You are on page 1of 10

GUS DUR

Nasionalis + Pluralis
Oleh: Daud Azhari
(Santri Ciganjur)

“Faktor kawasan menjadi sangat penting dalam sejarah bangsa kita,


Tidak ada kesatuan ideologis, melainkan begitu banyak pandangan-pandangan
dan Keyakinan-keyakinan berkembang,
Tidak pernah dicoba untuk menjadikan panutan tunggal”. (Abdurrahman Wahid)

Indonesia dewasa ini mengalami ”krisis kepercayaan” rakyat terhadap pemerintah, yang
muncul akibat kebijakan-kebijakan pemerintah yang di nilai tidak relevan dan tidak seimbang
dengan Sumber Daya Alam (SDA) Indonesia, serta minimnya perhatian pemerintah terhadap
rakyat miskin yang sudah tidak terhitung jumlahnya di berbagai daerah di Indonesia. Krisis ini
selanjutnya memuncak pada ”krisis kebangsaan”. Akibatnya, muncullah gerakan-gerakan yang
ingin memisahkan diri dari NKRI, seperti gerakan-gerakan separatisme, maupun gerakan-
gerakan keagamaan layaknya fundamentalisme dan radikalisme agama. Gerakan-gerakan ini
patut di curigai, karena dalam bentuknya yang sempurna menjadi ancaman bagi NKRI.
Usaha-usaha untuk meredam ketegangan tersebut sudah dilakukan oleh tokoh-tokoh
nasionalis dari sejak berdirinya Republik ini. Seperti Bung Karno misalnya, ketika rakyat mulai
mengotak-kotakkan diri antar-kelompok dan antar-golongan (suku, wilayah, bahkan agama),
maka pada waktu itu Presiden Pertama RI ini mengeluarkan Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959
yang dilatarbelakangi oleh ketidakmampuan Konstituante dalam menyelesaikan tugasnya
menyusun undang-undang dasar baru bagi Republik Indonesia. Dalam dekrit itu Sukarno
menganjurkan dengan seruan “Kembali kepada UUD 1945”, kemudian dilanjutkan dengan
Demokrasi Terpimpin-nya, yang terangkum dalam “Manifesto Politik Republik Indonesia” yang
memiliki lima gagasan utama revolusi Indonesia, yakni: Pertama; Undang-undang Dasar 1945;
kedua, Sosialisme ala Indonesia; ketiga, Demokrasi Terpimpin; keempat, Ekonomi Terpimpin;
kelima, Kepribadian Indonesia. Gagasan-gagasan ini diambil huruf pertamanya menjadi USDEK,
sementara “Manifesto Politik Republik Indonesia” disingkat “Manipol”. Yang kemudian dikenal
dengan istilah “Manipol-USDEK”. Manipol-USDEK kemudian menjadi suatu doktrin
kenegaraan yang disahkan oleh Dewan Pertimbangan Agung dan diberi pedoman pelaksanaan
setiap tahunnya melalui pidato yang dimuat secara berturut-turut , yakni: Jalannya Revolusi
Kita (Jarek 1960); Revolusi, Sosialisme, dan Pimpinan (Resopim 1961); Tahun Kemenangan
(Takem 1962); Genta Suara Revolusi Indonesia (Gesuri 1963).1 Inilah usaha-usaha yang
dilakukan oleh Sukarno untuk menyelamatkan “krisis kebangsaan” itu. Akan tetapi, ironisnya
pada tanggal 21 Februari 1967, Sukarno menyerahkan kekuasaan pemerintahan kepada Mayjen
Soeharto. Akibat dari semakin tidak terkendalinya gerakan-gerakan separatis yang menjadi
ancaman keutuhan NKRI.
Di Era kepemimpinan Soeharto (Orde Baru), usaha yang dilakukan untuk menumbuhkan
semangat nasionalisme berbeda dengan apa yang dilakukan Sukarno. Suharto sangat
1
Nurani Sayomukti, Soekarno & Nasakom, Yogyakarta: Garasi, 2008
mengidealisir nilai-nilai luhur bangsa, sehingga mempunyai kedudukan yang sangat diagungkan
sebagai suatu prinsip yang paling sesuai dengan karakter bangsa Indonesia. Misalnya, melalui
Penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Melalui P4 ini pemerintah
bertujuan membangun persepsi bahwa yang berhak menentukan dan menafsirkan politik macam
apa yang sesuai dan tidak sesuai dengan Pancasila adalah struktur pemerintah itu sendiri. Jadi,
usaha seperti ini berwatak negatif. Karena ditata untuk mendukung program pembangunan Orde
Baru, seperti: pembangunan ekonomi. Celakanya, konsep ini bertujuan semata-mata hanya
mengejar keuntungan bisnis tanpa memperhatikan landasan etika. Di tambah lagi dengan Prof.
Dr. Ing. B.J Habibie yang celakanya malah melepas salah satu teritorial Indonesia, yakni, Timor-
timor (Sekarang Timorleste).
Memudarnya nyala api nasionalisme akibat dari ketidakadilan yang merata. Pelanggaran
konstitusi dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang tidak diselesaikan secara tuntas
lewat jalur hukum. Kejadian dua tahun yang lalu (1 Juni 2008), ketika peristiwa bentrokan antara
massa Front Pembela Islam (FPI) dan Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Berkeyakinan dan
Beragama (AKKBB) di Monumen Nasional (Monas) sangat memprihatinkan. Beberapa jam
setelah peristiwa itu muncul berbagai opini yang beraroma mengadu-domba. Opini itu
menggiring untuk membenturkan antara Islam dengan nasionalisme, yakni, pengotak-kotakan
ideologi Islam-nasionalis yang memberi kesan orang Islam tidak nasionalis dan sebaliknya
kalangan nasionalis tidak Islami. Apalagi pernyataan dari seorang anggota FPI yang berlatar
belakang Sarjana Hukum (Munarman, SH), yang menyatakan bahwa FPI berhak melakukan
tindakan kekerasan, oleh karena terjadi pelanggaran atas keputusan Majelis Ulama Indonesia
(MUI) yang menganggap aliran Ahmadiyah sebagai ajaran yang sesat. Pernyataan ini patut di
sesalkan, oleh karena seorang pakar hukum tersebut lupa “aturan konstitusional”, yakni,
keharusan berpegang teguh pada Undang-undang Dasar, selama belum diadakan yang baru
menurut Undang-undang tersebut (Aturan Peralihan Pasal II, UUD’45). Sejumlah tokoh bangsa
pun berusaha meluruskan “hakikat kebangsaan” demi menjaga integrasi bangsa agar tidak
diarahkan menuju pertentangan kuno bernuansa ideologi dan aliran. Salah satunya adalah Gus
Dur.
Sehari setelah peristiwa bentrokan tersebut, Gus Dur dikunjungi oleh beberapa orang
yang ingin meminta perlindungan kepadanya. Sebagai seorang pemimpin ulama terbesar di
Indonesia, tentu Gus Dur sangat prihatin dengan peristiwa tersebut. Keberpihakan Gus Dur
kepada AKKBB (Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Berkeyakinan dan Beragama) bukan
tanpa alasan. Disamping melanggar Hak Asasi Manusia (HAM), juga melanggar konstitusi,
yakni UUD 1945. Dalam berbagai tulisan dan sikap, Gus Dur selalu menjunjung tinggi nilai-nilai
kemanusiaan, terlebih lagi ketundukannya pada konstitusi. Jelas disini Gus Dur sadar Indonesia
adalah negara hukum (Civil-law). Pada titik inilah kemudian penulis menginterpretasikan
pemikiran-pemikiran Gus Dur dalam konteks sebagai seorang negarawan. Meskipun pemikiran
Gus Dur tidak dapat dipisahkan dari pemikirannya yang Islami. Karena Gus Dur lahir dan
dibesarkan di lingkungan pesantren.
Dalam konteks Gus Dur sebagai seorang negarawan inilah yang kemudian menggerakkan
penulis untuk mencari relasi antara Islam dan nasionalisme. Dalam arti ingin menunjukkan
bahwa di dalam Islam terdapat nasionalisme. Artinya, tidak bisa dikatakan kalau seorang Islamis
tidak nasionalis atau seorang nasionalis tidak Islami. Dan dalam konteks ini wawasan
kebangsaan dan orientasi keagamaan sangat penting untuk diketahui. Mengingat sejarah
terbentuknya karakteristik bangsa Indonesia tidak bisa dilepasaskan dari munculnya kerajaan-
kerajaan di nusantara, meskipun pada akhirnya Indonesia tercipta dari hasil kolonialisasi dan
imperialisme Eropa.

Wawasan Kebangsaan
Kebangsaan kita bukanlah sesuatu yang bersifat bulat dan tetap. Kebangsaan kita adalah
kebangsaan dengan cetakan masa lalu. Meminjam teori Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo, dalam
artikelnya ”Kebangkitan Nasional dan Nasionalisme Indonesia,” ia berpendapat bahwa
nasionalisme pertama-tama adalah penemuan identitas diri. Ini merupakan tingkat yang paling
primordial di mana kelompok masyarakat tertentu berusaha merumuskan identitas dirinya
berhadapan dengan kelompok-kelompok sosial lainnya. Identitas diri tersebut, begitu selesai
dirumuskan, akan menempatkan kelompok sosial tersebut sebagai yang berbeda dengan
kelompok sosial lainnya. Dengan demikian, proses penemuan identitas diri sekaligus menjadi
proses penetapan batas-batas (boundaries) yang membedakan ”kelompok kita” dari ”kelompok
mereka”.
Lebih jauh Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo mengatakan bahwa wujud tertinggi dari proses
pencarian dan perumusan identitas kebangsaan ini adalah munculnya nasionalisme politik yang
lebih jelas arah dan tujuannya. Nasionalisme politik mengusung proyek kemerdekaan Indonesia
sebagai tujuan yang hendak dicapai. Nah, begitu kesadaran kebangsaan seperti ini muncul,
kesadaran ini sendiri langsung membedakan bangsa Indonesia dari bangsa Belanda.
Nasionalisme politik kemudian diikuti dengan langkah-langkah praktis-konkret upaya
memperjuangkan kemerdekaan.2
Berdasarkan teori di atas, kebangsaan Indonesia pertama-tama berupa ”kesatuan kultur”
(culture-nation). Kesadaran akan kesatuan kultur ini mula-mula mendasarkan dirinya pada
persamaan-persamaan kultur yang utama, misalnya: kesamaan darah atau keturunan, suku
bangsa, daerah tempat tinggal, kepercayaan agama, bahasa dan kebudayaan. Kesatuan kultur ini
terdapat dalam pengertian ikrar Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928, ketika para pemuda
Indonesia bertekad untuk berbangsa satu, bertanah air satu dan berbahasa satu, Indonesia. Ketika
kebangsaan Indonesia berkembang menjadi ”kedaulatan politik” (nation-state), yang
dikumandangkan pada tanggal 17 Agustus 1945, nasionalisme merangkum atau
mengikutsertakan nilai-nilai lainnya seperti adanya persamaan hak bagi setiap orang untuk
memegang peranan dalam kelompok atau masyarakatnya serta adanya kepentingan ekonomi.
Perkembangan lebih lanjut tentu saja adalah adanya hak untuk menentukan nasib sendiri (self
determination) dan hak untuk tidak dijajah oleh bangsa lain (freedom from slavery).
Dalam konteks Indonesia dewasa ini (nation-state), menurut teori diatas tentu
nasionalisme tidak lenyap begitu saja. Musuh kita sekarang bukan lagi kolonialis – imperialis
melainkan siapa saja yang melanggar konstitusi; pelanggaran atas hak-hak asasi manusia;
ketidakadilan atas keadilan; menjadi musuh bersama, patut diserang atau dilawan. Perlawanan

2
Menurutnya, proses penemuan identitas diri ini muncul pertama-tama karena pengalaman negatif dijajah oleh
Belanda. Penjajahan Belanda telah menghasilkan diskriminasi yang melembaga yang menimbulkan rasa
inferioritas dalam diri orang Indonesia sendiri. Dalam kehidupan sehari-hari Belanda secara sengaja
mendiskriminasi orang-orang Indonesia melalui pakaian, bahasa, tempat tinggal, dan simbol-simbol otoritas
lainnya (Lihat: http://202.159. 18.43/jsi/1sartono.htm)
ini adalah wujud tertinggi dari nasionalisme itu sendiri. Ini berarti wujud nasionalisme kita tidak
pernah tetap dan bulat melainkan berubah-ubah sesuai dengan perkembangan zaman.
Pada titik inilah penulis memosisikan Gus Dur sebagai seorang nasionalis. Di mana Gus
Dur menjadikan konstitusi sebagai alat perjuangan atas dasar kemanusiaan; pembelaan atas hak-
hak asasi manusia; perlawanan atas ketidakadilan. Siapapun yang melanggar ketentuan tersebut
maka menjadi musuh bersama. Disamping itu, Gus Dur tidak pernah mengatasnamakan
pembelaannya pada agama, suku, maupun golongan, yang di bela Gus Dur ialah kemanusiaan
manusia itu sendiri, dalam konteks nation-state, yakni ”kedaulatan politik”.
Perjuangan tersebut kita temukan misalnya ketika Gus Dur menjadi Presiden RI yang ke-
4 (1999-2001), usaha pembelaan atas dasar kemanusiaan ini kemudian diwujudkan dalam
beberapa kebijakan yang diambilnya. Pertama, pembubaran Departemen Penerangan (Deppen)
dan Departemen Sosial (Depsos). Pada era Orde Baru Deppen menjadi otoritas kekuasaan yang
memasung kebebasan pers, yang seharusnya menjadi pilar demokratisasi (free public sphere)
terbungkam demi pengawasaan kekuasaan. Deppen menentukan mana informasi yang boleh
disebarkan, dan mana informasi yang subversive. Demikian juga Depsos menjadi sarang yang
subur untuk menanam benih-benih Kleptokrasi dan KKN, yang disebabkan arah mekanisme
birokrasi yang tidak jelas. Kedua, demiliterisasi. Ini dilakukan Gus Dur dengan menciptakan
reposisi militer yang selama Orde Baru mempunyai dwifungsi. Hasilnya, April 2000, TNI
memutuskan meninggalkan peran sosio-politik, untuk konsentrasi dalam bidang pertahanan.
Langkah ini kemudian segera ditindaklanjuti oleh Gus Dur dengan mengeluarkan Keppres No
89/2000, yakni pemisahan TNI-Polri. Supremasi ini dilakukan Gus Dur dengan menunjuk TNI
sebagai pemegang komando lapangan di bawah Dephan yang dipegang oleh sipil, sementara
Polri di fokuskan dalam pelayanan dan keamanan masyarakat. Tapi sayang, faktanya sampai
sekarang perumusan itu belum tuntas.
Selain itu, Gus Dur juga melakukan hal yang di nilai kontroversial, yakni ide tentang
pencabutan TAP MPRS No XXV/1966 tentang pelarangan ajaran Marxisme-Leninisme. Tentu
ini hanya sebatas wacana, sebab presiden tidak memilik otoritas pencabutan TAP tersebut. Selain
bersifat diskriminatif, TAP tersebut juga di nilai Gus Dur tidak memiliki rasa kemanusiaan,
karena telah mengutuk anak cucu PKI dalam isolasi politik, serta pemberangusan ajaran-ajaran
komunisme. Ide pencabutan juga berangkat dari fakta, bahwa sekuat apapun ajaran di larang ia
pasti akan merasuki relung-relung kesadaran masyarakat dan tidak ada yang namanya dosa
turunan. Pembelaan terhadap minoritas juga dilakukan Gus Dur dengan mencabut Inpres No
14/1946 tentang agama yang sah dan agama yang terlarang dan menggantinya dengan Keppres
No 6/2000, sekaligus mengesahkan keturunan Tionghua yang bertempat tinggal di Indonesia
sebagai warga negara Indonesia serta menjadikan tahun baru Cina sebagai hari libur nasional.
Hasilnya, Konghucu dan Cina menikmati kebebasan ekspresif atas kebudayaan keagamaannya.
Gus Dur berhasil menghancurkan otoritarianisme negara atas kebebasan beragama. Disamping
itu, Gus Dur juga mendirikan bebarapa lembaga, seperti; Komisi Hukum Nasional, dan Komisi
Ombudsman, guna memperkuat kontrol masyarakat atas pelaksanaan aparatur negara;
mendirikan Departemen Eksplorasi Kelautan dan Perikanan, sebagai suatu usaha pembangunan
ekonomi di bidang kelautan; memprakarsai poros Asia-Afrika pada KTT G-15 Mei 2001, untuk
melakukan counter balancing atas dominasi negara maju atas negara berkembang.3

3
Syaiful Arif, GUS DUR dan Ilmu Sosial Transformatif, Depok: Koekoesan, 2009
Disamping itu, menurut Gus Dur penemuan identitas diri menjadi sebuah bangsa
berlangsung secara gradual. Artinya, pencarian tak berkesudahan akan sebuah perubahan sosial
tanpa memutuskan sama sekali ikatan dengan masa lampau. 4 Dengan demikian, dibutuhkan
kesadaran sejarah yang kuat untuk meng-eksis dan menghidupkan bangsa Indonesia. Dalam arti
memahami bagaimana Indonesia muncul dan terbentuk, baik secara birokratis diatur dan secara
geografis berada. Menurut Gus Dur, bangsa Indonesia mempunyai dua versi sejarah. Versi
perbedaan agama dan versi pertentangan akibat ambisi-ambisi politik pribadi para bangsawaan
dan abdi dalem kerajaan. Perbedaan agama dapat mendorong munculnya kerajaan-kerajaan baru,
tetapi juga ambisi-ambisi politik pribadi dapat juga menyebabkan timbulnya kerajaan-kerajaan
baru, seperti yang terjadi pada Kerajaan Daha dan Kerajaan Jenggala di Kediri. Dari sinilah
kemudian kita terjebak oleh keharusan membaca sejarah lama kita dalam versi yang berbeda-
beda, dan mau tidak mau kita harus memilih antara dua versi sejarah tersebut. Inilah yang
seharusnya kita lakukan, bukan lalu sekedar menghafal tahun-tahun dan nama-nama tokoh atau
kerajaan. Kita bukannya mengingat-ingat kejadian, melainkan memahami sejarah sebagai sebuah
proses.5
Refleksi historis atas kesadaran sejarah Gus Dur dasarkan pada versi perbedaan agama.
Di mana agama tidak pernah dijadikan panutan tunggal, melainkan begitu banyak keyakinan
berkembang. Inilah kemudian yang membentuk corak pluralistik pemikiran Gus Dur. Marilah
kita simak refleksi historis tersebut:

”pada abad ke-6 masehi kerajaan Sriwijaya di Sumatra Selatan telah didatangi oleh Fahien, yang
menyebarkan agama Budha di daerah Sriwijaya. Ketika kemudian Sriwijaya mengirimkan orang-
orang Budha ke pulau Jawa pada abad ke-8 maka mereka mendarat di pelabuhan Pekalongan dan
meneruskan perjalanan ke Selatan melalui Keras, Kajen dan sebagainya. Mereka mendaki gunung
Dieng, dan mendapati kerajaan Kalingga yang beragama Hindu. Kerajaan Kalingga itu dibiarkan
saja mengikuti agama Hindu, di kawasan yang sekarang bernama kabupaten Wonosobo. Orang-
orang Budha itu melanjutkan perjalanan melalui Kabupaten Magelang, dan mendirikan Candi
Borobudur yang beragama Budha. Sebagian dari orang-orang Sriwijaya itu melanjutkan
perjalanan ke daerah Yogyakarta. Di sana mereka mendirikan kerajaan Kalingga, tapi beragama
Budha.

Pada abad ke-9 masehi, di daerah Prambanan mereka mendirikan Candi Rara Jongrang, terkenal
dengan sebutan Candi Prambanan. Candi tersebut sudah menjadi tempat beribadat cara Budha.
Pada abad ke-10 masehi, orang-orang Budha di daerah Prambanan itu kemudian berpindah 500
kilometer jauhnya, yaitu ke daerah Kediri. Kerajaan yang mereka dirikan itu di sana, memiliki
rakyat yang beragama Hindu-Budha. Raja mereka yang sangat terkenal adalah Prabu Airlangga
dari daerah Kediri/Daha itu dua abad kemudian mereka berpindah ke Singosari di Malang. Raja
mereka yang terkenal adalah Ken Arok. Singosari bertahan hingga abad ke-13, terakhir dipimpin
oleh Prabu Kertanegara. Pada abad ke-13, menantunya yang beragama Islam (santri) bernama
Raden Wijaya, mendirikan kerajaan Majapahit disebelah utara, yaitu di pinggiran sungai Brantas
mereka di dukung oleh angkatan laut Tiongkok, yang sudah beragama Islam. Namun tidak dapat
dicegah adanya pertempuran antara kaum santri dan kaum Hindu-Budha (yang sering juga disebut
kaum Bhairawa). Ketika kaum Hindu-Budha itu memerangi mereka, banyak orang santri yang
mati terbunuh atau luka-luka berat di Troloyo, sekitar 2 kilometer sebelah selatan Trowulan pusat
Kerajaan Majapahit Prabu Brawijaya V dari Majapahit, disamping memiliki permaisuri yang
beragama Hindu-Budha, juga memiliki istri selir berasal dari Kampuchia. Istri selir itu beragama
Islam dan mempunyai anak darinya dua orang. Yang besar bernama Tan Eng Koat, adiknya
adalah Tan A Lok. Tan A Lok ini kawin dengan Tan Kim Han, duta besar Tiongkok untuk
4
Abdurrahman Wahid, Prisma Pemikiran Gus Dur, Yogyakarta: LKiS, 2010
5
Abdurrahman Wahid, Membaca Sejarah Nusantara, Yogyakarta: LKiS, 2010
Majapahit. Tan Eng Hoat, dalam pertempuran di Troloyo itu gugur, bersama-sama banyak pejuang
lain. Kakak iparnya, yaitu Tan Eng Hoat kemudian dibawa lari ke daerah Demak sekarang setelah
sembuh dari luka-luka beratnya ia mendirikan Kesultanan Demak, di mana ia menjadi Sultan
pertama dan memakai nama Raden Patah. Dari kesultanan Demak inilah akan lahir seorang
pemimpin yang kemudian bergelar Sultan Agung Hanyakra Kusuma. Ia menjadi raja pertama
dinasti Mataram di Yogyakarta.

………..

Pada tahun 1919 tiga orang bersaudara sepupu membuat acara tetap yang berusaha menyelaraskan
ajaran Islam dan semangat kebangsaan. Mereka adalah Haji Oemar Said Tjokroaminoto, KH. M.
Hasjim As’yari dan Pesantren Tebu Ireng kabupaten Jombang, yang sekitar 100 kilometer jauhnya
dari kota Surabaya. Mereka dilengkapi dengan KH. A. Wahab Chasbullah dari Pondok Pesantren
Tambak Beras, dari kabupaten yang sama. H.O.S Tjokroaminoto memiliki menantu bernama
Soekarno yang kemudian hari lebih terkenal dengan sebutan Bung Karno. Tiga orang sepupu itu,
dalam diskusi-diskusi itu membawakan ajaran-ajaran agama Islam. Sedangkan Soekarno,
membawakan semangat kebangsaan. Diskusi tiap hari kamis itu berlanjut hingga tahun 1926, saat
Nahdlatul Ulama berdiri secara tidak terasa, para kyai yang tergabung dalam NU terbiasa dengan
dialog antara ajaran Islam dan semangat kebangsaan. Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa
pembahasan-pembahasan itu pada akhirnya membuat NU yang senantisa berpegang kepada
ajaran-ajaran agama Islam, tidak pernah melupakan semangat kebangsaan itu. Karena itu, tidak
heran jika Muktamar NU ke-9 di Banjarmasin (tahun 1935) kemudian memutuskan orang-orang
santri tidak wajib mendirikan negara Islam.”6

Berangkat dari refleksi historis inilah Gus Dur melihat potensi nasionalisme itu sudah ada
sejak berdirinya kerajaan-kerajaan di Nusantara. Inilah yang mendasari pemikirannya yang
pluralistik. Dalam konteks negara-bangsa (nation-state), menurut Gus Dur, Indonesia terbentuk
oleh kemajemukan. Kemajemukan yang membentuk persatuan. Bukan karena persamaan agama,
ras, suku, wilayah dan bahasa, melainkan karena bersama-sama ingin hidup menjadi satu.
Berbeda dengan di negeri Arab dan Iran misalnya, terbentuk oleh homogenitas Islam itu sendiri.
Pemikirannya ini kemudian dituangkan dalam Forum Demokrasi yang dibentuk pada
dekade 1990, dimana Gus Dur menjadi seorang radikalis dalam menghadapi hegemoni negara.
Begitu pula ketika Gus Dur menjadi Ketua Umum PBNU. Pada tanggal 1 maret 1992, ketika
anggota NU (Nahdlatul Ulama) merayakan ulang tahun organisasinya yang ke-68 di Stadion
Utama Senayan Jakarta, Gus Dur secara eksplisit menegaskan kembali kesetiaan NU kepada
Pancasila sebagai ideologi negara dan falsafah hidup bangsa Indonesia. Di sini Gus Dur
membangun citra dirinya sebagai pendukung kuat dari idealisme negara Pancasila. Pancasila
yang cenderung menjadi hak monopoli pemerintah setiap kali dibicarakan atau Pancasila hanya
sekedar sebagai mantra yang digunakan oleh para pejabat untuk melengkapi pidato-pidatonya,
oleh Gus Dur justru ditampilkan sebagai jawaban atas masalah-masalah inti dalam kehidupan
politik dan kemasyarakatan. Bagi Gus Dur, penghormatan terhadap hak asasi manusia yang
secara implisit terkadung di dalam Pancasila merupakan prasyarat yang sangat penting dalam
pembangunan sebuah masyarakat demokratis di negeri ini.7 Gus Dur dengan gagasan

6
Lht. Abdurrahman Wahid, Merajut Akar-akar Kebangsaan Indonesia, Posted Wed, 07/01/2009 - 21:48 by
syarikat

7
Lht. Douglas E. Ramage, Ph.D. “Pemahaman Abdurrahman Wahid Tentang Pancasila dan Penerapannya Dalam
Era Pasca Asas Tunggal”, Februari, 1994
pluralismenya, merancang masa kini – dalam konteks masa di mana secara politik gagasannya
terbentuk – diskriminasi dan pelanggaran hak asasi manusia menjadi titik tolak dari kesadaran
Gus Dur telah melahirkan corak pemikiran pluralis.
Begitu pula dengan kedatangan Islam di nusantara dan cara menyebarkannya, ialah
dengan cara damai, yakni, perdagangan, dakwah dan perkawinan. Akan tetapi, dalam
perkembangannya agama (Islam) kemudian bersifat politis. Karena dijadikan alat politik oleh
golongan bangsawan yang menghendaki kekuasaan. Mereka bersekutu dengan pedagang muslim
yang ekonominya kuat karena penguasaan pelayaran di laut dan perdagangan. Apabila telah
terwujud kerajaan Islam, barulah kemudian melancarkan perang terhadap kerajaan bukan Islam.
Bukan semata-mata karena agamanya, melainkan karena dorongan politik untuk menguasai
kerajaan-kerajaan di sekitarnya. Seperti, Gowa terhadap kerajaan lainnya di Sulawesi Selatan,
Demak terhadap kerajaan-kerajaan Jawa-Hindu. Terhadap persamaan agamapun tidak menjadi
jaminan bahwa permusuhan tidak bisa terjadi. Jika kepentingan politik dan ekonomi antar
kerajaan Islam itu sendiri terancam, maka besar kemungkinan terjadi peperangan. seperti yang
pernah terjadi, antara Pajang terhadap Demak, Aceh terhadap Aru, Banten terhadap Palembang,
Ternate terhadap Tidore, Gowa terhadap Bone. Selain itu kebijaksanaan raja Gowa memberikan
keleluasan bagi orang-orang Portugis untuk menganut agama Khatolik di pusat kerajaannya,
bahkan Gowa mengadakan persahabatan dengan Portugis, karena adanya kepentingan bersama
di bidang politik dan ekonomi yang terancam oleh politik ekonomi Barat, yang terkenal lewat
VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie).8 Inilah yang disebut Gus Dur sebagai fakta
historis, bahwa faktor kawasan menjadi sangat penting dalam sejarah bangsa kita, tidak ada
kesatuan ideologis, melainkan begitu banyak pandangan-pandangan yang berkembang, tidak
pernah dicoba untuk menjadikan panutan tunggal.

Orientasi Keagamaan
Gus Dur yang lahir dan di besarkan di lingkungan pesantren, tentu tidak bisa dilepaskan
dari pemikirannya yang Islami. Meskipun penulis dalam tulisan ini menempatkan Gus Dur
dalam konteks sebagai seorang negarawan. Menurut Gus Dur Islam tidak bisa dilepaskan dari
politik. Namun, Islam di Indonesia berbeda dengan Islam di negeri Arab pada umumnya. Karena
Islam ketika kehadirannya datang sebagai protes terhadap praktik-praktik dagang antar pedagang
jazirah Arab waktu itu.
Pemikirannya tersebut kemudian dituangkan dalam ide pembaruan Islam yang disebutnya
sebagai ”Pribumisasi Islam”. Konsep ini dipergunakan sebagai usaha memahami nash dalam
kaitannya dengan masalah-masalah di Indonesia. Namun, bukanlah dimaksud sebagai upaya
Jawanisasi atau Sinkritisasi ajaran Islam. Pribumisasi Islam dimaksudkan, bagaimana
mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan lokal di dalam merumuskan hukum-hukum agama,
tanpa mengubah hukum itu sendiri. Gus Dur menyatakan: “Bukannya upaya meninggalkan
norma demi budaya, tetapi agar norma-norma itu menampung kebutuhan-kebutuhan dari budaya
dengan mempergunakan peluang yang disediakan oleh variasi pemahaman nash, dengan tetap
memberikan peranan kepada ushul fiqh dan qaidah fiqh.”
Dalam hal ini Gus Dur menuntut agar wahyu dipahami dengan mempertimbangkan
faktor-faktor kontekstual, termasuk kesadaran hukum dan rasa keadilan. Namun, Gus Dur juga
8
Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia III, Jakarta: Balai
Pustaka, 1990
memberi batasan mengenai sejauh mana kewenangan usaha pribumisasi tersebut, sebagai
berikut: ”Dalam proses ini pembaruan Islam dengan budaya tidak boleh terjadi, sebab berbaur
berarti hilangnya sifat-sifat asli. Islam harus tetap pada sifat Islamnya. Al-Qur’an harus tetap
dalam bahasa Arab, terutama dalam shalat, sebab hal ini telah merupakan norma. Sedangkan
terjemahan Al-Qur’an hanyalah dimaksudkan untuk mempermudah pemahaman, bukan
menggantikan Al-Qur’an itu sendiri.”9
Pernyataan Gus Dur ini bukan tidak mendapat tekanan atau perlawanan dari pihak-pihak
yang merasa Islam buuanggettt. Kelompok-kelompok fundamentalis dan radikalis misalnya yang
ingin mendirikan negara Islam. Mereka bahkan menuduh Gus Dur sebagai seorang yang telah
keluar dari ajaran Islam yang sesungguhnya. Mereka beranggapan bahwa dengan memurnikan
ajaran Islam atau reideologisasi Islam, maka umat Islam akan sejahtera, dengan memperkuat
struktur agama, maka sekaligus ia menjalankan peranan membebaskan manusia. Dengan kata
lain ketika struktur di kuasai otomatis non muslim akan masuk Islam dengan sendirinya. Inilah
sebab mengapa orang-orang Islam garis keras kemudian berpolitik. Namun, menurut Gus Dur
tidakkah gerakan-gerakan ini nantinya akan terjebak pada kekuasaan. Sebab jika gerakan ini
berhasil menguasai negara, maka apakah mereka tidak akan mempertahankan kekuasaan dari
musuh-musuh politiknya. Lebih jauh lagi Gus Dur mengatkan: “Bahwa agama hanya berfungsi
suplementer dan hanya menyediakan sarana bagi proses perubahan itu sendiri, bukan agama
yang membuat perubahan itu. Dunia berkembang menurut perkembangan dunianya sendiri.
Agama hanya mampu mempengaruhi sejauh dunia itu siap dipengaruhi, tidak lebih dari itu.
Begitu agama mengubah dirinya menjadi penentu, tidak lagi mempengaruhi, tetapi menentukan,
maka dia telah menjadi duniawi. Kalau ini yang terjadi, pada gilirannya ia bisa mengundang
sikap represif. Agama menjadi represif untuk mempertahankan dirinya.”10
Gus Dur secara eksplisit mengatakan bahwa Islam tidak mengenal suatu bentuk negara,
karena Islam tidak mempunyai landasan dalam Al-Qur’an atau hadis tentang konsep sebuah
negara dan tidak mempunyai konsep pergantian kepemimpinan yang jelas. Seperti Abul A’la Al-
Maududi misalnya yang menganggap adanya sebuah konsep Negara dalam Islam. Menurut Gus
Dur, ia tidak membedakan antara orientasi kehidupan dengan konsep sebuah bangsa. Karena itu
ia menganggap tidak ada nasionalisme dalam Islam. Padahal, di dalam Islam terdapat
nasionalisme.11
Di dalam Al-Qur’an terdapat term bangsa sebagai akar kata kebangsaan. Allah menyebut
term “qaum” 283 kali, “syu’ub” 2 kali, dan “ummat” 64 kali.12 Kebangsaan Indonesia patut

9
Abdurrahman Wahid, Konseptualisasi Pemahaman Kontekstual Ajaran Islam, Pelita, 23 Desember 1990
10
Lht. Abdurrahman Wahid, Jangan Paksakan Paradigma Luar Terhadap Agama, Hal: 169
11
Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita, Jakarta: The WAHID Institute, 2006
12
Ada empat pointers yang dapat kita tarik dari ratusan ayat tersebut sebagai karakter suatu bangsa. Pertama,
bahwa bangsa berarti komunitas manusia secara keseluruhan. Manusia adalah ummat (bangsa) yang satu.
Kesatuan manusia dalam suatu wadah “bangsa” ini karena satunya asal-usul mereka dari Adam dan Hawa’.
Kedua, bahwa bangsa hanya khusus kaum muslimin saja. Ketiga, bahwa ummat berarti seorang diri saja. Dan
keempat, bahwa bangsa atau ummat itu meliputi seluruh makhluk di muka bumi. Dari keempat karakter bangsa
ini, dapat ditarik suatu benang merah, bahwa hakikat kebangsaan tidak terlepas dari suatu generasi dan
komunitas. Seorang shufi agung dari Mursia Spanyol, Muhyiddin Ibn Arabi (w. 638 H), pernah mengemukakan,
bahwa hakikat dari kebhinekaan dan keragaman manusia serta alam seisinya merupakan tajalli (emansi) Tuhan
Yang Maha Esa. Tetapi, karena manusia memiliki potensi untuk ifsad (berbuat kerusakan) dan safkid-dima’
(menumpahkan darah), maka terjadilah perpecahan dan perselisihan antar komponen dan etnik manusia serta
disyukuri dan dibina, karena merupakan anugerah yang diberikan Tuhan kepada kita.
Mengingkarinya berarti sama halnya dengan mencampakkan pesan-pesan yang telah diwariskan
Nabi saw.
Kesalahan penafsiran konsep ”ummat” dapat mengakibatkan kesalah pahaman di antara
umat Islam. Dalam salah satu tulisannya, Gus Dur secara implisit mengatakan bahwa:
”Konsep umat kadang-kadang begitu khas, kadang-kadang begitu umum. Pada awalnya, kata itu
merujuk pada komunitas orang beriman yang relatif kecil, yang mengamalkan ajaran Islam secara
utuh, seperti yang dirumuskan oleh Nabi Muhammad. Segera setelah itu, makna kata itu menjadi
komunitas dunia, gabungan (oikoumene) bangsa-bangsa dengan warisan kaya peninggalan
peradaban sebelumnya. Konsep umat ini dulu dan masih berarti apa yang dikonsepkan ahli sejarah
tentang ”imamah” atau ”khilafah”. Sadar atas bagian yang besar ini, komunitas Islam universal
merupakan elan yang mendukung konsep ini.

Belakangan, selama periode kolonial, istilah umat memiliki makna yang lebih sempit: ia
merupakan bagian dari unit rasial, kelompok etnis, atau entitas kultural, dan digunakan dalam
frase-frase seperti umat Arab (‘ummah ‘arabiyah), sebagaimana dicirikan dengan munculnya
kampung Arab (Arab town) di kota-kota Asia Tenggara. Setelah kemerdekaan, makna umat
menjadi terbatas lagi. Ia menunjuk keanggotaan dalam gerakan Islam formal, seperti yang biasa
digunakan di negeri ini, umat Islam Indonesia.”13

Meski demikian, perbedaan-perbedaan penafsiran dikalangan umat Islam sering terjadi.


Bahkan menggunakan kekerasan untuk mewujudkan upaya-upaya mereka, jika diperlukan. Nah,
untuk mengantisipasi terjadinya situasi seperti ini, Gus Dur menawarkan dua kerangka kerja:
Pertama, di negara-negara di mana negara Islam formal itu sulit – jika bukan tidak mungkin –
dibangun, Islam harus memainkan peran sebagai penjamin martabat manusia melalui program-
program aksi untuk menjamin keselamatan fisik warga negara secara individual, hak warga
untuk melindungi keluarga dan keturunan mereka, keselamatan milik mereka, dan kewajaran
dalam profesi mereka. Dengan demikian kerangka kerja ini bertujuan untuk meningkatkan
standar kehidupan sosio-ekonomis sekaligus melindungi hak-hak sosio-politis dari sektor-sektor
masyarakat yang merugikan, dan untuk mendukung saling menghormati hubungan antariman
(interfaith relation). Kedua, pencapaian transformasi nasional (nation-state) harus diletakkan
dalam sebuah konteks ”koalisi nasional” dengan kelompok-kelompok yang tidak bermotif
religius, seperti lembaga-lembaga bantuan hukum, kelompok-kelompok lingkungan dan
perkumpulan yang berupaya membantu teknologi tepat guna bagi daerah-daerah pedesan. Dalam
hal ini gerakan-gerakan Islam memerlukan sikap yang inklusif, dengan menekankan persamaan
ketimbang perbedaan-perbedaan jika berhubungan dengan organisasi-organisasi berlatar iman
selain Islam.14
Disamping itu, pada Muktamar NU ke-9 tahun 1935 di Borneo Banjarmasin, para kiyai
NU dengan tegas menyatakan bahwa NU tidak akan mendirikan negara Islam. Karena Hindia-
Belanda di kategorikan sebagai Negara Damai. Artinya, orang Islam merasa tidak tertanggu
(damai) dalam menjalankan ibadahnya. Itulah sebab mengapa kemudian tokoh-tokoh eksponen
seperti, H.O.S Tjokroaminoto, KH. M. Hasjim Asy’ari, Bung Karno dan Djojosugito, melakukan
dialog terbuka secara terus menerus antara Islam dan Kebangsaan. Menurut Gus Dur, kalau hal

tercabik-cabik dalam banyak suku bangsa (negara). Lht. Prof. DR. KH. Said Aqiel Siradj, MA, Islam Kebangsaan,
Jakarta: FATMA PRESS, 1999, Hal: 191-192
13
Abdurrahman Wahid, Dkk, Islam Tanpa Kekerasan, Yogyakarta: LKiS, 2010
14
Ibid
ini kita lupakan sekarang dan kita mengikuti “garis perjuangan” Hizbut Tahrir Indonesia (HTI),
PKS (Partai Keadilan Sejahtera) atau Front Pembela Islam (FPI) yang ingin mendirikan negara
Islam, maka kita akan menyalahi keputusan Muktamar tersebut.

Catatan Akhir
Dari uraian di atas, jelas, antara yang nasionalis dan religius tidak bisa di pisahkan begitu
saja. Artinya, seorang yang Islamis pasti juga nasionalis. Agama memerlukan tempat – negara –
dan wajib di bela. Sikap menjunjung tinggi nilai-nilai luhur bangsa dan berpegang teguh pada
ajaran agamanya memosisikan Gus Dur sebagai seorang Nasionalis-Religius. Meskipun antara
nasionalis dan religius merupakan dikotomi yang saling berkontradiksi. Bahwa nasionalis adalah
produk sekuler, sementara religius adalah produk transendental. Akan tetapi, kedua term ini bisa
kita temukan pada diri Gus Dur, seperti yang telah di deskripsikan di atas. Gus Dur sebagai
seorang religius tentu juga seorang nasionalis.
Visi kebangsaan yang dibangun Gus Dur mempunyai ciri khas tersendiri. Inilah
kemudian yang membedakannya dengan Bung Karno. Jika Bung Karno ingin menyatukan antara
yang nasionalis, yang Agamais dengan yang Marxis, sebagai pisau pemersatu bangsa. Maka Gus
Dur berangkat dari fakta historis – bahwa Indonesia disatukan oleh kemajemukan, – yang
membentuk persatuan. Dengan menggunakan konstitusi sebagai alat perjuangannya – untuk
memanusiakan manusia.

You might also like