You are on page 1of 160

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Permasalahan

Sejak diberlakukannya Undang Undang No. 22 Tahun 1999 dan kemudian

dirubah menjadi Undang Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

sebagai penganti Undang Undang No. 5 Tahun 1974, diskusi tentang efektivitas

pelayanan publik dalam otonomi daerah menjadi semakin menarik untuk

dibicarakan.

Permasalahannya karena sudah 2 (dua) kali perubahan undang-undang

tersebut dilakukan, namun peningkatan pelayanan publik publik sebagai

sasarannya selalu dipertanyakan, bahkan ada diskusi yang membahas bahwa

Undang Undang No. 32 Tahun 2004 perlu lagi perubahan.

Undang-undang ini merupakan implimentasi pasal 18 ayat (1) UUD 1945

yang mengatakan bahwa Negara Republik Indonesia merupakan negara kesatuan

yang dibagi atas daerah-daerah propinsi dan propinsi terdiri dari daerah kabupaten

dan kota yang mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dalam undang-undang.

Selanjutnya, pasal 2 ayat (2) menyebutkan bahwa pemerintah daerah propinsi,

daerah kabupaten dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan

menurut azas otonomi dan tugas perbantuan. Dalam menjalankan otonomi dan

tugas perbantuan, kecuali urusan pemerintah pusat, pemerintah daerah berhak

menetapkan peraturan daerah dan peraturan lain sesuai dengan ketentuan berlaku.

Pada dasarnya, maksud pasal 18 UUD 1945 tersebut adalah mempercepat

terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan,


2

pemberdayaan dan peran serta masyarakat. 1 Selanjutnya dijelaskan bahwa

pemerintahan daerah dalam meningkatkan efisiensi dan efektivitas

penyelenggaraan otonomi daerah, perlu memperhatikan antar susunan

pemerintahan antar pemerintahan daerah, potensi dan keanekaragaman daerah

dalam sistem Negara Kesatuan RI. Dalam berbagai aspek UU No. 32 Tahun 2004

mengatur hubungan keuangan pusat dan daerah, pelayanan umum, pemanfaatan

sumber daya alam dan sumber daya lainnya secara adil dan selaras.

Di samping itu, dalam menjalankan perannya, daerah diberikan

kewenangan yang seluas-luasnya disertai dengan pemberian hak dan kewajiban

menyelenggarakan Otonomi Daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan

pemerintahan negara.2

Masalah pelayanan publik di Indonesia masih sangat memprihatinkan,

karenanya pemerintah masih perlu membuat strategi dan kebijakan agar dapat

memenuhi hak azazi warga negara dan membutuhkan solusi menyeluruh untuk

membuat pelayanan publik yang baik. 3 Sebagai gambaran dan fenomena pelayanan

publik di Provinsi Sumatera Barat saat ini seperti terlihat rendahnya tingkat kinerja

aparatur penyelenggara pemerintahan di daerah. Indikasi menunjukan bahwa

Pemerintah Daerah melalui Peraturan Gubenur Sumatera Barat Nomor 74 Tahun

2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Tahun

2006 - 2010 menempatkan hal ini sebagai skala prioritas utama. Dalam bagian IV,

(Agenda penyelenggaraan pemerintahan daerah yang baik dan bersih Bab II diatur

11
Penjelasan Umum, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,
Publik CV. Jaya Jakarta, Cetakan Pertama, 2004. hal. 125.
22
Ibid, hal. 123, 124
3
Wacana HAM, Pandangan Publik yang memprihatinkan Edisi 17, Tahun III, 15 Oktober
2005, hal. 1
3

tentang Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik)4 yang menerangkan bahwa

berdasarkan hasil identifikasi dalam pembinaan pelayanan publik masih banyak

permasalahan yang perlu ditindaklanjuti dan diselesaikan seperti : belum

kompetitif, transfaran dan akuntabilitas proses pelayanan publik, rendahnya etos

kerja aparatur, pelayanan publik belum didukung oleh teknologi informasi serta

belum ada instrumen yang jelas untuk mengevaluasi kualitas pelayanan.

Sasaran yang hendak dicapai dalam peningkatan kualitas pelayanan publik

tahun 2006-2010 ke depan adalah :

1. Terlaksananya pelayanan publik kepada masyarakat sesuai dengan standar

layanan yang ditetapkan.

2. Tercapainya transparansi dalam proses pelayanan publik.

3. Meningkatnya etos kerja, profesionalisme dan kompetensi aparatur.

4. Meningkatnya kemandirian masyarakat dalam mendapatkan pelayanan

publik.

5. Meningkatnya pengguna teknologi informasi dalam pemberian pelayanan

publik.

6. Meningkatnya peran masyarakat terhadap penilaian kinerja aparatur

pelayanan publik.

Dalam RPJMD tersebut ditetapkan arah kebijakan, program pengembangan

pelayanan publik dan pengembangan partisipasi publik (masyarakat) yang berada

dalam agenda penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan bersih bersamaan

dengan sub-sub agenda lainnya, yaitu : peningkatan kemampuan pemerintah

daerah, peningkatan kualitas pelayanan publik, pemberantasan korupsi, kolusi dan

4
Naskah Peraturan Gubernur Sumatera Barat Nomor 74 Tahun 2005, hal. 121
4

nepotisme, pembangunan hukum dan perlindungan hak azazi manusia, peningkatan

keamanan dan ketertiban.

Dengan demikian "masalah" Pelayanan publik sudah diakomodir dalam suatu

konsepsi dan strategi kebijakan untuk kurun waktu 2006-2010 mendatang yakni

dengan isu bagaimana meningkatkan kualitas pelayanan publik tersebut dari tahun

ke tahun yang disinyalir seakan-akan berjalan di tempat.

Berdasarkan fakta dalam RPJMD Propinsi Sumatera Barat, betapa rendahnya

kualitas pelayanan publik tersebut, salah satu diantaranya terdapat pada Perangkat

Daerah/Dinas (Satuan Kerja Perangkat Daerah) yaitu Dinas Pendapatan Daerah.

Fakta lain menjelaskan, walaupun jumlah penerimaan daerah yang berasal dari

Pendapatan Asli Daerah (PAD) cenderung menunjukan peningkatan dan

memberikan kontribusi yang besar terhadap penerimaan daerah, pencapaian hasil

relatif masih dibawah target. Khususnya pencapaian target (realisasi) penerimaan

pajak daerah dari sub-sektor Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama

Kendaraan Bermotor (BBN-KB).

Bertitik tolak dari fakta dan kenyataan di atas, maka penulis tertarik untuk

melakukan penelitian dan penulisan ilmiah dengan menyingkap dan

menganalisanya secara mendalam dengan penekanan yang diarahkan kepada

peningkatan pelayanan publik terutama terhadap sub sektor pajak daerah yang

berasal dari pajak kendaraan bermotor dan bea balik nama kendaraan bermotor

melalui Dinas Pendapatan Daerah Cq. UPTD Pelayanan Pendapatan Provinsi

Sumatera Barat di Padang, melalui Kantor Bersama SAMSAT.

Pelaksanaan pelayanan publik yang diselenggarakan oleh unit pelayanan

Kantor Bersama SAMSAT ini terdapat 3 unit kerja yang terkait dan berhubungan,
5

yaitu pihak Pemerintah Provinsi c.q. Dinas Pendapatan Daerah, Polri c.q.

Kepolisian Daerah dan PT. AK Jasa Raharja. Dengan adanya 3 unit kerja masalah

yang ditemukan dalam pelayanan adalah bertemunya 3 (tiga) kepentingan yang

berbeda yang saling membutuhkan dan saling berhubungan, namun menyatu dan

saling berkaitan (Simbiose Mutualistis).

Ketiga unit kerja ini sama-sama bertujuan memberikan pelayanan publik

secara prima kepada masyarakat. Pihak Pemda dalam memberikan pelayanan

bertujuan untuk peningkatan penerimaan daerah yang diperlukan bagi keperluan

dana pembangunan yang berasal dari sumber-sumber PAD, sedangkan di pihak

lain Polda lebih berkepentingan dalam masalah pengidentifikasian kepemilikan

dan keamanan.

Pengelolaan kebijakan melalui Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap

(SAMSAT) sudah sesuai dengan maksud Undang Undang 32 Tahun 2004, namun

efektivitas keberadaan pola dan sistem SAMSAT masih perlu penyempurnaan.

Oleh karena itu, penulis tertarik untuk melakukan kajian karena sepengatahuan

penulis belum ada yang menelaahnya, terutama bila dikaitkan dengan suasana dan

nuansa tuntutan tatanan Pemerintahan yang Baik dan Bersih (Good Governance

and Clean Government). Penulisan dan penganalisaan mempedomani teori-teori

menurut Ilmu Hukum Administrasi Negara, dikaitkan dengan aspek normatif dari

berbagai ketentuan peraturan perundangan dengan judul : Efektivitas Pelayanan

Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor pada Dinas

Pendapatan Daerah Propinsi Sumatera Barat (Suatu Kajian Dalam Perspektif

Hukum Administrasi Negara).


6

B. Rumusan Permasalahan

Adapun pokok bahasan penelitian ini, akan ditinjau dari perspektif Hukum

Administrasi Negara yakni :

a. Sejauh mana pelayanan publik di bidang perpajakan pada Dispenda

cq. UPTD Pelayanan Pendapatan Prop. Sumbar di Padang melalui Kantor

Bersama Samsat terhadap Pengelolaan Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea

Balik Nama Kendaraan Bermotor (PKB dan BBN-KB) efektivitasnya

(efektif dan efisien) mewujudkan "Pemerintahan Yang Baik dan Bersih

(Good Governance and Glean Government)?

b. Faktor-faktor dominan apa saja yang mempengaruhi efektivitas

pelayanan sesuai Standar Pelayanan Minimal (SPM) kepada wajib pajak

agar sejalan dengan peningkatan pemasukan pendapatan daerah

(pemungutan Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan

Bermotor) baik secara intensifikasi maupun ekstensifikasi?

C. Tujuan Penelitian

Mengetahui efektivitas pelayanan umum yang diberikan oleh instansi

Pemerintah Provinsi Sumatera Barat Cq. Dinas Pendapatan Daerah cq.

UPTD PPP di Padang, melalui kantor bersama SAMSAT kepada wajib

pajak (masyarakat pemilik kendaraan bermotor).

Mengetahui peranan dan fungsi UPTD PPP di Padang dalam mengelola

kewenangannya dalam mengelola sumber pendapatan daerah yang menjadi

tugas dan urusan sesuai dengan kewenangan dalam kompetensi wilayah

administratifnya sesuai ketentuan perundang-undangan.


7

D. Manfaat Penelitian

Manfaat Teoritis

Manfaat teoritis dari hasil penelitian diharapkan dapat memberikan

kontribusi dan sumbangan pemikiran untuk pengembangan Hukum

Administrasi Negara di Bidang Tata Pemerintahan Daerah pada umumnya,

serta Hukum Perpajakan/Pajak Daerah pada khususnya.

Manfaat Praktis

Manfaat praktis, hasil penelitian diharapkan sebagai kontribusi sumbangan

pemikiran dalam upaya meningkatkan kinerja SKPD serta kualitas kerja

aparat pemerintahan daerah dalam memberikan pelayanan publiknya

kepada wajib pajak/masyarakat.

E. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1 Kerangka Teoritis

1) Otonomi Daerah

Pengertian otonomi daerah yang melekat dalam keberadaan

pemerintah daerah, juga sangat berkaitan dengan desentralisasi. Baik

pemerintahan daerah, desentralisasi maupun otonomi daerah, adalah bagian

dari suatu kebijakan dan praktek penyelenggaraan pemerintahan, tujuannya

adalah demi terwujudnya kehidupan masyarakat yang tertib, maju dan

sejahtera, setiap orang bias hidup tenang, nyaman, wajar oleh karena

memperoleh kemudahan dalam segala hal di bidang pelayanan

masyarakat.5

5
Parjoko, Filosofi Otonomi Daerah Dikaitkan dengan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1999, Nomor 25 Tahun 1999, makalah, Makalah Falsafah Sains (Pps 720) Program
Pascasarjana/S3 Institut Pertanian Bogor, Februari, 2002, hal. 1.
8

Oleh karena itu keperluan otonomi di tingkat lokal pada hakekatnya

adalah untuk memperkecil intevensi pemerintah pusat kepada daerah.

Dalam Negara Kesatuan (unitarisme) otonomi daerah itu diberikan oleh

pemerintah pusat (central government), sedangkan pemerintah daerah

hanya menerima penyerahan dari pemerintah pusat.6 Berbeda halnya

dengan otonomi daerah di Negara federal, dimana otonomi daerah sudah

melekat pada negara-negara bagian.

Secara normatif, penyerahan kewenangan pemerintah pusat kepada

pihak lain (pemerintah daerah) untuk dilaksanakan disebut dengan

desentralisasi. Desentralisasi sebagai suatu system yang dipakai dalam

system pemerintahan merupakan kebalikan sentralisasi. Dalam system

sentralisasi, kewenangan pemerintah baik di pusat maupun di daerah,

dipusatkan dalam tangan pemerintahan pusat.7

Dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan negara yang

menganut prinsip pemencaran kekuasaan secara vertikal, membagi

kewenangan kepada pemerintah daerah bawahan dalam bentuk penyerahan

kewenangan. Penerapan prinsip ini melahirkan model pemerintahan daerah

yang menghendaki adanya otonomi dalam penyelenggaraannya. Dalam

sistem ini, kekuasaan negara terbagi antara pemerintah pusat di satu pihak

dan pemerintah daerah di lain pihak. Penerapan pembagian kekuasaan

dalam rangka penyerahan kewenangan otonomi daerah, antara negara yang

6
Sarundajang, Arus Balik Kekuasaan Pusat ke Daerah, Pustaka SInar Harapan, Jakarta, Cetakan
1, Juli, 1999.
7
Soetijo, Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, PT Rineka Ripta, Jakarta, 1990.
9

satu dengan negara yang lain tidak sama, termasuk Indonesia yang

menganut negara kesatuan.8

Philip Mawhood menyatakan desentralisasi adalah pembagian dari

sebagian kekuasaan pemerintah oleh kelompok yang berkuasa di pusat

terhadap kelompok-kelompok lain yang masing-masing memiliki otorisasi

dalam wilayah tertentu suatu negara.9

Sementara itu, B.C. Smith mendefenisikan desentralisasi sebagai

proses melakukan pendekatan kepada pemerintah daerah yang

mensyaratkan terdapatnya pendelagasian kekuasaan (power) kepada

pemerintah bawahan dan pembagian kekuasaan kepada daerah. Pemerintah

pusat diisyaratkan untuk menyerahkan kekuasaan kepada Pemerintah

Daerahseagai wujud pelaksanaan desentralisasi.10

Tujuan desentralisasi secara umum oleh Smith dibedakan atas 2

(dua) tujuan utama, yakni tujuan politik dan ekonomis. Secara politis,

tujuan desentralisasi antara lain untuk memperkuat pemerintah daerah,

untuk meningkatkan keterampilan dan kemampuan politik para

penyelenggara pemerintah dan masyarakat, dan untuk mempertahankan

integritas nasional. Sedangkan secara ekonomi, tujuan desentralisasi,

antara lain adalah untuk meningkatkan kemampuan pemerintah daerah

dalam menyediakan public good and service, serta untuk meningkatkan

efisiensi dan efektifitas pembangunan ekonomi di daerah.11

8
Bambang Yudoyono, makalah Telaah Kritis Implementasi UU NO. 22/1999, Upaya Mencegah
Desintegrasi Bangsa, disampaikan pada seminar dalam rangka kongres ISMAHI di Bengkulu, 22 Mei
2000.
9
Siswanto Sunarno, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2006.
10
Ibid.
11
Syarif Hidayat (editor), Kegamangan Otonomi Daerah? Pustaka Quantum, Jakarta, 2004.
10

Sedangkan D. Juliantara, dkk memberikan pengertian desentralisasi

dengan merujuk pada asal katanya, bahwa istilah desentralisasi berasal dari

bahasa latin, de artinya lepas dan centrum artinya pusat.12 Lebih jauh ia

menyebutkan desentralisasi yang dimaknai dalam konteks yang lebih luas,

bahwa konstek negara-negara demokrasi modern, kekuasaan politik

diperoleh melalui pemilihan umum yang diselenggarakan secara regular

dan serentak di setiap daerah untuk memberikan legitimasi terhadap tugas

dan wewenang lembaga-lembaga politik di tingkat nasional dan juga di

tingkat local sendiri. Dengan kata lain, kekuasaan pemerintah daerahlah

yang memintah dan menarik kembali sebagian kewenangan yang telah

diberikan kepada pemerintah pusat, bukan karena kebaikan hati pemerintah

pusat.13

Dengan demikian jelaslah, bahwa desentralisasi akan melahirkan

otonomi daerah dan bahkan kadangkala sulit untuk membedakan

pengertian diantara keduanya secara terpisah. “Desentralisasi dan otonomi

daerah bagaikan dua sisi mata uang yang saling memberi makna satu sama

lainnya. Lebih spesifik, ungkin tidak berlebihan ila dikatakan ada atau

tidaknya otonomi daerah sangat ditentukan oleh beberapa jauh wewenang

yang telah didesentralisasikan oleh Pemerintah Pusat ke Pemerintah

Daerah. Itulah sebabnya, dalam studi Pemerintahan Daerah, para analis

sering menggunakan istilah desentralisasi dan otonomi daerah secara

bersamaan, interchange”.

12
D. Juliantara, dkk. Desentralisasi Kerakyatan, Gagasan da Praksis, Pondok Edukasi, Bantul,
2006.
13
Ibid.
11

Adanya otonomi daerah dalam negara, dilatarbelakangi oleh

pengalaman masa lalu dimana keberadaan negara hanya dianggap sebagai

instrument oleh kaum kapitalis. Kondisi ini kemudian melahirkan konsep

Marxis tentang Instrumental State. Demikian halnya paham Sosialis yang

menghendaki adanya otonomi dari pengaruh partai politik (partai komunis)

yang cenderung mengintervensikan kehidupan negara. Dalam hubungan ini

negara menginginkan otonomi untuk memperkecil dan bahkan

menghilangkan pengaruh-pengaruh ataupun intervensi kaum-kaum

kapitalis dan sosialis. Berbeda halnya dengan pemberian otonomi dengan

pemerintah local, yaitu untuk memperbesar kewenangan mengatur dan

mengurus rumah tangganya sendiri.14

Oleh karena itu, keperluan otonomi di tingkat local pada hakikatnya

adalah untuk memperkecil intervensi pemerintah pusat kepada daerah.

Dalam negara kesatuan (unitarisme) otonomi daerah itu diberikan oleh

pemerintah pusat (central government), sedangkan pemerintah daerah

hanya menerima penyerahan dari pemerintah pusat. Berbeda halnya

dengan otonomi daerah di negara federal, di mana otonomi daerah sudah

melekat pada negara-negara bagian.

Reuter, mengemukakan, desentralisasi adalah sebagian pengakuan

atas penyerahan wewenang oleh badan-badan umum yang lebih tinggi

kepada badan-badan umum yang lebih rendah untuk secara mandiri dan

berdasarkan pertimbangan kepentingan sendiri mengambil keputusan

pengaturan dalam pemerintahan, serta struktur wewenang yang terjadi.

14
Sarundajang, op cit.
12

Dalam hal itu Rondineli, mengatakn bahwa desentralisasi dari arti luas

mencakup setiap penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat baik

kepada daerah maupun kepada pejabat pemerintah pusat yang ditugaskan

di daerah.15

Koeswara, mengemukakan, bahwa pengertian desentralisasi pada

dasarnya mempunyai makan bahwa melalui proses desentralisasi urusan-

urusan pemerintahan yang semua termasuk wewenang dan tanggung jawab

pemerintah pusat, sebagian diserahkan kepada badan/lembaga

pemerintahan di daerah.16

Prakarsa untuk menemukan prioritas, memilih alternatif dan

mengambil keputusan yang menyangkut kepentingan daerahnya, baik

dalam hal menentukan kebijaksanaan, perencanaan, maupun pelaksanaan

sepenuhnya diserahkan kepada daerah.

Lebih dalam lagi, bila kita cermati prinsip-prinsip hukum dalam

pengelolaan masalah-masalah bangsa (nation affairs) ke depan governance

dikatakan baik (good atau sound) apabila sumber daya dan masalah-

masalah publik dikelola secara efektif dan efisien serta aspiratif yang

didasarkan kepada transparansi, akuntabilitas dan partisipasi masyarakat

serta rule of law.

Oleh karena itu pelaksanaan kewenangan politik, ekonomi dan

administrasi dalam mengelola masalah-masalah layanan tersebut perlu

memperhatikan prinsip-prinsip hukum pengelolaan sumber daya yang

15
Oentara Sm, dkk, Menggagas Format Otonomi Daerah Masa Depan, Samitra Media Utama,
Jakarta, 2004.
16
Koeswara, Prospek Pengembangan desentralisasi dan Otonomi Daerah dengan Titik Berat
pada Daerah Tingkat II, Badan Pendidikan dan Latihan Departemen Dalam Negeri, 1996.
13

dimiliki, seperti prinsip good governance, subsidiarity, equity, privaty use,

prier appropriation (first in time, first in right), sustainable development,

good sustainable development govermance dan participatory

development.

Menurut peneliti prinsip subsidiarity dalam pelaksanaan otonomi

daerah dalam koridor Negara Kesatuan Republik Indonesia sangat relevan

dan tepat dipedomani dan diterapkan dalam pengelolaan sumber daya

pendapatan daerah, karena menurut teori subsidiarity secara lugas dan

tegas dikatakan bahwa kewenangan yang telah diberikan oleh pemerintah

tingkat lebih atas (pusat) kepada pemerintah tingkat lebih rendah (seperti

provinsi dan atau kabupaten/kota) akan dapat ditarik kembali oleh tingkat

lebih atas bila ternyata tingkat lebih rendah yang menerimanya tidak dapat

melaksanakan kewenangan (urusan/administrasi)-nya sebagai mana

mestinya.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kemampuan pemerintah

provinsi dalam menjalankan urusan otonomi daerahnya di bidang

perpajakan including/ termasuk di dalamnya pemberian pelayanan publik

yang baik terhadap wajib pajak sektor tertentu jelas akan menjadi ukuran

tingkat kemampuan yang realistas bagi suatu pemerintah provinsi tersebut.

Artinya bila pemerintah provinsi ternyata tidak mampu mengelola

kewenangan dan administrasi pengelolaannya dengan baik, maka

pemerintah pusat memiliki otoritas penuh untuk menarik kembali

penyerahan/pemberian kewenangan untuk mengelola urusan seperti

kewenangan mengelola/memungut pajak daerah tertentu.


14

Berdasarkan penjelasan di atas, kita dapat memahami bahwa salah

satu tujuan otonomi yaitu peningkatan pelayanan dan kesejahteraan yang

semakin baik. Untuk itu dengan desentralisasi diharapkan daerah akan

memberikan pelayanan yang lebih baik dibandingkan dengan sistem

sentralistik. Pelayanan pemerintah dengan sistem sentralistik. Pelayanan

pemerintah di era otonomi, diharapkan akan lebih baik dan aspiratif,

sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Sasaran dari kemandirian daerah adalah agar daerah dapat

mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Kertergantungan daerah

terhadap pusat dalam pengambilan berbagai keputusan publik

diminimalkan. Diharapkan keputusan publik yang dibuat oleh daerah bagi

kepentingan masyarakatnya akan lebih cermat, lebih tepat dan lebih cepat

atau dengan kata lain pelayanan akan lebih berdaya guna dan berhasil

guna.17

Kemandirian daerah ini adalah dimaksudkan untuk tujuan

pemberian pelayanan yang efisien, partisipatif dan akhirnya peningkatan

daya saing daerah. Keputusan publik yang cermat, tepat dan cepat itu

adalah merupakan cerminan dari efisiensi pelayanan. Pendirian sebuah

sekolah dikatakan efisien bila daya tampungnya terpenuhi. Keputusan

pembuatan jalan raya efisien bila jalan tersebut bermanfaat oleh

masyarakat yang ada di sekitarnya. Begitu juga halnya dengan pendirian

rumah sakit pada lokasi tertentu.

17
Syahruddin dan Werry Darta Taifur, Peranan DPRD untuk Mencapai Tujuan Desentralisasi
dan Perspektif tentang Pelaksanaan Desentralisasi, Laporan penelitian Iris Indonesia dan Pusat Studi
Kependudukan UNAND Padang, Tahun 2002, hal. 28.
15

Dalam rangka itu reposisi daerah hendaknya dipahami sebgai upaya

mengaktualisasikan berbagai potensi dan aspirasi masyarakat daerah,

sehingga rakyat di daerah dapat mengekspresikan kepentingan dan

kehendaknya. Untuk itu pemerintah daerah perlu menyusun kerangka kerja

yang memungkinkan terserapnya berbagai potensi dan aspirasi rakyat

terutama prinsip pelayanan.

Mengingat tujuan utama dibentuknya pemerintahan adalah untuk

menjaga sistem ketertiban di dalam masyarakat, sehingga bisa menjalani

kehidupannya secara wajar. Pemerintah diadakan tidaklah untuk melayani

dirinya sendiri tetapi juga untuk melayani masyarakat,18 dalam

mengembangkan kemampuan dan kreatifitasnya demi mencapai tujuan

bersama.

Untuk mencapai pelaksanaan pelayanan umum tersebut dibutuhkan

oaparatur yang berkualitas, memiliki kemampuan dalam melayani,

memenuhi kebutuhan, menanggapi keluhan masyarakat secara

memuaskan, sesuai dengan ekspektasi (harapan) mereka melalui

kebijaksanaan, perangkat hukum yang berfungsi sebagai acuan dalam

pengendalian, pengaturan agar kekuatan sosial dan aktivitas masyarakat

tidak membahayakan negara dan bangsa.

Teori pemerintahan modern mengajarkan bahwa untuk

mewujudkan good governance perlu dijalankan desentralisasi

pemerintahan.19 Dengan desentralisasi pemerintahan maka pemerintahan

18
Ryaas Rasyid, Makna Pemerintahan : Tinjauan dari Segi Etika dan Kepemimpinan, PT. Yarsif
Watampone, Jakarta, 1997.
19
Baca David Osborne dan Ted Gaebler, Reinventing Government, 1993, hal. 250 dst.
16

akan semakin dekat dengan rakyat. Asumsinya pemerintahan yang dekat

denagn rakyat, maka pelayanan yang diberikan menjadi lebih cepat, hemat,

murah, responsif, inovatif, akomodatif dan produktif. Ryaas Rasyid

mengatakan ”the closer givernment, the better it service”.20 Dalam

desentralisasi terkandung makna otonomi dan demokratisasi. Dua kata

tersebut yakni otonomi dan demokrasi tidak mungkin dipisahkan, ia ibarat

dua sisi mata uang yang satu dan yang lain saling memberi nilai. Otonomi

tanpa demokratisasi merupakan suatu keniscayaan21 dan sebaliknya

demokratisasi tanpa otonomi adalah kebohongan. Dalam sejarah otonomi

di Indonesia sejak kemerdekaan memang sarat dengan kebohongan.

Yuridis formal dalam undang-undang pemerintahan daerah otonomi

diakui, tetapi dalam implementasinya terjadi pemasungan-pemasungan

melalui filter-filter yuridis peraturan pelaksanaan undang-undang tersebut,

akibatnya kemandirian dan otoaktivitas daerah menjadi tersumbat. Hal

itulah yang kemudian melahirkan resistensi daerah terhadap pusat yang

sangat menguras energi menyelesaikannya. Adanya otonomi kebijakan

otonomi khusus bagi Propinsi Aceh dan Irian Jaya memang lahir di tengah

derasnya tuntutan disintegrasi. Hal itu jika pusat menyadari secara filosofis

dan sosiologis otonomi yang dibangun bikan linear atau simetris tetapi

suatu asymmetric decentralization.22


20
M. Ryaas Rasyid, Desentralisasi dalam Rangka Menunjang Pembangunan Daerah, dalam
Administrasi Pembangunan Indonesia, LP3ES, 1998, hal. 140.
21
Yuslim, Titik Berat Otonomi pada Daerah Tingkat II, Tesis, Pascasarjana Unpad, 1997. Kasus
Pemilihan Gubernur Riau tanggal 2 September 1985 di mana Ismail Suko yang memperoleh dukungan
DPRD dengan 19 suara, sementara H. Imam Munandar yang memperoleh dukungan 17 suara, karena
kuatnya arus sentralisasi Ismail Siko menyatakan mundur dari pencalonan Gubernur setelah diminta
menghadap Ketua Golkar, waktu itu Wakil Presiden Sudarmono.
22
Kebijakan otonomi yang uniformitas tidak sesuai dengan esensi kebhinekaan di Indonesia, dan
juga tidak sesuai dengan ajaran rumah tangga riil.
17

2) Pelayanan Umum

Pelayanan pemerintahan daerah merupakan tugas dan fungsi utama

pemerintah daerah. Hal ini berkaitan dengan fungsi dan tugas

pemerintahan secara umum, yaitu memberikan pelayanan kepada

masyarakat. Dengan pemberian pelayanan yang baik kepada masyarakat,

maka pemerintah akan dapat mewujudkan tujuan negara yaitu menciptakan

kesejahteraan masyarakat. Pelayanan kepada masyarakat tersebut

terintegrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan.23

Pelayanan publik berhubungan dengan pelayanan yang masuk kategori

sektor publik, bukan sektor privat. Pelayanan tersebut dilakukan oleh

pemerintah pusat, pemerintah daerah dan BUMN/BUMD. Ketiga

komponen yang menangani sektor publik tersebut menyediakan layanan

publik, seperti kesehatan, pendidikan, keamanan, dan ketertiban, bantuan

sosial dan penyiaran.24 Dengan demikian yang dimaksud pelayanan publik

adalah pelayanan yang diberikan oleh negara/daerah dan perusahaan milik

negara kepada masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dasarnya dalam

rangka menciptakan kesejahteraan masyarakat.

Pemerintah baik pusat maupun daerah mempunyai tiga fungsi

utama : 1) memberikan pelayanan (service) baik pelayanan perorangan

maupun pelayanan publik/khalayak, 2) melakukan pembangunan fasilitas

ekonomi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi (development for

economic growth), dan 3) memberikan perlindungan (protective)

23
Hanif Nurcholish, Teori dan Pratek Pemerintahan dan Otonomi Daerah, PT. Grasindo, 2005,
hal. 175.
24
Ibid, hal. 176.
18

masyarakat.25 Sebagai fungsi public services, pemerintah wajib

memberikan pelayanan publik secara perorangan maupun khalayak/publik.

Pelayanan untuk orang perorangan misalnya pemberian KTP, SIM, IMB,

Sertifikat tanah, paspor, surat izin dan keterangan. Pelayanan publik

misalnya pembuatan lapangan sepakbola, taman kota, hutan lindung,

trotoar, waduk, taman nasional, panti anak yatim/jompo/cacat/miskin,

tempat pedagang kaki lima dan lain-lain.26

Oleh karena itu pemerintah daerah wajib memberikan pelayanan

perorangan dengan biaya murah, cepat dan baik, harus mendapatkan

pelayanan yang sama. Disamping itu juga harus diperlakukan oleh petugas

dengan sikap yang sopan dan ramah. Semua orang tanpa kecuali baik kaya,

miskin, pejabat, orang biasa, orang desa atau kota, harus diperlakukan

sama.

Tidak boleh dibeda-bedakan baik dengan sikap, biaya maupun

waktu penyelesaian. Pelayanan pemerintah daerah kepada khalayak juga

harus adil dan merata. Pemerintah Daerah tidak boleh menganakemaskan

atau menganaktirikan kelompok masyarakat tertentu, sehingga yang satu

diberi lebih dan yang lain diberi sedikit.27

Dengan demikian pelayanan publik oleh pemerintah daerah harus

dapat memuaskan publik. Untuk mengetahui sejauh mana kualitas

pelayanan yang diberikan oleh pemerintah daerah bisa diukur dengan

indikator-indikator : mudah, murah, cepat, tidak berbelit, petugasnya

25
Ibid, hal. 178.
26
Ibid.
27
Ibid, hal. 182.
19

murah senyum, petugasnya membantu jika ada kesulitan, adil dan merata

serta memuaskan.

3) Kualitas Pelayanan

Vincent Gesperz, mengemukakan bahwa kualitas pelayanan,

meliputi dimensi-dimensi berikut :28

- Ketaatan waktu pelayanan, berkaitan dengan waktu

tunggu dan waktu proses

- Akurasi pelayanan, berkaitan dengan keakuratan

pelayanan dan bebas dari kesalahan-kesalahan.

- Kesopanan dan keramahan dalam memberikan pelayanan,

berkaitan dengan prilaku orang-orang yang berintegrasi langsung

kepada pelanggan eksternal.

- Tanggung jawab, berkaitan dengan penerimaan pesanan

dan penanganan keluhan pelanggan eksternal (masyarakat).

- Kemudahan mendapatkan pelayanan, berkaitan dengan

banyaknya petugas yang melayani dan fasilitas pendukung.

- Kenyamanan mendapat pelayanan, berkaitan dengan

lokasi, ruangan tempat pelayanan, tempat parkir, ketersediaan

informasi dan petunjuk panduan lainnya.

- Atribut pendukung lainnya, seperti lingkungan,

kebersihan, ruang tunggu, fasilitas musik, AC, dan lain-lain.

Vincent Gesperz juga mengemukakan manajemen perbaikan

kualitas yang dikenal dengan konsep Vincent.

28
Ditjen Pemerintahan Umum, op.cit.
20

Konsep ini terdiri dari strategi perbaikan kualitas yaitu :

- Visionary transformation (tranformasi misi)

- Infrastructure (infrastruktur)

- Need for Improvement (kebutuhan untuk perbaikan)

- Customer Focus (Fokus Pelanggan)

- Empowerment (Pemberdayaan)

- NewViews of Quality (pandangan baru tentang kualitas)

- Top Management ( Komitmen manajemen puncak)

4) Prinsip Good Governance

Word Bank maupun UNDP mengembangkan istilah baru yaitu

”governace” sebagai pendamping kata ”government”. Istilah tersebut

sekarang sedang sangat populer digunakan dikalangan akademisi maupun

masyarakat luas. Kata ”governace” kemudian diterjemahkan ke dalam

Bahasa Indonesia dalam berbagai kata. Ada yang menterjemahkan menjadi

”tata pemerintahan”, ada pula yang menterjemahkan menjadi

”kepemerintahan”.29

Perubahan penggunaan istilah dengan pengertiannya akan

mengubah secara mendasar pratek-pratek penyelenggaraan pemerintahan

di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Perubahannya akan mencakup tiga

dimensi yaitu dimensi struktural, dimensi fungsional serta dimensi

kultural. Perubahan struktural menyangkut struktur hubungan antara

pemerintahan pusat dengan pemerintahan daerah, struktur hubungan antara

eksekutif dan legislatif maupun struktur hubungan antara pemerintah


29
Sadu Wasistiono, Kapita Selekta Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Alqprint
Jatinangor, Bandung, hal. 27.
21

dengan masyarakat. Perubahan fungsional menyangkut perubahan fungsi-

fungsi yang dijalankan pemerintah pusat, pemerintah daerah maupun

masyarakat. Sedangkan perubahan kultural menyangkut perubahan pada

tata nilai dan budaya-budaya yang melandasi hubungan kerja

intraorganisasi, antarorganisasi maupun eksraorganisasi.30

United Nation Development Programe (UNDP), memberikan

batasan pada kata governance sebagai “pelaksanaan kewenangan politik,

ekonomi, dan administrasi dalam mengelola masalah-masalah bangsa”.

Governance dikatakan baik (good atau sound) apabila sumber daya publik

dan masalah-masalah publik dikelola secara efektif dan efisien, yang

merupakan respon terhadap kebutuhan masyarakat. Tentu saja pengelolaan

yang efektif dan efisien dan responsive terhadap kebutuhan rakyat

menuntut iklim demokrasi dalam pemerintahan, pengelolaan sumber daya

alam dan pengelolaan masalah-masalah publik yang didasarkan pada

keterlibatan masyarakat, akuntabilitas, serta transparan.

Governance berarti pelaksanaan pemerintahan. Ini berarti good

governance adalah pemerintahan yang baik (lembaga), sedangkan (good

governance) adalah pelaksanaan pemerintahan yang baik

(penyelenggaraannya). Clean government mengandung arti pemerintahan

yang bersih (lembaga), sedangkan Clean government berarti pelaksanaan

pemerintahan yang bersih.

30
Ibid.
22

Baik buruknya suatu pemerintahan bisa dinilai bila ia telah

bersinggungan dengan semua unsur prinsip-prinsip good governance

sebagaimana tersebut di bawah ini.31

Partisipasi (Participation)

Sebagai pemilik kedaulatan rakyat, setiap warga negara

mempunyai hak dan kewajiban untuk mengambil bagian dalam

bernegara, berpemerintahan serta bermasyarakat. Partisipasi tersebut

dapat dilakukan secara langsung maupun melalui institusi intermediasi

seperti DPRD, LSM dan lain sebagainya. Partisipasi rakyat warga

negara dilakukan tidak hanya pada tahapan implementasi, tetapi secara

menyeluruh mulai dari tahapan penyusunan kebijakan, pelaksanaan,

evaluasi serta pemanfaatan hasil-hasilnya. Syarat utama warga negara

disebut transparansi dalam kegiatan berbangsa, bernegara dan

berpemerintahan, yaitu :

- Ada rasa kesukarelaan (tanpa paksaan)

- Ada keterlibatan secara emosional

- Memperoleh manfaat secara langsung maupun tidak langsung

dari keterlibatannya.

Penegakan Hukum (Rule of Law)

Good governance dilaksanakan dalam rangka demokratisasi

kehidupan berbangsa dan bernegara. Salah satu syarat kehidupan

demokratisasi adalah adanya penegakan hukum yang adil dan

31
Sadu Wasistiono, Kapita Selekta Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Alqaprint
Jatinangor, Bandung, hal. 27, lihat juga dalam Agung Hendarto, nazar Suhendar (eds), Good
government dan Penguatan Institusi Daerah, Masyarakat Transparansi Indonesia
(MTI), 2002, hal 2-3.
23

dilaksanakan tanpa pandang bulu. Tanpa penegakan hukum yang tegas,

tidak akan tercipta kehidupan yang demokratis, melainkan anarki.

Tanpa penegakan hukum, orang secara bebas berupaya mencapai

tujuannya sendiri tanpa mengindahkan kepentingan orang lain,

termasuk menghalalkan segala cara. Oleh karena itu, langkah awal

penciptaan good governance adalah membangu sistem hukum yang

sehat, baik perangkat lunak (software), perangkat keras (hardware)

maupun sumber daya manusia yang menjalankan sistemnya (human

ware).

Transparansi (Transparancy)

Salah satu karakteristik good governance adalah keterbukaan.

Karakteristik ini sesuai dengan semangat zaman yang serba terbuka

akibat adanya revolusi informasi. Keterbukaan tersebut mencakup

semua aspek aktivitas yang menyangkut kepentingan publik mulai dari

proses pengambilan keputusan, penggunaan dana-dana publik sampai

pada tahap evaluasi.

Daya Tanggap (Responsiveness)

Sebagai konsekwensi logis dari keterbukaan, maka setiap

komponen yang terlibat dalam proses pembangunan good governance

perlu memiliki daya tanggap terhadap keinginan maupun keluhan para

pemegang saham (satake holder). Upaya peningkatan daya tanggap

tersebut terutama ditujukan pada sektor publik yang selama ini

cendrung tertutup, arogan serta berorientasi pada kekuasaan. Untuk

mengetahui kepuasan masyarakat terhadap pelayanan yang diberikan


24

oleh sektor publik, secara periodik perlu dilakukan survey tingkat

kepuasan konsumen (custumer satisfaction).

Berorientasi pada Konsenseus (Consensus Orientation)

Kegiatan bernegara, berpemerintahan dan bermasyarakat pada

dasarnya adalah kreatifitas politik, yang berisi dua hal utama yaitu

konflik dan konsensus. Di dalam good governance, pengambilan

keputusan maupun pemecahan masalah bersama lebih diutamakan

berdasarkan konsensus, yang dilanjutkan dengan kesedian untuk

konsisten melaksanakan konsensus yang telah diputuskan bersama.

Konsensus bagi bangsa Indonesia sebenarnya bukanlah hal baru,

karena nilai dasar kita dalam memecahkan persoalan bangsa adalah

melalui “musyawarah”.

Keadilan (Equity)

Melalui prinsip good governance, setiap warga negara memiliki

kesempatan yang sama untuk memperoleh kesejahteraan. Akan tetapi

karena kemampuan masing-masing warga negara berbeda-beda, maka

sektor publik perlu memainkan peranan agar kesejahteraan dan

keadilan dapat berjalan seiring sejalan.

Keefektifan dan Efisiensi (Effectiveness and Efficiency)

Agar mampu berkompetisi secara sehat dalam percaturan dunia,

kegiatan domain dalam governance perlu mengutamakan efektivitas

dan efisiensi dalam setiap kegiatan. Tekanan perlunya efektivitas dan

efisiensi terutama ditujukan pada sektor publik karena sektor ini


25

menjalankan aktivitasnya secara monopolistik. Tanpa adanya

kompetensi tidak akan tercapai efisiensi.

Akuntabilitas (Accountability)

Setiap aktivitas yang berkaitan dengan kepentingan publik perlu

mempertanggungjawabkan kepada publik. Tanggung gugat dan

tanggung jawab tidak hanya diberikan kepada atasan saja melainkan

juga pada para pemegang saham (stake holder), yakni masyarakat luas.

Secara teoritis, akuntabilitas itu sendiri dapat dibedakan menjadi lima

macam yaitu sebagai berikut :

- Akuntabilitas Organisasional / administratif.

- Akuntabilitas legal

- Akuntabilitas politik

- Akuntabilitas profesional

- Akuntabilitas moral

Visi Strategis (Strategic Vision)

Dalam era yang berubah secara dinamis seperti sekarang ini,

setiap domain dalam good governance perlu memiliki visi yang

strategis. Tanpa adanya visi semacam itu, maka suatu bangsa dan

negara akan mengalami ketertinggalan. Visi itu sendiri dapat dibedakan

antara visi jangka panjang (long term vision) antara 20 sampai 25 tahun

(satu generasi) serta visi jangka pendek (short term vision) sekitar 5

tahun.

2 Kerangka Konseptual

1) Pengeseran kewenangan Administrasi Negara


26

Sejak diundangkannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999

tentang Pemerintahan Daerah dan saat ini telah diperlakukannya Undang-

Undang Nomor 32 Tahun 2004 telah membawa berbagai implikasi sebagai

akibat adanya pergeseran kewenangan yang semua bersifat sentralistik

menjadi desentralistik. Artinya kewenangan –kewenangan yang semua

diatur dan ditentukan oleh Pemerintah Pusat otonotis berpindah dan telah

menjadi kewenangan dan tanggung jawab Daerah.

Dalam pada itu, bila dicermati pengertian Pasal 7 ayat (2) Undang-

Undang Nomor 22 Tahun 2004 diterangkan bahwa kewenangan bidang

lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kebijakan tentang

perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara

makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan

lembaga perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber

daya manusia, pemberdayaan sumber daya alam serta teknologi tinggi

yang strategis, konservasi dan standardisasi nasional, disebutkan bahwa

posisi pemerintah pusat hanya sebatas menyiapkan dan berbuat yang

bersifat kebijakan-kebijakan saja, dengan pengertian tidak lagi bertindak

sebagai menetapkan setiap kebutuhan daerah.

Bila pergeseran kewenangan termasuk kewenangan yang bertalian

dalam menerbitkan berbagai bentuk tata usaha negara atau administrasi

negara yang semula terpusat/terkonsentrasi (dikuasai) oleh pemerintah

pusat tentu pergesaran tersebut akan termasuk berbagai kewenangan tata

usaha negara atau administrasi negara yang selama ini ditangani pusat akan

menjadi kewenangan dan tanggung jawab daerah.


27

Selain itu, dalam Undang-Undang Pemerintaha Daerah disebutkan

pula bahwa otonomi yang bertanggung jawab adalah berupa perwujudan

pertanggungjawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan

kepada Daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang harus dipikul oleh

Daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi tersebut berupa

peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik,

pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan.

Makna pengertian Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22

Tahun 1999 dan pengertian otonomi bertanggung jawab, akan terlepasnya

hak dan kewenangan pusat berupa ijin yang meliputi pengesahan,

penghapusan, persetujuan, penetapan dan berbagai kewenangan lain

bergeser/berpindah menjadi hak dan kewenangan Daerah Propinsi,

Kabupaten/Kota.

Begitupun dalam pengertian otonomi luas vide Undang-Undang

Nomor 32 Tahun 2004, daerah diharapkan mampu meningkatkan daya

saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan,

keistimewaan dan kekhususan serta potensi dari Daerah dalam sistem

Negara Kesatuan RI inilah prinsip dari otonomi seluas-luasnya itu yaitu

berdasarkan asas otonomi dan urusan pembantuan.

Menurut Bagir Manan,32 ketentuan ini memberikan gambaran

bahwa otonomi daerah itu merupakan wewenang dari daerah.

2) Efektivitas Reformasi Perpajakan

32
Bagir Manan, Fungsi dan Materi Peraturan Perundang-undangan, makalah disampaikan
pada Penataran Dosen Pendidikan dan Latihan Kemahiran Hukum BKS-PTN bidang Hukum se-
Wilayah Barat, Fakultas Hukum Universitas Lampung di Bandar Lampung, tanggal 11 November
1994, hal 2
28

Upaya pemerintah untuk meningkatkan penerimaan pajak salah

satunya melalui:

Reformasi perpajakan (1983) dengan perubahan sistem perpajakan

yaitu dari sistem official assesment, menjadi sistem self assesment.

Perubahan sistem perpajakan didikuti dengan penyempurnaan

administrasi perpajakan melalui perubahan struktur organisasi

melalui reorganisasi, harus terus dilakukan secara

berkesinambungan. Dengan harapan dapat meningkatkan kinerja

yang dapat diukur berdasarkan produktivitas, responsivitas dan

akuntabilitas.

Sasaran Administrasi perpajakan adalah untuk meningkatkan

kepatuhan wajib pajak (Toshiyuki). : Target Akhir administrasi perpajakan

adalah untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak, bahwa dalam sistem

self assesment aktifitas utama administrasi perpajakan adalah untuk

mengawasi kepatuhan dan meyakinkan bahwa wajib pajak menjalankan

kewajiban perpajakannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam hal:

- Pendaftaran wajib pajak

- Penilaian

- Menjalankan Prosedur pemungutan

- Pelaporan penghindaran dan penggelapan pajak

Menurut Bird dan Jantscher terdapat hubungan antara administrasi

perpajakan dengan kepatuhan wajib pajak yang dapat memperkecil angka


29

ketidak patuhan. Bukan hanya melihat dari aspek peningkatan penerimaan

saja.33

Administrasi pajak yang baik pada dasarnya tidak mampu

mengumpulkan penerimaan pajak sebesar-besarnya. Administrasi

perpajakan yang mudah ditagih, seperti gaji pegawai, tetapi tidak mampu

untuk menagih pajak dari perusahaan-perusahaan dan profesional, jadi

penerimaan pajak bukan merupakan ukuran yang tepat atas efektivitas

administrasi perpajakan. Pengukuran lebih akurat untuk mengetahui

efektivitas administrasi perpajakan adalah berapa besarnya jurang

kepatuhan, yaitu selisih antara penerimaan pajak yang sesungguhnya

dengan penerimaan pajak potensial dengan tingkat kepatuhan dari masing-

masing sektor perpajakan.

Berdasarkan hal tersebut di atas dapat dikatakan bahwa kepatuhan

wajib pajak saat ini masih rendah. Hal ini dapat dilihat dari aspek

pemenuhan kewajiban perpajakan, khususnya yang berkaitan dengan

kewajiban; pendaftaran, pelaporan SPT dan pelunasan pajak terhutang,

pendeknya kepatuhan WP dapat diidentifikasikan sebagai berikut:

Pertama : Kepatuhan wajib pajak dalam mendaftarkan diri, jumlah

wajib pajak yang terdaftar pada administrasi pajak masih

sangat rendah (pada tahun 2002 dari 210 juta jumlah

penduduk wajib pajak orang pribadi dan badan yang terdaftar

hanya 2.583.960 wajib pajak. Artinya Sistem Perpajakan

Nasional belum dapat meningkatkan pembayaran beban pajak


33
Chaizi Nasuha, Reformasi Administrasi Publik Teori dan Praktek, Grasindo, Jakarta, 2004,
hal. 8-9
30

yang terdistribusi secara merata, karena hanya 10 % lebih

wajib pajak yang menanggung beban pajak (Tax Corverage

Ratio).

Kedua : Kepatuhan wajib pajak untuk menyetor kembali Surat

Pemberitahuan (SPT).

Ketiga : Kepatuhan wajib pajak dalam perhitungan dan pembayaran

pajak terhutang masih rendah (1.068.467 WP atau 41,35%

dari keseluruhan wajib pajak efektif yaitu 2.583.960 wajib

pajak).

Keempat : Kepatuhan dalam pembayaran tunggakan pajak, akumulasi

jumlah nominal tunggakan pajak cukup besar (sampai tahun

2000 Rp. 17,3 Triliun, besarnya jumlah tunggakan dan

rendahnya pencapaian penagihan pajak tiap tahun

menunjukkan bahwa penegakkan hukum melalui penagihan

aktif belum dilaksanakan secara optimal sesuai dengan

ketentuan.

Dengan demikian menurut Chaizi Naruha tersebut terlihat bahwa

ada hubungan/korelasi antara reformasi perpajakan dengan tingkat

kepatuhan wajib pajak.

Menurut Andreoni et, al; Kepatuhan wajib pajak dipengaruhi oleh

banyak faktor antara lain: Pelayanan Publik, kebijakan dan keuangan

publik, penawaran tenaga kerja, jenis pekerjaan, bentuk organisasi, moral

wajib pajak, tarif pajak, demografi (jenis kelamin dan umur), kondisi sosial
31

masyarakat, penegakan hukum (audit dan penalti), kompleksitas dan

amnesti pajak.

Mengingat banyaknya faktor yang mempengaruhi kepatuhan wajib

pajak, untuk membatasi permasalahan penelitian ini hanya difokuskan pada

pengaruh efektivitas reformasi administrasi perpajakan terhadap kepatuhan

wajib pajak yang meliputi reformasi organisasi, prosedur organisasi,

strategi organisasi dan budaya organisasi.

Berdasarkan gambaran di atas, terlihat bahwa tingkat kepatuhan

wajib pajak dipengaruhi oleh bagaimana administrasi perpajakan

dijalanka.34

Administrasi perpajakan yang lemah, baik yang menyangkut aspek

struktur organisasi, prosedur organisasi, strategi organisasi maupun budaya

organisasi dapat menyebabkan akuntabilitas organisasi dan tingkat

kepatuhan wajib pajak rendah dan ini berdampak juga pada rendahnya

kinerja perpajakan.

Permasalahan pokok yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah

apakah reformasi administrasi perpajakan yang telah dilakukan selama ini

sudah atau belum secara menyeluruh mencakup perubahan dari aspek

struktur organisasi, prosedur, strategi organisasi, dan budaya organisasi,

sehingga berpengaruh terhadap akuntabilitas organisasi,

(SAMSAT/UPTD) dalam meningkatkan kepatuhan wajib pajak.

3) Kinerja Sektor Publik

34
Ibid, hal 28-29
32

Kinerja merupakan tingkat pencapaian tujuan organisasi menurut,

Rue dan Bryan, kinerja adalah tingkat pencapaian (the degree of

accomplishment).

Kinerja bagi setiap organisasi sangat penting terutama penilaian

ukuran keberhasilan suatu organisasi dalam batas waktu tertentu. Berbagai

pendapat menyamakan kinerja (performance) dengan prestasi kualitas

pelaksanaan tugas atau aktivitas pencapaian tujuan dan misinya.35

Di samping itu ada pula pendapat yang menyamakan pengertian

kinerja dengan efisiensi dan efektivitas. (Miles dan Snow 1978, 77-78).

(Interplant, 1969 : 15)36

Atmo Sudirjo, berpendapat bahwa kinerja dapat berarti prestasi

kerja, prestasi penyelenggaraan sesuatu.

Levine, Lima indikator untuk mengukur kinerja sektor publik,

produktifitas, kualitas pelayanan, responsivitas, responsibilitas, dan

akuntabilitas.37

a. Produktivitas adalah ukuran seberapa pelayanan publik itu

menghasilkan yang diharapkan, dari segi efisiensi dan efektivitas.

b. Kualitas pelayanan adalah ukuran-ukuran citra yang diakui

masyarakat mengenai pelayanan yang diberikan yaitu masyarakat

merasa puas atau tidak puas.

35
Ibid, hal. 24
36
Opcid, hal 24
37
Loc cit
33

c. Responsivitas adalah ukuran kemampuan organisasi untuk

mengenali kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan prioritas

pelayanan publik sesuai kebutuhan dan aspirasi masyarakat.

d. Responsibilitas adalah ukuran apakah pelaksanaan kegiatan sesuai

dengan prinsip-prinsip administrasi yang benar.

e. Akuntabilitas adalah ukuran seberapa besar kebijakan dan kegiatan

organisasi publik dapat dipertanggungjawabkan kepada rakyat atau

konsisten dengan kehendak rakyat.

4) Pelayanan Publik dalam Administrasi Negara

Pengertian pelayanan adalah suatu proses bantuan kepada orang

lain dengan cara-cara tertentu yang memerlukan kepekaan dan hubungan

interpersonal agar terciptanya kepuasan dan keberhasilan.38 Sedangkan

pelayanan umum menurut Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan

Aparatur Negara ( Men-Pan ) No. 81 Tahun 1993 adalah segala bentuk

pelayanan umum yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah di pusat, di

daerah dan lingkungan Badan Usaha Milik Negara/Daerah dalam bentuk

barang dan atau jasa, bai dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan

masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

Dari pengertian tentang pelayanan umu di atas, terkait beberapa

istilah dalam administrasi Negara, seperti instansi pemerintah, tata laksana,

tata kerja, prosedur kerja, sistem kerja, kewajiban dan seterusnya yang

diuraikan di bawah ini.39


38
Direktorat Jenderal Pemerintahan Umum Departemen Dalam Negeri,
39
Ibid, hal.3
34

1. Instansi Pemerintah

Yang dimaksud dengan instansi pemerintah di sini adalah sebutan

kolektif yang meliputi satuan kerja atau satuan organisasi suatu

departemen, lembaga pemerintah bukan departemen, instansi pemerintah

lainnya, baik instansi pemerintah di tingkat pusat maupun instansi

pemerintah di tingkat daerah, termasuk BUMN dan BUMD.

2. Tata Laksana

Yang dimaksud dengan tata laksana adalah segala aturan yang

ditetapkan oleh pimpinan instansi pemerintah yang menyangkut tata cara,

prosedur dan sistem kerja dalam melaksanakan kegiatan yang berkenaan

dengan penyelenggaraan tugas dan fungsi pemerintah dan pembangunan

pelayanan di bidang umum.

3. Tata Kerja

Tata kerja dimaksudkan sebagai cara-cara pelaksanaan kerja yang

efisien mengenai satu atau serangkaian tugas dengan memperhatikan segi-

segi tujuan, peralatan, fasilitas, tenaga waktu, ruang, biaya yang tersedia.

4. Prosedur Kerja

Yang dimaksud dengan prosedur kerja adalah rangkaian tata kerja

yang berkaitan satu sama lain, sehingga menunjukkan adanya urutan secara

jelas dan pasti serta cara-cara yang harus ditempuh dalam rangka

penyelesaian suatu bidang tugas.

5. Sistem Kerja
35

Sistem kerja di sini diartikan dengan rangkaian tata kerja dan

prosedur kerja yang membentuk suatu kebulatan pola kerja tertentu dalam

rangka mencapai hasil kerja yang diharapkan.

6. Kewajiban

Kewajiban di sini diartikan sebagai aparatur penyelenggaraan

pelayanan umum untuk mengambil tindakan dalam rangka pelaksanaan

tugas dan fungsi sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Dalam

rangka memuaskan masyarakat sebagai pelanggan, kewajiban bukan hanya

melekat pada pejabat, tetapi setiap aparatur dalam lingkungan kerja ketika

bertemu dengan pelanggan. Misalnya wajib untuk menanyakan apa yang

diinginkan pelanggan yang hadir pada waktu itu. Artinya harus proaktif

dalam menyambut kedatangan pelanggan.

F Metode Penelitian

a. Pendekatan

Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan empiris

menurut penelitian hukum sosiologis untuk mengetahui efektivitas dan

dampak hukum dari adanya kebijaksanaan publik pelayanan di bidang

perpajakan. Yang diukur dari standar waktu dan biaya berdasarkan Standar

Pelayanan Minimal (SPM). Dalam hal ini secara normatif apakah telah

berhasil atau gagal menciptakan kinerja (pencapaian target penerimaan/

pemungutan pajak kendaraan bermotor dan bea balik nama kendaraan

bermotor) secara bersamaan yang ditilik dari aspek kepatuhan wajib pajak

(kesadaran hukum masyarakat) dan pemahaman aparat perpajakan dalam

memberikan pelayanan saat mengemban tugasnya sehari-hari. Penelitian


36

ini menggunakan data kuantitatif dan kualitatif yang diperdapat saat survey

deskriptif, yang disampaikan dalam bentuk deskripsi kualitatif.

b. Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan pada Kantor Bersama SAMSAT/ UPTD

Pelayanan Pendapatan Provinsi Sumatera Barat di Padang dengan wilayah

kerja meliputi wilayah otonom dan Administratif Kota Padang yang terdiri

dari sebelas Kecamatan, yaitu Kecamatan Padang Timur, Padang Barat,

Padang Utara, Padang Selatan, Lubuk Begalung, Kuranji, Nanggalo, Koto

Tangah, Teluk Kabung, Lubuk Kilangan dan Pauh dengan 103

kelurahannya. Pengambilan sampel penelitian diambil dari lima kecamatan

tertentu yang padat penduduknya di Kota Padang, sedangkan kecamatan

lain (6 kecamatan) hanya 2 kecamatan (diambil/dipilih) secara acak, sesuai

dengan kompetensi keperluan situasi dan kondisi sampel.

c. Metode dan Alat Pengumpulan bahan hukum.

Teknik pengumpulan data yang digunakan tergantung kepada data

dan sumber data yang dibutuhkan, antara lain adalah :

1) Dokumentasi; untuk mengumpulkan data primer dan sekunder,

penulis menganalisa dokumen-dokumen dalam bentuk tulisan. Data

yang dikumpulkan antara lain tentang APBD, Pendapatan Asli Daerah,

Hukum Pajak Daerah, data kepegawaian, data statistik berupa PDRB,

laporan-laparan dan lain-lain yang berkaitan dengan tujuan penelitian.

2) Observasi; untuk memperoteh informasi serta gambaran empirik

tentang data-data yang diperlukan dengan mengadakan pengamatan

langsung pada obyek penelitian.


37

3) Wawancara; adalah percakapan langsung dengan maksud untuk

memperkuat data sekunder yang diperlukan dalam penelitian.

Percakapan itu dilakukan aleh dua pihak yaitu pewawancara

(interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai

(responden). Tehnik wawancara yang digunakan adalah wawancara

terbuka (open interview) dengan maksud agar responden tahu bahwa

mereka sedang diwawancarai dan mengetahui pula maksud wawancara

tersebut. Untuk itu instrumen penelitian yang digunakan adalah

pedoman wawancara (indepth interview) yang merupakan penuntun

bagi peneliti dalam mengembangkan pertanyaan-pertanyaan yang

bersifat terbuka sehingga memberikan kebebasan yang seluas-luasnya

bagi responden untuk menyampaikan pendapatnya.

4) Untuk melengkapi sumber data primer dalam penelitian ini, juga

ditetapkan para fungsionaris pejabat terkait yang berkompeten

mengambil kebijakan terhadap kinerja Dinas Pendapatan Daerah

Provinsi Sumatera Barat dan UPTD Samsat Padang yakni pejabat yang

menempati tingkatan (top management, middle management, dan

lower rrranagement' serta staf) serta para penentu kebijakan pada

Pemerintah Propinsi Sumatera Barat dan Jajaran Polda Sumatera Barat.

d. Populasi dan Sampel

Dari populasi 420 yang didapatkan dari jumlah rata-rata wajib

pajak dan aparat perpajakan terkait setiap harinya, diambil sebagai sampel

sebanyak 42 orang (10%), yang ada pada Kantor Bersama

SAMSAT/UPTD Pelayanan Pendapatan Provinsi Sumatera Barat di


38

Padang, dari para wajib pajak dipilih sampelnya sebanyak 42 orang yang

berasal dari masyarakat Kota Padang dalam wilayah 5 kecamatan

sampel/terpilih yaitu Kecamatan Padang Timur 8 orang, Kecamatan

Padang Barat 8 orang, Kecamatan Koto Tangah 8 orang, Kecamatan

Lubuk Begalung 8 orang dan Kecamatan Bungus 28 orang dan 2 orang

dari aparat pajak yang berdomisili di luar Kota Padang.

Teknik yang dipakai dalam pengambilan sampel adalah Stratified

random sampling, karena dcngan cara ini sub kelompok yang spesifik akan

memiliki jumlah yang cukup terwakili dalam sampel, serta menyediakan

jumlah sampel sebagai sub analisis dari anggota kelompok tersebut. Dalam

strategi ini populasi dikategorikan dalam kelompok-kelompok yang

memiliki strata yang sama sesuai karakteristik masing-masing responden.

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan

data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari

responden (wajib pajak) dan petugas pajak serta pejabat yang berwenang/

terkait. Untuk melengkapi data yang diperoleh secara langsung dari

responden tersebut, data juga diperoleh dari beberapa informan tertentu,

yaitu orang-orang yang relevan dianggap mengetahui masalah objek

penelitian dengan melakukan wawancara.

Sedangkan Data Sekunder merupakan data yang diperoleh

dari buku referensi dan data yang ada di Dispenda Provinsi Sumatera

Barat, Ditlantas Polda Sumatera Barat, PT. Jasa Raharja (Persero) Cabang

Sumatera Barat dan Kantor Bersama Samsat Sumatera Barat di Padang.

Data yang diperoleh antara lain yang berkaitan dengan situasi dan Kondisi
39

Samsat, seperti sumber daya yang tersedia, meliputi manusia (kualitas dan

kuantitas) dan prasarana serta wajib pajak yang dilayani.

Selain itu, Data Sekunder ini diperoleh melalui penelitian kepustakaan

yang bersumber dari :

1. Bahan Hukum Primer, antara lain :

a. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah

Daerah;

b. Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 tentang

Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal.

c. Instruktur Presiden No. 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas

Kinerja Instansi Pemerintahan.

d. Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1995 tentang Perbaikan

Mutu Pelayanan Aparatur Pemerintahan Kepada Masyarakat.

e. Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No.

63/KEP/ M.PAN/2003 tentang Pedoman Umum Penyeleng-garaan

Pelayanan Publik.

f. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 7 Tahun 2006

tentang Standarisasi Sarana dan Prasarana Kerja Pemerintah Daerah.

g. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 24 Tahun 2006

tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu.

h. Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara :

Kep/25/M.PAN/2/2004 tentang Pedoman Umum Penyusunan Indeks

Kepuasan Masyarakat Unit Pelayanan Instansi Pemerintah.


40

i. Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No.

Kep/26/M.PAN/2/2004 tentang Petunjuk Teknis Transparansi dan

Akuntabilitas dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik.

j. Surat Keputusan Bersama Menteri Pertahanan

Keamanan/Panglima ABRI, Menteri Keuangan dan Menteri Dalam

Negeri Nomor PoI/KEP/13/XII/1976, Nomor

KEP.1693/MK/TU/12/1976 dan Nomor 311 Tahun 1976, tentang

Peningkatan Kerjasama antara Pemerintah Daerah Tingkat I,

Komando Daerah Kepolisian dan Aparat Departemen Keuangan

dalam rangka peningkatan pelayanan kepada masyarakat serta

peningkatan Pendapatan Daerah khususrya mengenai Pajak

Kendaraan Bermotor;

k. Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2003 tentang Pajak

Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air;

l. Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2003 tentang Bea Balik

Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air;

m. Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2002 tentang Pajak

Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan;

n. Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 1973 tentang

Pembentukan Dinas Pendapatan Daerah;

o. Surat Keputusan Gubernur Sumatera Barat Nomor 22

Tahun 2001 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Unit

Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Provinsi Sumatera Barat;


41

p. Keputusan Gubernur Sumatera Barat Nomor 57 Tahun 2004

tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik di

lingkungan Pemerintah Provinsi Sumatera Barat.

q. Surat Keputusan Bersama Direktur Lalu Lintas Kepolisian

Daerah Sumatera Barat dan Kepala Dinas Pendapatan Daerah

Propinsi Sumatera Barat dan Kepala Cabang Jasa Raharja ( Persero )

Sumatera Barat Nomor : B/24/I/2006/DITLANTAS per Nomor:

973/043/ PAJAK-2006/ Nomor: P/1/SPP/2006, tanggal 24 Januari

2006, tentang Standar Pelayanan Minimal Penerbit STNK,

Pembayaran Pajak Kendaraan Bermotor ( PKB ), Bea Balik Nama

Kendaraan Bermtor ( BBNKB ), dan Sumbangan Wajib dana

Kecelakaan Lalu Lintas Jalan ( SWDKLLJ ). Pada Kantor Bersama

SAMSAT Di Sumatera Barat.

r. Surat Edaran Kepala Dinas Pendapatan Daerah Provinsi

Sumatera Barat Nomor 065/181/Dipenda-2006, 28 Februari Tahun

2006 tentang Standar Pelayanan Minimal ”Penerbitan Naskah Dinas

dalam bentuk surat yang berkaitan dengan Pelayanan Umum yang

diberikan oleh Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Sumatera Barat.

s. Produk hukum yang berlaku dan relevan lainnya.

2. Bahan Hukum Sekunder

Dihimpun melalui kegiatan penelitian dengan memanfaatkan media cetak

dan elektronik berupa buku-buku, tesis, majalah, surat kabar, internet dan

sebagainya.

3. Bahan Hukum Tertier


42

Yaitu bahan hukum yang memberi penjelasan terhadap bahan hukum

sekunder, seperti ensiklopedi, kamus, dan lain-lain

d. Teknik Analisis Bahan Hukum (Kualitatif)

Teknik analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini

dilakukan secara kualitatif. Setelah data primer terkumpul, dilakukan

pengelompokan data dan pengeditan guna mengidentifikasi data yang relevan

dengan pokok permasalahan penelitian. Setelah itu data dianalisis.

Analisis data dimaksudkan adalah untuk menyederhana-kan data agar

menjadi informasi yang dapat digunakan dalam menjelaskan permasalahan

penelitian. Pada tahap ini analisis data dilakukan setelah semua informasi

dianggap cukup memadai oleh peneliti. Langkah yang dilakukan untuk

menganalisi data yaitu melakukan penyederhanaan informasi yang diperoleh

dengan memilah-milah informasi berdasarkan kategori yang telah disiapkan

dalam blanko tanggapan dan daftar wawancara dengan menggunakan aturan

positif yang ada dan teori-teori maupun pendapat yang disinggung dalam

tinjauan pustaka, sehingga dapat ditafsirkan untuk merumuskan kesimpulan

penelitian.

BAB II

PELAYANAN PUBLIK DIBIDANG PERPAJAKAN

A. Pelayanan Publik
43

1. Pengertian

Pelayanan menurut Sianipar dalam Manajemen Pelayanan

Masyarakat adalah suatu cara melayani, membantu menyiapkan,

mengurus dan menyelesaikan keperluan kebutuhan mayarakat, baik

secara perorangan, kelompok dan atau golongan, organisasi ataupun

sekelompok anggota organisasi.

Dalam pengertian pelayanan tersebut terkandung suatu kondisi

bahwa yang melayani memiliki suatu keterampilan, keahlian dibidang

tertentu. Berdasarkan keterampilan dan keahlian tersebut pihak aparat

yang melayani mempunyai posisi atau nilai lebih dalam kecakapan

tertentu, sehingga mampu memberikan bantuan dalam menyelesaikan

suatu keperluan, kebutuhan individu atau organisasi.

Dalam pengertian pelayanan tersebut secara konkrit diutarakan :

1) Pelayanan merupakan salah satu tugas utama aparatur pemerintah,

termasuk pelaku bisnis.

2) Obyek yang dilayani : masyarakat (publik)

3) Bentuk pelayanan itu berupa barang dan jasa yang sesuai dengan

kepentingan kebutuhan masyarakat dan peraturan perundang-

undangan yang berlaku.

Dengan demikian pelayanan publik dapat diartikan sebagai suatu

proses pemenuhan kebutuhan masyarakat terutama yang berkaitan

dengan kepentingan umum dan kepentingan golongan atau individu

dalam bentuk barang dan jasa.


44

Pelayanan adalah suatu bentuk kegiatan pelayanan yang

dilaksanakan oleh instansi pemerintah baik di pusat dan daerah maupun

BUMN dan BUMD dalam rangka pemenuhan kebutuhan masyarakat sesuai

peraturan perundang-undangan yang berlaku. Menurut Tamaruddin dalam

kamus besar bahasa Indonesia dinyatakan bahwa pelayanan publik adalah

suatu usaha untuk membantu menyiapkan (mengurus) apa yang

diperlukan orang lain.

Dalam pelaksanaannya pelayanan dilakukan secara pelayanan

profesional, dan prima artinya dilakukan secara konkrit bahwa yang

melayani harus memiliki suatu kemampuan dalam melayani, menanggapi

kebutuhan khas (unik, khusus, istimewa) orang lain agar mereka puas.

Pelayanan prima merupakan pelayanan yang memenuhi standar pelayanan

terhadap permintaan, keinginan, dan harapan masyarakat yang mempunyai

nilai yang tinggi dan bermutu (berkualitas).

Selanjutnya, Drs. H. Tamaruddin dalam Pengembangan

Pelaksanaan Pelayanan Prima menyebutkan Tujuan dari pelayanan prima

adalah memuaskan dan atau sesuai dengan keinginan pelanggan. Untuk

mencapai hal itu, diperlukan kualitas pelayanan yang sesuai dengan

kebutuhan dan atau keinginan pelanggan. Zeithaml et el, (1990) seperti

dikutip Yun, Yong, dan Loh (1998) menyatakan bahwa mutu pelayanan

didefinisikan oleh pelanggan, yaitu kesesuaian antara harapan dan

atau keinginan dengan kenyataan.

2. Konsepsi Pelayanan
45

Kekuasaan dan wewenang pemerintah bersumber dari rakyat.

Oleh karena itu, maju atau mundurnya suatu pemerintah ditentukan

dukungan rakyat. Untuk mempertahankan dan meningkatkan pelayanan

diperlukan dukungan, kepercayaan, loyalitas masyarakat, seyogyanya

aparat pemerintah pada semua bidang dan tingkat menerapkan suatu

konsep pelayanan berwawasan pada pemenuhan kebutuhan, keperluan,

kepentingan masyarakat. Segala kebijakan, peraturan, program yang

ditetapkan hendaknya berorientasi kepada kepuasan masyarakat. 40

Menurut Sianipar aparatur pemerintah hendaknya selalu lebih

mengutamakan kepentingan masyarakat, lebih mempercepat proses

penyelesaian urusan masyarakat, memberikan yang lebih berkualitas, lebih

baik, lebih murah, lebih cepat, lengkap dan tuntas.

Aparat pemerintah hendaknya sudah meninggalkan konsep menjual,

yakni menawarkan secara agresif produk-produk yang dihasilkan berupa

kebijaksanaan, peraturan, program yang belum tentu kondusif dengan

kebutuhan masyarakat yang berubah cepat, keinginan dan kepuasan

masyarakat. Aparat harus cepat tanggap terhadap tuntutan dan perubahan

kebutuhan masyarakat. Melakukan berbagai perbaikan, perubahan atas

berbagai cara, prosedur kerja, peraturan, kebijakan, program pada semua

bidang kehidupan.41

Selanjutnya Sianipar menyebutkan bahwa sejalan dengan konsepsi

pelayanan yang berwawasan masyarakat, maka timbul cara pandang baru

yakni merubah posisi masyarakat yang dilayani dari di bawah manajemen


40
Sianipar, Manajemen Pelayanan Masyarakat, Opcid hal 14
419
Sianipar, J.P.G., Opcid
46

garis depan menjadi diatas manajemen. Konsepsi memposisikan masyarakat

pada puncak manajemen, merupakan suatu cara pengaktualisasian fungsi

aparatur pemerintah sebagai abdi masyarakat. Konsepsi ini juga merupakan

pencerminan pemikiran bahwa pelanggan adalah raja.

Semua aparatur pemerintah mereformasi konsepsi, wawasan berfikir,

merubah paradigma, dan -prilaku mereka dari dilayani menjadi melayani.

Melayani dengan cepat, tepat pada setiap level dibidang masing-masing sesuai

dengan tugas pokok dan fungsi. Cara kerja lama yang terkesan lamban diubah,

dirancang menjadi pelayanan yang cepat, tepat, lebih efektif, lebih efisien.

Cara-cara berfikir yang kurang terbuka, yang kaku dalam mengartikan,

menerapkan peraturan, disiplin, direformasi menjadi pemikir yang kreatif,

inovatif, dan adaptif terhadap perubahan. Peraturan kebijakan yang kurang

kondusif terhadap tuntutan masyarakat, dikaji, disempurnakan, atau diganti.

3. Sistem Pelayanan Nasional

Sebagai titik tolak, esensi dalam penyelenggaraan pelayanan publik

yang perlu disadari adalah masalah pelayanan publik bersumber pada :

- Adanya kewajiban pada pihak administrasi negara untuk menjalankan

fungsi dan wewenangnya berdasarkan prinsip-prinsip pemerintahan yang

baik dan bersih.

- Adanya pengakuan terhadap hak-asasi setiap warganegara atas

pemerintahan, perilaku administratif, dan kualitas hasil pelayanan yang

baik.
47

- Adanya keanekaragaman jenis serta bidang pelayanan publik di

Indonesia sebagai akibat dari adanya keragaman urusan dan kepentingan

masyarakat yang harus dipenuhi.

Terlepas dari perbedaan jenis dan bidang pelayanan di atas, aktivitas

pelayanan publik hampir selalu berkaitan dengan pelaksanaan tugas-tugas

penyelenggaraan pemerintahan, di mana semua tugas yang harus

diselenggarakan dalam rangka merealisasikan kebijakan umum (public

policies) pemerintah harus dapat didelegasikan pada pihak-pihak atau

institusi tertentu yang memiliki kewenangan (authority), kompetensi

(competensi), dan sumber-sumber daya (resources) untuk menyelenggarakan

pelayanan publik.

Sejalan dengan itu, beberapa hal pokok yang selalu melekat sebagai ciri

dari Pelayanan Publik dan Penyelenggaraan Pelayanan Publik (public

servants) adalah :

a. Umumnya diselenggarakan sebagai pengejawantahan dari dan

dalam rangka realisasi kebijaksanaan negara yang ditujukan untuk

masyarakat umum (dalam wujud penetapan hak dan kewajiban bagi warga

masyarakat) yang ditetapkan melalui aturan-aturan dan perundang-

undangan.

b. Diselenggarakan oleh petugas-petugas atau instansi yang

berdasarkan hukum dan peraturan perundang-undangan diberi kewenangan

serta diwajibkan untuk memenuhi kualifikasi tertentu dalam memberikan

pelayanan.
48

c. Menyangkut penyelenggaraan pelayanan kepada masyarakat

yang dijalankan berdasarkan kerangka prosedural tertentu yang telah

distandarisasi dari segi kinerja maupun kualitasnya.

d. Menyangkut pelbagai urusan dan kepentingan masyarakat pada

berbagai bidang kehidupan pemenuhannya menjadi tanggung jawab

negara, dan penyelenggaraannya dapat berkenaan dengan pelayanan

administratif, penyediaan barang, penyediaan jasa bagi masyarakat42 atau

gabungan dari jenis-jenis pelayanan itu.

e. Tingkat keberhasilannya diukur dari tingkat kepuasan

masyarakat penerima pelayanan, baik dari segi kualitas pelayanan,

praktikabilitas, tingkat biaya pelayanan yang harus dikeluarkan, kualitas

produk (barang/jasa/status), tingkat responsitivitas terhadap

keanekaragaman kepentingan dan kebutuhan masyarakat, serta tingkat

responsivitas terhadap keluhan-keluhan yang disampaikan oleh

masyarakat.

f. Selalu harus diselenggarakan berdasarkan standar kualitas hasil

kerja tertentu yang mengikat para penyelenggara pelayanan publik

sehingga dapat dijamin pencapaian tingkat kepuasan masyarakat penerima

pelayanan publik yang minimal seragam secara nasional dan atau seragam

di pelbagai sektor pelayanan publik yang ada.

g. Selalu berhadapan dengan pluralitas di dalam masyarakat, baik

dari segi kepentingan (interest), kebutuhan (necessities), latar belakang

4210
Bahkan apabila sebagian dari tugas-tugas kepolisian hendak
dikategorikan sebagai pelayanan publik, maka tugas-tugas ini dapat dilihat
sebagai pelayanan publik yang khusus, yaitu pelayanan untuk penegakan hukum
dan ketertiban di dalam masyarakat.
49

ekonomi, sosial, politik, budaya dan sebagainya, sehingga dalam

penyelenggaraannya tercakup pula adanya jaminan untuk bersifat non-

diskriminatif, proporsional, obyektif dan imparsial.43 Artinya, apabila

terdapat penyimpangan hanya dapat dibenarkan bila terdapat

justifikasinya di dalam hukum.

h. Karena pada tingkat realisasinya dilaksanakan oleh petugas

atau pejabat publik tertentu, adanya standar perilaku yang mencakup

standar etik maupun manajerial dalam wujud code of good conduct

menjadi keharusan. Standar semacam itu menjadi pedoman perilaku

bagi para petugas/pejabat dan pedoman penilaian terhadap

pemenuhan hak-hak masyarakat untuk memperoleh pelayanan prima.

Dari gambaran di atas, dapat disimpulkan bahwa Sistem

Penyelenggaraan Pelayanan Publik Indonesia perlu bersinergi dan saling

mengisi dalam mendukung bekerjanya keseluruhan sistem itu secara optimal.

Faktor-faktor penentu meliputi :

a) Regulasi tentang Pelayanan Publik

Regulasi pelayanan publik berwujud seperangkat peraturan perundang-

undangan, yang sebagian besar merupakan kaidah-kaidah hukum

administrasi negara, yang memberikan dasar hukum dari beroperasinya

43
Sebagai perbandingan, di dalam wacana tentang Pelayanan Publik di luar
Indonesia, dikenal konsep ”citizenry” yang mengandung makna bahwa
pelayanan publik lebih dari sekedar menyediakan pelayanan pada pelanggan atau
kline, bukan sekedar memberikan layanan konsultasi pada pihak-pihak yang
berkepentingan, dan bahkan lebih dari sekedar mengupayakan efisiensi demi
kepentingan para pembayar pajak. Pelayanan publik menyediakan pelayanan
kepada masyarakat secara keseluruhan, tanpa melihat pribadi-pribadi atau
kelompok-kelompok kepentingan yang berada di belakangnya. Disarikan dari :
Shergold, Peter, Ethics and the Changing Natur of Public Service, makalah pada
The Fifth International Conferences on Public Sector Ethics – Between Past and
Future, Aurtralia, 1996.
50

sistem palayanan publik. Peraturan-peraturan hukum yang menjadi dasar

keabsahan adalah :

1) Keberadaan hukum (legal existence) institusi-institusi administrasi

negara penyelenggara pelayanan publik.

2) Bekerjanya struktur organisasi, pengisian jabatan dan fungsi

penyelenggara pelayanan publik dengan pejabat dengan kualifikasi dan

kompetensi tertentu.

3) Penetapan dan pelaksanaan tugas, tanggung jawab, kewenangan

dan hak-hak penyelenggaraan pelayanan publik.

4) Pengakuan kedudukan, dan penegakan hak, kewajiban, serta

tanggung jawab warga masyarakat pengguna pelayanan jasa publik.

5) Penetapan berlakunya proses/prosedur penyeleng- garaan

pelayanan jasa publik serta standar minimum pelayanan (tolok ukur

kinerja/hasil kerja kualitas produk) termasuk indeks kepuasan

masyarakat dan proses/prosedur pengajuan dan pelayanan keluhan

publik (publik complaint/public grievance).

6) Berlakunya standar perilaku (standard of conduct) para penjabat

penyelenggara pelayanan publik.

b) Asas-asas Penyelenggaraan Pelayanan Publik

Dimaksud dengan asas-asas penyelenggaraan pelayanan publik

adalah prinsip-prinsip dasar yang menjadi acuan dalam pengorganisasian,

acuan kerja, serta pedoman penilaian kerja bagi setiap lembaga

penyelenggara pelayanan publik. Asas-asas penyelenggaraan dikategorikan


51

sebagai asas-asas umum administrasi publik yang baik (general principles

of good administra-tion) dan azas bersifat adaptif.

Bersifat umum karena asas ini secara langsung menyentuh hakekat

pelayanan publik sebagai wujud dari upaya melaksanakan tugas

pemerintah dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat banyak dan/atau

tugas pelaksanaan perintah peraturan perundang-undangan.

Bersifat adaptif, karena asas-asas ini secara tidak langsung

bersentuhan dengan pemberian pelayanan kepada masyarakat umum, baik

di bidang pelayanan administratif, pelayanan jasa, pelayanan barang,

ataupun kombinasi dari pelayanan-pelayanan tersebut.

Menurut Cadbury Committee di Inggris ( 1992) Asas-asas utama,

yang melekat secara inherent pada esensi Pelayanan Publik adalah :44

1) Asas Keterbukaan (openness)

Keterbukaan menjadi salah satu asas utama untuk menjamin bahwa

para stakeholders45 yang mengandalkan proses pengambilan keputusan,

tindakan-tindakan oleh institusi publik, pengelolaan aktivitas, serta

pengelolaan sumber daya manusia dalam melaksanakan pelayanan

publik. Keterbukaan (mungkin setara dengan asas transparansi) yang

diwujudkan melalui pembinaan komunikasi secara penuh, terinci dan

44
Asas-asas ini merupakan hasil modifikasi dari asas-asas yang
dikembangkan oleh: Lihat :”Report of the Committee on the Financial Aspects of
Corporate Governance”, dengan asas-asas Administrasi yang Baik (General
Principles of Good Administration) yang ditetapkan oleh European Commission
dalam : Code of Good Administrative Behavior: Relations ewith the Public, Official
Journal of the European Communities: OJ L 267, 20.20.2000.
45
Dalam konteks penelitian ini, stakeholders pada dasarnya adalah warga
masyarakat pengguna jasa layanan publik, masyarakat pembayar pajak.
52

jelas dengan para stakeholders yang menjadi salah satu prinsip utama

dari suatu good governance.

2) Asas Integritas

Integritas mengandung makna ”berurusan secara langsung”

(straightforward dealings) dan ketuntasan (completeness) dalam

pelaksanaan fungsi-fungsi pelayanan publik. Asas moral yang

mendasari asas integritas ini terutama adalah kejujuran, obyektivitas

dan standar kesantunan yang tinggi, serta tanggung jawab atas

penggunaan dana-dana dan sumber daya publik.

3) Asas Akuntabilitas

Asas ini berkenaan dengan proses di mana unit-unit pelayanan publik

dan orang-orang yang berfungsi di dalamnya harus bertanggung jawab

atas keputusan dan tindakan yang dibuatnya. Singkatnya, akuntabilitas

melahirkan kewajiban untuk bertanggung jawab atas fungsi dan

kewenangan yang secara sah dipercayakan kepada setiap public servant.

4) Asas Legalitas

Berdasarkan asas lawfulness ini, setiap tindakan, pengambilan

keputusan, serta pelaksanaan fungsi suatu institusi pelayanan publik

harus sejalan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan

dijalankan sesuai dengan aturan dan prosedur yang ditetapkan

berdasarkan peraturan perundang-undangan.

6) Asas Non-Diskriminasi dan Perlakuan yang Sama

Institusi penyelenggara pelayanan publik harus bekerja atas dasar

prinsip pemberian pelayanan yang sama dan setara kepada masyarakat,


53

tanpa membedakan gender, ras, agama/kepercayaan, kemampuan fisik,

aspirasi politik, dan sebagainya.

7) Asas Proporsionalitas

Asas ini meletakkan kewajiban pada setiap penyeleng- gara pelayanan

publik untuk menjamin bahwa beban yang harus ditanggung oleh

masyarakat pengguna jasa layanan publik akibat tindakan-tindakan

yang diambil institusi pelayanan publik berbanding proporsional

dengan tujuan dan manfaat yang hendak diperoleh masyarakat. Asas ini

berkaitan erat dengan beban administratif, biaya dan waktu pelayanan

yang harus ditanggung oleh masyarakat apabila mereka hendak

memperoleh pelayanan publik.

8) Asas Konsistensi

Berdasarkan asas ini, warga masyarakat dan/atau stakeholders layanan

publik pada umumnya memperoleh jaminan bahwa institusi pelayanan

publik akan bekerja secara konsisten sesuai pola kerjanya yang normal

dalam perilaku administratifnya. Penyimpangan terhadap asas ini

(dispensasi, perlakuan khusus, dan sebagainya) harus memperoleh

pembenarannya secara sah (duly justified).


54

B. Perpajakan Daerah

1. Pengertian Pajak

Pajak merupakan kata yang dipergunakan dalam bahasa Indonesia

dengan berbagai pengertian seperti tempat, beban dan sebagainya.

E. Soetan Harahap dalam Kamoes Indonesia menjelaskan :

Padjak I. mentoeakoe berpadjak nasi, mentoeakoe berpen-tjaharian

mendjoeal nasi dikedai (lepau nasi );

II. sem.para-para (pemidangan) tempat mendje-moer ikan;

III. membajar padjak tanah f 10,-setahoen, ia membajar bia tanah f

1C,-setahoen; lihat bia dan tjoekai;

IV. anak-anak, lih. Zoerriat. 46

Sedangkan dalam Kamus Indonesia Katjik-nya :

PADJAK, I tjukai, bia, roba-roba.

PADJAK, II padjak nasi, kedai nasi, warung nasi.

PADJAK, III pendjemuran ikan. 47

W.J.S.Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia :

Padjak : 1. kewadjiban membajar atau wang jg wadjib dibajarkan kpd

pemerintah (kotapradja, Provinsi dsb) 2 pak;hal

mengusahakan sesuatu dgn membajar pak (sewa) kpd

pemerintah; 3 + los; bagian (dipasar); mis. 1 membajar --;

kena --; wajib --,orang jang wadjib membajar padjak;

--pendapatan (-penghasilan, pentjarian), padjak, jang

46
Harahap, E, Soetan, Kamoos lndonosia (Djakarta-Bandung: Gunseikandu
Kanri Insatu Kodjo Tjetakan ketdedjoeh), oktober 2602, 254.
47
Harahap, E.St., Kamus Indonesia Ketjik (Bandung; G,Kalff & C0,
1950),196,
55

dikenakan pada pendapatan (penghasilan) orang; -- tanah

-bumi, padjak jang dikenakan pada pemilik tanah; 2 rumah --,

-gadai,rumah gadai, pegadaian; -- tjandu, pendjualan tjandu; 3

- sajur (ikan dsb) los atau tempat mendjual sajur (-ikan dsb)

dipasar. 48

Pajak merupakan salah satu sumber penghasilan negara

yang penting. Pajak ialah iuran rakyat kepada kas negara

yang diwajibkan berdasarkan undang-undang tanpa

rnendapat balas jasa (tegenprestatie) secara langsung. Pajak

merupakan peralihan kekayaan dari sektor swasta ke sektor

Pemerintah. Kewajiban membayar pajak dapat dipaksakan.49

Dari keempat sumber di atas terlihat keanekaan penggunaan kata

"pajak", namun salah satunya berkaitan pengertiannya dengan kewajiban

terhadap Negara. Pengertian ini relevan dengan inti pokok penguraian,

karenanya lebih lanjut akan lebih menekankan "pajak" sebagai sumber

pendapatan.

Prof. Dr. P.J.A. Adriani memberikan batasan :

Pajak adalah iuran kepada Negara (yang dapat di paksakan) yang

terhutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-

peraturan dengan tidak mendapat prestasi-kembali yang langsung

dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai

48
Purwadarminta, WIS., Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta:
Kementerian P.P. dan K).
49
Hassan Shadili et al. Ensiklopedia Umum (Yogyakarta: Yayasan Kanisius,
1977), 774.
56

pengeluaran-pengeluaran umum berhubungan dengan tugas Negara

untuk menyelenggarakan Pemerintahan 50 (dengan ejaan baru, Pen.)

Dari batasan tersebut dapat disimpulkan unsur-unsurnya :

pajak merupakan iuran menurut peraturan;

dibayarkan oleh wajib membayar;

tanpa prestasi kembali;

dapat dipaksakan menurut peraturan-peraturan;

membiayai tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan

Kesimpulan yang dapat ditarik dari definisi tersebut diatas, bahwa

pajak sebagai pengertian yang dianggap, sebagai suatu species ke dalam

genus pungutan (jadi, pungutan adalah lebih luas). Dalam definisi tersebut

titik berat diletakkan pada fungsi budgetair dari pajak, sedangkan pajak

masih mempunyai fungsi lain yang tidak kalah penting, yaitu fungsi

mengatur.

2. Jenis Pajak dan Dasar Hukum

Negara dalam menyelenggarakan fungsinya melakukan berbagai

kegiatan. Semua kegiatan tersebut dimaksudkan untuk bagaimana tugas dan

tanggung jawab yang dilimpahkan (dimandatkan) kepada Pemerintah

(Presiden) agar dapat dilaksanakan, yaitu agar kesejahteraan rakyat dapat

dicapai. Kegiatan-kegiatan tersebut melibatkan sejumlah besar manusia,

perlengkapan, penunjang dan sebagainya. Dan pada akhirnya akan

menyerap pembiayaan.

50
Brotodihardjo, R. Santoso,SH., Penyatar Ilmu Hukum Pajak (Bandung-
Jakarta; Eresco NV, 1971).
57

Dalam rangka pengadaan dana yang diperlukan untuk membiayai

kegiatan yang dilakukan, maka berbagai sumber dipergunakan sebagai

sumber pendapatan. Sumber-sumber tersebut dapat dikemukakan sebagai

berikut :

yang dipungut langsung dari masyarakat;

hasil dari perusahaan-perusahaan Negara;

hasil dari penyertaan modal milik Pemerintah;

denda dan perampasan untuk kepentingan umum;

hak-hak waris atas harta peninggalan yang terlantar;

hibah wasiat dan hibah lainnya.

Semua sumber tersebut termasuk kedalam public finance, dimana

Pemerintah dapat memperoleh, mengurus dan membelanjakan Uangnya

yang diperlukan untuk menunaikan tugasnya. Di samping itu Pemerintah

juga mencetak dan mengedarkan uang sebagai alat pembayaran yang sah.

Dari keseluruhan sumber pendapatan di atas, maka yang diperdapat

melalui pemungutan langsung adalah pajak, retribusi dan sumbangan,

pungutan dilakukan baik dengan memberikan prestasi kembali (imbalan)

maupun tidak. Pajak merupakan iuran kepada Negara yang dapat

dipaksakan sesuai aturan yang berlaku tanpa adanya kontraprestasi yang

gunanya untuk membiayai pengeluaran umum pemerintah. Sedang retribusi

pada umumya hubungan dengan prestasi-kembalinya adalah langsung.

Sedangkan Sumbangan mengandung pikiran, bahwa biaya-biaya yang

dikeluarkan untuk prestasi pemerintah tertentu, tidak boleh dikeluarkan dari


58

kas umum, karena prestasi itu tidak ditujukan kepada penduduk seluruhnya,

melainkan hanya terhadap golongan tertentu penduduk saja.

Pajak merupakan salah satu sumber pendapatan negara. Pada

bahagian diatas dikemukan pengertian pajak yang secara bebas dapat

dikatakan dengan : pungutan yang dilakukan oleh Negara (dapat dengan

paksaan) kepada warga negaranya (wajib pajak) tanpa memberikan imbalan

yang langsung, dimana hasil pungutan itu dipergunakan untuk membiayai

kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan oleh Pemerintah. Perpajakan diatur

dalam undang-undang perpajakan yang merupakan bahagian dari hukum

publik, karena dia berkaitan dengan kepentingan orang banyak. Hukum

perpajakan bukanlah merupakan hukum yang berdiri sendiri, tetapi

berkaitan dengan hukum lainnya yang terdapat dalam kehidupan bernegara.

Disini akan disinggung pembicaraan menyangkut antara hubungan

hukum pajak dengan hukum pidana dan hukum perdata. Hukum pajak

diartikan "adalah keseluruhan dari peraturan-peraturan yang meliputi

wewenang Pemerintah untuk mengambil kekayaan seseorang dan

menyerahkannya kembali kepada masyarakat dengan melalui Kas Negara"51

Hukum perdata merupakan bahagian dari hukum yang mengatur

hubungan di antara orang-orang pribadi sebagai pendukung hak

(rechtspersoon), sedangkan hukum pajak diantara Negara dengan

perorangan sebagai wajib pajak.

Terlihat di sini bahwa terdapat hubungan yang sangat erat diantara

hukum pajak dengan hukum perdata. Hukum pajak pada dasarnya "mencari

51
Ibid, 1.
59

dasar kemungkinan pemungutan atas kejadian-kejadian, keadaan-keadaan

dan perbuatan-perbuatan hukum yang bergerak dalam lingkungan perdata

seperti pendapatan, kekayaan, perjanjian, penyerahan, pemindahan hak

karena warisan dan sebagainya".52 Terlihat bahwa sasaran hukum pajak

adalah peristiwa-peristiwa perdata.

Selanjutnya dengan dibaginya wilayah negara atas wilayah Daerah,

maka pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah, diberlakukan Pajak

Daerah. Pajak Daerah merupakan sumber pendapatan Daerah yang berasal

dari pajak yang diserahkan Pemerintah pusat kepada Daerah untuk

menjadi sumber pendapatan Daerah. Untuk dapat berlakunya Pajak

Daerah, terlebih dahulu ditetapkan dalam Peraturan Daerah, dan setelah di

sahkan oleh Pejabat yang berwenang, maka diundangkan dalam Lembaran

Daerah.

Jadi dasar hukum setiap pajak adalah undang-undang bagi pajak

yang bersifat nasional dan dilaksanakan di daerah melalui Peraturan

Daerah. Mengenai pajak, jenis dan dasar hukum masih banyak yang perlu

diuraikan, namun mengingat dengan relevansi penulisan, maka penguraian

dibatasi sampai di sini.

3. Pajak sebagai Sumber Pendapatan Daerah

Sebagaimana diatur dalam pasal 157 Undang-Undang Nomor 32

Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah menyebutkan bahwa Sumber

Pendapatan Daerah terdiri atas:

52
Ibid, 5.
60

1) pendapatan asli daerah yang selanjutnya disebut

PAD, yaitu :

hasil pajak daerah;

hasil retribusi daerah;

hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan; dan

lain-lain PAD yang sah;

2) dana perimbangan; dan

3) lain-lain pendapatan daerah yang sah.

Pajak sebagai sumber pendapatan terbagi atas dua bahagian, yaitu :

1) Pajak yang diserahkan Pemerintah kepada Daerah untuk

dikelolanya sebagai Sumber Pendapatan Daerah.

2) Pajak yang diatur sendiri oleh Daerah atas sumber pendapatan

yang berhasil digali oleh Daerah di wilayahnya. Sebagai contoh

jenis pajak ini adalah Pajak Izin Menangkap Ikan (Peraturan Daerah

Nomor 3 Tahun 1972).

Dinas Pendapatan Daerah selaku instansi yang diberi tugas untuk

mengelola seluruh pendapatan daerah dihadapkan kepada wilayah yang

luas yaitu melipti wilayah Provinsi Sumatera Barat. Dalam pemungutan

dari sumber-sumber pendapatan tersebut, Dinas Pendapatan Daerah

sebagai instansi pemungut pendapatan Daerah, pemungutannva

dilakukan secara langsung kepada masyarakat wajib pajak melalui Unit

Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Pelayanan Pendapatan Provinsi

Sumatera Barat sebagai perpanjangan tangan dari Dinas Pendapatan

Daerah. Pembentukan UPTD dibentuk melalui Surat Keputusan


61

Gubernur Sumatera Barat nomor 22 Tahun 2001 tentang Pembentukan

Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Provinsi

Sumatera Barat. Sejalan dengan pembentukan UPTD, maka sekaligus

diserahkanlah sumber-sumber Pendapatan Daerah menjadi tugas dan

kewenangannya. Adapun sumber pendapatan yang menjadi tugas dan

kewenangannya dari UPTD adalah :

1) Pajak Kendaraan Bermotor (disingkat PKB) diatur berdasarkan

Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2003 tentang Pajak Kendaraan

Bermotor dan Kendaraan di Atas Air.

2) Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (disingkat BBN.KB) diatur

berdasarkan Pertauran Daerah Nomor 5 Tahun 2003 tentang Bea

Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air.

3) Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air

Permukaan, diatur berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun

2002.

4) Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (disingkat PBBKB).

5) Pajak Alat-alat Berat dan Alat-Alat Besar.

6) Pajak Kendaraan Diatas Air diatur berdasarkan Peraturan Daerah

Nomor 4 Tahun 2003 tentang Pajak Kendaraan Bermotor dan

Kendaraan di Atas Air Bea Balik Nama Kendaraan Diatas Air diatur

berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2003 tentang Bea

Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air.

Sehubungan dengan lokus dan fokus penelitian ini, penulis hanya

akan menjelaskan kebenaran sub sektor pajak daerah yang berasal dari
62

Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan

Bermotor (BBN-KB ), sistim pengelolaan penerimaannya dilakukan

dalam sistem administrasi manunggal satu atap ( SAMSAT ).

C. Pajak Kendaraan Bermotor (PKB)

1. Pengertian

Dari sejumlah besar pajak yang berlaku dan dipungut bagi

Daerah, salah satu diantaranya Pajak Kendaraan Bermotor (sering

disingkat dengan PKB). Mengenai Pajak Kendaraan Bermotor dapat

dikemukakan sebagai berikut :

Pajak Kendaraan Bermotor, termasuk golongan pajak langsung

dan merupakan pajak lokal (daerah). Dipungut dari pemegang-

pemegang kendaraan bermotor yang a) dihidupkan dengan

generator gas arang atau b) memakai bahan baker minyak tanah

atau campuran minyak tanah dan c) bensin atau juga d)yang

tidak semata-mata menggunakan bensin sebagai bahan baker.

Kereta gandengan aanhangwagen (pada truk mis.) juga

dikenakan pajak ini. 53

Selanjutnya dalam Ordonansi Pajak Kendaraan Bermotor

Tahun 1934 pasal 1 dikutipkan : Dengan nama Pajak Kendaraan

Bermotor, dipungut pajak karena memegang :

(1) Kendaraan bermotor, yang digerakkan dangan

motor yang dihidupkan dengan generator gas arang atau oleh yang

memakai bahan baker minyak tanah atau campuran minyak tanah

53
Hassan Shadily, Opcit.
63

dan bensin, terlepas dari hal apakah motor itu khusus

diperuntukkan guna dipakai dengan minyak tanah atau dengan

campuran minyak tanah dan bensin;

(2) Segala kendaraan bermotor lainnya, yang tidak

digerakkan oleh motor yang semata-mata memakai bensin sebagai

bahan pembakar;

(3) Kendaraan bermotor yang digerakkan oleh

motor yang semata-mata memakai bensin sebagai bahan pembakar

tetapi mempunyai berat total yang diizinkan 5.500 kg. atau

lebih; .........kendaraan bermotor yang digerakkan oleh motor

dengan semata-mata menggunakan bensin sebagai bahan

pembakar, yang mempunyai berat total yang diizinkan 3.500 kg.

atau lebih.

(4) Kereta tambahan (kereta gandengan) dari

kendaraan bermotor.

(5) Kendaraan bermotor seperti dimaksudkan

dibawah c yang mempunyai berat total yang diperkenankan

kurang dari 3.500 kg, kecuali yang telah dikenakan pajak rumah

tangga atau yang dibebaskan dari pajak rumah tangga.

Memperhatikan tentang Pajak Kendaraan Bermotor

sebagaimana dijelaskan oleh kedua kutipan diatas, maka dapat ditarik

beberapa patokan pokok, antara lain :

(1) pajak ini ditimbulkan oleh adanya kendaraan bermotor yang

dimiliki;
64

(2) pajak dipungut dari pemilik kendaraan bermotor sebagai wajib

pajak;

(3) penentuan besarnya beban pajak didasarkan kepada ukuran yang

digariskan;

(4) kendaraan bermotor dipandang sebagai suatu kesatuan yang bulan

dan utuh;

(5) tahun pajak ialah tahun takwim. (pasal 8 ayat 1)

Dalam pasal 1 angka (6) Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun

2003 tentang Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air

menyebutkan bahwa Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di

Atas Air yang selanjutnya disebut pajak adalah pajak atas

kepemilikan dan / atau penguasaan kendaraan bermotor dan

kendaraan di atas air.

Kendaraan Bermotor adalah semua kendaraan beroda dua atau

lebih beserta gandengannya yang digunakan di semua jenis jalan darat

dan digerakkan oleh peralatan teknik berupa motor atau peralatan

lainnya yang berfungsi untuk mengubah suatu sumber daya energi

tertentu menjadi tenaga gerak kendaraan bermotor yang bersangkutan,

termasuk alat-alat berat dan alat-alat besar yang bergerak (pasal 1

angka 7).

2. Dasar Hukum

Republik Indonesia sebagai negara hukum menekankan

ketentuan tentang keharusan adanya dasar hukum yang mengatur

setiap tindakan kebijaksanaan yang berhubungan kehidupan


65

bernegara. Pengaturan tentang Pajak Kendaraan Bermotor diadakan

untuk pertama kali dengan Ordonansi Pajak Kendaraan Bermotor

Tahun 1934. (Staatsblad tahun 1934 Nomor 718). Peninjauan-

peninjauan dan penyernpurnaan haruslah selalu dilakukan terhadap

setiap peraturan perundang-undangan. Langkah tersebut perlu

dilakukan mengingat bahwa ketentuan-ketentuan itu berhadapan

dengan masa dan manusia yang selalu berkembang. Begitupun

dengan bidang pengetahuan dan teknologi bertumbuh dengan pesat.

Ordonansi Pajak Kendaraan Bermotor Tahun 1934 sebagai

peraturan perundang-undangan semenjak ditetapkan telah

mengalami peninjauan-peninjauan berupa penambahan dan

perubahan sebagai berikut :

a. Staatsblad Tahun 1935 Nomor 551;

b. Staatsblad Tahun 1937 Nomor 33;

c. Staatsblad Tahun 1939 Nomor 603;

d. Staatsblad Tahun 1940 Nomor 226;

e. Staatsblad Tahun 1949'Nomor 376;

f. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1959 dalam Lembaran Negara Tahun 1959 Nomor 101.

Dalam semua ketentuan diatas penyempurnaan terhadap

pajak ini telah dilakukan. Pemerintah Indonesia yang menganut

otonomi, menyebabkan dalam penyerahan urusan yang akan

diselenggarakan oleh Daerah diiringi dengan pemberian sumber

pendapatan yang diperlukan dalam pembiayaan.


66

Pajak Kendaraan Bermotor yang selama ini dikelola oleh

pemerintah sebagai pajak negara termasuk dalam sumber

pendapatan yang diserahkan pada daerah. Penyerahan ini dilakukan

dengan Poraturan Pcmerintah Nomor 3 Tahun 1957 tentang

Penyerahan Pajak Negara kepada Daerah. Untuk berlakunya suatu

pajak yang diserahkan kepada Daerah diterbitkanlah Peraturan

Daerah. Adapun dasar hukum pemungutan Pajak Kendaraan

Bermotor saat ini berdasar kepada Peraturan Daerah Nornor 4

Tahun 2003 tentang Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di

Atas Air.

3. Obyek Pajak

Pelaksanaan pajak didasarkan pada adanya obyek yang

dikenakan beban pajak. Pajak Kendaraan Bermotor sebagai pajak

mempunyai obyek berupa kendaraan bermotor yang terdaftar.

Keberadaan kendaraan bermotor sebagai obyek yang terdaftar,

adalah melalui proses yang akan dibicarakan tersendiri. Dalam

pasal 1 ayat (2) huruf a Ordonansi Pajak Kendaraan Bermotor 1934

dikutip sebagai berikut :

Kendaraan bermotor; setiap kendaraan (elkrij of Voertig),

yang diperuntukkan guna semata-mata digerakkan atau juga

turut digerakkan, selain atas ril, oleh suatu kekuatan

mekanik yang ada di atau pada kendaraan itu, begitu pula

kereta-kereta tambahan dari kendaraankendafaan itu.


67

Sedangkan di dalam Peraturan paerah Nomor 4 Tahun 2003

Pasal 3 angka (1) menyebutkan : Objek Pajak Kendaraan Bermotor

adalah kepemilikan dan / atau penguasaan kendaraan bermotor,

termasuk kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan

bermotor alat-alat berat dan alat-alat besar yang bergerak.

4. Subyek Tanggung Pajak dan Beban Pajak

Pengenaan beban pajak didasarkan kepada adanya

kendaraan bermotor. Keberadaannya secara sah dibuktikan oleh

berbagai hal yang harus dipenuhi dan terutama bukti bahwa

kendaraan sudah terdaftar sesuai dengan ketentuan administrasi

yang ditentukan. Dalam pasal 5 angka 1, menyebutkan bahwa

Subjek pajak adalah orang pribadi atau badan yang memiliki

dan/atau menguasai kendaraan bermotor dan atau kendaraan di atas

air. Jadi tertanggung beban pajak adalah pemilik kendaraan, yaitu

orang seorang atau kelembagaan/badan hukum. "Pajak terhutang

oleh orang yang memegang kendaraan bermotor".

Pengertian "yang memegang" adalah dikaitkan kepada siapa

yang memiliki dan atau yang berhak penuh atas kendaraan

tersebut. Jadi subyek tanggung pajak adalah pemilik

kendaraan orang seorang dan badan hukum.

Setiap wajib pajak akan dikenakan penagihan sebesar beban

pajak yang ditentukan terhadap pemilikan atas kendaraan bermotor.

Beban pajak akan dapat diketahui melalui surat penagihan yang


68

dicantumkan berdasarkan penentuan beban yang ditetapkan dengan

peraturan perundangan.

Dalam pasal 6 Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2003 ditentukan

Dasar Pengenaan, Tarif dan Penghitungan Pajak adalah :

a. Dasar pengenaan pajak kendaraan bermotor dihitung sebagai

perkalian dari 2 (dua) unsur pokok

(1) Nilai jual kendaraan bermotor;

(2) Bobot yang mencerminkan secara relatif kadar kerusakan

jalan dan pencemar lingkungan akibat penggunaan kndaraan

bermotor.

b. Nilai jual kendaraan bermotor diperoleh berdasarkan

harga pasaran umum atas suatu kendaraan bermotor.

c. Dalam hal harga pasaran umum atas suatu kendaraan

bermotor tidak diketahui, nilai jual kendaraan bermotor ditentukan

berdasarkan faktor-faktor :

(1) Isi silinder dan/atau satuan daya;

(2) Penggunaan kendaraan bermotor;

(3) Jenis kendaraan bermotor;

(4) Merek kendaraan bermotor;

(5) Tahun pembuatan kendaraan

bermotor;

(6) Berat total kendaraan bermotor dan

banyaknya penumpang yang diizinkan;


69

(7) Dokumen impor untuk jenis

kendaraan bermotor.

d. Bobot sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b dihitung

berdasarkan faktor-faktor :

1) Tekanan ganda;

2) Jenis bahan baker kendaraan bermotor;

3) Jenis, penggunaan, tahun pembuatan, dan ciri-ciri mesin

dari kendaraan bermotor.

e. Penghitungan dasar pengenaan pajak kendaraan

bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3),

ayat (4), ayat (5), dinyatakan dalam suatu table yang ditetapkan

oleh Menteri Dalam Negeri.

f. Dalam hal dasar pengenaan pajak kendaraan

bermotor yang belum tercantum dalam table sebagaimana

dimaksud pada ayat (6), dasar pengenaan pajak kendaraan

bermotor ditetapkan dengan Keputusan Gubernur dan

diberitahukan kepada DPRD dan Menteri Dalam Negeri.

g. Tabel sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) ditinjau

kembali setiap tahun.

Pasal 7 menyebutkan :

1) Tarif pajak kendaraan bermotor ditetapkan sebesar : 1,5 %

(satu koma lima persen) untuk kendaraan bermotor bukan umum;


70

2) 1 % (satu persen) untuk kendaraan bermotor umum; 0,5 %

(nol koma lima persen) untuk kendaraan bermotor alat-alat berat

dan alat-alat besar.

Pasal 8 menyebutkan :

Besarnya pajak terutang dihitung dengan cara mengalikan tariff

sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 dengan dasar pengenaan pajak

sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (7) dan ayat (8).

Selanjutnya pasal 9 menyebutkan :

a) Pajak kendaraan bermotor dikenakan untuk masa pajak 12

(dua belas) bulan berturut-turut dihitung mulai saat pendaftaran

kendaraan bermotor,

b) Pajak kendaraan bermotor dibayar sekaligus di muka.

Berdasarkan patokan-patokan diatas ditetapkan-lah beban

pajak atas kendaraan bermotor yang dimiliki oleh wajib pajak.

Beban pajak ditetapkan untuk masa satu tahun yang mempedomani

tahun takwim. Terhadap pemilikan kendaraan bermotor yang

berada dalam tahun yang sedang berjalan, maka beban pajak yang

dikenakan kepada wajib pajak adalah dengan memperhatikan sisa

waktu tahun yang tersisa. Dalam hal penghitungan beban pajak

diberlakukan pembulatan ke atas.

5. Pengecualian dan atau Pembebasan

Walaupun dalam ketentuan mengenai perpajakan umurnnya

dinyatakan bahwa pemungutan pajak harus dilakukan dengan

memperhatikan sifat umum dan merata, namun Pajak Kendaraan


71

Bermotor tidaklah dapat dilaksanakan sepenuhnya demikian.

Pengenaan beban pajak dilaksanakan dengan mengadakan

pengecualian dan atau pembebasan. Kebijaksanaan ini dilatar

belakangi dan didasarkan kepada peranan atau pemanfaatannya.

Pasal 2 mengatur tentang pengecualian atau pembebasan

terhadap beban pajak atas kendaraan bermotor dilakukan atas :

a) kendaraan bermotor oleh Negara atau Daerah yang dimaksud,

dalam pasal-pasal 119, 121 dan 123 IS. Inipun jika kendaraan itu

sematamata dipergunakan untuk dinas umum;

b) kendaraan bermotor yang menurut atau berdasarkan

peraturan-peraturan Ordonansi Lalu Lintas yang diizinkan

berjalan dengan nomor percobaan;

c) kendaraan bermotor yang menurut sifatnya semata-mata

diperuntukkan guna dipakai dilain tempat dari pada dijalanan;

d) kendaraan bermotor oleh para konsul dan lain-lain skill

Negara Asing oleh orang-orang yang diperbantukan dan yang

bekerja serta bertempat tinggal padanya selanjutnya

tidak melakukan perusahaan atau pekerjaan bebas dan dengan

syarat timbale balik, jika oleh Negara yang wakil-wakilnya

diizinkan, dikenakan pajak karena memegang kendaraan

bermotor;

e) kendaraan bermotor pemadam kebakaran;


72

f) kendaraan bermotor oleh para pelancong dan lain-lain orang

yang berada di Indonesia untuk waktu yang tidak lebih lama

dari sembilan puluh hari berturut-turut.

Pada pasal 4 Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2003

menyebutkan : Dikecualikan dari objek pajak adalah kepemilikan

dan/ atau penguasaan kendaraan bermotor dan/atau kendara-an

diatas air oleh :

a) Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, Pemerintah

Kabupaten/ Kota dan Pemerintah Desa/Nagari;

b) Kedutaan, Konsutat, Perwakilan Negara P.sing, dan

Perwakilan Lembaga-lembaga Internasional dengan azas timbal

balik,

c) Pabrikan atau importer kendaraan bermotor baru yang

semata-mata untuk dipamerkan, untuk dijual dan tidak

dipergunakan dalam lalu lintas bebas;

d) Wisatawan asing yang berada di daerah untuk jangka

waktu sampai dengan 60 (enam puluh) hari;

e) Penguasaan kendaraan bermotor yang disegel atau disita

oleh Negara;

f) Orang Pribadi atau Badan atas kendaraan di atas air

perintis;

g) Orang Pribadi atau Badan atas kendaraan di atas air yang

digunakan untuk keperluan keselamatan seperti kapal pandu

dan kapal tunda;


73

h) Orang Pribadi atau Badan atas Kendaraan di atas air yang

khusus digunakan untuk penelitian, SAR, kepentingan social

dan keagamaan.

Dari ketentuan di atas terlihat bahwa kendaraan bermotor

yang dibebaskan dari pajak adalah kendaraan dinas, kendaraan yang

berada dalam status percobaan, kendaraan yang bukan dipergunakan

dijalanan, kendaraan yang dipergunakan oleh perwakilan asing dan

tenaga kerja diperbantukan dalam kerja sama dansebagainya,

kendaraan pemadam kebakaran dan kendaraan yang dibawa sendiri

oleh wisatawan untuk waktu yang terbatas, kendaraan bermotor

yang disegel atau disita Negara, kapal pandu dan kapal tunda yang

digunakan untuk keperluan keselamatan serta kendaran penelitian

SAR.

6. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBN-KB)

Di samping Pajak Kendaraan Bermotor terdapat sumber

pendapatan yang berkaitan dengan kendaraan bermotor. Sumber

pendapatan tersebut disebut Bea Balik Nama Kendaraan Berrnotor

yang popular disingkat dengan BBN.KB. Jenis sumber pendapatan

ini dalam bentuk pajak juga yang dipungut atas dasar pengalihan hak

milik atas kendaraan bermotor sebagai akibat perjanjian dua pihak

atau perbuatan sepihak atau keadaan yang terjadi jual beli, tukar

menukar, hibah termasuk hibah wasiat dan hadiah, warisan atau

pemasukan kedalam badan usaha.


74

Dasar hukum dari Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor

adalah Undang Undang Nomor 10 Tahun 1968 tentang Penyerahan

Pajak Negara Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBN.KB),

Pajak Bangsa Asing dan Pajak Radio kepada Daerah. Dasar hukum

tersebut oleh Daerah dilanjutkan pengaturannya dengan menerbitkan

Peraturan Daerah.

Dalam Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2003 pasal 3

menyebutkan Obyek daripada Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor

adalah penyerahan Kendaraan Berrnotor, termasuk penyerahan

kendaraan bermotor alat-alat berat dan alat-alat besar yang bergerak.

Dalam pasal 4 diatur tentang pengecualian dalam

pemungutan pajak Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang

diserahkan kepada :

- Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi , Pemerintah

Kabupaten/Kota dan Pemerintah Desa/Nagari;

- Kedutaan, Konsulat, Perwakilan Asing, dan Lembaga-

lembaga Internasional dengan azaz timbal balik;

- Pabrikan atau importer kendaraan bermotor baru yang

semata-mata untuk dipamerkan, untuk dijual dan tidak

dipergunakan dalam lalu lintas bebas;

- Orang pribadi atau badan atas kendaraan di atas air perintis.

Dalam pasal 6 diatur subyek pajak Bea Balik Nama

Kendaraan Bermotor ;
75

1) S

ubyek pajak Bea Balik Nama adalah orang pribadi atau badan

yang dapat menerima penyerahan kendaraan bermotor dan atau

kendaraan di atas air.

2) W

ajib Pajak Bea Balik Nama adalah orang pribadi atau badan

yang menerima penyerahan kendaraan bermotor dan atau

kendaraan di atas air.

3) Y

ang bertanggung jawab atas pembayaran Bea Balik Nama

adalah:

(a) untuk orang pribadi adalah orang yang bersangkutan,

kuasanya atau ahli warisnya.

(b) Untuk badan adalah pengurusnya.

Dasar Pengenaan Bea Balik Nama diatur dalam pasal 7 :

1) Dasar pengenaan pajak Bea Balik Nama Kendaraan

Bermotor dan Kendaraan di Atas Air adalah Nilai Jual Kendaraan

Bermotor dan Nilai Jual Kendaraan di Atas Air.

2) Nilai Jual Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air

sebagaimana dimaksud ayat (1) adalah Nilai Jual Kendaraan

Bermotor dan Kendaraan di Atas Air yang tercantum dalam

ketetapan Menteri Dalam Negeri atau Gubernur.

Dalam hal dasar pengenaan Bea Balik Nama Kendaraan

Bermotor dan Kendaraan di Atas Air belum tercantum dalam tabel


76

yang ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri, dasar pengenaan Bea

Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air

dimaksud ditetapkan dengan Keputusan Gubernur, dan

diberitahukan kepada DPRD dan Menteri Dalam Negeri.

Pemungutan kedua sumber pendapatan tersebut diatas

(Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan

Bermotor), pelaksanaan operaionalnya bergabung dengan instansi

lain Kepolisian Republik Indonesia melalui Direktorat Lalu Lintas

dan PT (Persero) A.K. Jasaraharja melalui mekanisme Sistem

Administrasi Manunggal Satu Atap, yang lebih populer disebut

SAMSAT.

Ketentuan pendukung tentang mekanisme ini diatur dalam

Surat Keputusan Bersama Kepala Kepolisian Republik Indonesia,

Direktur Jenderal Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah, dan

Direktur Utama PT. Jasa Raharja (Persero) Nomor :

Skep/06/X/1999, Nomor : 973 - 1228, Nomor : SKEP/02/X/1999

tentang Pedoman Tata laksana Sistem Administrasi Manunggal Di

Bawah Satu Atap dalam Penerbitan Surat Tanda Nomor

Kendaraan Bermotor, Surat Tanda Coba Kendaraan Bermotor,

Tanda Nomor Kendaraan Bermotor, Tanda Coba Kendaraan

Bermotor, dan Pemungutan Pajak Kendaraan Bermotor, Bea Balik

Nama Kendaraan Bermotor sera Sumbangan Wajib Dana

Kecelakaan Lalu Lintas Jalan.


77

Dalam Surat Keputusan Bersama tersebut ditegaskan

bahwa dalam pelaksanaan tugas, seluruh instansi tersebut harus

bekerja sama, mempunyai otonomi masing-masing instansi dan

saling hormat menghormati serta bertanggung jawab kepada

atasan masing-masing.

D. Kebijaksanaan Nasional Untuk Efektivitas Pelayanan

1. Kebijakan Pemerintah Terhadap Pelayanan

Dalam rangka penyelenggaraan peningkatan Pelayanan

Publik 54 peran pemerintah sebagai konsekuensi logis dari adanya

kepentingan publik, maka pemerintah secara nasional telah menetapkan

kebijakan yang mengarah pada kepuasan masyarakat terhadap

pelayanan public yang diselenggarakan oleh pemerintah. Pemerintah

dalam hal ini Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara menerbitkan

berbagai landasan peraturan perundang-undangan, pedoman, dan surat

edaran dibidang pelayanan publik antara lain : Keputusan Men PAN

Nomor : 63lKEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum

Penyelenggaraan Pelayanan Publik, Keputusan Men PAN Nomor

KEP/25/M.PAN/2/2004 tentang Pedoman Umum Penyusunan Indeks

Kepuasan Masyarakat pada Unit PelayananInstansi Pemerintah dan

KEP/26/ M.PAN/2/2004 tentang Petunjuk Teknis Transparansi dan

Akuntabilitas dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik.

Upaya pemerintah untuk memberikan pelayanan publik yang

optimal menjadi sangat penting untuk dilakukan. Pelayanan publik


54
Komisi Hukum Indonesia, Hasil Penelitian Normatif Sistem Penyelenggaraan Pelayanan
Publik Indonesia, 2006, hal. 19-35.
78

harus memperoleh perhatian dan penanganan yang sungguh-sungguh,

karena merupakan tugas dan fungsi yang melekat pada setiap aparatur

pemerintah. Tingkat kualitas kinerja pelayanan publik memiliki

implikasi yang luas dalam berbagai aspek kehidupan, terutama untuk

mencapai tingkat kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu upaya

penyempurnaan pelayanan publik harus dilakukan secara terus menerus,

berkelanjutan dan dilaksanakan oleh jajaran aparatur pemerintah

daerah.55

Menurut Progo Nurdjaman ada 8 prinsip-prinsip Pokok

Pelayanan Publik sebagai berikut :

a). Kesederhanaan

Prinsip kesederhanaan ini mengandung arti bahwa prosedur/tata cara

pelayanan diselenggarakan secara mudah, lancar, cepat, tepat, tidak

berbelit-belit, mudah dipahami dan mudah dilaksanakan oleh

masyarakat yang meminta pelayanan.

b). Kejelasan dan kepastian

Prinsip ini mengandung arti adanya kejelasan dan kepastian

mengenai :

1) Prosedur tatacara pelayanan, baik persyaratan teknis maupun

administrative;

2) Unit kerja dan atau pejabat yang berwenang dan

bertanggungjawab dalam memberikan pelayanan;

3) Rincian biaya/tarif pelayanan dan tata cara pembayarannya;

Progo Nurdjaman., Penyelenggaran


55
Pemarintahan Umum, (Jakarta;
Departemen Dalam Negeri RI)., 2004. ha1. 33
79

4) Jadwal waktu penyelesaian pelayanan.

c). Keamanan

Prinsip ini mengandung arti proses serta hasil pelayanan dapat

memberikan keamanan, kenyamanan dan dapat memberikan

kepastian hukum bagi masyarakat.

d). Keterbukaan

Prinsip ini mengandung arti bahwa prosedur/tatacara, persyaratan

satuan kerja/pejabat penanggungjawab pemberi pelayanan, waktu

penyelesaian, rincian biaya/tariff serta hal-hal lain yang berkaitan

dengan proses pelayanan wajib diinformasikan secara terbuka agar

mudah diketahui dan dipahami oleh masyarakat, baik diminta maupun

tidak diminta.

e). Efisiensi

Prinsip ini mengandung arti : Persyaratan pelayanan hanya dibatasi

pada hal-hal yang berkaitan langsung dengan pencapaian sasaran

pelayanan dengan tetap memperhatikan keterpaduan antara

persyaratan dengan produk pelayanan yang diberikan. Mencegah

adanya pengulangan pernenuhan persyaratan, dalam hal proses

pelayanan masyarakat yang bersangkutan memper-syaratkan adanya

kelengkapan persyaratan dari satuan kerja/instansi pemerintah lain

yang terkait.

f). Ekonomis

Prinsip ini mengandung arti pengenaan biaya dalam penyelenggaraan

pelayanan harus ditetapkan secara wajar dengan memperhatikan :


80

(1) Nilai barang dan atau jasa pelayanan masyarakat dan tidak

menuntut biaya yang terlalu tinggi di luar kewajaran;

(2) Kondisi dan kemampuan masyarakat untuk membayar;

(3) Ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

g). Keadilan yang Merata

Prinsip ini mengandung arti cakupan/jangkauan pelayanan harus

diusahakan seluas mungkin dengan distribusi yang merata dan

diberlakukan secara adil bagi seluruh lapisan masyarakat,

h). Ketepatan Waktu

Prinsip ini mengandung arti pelaksanaan pelayanan masyarakat dapat

diselesaikan dalam kurun waktu yang ditentukan.

2. Peranan Pelayanan Administrasi Kepolisian

Di samping berfungsi sebagai salah satu lembaga penegak hukum

dan penjaga keamanan masyarakat, kepolisian juga memiliki fungsi

sebagai instansi yang memberikan pelayanan administrasi kepada

masyarakat. Pelayanan publik (yang di lingkungan kepolisian dikenal

dengan istilah pelayanan masyarakat/YANMAS) sebenarnya merupakan

esensi pekerjaan polisi, dalam rangka mewujudkan filosofi POLRI ”Rastra

Sewakottama” yang berarti abdi utama nusa dan bangsa (masyarakat).

Abdi utama di sini dimaksudkan sebagai pelayanan prima yang kemudian

menjiwai kode etik POLRI baru.

Menurut Jenderal Polisi (Purn) Drs. Chaeruddin Ismail, SH.,

pelayanan publik bagi kepolisian tercantum dalam TRI BRATA yang


81

merupakan filosofi POLRI yang kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian khususnya pasal

13 huruf c ”memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan

kepada masyarakat” dan pasal 14 huruf k ”memberikan pelayanan

kepada masyarakat sesuai kepentingannya di dalam lingkup tugas

kepolisian”. Selanjutnya dalam Kode Etik POLRI berdasarkan Keputusan

Kapolri No. Pol.KEP/32/VII/ 2003 ditegaskan dalam pasal 5 bahwa

”memberikan pelayanan terbaik, memberikan pelayanan kepada

masyarakat secara ikhlas dengan prosedur cvepat, sederhana, serta tidak

bermasa bodoh, apatis, mendiamkan adanya harapan masyarakat”. Secara

lebih rinci diatur beberapa tindakan atau perilaku yang harus dan dilarang

untuk dilakukan dalam rangka pelayanan publik tersebut, [e]

mengutamakan kemudahan dan tidak mempersulit, [e] tida membeda-

bedakan (diskrimiasi cara pemberian pelayanan, [g] tidak meminta biaya

kecuali diatur oleh undang-undang, [i] tidak mengeluarkan kata-kata atau

gerakan tubuh yang mengisyaratkan minta imbalan atas jasa pelayanan

yang diberikan”.56

Pelaksanaan pelayanan publik oleh kepolisian berupa

pelayanan administratif antara lain adalah penerbitan ijin seperti

Surat Ijin Mengemudi (SIM) dan Ijin Keramaian. Pelayanan SIM

dilakukan oleh Kepolisian Resor atau Kepolisian Wilayah Kota

Besar, sedang ijin keramaian diberikan oleh seluruh tingkat

56
Jenderal Polisi (Purn) Drs. Chaeruddin Ismail, SH., “Kepolisian Negara
Republik Indonesia dan Pelayanan Publik”, Makalah pada Lokakarya Penelitian ini,
Bandung, 30 Oktober 2004, halaman 9-10.
82

kepolisian dari Kepolisian Sektor sampai Mabes POLRI tergantung

cakupan kegiatan atau keramaian yang dimintakan ijin.

3. Dimensi Kebijakan Pelayanan Publik

Progo Nurdjaman menyebutkan pelayanan publik dapat ditinjau

dari dua dimensi, yaitu dimensi internal dan eksternal. Pada dimensi

internal, pelayanan publik merupakan salah satu isu utama sejalan dengan

tuntutan demokratisasi dan desentralisasi Demokratisasi pada hakekatnya

menyuarakan pentingnya partisipasi masyarakat dan akuntabilitas

pemegang kekuasaan, yang dengan demikian suara masyarakat diletakkan

pada derajat yang paling tinggi. Semangat demokratisasi dalam

penyelenggaraan pemerintahan akan menjadi peluang bagi peningkatan

kualitas pelayanan kepada masyarakat. Sementara itu penyelenggaraan

pelayanan publik yang terdesentralisasi akan mendekatkan penyeleng-

garaan fungsi pelayanan publik kepada masyarakat dan memungkinkan

untuk menyelesaikan komplain (bila ada) dengan lebih cepat karena

masyarakat bisa lebih mudah bertemu dengan pihak penyelenggara

pelayanan. Pada sisi perencanaan, penyelenggaraan pelayanan publik

yang terdesentralisasi akan meningkatkan responsifitas (daya tanggap)

terhadap kebutuhan lokal dan membantu Pemerintah Daerah (lembaga

penyedia layanan) mengidentifikasi dan memhami karekteristik khas

masyarakat setempat.

Pada dimensi eksternal, pelayanan publik akan memainkan

peranan kunci dalam menghadapi tantangan globalisasi. Paling tidak

tantangan globalisasi tersebut memerlukan jawaban dalam hal


83

peningkatan daya saing (competitiveness) dan daya tarik (attractiveness),

baik ditingkat regional maupun internasional.

4. Faktor - faktor yang mempengaruhi Pelayanan

Selanjutnya Progo Nurdjaman menjelaskan bahwa, kualitas pelayanan publik

secara umum ditentukan oleh beberapa aspek yaitu :

1) Sistem

Yaitu kewenangan Daerah untuk mengatur struktur, tugas fungsi

serta mekanisme kerja unit-unit kerja Daerah diatur dalam Peraturan

Daerah, yang pengaturannya berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 8

Tahun 2003 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah sebagai

pengganti Peraturan Pemerintah Nomor 84 Tahun 2000. Pembagian

kewenangan daerah tersebut telah diatur dalam Undang-Undang Nomor

32 Tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 serta

Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 130-67 Tahun 2002 yang

merupakan referensi pembagian tupoksi dan mekanisme kerja pada unit-

unit kerja daerah serta Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2001 tanggal 9

Mei 2001 tentang kedudukan Tupoksi dan Susunan Organisasi Dinas

Pendapatan Daerah Sumatera Barat.

2) Kelembagaan

Berbagai tantangan yang dihadapi oleh pemerintah dalam era

globalisasi akan semakin berat. Kemajuan teknologi informasi dan

komunikasi, menjadikan masyarakat semakin tinggi tingkat pengetahuan

dan pendidikannya, sehingga permintaan masyarakat terhadap

peningkatan kualitas pelayanan publik akan menjadi hal yang penting.


84

Oleh sebab itu organ isasi/kelembagaan pemerintah yang ada saat ini

harus mampu menata diri menjadi organisasi yang dapat mengantisipasi

perubahan kondisi yang datang begitu cepat dan tuntutan masyarakat

yang semakin meningkat dan kompleks.

Penataan organisasi dapat diartikan sebagai upaya untuk

menciptakan postur organisasi yang lebih proporsional sesuai dengan

visi dan misi yang diembannya, sehingga dapat diciptakan efisiensi,

efektivitas, dan produktivitas aparatur, yang pada akhirnya dapat

meningkatkan pelayanan publik. Disamping itu dengan penataan

organisasi dapat memperjelas wewenang, tugas, dan tanggung jawabnya

masing-masing.

3) Sumber Daya Manusia ( SDM )

Sumber daya manusia di lingkungan pemerintahan, merupakan

salah satu penentu terciptanya pemerintahan yang bersih, efektif dan

efisien. Pemerintahan yang bersih dan efisien sangat penting bukan

hanya agar masyarakat dapat mengambil manfaat yang sebesar-besarnya

dari pelayanan publik , melainkan juga untuk menciptakan lingkungan

yang memungkinkan dunia usaha tumbuh lebih sehat dan efisien agar

investor dari dalam dan luar negeri terdorong untuk meningkatkan

investasinya di Indonesia. Pembenahan kualitas sumber daya manusia

(PNS) sebagai aparatur Negara pada dewasa ini menjadi semakin

penting karena fungsinya yang strategis. Kebutuhan akan terciptanya

aparatur yang bersih dan efisien semakin dirasakan sejalan dengan


85

perubahan-perubahan yang terjadi sebagai hasil dari pembangunan dan

dari akibat perubahan eksternal pada tingkat regional dan global. Hal ini

tentunya menuntut pegawai negeri menjadi lebih professional, terampil,

terbuka, inovatif, peduli, berakhlak dan amanah. Untuk itu PNS harus

lebih mengedepankan kepentingan publik, menyelenggarakan pelayanan

publik dengan optimal dan menjalankan tugas dan fungsi pelayanannya

berasarkan kebijakan kebijakan publik secara proporsional.

4) Komitmen Dukungan Terhadap

Keuangan Daerah

Kinerja penyelenggaraan pelayanan publik sangat dipengaruhi

oleh kinerja dalam pengelolaan keuangan daerah. Dalam arti bahwa

keberhasilan pemerintah menyelenggarakan pelayanan publik dapat

dilihat dari besarnya dana APBD yang dialokasikan kepada belanja

publik, dan bukan sebaliknya pada belanja aparatur.

Mengingat pentingnya kebijakan pengalokasian dana dari APBD

untuk kepentingan publik dalam rangka mengedepankan peleyanan

publik tersebut, maka sudah sewajarnya Pemerintah Daerah

memperhatikan pola perencanaan dan penyusunan APBD yang lebih

bersifat akuntabel. Dengan demikian diharapkan penyelenggaraan

pelayanan publik dapat menjadi lebih baik lagi. Dalam kaitan itu semua

maka sangat strategis posisi belanja daerah, apakah mengedepankan

belanja untuk aparatur atau untuk belanja publik.


86

Oleh karena itu perlu adanya analisis pola/ perilaku belanja

daerah, yang kemudian diumumkan/ diinformasi-kan melalui media

masa kepada masyarakat, agar masyarakat dapat mengkritisi kebijakan

publik secara langsung. Apalagi dalam kondisi yang multi partai seperti

saat ini, tidak menutup kemungkinan terjadinya trade-off dalam

pembahasan Rancangan APBD, yang berdampak pada alokasi kegiatan

dan dana kurang proporsional terhadap kepentingan publik

dibandingkan dengan belanja aparatur atau kegiatan-kegiatan yang tidak

berdarnpak langsung pada kepentingan publik.

5) Kebijakan Fasilitas Pelayanan Publik

Dalam rangka mendorong Pemerintah Daerah menye-lenggarakan

pelayanan publik secara optimal, telah dilaksanakan sosialisasi program

peningkatan pelayanan publik dalam bentuk Bimbingan Teknis di Daerah

berupa :

a) Pengembangan Lembaga Pelayanan Terpadu Satu Atap (LPTSA).

Pemerintah menaruh perhatian besar terhadap upaya-upaya reformasi di

bidang pelayanan publik, salah satunya adalah system pelayanan umum

satu atap. Adapun lembaga yang mengelola system ini biasa disebut

dengan Lembaga Pelayanan Terpadu Satu Atap (LPTSA). Sistem

pelayanan satu atap pada hakekatnya adalah penyeleng-garaan pelayanan

dalam satu gedung (satu atap). Sistem ini diyakini sebagai salah satu cikal

bakal terjadinya proses transparansi dalam pemberian pelayanan umum

oleh pemerintah kepada masyarakat.


87

b) Peningkatan transparansi dan akuntabilitas akan berdampak pada

pelayanan yang lebih baik (better), lebih murah (cheaper), dan lebih

cepat (faster) menjadi tujuan utarna reformasi manajeman

pelayanan publik daerah, maka LPTSA di daerah menjadi amat

penting dan strategis peranannya. Peran penting dan strategis dari

LPTSA dimaksud adalah :

(1) LPTSA bisa mendorong aparat pemerintah untuk

menjadi lebih responsive dan efisien melalui standar-standar

yang telah ditentukan. Hal ini akan memberikan dorongan dan

insentif kepada birokrasi pemerintah untuk menjadi lebih

responsive dan efisien.

(2) LPTSA memberikan kesempatan kepada aparatur

pemerintah untuk belajar dari sektor swasta terutama dalam

mengembangkan pola manajemen yang berorientasi kepada

masyarakat (what public want).

Sedangkan aspek-aspek dominan yang mempengaruhi optimalisasi

LPTSA antara lain :

Dari hasil monitoring dan evaluasi bahwa aspek komitmen pimpinan

daerah terhadap LPTSA sangat dominan terhadap optimalnya

LPTSA. Apabila pimpinan daerah mempunyai komitmen yang

tinggi, maka akan mampu menggerakkan unit-unit kerja terkait

untuk mendukung LPTSA. Sebaliknya apabila pemimpin daerah

kurang komitmen maka biasanya masing-masing unit kerja enggan

melepaskan fungsi-fungsi yang berkitan dengan pelayanan.


88

Pemahaman pendekatan ACSD yaitu Abolish (Penghapu-san), Combine

(Penggabungan), Simplified (Penyederha-naan) dan Decentralized

(Pelimpahan). Pendekatan ini memberi cara bagaimana

menyederhanakan persyaratan- persyaratan yang diperlukan dalam

suatu proses pelayanan.

Pemahaman makna kehidupan bagi para penyelenggara pelayanan

publik dan aparatur yang terkait. Pemahaman terhadap beban

pekerjaan melayani masyarakat akan berubah menjadi bekal

perjalanan di alam berikutnya akan menjadi spirit kerja dengan baik,

sungguh-sungguh dan ikhlas, tanpa memikirkan dan mendapat

income tambahan atau tidak.

6) Aspek Proses Pelaksanaan Pelayanan

Prima

Pelayanan prima dilaksanakan untuk memenuhi standar

pelayanan terhadap permintaan, keinginan, dan harapan masyarakat

yang mempunyai nilai yang tinggi dan bermutu (berkualitas). Lebih

jauh hakekat dari pelayanan prima adalah berupa upaya-upaya sebagai

berikut :

1) Meningkatkan mutu dan

produktifitas pelaksanaan tugas dan fungsi instansi pemerintah di

bidang pelayanan umum.

2) Mendorong upaya

mengefektifkan system dan tatalaksana pelayanan, sehingga


89

pelayanan umum dapat diselenggarakan secara lebih berdaya guna

dan berhasil guna (efektif dan efisien).

3) Mendorong tumbuhnya

kreatifitas, prakarsa dan peranserta masyarakat secara luas.

Untuk mendukung terselenggaranya pelayanan prima tersebut

harus dilaksanakan dalam suatu rangkaian kegiatan terpadu yang

mencakup aspek-aspek sebagai berikut :

a) Sederhana, artinya dalam pelaksanaan tidak menyulitkan,

prosedurnya tidak berbelit-belit, dan persyaratannya mudah

dipenuhi.

b) Terbuka, artinya masyatakat ingin dilayani secara jujur. Oleh

karena itu aparat yang bertugas melayani harus memberikan

penjelasan sejujur-jujurnya, dan apa adanya sesuai dengan peraturan

perundangan yang mengaturnya.

c) Lancar, artinya petugas pelayanan harus bekerja secara ikhlas

dan sepenuh hati, dengan didukung sarana dan prasarana yang

menunjang kecepatan pelayanan itu sendiri.

d) Tepat, artinya pemberian pelayanan dapat dilakukan secara

tepat arah dan sasarannya, tepat jumlahnya tidak lebih dan tidak

kurang, dan tepat waktu.

e) Lengkap, artinya apa yang diharapkan dan diinginkan

masyarakat terhadap suatu pelayanan tertentu dapat tersedia secara

lengkap.
90

f) Wajar, artinya pelayanan dilakukan sebagaimana mestinya

dan tidak dibuat-buat.

g) Terjangkau, artinya biaya pelayanan tersebut dapat dijangkau

oleh masyarakat.

Setelah dilakukan hal-hal sebagaimana diuraikan diatas,

diharapkan pemerintah dapat memberikan kepada masyarakat suatu

pelayanan publik yang prima, sehingga dengan demikian persepsi

masyarakat terhadap kinerja birokrasi pemerintah akan menjadi lebih

baik lagi, yang pada akhirnya nanti dapat dibangun hubungan yang

harmonis antara pemerintah dan masyarakat. Pada satu sisi pemerintah

akan memiliki legitimasi yang kuat dihadapan masyarakat dan pada sisi

yang lain masyarakat akan mendapat pelayanan yang baik dan prima

dari pemerintah.

7) Lembaga Penampungan Pengaduan

Masyarakat

Dalam rangka menciptakan good governance khususnya dalam

hal pelayanan publik serta untuk memicu kinerja Pemerintah Daerah

dalam menyelenggarakan pelayanan publik bagi masyarakatnya

diperlukan suatu lembaga pengawas eksternal yang bersifat independent

dan non struktural.

Sistem penampungan keluhan yang berkembang di daerah saat

relatif bervariasi, namun belum berjalan efektif terhadap upaya

peningkatan kinerja pelayanan publik. Dewasa ini ada berbagai media

yang digunakan masyarakat untuk menyampaikan keluhan mengenai


91

pelayanan publik, antara lain, melalui mass-medya cetak dan elektronik

seperti koran, radio TV, ataupun menemui langsung instansi terkait.

Namun jumlah keluhan yang masuk relatif sedikit karena msyarakat

cenderung :

a) Tidak mengetahui kemana masyarakat harus mengadu; atau

b) Merasa pesimis bahwa keluhan masyarakat tersebut akan

ditindaklanjuti.

Seluruh Pemerintah Daerah yang pernah disurvei menyatakan setuju

jika lembaga khusus penampungan aspirasi/keluhan masyarakat

dibentuk didaerah. Alasan perlunya pembentukan lembaga khusus

tersebut bervariasi, antara lain :

a) Untuk mencairkan kebekuan informasi/misko-

munikasi antara masyarakat dan pemerintah karena kurang

berfungsinya lembaga yang sudah ada.

b) Untuk menampung keluhan dan aspirasi masyarakat

digunakan untuk masukan dalam penyusunan program.

c) Untuk memperbaiki kinerja pelayanan publik pada

khususnya dan Pemerintah Daerah pada umumnya.

d) Untuk melakukan penilaian yang obyektif terhadap

masalah yang timbul antara eksekutif, legislatif dan masyarakat.

e) Sebagai alat kontrol bagi Pemerintah Daerah dalam

menetapkan berbagai kebijakan publik.

f) Sebagai upaya pengoptimalan mekanisme

penampungan keluhan masyarakat maka perlu untuk


92

mengembangkan Lembaga Penampungan Pengaduan Masyarakat

Daerah sesuai dengan situasi dan kondisi daerah masing-masing.


93

BAB III

PELAKSANAAN PELAYANAN PKB DAN BBN-KB

A. Diskripsi Wilayah

Propinsi Sumatera Barat terletak di sebelah Barat pulau Sumatera. Propinsi ini

memiliki luas wilayah 42,2 ribu Km2 (2,17 persen dari luas Indonesia). Secara

administratif Propinsi Sumatera Barat terbagi dalam 12 (dua belas) kabupaten dan 7

(tujuh) kota yaitu : Kabupaten Pesisir Selatan, Solok, Sawahlunto/Sijunjung, Tanah

Datar, Padang Pariaman, Agam, 50 Kota, Pasaman, Mentawai, Pasaman Barat,

Dharmasraya, Solok Selatan dan Kota Solok dan, Kota adalah Padang, Solok,

Sawahlunto, Padang Panjang, Bukittinggi, Payakumbuh dan Pariaman.

Berdasarkan perkiraan Sensus Penduduk (SP) Tahun 2000 dan Survey

Penduduk Antar Sensus (SUPAS) Tahun 2005, jumlah penduduk Propinsi Sumatera

Barat pada tahun 2006 adalah sekitar 4.632.152 jiwa dengam laju pertumbuhan rata-

rata sekitar 1,87% per tahun. Masalah umum kependudukan di Propinsi Sumatera

Barat sama seperti daerah-daerah lainnya di Indonesia, yaitu terdapat penyebaran yang

tidak merata antar wilayah menurut kabupaten dan kota.

Penyebaran tidak merata ini disebabkan perbedaan karakteristik dan potensi

daerah serta pengaruh demografi yang dimiliki masing-masing daerah. Disamping itu,

faktor mobilitas penduduk (migrasi) antar daerah cukup tinggi, sehingga efektivitas

proses pembangunan masing-masing daerah sangat dipengaruhi oleh kecenderungan

arus penduduk yang pindah dan pergi ke kota (urbanisasi) serata menetap tinggal di

kota. Urbanisasi disebabkan daerah perkotaan lebih menarik (pull factors), sedangkan
94

di daerah kabupaten yang mempunyai ciri pedesaan dianggap kurang tertarik (push

factors).

Faktor pull and push faktor didasarkan kepada ekspetasi penduduk kehidupan

di kota jauh lebih baik apabila dibandingkan dengan daerah kabupaten. Ekspetasi

kehidupan penduduk ( expectation of life ) kota, yaitu ada harapan untuk memperoleh

pekerjaan dan peluang mendapatkan pendapatan. Faktor urbanisasi ini membawa

kecenderungan kepadatan penduduk kota lebih tinggi di bandingkan daerah

kabupaten.

Dari jumlah penduduk Propinsi Sumatera Barat tahun 2006 sekitar 4.632.152

jiwa tersebut, dimana sebanyak 72,89% tinggal di 12 kabupaten dan sisanya sekitar

27,11 % di 7 daerah kota. Apabila diperhatikan distribusi antar daerah kabupaten dan

kota, jumlah penduduk Kota Padang merupakan jumlah terbanyak, yaitu sekitar

819.765 jiwa. Kemudian diikuti Kabupaten Pesisir Selatan sebanyak 429.647 jiwa dan

Agam sebanyak 426.767 jiwa. Sedangkan daerah yang relatif sedikit jumlah

penduduknya adalah terdapat pada beberapa daerah perkotaan, seperti Padang Pajang

sebanyak 49.779 jiwa, kemudian diikuti oleh Sawahlunto sebanyak 53.327 jiwa dan

Solok sebanyak 55.784 jiwa.

Untuk jelasnya distribusi dapat dilihat Tabel 1 berikut :


95

Tabel 1 :
Jumlah Penduduk Sumatera Barat, 2000, 2004-2006
( Dalam orang )

No. Kabupaten/Kota 2000 2004 2005 2006

I. KABUPATEN 3.186.311 3.309.220 3.331.142 3.376.542


1. Pesisir Selatan 388.153 417.708 423.093 429.647
2. Solok 434.425 457.389 342.930 347.286
3. Swl/Sijunjung 306.817 343.819 188.217 192.997
4. Tanah Datar 326.874 339.216 331.576 334.258
5. Pdg Pariaman 495.757 375.538 378.208 381.803
6. Agam 414.844 428.433 424.789 426.767
7. Lim Puluh Kota 310.918 324.258 324..201 327.203
8. Pasaman 508.523 555.486 244.554 248.930
9. Mentawai -- 67.375 64.540 66.332
10. Solok Selatan -- -- 126.812 128.614
11. Dhamasraya -- -- 165.194 170.347
12. Pasaman Barat -- -- 316.928 322.356
II KOTA 1.034.007 1.219.022 1.224.668 1.255.610
13. Padang 708.369 784.740 799.736 819.765
14. Solok 47.883 55.709 54.049 55.784
15. Swhlunto 48.616 53.837 53.081 53.327
16. Padang Panjang 40.103 44.699 45.439 49.779
17. Bukittinggi 91.444 100.254 100.512 102.515
18. Payakumbuh 97.592 104.377 101.819 104.084
19. Pariaman --- 75.406 70.032 70.356
Jumlah 4.220.318 4.528.242 4.555.810 4.632.152
Catatan : * Angka SP 2000
** Angka SUPAS 2005
-- Sebelum pemekaran
Sumber : BPS, Kantor Statistik Sumbar

B. Keadaan Ekonomi

Berdasarkan laporan Kantor Statistik Daerah (BPS, 2007) Propinsi Sumatera

Barat, pertumbuhan ekonomi Sumatera Barat tahun 2006 mengalami kenaikan sekitar

5,7 %. Pertumbuhan ekonomi tahun 2007 diperkirakan lebih tinggi sekitar 6,2 %

dibandingkan pertumbuhan ekonomi tahun 2005 sekitar 5,73% dan tahun 2004 sekitar

5,37%. Dengan laju pertumbuhan sekitar 5,9 %, jumlah Produk Domestik Regional

(PDRB) menurut harga konstan tahun dasar 2000) mencapai Rp 30.949,95 milyar,
96

sedangkan pada tahun 2005 baru mencapai Rp 29.159,48 milyar dan tahun 2004

sebanyak Rp.27.578,14 milyar.

Perkembangan yang cukup mengembirakan ini terjadi akibat pertumbuhan 4

(empat) sektor dominan, seperti sektor pertanian, pengangkutan dan perdagangan,

hotel dan restoran. Pada tahun 2006 sektor pertanian memberi sumbangan terhadap

pembentukan PDRB Sumatera Barat sekitar 25,30%, sektor perdagangan, hotel dan

restoran sekitar 17,62%. sektor industri dan pengolahan sekitar 14,30% dan sektor

pengangkutan dan komunikasi sekitar 14,02%.

Apabila diperhatikan perkembangan ke empat sektor dominan tersebut, pada

tahun 2006 sektor pertanian naik sekitar 6,70%, sektor industri dan pengolahan naik

sekitar 4,0%, sektor perdagangan, hotel dan restoran naik sekitar 5,99% dan sektor

pengangkutan dan komunikasi naik sekitar 9,84%. Diantara ke empat sektor dominan

diatas, khusus sektor pengangkutan dan komunikasi sangat potesial dan relevan

apabila dikaitkan dengan topik pemahasan ini, karena indikator yang digunakan dalam

perhitungan PDRB adalah jumlah kendaraan bermotor.


97

Tabel 2 :
Produk Domestk Regionl Bruto Propinsi Sumatera Barat atas
Harga Konstan Tahun 2000, Menurut Lapangan Usaha
Tahun 2002-2006
( Dalam Rp. Juta )

No Lapangan Usaha 2002 2003 2004 2005 2006


1. Pertanian. 6.091.915,6 6.557.510,7 6.937.172,9 7.293.205,7 7.658.394,8
2. Pertambangan dan 884.878,7 894.245,3 923.379,1 951.882,6 980.826,8
penggalian
3. Industri pengolahan. 3.404.309,8 3.472.186,0 3.629..455,7 3.808.287,0 3.978.641,1

4. Listrik,gas,air bersih 271.084,9 284.294,0 301.070,7 338.722,9 368.981,7

5. Bangunan 1.194.839,2 1.278.358,4 1.375.769,3 1.440.337,6 1.544.889,6

6. Perdagangan,hotel dan 4.543.977,6 4.755.166,3 5.006.640,3 5.305.757,2 5.662.879,4


restoran
7. Pengangkutan dan 2.928.943,5 3.165.005,3 3.419.244,7 3.754.819,8 4.140.569,9
komunikasi.
8. Keuangan,persewaan,j 1.230.509,4 1.294.725,5 1.376.937,7 1.464.102,8 1.579.347,5
asa perusahaan
9. Jasa-jasa. 4.289.729,1 4.445.290,3 4.608.466,1 4.802.365,0 5.035.414,3
Jumlah 24.840.187,7 26.146.781,6 27.578.136,6 29.159.480,5 30.949.945,1
Sumber : Kantor Sensus dan Statistk Propinsi Sumatera Barat

Struktur perekonomian daerah dalam satu dekade terakhir masih didominasi

oleh tiga sektor utama yaitu sektor peranan sektor pertanian dalam tahun 2003 sebesar

24,18% dan mengalami peningkatan pada tahun 2004 menjadi 24,40%, sedangkan

dalam tahun 2005 mencapai 25,06%. Dari perkembangan tersebut menandakan sektor

pertanian semakin dominan dan masih tetap menjadi penggerak perekonomian untuk

beberapa tahun ke depan. Oleh sebab itu pembangunan sektor pertanian tahun 2007

tetap menjadi prioritas pembangunan dalam kerangka pengembangan perekonomian

daerah dan peningkatan pendapatan penduduk yang sebahagian besar masih

mengandalkan lapangan kerja pada sektor pertanian ini.

Sektor perdagangan, hotel dan restoran yang merupakan penyumbang kedua

terbesar dalam pembentukan PDRB daerah dengan kontribusi sebesar 18,79% dalam

tahun 2003 dan pada tahun 2004 mengalami penurunan menjadi 18,71%, selanjutnya

pada tahun 2005 juga mengalami penurunan menjadi 18,18%. Hal ini disebabkan
98

semakin menurunnya kontribusi sektor pertambangan dan penggalian serta sektor

industri pengolahan yang sangat mempengaruhi sektor perdagangan ini. Sedangkan

sektor jasa-jasa sebagai penyumbang ketiga dalam pembentukan PDRB juga

mengalami penurunan sejak tahun 2002 sehingga menjadi dibawah 17%, hal ini

berlangsung sampai dengan tahun 2004.

Pertumbuhan ekonomi daerah pada tahun 2005 sebesar 5,53% yang berarti

lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi yang dicapai pada tahun 2004 sebesar 5,46%.

Diharapkan perekonomian daerah terus membaik dengan pertumbuhan sebesar 6,00%

pada tahun 2006 dan pada tahun 2007 diharapkan lebih tinggi lagi yaitu sebesar

6,20%. Pertumbuhan ekonomi pada tahun 2005 dari sisi permintaan, didukung oleh

konsumsi masyarakat yang mengalami pertumbuhan sebesar 3,5% dan konsumsi

pemerintah sebesar 4,0%, sedangkan ekspor mengalami pertumbuhan yang cukup

tinggi yaitu sebesar 15,0%. Diharapkan ekspor ini terus mengalami peningkatan

sehingga dapat lebih mendorong gerak perekonomian daerah. Dari sisi penawaran,

sektor pertanian mengalami pertumbuhan sebesar 6,96% sementara sektor industri

pengolahan hanya mengalami pertumbuhan sebesar 3,56% yang berarti berada

dibawah sektor pertanian. Diharapkan untuk masa yang akan datang pertumbuhan

sektor industri dapat lebih tinggi dari sektor pertanian sehingga terjadi kegiatan

ekonomi yang memberikan nilai tambah bagi daerah. Untuk langkah-langkah yang

dapat meningkatkan industri pengolahan terutama yang berbasis pertanian akan terus

diupayakan, baik melalui pemberdayaan usaha yang sudah ada maupun dengan

mendorong investor mengembangkan industri pengolahan dimaksud.

Untuk merealisasikan pertumbuhan ekonomi daerah sebesar 5,9 % pada tahun

2006 dibutuhkan investasi sebesar Rp. 6.234 milyar menurut harga konstan tahun
99

2000, sedangkan untuk merealisasikan pertumbuhan sebesar 6,20 % pada tahun 2007

dibutuhkan investasi sebesar Rp. 7.104 milyar menurut harga konstan tahun 2000.

Investasi tersebut berasal dari pemerintah, masyarakat dan dunia usaha. Investasi

masyarakat dan dunia usaha akan berperan lebih besar dibandingkan investasi

pemerintah, untuk itu program kerja pemerintah akan lebih diarahkan kepada

penyiapan kerangka kebijakan dan peningkatan pelayanan serta menyediakan sarana

prasarana yang dapat mendorong aktivitas penanaman modal.

Dengan terjadinya peningkatan perekonomian daerah melalui berbagai

kebijakan dalam mencapai target pertumbuhan ekonomi telah terjadi peningkatan

diberbagai sektor, terutama pada sektor dominan yang diharapkan meningkat seperti

digambarlan diatas. Diharapkan peningkatan pertumbuhan ekonomi tersebut

membawa pengaruh terhadap penurunan jumlah penduduk miskin dan jumlah

pengangguran. Perkembangan kondisi perekonomian Sumatera Barat, dalam temuan

dan hasil wawancara dalam penelitian ini, termasuk peningkatan investasi daerah

sangat besar artinya terhadap efektifitas penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD),

khususnya penerimaan pajak daerah yang berasal dari Pajak Kendaraan Bermotor

(PKB) dan Bea balik Nama (BBN).

Di samping itu, kondisi sosial ekonomi masyarakat, dimana tingkat

kemiskinan dan pengangguran mempunyai efek tidak langsung kepada efektivitas

penerimaan daerah. Pada tahun 2005 berdasarkan hasil pendataan Susenas, 2006,

jumlah penduduk miskin di Propinsi Sumatera Barat tercatat sebanyak 1.079.241

orang atau sebanyak 233.825 Kepala Keluarga. Jumlah ini diperkirakan sebanyak

22,07% dari jumlah penduduk Sumatera Barat. Pada tahun 2006 jumlah ini

diperkirakan mengalami peningkatan, yaitu sekitar 30,0% dari jumlah penduduk tahun
100

2006. Peningkatan jumlah penduduk miskin dalam temuan penelitian sangat

mempengaruhi efektivitas pemasukan penerimaan yang berasal dari PAD, salah satu

diantanya adalah Penerimaan yang bersumber dari pajak daerah, khususnya Pajak

Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama (BBN). Namun dalam tahun 2007

dengan berbagai program penanggulangan kemiskinan diantara adalah

penanggulangan kemiskinan yang berbasis nagari, diharapkan angka kemiskinan

tahun 2007 menjadi 17,09%.

Demikian halnya dengan angka pengganguran terbuka, Jumlah pengangguran

terbuka di Propinsi Sumatera adalah cukup tinggi, dimana dari jumlah pencari kerja

sebanyak 2.026.950 orang diperkirakan tingkat pengangguran terbuka sekitar 16,53%,

sedeangkan pada tahun 2004 jumlah tersenbut diperkirakan akan terjadi penurunan,

yaitu sekitar 14,40% dan awal tahun berikutnya akan mengalami penurunan lagi

menjadi 13,10%.

Namun, masalah pengangguran bukan terletak kepada penanganan penurunan

tingkat pengangguran terbuka menjadi 13,10% tersebut, tetapi yang lebih penting dan

erat kaitannya dengan efektivitas pembayaran PKB dan BBN adalah tenaga yang

bekerja yang dikelompokan kedalam setengah penganggur. Berdsarkan data Kantor

Sensus dan Statistik Sumatera Barat, pengangguran tersebut adalah :

Kelompok orang yang bekerja dibawah jam kerja yang sudah ditentukan (Under –

Employment).

Kelompok orang yang bekerja tidak pada tempatnya dan tidak sesuai dengan latar

belakang serta keahliannya, sehingga bekerja tidak seperti yang diharapkan.

(Under - Utilized).
101

Bekerja tidak sepantasnya bekerja, seperti anak-anak, hubungan keluarga, teman dan

saudara serta bentuk KKN lainnya (Disquised Un-Employment).

Ketiga bentuk pengangguran ini jumlahnya cukup besar, Dalam Rencana Kerja

Pemerintah Daerah ( RKPD ) Propinsi Sumatera Barat Tahun 2007, pada tahun 2004

jumlah sekitar 44,0 % dan tahun 2005 sekitar 44,5 %. Penyebab tingginya angka

orang bekerja yang disebut setengah penganggur tersebut disebabkan rendah kualitas

sumberdaya manusia seperti pendidikan, kesehatan, gizi dan tekanan urbanisasi.

Kemudian secara alamiah kenaikan jumlah penduduk satu dekade sebelumnya

menjadi pencari dan menyebabkan tingginya jumlah pencari kerja, belum lagi

termasuk pertambahan kelompok pencari dari anak sekolah/mahasiswa yang

menamatkan pendidikan.

Kedua faktor penyebab tenaga kerja setengah penganggur tersebut akan

mempengaruhi efektivitas pelayanan sumber daya bagi pusat-pusat pelayanan, seperti

pada kasus pelayanan publik pembayaran pembayaran melalui calo dalam pengurusan

pajak daerah, perizinan, adanya parkir liar yang mengganggu tata tertib pelayanan.

C. Efektivitas Pajak Daerah

Dalam membahas efektivitas pajak daerah terhadap penerimaan daerah,

penulis menguraikan kemampuan daerah dalam pemungutan pajak daerah, khususnya

penerimaan daerah yang bersumber dari Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea

Balik Nama (BBN). Untuk menjelaskan efektivitas pemungutan pajak daerah ini,

kemampuan untuk merealisasikan target yang telah ditetapkan di awal tahun anggaran

berjalan dengan realisasi pemungutan yang dilakukan pada tahun bersangkutan.


102

Kemampuan daerah dalam memajukan perekonomian daerahnya terlihat dari

perkembangan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang positif disisi penerimaan dan

peranannya dari tahun ketahun yang semakin meningkat. Pendapatan Asli Daerah

merupakan salah satu sumber utama keuangan daerah untuk membiayai biaya

administrasi umum dan biaya operasi pemeliharaan disamping penerimaan lainnya

berupa bagi hasil pajak/bukan pajak, bantuan pembangunan serta pinjaman daerah.

Keuangan daerah merupakan salah satu faktor terpenting dalam menganalisa potensi

dan kebutuhan daerah. Perkembangan Pendapatan Asli Daerah Sumatera Barat dari

tahun ketahun terus mengalami peningkatan rata-rata 32,69% pertahun, akan tetapi

persentase pertumbuhannya berfluktuatif.

Tabel 3
Pertumbuhan PAD Propinsi Sumatera Barat
Selama Tahun Anggaran 2002 - 2006
(dalam Rp. 000)
Tahun Realisasi Kenaikan
No.
Anggaran PAD Rp %
1 2002 213.284.546 72.521.346 34,00
2 2003 281.450.709 68.166.163 31,96
3 2004 375.074.888 93.624.179 33,26
4 2005 406.649.236 31.574.348 8,42
5 2006 457.256.065 50.606.829 12,44
Sumber : Dinas Pendapatan Prop. Sumbar Tahun 2006.
Besarnya kontribusi Pendapatan Asli Daerah terhadap Anggaran Pendapatan

Belanja Daerah (APBD) menunjukkan tingkat ketergantungan daerah terhadap

Pemerintah Pusat. Kontribusi PAD Sumatera Barat Tahun Anggaran 2002 sampai

dengan 2006 dapat dilihat pada tabel IV.4 berikut :


103

Tabel 4
Kontribusi PAD terhadap APBD Propinsi Sumbar
Dalam Tahun Anggaran 2002 – 2006
(Dalam Rp. ribuan)

Tahun Realisasi
%
Anggaran PAD APBD
2002 213.284.546 561.809.383 37,96

2003 281.450.709 704.409.383 39,96

2004 375.074.888 724.431.755 51,78

2005 406.649.236 738.641.236 55.50

2006 457.256.065 985.149.165 46,41


Sumber : - Dinas Pendapatan Prop. Sumbar.Tahun 2006.
Dari data di atas terlihat bahwa kontribusi Pendapatan Asli Daerah (PAD)

mengalam fluktuasi, namun apapabila dilihat perkembangan selama 5 tahun terakhir

jumlahnya menunjukan peningkatan. Pada tahun 2006, konstribusi PAD terhadap

APBD Sumatera adalah sebanyak 46,41%. Angka ini sedikit lebih rendah

dibandingkan tahun 2005 sekitar 55,50 %.

Menurut undang-undang nomor 34 tahun 2000 jenis-jenis pajak daerah

propinsi meliputi :

Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan kendaraan di atas air

Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) dan kendaraan di atas air

Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB)

Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Permukaan

Kontribusi PKB dan BBN KB terhadap PAD dan APBD Propinsi Sumatera

Barat Tahun Anggaran 2002-2006 rata-rata sekitar 61, 12 % sampai 80,57 %,

sedangkan dibandingkan dengan jumlah PDRB Propinsi Sumatera Barat adalah rata-

rata sekitar 23,20 % sampai 37,40 %. Rendahnya konstribusi perimaan ini sebagai
104

sumber PAD utama adalah disebabkan penerimaan daerah yang terbesar adalah

berasal dari dana perimbangan keuangan yang bersumber dari APBN seperti DAU,

DBH dari pajak dan bukan pajak serta DAK.

Untuk mengetahui kontribusi pajak daerah terhadap penerimaan asli daerah

dan penerimaan total daerah (APBD) di Propinsi Sumatera Barat selama tahun 2002

sampai dengan tahun 2006 dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 5
Kontribusi PKB dan BBN KB terhadap PAD dan APBD
Propinsi Sumatera Barat Tahun Anggaran 2002-2006

Realisasi Kontr.
Kontr. thd
PAD thd
Target PKB APBD
Tahun ( Rp.000) % ( Rp. 000 ) PAD
dan BBNKB (%)
(%)
2002 100.500.000 130.356.216 129,7 213.284.546 61,12 23,20
2003 119.800.000 174.365.197 1 281.450.709 61,95 24,75
2004 187.975.000 244.404.980 145,5 375.074.888 65,16 33,74
2005 272.500.000 294.763.945 5 406.649.236 72,48 39,90
2006 327.000.000 368.454.931 130,0 457.256.065 80,57 37,40
2
108.1
7
112,6
8
Sumber : Dinas Pendapatan Daerah Prop. Sumbar.Tahun 2006.

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa kontribusi pajak daerah (PKB dan

BBNKB) Propinsi Sumatera Barat terhadap Pendapatan Asli Daerah setiap tahunnya

masih berluktuatif dengan rata – rata kontribusinya selama lima tahun terakhir

sebesar 61,12%. Sedangkan kontribusinya terhadap APBD adalah sebesar 23,20%

sampai dengan 37,40%.

Pada tahun 2003 konstribusinya terhadap PAD adalah sekitar 61,95%,

sedangkan pada tahun 2006 adalah sekitar 80,57%. Sedangkan konstribusinya


105

terhadap APBD, pada tahun 2003 adalah sekitar 23,20% dan pada tahun 2006 naik

menjadi 37,40%. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 2005 tentang

Pedoman dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal, dimana fakta yang dikemukakan

Tabel 6 terlihat bahwa realisasi telah melampaui target yang ditetapkan. Dilihat dari

segi penerimaan daerah pencapaian target telah kinerja memuaskan.

Secara terinci kinerja dari aspek penerimaan tersebut dapat dilihat tabel

berikut:

Tabel 6
Target dan Realisasi PKB dan BBNKB
Selama tahun anggaran 2002 s/d 2006
(Dalam Rp. 000)
Bea Balik Nama
N Pajak Kendaraan Bermotor
Tahun % KendaraanBermotor %
o
Target Realisasi Target Realisasi

1. 2002 48.000.000 59.463.557 123,88 52.500.000 70.892.658 135,03


2. 2003 56.300.000 74.869.162 132,98 63.500.000 99.496.034 156,69
3. 2004 80.575.000 95.245.946 118,21 107.400.000 149.159.033 138,88
4. 2005 106.000.000 125.418.588 118,32 166.500.000 169.345.358 101,70
5. 2006 127.200.000 192.669.237 151.469 199.800.000 264.586.828 132,43
Sumber : Dinas Pendapatan Daerah Prop.Sumbar 2006.

D. Hasil Penelitian dan Analisis

Keadaan Personil Kantor Bersama Samsat

Berdasarkan situasi kantor per akhir Januari 2006, jumlah personil yang

terdapat di Kantor Bersama Samsat Sumatera Barat adalah sebagai berikut :

Dit. Lantas Polda : 30 orang

Dispenda : 33 orang

Jasa Raharja : 2 orang

Jumlah : 65 orang
106

Distribusi petugas yang terdapat pada setiap pokja/loket yang langsung

berhubungan dengan masyarakat wajib pajak dapat dilihat pada tabel 7 berikut :

Tabel 7
Distribusi Jumlah Petugas Samsat
Pada Setiap Loket Pelayanan

Pokja/ Loket Polda Dispenda Jasa Raharja Jumlah


Loket I 3 2 0 5
Loket II 4 0 0 4
Loket III 6 9 1 16
Loket IV 0 3 1 4
Loket V 2 1 1 4
Jumlah 15 15 3 33
Sumber : Ditlantas Polda Sumatera Barat.

Adapun jumlah wajib pajak yang dilayani rata-rata per hari adalah

sebagaimana dapat dilihat pada tabel 8.

Tabel 8
Jumlah Rata-rata Wajib Pajak yang Dilayani Per hari

Pokja/ Loket Jumlah WP


Loket I 650 orang
Loket II 200 orang
Loket III 400 orang
Loket IV 650 orang
Loket V 200 orang
Sumber : Ditlantas Polda Sumatera Barat.

Rata-rata setiap loket melayani 420 orang wajib pajak.

Dari tabel 8 terlihat bahwa jumlah wajib pajak yang dilayani pada setiap loket

tidak sama. Rata-rata wajib pajak yang datang setiap hari ke Loket I lebih banyak jika

dibandingkan dengan Loket II, yang jumlahnya paling sedikit (rata-rata 200 orang

wajib pajak perhari). Jumlah wajib pajak yang dilayani memang dapat berbeda, karena
107

sifat pekerjaan di setiap loket mempunyai spesifikasi yang berbeda. Menurut pedoman

tata laksana Sistim Administrasi Manunggal Dibawah Satu Atas (Samsat), tidak

semua kendaraan bermotor wajib melakukan cek phisik (khususnya untuk

mengesahkan STNK setiap tahun), walaupun dalam prakteknya semua kendaraan

bermotor diharuskan untuk melakukan cek phisik, tetapi yang terdaftar hanya yang

sesuai dengan ketentuan. Semua kendaraan bermotor yang hendak membayar PKB,

BBN-KB dan SWDKLLJ wajib mengambil formulir di Loket I. Umumnya wajib

pajak setelah mengambil formulir di Loket I, melanjutkan cek phisik kendaraan

bermotor di Loket II, lalu melakukan pendaftaran di Loket III. Setelah selesai di Loket

III kebanyakan wajib pajak pergi meninggalkan Kantor Samsat, karena untuk

membayar PKB, BBN-KB dan SWDKLLJ, petugas memerlukan waktu untuk

menghitung besarnya PKB, di samping adanya wajib pajak yang belum

mempersiapkan dana untuk melakukan pembayaran pada saat itu. Kebanyakan wajib

pajak baru datang kembali ke Kantor Bersama Samsat pada keesokan harinya.

Masyarakat yang hendak membayar PKB atau memperpanjang STNK diperkenankan

untuk melakukannya sebulan sebelum tanggal jatuh tempo.

Data Primer

Data primer diperoleh dari wawancara dan kuesioner, dijelaskan sebagai

berikut :

Terhadap Karakteristik Responden

Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh data sebagaimana dijelaskan

berikut ini :

Pada tabel 9 dapat dilihat profil responden berdasarkan pekerjaan. Umumnya

responden bekerja sebagai wiraswastawan, yaitu sebanyak 19 responden atau sebesar


108

45,24%, sebagai pegawai sebanyak 15 responden atau 35,71% dan sebanyak 8 orang

atau 19,05% memiliki pekerjaan selain wiraswasta dan pegawai.

Tabel 9
Profil Responden Berdasarkan Pekerjaan
Responden
Pekerjaan Jumlah Sampel Prosentase
(n) (%)
Wiraswasta 19 45,24
Pegawai 15 35,71
Pengemudi 5 11,91
Lainnya 3 7,14
Jumlah 42 100

Berdasarkan umur responden, usia 15-30 tahun sebanyak 6 responden atau

14,29%, umur 31-40 tahun sebanyak 17 responden atau 40,48% dan yang berumur 41-

50 tahun sebanyak 15 responden atau 35,71%. Sisanya berumur di atas 51 tahun, yaitu

4 responden atau 9,52%. Variasi umur wajib pajak yang menjadi responden dianggap

bisa mewakili seluruh usia wajib pajak. Profil umur responden dapat dilihat pada

tabel 10.

Tabel 10.
Profil Responden Berdasarkan Umur
Responden
Umur (Tahun) Jumlah Sampel Prosentase
(n) (%)
15 – 30 6 14,29
31 – 40 17 40,48
41 – 50 15 35,71
51 ke atas 4 9,52
Jumlah 42 100
Umumnya responden mempunyai pendidikan SLTA yaitu sebanyak 18

responden atau 42,86%, Perguruan Tinggai (PT) 14 responden atau 33,33%.


109

Responden yang berpendidikan dasar (SD dan SLTP) ada 8 responden atau 19,05%.

Berarti tingkat pendidikan responden cukup baik. Profil responden berdasarkan

tingkat pendidikan dapat dilihat pada tabel 11.

Tabel 11.
Profil Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan

Responden
Pendidikan Jumlah Sampel Prosentase
(n) (%)
SD 2 4,76
SLTP 6 14,29
SLTA 18 42,86
PT 14 33,33
Lainnya 2 4,76
Jumlah 42 100

Hasil penelitian yang diperoleh dari kuesioner yang diedarkan dengan

menanyakan waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan urusan pada setiap loket

pelayanan, mulai dari Loket I hingga Loket V, dapat diuraikan berikut ini.

Loket I (Penyediaan Formulir dan Penerangan)

Hasil angket yang disebarkan kepada 42 responden wajib pajak yang

berurusan ke Samsat mengenai waktu yang digunakan untuk pelayanan pada Loket I

adalah sebagai mana yang dapat dilihat pada tabel 12.

Dari sebaran kuesioner diperoleh hasil 29 orang atau 69,05% responden

menjawab waktu yang diperlukan di Loket I kurang dari 15 menit, 12 orang atau

28,57% responden mengatakan waktu yang diperluken antara 15 menit – 30 menit dan

1 orang atau 2,38% responden mengatakan lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 60

menit.
110

Tabel 12.
Profil Responden Berdasarkan Waktu
Yang Digunakan Pada Loket I

Responden
Waktu Jumlah Sampel Prosentase
(n) (%)
Kurang dari 15 menit 29 69,05
15 menit – 30 menit 12 28,57
31 menit – 60 menit 1 2,38
Lebih dari 60 menit 0 0
Jumlah 42 100

Rata-rata seorang wajib pajak menghabiskan waktu 12,68 menit di Loket I

(lihat tabel 13).

Loket II (Cek Phisik Kendaraan Bermotor)

Loket II melayani pekerjaan cek phisik kendaraan bermotor meliputi

pengecekan nomor rangka, nomor mesin, warna, merek serta tahun pembuatan

kendaraan bermotor.

Hasil yang diperoleh dari sebaran kuesioner adalah sebagaimana yang dapat

dilihat pada tabel 13.

Dari jawaban kuesioner yang diberikan kepada 42 responden wajib pajak

menunjukkan bahwa banyak waktu yang digunakan pada Loket II, yang dimulai dari

menyerahkan formulir cek phisik, lalu petugas lapangan melaksanakan tugasnya

dengan menggesek nomor rangka dan nomor mesin kendaraan bermotor, sampai

pengesahan yang dilakukan oleh petugas yang berwenang yaitu Perwira Urusan Cek
111

Phisik menunjukkan 18 orang atau 42,86% responden mengatakan kurang dari 15

menit, 21 orang atau 50% responden mengatakan antara 15 menit – 30 menit.

Sedangkan 3 orang atau 7,14% responden mengatakan antara 31 menit – 60 menit dan

yang mengatakan lebih dari 60 menit nihil.

Tabel 13.
Profil Responden Berdasarkan Waktu
Yang Digunakan Pada Loket II

Responden
Waktu Jumlah Sampel Prosentase
(n) (%)
Kurang dari 15 menit 18 42,86
15 menit – 30 menit 21 50
31 menit – 60 menit 3 7,14
Lebih dari 60 menit 0 0
Jumlah 42 100

Rata-rata seorang wajib pajak menghabiskan waktu 17,68 menit di Loket II

(lihat tabel 13).

Loket III (Pendaftaran, Penelitian dan Penetapan)

Pada Loket III dilaksanakan pendaftaran, penelitian berkas dan hasil cek

phisik, merekam data STNK dan melakukan order TNKB (Tanda Nomor Kendaraan

Bermotor), selanjutnya menyerahkan notice, KTP, BPKB atau identitas lainnya, di

mana kegiatan ini dilakukan oleh petugas Polri. Sedangkan kegiatan yang dilakukan

oleh Dispenda meliputi penelitian pajak, penetapan PKB dan print notice untuk

diteruskan ke loket berikutnya. Selanjutnya kegiatan Jasa Raharja menetapkan

SWDKLLJ untuk asuransi kendaraan bermotor. Dari hasil sebaran kuesioner yang

dilakukan, diperoleh komposisi sebagaimana dapat dilihat pada tabel 14.


112

Tabel 14.
Profil Responden Berdasarkan Waktu
Yang Digunakan Pada Loket III

Responden
Waktu Jumlah Sampel Prosentase
(n) (%)
Kurang dari 15 menit 8 19,05
15 menit – 30 menit 27 64,29
31 menit – 60 menit 5 11,90
Lebih dari 60 menit 2 4,76
Jumlah 42 100

Komposisi hasil penelitian yang diperoleh adalah 27 orang atau 64,29%

responden mengatakan lebih dari 15 menit tetapi kurang dari 30 menit, 8 orang atau

19,05% responden mengatakan kurang dari 15 menit, 5 orang atau 11,90% responden

mengatakan lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 60 menit dan 2 orang atau 4,76%

responden yang mengatakan lebih dari 60 menit.

Rata-rata pelayanan seorang wajib pajak pada Loket III adalah 24,11 menit

(lihat tabel 13).

Loket IV (Pemeriksaan, Pembayaran PKB, BBN-KB, Administrasi STNK,

TNKB dan SWDKLLJ)

Pada Loket IV, dilakukan pembayaran, validasi dan menyerahkan notice 1 dan

2 yang dilakukan oleh Kas Daerah (Dispenda). Hasil sebaran kuesioner pada Loket

IV, di dalam penggunaan waktu adalah 24 orang atau 57,14% responden mengatakan
113

diperlukan waktu kurang dari 15 menit, 14 orang atau 33,33% responden mengatakan

lebih dari 15 menit tetapi tidak lebih dari 30 menit, 4 orang atau 9,53% responden

memerlukan waktu 31 menit – 60 menit. Untuk lengkapnya dapat dilihat pada

tabel 15.

Rata-rata seorang wajib pajak menghabiskan waktu 16,07 menit untuk

berurusan di Loket IV (lihat tabel 15).

Tabel 15.
Profil Responden Berdasarkan Waktu
Yang Digunakan Pada Loket IV

Responden
Waktu Jumlah Sampel Prosentase
(n) (%)
Kurang dari 15 menit 24 57,4
15 menit – 30 menit 14 33,33
31 menit – 60 menit 4 9,53
Lebih dari 60 menit 0 0
Jumlah 42 100

Loket V (Pengesahan dan Penyerahan)

Loket V bertugas memberikan pelayanan pengesahan dan penyerahan berkas

yang dikirim dari Loket IV. Pada Loket V petugas yang melayani terdiri dari instansi

Polri, Dispenda dan Jasa Raharja, dengan melakukan kegiatan untuk pekerjaan

verifikasi, melakukan pencetakan STNK, menerbitkan Penning PKB dan validasi

dengan mencetak KTL (PKB dan SWDKLLJ). Pekerjaan Polri mencetak STNK dan

validasi, sedangkan Dispenda dan Jasa Raharja menerbitkan Penning PKB dan

mencetak KTL. Dari kuesioner yang diisi responden hasilnya dapat dilihat pada

tabel 16.
114

Komposisi yang diperoleh dari hasil penelitian adalah 8 orang atau 19,05%

responden mengatakan kurang dari 15 menit, 25 orang atau 59,52% responden

mengatakan diperlukan waktu antara 15 menit sampai dengan 30 menit, 7 orang atau

16,67% responden mengatakan diperlukan waktu lebih dari 30 menit tetapi kurang

dari 60 menit, dan 2 orang atau 4,76% responden mengatakan lebih dari 60 menit.

Tabel 16.
Profil Responden Berdasarkan Waktu
Yang Digunakan Pada Loket V
Responden
Waktu Jumlah Sampel Prosentase
(n) (%)
Kurang dari 15 menit 8 19,05
15 menit – 30 menit 25 59,52
31 menit – 60 menit 7 16,67
Lebih dari 60 menit 2 4,76
Jumlah 42 100
Rata-rata pelayanan untuk seorang wajib pajak di Loket V adalah 25,18 menit (lihat

tabel 17).

Penilaian Terhadap Kriteria Pelayanan

Penilaian terhadap 8 (delapan) kriteria pelayanan adalah untuk mengetahui

kepuasan wajib pajak terhadap pelayanan yang diberikan oleh petugas Samsat. Hasil

penilaian terhadap kriteria ini dapat dilihat pada tabel 18 sampai dengan tabel 23.

Dari tabel 8 dapat diketahui, pada umumnya yaitu 57,14% responden atau 24

orang mengatakan pelayanan mudah, bahkan 28,57% responden atau 12 orang

mengatakan pelayanan sangat mudah. Sebesar 11,91% responden atau 5 orang

mengatakan pelayanan tidak mudah dan hanya 2,38% responden atau 1 orang

mengatakan pengurusan sangat tidak mudah atau sulit.


115

Untuk efisiensi dan kesederhanaan dalam pelayanan, prosesnya

diselenggarakan dengan mudah, cepat, tidak berbelit-belit dan dapat dipahami serta

efisien. Tabel 19 memperlihatkan hasil sebaran kuesioner yang telah diolah.

Sebanyak 14,29 % responden atau 6 orang mengatakan bahwa pembuatan

STNK dilakukan dengan sangat efisien, 28,57% responden atau 12 orang mengatakan

efisien. Sedangkan yang menjawab tidak efisien ada 47,62 % responden atau 20 orang

dan 9,52% responden atau 4 orang tidak menjawab atau tidak melingkari salah satu

nomor pilihan yang telah disediakan.

Tabel 18.
Profil Responden Berdasarkan Kemudahan
Kejelasan Dalam Pelayanan

Responden
Kategori Jumlah Sampel Prosentase
(n) (%)
Sangat Mudah 12 28,57
Mudah 24 57,14
Tidak Mudah 5 11,91
Sangat Tidak Mudah / Sulit 1 2,38
Jumlah 42 100

Tabel 19.
Profil Responden Berdasarkan Efisiensi dan
Kesederhanaan Dalam Pembuatan STNK

Responden
Kategori
Jumlah Sampel Prosentase
(n) (%)
Sangat Efisien 6 14,29
Efisien 12 28,57
Tidak Efisien 20 47,62
Tidak Menjawab 4 9,52
Jumlah 42 100
116

Mengenai keamanan dan kenyamanan, baik dari segi dokumen maupun

lingkungan dan dalam pemerosesan berkas wajib pajak, jawaban responden dapat

dilihat pada tabel 20. Dari tabel 20 tersebut terlihat 23,81 % responden atau 10 orang

menjawab sangat aman, 59,52 % responden atau 25 orang mengatakan aman.

Sedangkan yang menjawab tidak aman ada 4,76 % responden atau 2 orang dan 11,91

% responden atau 5 orang rnemilih tidak menjawab.

Tabel 20
Profil Responden Berdasarkan Keamanan dan
Kenyamanan Selama Penyelesaian STNK

Responden
Kategori Jumlah Sampel Prosentase
(n) (%)
Sangat Aman 10 23,81
Aman 25 59,52
Tidak Aman 2 4,76
Tidak Menjawab 5 11,91
Jumlah 42 100

Sebaran responden berdasarkan rasa keadilan dalam pelayanan yang diberikan

oleh petugas Samsat sebagaimana yang dapat dilihat pada tabel 21 adalah, 23,81%

responden atau 10 orang menjawab sangat adil, 54,76 % responden atau 23 orang

mengatakan adil. Sedangkan responden yang mengatakan tidak adil ada 19,05 %

responden atau 8 orang dan 2,38 % responden atau 1 orang mengatakan sangat tidak

adil.

Dari hasil kuesioner terlihat bahwa tarnyata petugas di dalam memberikan

pelayanan tidak membeda-bedakan antara calo dan yang bukan ca1o.

Mengenai ketersediaan prasarana, sarana dan fasilitas yang ada dapat dilihat,

8,43% responden atau 9 orang menjawab bahwa prasarana, sarana dan fasilitas yang

tersedia sangat memadai, 61,90% responden 26 orang mengatakan prasarana, sarana


117

dan fasilitas yang ada cukup memadai, sedangkan 14,29 % responden atau 6 orang

mengatakan kurang memadai dan 2,38 % responden atau 1 orang mengatakan tidak

memadai. Selengkapnya dapat dilihat pada label 22.

Tabel 21
Profil Responden Berdasarkan Keadlan
Dalam Pelayanan yang Diberikan oleh Petugas Samsat

Responden
Kategori Jumlah Sampel Prosentase
(n) (%)
Sangat Adil 10 23,81
Adil 23 54,76
Tidak Adil 8 19,05
Sangat Tidak Adil 1 2,38
Jumlah 42 100

Tabel 22
Profil Responden Berdasarkan Prasarana
Sarana dan Fasilitas yang Tersedia

Responden
Kategori Jumlah Sampel Prosentase
(n) (%)
Sangat Memadai 9 21,43
Cukup Memadai 26 61,90
Kukrang Memadai 6 14,29
Tidak Memadai 1 2,38
Jumlah 42 100

Prasarana, sarana serta fasilitas yang tersedia, misalnya peralatan kerja,

ruangan yang tersedia untuk pelayanan, fasilitas umum seperti mushalla, toilet, kantin

dan lain-lain.

Berdasarkan pelayanan secara keseiuruhan yang diberikan oleh petugas,

11,91% responden atau 5 orang mengatakan sangat balk, 30,95% responden atau 13

orang mengatakan cukup baik, dan 52,38% responden atau 22 orang mengatakan
118

kurang baik dan 4,76% responden atau 2 orang mengatakan tidak baik. Hasil sebaran

kuesioner mengenai kualitas pelayanan yang diberikan oleh petugas secara

keseluruhan dapat dilihat pada tabel 23.

Tabel 23
Profil Responden Berdasarkan Kualitas Pelayanan
Secara Keseluruhan

Responden
Kategori Jumlah Sampel Prosentase
(n) (%)
Sangat Baik 5 11,91
Cukup Baik 13 30,95
Kurang Baik 22 52,38
Tidak Baik 2 4,76
Jumlah 42 100

Terhadap Identitas Pribadi Responden

Umumnya responden masih berusia niuda yaitu 31-40 tahun (40,48%) dan 41-

50 tahun (35,71%) dengan tingkat pendidikan cukup dominan SLTA (42,86 %) dan

Perguruan Tinggi (33,33 %). Pekerjaan responden sebagian besar adalah Wiraswasta

(45,24 %) dan Pegawai (35,71 %).

Ketersediaan Prasana, Sarana dan Fasilitas

Ketersediaan prasarana, sarana dan fasilitas yang ada di Kantor Bersama

Samsat Sumatera Barat di Padang, secara umum cukup baik. Prasarana, sarana dan

fasilitas yang disediakan diantaranya ruang tunggu dan kursi tamu yang mencukupi,

tempat parkir yang cukup luas, peralatan kerja seperti komputer dan ruangan kerja

petugas yang memadai, tersedianya mushalla, telepon umum dan warung atau kantin.
119

Menurut Moenir (1998), sarana pelayanan adalah segala jenis peralatan peralatan,

perlengkapan kerja dan fasilitas lain yang berfungsi sebagai alat utama atau

pendukung di dalam pelaksanaan pekerjaan, dan juga berfungsi sosial dalam rangka

memenuhi kebutuhan orang-orang yang sedang berhubungan dengan orang kerja.

Bila dilakukan analisis untuk melihat kaitan antara ketersediaan prasarana,

sarana dan fasilitas di Kantor Bersama Samsat dengan kepuasan dalam pelayanan,

maka akan diperoleh hubungan antara dua variabel dengan nilai yang cukup baik,

yang berarti bahwa kaitan yang sangat nyata antara ketersediaan prasarana, sarana dan

fasifitas dengan kepuasan pelayanan. Hal ini menunjukkan bahwa semakin baik

pelayanan dan ketersediaan prasarana, sarana dan fasilitas yang disediakan di kantor

tersebut, maka akan semakin besar pula kepuasan yang dirasakan oleh masyarakat

pemohon STNK, sehingga pelayanan satu hari selesai (one day service) diharapkan

dapat dilaksanakan atau diwujudkan. Sesuai dengan apa yang dikatakan Moenir

(1998), bahwa salah satu fungsi dari sarana pelayanan adalah menimbulkan perasaan

puas dan nyaman pada orang yang berkepentingan, sehingga dapat mengurangi sifat

emosional mereka yang berlebihan.

E. Mekanisme Pelayanan Kantor Bersama SAMSAT

Secara kelembagaan Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) pelayanan

pendapatan daerah berada dibawah Dinas Pendapatan Daerah Propinsi Sumatera Barat

yang ditetapkan melalui Peraturan Daerah Nomor : 5 Tahun 2001 tanggal, 9 Mei

2001 tentang Kedudukan, Tugas Pokok dan Fungsi, dan Susunan Organisasi Dinas

Pendapatan Daerah Sumatera Barat.


120

Pada UPTD Pelayanan Pendapatan Daerah mempunyai tugas pokok

melaksanakan pemungutan pendapatan daerah sesuai dengan bidang teknisnya. Dalam

pelaksanaan operasional mempunyai fungsi :

a. Melakukan pendaftaran dan penetapan, penagihan dan pelaporan

pendapatan daerah.

b. Melakukan penatausahaan pemungutan pendapatan daerah.

c. Memberikan pelayanan kepada masyarakat.

Pelaksanaan pelayanan terhadap PKB dan BBN-KB yang dilkelola pada

UPTD dilaksanakan melalui Simtim Administrasi Manunggal Dibawah Satu Atap

yang dikenal dikenal dengan SAMSAT.

Sebelum adanya Samsat pembayaran PKB, BBN-KB dan SWDKLLJ maupun

pengurusan STNK, dilakukan di tempat masing-masing instansi, yang sangat

melelahkan, membebani dan tidak efisien bagi masyarakat. Dengan adanya Perda No.

3 Tahun 1973 tentang Dinas Pendapatan Daerah pengurusan PKB dan BBN-KB

dilaksanakan oleh Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Sumatera Barat yang dipusatkan

di Padang, STNK oleh Ditlantas Polda Sumatera Barat dan Asuransi (SWDKLLJ)

oleh PT. Jasa Raharja (Persero) Cabang Sumatera Barat.

Dengan demikian, sebelum adanya SAMSAT pembayaran PKB, BBN-KB,

SWDKLLJ serta pengurusan STNK melibatkan 3 (tiga) instansi yang terpisah yaitu

Dispenda, Ditlantas Polda, dan PT. Jasa Raharja. Karena masing-masing instansi

berada di lokasi yang berjauhan menyebabkan masyarakat sangat terbebani, karena

memerlukan waktu yang lama, dan biaya yang relatif besar untuk mengurus PKB,

BBN-KB, SWDKLLJ serta STNK. Masyarakat yang mengurus atau membayar pajak
121

atas pemilihan atau penguasaan kendaraan bermotor harus dan pergi ke Padang untuk

mengunjungi ketiga instansi tersebut di lokasi yang berjauhan.

Pengurusan dan pembayaran pajak berkenaan dengan pemilikan dan

penguasaan kendaraan bermotor pada waktu itu bisa menghabiskan waktu sekitar 10

(sepuluh) hari kerja. Masyarakat pemilik kendaraan bermotor melihat lebih penting

membayar STNK dan plat nomor polisi kendaraan bermotor dari pada membayar PKB

dan SWDKLLJ, karena yang selalu melakukan razia kendaraan bermotor di jalan raya

hanya Ditlantas Polda Sumatera Barat. Akibat pembayaran yang terpisah-pisah jumlah

penerimaan dari pemilikan atau penguasaan kendaraan bermotor sangat rendah.

Melihat kerepotan yang dialami oleh masyarakat dan rendahnya penerimaan

pembayaran atas pemilikan atau penguasaan kendaraan bermotor, pada tahun 1976

diadakan instruksi bersama antara Menteri Dalam Negeri, Menteri Keuangan dan

Menteri Pertahanan dan Keamanan, tentang pembentukan Samsat. Dimana ketiga

instansi yang terkait dengan pembayaran PKB, BBN-KB, SWDKLLJ maupun

pengurusan STNK bernaung di dalam satu kantor atau satu atap, sehingga sangat

memudahkan bagi masyarakat dan dapat meningkatkan penerimaan. Di dalam Samsat

ketiga instansi tetap melakukan tugas masing-masing seperti sebelumnya.

Jadi Samsat bukanlah suatu institusi atau organisasi baru. Hanya pekerjaan

yang tadinya dilakukan di tempat atau di kantor masing-masing, kini bernaung dalam

satu atap atau satu kantor, sehingga masyarakat hanya cukup datang kesatu tempat.

Dengan adanya Samsat, pada waktu itu pengurusan PKB atau BBN-KB bisa

dipersingkat menjadi sekitar 6 (enam) hari kerja. Masing lamanya waktu yang

diperlukan karena pembayaran PKB maupun BBN-KB untuk Provinsi Sumatera Barat

masih dipusatkan di Kota Padang.


122

Selanjutnya, untuk lebih mempermudah masyarakat di daerah, dibentuk

cabang-cabang Samsat sehingga masyarakat tidak perlu lagi harus datang ke Padang.

Jangka waktu pengurusan PKB, BBN-KB, SWDKLLJ maupun pengurusan STNK

bisa ditekan menjadi 2-3 hari kerja.

Dalam era otonomi daerah dimana tujuan penyelenggaraan pemerintah daerah

adalah memberikan pelayanan prima kepada masyarakat, maka pelayanan pada

Samsat untuk membayar PKB, BBN-KB, SWDKLLJ dan atau perpanjangan STNK

dilaksanakan dengan motto ”one day service”. Artinya dalam pengurusan atau

pembayaran PKB, BBN-KB dan SWDKLLJ diharapkan bisa diselesaikan dalam 1

(satu) hari kerja.

Maksud dilaksanakan one day servises adalah untuk peningkatan efisiensi dan

efektivitas pelayanan dalam pembayaran PKB dan BBN-KB karena :

- Menghabiskan banyak waktu dan biaya karena pembayaran atau

pengurusannya dilakukan di masing-masing instansi yang letaknya berjauhan

- Biaya pengurusan ( social cost ) yang dikeluarkan masyarakat cukup besar.

- Penerimaan rendah, karena adakalanya masyarakat hanya membayar di satu

instansi sesuai dengan kepentingannya.

Dengan dilaksanakan one day services masyakat merasa diuntungkan karena :

- Sangat meringankan masyarakat dari sisi waktu dan biaya pengurusan karena

pembayarannya dilakukan di satu tempat atau kantor.

- Di tiap-tiap kabupaten dan kota dibentuk cabang Samsat sehingga sangat

membantu masyarakat.

- Penerimaan PKB, BBN-KB dan SWDKLLJ dilakukan sekaligus atau

bersamaan.
123

- Prosedur pelayanan pada Kantor Bersama SAMSAT pada dasarnya dilakukan

melalui kelompok kerja (pokja) atau loket, yang terbagi atas 3 (tiga) golongan :

Golongan I, merupakan pendaftaran Surat Tanda Coba Kendaraan (STCK), dilayani

melalui 3 (tiga) pokja atau loket pelayanan, yaitu :

Pokja I/Loket I, melayani penyediaan formulir, penerangan KTL (PKB dan

SWDKLLJ)

Pokja II/Loket II, melayani pendaftaran, penelitian, registrasi dan penyerahan.

Pokja III/Loket III, melayani pengarsipan.

Golongan II, meliputi pendaftaran kendaraan bermotor baru, kendaraan bermotor

tukar identitas pemilik dan atau kendaraan bermotor, kendaraan bermotor khusus,

kendaraan bermotor setelah 5 tahun, dan kendaraan bermotor pindah keluarga

daerah. Golongan ini dilakukan melalui 6 (enam) pokja/loket pelayanan, yaitu :

Pokja I/Loket I, melayani penyediaan formulir dan penerangan.

Pokja II/Loket II, melayani cek phisik kendaraan bermotor.

Pokja III/Loket III, melayani pendaftaran, penelitian dan penetapan.

Pokja IV/Loket IV, melayani penerimaan pembayaran PKB, BBN-KB, biaya

administrasi STNK, TNKB dan SWDKLLJ.

Pokja V/Loket V, melayani pengesahan dan penyerahan.

Pokja VI/Loket VI, melayani pengarsipan.

Loket khusus, dibentuk berdasarkan tuntutan kebutuhan pelayanan di luar

mekanisme Pokja I hingga Pokja VI, berfungsi melaksanakan kegiatan

pelayanan beberapa persyaratan meliputi blokir, kuasa wajib pajak dan ektra

cover.
124

Golongan III, melayani pendaftaran pengesahan STNK setiap 1 (satu) tahun.

Dilakukan melalui 5 (lima) pokja/loket pelayanan, di mana pelayanannya hampir

sama dengan pelayanan pada Golongan II.

Rincian kegiatan ke 3 (tiga) unsur, yaitu Dispenda, Polri dan PT. Jasa Raharja

(Persero), dilihat dari kewajib mereka melayani permohonan pembuatan STNK

menurut masing-masing pokja/loket adalah sebagai berikut :

Pokja I/Loket I (Polri, Dispenda, PT. Jasa Raharja (Persero))

Polri, bertugas menyediakan dan menyerahkan formulir, memberikan penerangan

tentang syarat-syarat pendaftaran, membukukan keluar/masuk suatu formulir,

memberikan paraf pada formulir, terima dan ganti formulir, menerima biaya

administrasi STNK, TNKB, dan nota cepat phisik.

Dispenda, bertugas memberikan penerangan tentang kewajiban membayar pajak.

PT. Jasa Raharja (Persero), bertugas memberikan penerangakan SWDKLLJ dan

premi asuransi, pemeriksaan premi asuransi Jasa Raharja.

Pokja II/Loket III (Polri)

Polri, bertugas melakukan cek phisik lengkap, mengaman-kan dan menugaskan tim

pemeriksa, membubuhkan paraf pada lembar cek phisik dan registrasi kendaraan

bermotor yang telah melakukan cek phisik.

Pokja III/Loket III (Polri, Dispenda, PT. Jasa Raharga (Persero))

Polri, bertugas menerima dan meneliti kelengkapan dan keabsahan berkas,

memberikan paraf dan resi pada pemohon, memberikan dan menetapkan No. Pol.
125

serta menuliskannya dalam formulir, meneruskan berkas ke sub pokok pengetikan

notice/STNK dan mengorder TNKB ke pabrik TNKB.

Dispenda, bertugas menetapkan besarnya PKB dan BBN-KB, memberi No. Skum

pada nota pajak atau notice, meneruskan berkas ke sub pokja SWDKLLJ dan

menerima kembali berkas tersebut, menyerahkan pening PKB ke pokja penyerahan

STNK (Pokja V).

PT. Jasa Raharja (Persero), bertugas menetapkan SWDKLLJ atau denda serta paraf

pada nota pajak, mengembalikan berkas ke sub pokja penetapan PKB dan BBN-KB.

Pokja IV/Loket IV (Dispenda, PT. Jasa Raharja (Persero))

Dispenda, bertugas melayani penerimaan pembayaran PKB, BBN-KB, SWDKLLJ

dan administrasi STNK, menyerahkan lembar asli nota/notice, mendistribusikan

tindasan nota ke Dispenda dan Jasa Raharja.

PT. Jasa Raharja (Persero), menerima dan mengadminis-trasikan SWDKLLJ

Pokja V/Loket V (Polri, Dispenda dan PT. Jasa Raharja (Persero))

Polri, bertugas melaksanakan penyerahan STNK yang akan diketik, menyerahkan

STNK ke pokja penyerahan. Ketiga pimpinan instansi (Dispenda, Polri dan PT. Jasa

Raharja (Persero) memberikan pengesahan pada STNK, bukti pembayaran pajak dan

asuransi (Surat Ketetapan Pajak Daerah-SKPD) PKB, BBN-KB dan SWDKLLJ.

Dispenda, memberikan pengesahan pada STNK.

PT. Jasa Raharja (Persero), memberikan pengesahan pada STNK.

Pokja VI/Loket VI (Polri)

Polri, bertugas menerima berkas dari Pokja V dan meneruskannya ke petugas Pokja

VI. Pkja VI menyiapkan dan mencari berkas yang diminta pokja pendaftaran,
126

menatausahakan berkas untuk memudahkan pencarian, membukukan dan mencatat

berkas yang diterima dan yang keluar, menandai dan menyisihkan berkas yang

diblokir.

Berdasarkan hasil penelitian masih ditemui beberapa kelemahan antara lain :

a. Masih panjangnya proses birokrasi karena diharuskan melalui loket-loket

dan pokja-pokja yang telah ditetapkan di atas.

b. Walaupun bekerja dalam satu atap atau kantor sulit menyatukan ego masing-

masing instansi.

c. Dalam pelaksanaan di lapangan, hanya sebahagian kecil masyarakat yang

dapat menikmati pelayanan one day sevice.

Hal ini disebabkan masih terdapat pengurusan pembayaran Pajak Kendaraan

Bermotor penyelesaiannya dalam dua atau tidak tiga hari kerja. Berdasarkan penelitian

ditemukan faktor penyebabnya adalah masih adanya kelalaian oknum aparat,

masalah prosedur admintrasi baik pada petugas maupun pada masyarakat wajib pajak

yang ingin serba cepat dan melalui jalan pintas.

Penilaian terhadap keberhasilan pelayanan satu hari selesai (one day serice)

yang dilakukan oleh Samsat, dapat diukur melalui ketepatan waktu penyelesaian

berkas. Selain itu kriteria lain yang dapat mendukung terwujudnya one day service

adalah faktor kesederhanaan, kejelasan, keamanan dan keterbukaan serta

memperhitungkan efisiensi, ekonomis dan keadilan yang merata bagi setiap wajib

pajak. Standar pelayanan one day service (1 x 24 jam), dihitung mulai saat wajib pajak

memasukkan berkas pada Loket I dan berakhir pada Loket V. Standar kualitas waktu

pelayanan setiap pajak pada setiap loket diupayakan mendekati Surat Keputusan

Kapolri yaitu Skep No. Pol. : Skep/1320/VIII/ 1998 sebagai berikut :


127

• Loket I : 3 menit

• Loket II : 5 menit

• Loket III : 6 menit

• Loket IV : 4 menit

• Loket V : 4 menit

Jika dihitung total waktu yang diperlukan dari Loket I sampai dengan Loket V

memerlukan 22 menit, seandainya perpindahan dari satu loket ke loket lainnya

diperlukan waktu seluruhnya sekitar 60 menit, berarti total waktu yang diperlukan

dalam berurusan di Kantor Bersama Samsat berdasarkan Skep Kapolri tersebut,

seharusnya dapat diselesaikan dalam waktu paling lama 2 jam.

Berdasarkan keterangan dari staf Ditlantas Polda Sumatera Barat di Kantor

Bersama Samsat Padang, jumlah waktu pelayanan seluruhnya dari Loket I sampai

dengan Loket V adalah 35 menit dan jumlah petugas operasional yang langsung

berhubungan dengan wajib pajak 33 orang. Dari sini dapat diambil kesimpulan jumlah

petugas telah cukup memadai untuk melayani masyarakat yang datang berurusan

setiap hari, sehingga kurang relevan untuk mengukur berapa jumlah petugas yang

ideal dalam penelitian ini. Yang perlu kita ketahui adalah apakah dengan jumlah

petugas yang ada dan jumlah wajib pajak yang dilayani setiap hari, one day service

dapat terwujud atau apakah masyarakat telah dapat menikmati pelayanan selesai

dalam satu hari dan bagaimana fungsi-fungsi manajemen dijalankan.

Berdasarkan Visi Kantor Bersama SAMSAT : Terwujudnya Pendapatan

Daerah Yang Optimal Untuk Mendukung Keberhasilan Pembangunan Daerah, maka

perlu dilaksanakan Misi yang telah ditetapkan :


128

1. Untuk menjadikan Pendapatan Asli Daerah Sebagai Tulang Punggung

Pendapatan Daerah.

2. Memberikan Pelayanan Yang Prima Kepada Masyarakat Melalui Peningkatan

Kinerja Aparatur Pemerintahan Secara berkesinambungan.

Maka untuk melaksanakan Visi dan Misi tersebut perlu dilakukan strategi dan

kebijakan Kantor SAMSAT sebagai berikut :

- Meningkatkan pelayanan kepada masyarakat

- Memberikan keamanan dan keselamatan kepada pemilik kenderaan bermotor.

- Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah ( PAD )

Berdasarkan strategi dan kebijakan diatas, maka hasil penelitian ini

merekomendasikan pengelolaan PKB dan BBN-KB pada Kantor SAMSAT sebagai

berikut :

1. Dalam peningkatan pelayanan kepada masyarakat perlu dilakukan :

a. Penyederhanaan sistim prosedur.

b. Kemudahan, kepastian dan kecepatan pelayanan.

c. Menerapkan pelayanan prima

2. Dalam memberikan keamanan dan keselamatan kepada pemilik

kendaraan bermotor.

a. Memberikan pelayanan tepat waktu

b. Mengurangi kasus dan penyimbangan sistem prosedur

3. Meningkatkan PAD dilakukan :

a. Melaksanakan pemungutan secara efektif dan efisien’

b. Melaksanakan tertib administrasi dan tertib pungutan.

c. Meningkat sistem koordinasi dengan instansi terkait.


129

Oleh karena itu, dalam pelayanan pembayaran PKB dan BBN-KB terhadap

wajib pajak sesuai dengan makna otonomi daerah untuk meningkatkan pelayanan ke

depan sebetulnya dapat dilakukan pelayanan PKB dan BBN-KB melalui mekanisme

dua loket atau dilayani dua pintu saja yakni :

1. Loket Pendaftaran dan Penetapan

2. Loket Pembayaran dan Penyerahan

BAB IV

ANALISIS PROSEDUR DAN MEKANISME

PELAYANAN PKB / BBN-KB

A. Prosedur Pelayanan ke dalam dan keluar

Berdasarkan hasil penelitian terhadap responden diatas diperoleh gambaran

bahwa, profil pelayanan secara keseluruhan yang diberikan oleh petugas, 11,91%

responden atau 5 orang mengatakan sangat baik, 30,95% responden atau 13 orang

mengatakan cukup baik, dan 52,38% responden atau 22 orang mengatakan kurang

baik dan 4,76% responden atau 2 orang mengatakan tidak baik. Hasil sebaran

kuesioner mengenai kualitas pelayanan yang diberikan oleh petugas secara

keseluruhan dapat dilihat pada tabel 24.

Tabel .24
Profil Responden Berdasarkan Kualitas Pelayanan
Secara Keseluruhan

Responden
Kategori
Jumlah Sampel Prosentase
(n) (%)
130

Sangat Baik 5 11,91


Cukup Baik 13 30,95
Kurang Baik 22 52,38
Tidak Baik 2 4,76
Jumlah 42 100

Pelayanan terhadap responden dapat dikelompokkan dalam 2 bentuk, yaitu

pelayanan kedalam (intern) dan pelayanan keluar (ekstern).

1. Pelayanan Kedalam (Intern)

Menurut petugas untuk peningkatan pelayanan Polri dalam sistem dan

prosedur SAMSAT senantiasa mempedomani standar kualitas pelayanan untuk setiap

wajib pajak (pemohon pembuatan STNK). Pada dasarnya pelayanan dilakukan

melalui kelompok kerja (pokja) atau loket, yang terbagi atas 3 (tiga) golongan seperti

diuraikan diatas. Kelompok kerja atau loket terdiri dari golongan merupakan prosedur

pembayaran pajak kendaraan seperti berikut :

Golongan I, merupakan pendaftaran Surat Tanda Coba Kendaraan (STCK), dilayani

melalui 3 (tiga) pokja atau loket pelayanan, yaitu :

• Pokja I/Loket I, melayani penyediaan formulir, penerangan KTL (PKB dan

SWDKLLJ)

• Pokja II/Loket II, melayani pendaftaran, penelitian, registrasi dan

penyerahan.

• Pokja III/Loket III, melayani pengarsipan.

Golongan II, meliputi pendaftaran kendaraan bermotor baru, kendaraan bermotor

tukar identitas pemilik dan atau kendaraan bermotor, kendaraan bermotor khusus,

kendaraan bermotor setelah 5 tahun, dan kendaraan bermotor pindah keluarga daerah.
131

Golongan ini dilakukan melalui 6 (enam) pokja/loket pelayanan, seperti diuraikan

pada bagian diatas.

Golongan III, melayani pendaftaran pengesahan STNK setiap 1 (satu) tahun.

Dilakukan melalui 6 (enam) pokja/ loket pelayanan, di mana pelayanannya hampir

sama dengan pelayanan pada Golongan II, serti rinciannya diuraikan diatas.

Berdasarkan hasil penelitian ternyata pembentukan Pokja dan Loket diatas

tidak berjalan sebagai mana mestinya, karena masalah birokrasi dan panjangnya

prosedur pada masing instansi, sehingga proses pembayaran pajak berjalan panjang

dan lama. Permasalahan terlihat pada :

a. Loket I

Setelah dilakukan penelitian, ternyata berdasarkan banyaknya waktu yang

digunakan responden pada Loket I, sebagian besar (69,05% responden atau 29

orang) menyatakan bahwa lamanya waktu yang diperlukan pada Loket I adalah

kurang dari 15 menit, tetapi sebagian responden yang lain (30,95% responden atau

13 orang) menyatakan bahwa lamanya waktu yang digunakan pada Loket I lebih

dari 15 menit.

Bila dilakukan analisis dengan menggunakan frekuensi yang muncul untuk

melihat dominasi antara variabel lamanya waktu (alokasi waktu yang digunakan

pada Loket I) dengan efisiensi dan kesederhanaan dalam pembuatan STNK,

ternyata tidak terdapat hubungan yang paralel antara kedua variabel tersebut. Hal

ini berarti bahwa semakin sedikit waktu yang digunakan pada Loket I, tidak ada

kaitan dengan tingkat kepuasan pemohon STMK (wajib pajak) terhadap pelayanan

yang diberikan. Selain itu peneliti melihat melihat nilai kepuasan pelayanan
132

dengan kualitas kerja petugas dalam melayani masyarakat yang ingin membuat

atau memperpanjang STNK, pada tingkat sedang atau 01,92 %, sehingga dapat

dikatakan bahwa semakin baik kualitas kerja petugas semakin besar kepuasan

yang dirasakan masyarakat yang berurusan ke Kantor Bersama Samsat.

b. Loket II

Di pelayanan yang diberikan pada Loket II adalah melaksanakan cek

phisik lengkap, mengamankan dan menugaskan tim pemeriksa, membubuhkan

paraf pada lembar cek phisik dan registrasi kendaraan bermotor yang telah dicek

phisik. Pada Loket II yang nelayani adalah petugas dari Polri.

Menurut petunjuk lapangan peningkatan pelayanan dalam era reformasi,

menyatakan bahwa standar kualitas pelayanan setiap wajib pajak (pemohon perbitan

STNK) pada Loket II diupayakan waktu selama 5 menit. Setelah dilakukan penelitian,

ternyata dari sebaran kuesioner sebagian besar responden (57,14 % responden atau

sebanyak 24 orang) mengatakan banyaknya waktu yang digunakan pada Loket lI lebih

dari 15 menit. Sebagian responden yang lain (42,86 % responden atau 18 orang)

mengatakan lamanya waktu yang digunakan kurang dari 15 menit. Berarti pada Loket

II, lamanya waktu yang digunakan tidak sesuai dengan petunjuk lapangan yang telah

ditetapkan yaitu hanya 5 menit. Banyak faktor yang mempengaruhi tidak sesuainya

alokasi waktu yang disediakan dengan kenyataan, diantaranya adalah karena pada

Loket II merupakan pelayanan cek phisik terhadap kendaraan bermotor, dimana setiap

satu kendaraan yang di cek phisik memerlukan waktu lebih kurang 20 menit dan

setiap hari kendaraan yang dicek phisik sekitar 50 unit (menurut petugas, walaupun
133

dalam prakteknya semua kendaraan bermotor harus di cek phisik), dengan jumlah

petugas 4 (empat) orang.

Bila dilakukan analisis data untuk melihat hubungan antara variabel lamanya

waktu (alokasi waktu) yang digunakan pada Loket II dengan kesederhanaan dan

efisiensi pelayanan masyarakat pemohon penerbitan STNK (wajib pajak), ternyata

terdapat hubungan yang positif antara kedua variabel tersebut dengan kategori tidak

efisien diperoleh sebesar 47,62%. Ini berarti terdapat hubungan yang paralel antara

ketidak kepuasan dalam pelayanan dengan alokasi waktu atau lamanya waktu yang

digunakan pada loket tersebut. Selain itu peneliti membuat prosentase terhadap

variabel kepuasan pelayanan dengan variabel kualitas pelayanan petugas dalam

melayani masyarakat yang ingin membuat atau memperpanjang STNK pada Loket II,

ternyata hubunganan antara kedua variabel tersebut dengan nilai sangat baik dan

cukup baik 42,86%, sedangkan kurang baik dan tidak baik 57,14%, sehingga dapat

dikatakan bahwa kualitas kerja petugas yang ada di Loket II belum sesuai dengan

harapan masyarakat.

Jika dianalisa secara mendalam terdapat keluhan wajib pajak, akibat adanya

pungutan liar yang dilakukan oleh petugas (92%) dan adanya keharusan untuk

melakukan cek phisik setiap tahun bagi seluruh kendaraan bermotor (81%).

Bila alokasi waktu dan pelayanan dikaitkan dengan adanya pungutan liar dan

keharusan untuk melakukan cek phisik, terdapat hubungan yang positif, yang berarti

secara keseluruhan masyarakat tidak puas terhadap pelayanan pada Loket II.

c. Loket III

Sebagian besar responden mengatakan banyaknya waktu yang digunakan

pada Loket III lebih dari 15 menit (80,95% responden atau 34 orang). Berarti pada
134

Loket III waktu yang diperlukan tidak sesuai dengan juklak. Faktor yang dapat

mempengaruhi lamanya pelayanan adalah karena kurangnya petugas yang

melayani pemohon pembuatan STNK (wajib pajak) yang cukup banyak setiap

harinya.

Jika dilakukan analisis data menggunakan prosentase dengan melihat

hubungan variabel lamanya waktu yang digunakan pada Loket III terhadap

kualitas pelayanan masyarakat pemohon penerbita STNK (wajib paJak), ternyata

ada hubungan yang positif antara kedua variabel tersebut dengan nilai yang

diperoleh pada kategori kurang baik (52,38%). Hal ini berarti bahwa semakin

banyak waktu yang digunakan pada Loket III, akan semakin tidak puas

masyarakat pemohon STNK (wajib pajak) terhadap pelayanan yang diberikan.

d. Loket IV

Setelah dilakukan penelitian, ternyata dari sebaran responden, berdasarkan

banyaknya waktu yang digunakan pada Loket IV, lebih dari setengah responden

(57,14% responden atau 24 orang) menyatakan bahwa lamanya waktu yang

digunakan pada Loket IV adalah kurang dari 15 menit. Sebagian responden

lainnya menyatakan lamanya waktu yang digunakan pada Loket IV lebih dari 15

menit, yaitu sebanyak 18 orang atau sebesar 42,86% responden.

Bila dilakukan analisis dengan menggunakan metode prosentase untuk

melihat variabel alokasi waktu yang digunakan pada Loket IV dengan kepuasan

pelayanan masyarakat pemohon penerbitan STNK (wajib pajak), ternyata terdapat

hubungan antara kedua variabel tersubut pada kondisi cukup memuaskan, dengan

nilai prosentase sebesar 14% responden atau 24 orang. Hal ini berarti bahwa
135

semakin sedikit waktu yang digunakan pada Loket IV, maka akan semakin puas

masyarakat pemohon STNK (wajib pajak terhadap pelayanan yang diberikan.

e. Loket V

Berdasarkan banyaknya waktu yang digunakan pada Loket V, 19,05%

responder atau sebanyak 8 orang yang menyatakan lamanya waktu yang

digunakan pada Loket V adalah kurang dari 15 menit, sebagian besar responden

yaitu 80,95% responden atau 34 orang menyatakan waktu yang diperlukan lebih

dari 15 menit. Pada Loket V ini wajib pajak menerima STNK yang telah selesai.

Bila dilakukan analisis data dengan menggunakan metode prosentase

untuk melihat hubungan antara variabel lamanya waktu (alokasi waktu) yang

digunakan pada Loket V, dengan variabel kepuasan pelayanan masyarakat

pemohon penerbitan STNK (wajib pajak), ternyata dapat dilihat hubungan antara

kedua variabel tersebut dengan nilai prosentase yang diperoleh sebesar 80,95%

memerlukan waktu di atas 15 menit. Hal ini berarti bahwa semakin banyak waktu

yang digunakan pada Loket V, maka semakin tidak puas masyarakat pemohon

STNK (wajib pajak) terhadap pelayanan yang diberikan.

2. Pelayanan Keluar (Ekstern)

Dari hasil penelitian umumnya responden merasa mudah dan jelas dalam

mengikuti aturan-aturan atau ketentuan yang ada di Kantor Bersama Samsat.

Peraturan tersebut berupa prosedur atau tata cara pemohon (wajib pajak) untuk

membuat atau memperpanjang STNK. Sebanyak 28,57% responden atau 12 orang

menyatakan sangat mudah dalam mengikuti peraturan pelayanan yang ada di

kantor tersebut, dan sebesar 67,14% responden atau 24 orang menyatakan mudah.
136

Hal ini berarti pada kantor Samsat, kriteria kesederhanaan terhadap pelayanan

yang diberikan pada wajib pajak telah dapat dirasakan oleh wajib pajak.

Kesederhanaan mengandung arti prosedur atau tata cara pelayanan yang

diselenggarakan mudah, tepat, cepat, tidak berbelit-belit, mudah dipahami dan

dilaksanakan oleh masyarakat yang berurusan. Sedangkan kejelasan dan kepastian

artinya kejelasan mengenai penetapan dan penanganan hak dan kewajiban yang

dilayani dan yang melayani. Keterbukaan berkaitan dengan proses pelayanan yang

wajib diinformasikan secara terbuka.

Umumnya wajib pajak datang ke Kantor Bersama Samsat untuk mengurus

sendiri hak kendaraan yang harus dibayar, tanpa melalui biro jasa atau calo.

Walaupun ada sebagian kecil responden yang mengatakan mengurus lewat biro

jasa atau calo, tetapi salahnya tidak terdata dan di Kantor Bersama Samsat tidak

satupun biro jasa yang daftar atau melakukan kerja sama dalam pengurusan PKB,

BBN-KB, maupun STNK wajib pajak. Untuk mencegah agar masyarakat jangan

sampai mengurus lewat calo, setiap sudut telaih dicantumkan beberapa tulisan

yang menghimbau agar masyarakat jangan berurusan lewat calo, karena akan

merugikan wajib pajak sendiri.

Sebanyak 28,57% responder atau 12 orang menyatakan, bahwa biaya yang

dikeluarkan untuk pembuatan STNK adalah ekonomis dan efisien. Hal ini berarti

sesuai dengan ketentuan berapa biaya yang harus dikeluarkan oleh pemohon

pembuatan STNK (wajib pajak). Sebagian responden menjawab bahwa biaya

dalam pembuatan STNK tidak ekonomis dan tidak efisien, yaitu 4762 %

responden atau 20 orang. Tidak ekonomis mengandung arti biaya pelayanan

adalah tidak wajar, karena tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Sedangkan
137

efisien mengandung arti bahwa persyaratan dan pelayanan prosesnya tidak

berbelit-belit.

Begitu pun hasil penelitian dapat menggambarkan bahwa responden

merasa aman dan nyaman selama pengurusan STNK di kantor Samsat, dimana

59,52% responden atau 25 orang menyatakan hal tersebut. Berarti dalam

pengurusan STNK responden tidak merasa takut akan kehilangan barang atau

uang karena kondisinya cukup aman dan nyaman. Hal ini menunjukkan bahwa

Kantor Bersama Samsat memenuhi 8 (delapan) kriteria pelayanan yang baik

dalam hal kenyamanan yang harus diberikan kepada pemohon pembuatan atau

penerbitan STNK (wajib pajak). Pengertian nyaman adalah pelayanan di Kantor

Bersama Samsat harus memberikan rasa aman serta kepastian hukum.

Dalam pada itu juga dapat dilihat sebaran responden berdasarkan keadilan

dalam pelayanan yang diberikan oleh petugas Samsat, dimana ternyata mereka

tidak membeda-bedakan pelayanan antara calo dengan yang bukan calo, di dalam

permohonan penerbitan STNK. Terdapat sehanyak 54,76% responden atau 23

orang yang menyatakan bahwa pelayanan yang diberikan cukup adil terhadap

masyarakat pemohon pembuatan STNK, hanya 19,05% responden atau 8 orang

yang menyatakan bahwa pelayanan yang diberikan tidak adil dan 2,38%

responden atau 1 orang menyatakan sangat tidak adil.

Dari penjelasan di atas, berarti kriteria pelayanan yang harus adil terhadap

para pemohon yang datang ke Kantor Bersama Samsat, harus dilayani secara

keseluruhan, tanpa memandang apa dan siapapun. Sedangkan keadilan yang

merata artinya adalah pelayanan yang diberikan, dilakukan secara merata dan adil
138

hagi selruh lapisan masyarakat. Tepat waktu mengandung arti bahwa pelayanan

yang diberikan dapat diselesaikan dalam kurun waktu yang telah ditentukan.

B. Implementasi Standar Pelayanan Minimal (SPM)

Berdasarkan Surat Keputusan Bersama Direktur Lalu Lintas Kepolisian

Daerah Sumatera Barat dan Kepala Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Sumatera

Barat serta Kepala Cabang PT. Jasa Raharja (Persero) Sumatera Barat

No.B/24/I/2006 DITLANTAS per Nomor : 973/043/PAJAK-2006 per Nomor :

P/1/SPP/I/2006 24 Januari 2006, bahwa Standar Pelayanan Minimal adalah ukuran

yang dibakukan dalam penyelenggaraan pelayanan penertiban Surat Tanda Nomor

Kendaraan (STNK), pembayaran Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), Bea Balik

Nama Kendaraan Bermotor (BBN-KB) dan Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan

Lalu Lintas Jalan (SWDKLLJ) yang wajib ditaati oleh aparatur Kantor Bersama

Samsat di Padang sebagai pemberi pelayanan maupun pemilik kendaraan bermotor

sebagai penerima pelayanan.

Standar Pelayanan Minimal ( SPM ) tersebut dalam penerbitan STNK,

pembayaran PKB, BBN-KB dan SWDKLLJ adalah sebagai berikut :

a. Prosedur Pelayanan

Prosedur Pelayanan penerbitan STNK, pembayaran PKB, BBN-KB dan

SWDKLLJ telah diatur dan ditetapkan dalam petunjuk pelaksanaan Keputusan

Bersama Kepolisian RI, Dirjen PUOD dan Direktur Utama PT. Jasa Raharja

(Persero) Nomor : SKEP/06/10/1999, Nomor : 9731228 dan Nomor :

SKEP/02/X/1999 tanggal 15 Gktober 1999. Prosedur pelayanan diumumkan

secara terbuka pada ruangan pelayanan atau loket-loket pelayanan Kantor Bersama
139

Samsat. Hal ini telah didapatkan pamflet dipajangkan pada Loket Pelayanan, tetapi

masih dengan gambaran sistem 5 Loket dan belum sistem 2 Loket.

b. Persyaratan Administratif

Dalam penyelenggaraan pelayanan Penerbitan STNK, Pembayaran PKB,

BBN-KB dan SWDKLLJ telah ditetapkan dalam Keputusan Bersama Kepclisian

RI, Dirjen PUOD dan Direktur Utama PT. Jasa Raharja (Persero) Nomor :

SKEP/06/10/1999, Nomor : 973-1228 dan Nomor : SKEP/02/X/1999 tanggal 15

Oktober 1999. Persyaratan Administratif telah diumumkan secara terbuka pada

ruangan pelayanan pada loket - loket pelayanan yang tersedia di Kantor Bersama

Samsat.

c. Waktu Penyelesaian

1) Pengesahan STNK, pembayaran PKB dan SWDKLLJ setiap tahun

selesai dalam waktu 1 (satu) hari kerja.

2) Perpanjangan STNK dan TNKB setelah 5 tahun, pembayaran PKB dan

SWDKLLJ selesai dalam waktu 1 (satu) hari kerja.

3) Pembayaran BBN-KB, penggantian STNK dan TNKB selesai dalam

waktu 2 (dua) hari kerja.

4) Pengurusan kendaraan bermotor yang pindah dalam Daerah dan Luar

Daerah selesai dalam waktu 1 (satu) hari kerja.

5) Pengurusan kendaraan bermotor yang masuk dari dalam Daerah dan

luar Daerah selesai dalam waktu 2 (dua) hari kerja.

Dalam penyelenggaraannya belum terlaksana sebagaimana mestinya.


140

d. Biaya Pelayanan

1) Biaya pelayanan adalah beberapa jenis biaya yang dipungut oleh

Aparatur Kantor Bersama Samsat berdasarkan Ketentuan Perundang-

undangan yang berlaku yaitu sebagai berikut :

a) Pajak Kendaraan Bermotor terhutang sebesar tercantum dalam SKPD

sesuai dengan Peraturan Daerah Propinsi Sumatera Barat tentang Pajak

Kendaraan Bernnotor dan Keputusan Menteri Dalam Negeri tentang

Perhitungan Dasar Pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik

Nama Kendaraan Bermotor.

b) Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor sebesar tercantum dalam SKPD

sesuai dengan Peraturan Daerah Propinsi Sumatera Barat tentang Pajak

Kendaraan Bermotor dan Keputusan Menteri Dalam Negeri tentang

Perhitungan Dasar Pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik

Nama Kendaraan Bermotor.

c) Biaya SWDKLLJ sebesar tercantum dalam SKPD sesuai dengan

Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia tentang Penetapan

Santunan dan Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan.

d) Khusus Angkutan Penumpang Umum, dipungut Premi Asuransi Dana

Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang (termasuk kru angkutan)

besarnya sesuai dengan yang ditetapkan dalam Keputusan Menteri

Keuangan Republik Indonesia tentang Penetapan Santunan dan lyuran

Wajib Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penurnpang Umum di

Uarat, Sungai/Danau, Ferry/ Penyeberangan, Laut dan Udara.


141

e) Biaya Administrasi STNKITNKB/BPKB besarnya sesuai dengan yang

ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia tentang Tarif

Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada

Kepolisian Negara Republik Indonesia.

f) Semua biaya pelayanan terbuka untuk masyarakat dan diumumkan

melalui ruangan pelayanan dan diketahui secara jelas oleh masyarakat.

g) Semua pernbayaran oleh pemilik kendaraan bermotor harus mempunyai

tanda bukti penerimaan yang sah dan dapat dipertanggungjawabkan.

e. Produk Pelayanan

1) Hasil pelayanan yang akan diterima oleh pemilik kendaraan bermotor

sebagai penerima pelayanan adalah:

a) Surat Ketetapan Pajak Daerah (SKPD)

b) Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (STNK)

c) Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (TNKB).

d) Buku Pemilik Kendaraan Bermotor.

2) Penyerahan STNK, TNKB, BPKB dan SKPD dilakukan melalui loket

penyerahan. Khusus penyerahan STNK bagi Kendaraan Angutan Umum,

diwajibkan terlebih dahulu melampirkan Asli Bukti Pelunasan Premi Asuransi

Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang (termasuk kru angkutan)

untuk beberapa bulan kedepan sesuai masa jatuh tempo pengesahan STNK

tahun berikutnya.

f. Sarana dan Prasarana.


142

1) Prasarana pelayanan pernbayaran Pajak Kendaraan Bermotor, Bea

Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan

Lalu Lintas Jalan serta penerbitan Surat Tanda Nomor Kendaraan yaitu berupa

Kantor Bersama Samsat yang sekaligus berupa Kantor Unit Pelaksana Teknis

Dinas (UPTD) Pelayanan Pendapatan Propinsi Sumatera Barat di Padang.

2) Sarana pelayanan juga dilengkapi fasilitas pendukung dan sistim

komputer dalam rangka mempercepat penyelesaian produk pelayanan,

sehingga batas waktu pelayanan yang dijanjikan dapat dipenuhi.

g. Kompetensi Petugas Pemberi Pelayanan

Kompetensi petugas ditetapkan berdasarkan keteram-pilan sikap dan prilaku.

Petugas harus menjaga kesopanan, ramah tamah dan kejujuran dalam pemberian

pelayanan.

Petugas harus bekerja menurut waktu yang telah ditetapkan dalam jam kerja pada

Kantor Samsat, namun tidak tertutup kemungkinan jam kerja ditambah sesuai

dengan situasi dan kondisi yang ada.

h. Kesamaan Hak

1) Dalam pemberian pelayanan tidak bersifat diskriminatif, kecuali bagi

orang lanjut usia, wanita hamil dan penyandang cacat.

2) Pemilik kendaraan yang mengurus sendiri diutamakan daripada

pengurusan melalui perantara atau pihak ketiga.

i. Pengawasan Pelayanan

Pengawasan pelayanan pembayaran Pajak Kendaraan Bermotor, Bea Balik

Nama Kendaraan Bermotor, Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas

Jalan dan Surat Tanda Nomor Kendaraan dilaksanakan melalui :


143

1) Pengawasan melekat oleh atasan langsung.

2) Pengawasan Fungsional oleh masing-masing instansi.

3) Pengawasan oleh Tim Pembina Samsat.

4) Pengawasan oleh masyarakat melalui Kotak Saran dan keluhan

masyarakat.

j. Penanganan Saran dan Keluhan Masyarakat

1) Saran dan keluhan masyarakat dapat disampaikan secara tertulis

dengan mencantumkan identitas yang bersangkutan dengan jelas.

2) Saran dan keluhan dari masyarakat yang sifatnya non teknis

diselesaikan dan di koordinir Kantor Samsat bersama Kepala Unit Pelaksana

Teknis Dinas (UPTD) Pelayanan Pendapatan Propinsi Sumatera Barat di

Padang serta Petugas Jasa Raharja.

3) Saran dan keluhan masyarakat yang bersifat teknis seperti Surat Tanda

Nomor Kendaraan (STNK), Tanda Nomor kendaraan (TNKB), Buku Pemilik

Kendaraan Bermotor (BPKB), Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), Bea Balik

Nama Kendaraan Bermotor (BBN-KB) serta Sumbangan Wajib Dana

Kecelakaan Lalu Lintas Jalan (SWDKLLJ) diselesaikan oleh masing-masing

unit kerja yang berada pada Kantor Bersama Samsat. Dengan demikian bila

ditijau dari aspek hukum Adminstrasi Negara khususnya Pemerintahan Daerah

dilihat dari sisi Azas legalitas, kewenangan pengelolaan PKB dan BBN-KB

oleh Pemerintah Provinsi Sumatera Barat sudah sesuia dengan ketentuan

aturan yang lebih tinggi dan berlaku dimana PKB- dan BBN-KB ini

dilaksanakan berdasarkan Perda No. 41 Tahun 2003 dan Perda No. 5 Tahun

2003 yang di serahkan secara atributif dan delegatif / distributif dari pusat
144

kepada daerah sesuai Peraturan Pemerintah RI No. 3 Tahun 1957 dan undang –

undang No. 10 Tahun 1968 sebagaimana penulis terangkan pada hal. 80 dan

hal. 87 dimuka. Dengan demikian secara hakekatnya dengan adanya regulasi

tersebut diatas akan terdapat jaminan adanya kepastian hukum dan kesamaan

perlakuan ( keadilan ) sebab secara tertulis telah dapat dipedomani semua

pihak secara transparan, namun disisi lain secara teoritis azar legalitas

menemui kesulitan dalam penerapannya ditengah masyarakat sebagaimana di

katakan Bagir Manan bahwa adanya kelemahan penerapan azas legalitas. Oleh
57
sebab itu menurut Prajudi Atmosudirjo menyebutkan beberapa persyaratan

yang harus dipenuhi dalam penyelenggaraan pemerintah yaitu sebagai berikut :

1) Efektivitas artinya kegiatanya harus mengenai sasaran yang telah

ditetapkan

2) Legimitas artinya kegiatan administrasi negara jangan sampai

menimbulkan heboh oleh karena tidak dapat diterima oleh masyarakat

setempat atau lingkungan yang bersangkutan

3) Yuridikitas artinya syarat yang menentukan bahwa perbuatan para pejabat

administrasi negara tidak boleh melanggar hukum dalam arti luas.

C. Faktor yang Mempengaruhi Efektivitas Pelayanan

a) SDM Kantor Bersama Samsat

Berdasarkan situasi pada akhir Januari 2006, jumlah personil yang

terdapat di UPTD Pelayanan Pendapatan yang sekaligus juga berada pada

Kantor Bersama Samsat Sumatera Barat di Padang adalah sebagai berikut :

- Dit. Lantas Polda : 30 orang

57
Ridwan HR. Hukum Administrasi Negara, Jakarta, PT. Raja Grafindo, 2006 hal. 99
145

- Dispenda : 33 orang

- Jasa Raharja : 2 orang

- Jumlah : 65 orang

Sedangkan Distribusi petugas yang terdapat pada setiap pokja/loket

praktis yang langsung berhubungan dengan masyarakat wajib pajak dapat

dilihat pada tabel 7 terdahulu.

Adapun jumlah wajib pajak yang dilayani rata-rata per hari adalah

sebagaimana dapat dilihat pada tabel 8 terdahulu yaitu sebanyak 420 wajib

pajak per hari.

Namun dari tabel 8 terlihat bahwa jumlah wajib pajak yang dilayani

pada setiap loket tidak sama. Rata-rata wajib pajak yang datang setiap hari ke

Loket I lebih banyak jika dibandingkan dengan Loket II, yang jumlahnya

paling sedikit (rata-rata 50 orang wajib pajak per hari). Jumlah wajib pajak

yang dilayani memang dapat berbeda, karena sifat pekerjaan di setiap loket

mempunyai spesifikasi yang berbeda.

Menurut pedoman tata laksana Sistim Administrasi Manunggal

Dibawah Satu Atas (Samsat), tidak semua kendaraan bermotor wajib

melakukan cek phisik (khususnya untuk mengesahkan STNK setiap tahun),

walaupun dalam prakteknya semua kendaraan bermotor diharuskan untuk

melakukan cek phisik, tetapi yang terdaftar hanya yang sesuai dengan

ketentuan. Semua kendaraan bermotor yang hendak membayar PKB, BBN-KB

dan SWDKLLJ wajib mengambil formulir di Loket I. Umumnya wajib pajak

setelah mengambil formulir di Loket I, melanjutkan cek phisik kendaraan

bermotor di Loket II, lalu melakukan pendaftaran di Loket III. Setelah selesai
146

di Loket III kebanyakan wajib pajak pergi meninggalkan Kantor Samsat,

karena untuk membayar PKB, BBN-KB dan SWDKLLJ, petugas memerlukan

waktu untuk menghitung besarnya PKB, di samping adanya wajib pajak yang

belum mempersiapkan dana untuk melakukan pembayaran pada saat itu.

Kebanyakan wajib pajak baru datang kembali ke Kantor Bersama Samsat pada

keesokan harinya. Masyarakat yang hendak membayar PKB atau

memperpanjang STNK diperkenankan untuk melakukan-ya sebulan sebelum

tanggal jatuh tempo.

Dengan demikian Akibat dari sistem dan prosedur tersebut terlihat

waktu pelayanan pada Kantor Bersama SAMSAT adalah sebagaimana terlihat

pada tabel 23 berikut ini:

Tabel. 23
Perhitungan Alokasi Waktu Rata-rata Pengurusan
Di setiap Loket Pelayanan (Loket Is/d Loket V)
Untuk Setiap Wajib Pajak

Rata-Rata
Rata-rata
Waktu Jumlah Jumlah Waktu
Loket Waktu
Pelayanan Responden (n) (Menit)
(Menit)
(Menit)
Loket I 7,50 29 217,50
22,50 12 270
45,00 1 45
60,00 0 0
Jumlah 42 532,50 12,68
Loket II 7,50 18 135,00
22,50 21 472,50
45,00 3 135,00
60,00 0 0
Jumlah 42 742,50 17,68
Loket III 7,50 8 60,00
22,50 27 607,50
45,00 5 225,00
60,00 2 120,00
Jumlah 42 1.012,50 24,11
Loket IV 7,50 24 180,00
147

22,50 14 315,00
45,00 4 180,00
60,00 0 0,00
Jumlah 42 675,00 16,07
Loket V 7,50 8 60,00
22,50 25 562,50
45,00 7 315
60,00 2 120
Jumlah 42 1.057,50 25,18
Jumlah Waktu Pelayanan dari Loket I s/d Loket V 95,72

b) Prasarana dan sarana Kantor Bersama SAMSAT

Prasarana, sarana serta fasilitas yang tersedia, misalnya peralatan

kerja, ruangan yang tersedia untuk pelayanan, fasilitas umum seperti

mushalla, toilet, kantin dan lain-lain. Ketersediaan prasarana, sarana dan

fasilitas yang ada di Kantor Bersama Samsat Sumatera Barat di Padang,

secara umum cukup baik. Prasarana, sarana dan fasilitas yang disediakan

diantaranya ruang tunggu dan kursi tamu yang mencukupi, tempat parkir

yang cukup luas, peralatan kerja seperti komputer dan ruangan kerja

petugas yang memadai, tersedianya mushalla, telepon umum dan warung

atau kantin.

Bila dilakukan analisis untuk melihat kaitan antara ketersediaan

prasarana, sarana dan fasilitas di Kantor Bersama Samsat dengan

kepuasan dalam pelayanan, maka akan diperoleh hubungan antara dua

variabel dengan nilai yang cukup baik, yang berarti bahwa kaitan yang

sangat nyata antara ketersediaan prasarana, sarana dan fasifitas dengan

kepuasan pelayanan. Hal ini menunjukkan bahwa semakin baik pelayanan

dan ketersediaan prasarana, sarana dan fasilitas yang disediakan di kantor

tersebut, maka akan semakin besar pula kepuasan yang dirasakan oleh
148

masyarakat pemohon STNK, sehingga pelayanan satu hari selesai (one

day service) diharapkan dapat dilaksanakan atau diwujudkan. Sesuai

dengan apa yang dikatakan Moenir (1998), bahwa salah satu fungsi dari

sarana pelayanan adalah menimbulkan perasaan puas dan nyaman pada

orang yang berkepentingan, sehingga dapat mengurangi sifat emosional

mereka yang berlebihan.

c) Rekomendasi kebijakan terhadap Pelayanan

Upaya yang harus dilakukan dalam rangka meningkatkan kualitas

kerja petugas, sehingga dapat memberkan pelayanan yang memuaskan

masyarakat adalah :

a. Menciptakan budaya pelayanan, agar :

1) Setiap loket atau kelompok kerja mengenali dimana

dan siapa-siapa yang menjadi pelanggannya.

2) Secara terus menerus melakukan penelitian tentang

harapan-harapan masyarakat dan kritik yang dilontarkan terhadap

pelayanan yang diberikan.

3) Menetapkan dan menyepakati standar dan tingkat

pelayanan secara terukur yang hanrs diberikan setiap loket.

4) Menyelenggarakan proses dimana setiap petugas

pelaksana memahami standar pelayanan dalam praktek sehari-hari.

5) Terus menerus melakukan evaluasi terhadap kualitas

pelayanan dan berupaya untuk selalu meningkatkannya.

b. Menciptakan budaya kerja ;


149

1) Setiap petugas pelaksana menetapkan bersama dengan

supervisornya, tentang tugas yang halus dilaksanakan dan sasaran

yang harus dicapai secara periodik.

2) Merumuskan pembagian tugas (job description) pada

setiap loket, selanjutnya digunakan sebagai dasar penilaian dan

pertanggungjawaban tugas secara berlanjut.

3) Setiap suvervisor selalu berupaya meningkatkan keteram-

pilan yang dimiliki oleh setiap petugas pelaksana.

4) Memperhatikan secara khusus pemanfaatan sumber daya

yang tersedia untuk memperoleh hasil yang sebesar-besarnya.

c. Meningkatkan pengawasan dan memperkuat unit-

unit pelayanan

1) Meningkatkan pengawasan secara

berjenjang, yang didukung dengan sistim pertanggungjawaban

sesuai dengan tingkatan-ya.

2) Mengadakan pertemuan secara rutin dengan

supervisor untuk mengetahui kendala-kendala di lapangan serta

mendorong kemampuan untuk pengambilan keputusan.

3) Meningkatkan peranan pengawas atau

supervisor secara nyata dalam mendukung keberhasilan pelayanan

tersebut.

4) Menggunakan sumber daya yang, ada secara

maksimal untuk mencapai keberhasilan petugas pelayanan.


150

5) Supervisor memberikan kesempatan dan

mendorong setiap anggota untuk bekerja secara maksimal dan

membina mereka untuk Inenjadi yang terbaik sesuai kemampuan

masing-masing.

6) Secara terus menerus mengadakan evaluasi

kualitas supevisor, kerja sama antar kelompok kerja atau loket dan

petugas polaksana, agar termotivasi dan tetap pada sasaran.

d. Melaksanakan Stándar Pelayanan Minimal (SPM).

Penyelenggaraan pelayanan publik yang berkwalitas sudah

merupakan kebutuhan organisasi untuk merespon tuntutan dan harapan

masyarakat yang terus meningkat. Pelayanan yang berkwalitas harus

memenuhi beberapa unsur yaitu sebagai berikut :

1) Cepat, artinya pemenuhan kebutuhan dengan cepat,

tidak melalui birokrasi yang berbelit.

2) Tepat, artinya apa yang diberikan atau dilakukan

sesuai menurut apa yang dibutuhkan.

3) Murah, dimana masyarakat memperoleh apa yang

diinginkan itu dengan biaya murah.

4) Ramah, artinya pelayanan atas hubungan antara

aparat dengan masyarakat dilakukan dengan sopan dan bersahabat.

e. Peningkatan Sumber Daya Aparatur

1) Aparatur Pelayanan di SAMSAT belum

mempunyai persepsi yang sama dalam pemberian pelayanan yang


151

baik kepada masyarakat Wajib Pajak, maka perlu penyamaan

persepsi tentang pelayanan.

2) Mengurangi egoisme sektoral kelembagaan

dalam pelayanan.

3) Meningkatkan koordinasi antar kelembagaan

yang terkait.

4) Peningkatan sarana dan prasarana pendukung

pada Kantor Bersama SAMSAT

5) Anggaran biaya untuk memperbaiki tata ruang

pelayanan masih terbatas.

f. Langkah antisipasi untuk mengatasi

adanya pendapat bahwa birokrasi di Kantor SAMSAT masih agak

berbelit.

1) Memperbanyak informasi dan pengumuman

kepada Wajib Pajak.

2) Melakukan penyederhanaan prosedur dalam

proses pembayaran Pajak, pengurusan STNK/TNKB dan

pembayaran SWDKLLJ.

3) Melakukan koordinasi yang baik dengan mitra

kerja guna mengatasi adanya kendala dalam percepatan pelayanan

di Kantor SAMSAT.

4) Melakukan pembenahan ruang kantor sehingga

terdapat kenyamanan, ketenangan, dan keamanan bagi Wajib Pajak.


152

g. UPTD berada langsung di bawah

Dipenda Propinsi Sumatera Barat sementara Kantor Bersama

SAMSAT yang dilaksanakan secara sinergis hal ini dapat berjalan

tanpa pengabaian tupoksi UPTD.

Beberapa faktor yang menyebabkan adanya kelemahan disebabkan antara

lain :

1) Belum adanya pemisahan Personil UPTD yang bekerja di

SAMSAT dengan bertugas di UPTD karena sistim rekruitmen personil

yang bertugas di SAMSAT tidak ada kejelasan.

2) Struktur organisasi UPTD yang ada saat ini membingung-kan

karena dari 3 (tiga) unit kerja yang ada, yang mana yang bertugas di

SAMSAT dan yang mana bertugas di UPTD tidak ada penegasan yang

jelas.

3) Ruang Kantor UPTD menyatu dengan Kantor SAMSAT,

seharusnya ada pemisahan yang jelas. Hal ini terjadi karena terbatasnya

pembiayaan untuk pembangunan/ revisi gedung kantor.

Sehubungan dengan hal tersebut perlu hal sebagai berikut :

1) Memperbaharui struktur organisai UPTD dan

sekaligus ada penegasan Unit Kerja UPTD yang akan bertugas di

SAMSAT dalam memungut PKB/BBN KB, sedangkan Unit Kerja yang

lain hanya bertugas di UPTD tidak di SAMSAT. Untuk itu idealnya

struktur UPTD tersebut salah satu seksinya adalah Seksi PKB/BBN KB

yang langsung bertugas di SAMSAT sedangkan Kasubag Tata Usaha dan

seksi lainnya bertugas di UPTD. Atau ada Pejabat Fungsional yang


153

bertugas memonitor proses pembayaran PKB/BBN KB di SAMSAT dan

bertanggung jawab langsung kepada Kepala UPTD.

2) Pemisahan ruang kerja UPTD dengan SAMSAT.

Dalam artian bahwa jajaran aparatur dan Kepala UPTD tidak lagi fokus

pada kerja di SAMSAT akan tetapi tugas utamanya lebih banyak

koordinasi, pengawasan, melahirkan kebijakan, penyusunan rencana kerja /

/kegiatan dan lain-lain.

Karena Pembentukan UPTD dimaksud juga untuk pengelolaan

pemungutan Pajak dan Retribusi Daerah lainnya.

3) Perlunya adanya penetapan atau produk hukum

yang disepakati oleh ketiga instansi di Kantor SAMSAT tentang tata cara

penunjukan personil masing-masing yang akan bertugas di SAMSAT

sehingga diharapkan jumlah personil yang bertugas di SAMSAT sebanding

dengan beban kerja yang ada, dan hubungan kerja antara satu dengan

lainnya berjalan harmonis.


154

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Pelayanan Kantor Bersama Samsat melibatkan 3 (tiga) instansi yaitu,

Dina Pendapatan Daerah (Dispenda), Direktorat Lalu Lintas Kepolisian

Daerah (Ditlantas Polda) dan PT Jasa Raharja (Persero). Ketiga instansi ini

bekerja sama melayani masyarakat dan bernaung dibawah satu atap atau satu

kantor yang disebut dengan sistim Administrasi Manunggal Dibawah Satu

Atap (Samsat). Sebelum ada nya samsat, masyarakat harus mendatangi ketiga

instansi tersebut di tempat yang berbeda, sehingga membutuhkan waktu biaya

dan tenaga dan hal ini sangat dirasakan tidak efesien serta memberatkan

masyarakat. Pengurusan PKB, BBN-KB dan SWDKLLJ oleh masyarakat pada

awalnya dilakukan di ibu kota provinsi, karena belum dibentuknya cabang-

cabang samsat di daerah kabupaten atau kota.

PKB, BBN-KB dan SWDKLLJ merupakan pajak provinsi yang

sangat berperan untukpenyelenggaraan pemerintah dan pembangunan di

daerah. Sedemikian besarnyaperanan pajak tersebut, sehingga pemerintah

daerah perlu memberikan pelayanan yang baik kepada Masyarakat yang

berurusan ke Kantor Bersama Samsat.


155

Unit Pelaksana Teknis Dinas ( UPTD ) Pelayanan Pendapatan

Propinsi Sumatera Barat di Padang merupakan instansi teknis pemerintah

daerah yang diberi kewenangan urituk menggali dan memungut pajak daerah

sebagai sumber pendapatan daerah yang berada dalam wilayah kerjanya

melalui SAMSAT pada Kantor Bersama SAMSAT Padang, harus mampu

merealisir sesuai dengan potensi yang ada sesuai dengan peraturan perundang-

undangan yang berlaku.

Walaupun UPTD Pelayanan Pendapatan Propinsi Sumatera Barat di

Padang berhasil merealisir sumber pendapatan daerah yang menjadi

kewenangannya dengan melampaui sejumlah beban target yang ditetapkan

oleh instansi induknya (Dinas Pendapatan Daerah Propinsi Sumatera Barat),

namun UPTD Padang belum dapat dikatakan berhasil dalam melaksanakan

tugasnya. Hal ini dapat dilihat masih banyaknya wajib pajak yang tidak

membayar pajak serta masih banyaknya potensi yang menjadi sumber

pendapatan daerah yang belum terdata.

Dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat wajib pajak,

UPTD Pelayanan Pendapatan Propinsi Sumatera Barat di Padang melalui

Kantor Bersama Samsatnya belum efektif dan efisien mampu memberikan

pelayanan seperti apa yang diharapkan oleh masyarakat. Keluhan-keluhan

masyarakat masih dijumpai baik dari pelayanan yang diberikan oleh aparat itu

sendiri, maupun terhadap sarana dan prasarana yang tersedia sehingga secara

umum dapaat dikatakan bahwa efektivitas pelayanan pengelolaan PKB dan

BBN-KB belum sesuai dengan SPM dan Kepmen PAN No. 63 Tahun 2003.
156

Pelayanan Kantor bersama samsat selama ini sering mendapat

sorotan tajam dari masyarakat, terutama yang berurusan dengan kantor

tersebut. Sorotan dilakukan karena lambatnya proses pelayanan pengurusan

pembayaran Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), Bea Balik Nama Kendaraan

Bermotor (BBN-KB), Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan

(SWDKLLJ), maupun Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK), serta masih

adanya pungutan-pungutan yang tidak resmi atau pungutan liar, sarana,

prasarana dan fasilitas yang tidak memadai, banyaknya calo, sikap petugas

yang kurang simpatik dalam melayani masyarakat sampai kepada tidak

terampilnya petugas dalam melaksanakan pekerjaannya.

Karena adanya kritikan, terutama pelayanan dalam pengurusan

pembayaran pajak berkaitan dengan pemilikan atau penguasaan kendaraan

bermotor oleh masyarakat, Kantor Bersama Samsat Khusunya di Provinsi

Sumatera Barat bertekat untuk memberikan pelayanan yang lebih baik, dengan

mencanangkan pelayanan satu hari selesai atau yang dikenal dengan One day

Service dan bahkan diwacanakan denga pelayanan cepat One Hour Service

( Pelayanan 1 Jam ).

Kantor Bersama Samsat telah memiliki acuan lamanya pelayanan

disetiap loket, yang dikeluarkan oleh kapolri melalui Petunjuk Pelaksanaan,

yaitu selama 22 (dua puluh dua) menit untuk setiap wajib pajak. Agar jangka

waktu yang telah ditentukan dapat terealisir, diperlukan pengawasan dari

atasan,terutama oleh Pembina SAMSAT di tingkat Provinsi Sumatera Barat

( Gubernur dan Kapolda ).


157

Dengan dioperasikannya sistim 2 (dua) loket di Samsat Padang dan

Samsat-Samsat di seluruh Propinsi Sumatera Barat berarti pelayanan kepada

Pemilik kendaraan bermotor dalam membayar pajak kendaraan bermotornya

sudah sesuai dengan INBERS tahun 1999 berarti tercermin bahwa pelayanan

Samsat lebih cepat dan mudah serta akan tercipta team works yang solid,

efektif dan efisien.

2. Faktor – faktor yang mempengaruhi belum tercapainya kepuasan

pelayanan dan waktu penyelesaian dalam pembuatan STNK adalah karena

kurangnya pengawasan petugas oleh atasan, sehingga tidak sesuai dengan

waktu pelayanan menurut juklak. Koordinasi antar tiga instansi yang berada

pada SAMSAT ( Dispenda, Polri, dan PT. Jasa Raharja / Persero ) kurang

cepat dan delapan kriteria pelayanan yang belum terpenuhi dengan baik,

seperti efisiensi dan kesederhaan prosedur yang kurang lengkap serta

pemahaman wajib pajak terhadap mekanisme prosedur pelayanan yang masih

relatif rendah. Disamping itu karena SAMSAT adalah kantor kerja bersama,

dimana masig – masing membawa nama instansi, maka ego sektoral masih

terasa cukup kental.

Penilaian terhaap delapan kriteria standar pelayanan yang

dilaksanakan SAMSAT Provinsi Sumatera Barat pada tingkatan cukup baik,

artinya berdasarkan hasil analisis data, prosentase dominan memilih kategori

mudah, sedang, efisien, cukup baik, cukup adil dan aman. Artinya pilihan

responden adalah baik, walaupun belum pada tingkatan sangat baik.

Sedangkan kriteria pelayanan mengenai ketepatan waktu yang sesuai dengan

standar pelayanan, masih dalam kategori harus ditingkatkan. Kondisi ini masih
158

dapat diterima, karena mayoritas responden menyatakan bahwa pelaksanaan

one day service belum berjalan dan belum dapat dirasakan oleh wajib pajak.

Upaya yang dilakukan untuk peningkatan one day service, meliputi

aktivitas meciptakan budaya pelayanan yang tinggi, berusaha menciptakan

budaya kinerja melalui pemahaman tugas masing – masing, menghidupkan

paengawasan dan memperkuat unit – unit pelayanan dengan melihat kendala

dan peluang yang ada melalui supervisi dan evaluasi pelayanan yang optimal.

Fungsi manajemen pada Kantor Bersama SAMSAT belum dapat

berjalan sebagaimana seharusnya untuk suatu organisasi yang baik. Hal ini

dapat dilihat dari jumlah waktu yang diperlukan oleh masyarakat untuk

berurusan pada setiap loket pelayanan yang masih relatif lama dibandingkan

dengan juklak yang telah ditetapkan. Begitu juga adanya pungutan tidak resmi

yang dilakukan oleh petugas di Loket II. Berarti fungsi pengawasan tidak

berjalan dengan baik.

B. Saran -Saran

1. Regulasi Standar Pelayanan Minimal (SPM) sebagai acuan bagi aparatur Dinas

Pendapatan Daerah dalam memberikan Pelayanan PKB dan BBN-KB bagui

Wajib Pajak dan untuk menerbitkan surat dinas yang dibutuhkan oleh

penerima pelayanan, agar dapat dievaluasi oleh Gubernur Sumatera Barat

selaku unsur Pembina SAMSAT dan atau bahkan ditinjau kembali, sesuai

dengan kebutuhan masyarakat sebagai penerima pelayanan sesuai dengan yang

diharapkannya.

2. Dalam rangka rneningkatkan pendapatan Daerah, UPTD Pelayanan

Pendapatan Propinsi Sumatera Barat di Padang dapat lebih berperan aktif lagi dalam
159

rnengelola sumber pendapatan Daerah yang ada dalam wilayah kerjanya. Aparat

UPTD dapat lebih jeli dalam memantau, mendata dan sekaligus menagih terhadap

objek pajak yang masih menunggak dan belum terpantau dan terdata, karena masih

banyak tunggakan kendaraan bermotor yang tidak membayar pajak dan BBN–KB.

3. Apabila dilakukan perbandingan antara Samsat-Samsat yang ada di Propinsi

Sumatera Barat khususnya Samsat di Padang dengan Samsat-Samsat Propinsi lainnya

di Indonesia yang sudah mendapatkan penilaian pelayanan yang berstandar

Internasional (ISO 1999-2001), maka Samsat yang ada di Sumatera Barat perlu

berbenah diri dalam beberapa sisi pelayanan. Untuk itu disarankan agar system

pelayanan yang ada sekarang ini masih memakai sistem 5 (lima) Loket harus dirobah

menjadi Sistem 2 (dua) loket dan system pelayanan lainnya harus ditingkatkan terus

sehingga samsat yang ada di Propinsi Sumatera Barat tidak jauh tertinggal dari daerah

lainnya di Wilayah Indonesia serta peningkatan pelayanan tersebut diharapkan sebagai

cikal untuk mempersiapkan diri meraih pelayanan prima yang berstandar lnternasional

seperti yang diprogramkan oleh Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara.

4. Sehubungan dengan hal tersebut, Kantor Bersama SAMSAT melalui

Pemerintah Daerah perlu memperbaharui struktur organisai UPTD dan sekaligus ada

penegasan Unit Kerja UPTD. Idealnya struktur UPTD tersebut salah satu seksinya

adalah Seksi PKB/BBN KB yang langsung bertugas di SAMSAT sedangkan Kasubag

Tata Usaha dan seksi lainnya bertugas di UPTD.

5. Pemisahan ruang kerja UPTD dengan SAMSAT, yaitu Kepala UPTD tidak

lagi fokus pada kerja di SAMSAT akan tetapi tugas utamanya lebih banyak

koordinasi, pengawasan, melahirkan kebijakan, penyusunan rencana kerja/kegiatan,

penentuan kebijakan dan lain-lain yang bersifat strategis.


160

6. Perlunya adanya penetapan atau produk hukum yang disepakati oleh ketiga

instansi di Kantor SAMSAT tentang tata cara penunjukan personil masing-masing

yang akan bertugas di SAMSAT sehingga diharapkan jumlah personil yang bertugas

di SAMSAT sebanding dengan beban kerja yang ada, dan hubungan kerja antara satu

dengan lainnya berjalan harmonis.

You might also like