Professional Documents
Culture Documents
1
menanam dan semakin cepat orang mengharapkan hasilnya, semakin tipis efek proses
pelembagaan di dalam masyarakat, dan sebaliknya. Efek kecepatan usaha-usaha
menanam tersebut, sebenarnya tidak dapat dilihat sendiri, akan tetapi, harus selalu
dihubungkan dengan faktor efektivitas menanamkan unsur-unsur baru.
Dalam contoh adat di Minang Kabau, penggunaan hukum sebagai alat untuk
mengubah masyarakat mau tidak mau harus disesuaikan dengan anggapan-anggapan
masyarakat Apabila suatu hasil positif hendak dicapai. Maka, yang sebaiknya dilakukan,
adalah pertama-tama menelaah bagaimana anggapan-anggapan masyarakat tentang
hukum. Artinya, apakah pada suatu saat fokus masyarakat memang tertuju pada hukum.
Selanjutnya, perlu disoroti bagian-bagian manakah dari suatu sistem hukum yang paling
dihargai oleh bagian terbesar masyarakat pada suatu saat.
Dalam contoh penanganan urbanisasi, ternyata arus urbanisasi tidak dapat ditahan
dengan membuat peraturan-peraturan pembatasan orang-orang menjadi warga kota, tetapi
di tempat asal penduduk tersebut harus pula diterapkan peraturan-peraturan tertentu.
2
sosial. Walaupun manusia selalu memilih, ada kecenderungan bahwa dia mengadakan
pilihan-pilihan yang sama, secara berulang-ulang atau teratur (B.J. Biddle and E.J.
Thomas 1966:4). Hal ini disebabkan oleh karena manusia menduduki posisi-posisi
tertentu dalam masyarakat dan peranannya pada posisi tersebut ditentukan oleh kaidah-
kaidah tertentu. Dengan demikian, kaidah merupakan patokan untuk bertingkah
laku sebagaimana diharapkan (statements of expected behavior).
Seseorang menentukan pilihan-pilihan tertentu dengan mempertimbangkan
anggapan-anggapan tentang apa yang harus dilakukannya (atau harus dilakukan) maupun
anggapan-anggapan tentang yang harus dilakukan oleh lingkungannya. Inilah yang
merupakan struktur normatif yang terdapat pada diri pribadi manusia, yang sekaligus
merupakan potensi di dalam dirinya. Dengan demikian, pokok dalam proses perubahan
perikelakuan melalui kaidah adalah konsepsi tentang kaidah, peranan (role) dan sarana
maupun cara untuk mengusahakan adanya konformitas (conformity-inducing measures).
Peranan adalah suatu sistem kaidah-kaidah yang berisikan patokan perikelakuan,
pada kedudukan-kedudukan tertentu di dalam masyarakat, kedudukan mana dapat
dipunyai pribadi ataupun kelompok. Pribadi yang mempunyai peranan tadi dinamakan
pemegang peranan (role occupant) dan perikelakuannya adalah berperannya
pemegang peranan tadi, dapat sesuai atau mungkin berlawanan dengan apa yang
ditentukan di dalam kaidah-kaidah. Pemegang peranan adalah subyek hukum, sedangkan
peranan merupakan hak dan kewajiban yang berkaitan dengan kepentingan hukum.
Berperannya pemegang peranan merupakan peristiwa hukum yang dapat sesuai atau
berlawanan. Dengan demikian, maka masalah utamanya adalah bagaimana kaidah-
kaidah hukum akan dapat mengatur berperannya pemegang-pemegang peranan tersebut.
Tentang hal tersebut, Hans Kelsen pernah mengemukakan bahwa suatu kaidah
hukum (sekunder) yang berisikan larangan atau suruhan atau kebolehan bagi subyek
hukum, sekaligus merupakan kaidah hukum (primer) bagi penegak hukum untuk
melakukan tindakan terhadap pelanggar-pelanggarnya (Hans Kelsen 1961:58). Kaidah
hukum sekunder hanya merupakan gejala lanjutan dari kaidah hukum primer.
Hukum berproses dengan cara membentuk struktur pilihan-pilihan para pemegang
peranan, melalui aturan-aturan serta sarana-sarana untuk mengusahakan konformitas
(yang antara lain, berwujud sanksi). Proses tadi berjalan dengan cara:
1. penetapan kaidah-kaidah hukum yang harus dipatuhi oleh pemegang peranan;
2. perumusan tugas-tugas penegak hukum untuk melakukan tindakan-tindakan positif
atau negatif, sesuai dengan apakah ada kepatuhan atau pelanggaran terhadap kaidah-
kaidah hukum, sehingga (Hans Kelsen 1961:16)
Oleh karena model dari Kelsen tersebut sangat terbatas ruang lingkupnya, maka
diperlukan kerangka yang lebih luas yang mungkin lebih banyak mempertimbangkan
masalah-masalah di sekitar penegak hukum subyek-subyek hukum lainnya. Untuk
keperluan itu, kiranya akan dapat dikemukakan langkah-langkah atau tahap-tahap yang
didasarkan pada hipotesis-hipotesis sebagai berikut:
1. Para pemegang peranan akan menentukan pilihannya, sesuai dengan anggapan-
anggapan ataupun nilai-nilai mereka terhadap realitas yang menyediakan
kemungkinan-kemungkinan untuk memilih dengan segala konsekuensinya.
2. Salah satu di antara faktor-faktor yang menentukan kemungkinan untuk menjatuhkan
pilihan adalah perikelakuan yang diharapkan dari pihak lain.
3. Harapan terhadap peranan-peranan tertentu dirumuskan oleh kaidah-kaidah.
4. Kaidah-kaidah hukum adalah kaidah-kaidah yang dinyatakan oleh para pelopor
perubahan atau mungkin juga oleh pattern-setting group.
3
5. Kaidah-kaidah hukum yang bertujuan untuk mengubah dan mengatur perikelakuan
dapat dilakukan dengan cara-cara:
a. melakukan imbalan-imbalan secara psikologis bagi pemegang peranan yang
patuh maupun melanggar kaidah-kaidah hukum;
b. merumuskan tugas-tugas penegak hukum untuk bertindak sedemikian rupa,
sehingga sesuai dengan serasi-tidak serasinya perikelakuan pemegang peranan
dengan kaidah-kaidah hukum;
c. mengubah perikelakuan pihak ketiga, yang dapat mempengaruhi perikelakuan
pemegang peranan yang mengadakan interaksi;
d. mengusahakan perubahan pada persepsi, sikap, dan nilai pemegang peranan.
Membentuk hukum yang efektif memang memerlukan waktu yang lama.
Hal itu disebabkan, antara lain karena daya cakupnya yang sedemikian luas, lagi pula
hukum itu harus dapat menjangkau jauh ke muka, sehingga memerlukan pendekatan yang
multi-disipliner. Hukum merupakan bagian dari masyarakat, yang timbul dan berproses
di dalam dan untuk kepentingan masyarakat. Oleh karena itu, masyarakat dapat
menentukan luas daya cakup hukum, maupun batas kegunaannya.