You are on page 1of 1

TENGGANG RASA

Tenggang rasa, itulah pelajaran yang saya pelajari saat SD dulu, meski sekolah saya hanya sekolah
bobrok di desa nelayan kecil, namun pelajaran yang diajarkan tetap sama seperti mereka yang
mengenyam pendidikan di sekolah dengan fasilitas yang ‘wah’. Guru saya mengajarkan bahwa tenggang
rasa berarti berusaha menempatkan diri
kita dalam posisi orang lain, berusaha memahami orang lain, dalam hal ini lebih banyak
mengacu kepada orang yang kesusahan. Kita wajib bertenggang rasa dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara (itu kata guru saya), dan saya rasa itu benar. Tenggang rasa
menjadikan kita lebih “manusiawi” dan memahami sesama.
Namun, apakah tenggang rasa itu telah diamalkan bangsa ini? Tadi pagi(11/9/2009), saat saya membaca
surat kabar,kebetulan membaca sebuah
artikel menarik, yang berisikan rencana pembelian pesawat pribadi oleh gubernur salah
satu provinsi di Indonesia, dan tentu saja rencana ini ditolak oleh masyarakat. Masyarakat
menolak pembelian itu karena menganggap tindakan gubernur sebagai pemborosan
ditengah kehidupan masyarakat yang hidup serba kekurangan.
Kita pasti sudah bosan mendengar berita korupsi di berita televisi, atau bahkan dari
orang-orang di sekitar kita. Para koruptor dengan seenak hati mempergunakan hak rakyat
untuk kesenangan sendiri. Yang lebih menyakitkan, tak jarang korupsi dilakukan oleh
wakil rakyat, yang janji-janjinya sebelum dipilih akan menyejahterakan rakyat, berjuang
demi rakyat, berkorban demi rakyat, bla..bla..bla…akhirnya setelah terpilih malah
merampok uang rakyat. Akibatnya, masyarakat semakin lama semakin sengsara dan
bersikap apatis terhadap pemerintah.
Dari dua hal diatas dapat kita lihat apakah perilaku tenggang rasa masih ada dalam
hati sanubari kita masing-masing. Betapa pelajaran yang diajarkan dengan susah payah
oleh para Pahlawan Tanpa Tanda Jasa telah lenyap tanpa bekas dari benak kita. Tenggang
rasa, tenggang rasa, tenggang rasa! Begitu yang terngiang di telinga saya begitu saya
mengingat pelajaran PPKN yang diulang-ulang sejak SD sampai SMP. Namun, kini
mungkin Pendidikan Kewarganegaraan yang dianggap ‘kurang penting’ dibandingkan
dengan Bahasa Inggris atau kurikulum internasional lainnya yang ‘katanya’ bias
meningkatkan daya saing Sumber Daya Manusia Indonesia generasi berikutnya.
Sadarkah kita, apa jadinya pengetahuan dan persaingan tanpa didasari akhlak yang
baik? Sering kita mengaggap PPKN sangat membosankan. Memang benar, saya juga
merasakan hal yang sama, namun saya tiba-tiba disadarkan oleh suatu perumpamaan :
seringkali obat yang pahit itulah yang paling mujarab. Kadangkala hal yang
membosankan itu bermanfaat bagi kita tanpa kita sadari. Pelajaran PPKN dan Budi
Pekerti yang SANGAT membosankan, justru menjadi layaknya pembatas jalan tol bagi
kita, meski dirasa tidak terlalu berguna, namun dengan adanya pembatas itu kita dapat
terus berjalan lurus.

You might also like