You are on page 1of 9

Peranan Dunia Pendidikan Bagi Pengembangan

Ditulis oleh Ahmad Heri Santoso


Rabu, 19 November 2008
FKIP Universitas Asahan

Oleh : Dr. S. Eko Putro Widoyoko, M.Pd.

Abstrak

Proses globalisasi yang terus berjalan menuntut perubahan paradigma persaingan


dari persaingan berdasarkan materi menjadi persaingan berdasarkan pengetahuan. Hal ini
menuntut organisasi untuk memiliki SDM yang berkualitas tinggi untuk mendapatkan
keunggulan kompetetitif. Untuk mewujudkan hal tersebut memerlukan dukungan dunia
pendidikan sebagai dapur yang mengolah dan mempersiapkan SDM yang dibutuhkan
organisasi.
Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa praktek pendidikan di Indonesia
selama ini kurang mampu menghasilkan SDM yang memiliki keunggulan kompetitif di
dunia persaingan global. Oleh karena itu untuk memasuki era globalisasi pendidikan harus
bergeser ke arah pendidikan yang berwawasan global. Pendidikan berwawasan global
harus merupakan kombinasi antara kebijakan sosial disatu sisi dan disisi lain sebagai
kebijakan yang mendasarkan pada mekanisme pasar, sistem dan struktur pendidikan harus
bersifat terbuka, sebagaimana layaknya kegiatan yang memiliki fungsi ekonomis.

A. Pendahuluan

Proses globalisasi akan terus merebak. Tidak ada satu wilayahpun yang dapat
menghindari dari kecenderungan perubahan yang bersifat global tersebut, dengan segala
berkah, problem dan tantangan-tantangan yang menyertainya. Perubahan yang bersifat
global yang begitu cepat menuntut kepekaan organisasi dalam merespon perubahan yang
terjadi agar tetap exist dalam kancah persaingan global. Dunia pendidikan juga harus
mengantisipasi kecenderungan-kecenderungan global yang akan terjadi. Beberapa
kecenderungan global yang perlu untuk diantisipasi oleh dunia pendidikan antara lain
adalah: Pertama, proses investasi dan re-investasi yang terjadi di dunia industri
berlangsung sangat cepat, menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan yang sangat
cepat pula pada organisasi kerja, struktur pekerjaan, struktur jabatan dan kualifikasi
tenaga kerja yang dibutuhkan.
Angka tenaga kerja yang terlibat dalam pasar global 12 tahun yang lalu hanya 1
milyar, menjadi 2,4 milyar pada tahun 1993, dan pada pidato Wolfenson tahun 1998 telah
dinyatakan menjadi 5 milyar. Itu berarti bahwa kemampuan tenaga kerja semakin dituntut
kualifikasi lebih tinggi. Tenaga kerja dengn produk lokal untuk konsumsi lokal menjadi
semakin kecil. Untuk itu diperlukan orientasi baru, yaitu dikembangkannya kebijakan
comparative advantage, keunggulan komparatif. Saling membandingkan dan mencari
keunggulan yang dapat ditampilkan agar produk tenaga kerjanya dapat dijual dalam
sistem pasar global.
Sebagai gambaran tentang pergeseran komposisi tenaga kerja dapat dilihat dari
laporan Bank Dunia tahun 1993 yang menunjukkan komposisi tenaga kerja sektoral yang
terlibat dalam pasar global sebagai berikut:

Tabel Komposisi Tenaga Kerja Sektoral 1993


Negara Low Income Econ Econo. Midlle Income Eco. High Income Economy
GNP <$695 191/29 >$626
Primer 854/61 191/29 22,8/6
Sekunder 210/15 180/27 110,2/29
Tersier 308/22 289/43 243,2/29
Jumlah 1.372 660 380

*Dalam milyar/persen

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa 57% tenaga kerja berada di low income
economies, 27,5% berada di middle income, dan hanya 15,5% berada di higher income
countries. Dari hasil penelitian Chennary teridentifi- kasi bahwa negara berkembang yang
hanya mengandalkan ekspor hasil pertanian akan semakin miskin. Macan-macan Asia
seperti Korela Selatan, Hongkong, Taiwan dan Singapura menjadi Newly Industrializing
Countries dimulai dengan ekspor industri manufacture. Jumlah ekspor produk
manufacture dari negara-negara berkembang meningkat tajam dari 20% pada tahun 1960
menjadi 60% pada tahun 1990.
Kedua, perkembangan industri, komunikasi dan informasi yang semakin cepat
akan melahirkan "knowledge worker" yang semakin besar jumlahnya. Knowledge worker
ini adalah pekerjaan yang berkaitan erat dengan information processing.
Ketiga, berkaitan dengan dua kecenderungan pertama, maka muncul
kecenderungan bahwa pendidikan bergeser dari ide back to basic ke arah ide the forward
to future basics, yang mengandalkan pada peningkatan kemampuan TLC (how to think,
how to learn and how to create). How to think menekankan pada pengembangan critical
thinking, how to learn menekankan pada kemampuan untuk bisa secara terus menerus dan
mandiri menguasai dan mengolah informasi, dan how to create menekankan pada
pengembangan kemampuan untuk dapat memecahkan berbagai problem yang berbeda-
beda.
Keempat, berkembang dan meluasnya ide demokratisasi yang bersifat substansi,
yang antara lain dalam dunia pendidikan akan terwujud dalam munculnya tuntutan
pelaksanaan school based management dan site-specific solution. Seiring dengan itu,
karena kreatifitas guru, maka akan bermunculan berbagai bentuk praktek pendidikan yang
berbeda satu dengan yang lain, yang kesemuanya untuk menuju pendidikan yang
produktif, efisien, relevan dan berkualitas.
Kelima, semua bangsa akan menghadapi krisis demi krisis yang tidak hanya dapat
dianalisis dengan metode sebab-akibat yang sederhana, tetapi memerlukan analisis system
yang saling bergantungan.
Kecenderungan-kecenderungan tersebut di atas menuntut kualitas sumber daya
manusia yang berbeda dengan kualitas yang ada dewasa ini. Muncul pertanyaan
mampukah praktek pendidikan kita menghasilkan lulusan dengan kualitas yang memadai
untuk menghadapi kecenderungan-kecenderungan di atas?

B. Pergeseran Struktur Tenaga Kerja


Pada abad XX dunia kerja ditandai dengan produksi massal dan terstandarisasi
untuk menurunkan ongkos produksi. Proses produksi semacam ini bersifat mekanistis
yang memerlukan tenaga kerja khusus namun kontrol tenaga kerja terbatas, sistem quality
control jelas, dan proses produksi harus dijauhkan dari kemalasan tenaga kerja. Namun
proses produksi pada abad XXI berubah. Pasar dewasa ini bersifat fleksibel, harus dapat
segera menanggapi perubahan, dan kerjasama dalam menyusun ongkos merupakan kunci
utama untuk dapat menang dalam persaingan. Oleh karena itu, organisasi dunia industri
memerlukan :

1. integrasi dari semua bagian dari proses produksi seperti bagian perencanaan,
mesin, pemasaran, proses produksi, dll.,
2. herarkis struktur organisasi yang mendatar,
3. desentralisasi tanggung jawab, dan,
4. lebih banyak melibatkan karyawan dalam pengambilan keputusan di segala
jenjang.

Sistem ini akan lebih responsif terhadap tuntutan dan kebutuhan perubahan,
fleksibel, dan lebih memungkinkan untuk melaksanakan pembaharuan yang berlangsung
secara terus menerus. Namun, sistem ini memerlukan tenga kerja yang memiliki skiil
yang berbeda-beda dan skiil yang lebih tinggi serta lebih terdidik. Persoalan yang muncul
adalah: 1) Berapa besar konsekuensi dari perubahan tersebut? 2) Seberapa besar cakupan
perubahan pada berbagai perusahaan pada dunia industri. 3) Sebarapa jauh perubahan
tersebut akan terjadi secara permanen?. Pada masa awal perubahan, tetap saja lebih
banyak pekerjaan yang memerlukan tenaga kerja dengan skill yang rendah, seperti dalam
usaha rumah makan, warung kebutuhan sehari-hari dan kerja administrasi kantor, dan tipe
pekerjaan tersebut akan merupakan pilihan utama bagi pencari kerja untuk pertama kali.
Namun dalam perkembangannya tahap demi tahap dunia kerja harus direstrukturisasi
sehingga merupakan pekerjaan yang memerlukan kemampuan pekerja yang lebih tinggi.
Pendidikan tidak hanya mempersiapkan peserta didik untuk mampu bekerja pada
satu jenis bidang yang relevan. Melainkan, pendidikan harus dapat mempersiapkan
peserta didik untuk mampu memasuki berbagai bidang kerja. Sekolah Menengah Umum,
di samping harus mampu mempersiapkan lulusan untuk memasuki dunia pendidikan
tinggi, harus pula mampu mempersiapkan lulusan untuk siap memasuki pelatihan dari
dunia kerja untuk memasuki berbagai bidang.
Namun, dibalik itu kita harus mencatat temuan hasil suatu penelitian. Dalam
research cognitive, antropologi dan otak, sebagaimana dilaporkan oleh Raizen (1989)
dalam Reforming education at work: A Cognitive science perspective, menunjukkan
bahwa seseorang belajar secara berbeda lewat pengalaman dalam kehidupan dibandingkan
pengalaman dari sekolah formal. Namun, meski hasil-hasil penelitian tersebut
meyakinkan, apa yang terdapat dalam proses pendidikan formal tetap saja tidak pernah
memperhitungkan atau mengabaikan pengalaman yang terjadi di luar sekolah. Hasilnya
terdapat kesenjangan antara pengalaman di sekolah dan apa yang ada di masyarakat,
antara lain sebagai berikut:

1. Sekolah menekankan pada inpidual performance, sebaliknya apa yang terjadi di


luar sekolah senantiasa menekankan socially shared performance.
2. Sekolah menekankan pada pemikiran yang tidak memerlukan alat bantu,
sebaliknya dunia kerja senantiasa memerlukan alat bantu.
3. Sekolah senantiasa menekankan pada simbol-simbol yang terpisah dari objek,
sebaliknya kehidupan dunia kerja menekankan pada upaya riil dalam menangani
objek.
4. Sekolah bertujuan untuk menyerap pengetahuan dan skill secara urnum,
sebaliknya dunia kerja memfokuskan pada pengetahuan dan skill yang relevan
dengan situasi tertentu.

C. Keunggulan Kompetitif Berkelanjutan

Keunggulan kompetitif merupakan posisi unik yang dikembangkan dalam


menghadapi para pesaing, yang memungkinkan perusahaan/negara mengungguli pesaing
secara konsisten. Definisi ini menekankan bahwa keunggulan hanya dapat dicapai dengan
pengembangan diferensiasi yang jelas dan favourable dari para pesaing. Menurut
Coynee(1986), keunggulan kopetetitif mempunyai arti hanya bila “dirasakan” di pasar,
dengan kalimat lain diferensiasi harus dicerminkan dalam atribut produk/jasa yang
merupakan kriteria pembelian kunci. Lebih lanjut, keunggulan tersebut akan berkelanjutan
hanya bila para pesaing tidak bisa dengan mudah menirunya. Esensinya, gap kapabilitas
yang mendasari diferensiasi harus membedakan atau memisahkan perusahaan dari
perusahaan pesaing; bila tidak, keunggulan kompetitif yang tidak eksis. Secara singkat,
kondisi paling penting untuk mempertahankan keunggulan kompetitif (sustainability)
adalah bahwa para pesaing yang ada dan potensial tidak mampu atau tidak akan
mengambil tindakan untuk menutup gap itu. Bila pesaing dapat dan akan menutup
gap,keunggulan kompetitif menurut definiasi tidak sustainable.
Barney mengemukakan empat kondisi yang harus dipenuhi sebelum suatu sumber
daya dapat disebut sebagai sumber keunggulan kompetitif berkelanjutan :

1. merupakan sumber daya organisasional yang sangat berharga (valuable), terutama


dalam kaitannya dengan kemampuan untuk mengeksploitasi kesempatan dan/ atau
menetralisasi ancaman dari lingkungan perusahaan;
2. relatif sulit untuk dikembangkan dan sehingga menjadi langka di lingkungan
kompetitif;
3. sangat sulit untuk ditiru atau diimitasi; dan
4. tidak dapat dengan mudah digantikan substitut yang secara strategis dignifikan.

D. SDM dan Keunggulan Kompetitif Berkelanjutan

Semakin disadari bahwa dunia bisnis akan menjadi industri yang digerakkan oleh
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (knowledge and technology based
industry), tidak hanya bergantung pada melimpahnya sumber daya alam (resource
intensive industry) dan upah buruh yang murah. Menghadapi kondisi seperti ini,
organisasi yang ingin mempertahankan kelangsungan hidupnya atau pertumbuhannya
akan semakin tergantung pada cara pengelolaan SDMnya. Manajemen mulai
mencanangkan kembali slogan ”Orang adalah aset paling penting” dan merumuskan
strategi-strategi yang tepat agar concern ini menjadi sentral. Namun tantangan utama
adalah mengarahkan organisasi untuk melakukan dua perubahan konseptual vital, yaitu :

1. perusahaan seharusnya tidak hanya percaya bahwa orang merupakan aset paling
penting, tetapi juga menterjemahkan keyakinan ini ke dalam praktik-praktik dan
prosedur-prosedur SDM sehari-hari. Perusahaan perlu mempunyai filosofi “people
first” dan “customer second”.
2. perusahaan yang saat ini menganggap biaya-biaya personalia, seperti pelatihan,
sebagai pengeluaran-pengeluaran over head, harus mulai memperlakukan sebagai
investasi.

Dasar pemikian makin pentingnya SDM, dan bagaimana mereka dikelola, sebagai
keunggulan kompetitif adalah bahwa, banyak sumber sukses kompetitif tradisional-seperti
teknologi produk dan proses proteksi pasar, akses ke sumber daya finasial dan economies
of scale, meskipun masih memberikan competitif leverage, menjadi kurang powerful.
Sejalan dengan semakin kurang pentingnya sumber keunggulan kompetitif
tradisional, faktor pembeda yang tetap krusial dalam kondisi persaingan yang semakin
ketat adalah organisasi, SDM dan bagaimana mereka dikelola. Semakin disadari bahwa
sumber keunggulan kompetitif yang paling sulit dicopy dan lebih sustainable adalah
melalui kegiatan-kegiatan dan praktik-praktik MSDM, karena sukes yang datang dari
MSDM sering tidak transparan dan tidak visible.

E. Tantangan Dunia Pendidikan di Indonesia

Tantangan utama dunia pendidikan Indonesia dewasa ini dan di masa depan adalah
kemampuan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Dalam kaitan ini
menarik untuk dikaji bagaimana kualitas pendidikan kita dan upaya apa yang dapat
dilakukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan sehingga bisa menghasilkan sumber
daya manusia yang lebih berkualitas sebagaimana diharapkan, agar bangsa Indonesia
menjadi bangsa yang produktif, efisien, dan memiliki kepercayaan diri yang kuat sehingga
mampu bersaing dengan bangsa-bangsa lain dalam kehidupan global ini.
Sejarah perkembangan ekonomi di banyak negara industri telah membuktikan tesis
human investment, pentingnya peran kualitas sumber daya manusia dalam pembangunan.
Berdasarkan tesis tersebut telah muncul strategi pembangunan yang dikenal dengan istilah
human-reseources based economic development, yang telah dipraktekkan dan mengantar
negara-negara, seperti Taiwan, Korea Selatan, Singapore menjadi negara-negara industri
baru.
Orientasi pendidikan Indonesia selama ini cenderung memperlakukan peserta didik
berstatus sebagai obyek atau klien, guru berfungsi sebagai pemegang otoritas tertinggi
keilmuan dan indoktrinator, materi bersifat subject oriented, manajemen bersifat
sentralistis. Orientasi pendidikan yang kita pergunakan tersebut menyebabkan praktek
pendidikan kita mengisolir diri dari kehidupan yang riil yang ada di luar sekolah, kurang
relevan antara apa yang diajarkan dengan kebutuhan dalam pekerjaan, terlalu
terkonsentrasi pada pengembangan intelektual yang tidak berjalan dengan pengembangan
inpidu sebagai satu kesatuan yang utuh dan berkepribadian. Proses belajar mengajar
didominasi dengan tuntutan untuk menghafalkan dan menguasai pelajaran sebanyak
mungkin guna menghadapi ujian atau test, di mana pada kesempatan tersebut anak didik
harus mengeluarkan apa yang telah dihafalkan.
Akibat dari praktek pendidikan semacam itu muncullah berbagai kesenjangan yang
antara lain berupa kesenjangan akademik, kesenjangan okupasional dan kesenjangan
kultural. Kesenjangan akademik menunjukkan bahwa ilmu yang dipelajari di sekolah
tidak ada kaitannya dengan kehidupan masyarakat sehari-hari. Hal ini disebabkan karena
guru tidak menyadari bahwa kita dewasa ini berada pada masa transisi yang berlangsung
dengan cepat, dan tetap memandang sekolah sebagai suatu insitusi yang berdiri sendiri
yang bukan merupakan bagian dari masyarakatnya yang tengah berubah. Di samping itu,
praktek pendidikan kita bersifat melioristik yang tercermin seringnya perubahan
kurikulum secara erratic. Ditambah lagi, banyak guru yang tidak mampu mengaitkan mata
pelajaran yang diajarkan dengan fenomena sosial yang dihadapi masyarakat. Akibatnya
guru terus terpaku pada pemikiran yang sempit. Terbatasnya wawasan para guru dalam
memahami fenomena-fenomena yang muncul di tengah-tengah masyarakat menyebabkan
mereka kurang tepat dan kurang peka dalam mengantisipasi permasalahan yang dihadapi
dunia pendidikan, akibatnya mereka kehilangan gambaran peta pendidikan &
kemasyarakatan secara komprehensif. Kesenjangan okupasional, kesenjangan antara
dunia pendidikan dan dunia kerja, memang bukanlah sernata-mata disebabkan oleh dunia
pendidikan sendiri. Melainkan, juga ada faktor yang datang dari dunia kerja. Sedangkan,
kesenjangan kultural ditunjukkan oleh ketidakmampuan peserta didik memahami
persoalan-persoalan yang sedang dihadapi dan akan dihadapi bangsanya di masa depan.
Kesenjangan kultural ini sebagai akibat sekolah-sekolah tidak mampu memberikan
kesadaran kultural-historis kepada peserta didik.
Peserta didik kita tidak memiliki historical-roots dan culturalroot dari berbagai
persoalan yang dihadapi. John Simmon dalam bukunya Better Schools sudah
memprediksi bahwa hasil pendidikan tradisional semacam itu hanya akan melahirkan
lulusan yang hanya pantas jadi pengikut bukannya jadi pemimpin. Jenis kerja yang
mereka pilih adalah kerja yang sifatnya rutin dan formal, bukannya kerja yang
memerlukan inisiatif, kreatifitas dan entrepreneurship.
Sudah barang tentu dengan kualitas dasar sumber daya manusia tersebut di atas,
bangsa Indonesia sulit untuk dapat menghadapi tantangan-tantangan yang muncul sebagai
akibat adanya kecenderungan global. Oleh karena itu agar SDM Indonesia mampu
bersaing dalam dunia global diperlukan adanya reformasi dalam pendidikan, yang salah
satu di antara aspek reformasi tersebut adalah perlu dikembangkannya pendidikan yang
berwawasan global tetapi tidak mengabaikan filosofis bangsa.

F. Pendidikan Berwawasan Global

Pendidikan memiliki keterkaitan erat dengan globalisasi. Pendidikan tidak


mungkin menisbikan proses globalisasi yang akan mewujudkan masyarakat global ini.
Dalam menuju era globalisasi, Indonesia harus melakukan reformasi dalam proses
pendidikan, dengan tekanan menciptakan sistem pendidikan yang lebih komprehensif dan
fleksibel, sehingga para lulusan dapat berfungsi secara efektif dalam kehidupan
masyarakat global demokratis. Untuk itu, pendidikan harus dirancang sedemikian rupa
yang memungkinkan para peserta didik mengembangkan potensi yang dimiliki secara
alami dan kreatif dalam suasana penuh kebebasan, kebersamaan dan tanggung jawab. Di
samping itu, pendidikan harus menghasilkan lulusan yang dapat memahami
masyarakatnya dengan segala faktor yang dapat mendukung mencapai sukses ataupun
penghalang yang menyebabkan kegagalan dalam kehidupan bermasyarakat. Salah satu
altematif yang dapat dilakukan adalah mengembangkan pendidikan yang berwawasan
global.
Premis untuk memulai pendidikan berwawasan gobal adalah bahwa informasi dan
pengetahuan tentang bagian dunia yang lain harus mengembangkan kesadaran kita bahwa
kita akan dapat memahami lebih baik keadaan diri kita sendiri apabila kita memahami
hubungan dengan masyarakat lain dan isu-isu global sebagaimana dikemukakan oleh
Psikolog Csikszentmihalyi dalam bukunya The Evolving Self: A Psychology for the Third
Millenium, 1993, yang menyatakan bahwa perkembangan pribadi yang seimbang dan
sehat memerlukan "an understanding of the complexities of an increasingly complex and
interdependent world".

1. Perspektif kurikuler
Pendidikan berwawasan global dapat dikaji berdasarkan dua perspektif: Kurikuler
dan perspektif Reformasi. Berdasarkan perspektif kurikuler, pendidikan berwawasan
global merupakan suatu proses pendidikan yang bertujuan untuk mempersiapkan tenaga
terdidik kelas menengah dan profesional dengan meningkatkan kemampuan inpidu dalam
memahami masyarakatnya dalam kaitan dengan kehidupan masyarakat dunia, dengan ciri-
ciri: a) mempelajari budaya, sosial, politik dan ekonomi bangsa lain dengan titik berat
memahami adanya saling ketergantungan, b) mempelajari berbagai cabang ilmu
pengetahuan untuk dipergunakan sesuai dengan kebutuhan lingkungan setempat, dan, c)
mengembangkan berbagai kemungkinan berbagai kemampuan dan keterampilan untuk
bekerjasama guna mewujudkan kehidupan masyarakat dunia yang lebih baik. Oleh karena
itu, pendidikan berwawasan global akan menekankan pembahasan materi yang mencakup:

1. adanya saling ketergantungan di antara masyarakat dunia,


2. adanya perubahan yang akan terus berlangsung dari waktu ke waktu,
3. adanya perbedaan kultur di antara masyarakat atau kelompok-kelompok dalam
masyarakat oleh karena itu perlu adanya upaya untuk saling memahami budaya
yang lain,
4. adanya kenyataan bahwa kehidupan dunia ini memiliki berbagai keterbatasan
antara lain dalam ujud ketersediaan barang-barang kebutuhan yang jarang, dan,
5. untuk dapat memenuhi kebutuhan yang jarang tersebut tidak mustahil
menimbulkan konflik-konflik.

Berdasarkan perspektif kurikuler ini, pengembangan pendidikan berwawasan


global memiliki implikasi ke arah perombakan kurikulum pendidikan. Mata pelajaran dan
mata kuliah yang dikembangkan tidak lagi bersifat monolitik melainkan lebih banyak
yang bersifat integratif. Dalam arti mata kuliah lebih ditekankan pada kajian yang bersifat
multidispliner, interdisipliner dan transdisipliner.

2. Perspektif Reformasi
Berdasarkan perspektif reformasi, pendidikan berwawasan global merupakan suatu
proses pendidikan yang dirancang untuk mempersiapkan peserta didik dengan
kemampuan dasar intelektual dan tanggung jawab guna memasuki kehidupan yang
bersifat sangat kompetitif dan dengan derajat saling ketergantungan antar bangsa yang
amat tinggi. Pendidikan harus mengkaitkan proses pendidikan yang berlangsung di
sekolah dengan nilai-nilai yang selalu berubah di masyarakat global. Oleh karena itu
sekolah harus memiliki orientasi nilai, di mana masyarakat kita harus selalu dikaji dalam
kaitannya dengan masyarakat dunia.
Implikasi dari pendidikan berwawasan global menurut perspektif reformasi tidak
hanya bersifat perombakan kurikulum, melainkan juga merombak sistem, struktur dan
proses pendidikan. Pendidikan dengan kebijakan dasar sebagai kebijakan sosial tidak lagi
cocok bagi pendidikan berwawasan global. Pendidikan berwawasan global harus
merupakan kombinasi antara kebijakan sosial disatu sisi dan disisi lain sebagai kebijakan
yang mendasarkan pada mekanisme pasar. Oleh karena itu, sistem dan struktur pendidikan
harus bersifat terbuka, sebagaimana layaknya kegiatan yang memiliki fungsi ekonomis.
Kebijakan pendidikan yang berada di antara kebijakan sosial dan mekanisme pasar,
memiliki arti bahwa pendidikan tidak semata ditata dan diatur dengan menggunakan
perangkat aturan sebagaimana yang berlaku sekarang ini, serba seragam, rinci dan
instruktif. Melainkan, pendidikan juga diatur layaknya suatu Mall, adanya kebebasan
pemilik toko untuk menentukan barang apa yang akan dijual, bagaimana akan dijual dan
dengan harga berapa barang akan dijual. Pemerintah tidak perlu mengatur segala
sesuatunya dengan rinci. Di samping itu, pendidikan berwawasan global bersifat sistemik
organik, dengan ciri-ciri fleksibel-adaptif dan kreatif-demokratis. Bersifat sistemik-
organik berarti sekolah merupakan sekumpulan proses yang bersifat interaktif yang tidak
dapat dilihat sebagai hitam-putih, melainkan setiap interaksi harus dilihat sebagai satu
bagian dari keseluruhan interaksi yang ada.
Fleksibel-Adaptif, berarti pendidikan lebih ditekankan sebagai suatu proses
learning dari pada teaching. Peserta didik dirangsang memiliki motivasi untuk
mempelajari sesuatu yang harus dipelajari dan continues learning. Tetapi, peserta didik
tidak akan dipaksa untuk mempelajari sesuatu yang tidak ingin dipelajari. Materi yang.
dipelajari bersifat integrated, materi satu dengan yang lain dikaitkan secara padu dan
dalam open-system environment. Pada pendidikan ini karakteristik inpidu mendapat
tempat yang layak. Kreatif-demokratis, berarti pendidikan senantiasa menekankan pada
suatu sikap mental untuk senantiasa menghadirkan sesuatu yang baru dan orisinil. Secara
paedogogis, kreativitas dan demokrasi merupakan dua sisi dari mata uang. Tanpa
demokrasi tidak akan ada proses kreatif, sebaliknya tanpa proses kreatif demokrasi tidak
akan memiliki makna.

G. Kesimpulan

Tantangan utama bangsa Indonesia dewasa ini dan di masa depan adalah
kemampuan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Dalam peningkatan
kualitas sumber daya manusia pendidikan memegang peran yang penting. Praktek
pendidikan di Indonesia selama ini kurang mampu menghasilkan SDM yang memiliki
keunggulan kompetitif di dunia persaingan global. Oleh karena itu untuk memasuki era
globalisasi pendidikan harus bergeser ke arah pendidikan yang berwawasan global. Dari
perspektif kurikuler pendidikan berwawasan global berarti menyajikan kurikulum yang
bersifat interdisipliner, multidisipliner dan transdisipliner. Berdasarkan perspektif
reformasi, pendidikan berwawasan global menuntut kebijakan pendidikan tidak semata
sebagai kebijakan sosial, melainkan suatu kebijakan yang berada di antara kebijakan
sosial dan kebijakan yang mendasarkan mekanisme pasar. Oleh karena itu, pendidikan
harus memiliki kebebasan dan bersifat demokratis, fleksibel dan adaptif.

DAFTAR PUSTAKA :

Hani Handoko.(2003). “Keunggulan Kompetetitif Melalui manajemen Sumber Daya


Manusia” dalam Paradigma Baru Manajemen Sumber Daya Manusia. Yogyakarta :
Amara Books
Muhadjir, Noeng. (2000). Kebijakan dan Perencanaan Sosial, Pengembangan Sumber
Daya Manusia. Yogyakarta: Rake Sarasin
Pendidikan Berwawasan Global (artikel). Diakses tanggal 12 Mei 2007, dari:
http://www.geocities.com/pakguruonline/pradigma_pdd_ ms_depn,
Rokhman, Wahibur. (2003). “Pemberdayaan dan Komitmen: Upaya Mencapai
Kesuksesan Organisasi dalam Menghadapi Persaingan Global” dalam Paradigma Baru
Manajemen Sumber Daya Manusia. Yogyakarta : Amara Books
Reformasi Pendidikan (artikel). Diakses tanggal 12 Mei 2007, dari : http://www.geocities.
com/pakguruonline/ wacana.
Zamroni. (2001). Paradigma Pendidikan Masa Depan. Yogyakarta : Bigraf Publising

You might also like