You are on page 1of 6

REFORMASI SISTEM PERTAHANAN NASIONAL

Oleh. Hendra Manurung


--------------------------------------------------
Perwujudan postur kekuatan pertahanan dan keamanan (HANKAM) yang

memiliki daya bendung (defensive) dan daya tangkal (counter-attack) yang tinggi dalam

menghadapi berbagai kemungkinan ancaman dari luar jelas memerlukan anggaran negara

yang sangat besar. Di sisi lain, kita dihadapkan kepada berbagai keterbatasan sumber

daya manusia, teknologi militer, dan investasi modal dalam pengembangan pertahanan

darat, laut, dan udara untuk menjaga wilayah kedaulatan negara kesatuan Republik

Indonesia (NKRI) setiap saat. Dengan mengacu kepada perkembangan dan kemajuan

pada negara-negara lain yang membangun kekuatan HANKAM melalui pendekatan misi,

yaitu hanya untuk melindungi wilayah negaranya sendiri dan bukan untuk kepentingan

invasi militer, maka konsep “standing armed forces” secara proporsional dan seimbang

perlu dikembangkan. Pengembangan konsep dengan susunan kekuatan pertahanan

keamanan negara ini, di antaranya meliputi: pertama, perlawanan bersenjata yang terdiri

atas pasukan milter yang merupakan kekuatan utama TNI, yang selalu siap sedia, dan

pasukan yang memang dibina sebagai kekuatan cadangan strategis nasional serta pasukan

potensial lainnya, seperti halnya Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) dan rakyat

terlatih (RATIH) yang berfungsi sebagai perlawanan rakyat (WANRA); kedua,

perlawanan tidak bersenjata yang terdiri dari Ratih, dan berfungi sebagai PNS, Hansip,

Tibum, Linra, Kamra, dan Linmas; ketiga, komponen pendukung perlawanan bersenjata

dan tidak bersenjata sesuai dengan bidang profesi masing-masing dengan pemanfaatan

semua sumber daya nasional, sarana, dan prasarana, serta perlindungan masyarakat

terhadap bencana perang dan bencana alam lainnya.


Dalam upaya reformasi pertahanan nasional (HANNAS) dewasa ini, maka sangat

diperlukan adanya hubungan sipil-militer yang erat dan berkelanjutan, namun dengan

memisahkan hubungan keduanya dalam sistem politik nasional. Kalau kita memang ingin

membangun politik yang demokratis, maka semua hubungan yang ada di dalamnya juga

harus menghargai nilai-nilai tersebut. Artinya, militer harus berada di bawah pengawasan

atau control sipil. Walaupun militer meruapakan komponen penting dalam negara, namun

militer tidak dapat ikut dalam pembuatan keputusan (decision making). Pengambilan

kebijakan politik harus dilakukan sipil. Sangat disayangkan, keinginan untuk melakukan

reformasi hubungan sipil-militer yang sudah langgeng pada masa Orde Baru (1966-1998)

menjadi lebih demokratis hanya terjadi pada tahun-tahun awal proses reformasi (pasca

Mei 1998-2002), setelah periode tersebut, sama sekali nyaris berhenti.

Di awal reformasi, jelas tampak ada kecenderungan mendorong keberadaan

militer ada di bawah kontrol sipil. Apalagi, pada saat itu tekanan dan tuntutan masyarakat

sangat besar. Selain itu, juga muncul kesadaran di rezim politik awal reformasi untuk

menempatkan kembali posisi militer dalam posisi di bawah kontrol sipil dan menjadikan

militer sebagai profesional. Tahun 2002, Undang-Undang Pertahanan Negara (UU

HANNEG) disepakati. UU tersebut merupakan aturan pertama yang mencoba

menempatkan posisi militer sebagai kekuatan profesional pertahanan. Semangat

reformasinya pun sangat terasa, meskipun tidak secara detail untuk operasionalisasinya.

Kemudian, pemerintahan Megawati kurang begitu tertarik pada agenda dan kebijakan

politik yang berhubungan dengan reformasi militer, khususnya reformasi pertahanan

nasional.
Kegagalan Reformasi Pertahanan

Keengganan Megawati melakukan reformasi militer dan pertahanan, dikarenakan

tiga alasan utama, yaitu, pertama, Sejak kejatuhan Abdurrachman Wahid (Gus Dur), ada

anggapan di kalangan politisi sipil, bahwa kalau tidak menjaga hubungan baik (good

relationships) dengan petinggi militer, maka posisi politiknya rawan, tidak ada dukungan,

dan sangat rapuh. Akibatnya mudah ditebak, dimana Megawati tidak antusias untuk

mendorong reformasi pertahanan nasional. Kedua, tekanan dan tuntutan masyarakat juga

sudah melemah, karena setelah 4-5 tahun reformasi berjalan, ternyata masyarakat

kembali berpikir realistis terhadap semua persoalan-persoalan hidup sehari-harinya,

seperti masalah kebutuhan ekonomi, sulitnya mencari pekerjaan, kemiskinan, penyakit,

pendidikan, mahalnya kesehatan, dan sebagainya. Pada akhirnya, masyarakat tidak lagi

reformasi pertahanan sebagai prioritas. Padahal, masih banyak persoalan mendasar yang

hingga saat ini belum terselesaikan, untuk membawa militer dalam sistem yang

demokratis. Misalnya, TNI sekarang belum sepenuhnya di bawah Departemen

Pertahanan. Panglima TNI masih anggota kabinet, padahal posisi panglima jelas jabatan

politik.

Untuk menyalurkan pandangan strategis dan professional militer tentang

pertahanan, militer dapat melakukannya melalui Dewan Pertahanan Nasional

(WANHANNAS) yang dipimpin langsung Presiden. Jadi, militer sama sekali tidak

memasuki institusi politik. Ketiga, sejak Mei 1998, konflik antar masyarakat sangat

marak. Sebagian besar masyarakat melihat jalannya proses demokrasi, namun di antara

kita terjadi saling bunuh.


Masyarakat kemudian mulai berpikir, ketika TNI berkuasa, hal semacam ini

jarang terjadi. Sehingga mulai terjadi re-apresiasi pada peran militer (TNI) dalam

memberikan stabilitas internal. Masyarakat melihat ternyata TNI masih diperlukan dalam

penanganan persoalan dalam negeri, namun hal ini menyebabkan semakin jauhnya upaya

untuk mendorong reformasi TNI. Pemerintah sama sekali belum memberikan minat dan

perhatian pada reformasi militer dan pertahanan nasional, walaupun Presiden Susilo

Bambang Yudhoyono berlatar belakang militer. Hingga saat ini, tindakan pemerintah

cenderung menunggu, tidak sistematis, dan membuat rancangan cetak biru (blue print)

tentang strategi pertahanan nasional (National Defense Strategy) yang belum

dilaksanakan.

Tanggung jawab membuat cetak biru system pertahanan nasional seharusnya

merupakan tugas dan wewenang pemerintah, dan bukan militer. Pemerintah harus

memikirkan strategi pertahanan dan cetak biru pertahanan. Hal ini disebabkan, reformasi

militer tidak hanya memerlukan reformasi politik militer, tetapi juga membutuhkan

reformasi pertahanan. Idealnya, keputusan membeli sistem persenjataan (alutsista : alat

utama sistem pertahanan) merupakan keputusan yang didasari cetak biru pertahanan.

Dimana, hal tersebut berhubungan dengan kapabilitas tentara dan sistem pertahanan

nasional yang ingin kita kembangkan. Pada tataran prinsip dan norma, TNI harus berada

di bawah komando sipil, tetapi dalam operasionalnya, membutuhkan banyak hal, di

antaranya, yaitu: pertama, jika memang sungguh-sungguh ingin militer di bawah

komando sipil, maka dibutuhkan sipil yang mampu memahami dengan tepat masalah

pertahanan nasional. Sehingga, dia dapat melakukan pengawasan (kontrol). Apabila, sipil

tidak mengerti persoalan pertahanan, bagaimana mungkin bisa menjadi komando militer.
Nyatanya, di Indonesia, sebagian besar masyarakat sipil yang memahami

persoalan pertahanan masih sangat minim jumlahnya. Dari jumlah yang ada pun,

sebagian besar mempelajarinya secara otodidak. Hal demikian terjadi juga di elit politik.

Selama ini, masalah pertahanan dan keamanan, diserahkan sepenuhnya pada militer.

Seakan-akan, sipil tidak perlu tahu dan ikut campur dalam masalah pertahanan nasional.

Tugas Pemerintah

Ada empat tugas penting pemerintah yang segera dilaksanakan, setidaknya

melakukan amanat UU Pertahanan Negara. Ketiga hal tersebut, yaitu, pertama, yang jelas

ada batasan waktu bahwa pada akhir pemerintahan SBY-JK untuk menyelesaikan bisnis

militer TNI yang menggurita; kedua, pemerintah harus bisa membawa TNI di bawah

komando Departemen Pertahanan (DEPHAN). Dengan demikian tidak ada lagi ditemui

dualisme kepemimpinan sipil atau militer, baik dalam otoritas pembuatan kebijakan

maupun pelaksanaannya. Jadi, seharusnya Panglima TNI berada di bawah Departemen

Pertahanan, dan semua keputusan TNI merupakan bagian dari kebijakan politik

pertahanan nasional; ketiga, Menteri Pertahanan harus segera menetapkan Strategi

Pertahanan Nasional yang mencantumkan visi, misi, perencanaan, program, dan anggaran

militer yang diperlukan; keempat, membuat konsep pengelolaan komando teritorial

(KOTER). Ini empat tugas utama yang tidak dapat diperdebatkan, karena merupakan

amanat Undang-Undang Pertahanan Negara. Di samping itu, sebagai bentuk

pertanggungjawaban publik, Menteri Pertahanan perlu mengeluarkan laporan tahunan

reformasi pertahanan kepada DPR. Sehingga masyarakat tahu apa yang sudah dilakukan

dan bagaimana reformasi politik militer dan reformasi pertahanan dilaksanakan. Apabila
ini tidak dilaksanakan, jangan berharap akan ada reformasi militer dan reformasi sistem

pertahanan nasional.

* Hendra Manurung, Pemerhati masalah internasional; Alumni St.


Petersburg State Univ., Federasi Rusia (1999 – 2002) *

You might also like