You are on page 1of 13

Bank Syariah di Indonesia telah muncul semenjak tahun 1992, dimana dimulai dari keresahan

sebahagian umat Islam akan adanya riba pada bank konvensional yang mengakibatkan
sebahagian masyarakat Indonesia gemar menyimpan uangnya di rumah daripada di bank.
Dalam 6 tahun perkembangannya hingga tahun 1998, hanya satu bank syariah beroperasi di
Indonesia yaitu Bank Muamalat Indonesia. Penyebabnya adalah pada rentang waktu tahun
1992 hingga 1998, di dalam UU No.7/1992 tentang perbankan tidak dikenal adanya sistem
perbankan syariah, yang diakui hanya bank dengan prinsip bagi hasil. Hal ini mengakibatkan
perkembangan perbankan syariah di Indonesia sedikit tersendat.

Setelah keluarnya Undang-Undang Perbankan Nomor 10 tahun 1998 tentang perbankan yang
mengubah Undang-Undang Perbankan Nomor 7 tahun 1992, mulai mengakomodir peraturan
tentang bank syariah di dalamnya, serta diperkuat oleh UU Bank Indonesia Nomor 23 tahun
1999, barulah lahir bank syariah lain dan berkembang dengan pesat. Dimana telah diakuinya
bank berdasarkan prinsip syariah untuk beroperasi di Indonesia, hal ini menandai lahirnya
dual banking system di Indonesia yang berarti baik bank konvensional maupun bank syariah
keduanya diakui dalam sistem perbankan di Indonesia.

Meskipun pada UU Nomor 10/1998 telah mengakomodir peraturan bank syariah, namun
belum mengatur ketentuan perbankan syariah pada pasal-pasal khusus. Pada UU tesebut
ketentuan bank syariah baru diatur sebatas mendefinisikan pembiayaan berdasarkan prinsip
syariah dan jenis-jenis prinsip syariah yang digunakan pada perbankan. Dengan lahirnya UU
No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah perkembangan bank syariah ke depan akan
mempunyai peluang usaha yang lebih besar di Indonesia. Sebagai gambaran laporan pada
triwulan I 2009 jumlah bank syariah di Indonesia mencapai 31 Bank, terdiri dari 5 Bank
Umum Syariah (BUS) dan 25 Unit Usaha Syariah (UUS) bank umum dan 133 BPRS[1].

4.1.Kekuatan Yang Dimiliki

Perbankan syariah memiliki karakteristik yang menjadi keunggulan perbankan syariah


dibandingkan dengan perbankan konvensional. Keunggulan-keunggulan tersebut menjadi
kekuatan yang mampu menggerakkan perbankan syariah di Indonesia untuk berkembang ke
arah lebih baik dalam rangka memperluas market share perbankan syariah.

1. Sesuai dengan prinsip syariah, baik dari akad, produk, penyaluran.

Apabila selama ini banyak masyarakat terutama segmen masyarakat yang religius enggan
untuk menyimpan dananya di bank karena adanya riba berupa bunga. Maka dengan
kehadiran bank syariah maka segmen masyarakat tersebut akhirnya memiliki solusi untuk
menyimpan dana yang mereka miliki tidak lagi di bawah bantal, karena kondisi kedaruratan
yang selama ini menjadi dasar masyarakat muslim untuk menabung di bank konvensional
telah hilang seiring dengan telah hadirnya bank syariah di Indonesia. Sehingga apabila masih
ada orang yang berargumentasi menabung di bank konvensional boleh secara agama karena
situasi darurat, maka itu adalah argumentasi yang keliru. Akad-akad muamalah yang menjadi
landasan dalam setiap transaksi di perbankan syariah menunjukkan bahwa setiap transaksi itu
selalu dengan prinsip syariah.

Produk-produk perbankan syariah baik produk penghimpunan dana maupun produk


penyaluran dana keduanya sesuai dengan prinsip syariah. Apabila pada bank konvensional
terjadi perjanjian yang terpisah antara pihak bank dengan nasabah penabung dan antara pihak
bank dengan nasabah peminjam, sehingga keuntungan bank adalah selisih antara bunga yang
diberikan kepada nasabah penabung dengan bunga yang dikenakan kepada nasabah
peminjam. Maka pada bank syariah akad yang terjadi adalah akad yang terintegrasi baik
antara pihak bank dengan nasabah penabung maupun dengan nasabah peminjam. Sehingga
apabila bagi hasil yang diberikan dari nasabah peminjam kecil maka bagi hasil yang
diberikan kepada nasabah penabung pun akan kecil pula.

Pada bank konvensional, penyaluran dana bebas tanpa syarat sehingga dana dapat disalurkan
kepada sektor-sektor usaha yang mungkin bertentangan dengan prinsip syariat, misalkan
bantuan kredit untuk pembangunan pabrik bir. Maka di bank syariah, adanya larangan bank
syariah untuk menyalurkan dana kepada sektor-sektor usaha yang mungkin bertentangan
dengan aturan syariat atau dapat menimbulkan kemudharatan. Sehingga nasabah pun akan
lebih aman dalam bertransaksi dengan bank syariah, mereka tidak perlu khawatir dana yang
mereka taruh dipergunakan tidak sebagaimana mestinya, dan nasabah bisa mengawasi
apabila ternyata bank syariah menyalurkan dana untuk sektor usaha yang bertentangan
dengan aturan syariat. Apabila terjadi pelanggaran terhadap prinsip syariat, maka nasabah
dapat melaporkan kepada Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang ada di tiap bank syariah.

Pola pengawasan pada bank syariah terjadi dua tahap, yaitu pengawasan terhadap kinerja
pengelolaan bank syariah dari aspek manajemen dilakukan oleh dewan komisaris. Sementara
dari aspek pengawasan terhadap pelaksanaan aturan syariat dilakukan oleh dewan pengawas
syariah. Selain itu produk yang akan dikeluarkan pun harus memperoleh fatwa dari Dewan
Syariah Nasional (DSN) MUI, hal ini menimbulkan ketenteraman bagi pihak nasabah
bahwasanya seluruh akad, produk dan penyaluran pada bank syariah sudah benar-benar
sesuai dengan aturan prinsip syariat.

2. Sistem yang lebih adil dan menenteramkan bagi umat

Sistem perbankan syariah lebih adil baik dari aspek nasabah penabung maupun nasabah
peminjam. Nasabah penabung saat ini tidak perlu lagi takut dananya hilang seperti pada saat
krisis 1997 dimana banyak bank yang terpaksa dilikuidasi, karena bank syariah dalam setiap
aktivitasnya selalu didasarkan pada sektor riil. Dan bagi hasil pun dapat lebih besar daripada
bunga yang diberikan oleh bank konvensional, apabila bagi hasil yang diberikan oleh nasabah
peminjam besar maka bagi hasil yang diberikan kepada nasabah penabung pun akan besar
pula. Sehingga sistem ini akan terbukti lebih adil dan menenteramkan bagi nasabah
penabung.

Sementara nasabah peminjam pun tidak perlu lagi takut dengan bunga tinggi, pada krisis
1997 banyak usaha yang bangkrut akibat kesulitan dalam membayar bunga kredit yang
tinggi. Dalam sistem bunga, bank tidak peduli dengan kondisi perusahaan yang dibantu, yang
penting bagi bank adalah perusahaan tersebut. Berbeda dengan bank syariah, dimana yang
diterapkan adalah bagi hasil sehingga apabila pendapatan usaha pada saat itu sedang kecil
maka bagi hasil yang dibagikan akan kecil pula. Begitu pula sebaliknya apabila pendapatan
usaha meningkat, maka bagi hasil yang dibagikan pun akan meningkat pula. Sehingga
nasabah yang mengajukan pembiayaan di bank syariah tidak perlu takut terhadap beban
bunga yang tinggi lagi. Sebab bagi hasil yang disetorkan kepada pihak bank tergantung pada
pendapatan usaha yang diperoleh.

3. Telah terbukti tahan krisis


Krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada semenjak pertengahan tahun 1997 berawal dari
gejolak moneter di negara tetangga, sehingga nilai tukar rupiah mengalami depresiasi besar.
Kebijakan uang ketat sebagai upaya untuk menahan tekanan depresiasi rupiah direspons oleh
pasar dengan berkurangnya kepercayaan investor terhadap rupiah. Akhirnya pada tanggal 14
Agustus 1997 Bank Indonesia melepaskan band intervensi yang menandakan kebebasan kurs
dolar bergerak sepenuhnya menurut mekanisme pasar[2].

Intervensi Bank Indonesia dalam bentuk menaikkan tingkat suku bunga SBI sebagai upaya
dalam menahan tekanan terhadap pelemahan nilai tukar mengakibatkan kenaikan tingkat
suku bunga perbankan yang menyebabkan ekonomi kekurangan likuiditas yang
mengakibatkan kegiatan dunia usaha menjadi stagnan. Gejolak yang terjadi ini merupakan
konsekuensi logis dari lepasnya keterkaitan sektor moneter dengan sektor riil. Uang tidak lagi
hanya sekedar berfungsi sebagai alat tukar melainkan telah menjadi barang komoditas
sebagai akibat adanya motif spekulasi dari para pemegang uang. Sehingga sektor moneter
seringkali telah lebih maju daripada sektor riil yang mengakibatkan munculnya fenomena
bubble economic, yaitu seakan-akan ekonomi mengalami pertumbuhan yang tinggi namun
tanpa memiliki fondasi yang kuat, sehingga apabila diterpa sedikit masalah maka akan
langsung goyah dan telah terbukti dengan adanya krisis ekonomi tahun 1997.

Ketidakterkaitan antara sektor moneter dan riil ini mengakibatkan persoalan serius. Beban
bunga yang tinggi tidak akan mungkin mampu ditanggung oleh para pengusaha. Namun
karena pengusaha memerlukan likuiditas kredit bunga tinggi terpaksa diambil. Tahap
berikutnya bank tersebut mengalami kredit macet, karena para pengusaha tidak mampu
membayar beban yang harus ditanggungnya. Selanjutnya, bank-bank yang mengalami kredit
macet yang besar itu terancam eksistensinya, karena di satu pihak bank harus membayar
bunga deposito yang tinggi, sedangkan di sisi lain pendapatannya menurun drastic karena
kredit macet. Oleh karenanya, negative spread yang diderita bank-bank itu sangat besar yaitu
sekitar 20%, sehingga modal dari sebagian besar bank telah habis dimakan non performing
loan dan negative spread.[3]

Akibat dari hal ini dari Bulan Juli 1997 sampai dengan 13 Maret 1998[4], pemerintah telah
menutup tidak kurang dari 55 bank di samping mengambil alih 11 bank (bank take over) dan
9 bank lainnya dibantu melakukan rekapitalisasi. Semua bank-bank BUMN dan BPD pun
harus ikut direkapitalisasi, bahkan untuk menyehatkan perbankan 4 bank BUMN yaitu BPD,
BDN, Bank Exim dan Bapindo harus dimerger menjadi bank Mandiri dalam rangka untuk
memperkuat permodalan. Biaya restrukturisasi dan penyehatan perbankan yang besar harus
ditanggung oleh rakyat melalui APBN.

Hal ini berbeda pada sistem keuangan syariah yang menganggap uang hanya sebagai alat
tukarb dan bukan sebagai komoditas. Sebagai alat tukar uang tidak akan menghasilkan nilai
tambah apapun kecuali apabila dikonversi menjadi barang atau jasa. Dengan demikian setiap
transaksi keuangan harus dilatarbelakangi dengan sektor riil. Ketika banyak bank
konvensional yang mengalami negative spread dan mengalami kesulitan likuiditas, Bank
Muamalat Indonesia sebagai bank syariah pertama di Indonesia mampu melewati krisis
ekonomi ini dengan baik tanpa mengalami gejolak yang berarti. Hal ini menunjukkan bank
syariah tidak akan mengalami gejolak yang berarti apabila terjadi krisis ekonomi, karena
segala aktivitas perbankan syariah selalu mempunyai sandaran sektor riil. Suatu bank syariah
tidak akan menaruh dananya kepada transaksi yang bersifat derivatif tanpa ada sandaran
sektor riil dibelakangnya, hal ini dilakukan dalam rangka mencegah terjadinya bubble
economic dalam sistem perbankan syariah.
Kemampuan perbankan syariah dalam melewati krisis ini mendapat pengakuan dari
pemerintah yang membuahkan hasil dengan keluarnya Undang-undang No. 10 tahun 1998
tentang perbankan. Hal ini menandai diakuinya perbankan syariah sebagai salah satu sistem
perbankan di Indonesia, apabila dalam Undang-undang No. 7 tahun 1992 yang diakui hanya
bank berdasarkan prinsip bagi hasil maka dalam Undang-undang No. 10 tahun 1998 mulai
diakuinya perbankan syariah dalam sistem perbankan di Indonesia. Sehingga semenjak UU
No. 10 tahun 1998 ini diberlakukan Indonesia secara resmi menganut dual banking system
dalam sistem perbankannya, dimana perbankan konvensional dan perbankan syariah
berdampingan dalam sistem perbankan di Indonesia.

4. Mempunyai payung hukum perundang-undangan

Dengan lahirnya Undang-undang no. 21 tahun 2008 tentang perbankan syariah, perbankan
syariah memiliki peraturan perundang-undangan sebagai payung hukum dalam operasional
perbankan syariah di Indonesia. Selama ini kendala dalam perkembangan perbankan syariah
adalah ketiadaan payung hukum tersendiri yang khusus mengatur tentang perbankan syariah.
Apabila kita melakukan kilas balik sejarah dari awal berdirinya bank syariah di Indonesia
pada tahun 1992, pada waktu itu istilah bank syariah belum diakui dalam sistem perbankan di
Indonesia. Hanya saja waktu itu bank syariah diakomodir dengan diakuinya bank dengan
prinsip bagi hasil dalam Undang-undang No. 7 tahun 1992, yang mengakibatkan
perkembangan perbankan syariah pada rentang waktu tersebut sangat lambat.

Sehingga sampai dengan tahun 1998 hanya ada satu perbankan syariah di Indonesia yaitu
Bank Muamalat Indonesia, namun seiring waktu sebagai pembuktian akan bank syariah yang
tahan krisis maka lahirlah Undang-undang No. 10 tahun 1998 yang mulai mengakui bank
berdasarkan prinsip syariah dalam sistem perbankan di Indonesia. Dan mulai bermunculan
bank-bank syariah baik berupa bank umum maupun unit usaha syariah yang merupakan unit
usaha dari bank konvensional yang khusus berkonsentrasi dalam menangani nasabah yang
hendak bertransaksi secara syariah serta bank perkreditan rakyat syariah (BPRS), yang diikuti
perkembangan asset dan nasabah bank syariah yang cukup pesat.

Akan tetapi masih ada keresahan dari pihak perbankan syariah bahwasanya mereka masih
membutuhkan Undang-undang yang khusus mengatur tentang perbankan syariah, hal ini
perlu dilakukan mengingat banyaknya instrument yang dibutuhkan oleh perbankan syariah
tidak mampu atau belum diakomodir dalam peraturan perundang-undangan tentang
perbankan yang berlaku. Dan hal yang dinantikan ini akhirnya terwujud dengan lahirnya
Undang-undang no. 21 tahun 2008. Diharapkan dengan lahirnya Undang-undang ini
diharapkan target penguasaan market share perbankan syariah sebesar 5% yang tidak tercapai
pada tahun 2008 mampu direalisasikan pada tahun 2009. Dan semoga ke depannya
perbankan syariah mampu memiliki penguasaan market share yang seimbang dengan
perbankan konvensional.

4.2.Kendala Yang Dihadapi

Perkembangan perbankan syariah di Indonesia selain memiliki kekuatan namun ada pula
beberapa kendala yang dihadapi oleh perbankan syariah di Indonesia:

1. Permasalahan keterjangkauan jaringan yang masih rendah dan belum merata di seluruh
propinsi di Indonesia.
Hal ini merupakan salah satu hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh Bank Indonesia
untuk melihat preferensi masyarakat terhadap bank syariah. Hasil penelitian dan permodelan
potensi serta preferensi masyarakat terhadap bank syariah yang dilakukan Bank Indonesia
menunjukkan tingginya minat masyarakat terhadap perbankan syariah. Namun, sebagian
besar responden mengeluhkan kualitas pelayanan, termasuk keterjangkauan jaringan yang
rendah. Kelemahan inilah yang salah satunya caranya diatasi dengan office channeling, yaitu
bank konvensional yang memiliki unit usaha syariah dapat membuka konter layanan syariah
di cabang konvensionalnya. Apabila sebelumnya bank yang memiliki unit usaha syariah
hanya dapat melayani nasabah yang ingin membuka rekening di unit usaha syariah harus
datang ke cabang syariah. Maka dengan adanya office channeling ini mereka tidak perlu
datang ke cabang syariah, tapi bisa dilayani di cabang konvensionalnya yang membuka
konter layanan syariah.

Bank umum syariah banyak yang mengambil kebijakan untuk bekerjasama dengan bank
konvensional atau instansi lain dalam rangka memperluas pasarnya. Bank Muamalat
Indonesia sebagai bank syariah pertama di Indonesia mengambil kebijakan untuk
bekerjasama dengan PT Pos Indonesia dalam rangka memperluas pasarnya dalam
memasarkan shar-e. Dengan jaringan PT Pos Indonesia yang luas ke seluruh kecamatan di
Indonesia, diharapkan akan memberi kemudahan kepada nasabah yang ingin bertransaksi di
seluruh Indonesia. Selain itu Bank Muamalat Indonesia bekerjasama dengan Bank BCA,
sehingga kartu ATM shar-e dapat dipergunakan untuk melakukan transaksi baik tunai
maupun non tunai di seluruh jaringan ATM yang dimiliki BCA.

Bank Syariah Mandiri sebagai anak perusahaan dari Bank Mandiri memanfaatkan jaringan
ATM yang dimiliki oleh Bank Mandiri di seluruh Indonesia untuk dapat dimanfaatkan oleh
para nasabah Bank Syariah Mandiri untuk melakukan transaksi penarikan tunainya tanpa
dikenakan biaya. Pemanfaatan jaringan ATM Bank Mandiri oleh Bank Syariah Mandiri
adalah sebagai salah satu upaya dalam memperluas pelayanan jaringan kepada masyarakat.

1. Nasabah yang tidak loyal kepada bank syariah

Dalam perkembangan nasabah yang menggunakan jasa perbankan syariah terbagi atas dua
segmen nasabah, yaitu yang pertama adalah nasabah yang loyal terhadap perbankan syariah,
dimana ia menggunakan jasa perbankan syariah karena semangatnya untuk menegakkan
syariat. Sehingga ia tidak akan mempersoalkan berapa besaran persentase bagi hasil yang
diberikan oleh bank syariah jika dibandingkan dengan besaran tingkat suku bunga yang
ditawarkan oleh bank konvensional. Jenis nasabah ini sering dikatakan sebagai nasabah
emosional, yaitu menggunakan jasa perbankan syariah berdasarkan penerapan aturan syariat
yang dilaksanakan.

Segmen nasabah yang kedua adalah nasabah yang tidak loyal kepada perbankan syariah,
dimana mereka menabung di bank syariah dengan memperbandingkan berapa besaran
persentase bagi hasil di bank syariah dengan tingkat suku bunga di bank konvensional.
Dengan selisih sekitar dua persen (dari tingkat bunga bank konvensional), segmen nasabah
ini masih loyal di bank syariah, tetapi lebih dari itu, segmen nasabah ini bisa berpindah ke
bank konvensional. Jenis nasabah ini seringpula dikatakan sebagai nasabah rasional yaitu
bertransaksi dengan bank syariah berdasarkan keuntungan yang didapat. Walaupun
sebenarnya dikotomi antara nasabah emosional dan nasabah rasional tidak sepenuhnya tepat,
karena nasabah bank syariah yang loyal justru sebenarnya mereka merupakan nasabah yang
rasional yang melihat segala sesuatu tidak hanya keuntungan jangka pendek semata akan
tetapi juga memperhitungkan keuntungan jangka panjang. Begitu pula pada nasabah yang
tidak loyal justru sebenarnya mereka merupakan nasabah yang emosional yang hanya
mengejar keuntungan jangka pendek semata.

Pada triwulan ketiga tahun 2005[5] tren meningkatnya suku bunga berdasarkan analisis BI
juga sempat membuat perbankan syariah menghadapi risiko pengalihan dana (dari bank
syariah ke bank konvensional). Diperkirakan lebih dari Rp 1 triliun dana nasabah dialihkan
pada triwulan ketiga tahun 2005. Namun, kepercayaan deposan pada perbankan syariah
terbukti dapat dipulihkan dengan pertumbuhan dana pihak ketiga yang mencapai Rp 2,2
triliun pada akhir tahun. Kenaikan akumulasi dana pihak ketiga perbankan syariah merupakan
peluang, sekaligus tantangan, karena tanpa pengelolaan yang tepat justru masalah akan
datang.

1. Kurangnya pemasaran dan promosi

Promosi yang dilakukan oleh dunia perbankan syariah masing sangat kurang, sehingga masih
banyak masyarakat yang tidak mengerti bagaimana mengakses layanan perbankan syariah.
Aspek pendanaan memang menjadi kendala utama dalam melakukan promosi di bank
syariah, minimnya anggaran promosi yang dimiliki menyebabkan kurang gencarnya promosi
yang dilakukan oleh bank syariah. Sementara anggaran promosi di bank konvensional relatif
lebih besar dibandingkan dengan di bank syariah, akhirnya menyebabkan gaung perbankan
syariah masih kalah dibandingkan dengan perbankan konvensional.

Hal ini dapat disiasati dengan dilakukannya promosi bersama oleh seluruh bank syariah yang
ada termasuk bekerjasama dengan Bank Indonesia. Salah satu bentuk pemasaran bersama
yang dilakukan adalah dengan memperkuat brand perbankan syariah melalui peluncuran logo
iB (Islamic Banking) oleh Bank Indonesia. Diharapkan hal ini akan memperkuat branding
perbankan syariah, karena setiap layanan perbankan syariah saat ini menggunakan nama yang
sama yaitu iB, dan tidak lagi menggunakan istilah yang membingungkan masyarakat.
Penamaan produk yang lebih sederhana menyebabkan masyarakat awam lebih mudah
mengingat mengenai perbankan syariah, apabila sebelumnya jika masyarakat mau menabung
maka produk tabungannya adalah “tabungan mudharabah”, mungkin hal ini menyebabkan
sebahagian masyarakat tidak mudah mengingatnya karena istilah ini masih asing. Tetapi saat
ini apabila mereka hendak menabung, maka produk tabungannya di seluruh bank syariah
diberi nama tabungan iB, yang berguna untuk memperkuat branding di masyarakat yang
menyebabkan mereka tidak sulit lagi untuk mengingat produk layanan yang ditawarkan oleh
perbankan syariah.

Tanpa promosi yang memadai maka kemudahan masyarakat untuk mengakses layanan
perbankan syariah tidak akan optimal. Bank syariah harus mampu merancang suatu strategi
promosi yang efektif agar masyarakat mengerti tentang berbagai produk yang ditawarkan
oleh perbankan syariah. Berdasarkan hal tersebut, Perbankan Syariah Indonesia dituntut
untuk lebih giat mengembangkan usahanya, baik dalam sosialisasi, inovasi instrumen dan
produk bank, pemberian pelayanan yang memuaskan dan memfungsikan Bank Syariah bukan
hanya sekedar sebagai lembaga finansial dan komersial tapi juga lembaga keuangan sosial
karena dengan masuknya Bank Syariah dalam kegiatan sosial akan melahirkan sentimen
positif dalam berbagai hal.

1. Kurangnya sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat


Bank Syariah kini tidak bisa lagi dipandang sebelah mata. Perkembangan perbankan Syariah
yang pesat serta pelajaran yang diberikan oleh krisis keuangan yang terjadi 1997, telah
memunculkan harapan pada sebahagian masyarakat bahwa pengembangan ekonomi Syariah
merupakan suatu solusi bagi peningkatan ketahanan ekonomi nasional, juga sebagai
pelaksanaan kewajiban Syariat Islam. Namun sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat
dirasakan masih kurang, sehingga banyak masyarakat yang berasumsi bahwa tidak ada
perbedaan yang signifikan antara bank syariah dengan bank konvensional hanya sekedar
menambahkan label syariah di belakang nama banknya serta merubah istilah bunga menjadi
bagi hasil.

Ketidaktahuan masyarakat tentang sistem bagi hasil yang ditawarkan oleh perbankan syariah
ini diakibatkan masih kurangnya sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat. Bank syariah
harus membuat strategi edukasi dan sosialisasi yang mampu mengenalkan bank syariah
kepada seluruh segmen masyarakat. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan
mendekati tokoh-tokoh masyarakat baik tokoh formal maupun tokoh informal di suatu daerah
tertentu yang memiliki massa dan jaringan yang luas untuk memperkenalkan bank syariah di
daerah tersebut. Strategi beberapa bank syariah yang masuk ke dalam kampus adalah salah
satu cara yang cukup efektif untuk mengenalkan dan memberikan edukasi kepada mahasiswa
tentang perbankan syariah dan apa yang membedakannya dengan bank konvensional beserta
keunggulan dan kelemahan sistem ini. Karena mahasiswa merupakan kader-kader pemimpin
bangsa yang mampu meneruskan perjuangan perbankan syariah dalam sistem perbankan di
Indonesia termasuk didalamnya karena mereka merupakan pangsa pasar potensial yang harus
digarap sedari dini.

1. Kurangnya sumber daya manusia.

Bank Syariah seolah-olah disibukan oleh jargon “how to Islamize our banking system” dan
lupa akan wacana ” how to Islamize the people involved in the banking industry”. Banyak
masalah Bank Syariah disebabkan pemahaman dan kesadaran para praktisi Bank Syariah
akan prinsip-prinsip ekonomi Islam (Bank Syariah) belum sepenuhnya dimengerti. Bank
syariah saat ini masih kekurangan sumber daya manusia yang menguasai aspek fiqh tentang
perbankan syariah dan pengetahuan manajemen perbankan praktis.

Permasalahan inilah yang harus dipecahkan bersama oleh seluruh pihak yang perhatian
terhadap perkembangan industri keuangan syariah terutama perbankan syariah di Indonesia.
Salah satu cara yang dapat ditempuh adalah memberikan pengetahuan dasar mengenai
ekonomi syariah kepada pelajar dari tingkat SD, SMP dan SMA. Selain itu perlu
disepakatinya suatu kurikulum standar yang berlaku di seluruh perguruan tinggi yang
menyelenggarakan pendidikan berbasis ekonomi syariah. Selain itu dari sisi internal, bank
syariah harus memberikan pelatihan berkala kepada para karyawannya agar ilmu perbankan
syariah yang mereka miliki selalu ditingkatkan. Hal ini sebagai upaya agar tidak hanya
“MengIslamkan sistem perbankannya” tetapi juga “Bagaimana mengIslamkan pula pihak-
pihak yang terlibat dalam industri ini”

1. Membatasi instrumen dan produk bank pada bentuk tertentu

Bank syariah seringkali membatasi instrument dan produknya hanya pada beberapa produk
tertentu, sehingga Bank-Bank Syariah kesulitan dalam mengembangkannya, bahkan terjebak
dalam siklus investasi yang sempit. Hal ini menunjukan tidak adanya keberanian dan
kemauan yang sungguh-sungguh dari para pelaku Bank Syariah. Dengan memberikan pilihan
bentuk investasi kepada para klien adalah jaminan akan kematangan konsep Bank Syariah,
dimana setiap klien akan memilih instrumen-instrumen tadi sesuai dengan kebutuhan,
kemampuan dan peluangnya. Berbeda apabila Bank Syariah saat ini hanya menyediakan
instrumen investasi dalam bentuk-bentuk tertentu, dimana seorang klien dengan terpaksa
hanya mengandalkan instrumen yang tersedia, hal itu bisa berakibat fatal apabila kemampuan
klien dan peluangnya tidak bisa dikembangkan pada instrumen yang tersedia pada Bank
Syariah.

Contohnya: seorang klien mempunyai peluang investasi yang mengandalkan bentuk


musyarakah (partnership), dan ternyata bentuk investasi yang tersedia di bank hanya dalam
bentuk murabahah dan ijarah. Dalam hal ini, memaksakan salah satu dari dua instrumen
investasi yang ada tersebut untuk jenis investasi yang menggunakan akad lain dapat berakibat
fatal dan berisiko tinggi. Sebab karakteristik dari masing-masing akad tersebut berbeda,
apabila dipaksakan mungkin yang muncul justru kemudharatan dan mampu menjatuhkan
citra dari perbankan syariah apabila di kemudian hari investasi tersebut ternyata macet.

Bank Syariah yang ada di Indonesia sedikit berbeda dengan bank-Bank Syariah yang ada di
negara-negara lain seperti negara-negara timur tengah. pelayanan sosial pada perbankan
Syariah di Indonesia masih sangat terbatas bahkan dibatasi oleh undang-undang perbankan
Indonesia, dimana Bank Syariah di Indonesia tidak boleh melakukan pelayanan sosial yang
selama ini menjadi kewenangan lembaga-lembaga sosial, namun dengan keluarnya Undang-
undang perbankan yang baru hal ini telah diubah sehingga bank syariah pun dapat
menjalakan fungsi pelayanan sosialnya.

Disamping itu, Instrumen dan produk Bank Syariah masih banyak mengandalkan sistem
murabahah padahal Bank Syariah itu mempunyai banyak sistem investasi yang lebih unggul
dan aman seperti mudharabah dan musyarakah dan lainnya. Hal ini disebabkan posisi
perbankan syariah yang berusaha untuk bermain “aman” dalam penyaluran dana nasabahnya.
Sebab sistem murabahah adalah sistem yang lebih pasti dan lebih gampang dalam
menghitung bagi hasil yang akan diterima dan dibagikan.

4.3.Peluang Yang Dapat Diraih

Peluang yang dapat diraih oleh perbankan syariah terutama pasca disahkannya UU no. 21
tahun 2008 tentang perbankan syariah

1. Perluasan market share perbankan syariah

Dengan Undang-undang perbankan syariah yang terbaru maka peluang untuk memperluas
market share perbankan syariah sangat terbuka karena beberapa alasan berikut: pertama,
Bank Umum Syariah dan Bank Perkreditan Rakyat Syariah tidak dapat dikonversi (diubah)
menjadi Bank Konvensional, sementara Bank Konvensional dapat dikonversi menjadi Bank
Syariah (Pasal 5 ayat 7); kedua; Apabila terjadi penggabungan (merger) atau peleburan
(akuisisi) yang terjadi antara Bank Syariah dengan Bank Non Syariah, maka bentuk badan
hukumnya wajib berubah menjadi Bank Syariah (Pasal 17 ayat 2); ketiga, Bank Umum
Konvensional yang memiliki Unit Usaha Syariah (UUS) harus melakukan pemisahan (spin
off) apabila (Pasal 68 ayat 1): Unit Usaha Syariah telah mencapai asset paling sedikit 50%
dari total nilai asset bank induknya; atau 15 tahun sejak berlakunya UU Perbankan Syariah.
Ketiga hal tersebut beberapa hal yang membuka peluang dalam perluasan market share
perbankan syariah.
Hal lain yang dapat membuka peluang perkembangan bank syariah lebih cepat adalah
dimungkinkannya warga negara asing dan/atau badan hukum asing yang tergabung secara
kemitraan dalam badan hukum Indonesia untuk mendirikan dan/atau memiliki Bank Umum
Syariah (Pasal 9 ayat 1 butir b). Pemilikan pihak asing tersebut dapat secara langsung
maupun tidak langsung melalui pembelian saham di bursa efek (Pasal 14 ayat 1). Dengan
demikian, banyak faktor-faktor pendorong yang terdapat pada Undang-undang Perbankan
Syariah dalam menuju akselerasi pertumbuhan bank syariah ke depan.

1. Akivitas usaha bank syariah yang lebih banyak dan beragam dibandingkan bank
konvensional.

Terdapat usaha-usaha yang bisa dilakukan oleh sebuah bank umum syariah dan tidak dapat
dilakukan oleh bank konvensional. Dengan demikian, perbankan syariah dapat menawarkan
jasa-jasa lebih dari yang ditawarkan oleh sebuah investment banking, karena jasa-jasa bank
syariah merupakan suatu kombinasi yang dapat diberikan oleh commercial bank, finance
company, dan merchant bank. Kegiatan usaha yang dapat dilakukan oleh sebuah Bank Umum
Syariah (BUS) lebih luas dibandingkan dengan Unit Usaha Syariah (UUS) dari sebuah bank
konvensional. Tidak semua usaha yang dapat dilakukan oleh BUS dapat dilakukan oleh UUS.
Kegiatan yang hanya dapat dilakukan oleh Bank Umum Syariah adalah: Pertama, menjamin
penerbitan surat berharga; Kedua, penitipan untuk kepentingan orang lain; Ketiga, menjadi
wali amanat; Keempat, penyertaan modal; Kelima, bertindak sebagai pendiri dan pengurus
dana pensiun; Keenam, menerbitkan, menawarkan, dan memperdagangkan surat berharga
jangka panjang syariah.

Di samping usaha komersial, bank syariah dapat pula menjalankan fungsi sosial dalam
bentuk: lembaga baitul mal, yaitu menerima dana yang berasal dari zakat, infak, sedekah,
hibah, atau dana sosial lainnya dan kemudian menyalurkannya kepada organisasi pengelola
zakat (Pasal 4 ayat 2); kemudian dapat pula menghimpun dana sosial dari wakaf uang dan
menyalurkannya kepada lembaga pengelola wakaf (nazhir) sesuai kehendak pemberi wakaf
(wakif) (Pasal 4 ayat 3). Undang-undang Perbankan Syariah, di samping memberikan
peluang usaha yang lebih beragam bagi bank syariah dan kemungkinan untuk percepatan
pertumbuhan perbankan syariah ke depan, juga memiliki tantangan persaingan yang lebih
tajam.

1. Sumber daya manusia yang memiliki kualifikasi

Adapun peluang Perbankan Syariah di Indonesia yaitu dibutuhkam banyak sumber daya
manusia yang memiliki kualifikasi dan keahlian di bidang ekonomi Syariah, yang tidak saja
menguasai ilmu manajemen perbankan tetapi mengerti pula aspek fiqhnya. Tentu ini
merupakan peluang yang sangat prospektif sekaligus sebagai tantangan bagi lembaga-
lembaga pendidikan yang ada. Sudah saatnya kajian ekonomi Islam mendapat ruang dan
tempat yang lebih luas lagi di perguruan tinggi. Kurikulum ekonomi Islam pun perlu untuk
terus menerus disempurnakan, dimana dibutuhkan perpaduan antara pendekatan normatif
keagamaan dengan pendekatan kuantitatif empiris. Riset-riset tentang ekonomi Syariah, baik
pada skala mikro maupun makro harus terus diperbanyak. Ini akan memperkaya khazanah
literatur ekonomi Syariah sekaligus mempercepat perkembangan ekonomi Syariah secara
utuh dan menyeluruh.

1. Penduduk Indonesia yang mayoritasnya adalah muslim.


Kuantitas penduduk ini bisa dijadikan sebagai lahan yang prospektif untuk dijadikan sebagai
objek pengembangan Bank Syariah dan sekaligus pangsa pasar. Kapasitas peduduk muslim
bukan saja menjadi objek pasar tapi juga sebagai objek Islamisasi ekonomi (Bank Syariah)
sehingga dengan semakin banyak masyarakat yang mempunyai kesadaran tentang ekonomi
Islam semakin banyak pula penduduk yang menjadi nasabah Bank Syariah

4.4.Tantangan Yang Harus Dihadapi

1. Peningkatkan purifikasi praktik perbankan syariah yang konsisten dalam menerapkan


prinsip dan kegiatan sesuai syariah

Penyimpangan dari konsepsi bank syariah akan menghilangkan jati diri dan keunikan bank
syariah, yang pada gilirannya akan menghilangkan eksistensi bank syariah. Saat ini masih ada
kecenderungan kekecewaan pengguna jasa perbankan syariah karena masih ada praktik-
praktik yang dinilai tidak sejalan dengan prinsip syariah, sehingga berakibat loyalitas dan
kontinuitas penggunaan jasa bank tersebut tidak dapat dipertahankan lama. Penyimpangan
prinsip syariah dapat terjadi dalam berbagai derajat, misalnya hanya yang sekedar melakukan
benchmarking tingkat bagi hasil atau marjin jual beli dengan tingkat bunga bank
konvensional yang berlaku hingga penempatan dana menganggur pada bank-bank
konvensional dengan motif memperoleh pendapatan bunga

. Dampak dari sosialisasi dan meningkatnya pengetahuan masyarakat pengguna jasa


perbankan syariah membuat masyarakat lebih kritis dan menuntut agar bank-bank syariah
dapat melakukan purifikasi kegiatan usahanya sehingga terhindar dari keragu-raguan adanya
pelanggaran prinsip syariah dalam kegiatannya.

Sebenarnya mekanisme pengawasan prinsip syariah pada lembaga keuangan syariah baik
lembaga keuangan bank maupun lembaga keuangan non bank telah diciptakan melalui
kewajiban pembentukan Dewan Pengawas Syariah (DPS) pada setiap bank syariah, adanya
kewajiban bahwa setiap produk dan jasa baru bank syariah untuk memperoleh fatwa
kehalalannya terlebih dahulu pada Dewan Syariah Nasional MUI, serta fungsi pengawasan
oleh Bank Indonesia.

1. Pembebasan pemilikan bank umum syariah oleh badan hukum Indonesia dengan
warganegara asing dan/atau badan hukum asing

Tantang utama dari Undang-undang ini adalah pembebasan pemilikan bank umum syariah
oleh badan hukum Indonesia dengan warganegara asing dan/atau badan hukum asing secara
kemitraan secara langsung (Pasal 9) maupun melalui bursa efek merupakan tantangan yang
sangat besar ke depan bagi warganegara dan badan hukum Indonesia dalam kepemilikan
bank syariah ke depan. Demikian pula pembebasan penggunaan tenaga kerja asing (Pasal 33
ayat 1) dapat merupakan tantangan besar bagi warganegara Indonesia sebagai pengelola dan
atau pekerja di perbankan Syariah.

1. Produk perbankan syariah yang harus berdasarkan fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN-
MUI)

Tantangan lainnya adalah prinsip syariah yang menjadi dasar produk/jasa perbankan syariah
dituangkan dalam Peraturan Bank Indonesia oleh Komite Perbankan Syariah berdasarkan
fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) (Pasal 26). Hal ini
dapat membatasi produk/jasa yang dapat dilakukan perbankan syariah di Indonesia. Suatu
produk/jasa perbankan syariah yang dapat dilakukan perbankan syariah di dunia internasional
bisa saja tidak dapat dilakukan di Indonesia. Implikasi dari hal ini adalah kurangnya inovasi
produk dari industri perbankan syariah terutama dalam menyikapi kebutuhan pasar. Sebab
banyak inovasi produk yang dilakukan oleh bank syariah ditolak oleh Dewan Syariah
Nasional MUI, hal ini pada akhirnya banyak bank syariah yang bermain aman dengan produk
yang ada tanpa berusaha melakukan inovasi produk yang berarti.

Apabila hal ini terus berlanjut, bisa menyebabkan ditinggalkan oleh konsumen, karena
dianggap tidak bisa memenuhi kebutuhan pasar karena perbankan syariah dianggap tidak
mampu merespon apa yang menjadi kebutuhan pasar. Oleh karenanya pihak perbankan
syariah, Bank Indonesia, dan Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI harus memecahkan
masalah ini bermasalah, agar mampu menyederhanakan jalur birokrasi dalam persetujuan
penerapan suatu produk, namun bukan berarti penyederhanaan ini meninggalkan aspek
kehati-hatian dalam penerapan aturan syariat.

1. Kepastian perpajakan untuk transaksi berbasis syariah

Meskipun UU Perbankan Syariah telah disahkan, tetapi pengenaan pajak berganda (double
taxation) pada transaksi berbasis syariah masih menjadi kendala. Dalam pandangan
Direktorat Jenderal Pajak, akad murabahah dianggap sebagai transaksi ganda, yakni transaksi
jual beli antara penjual barang dan bank syariah yang dilanjutkan dengan transaksi jual beli
antara bank syariah dan nasabah. Oleh karena itu, merujuk pada UU No. 8/2000 tentang
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) barang dan jasa serta Pajak Penjualan Barang Mewah
(PPnBM), perpindahan kepemilikan barang dalam transaksi murabahah pun dikenai PPN dua
kali. Pertama, saat dianggap telah terjadi penyerahan barang dari pihak penjual kepada bank.
Kedua, saat terjadi penyerahan barang dari bank kepada nasabah.

Pajak berganda tersebut jelas merugikan pelaku maupun industri. Karena pajak berganda
inilah yang mengakibatkan produk murabahah bank syariah menjadi lebih mahal dari bank
konvensional. Jika pajak berganda bisa segera dihapuskan, maka produk perbankan syariah
bisa berkembang tidak hanya berupa simpanan atau wadiah, tetapi juga produk yang lain.
Maka, peranan pemerintah untuk mengupayakan jalan keluar bagi permasalahan tersebut
sangat dinantikan.

1. Sumber daya manusia yang kurang

Sumber daya manusia perbankan syariah saat ini masih kurang baik secara kualitas maupun
kuantitas. Namun perguruan tinggi yang mengajarkan mengenai ekonomi syariah belum
mampu menyediakan seluruh sumber daya manusia yang dibutuhkan. Sehingga akhirnya
harus dipasok oleh perguruan tinggi umum. Selain itu seringkali terjadi dikotomi antara
perguruan tinggi agama dan perguruan tinggi umum. Apabila perguruan tinggi agama dalam
pengajarannya lebih menekankan mengenai aspek fiqh semata dan kurang materi praktisnya.

Sementara perguruan tinggi umum terlalu banyak aspek praktisnya dan kurang materi fiqh.
Hal ini harus dipecahkan secara bersama bagaimana menyusun suatu kurikulum yang mampu
memadukan antara kurikulum umum, fiqh dan praktik. Gerakan dari Ikatan Ahli Ekonomi
Islam (IAEI) yang menyusun kurikulum ekonomi syariah harus didukung bersama sebagai
upaya menjembatani keterbatasan sumber daya manusia yang dimiliki oleh perbankan
syariah.
1. Permodalan yang belum kuat

Kekuatan permodalan perbankan syariah masih belum kuat, sehingga belum mampu
mendukung dalam ekspansi pasar. Hal ini salah satunya disebabkan umur perbankan syariah
yang masih muda dibandingkan dengan perbankan konvensional. Pemerintah harus
membantu industri perbankan syariah agar mampu tumbuh setara dengan pertumbuhan
perbankan konvensional. Pembukaan modal asing untuk masuk dalam industri perbankan
syariah merupakan salah satu cara untuk mengatasi permodalan bank syariah yang belum
kuat. Dengan permodalan yang kuat diharapkan ke depannya industri perbankan syariah
mampu setara dengan perbankan konvensional dalam sistem perbankan di Indonesia.

[1] Statistik Perbankan Syariah. Bank Indonesia bulan April 2009

[2] Zainul Arifin, Bank Syariah: Lingkup, Peluang, Tantangan dan Prospek. (Alfabet), h. 45

[3] Zainul Arifin, Bank Syariah: Lingkup, Peluang, Tantangan dan Prospek. (Alfabet), h. 129

[4] Zainul Arifin, Bank Syariah: Lingkup, Peluang, Tantangan dan Prospek. (Alfabet), h. 129

[5] Statistik Perbankan, Bank Indonesia tahun 2005

Berikut ini dijelaskan tambahan hal-hal yg biasanya menjadi:


        Kekuatan:
1. Knowledge atau kepakaran yg dimiliki
2. Produk baru atau pelayanan yg unik
3. Lokasi tempat perusahaan berada
4. Kualitas produk atau proses
         Kelemahan:
1. Kurangnya pengetahuan marketing
2. Produk yg tidak dapat dibedakan dgn produk kompetitor
3. Lokasi perusahaan yg terpencil
4. Kualitas produk yg jelek
5. Reputasi yg buruk
         Peluang:
1. Pasar yg berkembang
2. Penggabungan 2-3 perusahaan atau aliansi
3. Segmen pasar yg baru
4. Pasar internasional
5. Pasar yg luang karena kompetitor yg tidak sanggup memenuhi permintaan customer
         Ancaman:
1. Kompetitor baru di area yg sama
2. Persaingan harga dgn kompetitor
3. Kompetitor mengeluarkan produk baru yg inovatif
4. Kompetitor memegang pangsa pasar terbesar
5. Diperkenalkannya pajak penjualan
 
Perhatian:
1. SWOT analysis bisa sangat-sangat subjective. Bisa saja terjadi 2 orang menganalisa 1
perusahaan yg sama menghasilkan SWOT yg berbeda. Dgn demikian, hasil analisa
SWOT hanya boleh digunakan sbg arahan dan bukan pemecahan masalah.
2. Pembuat analisa harus sangat-sangat realistis dalam menjabarkan kekuatan dan
kelemahan internal. Kelemahan yg disembunyikan atau kekuatan yg tidak terjabarkan
akan membuat arahan strategi menjadi tidak bisa digunakan
3. Analisa harus didasarkan atas kondisi yg sedang terjadi dan bukan situasi yg
seharusnya terjadi
4. Hindari ”grey areas”. Utk memudahkan membedakan antara kekuatan dan kelemahan,
selalu hubungkan situasi yg dihadapi dgn persaingan yg sedang berjalan. Apakah
perusahaan Anda lebih baik dari kompetitor atau tidak?
5. Hindari kerumitan yg tidak perlu dan analisa yg berlebihan. Buatlah analisa SWOT
sesingkat dan sesederhana mungkin

You might also like