan mata
lainnya.
Sekunder disebabkan oleh rusaknya N.fasialis yang
dapat membuat paralisis N.orbikularis palpebrarum
sebagian atau seluruhnya lagoftalmus 
menyebabkan kerusakan bagian – bagian mata
lainnya.
Secara sendirian atau bersama – sama akan
menyebabkan kebutaan.
Infiltrasi granuloma ke dalam adneksa kulit yang
terdiri atas jaringan keringat, kelenjar palit, dan
folikel rambut  mengakibatkan kulit kering dan
alopesia.
Pada tipe lepromatous dapat timbul ginekomastia
akibat gangguan keseimbangan hormonal dan oleh
karena infiltrasi granuloma pada tubulus seminiferus
testis.
PENEBALAN SYARAF TEPI
Jenis klasifikasi yang umum :
A. Klasifikasi Internasional : Klasifikasi Madrid (1953)
· Indeterminate (I)
· Tuberkuloid (T)
· Borderline-Dimorphous (B)
· Lepromatosa (L)
B. Klasifikasi untuk kepentingan riset : Klaisfikasi
Ridley-Jopling (1962)

· Tuberkuloid (TT)
· Borderline tuberkuloid (BT)
· Mid-borderline (BB)
· Borderline lepromatous (BL)
· Lepromatosa (LL
C. Klasifikasi untuk kepentingan program kusta :
Klasifikasi WHO (1981) dan modifikasi WHO (1988)

· Pausibasiler (PB) à hanya kusta tipe I, TT dan sebagian


besar BT dengan pemeriksaan BTA negatif menurut
kriteria Ridley dan Jopling atau tipe I dan T menurut
klasifikasi Madrid
· Multibasiler (MB) à termasuk kusta tipe LL, BL, BB
dan sebagian BT menurut kriteria Ridley dan Jopling
atau B dan L menurut Madrid dan semua tipe kusta
dengan pemeriksaan BTA positif
Perbedaan tipe PB dan MB
1. Lesi kulit PB MB
(makula datar,papul, 1-5 lesi > 5 lesi
Nodus) hipopigmentasi erytema
distribusi asimetris simetris
hilangnya sensasi jelas tidak jelas
Kerusakan syaraf hanya satu cabang syarafbanyak
Tipe indeterminate

 Lesi berupa satu/dua makula hipopigmentasi dengan


sedikit sisik dan kulit disekitarnya normal
Lokasi biasanya di bagian ekstensor ekstremitas,
bokong atau muka, kadang- kadang dapat ditemukan
makula hipostesia atau sedikit penebalan saraf.
belum didapatkan gejala lain
 setelah bertahun tahun dapat berubah bentuk ke tipe
lain
 1. Tipe Tuberkuloid (TT)

 Lesi ini mengenai kulit maupun syaraf, jumlah lesi bisa satu
atau beberapa.
 Lesi dapat berupa makula atau plakat yang berbatas jelas dan
pada bagian tengah dapat ditemukan lesi yang regresi atau
central healing.
 Permukaan lesi dapat bersisik dengan tepi yang meninggi,
bahkan dapat menyerupai gambaran psoriasis atau tinea
sirsinata.
 Dapat disertai penebalan saraf perifer yang biasanya teraba,
kelemahan otot, dan sedikit rasa gatal.
 Tidak adanya kuman merupakan tanda terdapatnya respon
imun pejamu yang adekuat terhadap kuman kusta.
2. Tipe Borderline Tuberkuloid (BT)

Lesi pada tipe ini menyerupai tipe TT, yakni berupa


makula atau plakat yang sering disertai lesi satelit di
tepinya.
Jumlah lesi dapat satu atau beberapa
Gambaran hipopigmentasi, kekeringan kulit atau
skuama tidak sejelas tipe TT.
Gangguan saraf tidak seberat tipe TT dan biasanya
asimetris.
Lesi satelit biasanya ada dan terletak dekat saraf
perifer yang menebal.
3. Tipe Mid Borderline (BB)

Merupakan tipe yang paling tidak stabil, disebut juga


sebagai bentuk dismorfik dan jarang dijumpai.
Lesi sangat bervariasi, dapat berbentuk makula
infiltratif, permukaan lesi dapat mengkilap dan batas
lesi kurang jelas.
Ciri khasnya adalah lesi punched out, yaitu, suatu lesi
hipopigmentasi dengan bagian tengah oval dan
berbatas jelas.
4. Tipe Borderline Lepromatosus (BL)

Lesi dimulai dengan makula, awalnya sedikit dan


dengan cepat menyebar ke seluruh badan.
Walaupun masih kecil, papul dan nodul lebih tegas
dengan distribusi lesi yang hampir simetris dan
beberapa nodul nampaknya melekuk pada bagian
tengah.
Lesi bagian tengah sering tampak normal dengan
infiltrasi di pinggir dan beberapa tampak seperti
punched out.
Tanda-tanda kerusakan saraf lebih cepat muncul
dibanding tipe LL.
5. Tipe Lepromatous Leprosy
Jumlah lesi pada tipe ini sangat banyak, simetris,
permukaan halus, lebih eritematus, berkilap, berbatas
tidak tegas
Pada stadium dini tidak ditemukan anestesi dan
anhidrosis.
Distribusi lesi khas, yakni di daerah wajah, mengenai
dahi, pelipis, dagu, cuping telinga; di badan mengenai
bagian badan yang dingin, seperti lengan, punggung
tangan, dan ekstensor tungkai.
Pada stadium lanjut, tampak penebalan kulit yang
progresif, cuping telinga menebal, facies leonina,
madarosis, iritis, keratitis, deformitas pada hidung,
pembesaran kelenjar limfe, dan orkitis yang
selanjutnya dapat menjadi atrofi testis
Kerusakan saraf yang luas menyebabkan gejala
stocking and glove anesthesia
Pada stadium lanjut serabut-serabut saraf perifer
mengalami degenerasi hialin atau fibrosis yang
menyebabkan anastesi dan pengecilan otot tangan
dan kaki.
bakteriologi: kuman globi,klups
KUSTA TIPE PB
1. Anamnesis
- keluhan penderita
- riwayat kontak dengan penderita
- latar belakang sosio ekonomi
2. Pemeriksaan Fisik
Inspeksi pasien dapat dilakukan dengan penerangan yang
baik, lesi kulit harus diperhatikan dan juga dilihat kerusakan
kulit.
Palpasi dan pemeriksaan dengan menggunakan alat – alat
sederhana yaitu jarum untuk rasa nyeri, kapas untuk rasa raba,
tabung reaksi masing – masing dengan air panas dan es, pensil
tinta Gunawan (tanda
Gunawan) untuk melihat ada tidaknya dehidrasi di daerah lesi
2. Pemeriksaan Saraf Tepi
Untuk saraf perifer, perlu diperhatikan pembesaran,
konsistensi dan nyeri atau tidak.
saraf yang diperiksa yaitu N.fasialis, N.aurikularis
magnus, N.radialis, N. Ulnaris, N. Medianus, N.
Poplitea lateralis, N. Tibialis posterior.
Pada pemeriksaan saraf tepi dapat dibandingkan saraf
bagian kiri dan kanan, adanya pembesaran atau tidak,
pembesaran reguler/irreguler, perabaan keras/kenyal,
dan yang terakhir dapat dicari adanya nyeri atau tidak
(Daili, 21:2003).
Pada tipe lepromatous biasanya kelainan sarafnya
billateral dan menyeluruh, sedangkan tipe
tuberkoloid terlokalisasi mengikuti tempat lesinya
Cara pemeriksaan saraf tepi :

N. Aurukularis magnus


Pasien disuruh menoleh ke samping semaksimal
mungkin saraf yang terlibat akan terdorong oleh
otot di bawahnya sehingga sudah bisa terlihat bila
saraf membesar. Dua jari pemeriksa diletakkan di atas
persilangan jalannya saraf tersebut dengan arah otot.
Bila ada penebalan, maka pada perabaan secara
seksama akan menemukan jaringan seperti kabel atau
kawat. Bandingkan antara yang kiri dan yang kanan
N. Ulnaris
Tangan yang diperiksa harus santai, sedikit fleksi dan
sebaiknya diletakkan di atas satu tangan pemeriksa.
Tangan pemeriksa yang lain meraba lekukan di bawah
siku (sulkus nervi ulnaris) dan merasakan, apakah ada
penebalan atau tidak. Bandingkan antara yang kanan
dan yang kiri untuk melihat adanya perbedaan
N. Paroneus lateralis
Pasien duduk dengan kedua kaki menggantung,
diraba di sebelah lateral dari capitulum fibulae,
biasanya sedikit ke posterior
Tes Fungsi Saraf
a. Tes Sensoris
Gunakan kapas, jarum, serta tabung reaksi berisi air
hangat dan dingin.
b. Tes Otonom
Berdasarkan adanya gangguan berkeringat di makula
anestesi pada penyakit kusta, pemeriksaan lesi kulit
dapat dilengkapi dengan tes anhidrosis.
c. Tes Motoris (Voluntary muscle test)
Bahan kerokan kulit, mukosa hidung dan cuping
telinga
Pewarnaan dengan ziehl nieelsen(BTA)
Bakterioskopik negatif bukan berarti orang tersebut
tidak mengandung M.leprae
Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan
nonsolid dinyatakan dengan Bakterial Indeks(BI)
dengan nilai 0 sampai 6+
 BI 0 bila tidak ada BTA dalam 100 lp
 BI 1+bila 1-10 BTA dalam 100 LP
 BI 2+ bila 1-10 BTA dalam 10 LP
 BI 3+ bila 1-10 BTA dalam 1 LP
 BI 4+ bila 11-100 BTA rata rata dalam 1 LP
 BI 5+ bila 101-1000 BTA/LP
 BI 6+ bila > 1000 BTA dalam 1 LP
BI seseorang adalah BI rata rata semua lesi yang dibuat
sediaan
Indeks Morfologi:
prosentase bentuk solid dibandingkan dengan jumlah
solid dan nonsolid
Rumus: jumlah solid
Ҳ 100% =.
jumlah solid+non solid

Syarat perhitungan MI:


- jumlah minimal kuman tiap lesi 100 BTA
- BI +1 tidak usah dibuat MI nya
Pemeriksaan Histopatologis
Gambaran histopatologi tipe tuberkoloid adalah
tuberkel dan kerusakan saraf yang lebih nyata, tidak
ada basil atau hanya sedikit dan non solid.
Tipe lepromatosa terdapat subepidermal clear zone
yaitu suatu daerah langsung di bawah epidermis yang
jaringannya tidak patologik. Bisa dijumpai sel virchow
dengan banyak basil.
Tipe borderline terdapat campuran unsur – unsur
tersebut.
Sel virchow adalah histiosit yang dijadikan M.leprae
sebagai tempat berkembangbiak dan sebagai alat
pengangkut penyebarluasan.
Pemeriksaan Serologis
Kegagalan pembiakan dan isolasi kuman  dapat
dibuat berdasar diagnosis serologis merupakan
alternatif yang paling diharapkan.
Pemeriksaan serologik, didasarkan terbentuk antibodi
pada tubuh seseorang yang terinfeksi oleh M.leprae.
Pemeriksaan serologik adalah MLPA (Mycobacterium
Leprae Particle Aglutination), uji ELISA dan ML
dipstick.
Pemeriksaan Lepromin
Tes lepromin adalah tes non spesifik untuk klasifikasi
dan prognosis lepra tapi tidak untuk diagnosis. Tes ini
berguna untuk menunjukkan sistem imun penderita
terhadap M.leprae
Pada lesi makula, differensial diagnosisnya adalah
vitiligo, Ptiriasis versikolor,Ptiriasis alba, Tinea
korporis
Pada lesi papul, Granuloma annulare, lichen planus
Pada lesi plak, Tinea korporis, Ptiriasis rosea, psoriasis
Pada lesi nodul, Acne vulgaris, neurofibromatosis dll.
Pada lesi saraf, Amyloidosis, diabetes, trachoma
Didasarkan pada penemuan tanda kardinal yi:
Bercak kulit mati rasa (mati rasa total atau sebagian)
Penebalan syaraf tepi
Dapat disertai nyeri dan gangguan fungsi syaraf yang
terkena:
- gangguan fungsi sensoris: mati rasa
- gangguan fungsi motoris: paresa atau paralisa
- gangguan fungsi otonom: kulit kering,retak,
edema
Ditemukan basil tahan asam(BTA)
Bahan pemeriksaan dari cuping telinga/lesi kulit
Tujuan :
- memutus rantai penularan, ↓ insidens penyakit
- mengobati dan menyembuhkan penderita
- mencegah timbulnya cacat
TERAPI
PB dengan lesi tunggal diberikan ROM (Rifampicin
Ofloxacin Minocyclin).
Pemberian obat sekali saja langsung RFT/=Release
From Treatment. Obat diminum di depan petugas.
PB dengan lesi 2 – 5.Lama pengobatan 6 dosis ini bisa
diselesaikan selama (6-9) bulan. Setelah minum 6
dosis ini dinyatakan RFT (Release From Treatment)
yaitu berhenti minum obat
MB dengan lesi > 5.Lama pengobatan 12 dosis ini bisa
diselesaikan selama 12-18bulan. Setelah selesai minum
12 dosis obat ini, dinyatakan RFT/=Realease From
Treatment yaitu berhenti minum obat
Dapson(DDS/ diamino difenil sulfon):
- bakteriostatik, menghambat dihidrofolat sintetase.
 mengahalangi atau menghambat pertumbuhan
bakteri.
- Dapson merupakan antagonis kompetitif dari
paraaminobezoic acid (PABA) dan mencegah
penggunaan PABA untuk sintesis folat oleh bakteri. - -
- murah, efektif, aman
- Efek samping:
erupsi obat, anemia hemolitik, leukopenia. Jarang
terjadi pada dosis lazim
Rifampicin
- bakterisidal kuat, menghambat enzim
polimerase DNA- dependent RNA polymerase
pada sel bakteri dengan berikatan pada subunit
beta
- Dosis tunggal 600 mg/hari mampu
membunuh 99,9% dalam waktu beberapa hari
- Efek samping: hepatotoksik, erupsi kulit, ggn
GIT
Klofazimin/Lamprene
- bakteriostatik
- dapat menekan reaksi kusta.
- bekerja dengan menghambat siklus sel dan
transpor dari NA/K ATPase.
- Efek sampingnya adalah warna kulit bisa
menjadi berwarna ungu kehitaman,warna kulit
akan kembali normal bila obat tersebut
dihentikan, diare, nyeri lambung.
Obat Tambahan
Prednison, untuk penanganan dan pengobatan
reaksi kusta.
Sulfas Ferrosus untuk penderita kusta dgn anemia
berat.
VitaminA, untuk penderita kusta dgn kekeringan
kulit dan bersisisk (ichtyosis).
Ofloxacin dan Minosiklin untuk penderita kusta
tipe PB I.
Dapat berupa:
Komplikasi akibat reaksi
Komplikasi akibat kerusakan syaraf
Disebabkan karena penyebaran basil(invasi masif
kuman)
Akibat relaps
Komplikasi akibat imunitas menurun
Setelah pengobatan antikusta yang intensif
Infeksi rekuren
Pembedahan
Stress fisik
Imunisasi
Kehamilan
Saat setelah melahirkan
Reaksi tipe 1(ok hipersensitivitas selular)
Reaksi tipe 2(ok hipersensitivitas humoral)
Fenomena lucio(merupakan bentuk reaksi tipe 2 yang
berat)
 Episode inflamasi akut karena terjadi hipersensititas tipe
lambat
 Terjadi pada kusta borderline
 Berhubungan dengan upgrading atau downgrading
 Kadang disebut reaksi reversal
 Mempunyai gambaran yang mengenai kulit, syaraf
 Mempunyai gejala sistemik
Disebabkan karena pengendapan antigen antibodi
kompleks
Terjadi pada kusta multibasiler
Disebut juga erythema nodusum leprosum
Mempunyai lesi mengenai kulit dan syaraf
Ada gejala sistemik
Mengatasi neuritis untuk mencegah agar tidak
berkelanjutan menjadi paralisis atau kontraktur
Membunuh kuman penyebab agar penyakit tidak
meluas
Mengatasi rasa nyeri
Secepatnya dilakukan tindakan agar tidak terjadi
kebutaan bila mengenai mata
Bila reaksi tidak ditangani dengan cepat dan tepat
maka dapat timbul kecacatan berupa kelumpuhan
yang permanen seperticlaw hand , drop foot , claw toes
, dan kontraktur
Pemberian obat anti reaksi
Istirahat atau imobilisasi
Analgetik,sedatif untuk mengatasi nyeri
Obat antikusta diteruskan(bila tidak ada kontraindikasi)
Pada reaksi ringan, istirahat di rumah, berobat jalan,
pemberian analgetik dan obat-obat penenang bila perlu,
dapat diberikan Chloroquine 150 mg 3×1 selama 3-5 hari,
dan MDT (obat kusta) diteruskan dengan dosis yang
tidak diubah.
Reaksi berat, immobilisasi, rawat inap di rumah sakit,
pemberian analgesik dan sedative, MDT (obat kusta)
diteruskan dengan dosis tidak diubah, pemberian
obat-obat anti reaksi dan pemberian obat-obat
kortikosteroid misalnya prednison.
Obat-obat anti reaksi,Aspirin dengan dosis 600-1200
mg setiap 4 jam (4 – 6x/hari ) , Klorokuin dengan
dosis 3 x 150 mg/hari
Jenis cacat kusta:
Kelompok cacat primer
cacat yang disebabkan langsung oleh aktivitas
penyakit, terutama akibat respons terhadap m leprae.
- cacat pada fungsi syaraf sensorik(anastesi)
- fungsi syaraf motorik(claw hand, dropfoot
lagophtalmus
- infiltrasi kuman pada kulit,jaringan subkutan(fasies
leonina,ektropion)
- madarosis, alopesia(akibat kerusakan folikel
rambut)
- akibat infiltrasi pada tendon, tulang,testis dll
Kelompok cacat sekunder
terjadi akibat cacat primer, terutama akibat
adanya kerusakan saraf sensorik, motorik, otonom:
- kontraktur, ulkus
- keratitis
Tujuan :
Mencegah timbulnya cacat pada saat diagnosis kusta
ditegakkan dan diobati
Mencegah agar cacat yang telah terjadi jangan
menjadi lebih berat
Menjaga agar cacat yang telah baik tidak kambuh lagi
Cacat primer:
Diagnosis dini
Pengobatan secara teratur dan adekuat
Diagnosis dini dan penatalaksanaan neuritis,
termasuk silent neuritis
Diagnosis dini dan penatalaksanaan reaksi
Cacat sekunder:
Perawatan diri sendiri untuk luka
Perawatan mata, tangan dan kaki yang anastesi/
mengalami kelumpuhan otot
Bedah rekonstruksi untuk koreksi otot yang
mengalami kelumpuhan agar tidak mengalami
tekanan yang berlebihan
Setelah program terapi obat biasanya prognosis baik,
yang paling sulit adalah manajemen dari gejala
neurologis, kontraktur dan perubahan pada tangan
dan kaki.
membutuhkan tenaga ahli seperti neurologis,
ortopedik, ahli bedah, prodratis, oftalmologis,
physical medicine, dan rehabilitasi. Yang tidak umum
adalah secondary amyloidosis dengan gagal ginjal
dapat mejadi komplikasi
LAGOFTALMUS

DROP FOOT
BENTUK
REAKSI KUSTA
ULKUS KUSTA

CLAW HAND

You might also like