You are on page 1of 4

Pahlawan Revolusi Indonesia

Dengan membuat fitnah adanya sejumlah Jenderal TNI AD bekerjasama dengan satu negara luar hendak
menggulingkan Presiden Soekarno, PKI melakukan aksinya pada malam 30 September 1965 atau subuh
tanggal 1 Oktober 1965. Rencananya PKI hendak menculik dan membunuh tujuh Perwira Tinggi AD.
Rencana jahat itu berjalan hampir sempurna. Hanya satu di antara perwira dimaksud yang berhasil lolos
dari penculikan yakni Jenderal A.H. Nasution.

Ketujuh perwira yang berhasil diculik dan dibunuh itu besok harinya oleh tim yang dipimpin Soeharto
(mantan Presiden RI) ditemukan terkubur di sumur tua di daerah Lubang Buaya. Jenazah ketujuh korban
ditemukan penuh lumpur dan darah, dari bekas luka di tubuh para korban disimpulkan bahwa sebagian
korban langsung mati tertembak sementara sebagian lagi lebih dulu disiksa kemudian baru ditembak.

Untuk menghormati jasa para pahlawan sekaligus untuk mengingatkan bangsa ini akan peristiwa
penghianatan PKI tersebut, oleh pemerintah Orde Baru ditetapkanlah tanggal 1 Oktober setiap tahunnya
sebagai hari Kesaktian Pancasila sekaligus sebagai hari libur nasional. Dan di daerah Lubang Buaya,
Jakarta Timur di depan sumur tua tempat jenazah ditemukan, dibangun tugu dengan latar belakang
patung ketujuh Pahlawan Revolusi tersebut. Tugu tersebut dinamai Tugu Kesaktian Pancasila.

1. Achmad Yani

Jenderal Anumerta Achmad Yani (1922-1965) Jenderal Anti Komunis. Jenderal


Achmad Yani terkenal sebagai seorang tentara yang selalu berseberangan
dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Ketika menjabat Menteri/Panglima
Angkatan Darat (Men/Pangad) atau yang sekarang menjadi Kepala Staf
Angkatan Darat sejak tahun 1962, ia menolak keinginan PKI untuk membentuk
Angkatan Kelima yang terdiri dari buruh dan tani.

Dengan fitnah bahwa sejumlah TNI AD telah bekerja sama dengan sebuah
negara asing untuk menjatuhkan Presiden Soekarno, PKI lewat Gerakan Tiga
Puluh September (G 30/S) menjadikan dirinya salah satu target yang akan
diculik dan dibunuh di antara tujuh petinggi TNI AD lainnya.

Peristiwa yang terjadi pada tanggal 1 Oktober 1965 dinihari itu akhirnya menewaskan enam dari tujuh
Perwira Tinggi Angkatan Darat yang sebelumnya direncanakan PKI. Lubang Buaya lokasi dimana sumur
tempat menyembunyikan jenazah para Pahlwawan Revolusi itu berada menjadi saksi bisu atas
kekejaman komunis tersebut.
2. Sutoyo Siswomiharjo

Sutoyo Siswomiharjo (1922-1965) Gugur Dianiaya G-30-S/PKI Mayor Jenderal TNI


Anumerta Sutoyo Siswomiharjo dianugerahi penghargaan sebagai Pahlawan
Revolusi. Mantan IRKEHAD kelahiran Kebumen, 23 Agustus 1922, ini gugur di
Lubang Buaya, Jakarta, 1 Oktober 1965 sebagai korban dalam peristiwa Gerakan
30 September/PKI. Beliau dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta.

3. Suprapto
Letnan Jenderal Anumerta Suprapto (1920-1965) Menentang Komunis. Letnan
Jenderal Anumerta Suprapto terkenal sebagai seorang tentara yang taat
menjalankan ibadah agama dan tidak pernah setuju dengan ajaran komunis.
Sehingga ketika menjabat Deputy II Menteri/Panglima Angkatan Darat
(Men/Pangad), dialah salah satu perwira yang menolak usulan Partai Komunis
Indonesia (PKI) untuk membentuk Angkatan Kelima yang terdiri dari buruh tani.

Karena penolakan itu, pria kelahiran Purwokerto yang masuk tentara jamannya
Tentara Keamanan Rakyat dan yang pernah menjadi ajudan Panglima Besar Jenderal Sudirman, ini selalu
dimusuhi dan selalu mendapat rongrongan dari pihak PKI. Bahkan akhirnya dalam pemberontakan
Gerakan Tiga Puluh September tahun 1965, ia salah satu perwira tinggi yang menjadi korban penculikan
dan pembunuhan yang dilakukan oleh PKI.

Suprapto yang karena kesetiaanya pada Pancasila gugur sebagai Pahlawan Revolusi. Bersama enam
perwira lainnya ia dimakamkan di Taman Makan Pahlawan Kalibata. Pangkatnya yang sebelumnya masih
Mayor Jenderal kemudian dinaikkan satu tingkat menjadi Letnan Jenderal sebagai penghargaan atas
jasa-jasanya.

4. S. Parman

Letnan Jenderal Anumerta S. Parman (1918-1965) Setia Pada Pancasila Kata orang
bijak, fitnah lebih kejam daripada membunuh. Dan apa yang dilakukan oleh PKI
pada tujuh perwira pada malam 30 September 1965 jauh lebih kejam lagi. Setelah
memfitnah dengan menyebutkan bahwa para Jenderal itu telah bekerjasama
dengan satu negara luar untuk menjatuhkan Presiden Soekarno, PKI juga menculik
dan membunuh perwira-perwira tersebut secara sadis dan biadab. Letjen.
Anumerta S. Parman yang waktu itu menjabat sebagai Asisten I Menteri/Panglima
Angkatan Darat termasuk salah satu dari 7 perwira tersebut.
Pria kelahiran Wonosobo, Jawa Tengah ini merupakan perwira intelijen, sehingga banyak tahu tentang
kegiatan rahasia PKI karena itulah dirinya termasuk salah satu di antara para perwira yang menolak
rencana PKI untuk membentuk Angkatan Kelima yang terdiri dari buruh dan tani. Penolakan yang
membuatnya dimusuhi dan menjadi korban pembunuhan PKI.

Perwira yang gugur sebagai Pahlawan Revolusi ini lahir di Wonosobo, Jawa Tengah, Tanggal 4 Agustus. S.
Parman gugur sebagai Pahlawan Revolusi untuk mempertahankan Pancasila. Bersama enam perwira
lainnya ia dimakamkan di Taman Makan Pahlawan Kalibata. Pangkatnya yang sebelumnya masih Mayor
Jenderal kemudian dinaikkan satu tingkat menjadi Letnan Jenderal sebagai penghargaan atas jasa-
jasanya.

5. D.I. Panjaitan

Mayor Jenderal Anumerta D.I. Panjaitan (1925- 1965) Pembongkar Konspirasi


PKI � RRC Keberhasilan Mayor Jenderal Anumerta D.I. Panjaitan membongkar
rahasia kiriman senjata dari Republik Rakyat Cina (RRC) untuk Partai Komunis
Indonesia (PKI) serta penolakannya terhadap rencana PKI untuk membentuk
Angkatan Kelima yang terdiri atas buruh dan tani, membuat dirinya masuk daftar
salah satu perwira Angkatan Darat yang dimusuhi oleh PKI.

Kebencian PKI itu kemudian berujung pada aksi penculikan serta pembunuhan
dirinya saat pemberontakan Gerakan 30 September 1965. Ketika menjabat
Asisten IV Men/Pangad, ia mencatat prestasi tersendiri atas keberhasilannya membongkar rahasia
pengiriman senjata dari Republik Rakyat Cina (RRC) untuk PKI. Dari situ diketahui bahwa senjata-senjata
tersebut dimasukkan ke dalam peti-peti bahan bangunan yang akan dipakai dalam pembangunan
gedung Conefo (Conference of the New Emerging Forces). Senjata-senjata itu diperlukan PKI yang
sedang giatnya merencanakan pemberontakan.

Mayjen Anumerta D.I. Panjaitan yang malam dinihari itu merasa heran akan pemanggilan mendadak itu.
Namun karena loyalitasnya pada pimpinan tertinggi militer, Presiden Soekarno, ia pun berangkat namun
terlebih dahulu berpakaian resmi. Namun firasatnya yang tajam sepertinya merasakan bahaya yang
sedang terjadi. Sebelum memasuki mobilnya, dengan berdiri di samping mobil ia lebih dulu memohon
doa kepada Tuhan. Namun belum selesai menutup doanya, pasukan PKI sudah memberondongnya
dengan peluru.
.
Jenazah Panjaitan ditemukan di Lubang Buaya, terkubur massal di dalam satu sumur tua yang tidak
dipakai lagi bersama enam perwira lainnya. Ia gugur sebagai Pahlawan Revolusi, kemudian dimakamkan
di Taman Makan Pahlawan Kalibata. Sebagai penghargaan atas jasa-jasanya, pangkatnya yang
sebelumnya masih Brigadir Jenderal kemudian dinaikkan menjadi Mayor Jenderal.
6. M.T. Haryono

Letnan Jenderal Anumerta M.T. Haryono (1924-1965) Letjen Anumerta M.T.


Haryono kelahiran Surabaya, 20 Januari 1924, ini sebelumnya memperoleh
pendidikan di ELS (setingkat Sekolah Dasar) kemudian diteruskan ke HBS
(setingkat Sekolah Menengah Umum). Setamat dari HBS, ia sempat masuk Ika
Dai Gakko (Sekolah Kedokteran masa pendudukan Jepang) di Jakarta, namun
tidak sampai tamat.

Pada tanggal 1 Oktober 1965 dinihari, Letjen. TNI Anumerta M.T. Haryono
bersama enam perwira lainnya yakni: Jend. TNI Anumerta Achmad Yani;
Letjen. TNI Anumerta Suprapto; Letjen.TNI Anumerta S Parman; Mayjen. TNI
Anumerta D.I. Panjaitan; Mayjen. TNI Anumerta Sutoyo S; dan Kapten CZI TNI Anumerta Pierre Tendean
berhasil diculik kemudian dibunuh secara membabi buta dan jenazahnya dimasukkan ke sumur tua di
Lubang Buaya tanpa prikemanusiaan.

M.T. Haryono yang tewas karena mempertahankan Pancasila itu gugur sebagai Pahlawan Revolusi. Ia
kemudian dimakamkan di Taman Makan Pahlawan Kalibata. Sebagai penghargaan atas jasa-jasanya,
pangkatnya yang sebelumnya masih Mayor Jenderal kemudian dinaikkan satu tingkat menjadi Letnan
Jenderal.

7. Pierre Tendean

Dengan bertameng alasan dipanggil oleh Panglima Tertinggi Presiden


Soekarno, tujuh perwira tinggi TNI AD, pada malam 30 September atau
pagi dinihari tanggal 1 Oktober 1965 hendak diculik oleh sekelompok
berpakaian Pengawal Presiden yang kemudian diketahui adalah pasukan
PKI. Enam perwira tinggi itu berhasil diculik, namun Jenderal A.H.
Nasution berhasil lolos tapi puteri dan ajudannya menjadi korban
peristiwa itu.

Kapten (Anumerta) Pierre Andreas Tendean (1939�1965) salah seorang


korban pada peristiwa Gerakan 30 September dan merupakan pahlawan
nasional Indonesia. Beliau adalah ajudan dari Jenderal Abdul Harris
Nasution (Panglima ABRI) pada era Soekarno Abdul Harris Nasution lolos
dari peristiwa penculikan tetapi anaknya, Ade Irma Suryani Nasution tewas tertembus peluru. Pierre
Tendean sendiri ditangkap oleh segerombolan penculik dan dibunuh di Lubang Buaya. Beliau diculik
karena dikira adalah Jenderal A.H.Nasution. Beliau dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta.

You might also like