You are on page 1of 2

Bandung Lautan Api

Peristiwa Bandung Lautan Api adalah peristiwa kebakaran besar yang terjadi di kota Bandung,
provinsi Jawa Barat pada bulan Maret 1945. Dalam waktu tujuh jam, sekitar 200.000 penduduk
membakar rumah dan harta benda mereka, meninggalkan kota menuju pegunungan di daerah
selatan Bandung. Hal ini dilakukan untuk mencegah tentara Sekutu dan tentara NICA Belanda
menguasai kota tersebut. Keputusan untuk membumihanguskan Bandung diambil melalui
musyawarah Madjelis Persatoean Perdjoangan Priangan (MP3) di hadapan semua kekuatan
perjuangan, pada tanggal 24 Maret 1945. Kol. Abdoel Haris Nasoetion selaku Komandan Divisi
III, mengumumkan hasil musyawarah tersebut dan memerintahkan untuk meninggalkan Kota
Bandung. Hari itu juga, rombongan besar penduduk Bandung mengalir panjang meninggalkan
kota dan malam itu pembakaran kota berlangsung. Selanjutnya TRI melakukan perlawanan
secara gerilya dari luar Bandung. Peristiwa ini mengilhami lagu Halo-Halo Bandung yang nama
penciptanya masih diperdebatkan. Beberapa tahun kemudian, lagu "Halo-Halo Bandung" ditulis
untuk melambangkan emosi mereka, seiring janji akan kembali ke kota tercinta, yang telah
menjadi lautan api.
Insiden Perobekan Bendera
Setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Indonesia belum sepenuhnya merdeka.
Kemerdekaan harus dicapai sedikit demi sedikit melalui perjuangan rakyat yang rela
mengorbankan segalanya. Setelah Jepang kalah, tentara Inggris datang untuk melucuti tentara
Jepang. Mereka berkomplot dengan Belanda (tentara NICA) dan memperalat Jepang untuk
menjajah kembali Indonesia.
Berita pembacaan teks Proklamasi Kemerdekaan dari Jakarta di terima di Bandung melalui
Kantor Berita DOMEI pada hari Jumat pagi, 17 Agustus 1945. Esoknya, 18 Agutus 1945,
cetakan teks tersebut telah tersebar. Dicetak dengan tinta merah oleh Percetakan Siliwangi. Di
Gedung DENIS, Jalan Braga (sekarang Gedung Bank Jabar), terjadi insiden perobekan warna
biru bendera Belanda, sehingga warnanya tinggal merah dan putih menjadi bendera Indonesia.
Perobekan dengan bayonet tersebut dilakukan oleh seorang pemuda Indonesia bernama
Mohammad Endang Karmas, di bantu oleh Moeljono.
Tanggal 27 Agustus 1945, dibentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR), disusul oleh terbentuknya
Laskar Wanita Indonesia (LASWI) pada tanggal 12 Oktober 1945. Jumlah anggotanya 300
orang, terdiri dari bagian pasukan tempur, Palang Merah, penyelidikan dan perbekalan.
Peristiwa yang memperburuk keadaan terjadi pada tanggal 25 November 1945. Selain
menghadapi serangan musuh, rakyat menghadapi banjir besar meluapnya Sungai Cikapundung.
Ratusan korban terbawa hanyut dan ribuan penduduk kehilangan tempat tinggal. Keadaan ini
dimanfaatkan musuh untuk menyerang rakyat yang tengah menghadapi musibah.
Berbagai tekanan dan serangan terus dilakukan oleh pihak Inggris dan Belanda. Tanggal 5
November 1945, beberapa pesawat terbang Inggris membom daerah Lengkong Besar. Pada
tanggal 21 Desesmber 1945, pihak Inggris menjatuhkan bom dan rentetan tembakan membabi
buta di Cicadas. Korban makin banyak berjatuhan.
Bandoeng Laoetan Api
Ultimatum agar Tentara Republik Indonesia (TRI) meninggalkan kota dan rakyat, melahirkan
politik "bumihangus". Rakyat tidak rela Kota Bandung dimanfaatkan oleh musuh. Mereka
mengungsi ke arah selatan bersama para pejuang. Keputusan untuk membumihanguskan
Bandung diambil melalui musyawarah Majelis Persatuan Perjuangan Priangan (MP3) di hadapan
semua kekuatan perjuangan, pada tanggal 24 Maret 1946.
Kolonel Abdul Haris Nasution selaku Komandan Divisi III, mengumumkan hasil musyawarah
tersebut dan memerintahkan rakyat untuk meninggalkan Kota Bandung. Hari itu juga,
rombongan besar penduduk Bandung mengalir panjang meninggalkan kota.
Bandung sengaja dibakar oleh TRI dan rakyat dengan maksud agar Sekutu tidak dapat
menggunakannya lagi. Di sana-sini asap hitam mengepul membubung tinggi di udara. Semua
listrik mati. Inggris mulai menyerang sehingga pertempuran sengit terjadi. Pertempuran yang
paling seru terjadi di Desa Dayeuhkolot, sebelah selatan Bandung, di mana terdapat pabrik mesiu
yang besar milik Sekutu. TRI bermaksud menghancurkan gudang mesiu tersebut. Untuk itu
diutuslah pemuda Muhammad Toha dan Ramdan. Kedua pemuda itu berhasil meledakkan
gudang tersebut dengan granat tangan. Gudang besar itu meledak dan terbakar, tetapi kedua
pemuda itu pun ikut terbakar di dalamnya. Staf pemerintahan kota Bandung pada mulanya akan
tetap tinggal di dalam kota, tetapi demi keselamatan maka pada jam 21.00 itu juga ikut keluar
kota. Sejak saat itu, kurang lebih pukul 24.00 Bandung Selatan telah kosong dari penduduk dan
TRI. Tetapi api masih membubung membakar kota. Dan Bandung pun berubah menjadi lautan
api.
Pembumihangusan Bandung tersebut merupakan tindakan yang tepat, karena kekuatan TRI dan
rakyat tidak akan sanggup melawan pihak musuh yang berkekuatan besar. Selanjutnya TRI
bersama rakyat melakukan perlawanan secara gerilya dari luar Bandung. Peristiwa ini
melahirkan lagu "Halo-Halo Bandung" yang bersemangat membakar daya juang rakyat
Indonesia.
Bandung Lautan Api kemudian menjadi istilah yang terkenal setelah peristiwa pembakaran itu.
Banyak yang bertanya-tanya darimana istilah ini berawal. Almarhum Jenderal Besar A.H
Nasution teringat saat melakukan pertemuan di Regentsweg (sekarang Jalan Dewi Sartika),
setelah kembali dari pertemuannya dengan Sutan Sjahrir di Jakarta, untuk memutuskan tindakan
apa yang akan dilakukan terhadap Kota Bandung setelah menerima ultimatum Inggris.
Jadi saya kembali dari Jakarta, setelah bicara dengan Sjahrir itu. Memang
dalam pembicaraan itu di Regentsweg, di pertemuan itu, berbicaralah semua
orang. Nah, disitu timbul pendapat dari Rukana, Komandan Polisi Militer di
Bandung. Dia berpendapat, “Mari kita bikin Bandung Selatan menjadi lautan
api.” Yang dia sebut lautan api, tetapi sebenarnya lautan air”
A.H Nasution, 1 Mei 1997
Istilah Bandung Lautan Api muncul pula di harian Suara Merdeka tanggal 26 Maret 1946.
Seorang wartawan muda saat itu, yaitu Atje Bastaman, menyaksikan pemandangan pembakaran
Bandung dari bukit Gunung Leutik di sekitar Pameungpeuk, Garut. Dari puncak itu Atje
Bastaman melihat Bandung yang memerah dari Cicadas sampai dengan Cimindi.
Setelah tiba di Tasikmalaya, Atje Bastaman dengan bersemangat segera menulis berita dan
memberi judul Bandoeng Djadi Laoetan Api. Namun karena kurangnya ruang untuk tulisan
judulnya, maka judul berita diperpendek menjadi Bandoeng Laoetan Api.

You might also like