Professional Documents
Culture Documents
memiliki daya bendung (defensive) dan daya tangkal (counter-attack) yang tinggi dalam
menghadapi berbagai kemungkinan ancaman dari luar jelas memerlukan anggaran negara
yang sangat besar. Di sisi lain, kita dihadapkan kepada berbagai keterbatasan sumber
daya manusia, teknologi militer, dan investasi modal dalam pengembangan pertahanan
darat, laut, dan udara untuk menjaga wilayah kedaulatan negara kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) setiap saat. Dengan mengacu kepada perkembangan dan kemajuan
pada negara-negara lain yang membangun kekuatan HANKAM melalui pendekatan misi,
yaitu hanya untuk melindungi wilayah negaranya sendiri dan bukan untuk kepentingan
invasi militer, maka konsep “standing armed forces” secara proporsional dan seimbang
keamanan negara ini, di antaranya meliputi: pertama, perlawanan bersenjata yang terdiri
atas pasukan milter yang merupakan kekuatan utama TNI, yang selalu siap sedia, dan
pasukan yang memang dibina sebagai kekuatan cadangan strategis nasional serta pasukan
potensial lainnya, seperti halnya Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) dan rakyat
perlawanan tidak bersenjata yang terdiri dari Ratih, dan berfungi sebagai PNS, Hansip,
Tibum, Linra, Kamra, dan Linmas; ketiga, komponen pendukung perlawanan bersenjata
dan tidak bersenjata sesuai dengan bidang profesi masing-masing dengan pemanfaatan
semua sumber daya nasional, sarana, dan prasarana, serta perlindungan masyarakat
diperlukan adanya hubungan sipil-militer yang erat dan berkelanjutan, namun dengan
memisahkan hubungan keduanya dalam sistem politik nasional. Kalau kita memang ingin
membangun politik yang demokratis, maka semua hubungan yang ada di dalamnya juga
harus menghargai nilai-nilai tersebut. Artinya, militer harus berada di bawah pengawasan
atau control sipil. Walaupun militer meruapakan komponen penting dalam negara, namun
militer tidak dapat ikut dalam pembuatan keputusan (decision making). Pengambilan
kebijakan politik harus dilakukan sipil. Sangat disayangkan, keinginan untuk melakukan
reformasi hubungan sipil-militer yang sudah langgeng pada masa Orde Baru (1966-1998)
menjadi lebih demokratis hanya terjadi pada tahun-tahun awal proses reformasi (pasca
militer ada di bawah kontrol sipil. Apalagi, pada saat itu tekanan dan tuntutan masyarakat
sangat besar. Selain itu, juga muncul kesadaran di rezim politik awal reformasi untuk
menempatkan kembali posisi militer dalam posisi di bawah kontrol sipil dan menjadikan
reformasinya pun sangat terasa, meskipun tidak secara detail untuk operasionalisasinya.
Kemudian, pemerintahan Megawati kurang begitu tertarik pada agenda dan kebijakan
nasional.
Kegagalan Reformasi Pertahanan
tiga alasan utama, yaitu, pertama, Sejak kejatuhan Abdurrachman Wahid (Gus Dur), ada
anggapan di kalangan politisi sipil, bahwa kalau tidak menjaga hubungan baik (good
relationships) dengan petinggi militer, maka posisi politiknya rawan, tidak ada dukungan,
dan sangat rapuh. Akibatnya mudah ditebak, dimana Megawati tidak antusias untuk
mendorong reformasi pertahanan nasional. Kedua, tekanan dan tuntutan masyarakat juga
sudah melemah, karena setelah 4-5 tahun reformasi berjalan, ternyata masyarakat
pendidikan, mahalnya kesehatan, dan sebagainya. Pada akhirnya, masyarakat tidak lagi
reformasi pertahanan sebagai prioritas. Padahal, masih banyak persoalan mendasar yang
hingga saat ini belum terselesaikan, untuk membawa militer dalam sistem yang
Pertahanan. Panglima TNI masih anggota kabinet, padahal posisi panglima jelas jabatan
politik.
(WANHANNAS) yang dipimpin langsung Presiden. Jadi, militer sama sekali tidak
memasuki institusi politik. Ketiga, sejak Mei 1998, konflik antar masyarakat sangat
marak. Sebagian besar masyarakat melihat jalannya proses demokrasi, namun di antara
jarang terjadi. Sehingga mulai terjadi re-apresiasi pada peran militer (TNI) dalam
memberikan stabilitas internal. Masyarakat melihat ternyata TNI masih diperlukan dalam
penanganan persoalan dalam negeri, namun hal ini menyebabkan semakin jauhnya upaya
untuk mendorong reformasi TNI. Pemerintah sama sekali belum memberikan minat dan
perhatian pada reformasi militer dan pertahanan nasional, walaupun Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono berlatar belakang militer. Hingga saat ini, tindakan pemerintah
cenderung menunggu, tidak sistematis, dan membuat rancangan cetak biru (blue print)
dilaksanakan.
merupakan tugas dan wewenang pemerintah, dan bukan militer. Pemerintah harus
memikirkan strategi pertahanan dan cetak biru pertahanan. Hal ini disebabkan, reformasi
militer tidak hanya memerlukan reformasi politik militer, tetapi juga membutuhkan
utama sistem pertahanan) merupakan keputusan yang didasari cetak biru pertahanan.
Dimana, hal tersebut berhubungan dengan kapabilitas tentara dan sistem pertahanan
nasional yang ingin kita kembangkan. Pada tataran prinsip dan norma, TNI harus berada
komando sipil, maka dibutuhkan sipil yang mampu memahami dengan tepat masalah
pertahanan nasional. Sehingga, dia dapat melakukan pengawasan (kontrol). Apabila, sipil
tidak mengerti persoalan pertahanan, bagaimana mungkin bisa menjadi komando militer.
Nyatanya, di Indonesia, sebagian besar masyarakat sipil yang memahami
persoalan pertahanan masih sangat minim jumlahnya. Dari jumlah yang ada pun,
sebagian besar mempelajarinya secara otodidak. Hal demikian terjadi juga di elit politik.
Selama ini, masalah pertahanan dan keamanan, diserahkan sepenuhnya pada militer.
Seakan-akan, sipil tidak perlu tahu dan ikut campur dalam masalah pertahanan nasional.
Tugas Pemerintah
melakukan amanat UU Pertahanan Negara. Ketiga hal tersebut, yaitu, pertama, yang jelas
ada batasan waktu bahwa pada akhir pemerintahan SBY-JK untuk menyelesaikan bisnis
militer TNI yang menggurita; kedua, pemerintah harus bisa membawa TNI di bawah
komando Departemen Pertahanan (DEPHAN). Dengan demikian tidak ada lagi ditemui
dualisme kepemimpinan sipil atau militer, baik dalam otoritas pembuatan kebijakan
Pertahanan, dan semua keputusan TNI merupakan bagian dari kebijakan politik
Pertahanan Nasional yang mencantumkan visi, misi, perencanaan, program, dan anggaran
(KOTER). Ini empat tugas utama yang tidak dapat diperdebatkan, karena merupakan
reformasi pertahanan kepada DPR. Sehingga masyarakat tahu apa yang sudah dilakukan
dan bagaimana reformasi politik militer dan reformasi pertahanan dilaksanakan. Apabila
ini tidak dilaksanakan, jangan berharap akan ada reformasi militer dan reformasi sistem
pertahanan nasional.