You are on page 1of 15

SPONDILITIS TUBERKULOSA

Pendahuluan
Di Indonesia, TB masih merupakan masalah utama kesehatan masyarakat.
Sampai saat ini, Indonesia merupakan negara dengan pasien TB terbanyak ke-3 di
dunia setelah India dan Cina. Diperkirakan terdapat 583.000 kasus baru tuberkulosis
per tahun, sebagian besar berada dalarn usia produktif (15-54 tahun), dengan tingkat
sosioekonomi dan pendidikan yang rendah. Diperkirakan jumlah pasien TB di
Indonesia sekitar 10% dari total jumlah pasien TB didunia. Tahun 1995, hasil Survei
Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) menunjukkan bahwa penyakit TB merupakan
penyebab kematian nomor tiga (3) setelah penyakit kardiovaskuler dan penyakit
saluran pernafasan pada semua kelompok usia, dan nomor satu (1) dari golongan
penyakit infeksi. Sampai tahun 2005, program Penanggulangan TB dengan Strategi
DOTS menjangkau 98% Puskesmas, sementara rumah sakit dan BP4 / RSP baru
sekitar 30%.

Tuberkulosa (TB) adalah suatu penyakit menular yg dapat berakibat fatal dan
dapat mempengaruhi semua bagian tubuh. Hampir 10 % mengenai musculoskeletal,
dan 50 % mempunyai lesi di tulang belakang dengan disertai defisit neurologis pada
10 – 45 % penderita. Kelumpuhan akan terjadi bila infeksi TBC mengenai Corpus
Vertebra dan terjadi kompresi pada medula spinalis. Bila terjadi dan menetap
(irreversible) akan mengganggu dan membebani tidak saja penderita sendiri, tetapi
juga keluarga dan masyarakat. Mengingat pentingnya hal ini, maka penekanan pada
topik ini lebih diarahkan ke infeksi TBC pada tulang belakang. Spondilitis
tuberkulosis merupakan salah satu kasus penyakit tertua dalam sejarah dengan
ditemukan dokumentasi kasusnya pada mummi di Mesir dan Peru’-2. Sir Percival
Pott (1799) mendeskrispsikan penyakit ini dalam monografnya yang klasik dan sejak
saat itu spondilitis tuberkulosa dikenal juga sebagai penyaldt Pott (Port’s disease).

Spondilitis tuberkulosa merupakan infeksi sekunder dari infeksi tuberkulosis


dengan penyebaran sebagian besar secara hematogen melalui pembuluh darah arteri
epifiseal atau melalui plexus vena Batson. Banerjee melaporkan pada 499 pasien
dengan spondilitis tuberkulosa, radiologis memperlihatkan 31% fokus primer adalah
paru-paru dan dari kelompok tersebut 78% adalah anak-anak, sedangkan 69% sisanya
memperlihatkan foto rantgen paru yang normal dan sebagian besar adalah dewasa.
Sampai saat ini belum ada suatu ketentuan khusus mengenai penatalaksaan spondilitis
TB. Masih terdapat banyak pertentangan apakah diterapi secara konservatif atau
operatif, pendekatan anterior – posterior ataupun kombinasi, memakai instrumentasi
atau tidak. Total treatment merupakan panduan untuk penatalaksanaan spondilitis TB
dengan membagi sepuluh alternatif pengobatan yang memudahkan seorang ahli bedah
untuk memilih jenis tindakan yang cocok dengan perkembangan penyakitnya dengan
tujuan menyembuhkan infeksi, dengan tulang belakang stabil dan bebas rasa sakit,
tanpa deformitas dan mengembalikan fungsi, sehingga memungkinkan penderita
kembali kekehidupan sosial, keluarga dan lingkungan kerja.
Anatomi vertebrae

Vertebra tipikal terdiri dari beberapa bagian, yaitu:

• Korpus vertebra, terletak di anterior, berfungsi untuk menjaga untuk


menyangga berat badan
• Arkus vertebra, terletak di posterior, menutup foramen vertebra. Di dalam
foramina vertebral terdapat kanal vertebral tempat medula spinalis. Fungsi dari
arkus vertebra untuk melindungi medulla spinalis. Arkus vertebra terdiri dari
dua pedikel melingkar, satu dari korpus, dan dua plat datar yang disebut
laminae yang menyatu di garis tengah posterior.
• Tiga prosesus, dua transversus dan satu spinosus, merupakan tempat
perlekatan otot dan membantu pergerakan vertebra.
• Empat prosesus artikularis, dua superior dan dua inferior, masing-masing
mempunyai articular facet. Prosesus artikularis terproyeksi ke superior dan
inferior dari arkus vertebra. Arah dari artikular facet menentukan pergerakan
alami dari vertebra dan mencegah vertebra terjatuh ke anterior.

Etiologi dan Faktor Predisposisi


Penyebab penyakit Tb Tulang adalah bakteri Mycobacterium Tuberculosa. Bakteri
ini berbentuk batang dan bersifat tahan asam sehingga dikenal juga sebagai Batang Tahan
Asam (BTA). Penyakit TBC biasanya menular melalui udara yang tercemar dengan bakteri
Mikobakterium tuberkulosa yang dilepaskan pada saat penderita TBC batuk, dan pada
anak-anak sumber infeksi umumnya berasal dari penderita TBC dewasa.
Pada orang-orang dengan sistem kekebalan tubuh yang kurang, bakteri ini
akan mengalami perkembangbiakan sehingga tuberkel bertambah banyak.
Meningkatnya penularan infeksi banyak dihubungkan dengan beberapa keadaan,
antara lain:
-memburuknya kondisi sosial ekonomi
-belum optimalnya fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat
-meningkatnya jumlah penduduk yang tidak mempunyai tempat tinggal
-daya tahan tubuh yang lemah/menurun,
-asupan nutrisi yang buruk

Kuman Tuberkulosis hidup dan berkembang biak pada tekanan O2 sebesar


140 mm H2O diparu dan dapat hidup di luar paru dalam lingkungan mikroaerofilik.
Droplet infeksius secara inhalasi masuk ke alveolus menimbulkan bronkopneumonia
non spesifik yang merupakan fokus primer.
Penularan penyakit TB biasanya melalui udara dengan inhalasi droplet
nukleus yang mengandung basil tuberkulosis berukuran 1-5 mikro meter yang dapat
melewati atau menembus sistem mukosilier saluran nafas, sehingga dapat mencapai
dan bersarang di bronkiolus dan alveolus. Kuman TB menyebar dari seorang
penderita TB paru terbuka kepada orang lain
Patofisiologi Spondilitis TB
Tuberkulosa pada tulang belakang dapat terjadi karena penyebaran hematogen
atau penyebaran langsung nodus limfatikus para aorta atau melalui jalur limfatik ke
tulang dari fokus tuberkulosa yang sudah ada sebelumnya di luar tulang belakang.
Pada penampakannya, fokus infeksi primer tuberkulosa dapat bersifat tenang. Sumber
infeksi yang paling sering adalah berasal dari sistem pulmoner dan genitourinarius.

Pada anak-anak biasanya infeksi tuberkulosa tulang belakang berasal dari


fokus primer di paru-paru sementara pada orang dewasa penyebaran terjadi dari fokus
ekstrapulmoner (usus, ginjal, tonsil).

Penyebaran basil dapat terjadi melalui arteri intercostal atau lumbar yang
memberikan suplai darah ke dua vertebrae yang berdekatan, yaitu setengah bagian
bawah vertebra diatasnya dan bagian atas vertebra di bawahnya atau melalui pleksus
Batson’s yang mengelilingi columna vertebralis yang menyebabkan banyak vertebra
yang terkena. Hal inilah yang menyebabkan pada kurang lebih 70% kasus, penyakit
ini diawali dengan terkenanya dua vertebra yang berdekatan, sementara pada 20%
kasus melibatkan tiga atau lebih vertebra.

Berdasarkan lokasi infeksi awal pada korpus vertebra dikenal tiga bentuk spondilitis:

(1) Peridiskal / paradiskal

Infeksi pada daerah yang bersebelahan dengan diskus (di area metafise di
bawah ligamentum longitudinal anterior / area subkondral). Banyak ditemukan pada
orang dewasa. Dapat menimbulkan kompresi, iskemia dan nekrosis diskus. Terbanyak
ditemukan di regio lumbal.

(2) Sentral

Infeksi terjadi pada bagian sentral korpus vertebra, terisolasi sehingga


disalahartikan sebagai tumor. Sering terjadi pada anak-anak. Keadaan ini sering
menimbulkan kolaps vertebra lebih dini dibandingkan dengan tipe lain sehingga
menghasilkan deformitas spinal yang lebih hebat. Dapat terjadi kompresi yang
bersifat spontan atau akibat trauma. Terbanyak di temukan di regio torakal.

(3) Anterior

Infeksi yang terjadi karena perjalanan perkontinuitatum dari vertebra di atas


dan dibawahnya. Gambaran radiologisnya mencakup adanya scalloped karena erosi di
bagian anterior dari sejumlah vertebra (berbentuk baji). Pola ini diduga disebabkan
karena adanya pulsasi aortik yang ditransmisikan melalui abses prevertebral dibawah
ligamentum longitudinal anterior atau karena adanya perubahan lokal dari suplai
darah vertebral.

(4) Bentuk atipikal :


Dikatakan atipikal karena terlalu tersebar luas dan fokus primernya tidak dapat
diidentifikasikan. Termasuk didalamnya adalah tuberkulosa spinal dengan
keterlibatan lengkung syaraf saja dan granuloma yang terjadi di canalis spinalis tanpa
keterlibatan tulang (tuberkuloma), lesi di pedikel, lamina, prosesus transversus dan
spinosus, serta lesi artikuler yang berada di sendi intervertebral posterior. Insidensi
tuberkulosa yang melibatkan elemen posterior tidak diketahui tetapi diperkirakan
berkisar antara 2%-10%.

tuberkulosa pada awalnya mengenai tulang cancellous dari vertebra. Area


infeksi secara bertahap bertambah besar dan meluas, berpenetrasi ke dalam korteks
tipis korpus vertebra sepanjang ligamen longitudinal anterior, melibatkan dua atau
lebih vertebrae yang berdekatan melalui perluasan di bawah ligamentum longitudinal
anterior atau secara langsung melewati diskus intervertebralis. Terkadang dapat
ditemukan fokus yang multipel yang dipisahkan oleh vertebra yang normal, atau
infeksi dapat juga berdiseminasi ke vertebra yang jauh melalui abses paravertebral.

Terjadinya nekrosis perkijuan yang meluas mencegah pembentukan tulang


baru dan pada saat yang bersamaan menyebabkan tulang menjadi avascular sehingga
menimbulkan tuberculous sequestra, terutama di regio torakal. Discus
intervertebralis, yang avaskular, relatif lebih resisten terhadap infeksi tuberkulosa.
Penyempitan rongga diskus terjadi karena perluasan infeksi paradiskal ke dalam ruang
diskus, hilangnya tulang subchondral disertai dengan kolapsnya corpus vertebra
karena nekrosis dan lisis ataupun karena dehidrasi diskus, sekunder karena perubahan
kapasitas fungsional dari end plate. Suplai darah juga akan semakin terganggu dengan
timbulnya endarteritis yang menyebabkan tulang menjadi nekrosis.

Destruksi progresif tulang di bagian anterior dan kolapsnya bagian tersebut


akan menyebabkan hilangnya kekuatan mekanis tulang untuk menahan berat badan
sehingga kemudian akan terjadi kolaps vertebra dengan sendi intervertebral dan
lengkung syaraf posterior tetap intak, jadi akan timbul deformitas berbentuk kifosis
yang progresifitasnya (angulasi posterior) tergantung dari derajat kerusakan, level lesi
dan jumlah vertebra yang terlibat. Bila sudah timbul deformitas ini, maka hal tersebut
merupakan tanda bahwa penyakit ini sudah meluas.

Di regio torakal kifosis tampak nyata karena adanya kurvatura dorsal yang
normal; di area lumbar hanya tampak sedikit karena adanya normal lumbar lordosis
dimana sebagian besar dari berat badan ditransmisikan ke posterior Sehingga akan
terjadi parsial kolaps; sedangkan di bagian servikal, kolaps hanya bersifat minimal,
kalaupun tampak hal itu disebabkan karena sebagian besar berat badan disalurkan
melalui prosesus artikular(3). Dengan adanya peningkatan sudut kifosis di regio
torakal, tulang-tulang iga akan menumpuk menimbulkan bentuk deformitas rongga
dada berupa barrel chest.

Proses penyembuhan kemudian terjadi secara bertahap dengan timbulnya


fibrosis dan kalsifikasi jaringan granulomatosa tuberkulosa. Terkadang jaringan
fibrosa itu mengalami osifikasi, sehingga mengakibatkan ankilosis tulang vertebra
yang kolaps.

Pembentukan abses paravertebral terjadi hampir pada setiap kasus. Dengan


kolapsnya korpus vertebra maka jaringan granulasi tuberkulosa, bahan perkijuan, dan
tulang nekrotik serta sumsum tulang akan menonjol keluar melalui korteks dan
berakumulasi di bawah ligamentum longitudinal anterior. Cold abcesss ini kemudian
berjalan sesuai dengan pengaruh gaya gravitasi sepanjang bidang fasial dan akan
tampak secara eksternal pada jarak tertentu dari tempat lesi aslinya.

Di regio lumbal abses berjalan sepanjang otot psoas dan biasanya berjalan
menuju lipat paha dibawah ligamen inguinal. Di regio torakal, ligamentum
longitudinal menghambat jalannya abses, tampak pada radiogram sebagai gambaran
bayangan berbentuk fusiform radioopak pada atau sedikit dibawah level vertebra yang
terkena, jika terdapat tegangan yang besar dapat terjadi ruptur ke dalam mediastinum,
membentuk gambaran abses paravertebral yang menyerupai ‘sarang burung’.
Terkadang, abses torakal dapat mencapai dinding dada anterior di area parasternal,
memasuki area retrofaringeal atau berjalan sesuai gravitasi ke lateral menuju bagian
tepi leher.

Sejumlah mekanisme yang menimbulkan defisit neurologis dapat timbul pada


pasien dengan spondilitis tuberkulosa. Kompresi syaraf sendiri dapat terjadi karena
kelainan pada tulang (kifosis) atau dalam canalis spinalis (karena perluasan langsung
dari infeksi granulomatosa) tanpa keterlibatan dari tulang (seperti epidural granuloma,
intradural granuloma, tuberculous arachnoiditis).

Salah satu defisit neurologis yang paling sering terjadi adalah paraplegia yang
dikenal dengan nama Pott’s paraplegia. Paraplegia ini dapat timbul secara akut
ataupun kronis (setelah hilangnya penyakit) tergantung dari kecepatan peningkatan
tekanan mekanik kompresi medula spinalis. Pada penelitian yang dilakukan Hodgson
di Cleveland, paraplegia ini biasanya terjadi pada pasien berusia kurang dari 10 tahun
(kurang lebih 2/3 kasus) dan tidak ada predileksi berdasarkan jenis kelamin untuk
kejadian ini.
Gambaran Klinis
Gambaran Spondylitis Tuberkulosa antara lain : :
• Badan lemah/lesu, nafsu makan berkurang, berat badan menurun,
• Suhu subfebril terutama pada malam hari serta sakit pada punggung, Pada
anak-anak sering disertai dengan menangis pada malam hari.
• Pada awal dapat dijumpai nyeri interkostal yaitu nyeri yang menjalar dari
tulang belakang ke garis tengah keatas dada melalui ruang intercosta, hal ini
karena tertekannya radiks dorsalis ditingkat torakal
• Nyeri spinal yang menetap, terbatasnya pergerakan spinal.

Kelainan neurologis terjadi pada sekitar 50% kasus karena proses destruksi lanjut
berupa:
• Paraplegia, paraparesis, ataupun nyeri radiks saraf, akibat penekanan medulla
spinalis yang menyebabkan kekakuan pada gerakan berjalan dan nyeri,
• Gambaran paraplegia inferior kedua tungkai bersifat UMN dan adanya batas
deficit sensorik setinggi tempat gibus/lokalisasi nyeri interkostal

Diagnosis
Pemeriksaan Fisik

• Nyeri dan kaku pada punggung


• Deformitas pada punggung (Gibbus)
• Pembengkakan setempat (abscess)
• Kelemahan/kelumpuhan extremitas (defisit neurologis)
• Adanya tanda dan gejala sistemik proses tbc
• Hiperreflesia tendon lutut/Achilles dan reflex patologik pada kedua belah sisi

Batas deficit sensorik akibat mielitis transversa dan gangguan miksi jarang dijumpai
Spondylitis korpus vertebra dibagi menjadi tiga bentuk :

1. Pada bentuk sentral.

Detruksi awal terletak di sentral korpus vertebra, bentuk ini sering ditemukan pada
anak.

2. Bentuk paradikus.

Terletak di bagian korpus vertebra yang bersebelahan dengan diskus


intervertebral, bentuk ini sering ditemukan pada orang dewasa.

3. Bentuk anterior vertebra bagian anterior, merupakan penjalaran per kontinuitatum


dari vertebra di atasnya dengan lokus awal di korpus.

Pemeriksaan Laboratorium

• Peningkatan LED dan mungkin disertai leukositosis, tetapi hal ini tidak dapat
digunakan untuk uji tapis. Al-marri melaporkan 144 anak dengan Spondylitis
tuberkulosis didapatkan 33 % anak dengan laju endap darah yang normal.
• Uji Mantoux positif
• Pada pewarnaan Tahan Asam dan Pemeriksaan biakan kuman mungkin
ditemukan mikobakterium
• Biopsi jaringan granulasi atau kelenjar limfe regional.
• Pemeriksaan histopatologis dapat ditemukan tuberkel
• Pungsi lumbal., harus dilakukan dengan hati-hati, karena jarum dapat
menembus masuk abses dingin yang merambat ke daerah lumbal. Akan
didapati tekanan cairan serebrospinalis rendah, test Queckenstedt
menunjukkan adanya blokade sehingga menimbulkan sindrom Froin yaitu
kadar protein likuor serebrospinalis amat tinggi hingga likuor dapat secara
spontan membeku.
• Peningkatan CRP ( C-Reaktif Protein ) pada 66 % dari 35 pasien spondylitis
tuberkulosis yang berhubungan dengan pembentukan abses.
• Pemeriksaan serologi didasarkan pada deteksi antibodi spesifik dalam
sirkulasi.
• Pemeriksaan dengan ELISA ( Enzyme-Linked Immunoadsorbent Assay )
dilaporkan memiliki sensitivitas 60-80 % , tetapi Pemeriksaan ini
menghasilkan negatif palsu pada pasien dengan alergi.Pada populasi dengan
endemis tuberkulosis,titer antibodi cenderung tinggi sehingga sulit mendeteksi
kasus tuberkulosis aktif.
• Identifikasi dengan Polymerase Chain Reaction ( PCR ) masih terus
dikembangkan. Prosedur tersebut meliputi denaturasi DNA kuman
tuberkulosis melekatkan nucleotida tertentu pada fragmen DNA , amplifikasi
menggunakan DNA polymerase sampai terbentuk rantai DNA utuh yang dapat
diidentifikasi dengan gel.

Pada Pemeriksaan mikroskopik dengan pulasan Ziehl Nielsen membutuhkan 10


basil permililiter spesimen, sedangkan kultur membutuhkan 10 basil permililiter
spesimen. Kesulitan lain dalam menerapkan Pemeriksaan bakteriologik adalah
lamanya waktu yang diperlukan. Hasil biakan diperoleh setelah 4-6 minggu dan hasil
resistensi baru diperoleh 2-4 minggu sesudahnya.Saat ini mulai dipergunakan system
BATEC ( Becton Dickinson Diagnostic Instrument System ), Dengan system ini
identifikasi dapat dilakukan dalam 7-10 hari. Kendala yang sering timbul adalah
kontaminasi oleh kuman lain, masih tingginya harga alat dan juga karena system ini
memakai zat radioaktif maka harus dipikirkan bagaimana membuang sisa-sisa
radioaktifnya.

Pemeriksaan Radiologis:
• Pemeriksaan foto toraks untuk melihat adanya tuberkulosis paru. Hal ini
sangat diperlukan untuk menyingkirkan diagnosa banding penyakit yang lain
• Foto polos vertebra, ditemukan osteoporosis, osteolitik dan destruksi korpus
vertebra, disertai penyempitan discus intervertebralis yang berada di antara
korpus tersebut dan mungkin dapat ditemukan adanya massa abses
paravertebral. Pada foto AP, abses paravertebral di daerah servikal berbentuk
sarang burung (bird’s net), di daerah torakal berbentuk bulbus dan pada daerah
lumbal abses terlihat berbentuk fusiform. Pada stadium lanjut terjadi destruksi
vertebra yang hebat sehingga timbul kifosis.
• Dekalsifikasi suatu korpus vertebra (pada tomogram dari korpus tersebut
mungkin terdapat suatu kaverne dalam korpus tersebut) oleh karena itu maka
mudah sekali pada tempat tersebut suatu fraktur patologis. Dengan demikian
terjadi suatu fraktur kompresi, sehingga bagian depan dari korpus vertebra itu
adalah menjadi lebih tipis daripada bagian belakangnya (korpus vertebra jadi
berbentuk baji) dan tampaklah suatu Gibbus pada tulang belakang itu.
• “Dekplate” korpus vertebra itu akan tampak kabur (tidak tajam) dan tidak
teratur.
• Diskus Intervertebrale akan tampak menyempit.
• Abses dingin. (2,3,7)

Foto Roentgen, abses dingin itu akan tampak sebagai suatu bayangan yang
berbentuk kumparan (“Spindle”). Spondylitis ini paling sering ditemukan pada
vertebra T8-L3 dan paling jarang pada vertebra C1-2.

Pemeriksaan CT scan
o CT scan dapat memberi gambaran tulang secara lebih detail dari lesi
irreguler, skelerosis, kolaps diskus dan gangguan sirkumferensi tulang.
o Mendeteksi lebih awal serta lebih efektif untuk menegaskan bentuk dan
kalsifikasi dari abses jaringan lunak.
Pemeriksaan MRI
o Mengevaluasi infeksi diskus intervertebra dan osteomielitis tulang
belakang.
o Menunjukkan adanya penekanan saraf.

Dilaporkan 25 % dari pasien mereka memperlihatkan gambaran proses infeksi pada


CT-Scan dan MRI yang lebih luas dibandingkan dengan yang terlihat dengan foto
polos.CT-Scan efektif mendeteksi kalsifikasi pada abses jaringan lunak . Selain itu
CT-Scan dapat digunakan untuk memandu prosedur biopsi.

Penatalaksanaan

Tujuan penatalaksanaan terhadap tuberkulosis pada vertebra ini adalah untuk


menghilangkan kuman penyebab, mencegah deformitas dan komplikasi berupa
paraplegi.

Pada prinsipnya pengobatan tuberkulosis tulang belakang harus dilakukan


sesegera mungkin untuk menghentikan progresivitas penyakit serta mencegah
paraplegia.
Prinsip pengobatan paraplegia Pott sebagai berikut :
1. Pemberian obat antituberkulosis
2. Dekompresi medulla spinalis
3. Menghilangkan/ menyingkirkan produk infeksi
4. Stabilisasi vertebra dengan graft tulang (bone graft)

Pengobatan terdiri atas :


1. Terapi konservatif berupa:
a. Tirah baring (bed rest)
b. Memberi korset yang mencegah gerakan vertebra /membatasi gerak vertebra
c. Memperbaiki keadaan umum penderita
d. Pengobatan antituberkulosa

Standar pengobatan di indonesia berdasarkan program P2TB paru adalah :


Kategori 1
Untuk penderita baru BTA (+) dan BTA(-)/rontgen (+), diberikan dalam 2
tahap ;
Tahap 1 : Rifampisin 450 mg, Etambutol 750 mg, INH 300 mg dan
Pirazinamid 1.500 mg. Obat ini diberikan setiap hari selama 2 bulan pertama
(60 kali).
Tahap 2: Rifampisin 450 mg, INH 600 mg, diberikan 3 kali seminggu
(intermitten) selama 4 bulan (54 kali).
Kategori 2
Untuk penderita BTA(+) yang sudah pernah minum obat selama sebulan,
termasuk penderita dengan BTA (+) yang kambuh/gagal yang diberikan dalam
2 tahap yaitu :
• Tahap I diberikan Streptomisin 750 mg , INH 300 mg, Rifampisin 450
mg, Pirazinamid 1500mg dan Etambutol 750 mg. Obat ini diberikan
setiap hari , Streptomisin injeksi hanya 2 bulan pertama (60 kali) dan
obat lainnya selama 3 bulan (90 kali).
• Tahap 2 diberikan INH 600 mg, Rifampisin 450 mg dan Etambutol
1250 mg. Obat diberikan 3 kali seminggu (intermitten) selama 5 bulan
(66 kali).
Kriteria penghentian pengobatan yaitu apabila keadaan umum penderita
bertambah baik, laju endap darah menurun dan menetap, gejala-gejala klinis
berupa nyeri dan spasme berkurang serta gambaran radiologik ditemukan
adanya union pada vertebra.
2. Terapi operatif
Indikasi operasi yaitu:
• Bila dengan terapi konservatif tidak terjadi perbaikan paraplegia atau malah
semakin berat. Biasanya tiga minggu sebelum tindakan operasi dilakukan,
setiap spondilitis tuberkulosa diberikan obat tuberkulostatik.
• Adanya abses yang besar sehingga diperlukan drainase abses secara terbuka
dan sekaligus debrideman serta bone graft.
• Pada pemeriksaan radiologis baik dengan foto polos, mielografi ataupun
pemeriksaan
• CT dan MRI ditemukan adanya penekanan langsung pada medulla spinalis.
Walaupun pengobatan kemoterapi merupakan pengobatan utama bagi
penderita tuberkulosis tulang belakang, namun tindakan operatif masih
memegang peranan penting dalam beberapa hal, yaitu bila terdapat cold abses
(abses dingin), lesi tuberkulosa, paraplegia dan kifosis.

Abses Dingin (Cold Abses)


Cold abses yang kecil tidak memerlukan tindakan operatif oleh karena dapat
terjadi resorbsi spontan dengan pemberian tuberkulostatik. Pada abses yang besar
dilakukan drainase bedah. Ada tiga cara menghilangkan lesi tuberkulosa, yaitu:
a. Debrideman fokal
b. Kosto-transveresektomi
c. Debrideman fokal radikal yang disertai bone graft di bagian depan.
Paraplegia
Penanganan yang dapat dilakukan pada paraplegia, yaitu:
a. Pengobatan dengan kemoterapi semata-mata
b. Laminektomi
c. Kosto-transveresektomi
d. Operasi radikalOsteotomi pada tulang baji secara tertutup dari belakang
Operasi kifosis
Operasi kifosis dilakukan bila terjadi deformitas yang hebat,. Kifosis
mempunyai tendensi untuk bertambah berat terutama pada anak-anak. Tindakan
operatif dapat berupa fusi posterior atau melalui operasi radikal.
Penatalaksanaan terhadap penyakit tuberkulosis meliputi:

• Konservatif: tuberkulostatik (rifampisin, isoniazid dan etambutol), diet


yang bergizi, bed rest di papan keras

• Operatif: bedah kostotransversektomi berupa debridement untuk


mengeluarkan pus, sequester yang mengandung tuberkulosis dan
mengganti tulang yang terinfeksi dengan bone graft. Penatalaksanaan
operatif dilakukan bila sudah terjadi defisit neurologis, deformitas berat,
dan tidak adanya respons terhadap obat-obatan.

• Apabila fasilitas tidak memadai maka terapi dengan OAT yang adekuat
dan pemakaian spinal brace/gips sudah cukup.

Komplikasi

Komplikasi dari spondilitis tuberkulosis yang paling serius adalah Pott’s


paraplegia yang apabila muncul pada stadium awal disebabkan tekanan ekstradural
oleh pus maupun sequester, atau invasi jaringan granulasi pada medula spinalis dan
bila muncul pada stadium lanjut disebabkan oleh terbentuknya fibrosis dari jaringan
granulasi atau perlekatan tulang (ankilosing) di atas kanalis spinalis.

Mielografi dan MRI sangatlah bermanfaat untuk membedakan penyebab


paraplegi ini. Paraplegi yang disebabkan oleh tekanan ekstradural oleh pus ataupun
sequester membutuhkan tindakan operatif dengan cara dekompresi medulla spinalis
dan saraf.
Komplikasi lain yang mungkin terjadi adalah ruptur dari abses paravertebra
torakal ke dalam pleura sehingga menyebabkan empiema tuberkulosis, sedangkan
pada vertebra lumbal maka nanah akan turun ke otot iliopsoas membentuk psoas
abses yang merupakan cold abscess.

Diagnosis Banding

Spondilitis tuberkulosis harus dibedakan dari poliomyelitis, penyakit paru


dengan empiema, rheumatoid arthritis, gout, dan fraktur kompresi pada vertebra yang
traumatic ataupun akibat tumor.

Prognosis

Prognosis spondilitis tuberkulosis tergantung pada cepatnya dilakukan terapi,


sensitivitas kuman tuberkulosis terhadap obat anti tuberkulosis dan ada tidaknya
komplikasi neurologik. Untuk spondilitis dengan paraplegia awal, prognosis untuk
kesembuhan sarafnya lebih baik, sedangkan spondilitis dengan paraplegia akhir,
prognosisnya kurang baik.

Diagnosis sedini mungkin, dan dengan pengobatan yang tepat, prognosisnya


baik meskipun tanpa tindakan operatif. Penyakit dapat kambuh jika pengobatan tidak
teratur atau tidak dilanjutkan setelah beberapa saat, yang dapat menyebabkan
terjadinya resistensi terhadap pengobatan.
SPONDILITIS
TUBERKULOSIS

Disusum Oleh :

Kelompok 3 :

• Ivana Las Maria Sagala (08-006)

• Christy Imelda (08-007)

• Dwi Indah Setyowati ( 08-020)

• Andhiyatno Ermandaka (08-055)

• Arini Harliana (08-106)

• Charles Hasudungan Siregar (08-141)

• Frincia Bunga R.A (08-052)

• Lisda Putri Nurcahaya (08-103)

• Anindita Dyah Larasati (08-148)

• Putu Tara Judica (08-186)

• Kezia Theodora Sonya (07-157)

Tutor Pembimbing : dr. Jurita


Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia

You might also like