You are on page 1of 22

Pengantar Biofarmasetika

DISUSUN OLEH:
RIZKI DESVIANTO W
260110080083

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2010
Pendahuluan
Biofarmasetika mengkaji penerapan ilmu fisika,
kimia, dan biologi terhadap obat, bentuk sediaan
obat dan absorpsi obat. Hal-hal yang dikaji dalam
bidang biofarmasetika antara lain :
Pengaruh dan interaksi antara formulasi obat dan
teknologi
Pembuatan obat menjadi berbagai bentuk sediaan
sangat menentukan kerja obat sesuai dengan sifat
fisikokimianya.
Pengaruh dan interaksi antara obat dan lingkungan
biologik pada site absorpsi dan cara pemberian obat
→ menentukan disposisi zat aktif dalam tubuh
Pengaruh dan interaksi antara zat aktif dengan
tubuh → menentukan bioavailabilitas obat secara
biologis.
Studi biofarmasetika merupakan studi
interdisipliner, membuka cakrawala pandang baru
bagi ilmu farmasi dan biomedik. Biofarmasetika
lebih mendalami pemberian obat secara
ekstravaskuler. Cara pemberian ekstravaskuler yang
terpenting adalah pemberian per oral.
BIOAVAILABILITAS OBAT
Biological availability (ketersediaan biologis) adalah
jumlah relatif obat atau zat aktif suatu produk obat
yang diabsoprsi, serta kecepatan obat itu masuk ke
dalam peredaran darah sistemik. Obat dinyatakan
available (tersedia) jika setelah diabsoprsi obat
tersebut tersedia untuk bekerja pada jaringan yang
dituju dan memberikan efek farmakologis setelah
berikatan dengan reseptor di jaringan tersebut.
Pharmaceutical availability (ketersediaan
farmasetik) adalah ukuran untuk bagian obat yang
in vitro dilepaskan dari bentuk sediaannya dan
siap diabsorpsi. Dengan kata lain, kecepatan larut
obat yang tersedia in vitro.
Dari penelitian pharmaceutical availability sediaan
tablet diketahui bahwa setelah ditelan, tablet akan
pecah (terdesintegrasi) di dalam lambung menjadi
granul-granul kecil. Setelah granul pecah, zat aktif
terlepas dan melarut (terdisolusi) di dalam cairan
lambung atau usus. Setelah melarut, obat tersedia
untuk diabsorpsi. Peristiwa ini disebut fase
ketersediaan farmasetik.
Biovailabilitas obat sangat bergantung pada 2 faktor,
yaitu faktor obat dan faktor pengguna obat. Terdapat
kemungkinan obat yang sama diberikan pada orang
yang sama, dalam keadan berbeda, memberikan
kurva dosis-respon yang berbeda.
Faktor obat:
 Kelarutan obat
 Ukuran partikel
 Bentuk fisik obat
 Dosage form
 Teknik formulasi
 Excipient
Faktor Pengguna:
 Umur, berat badan, luas permukaan tubuh
 Waktu dan cara obat diberikan
 Kecepatan pengosongan lambung
 Gangguan hepar dan ginjal
 Interaksi obat lain
Faktor Obat

Kelarutan obat
Pengaruh daya larut obat bergantung pada sifat kimia
(atau modifikasi kimiawi obat) dan sifat fisika (atau
modifikasi fisik obat).
Ukuran partikel
Kecepatan disolusi obat berbanding lurus dengan
luas permukaan yang kontak dengan cairan.
Semakin kecil partikel, semakin luas permukaan
obat, semakin mudah larut. Dengan memperkecil
ukuran partikel, dosis obat yang diberikan dapat
diperkecil pula, sehingga signifikan dari segi
ekonomis.
Modifikasi Kimiawi Obat
a. Pembentukan Garam
Obat yang terionisasi lebih mudah dalam air
dari[pada bentuk tidak terionisasi. Pembentukan
garam ini terutama penting dalam hal zat aktif
berada dalam saluran cerna, kelarutan modifikasi
sewaktu transit di dalam saluran cerna, karena
perbedaan pH lambung dan usus.
b. Pembentukan Ester
Daya larut dan kecepatan melarut obat dapat
dimodifikasi dengan membentuk ester. Secara
umum, pembentukan ester memperlambat kelarutan
obat. Beberapa keuntungan bentuk ester, antara
lain :
1. Menghindarkan degradasi obat di lambung
2. Memperlama masa kerja obat
3. Menutupi rasa obat yang tidak enak
Modifikasi Bentuk Fisik Obat
a. Bentuk Kristal atau Amorf
Bentuk amorf tidak mempunyai struktur
tertentu, terdapat ketidakteraturan dalam tiga
dimensinya. Secara umum, amorf lebih mudah
larut daripada bentuk kristalnya. Misalnya
Novobiocin, kelarutan bentuk amorf 10 x dari
bentuk Kristal.
b. Pengaruh Polimorfisme
Fenomena polimorfisme terjadi jika suatu zat
menghablur dalam berbagai bentuk Kristal yang
berbeda, akibat suhu, teakanan, dan kondisi
penyimpanan. Polimorfisme terjadi antara lain pada
steroid, sulanilamida, barbiturat, kloramfenikol.
Kloramfenikol palmitat terdapat dalam bentuk
polimorf A, B, C, dan amorf. Tetapi hanya bentuk
polimorf B dan bentuk amorf yang dapat
dihidrolisis oleh usus.
c. Bentuk Solven dan Hidrat
Sewaktu pembentukan Kristal, cairan-pelarut
dapat membentuk ikatan stabil dengan obat,
disebut solvat. Jika pelarutnya dalah air, ikatan ini
disebut hidrat. Bentuk hidrat memiliki sifat-sifat
yang berbeda dengan bentuk anhidrat, terutama
kecepatan disolusi. Ampisilina anhidrat lebih
mudah larut daripada Ampisilian trihidrat.
FAKTOR FISIKA KIMIA LAIN
a. pKa dan Derajat Ionisasi
Obat berupa larutan dalam air dapat diklasifikasi
menjadi 3 kategori, yaitu :
Elektrolit kuat ; seluruhnya berupa ion (contoh :
Na, K, Cl)

Non elektrolit ; tidak terdisosiasi (contoh : gula,


steroid)

Elektrolit lemah ; campuran bentuk ion &


molekul
Konsentrasi relatif bentuk ion/molekul bergantung
pada pKa obat dan pH lingkungan. Kebanyakan obat
dalam bentuk asam lemah atau basa lemah, yang
terabsorpsi secara difusi aktif, sehingga hanya bentuk
molekul (tidak terionisasi) yang terabsorpsi. Akibatnya
perbandingan ion/molekul sangat menentukan
absorpsi.
b. Koefisien Partisi Lemak-Air
Koefisien partisi menunjukkan rasio konsentrasi obat
dalam 2 cairan yang tidak bercampur. Koefisien partisi
merupakan indeks dari solubilitas komparatif suatu
zat dalam 2 solven. Koefisien partisi lemak-air
digunakan sebgai indikator penumpukan obat di
dalam lemak tubuh.
TEKNIK FORMULASI
Faktor-faktor manufaktur (pembuatan obat) dapat
mengurangi bioavailabilitas obat, diantaranya :
1. Peningkatan kompresi (tekanan) pada waktu
pembuatan meningkatkan kekerasan tablet. Hal
ini menyebabkan waktu disolusi dan disintegrasi
menjadi lebih lama.
2. Penambahan jumlah bahan pengikat pada formula
tablet atau granul akan meningkatkan kekerasan
tablet, mengakibatkan perpanjangan waktu
disintegrasi dan disolusi,
3. Peningkatan jumlah pelincir (lubricant) pada
formula tablet akan mengurangi sifat hidrofilik
tablet sehingga sulit terbasahi (wetted). Hal ini
memperpanjang waktu disintegrasi dan disolusi
4. Granul yang keras dengan waktu kompresi yang
cepat serta kekuatan yang tinggi akan
menyebbakan peningkatan suhu kompresi,
sehingga obat yang berbentuk kristal mikro akan
membentuk agregat yang lebih besar.
EXCIPIENT (Zat Tambahan)
Obat jarang diberikan tunggal dalam bahan aktif.
Biasanya dibuat dalam bentuk sediaan tertentu
yang membutuhkan bahan-bahan tambahan
(excipients). Obat harus dilepaskan (liberated) dari
bentuk bentuk sediaannya sebelum mengalami
disolusi, sehingga excipients dapat mengakibatkan
perubahan disolusi dan absorpsi obat.
Contoh kasus pengaruh excipient pada
bioavailabilitas terjadi pada tahun 1971 di Australia.
Banyak pasien yang mengkonsumsi tablet fenitoin
memperlihatkan gejala keracunan, meskipun kadar
fenitoin tablet tersebut tepat. Ternyata bahan pengisi
pada formula tablet tersebut menggunakan laktosa,
sebelumnya kalsium sulfat. Penggantian Laktosa
menyebabkan peningkatan bioavailabilitas sehingga
terjadi efek toksis.
BENTUK SEDIAAN
Kecepatan disolusi sangat dipengaruhi oleh bentuk
sediaan obat. Kecepatan disolusi dari berbagai
sediaan oral menurun dengan urutan berikut :
Larutan < suspensi < emulsi < serbuk < kapsul <
tablet < film coated (salut film) < dragee (salut
gula) < enteric coated (salut selaput) < sustained
release/retard
Dapat dilihat bahwa tablet, meskipun murah dan
praktis, lebih rendah efektivitasnya dibandingkan
sediaan cair, serbuk, dan kapsul.

You might also like