You are on page 1of 7

PERMASALAHAN MENTAWAI.

Oleh :H.Mas’oed Abidin

Mentawai adalah satu gugusan kepulauan yang membujur dari utara ke


selatan, sepanjang pantai barat Sumatera Barat, -- dari Air Bangis hingga
mendekati Bengkulu -- Suatu gugusan pulau terpanjang di dalam wilayah
Kabupaten Pariaman. Terdiri dari empat pulau besar, Siberut, Sipora, Pagai
Utara dan Pagai Selatan, dan di dampingi oleh hampir 72 pulau-pulau kecil
lainnya.
Mentawai yang terbagi kepada empat kecamatan ini (Siberut Utara,
Siberut Selatan, Sipora dan Pagai Utara Selatan), mempunyai luas wilayah ±
6.549 km² dengan jumlah penduduk 63.732 jiwa (1994)1)
Daerah yang luas ini, baru terolah sekitar 845,45 km² (1993)2) atau berarti
12,91 %. Daerah yang telah tersisi diantaranya menjadi program Taman Nasional
Siberut dan proyek-proyek transmigrasi Sipora, dan juga rencana-rencana
perkebunan masa datang.
Keadaan kehidupan masyarakat Mentawai masih tradisional. Tingkat
pendidikan masih rendah. Kemampuan ekonomi yang kurang mendukung,
sangat memberati kesanggupan penduduk menyekolahkan anak-anaknya keluar
daerah sangat terbatas.
Salah satu upaya mendesak dalam memajukan Mentawai adalah melalui
peningkatan pengetahuan, keterampilan penduduk secara merata, dan
meningkatkan taraf perekonomian mereka.
Penduduk Mentawai -- teristimewa di Sipora -- telah menyediakan dan
menyerahkan lahan ulayat mereka untuk mensukseskan program transmigrasi.
Akan tetapi dalam pelaksanaannya banyak yang tidak dimanfaatkan secara
sungguh-sungguh. Umpamanya Tuapejat, banyak para transmigrasi yang
kemudian meninggalkan daerah transmigrasi setelah habisnya masa
pengawasan UPT-UPT. Tidak ada lagi bantuan untuk para transmigran berupa
biaya hidup dari pemerintah.
Diantara kendala adalah tidak memadainya sarana/prasarana
transportasi. Jalan raya sebagai urat nadi perkembangan ekonomi belum ada.
Barulah pada tahun 1994, dimulai perencanaan pembuatan jalan raya dari
Sioban ke Rokot, dan akan dilanjutkan ke Tuapejat.
Masalah pokok pembangunan Mentawai adalah membangun masyarakat
Mentawai, melalui pencerdasan dan peningkatan kehidupan (ekonomi). Untuk
mencerdaskan penduduk Mentawai melalui pendidikan, dan keterampilan
diminati dalam bentuk belajar dari perbuatan (learning by doing).

1 )
Padang Pariaman Dalam Angka, berbagai edisi.
2 )
Sumatera Barat dan Padang Pariaman Dalam Angka, 1994

1
Diperlukan pelopor-pelopor pembangunan Mentawai, yakni orang-orang
yang teruji tekad dan keinginan luhurnya dalam membangun Mentawai. Orang-
orang Mentawai sangat perlu dibawa serta dalam setiap proses pembangunan
daerahnya, sebagai mitra usaha. Harus dikembangkan "membangun orang
Mentawai yang akan membangun diri dan daerahnya". Untuk itu mitra yang akan
membimbing sangat diutamakan.
Sumber daya manusia (SDM) Mentawai mesti dikembangkan menjadi
SDM yang mampu mengembangkan peluang ekonomi di Mentawai.
Peluang-peluang ini sebenarnya sangat banyak. Potensi laut juga
merupakan peluang ekonomi yang belum tergarap secara sungguh-sungguh.
Sejak beberapa dasawarsa belakang ini masyarakat pedalaman sudah mulai
akrab dengan laut. Tetapi belum mengarah kepada penggalian potensi ekonomi
secara intensif. Sebenarnya potensi Mentawai Resourses dapat digunakan
menjadi tulang punggung perekonomian rakyat.
Sumber Daya Manusia Mentawai perlu digerakkan menjadi lokomotif
perekonomian Mentawai. Dimulai dari penggarapan usaha-usaha yang akrab
dengan kehidupan masyarakat Mentawai sendiri. Masyarakat Mentawai
memerlukan pemimpin-pemimpin teladan untuk diikuti oleh mereka.
Sumber Daya Manusia yang ada di daerah Mentawai dirasakan masih
terbelakang. Masih belum menunjang aktivitas ekonomi dan pembangunan ---
baik jumlah maupun kemampuan -- kuantitas maupun kualitas.
Penduduk yang hidup secara tradisional alami masih tergantung kepada
pemanfaatan hasil alam yang tersedia tanpa ada upaya pengolahannya --sagu,
keladi, rotan untuk di jual, buah-buahan, maupun hasil ikan, sebatas konsumtif
belaka --. Kehidupan penduduk masih di sebut pasif-kurang memandang
kedepan. Perkembangan atau pertumbuhan penduduk pada satu daerah sangat
di pengaruhi oleh aktivitas ekonomi mereka, dan oleh hasil yang ada di sekeliling
mereka.
Sebenarnya potensi alam Mentawai sangat tersedia untuk di kembangkan
dalam arti luas. Apalagi bila dapat dikaitkan dalam program transmigrasi dan
Perkebunan Rakyat. Transmigrasi akan menyediakan sumber daya manusia
yang trampil, sejalan dengan itu juga merupakan pendorong kepada kemajuan
daerah/wilayah. Masyarakat Mentawai bisa meniru kemajuan yang dibawa para
transmigran.
Keindahan alam Mentawai dengan -- pantai berpasir putih, taman laut,
karang terumbu, gelombang laut yang tinggi, musim laut yang menantang --
semuanya bisa jadi daya pemikat untuk dikembangkan dalam pertumbuhan
pariwisata .
Beberapa produk unggulan di daerah-daerah kepulauan Mentawai dapat
diklasifikasi secara rinci dan terprogram. Umpamanya Siberut dengan komoditi
perkebunan serta objek-objek wisata. Sipora sebagai daerah transmigrasi dan
peternakan. Pagai Utara Selatan sebagai budi daya ikan laut, serta potensi
kehutanan (hasil-hasil kayu).

2
Seluruh kecamatan di Mentawai berpotensi sebagai penghasil ikan laut
yang punya harapan besar untuk pengembangan ekonomi rakyat.
Industri kecil sebagai hasil hutan -- rotan, manau, kayu dan hasil kelapa --
minyak, bungkil -- atau hasil laut -- karang, kerajinan lokan --, semuanya
berpotensi untuk di tingkatkan sebagai sumber penghasilan yang bisa memacu
peningkatan ekonomi rakyat di Mentawai.
Disinilah terlihatnya pembangunan sumber daya manusia di Kepulauan
Mentawai menjadi sesuatu yang utama. Melalui pendidikan formal dan non
formal. Usaha intensif kearah peningkatan derajat kesehatan, gizi masyarakat,
penyuluhan, bimbingan keterampilan yang langsung menyentuh perilaku
ekonomi masyarakat kexulauan ini menjadi inti program.
Keterisolasian masyarakat Mentawai selama ini telah membuat
sebahagian besar masyarakat asli merasa asing bahkan curiga terhadap
program-program pembangunan yang berlangsung. Hal itu banyak disebabkan
oleh kurang adanya rasa kemitraan.
Upaya yang mendesak adalah satu gerak yang berencana dan
berkesinambungan dengan tujuan pasti meningkatkan kesejahteraan hidup
penduduk.
Upaya ini tidak hanya terbatas kepada pemenuhan kebutuhan materi
belaka -- mutu maupun jumlah -- tetapi juga kepada peningkatan kemampuan
pemenuhan kebutuhan aspirasi penduduk untuk siap menghadapi tantangan-
tantangan hidup yang semakin berat dan bermacam ragam.
Pembangunan yang bertitik tolak kepada manusia sebagai individu secara
bersamaan juga kepada wawasan budaya. Maknanya adalah bahwa manusia
tidak hanya dilihat dari kemampuan jasmaninya -- naluri dan ilmu/keterampilan --
tetapi juga kepada kebudayaan yang mendukung -- sebagai pedoman dalam
menyesuaikan diri secara aktif dan arif dengan lingkungan --.
Membangun tidak berarti hanya memanfaatkan peran masyarakat dengan
pengerahan massa dalam menyelenggarakan kegiatan-kegiatan yang tidak
mereka pahami maksud dan sasarannya. Tetapi adalah menumbuhkan
kesadaran bahwa yang mereka lakukan itu benar-benar sesuai dengan yang
mereka hajatkan.
Mentawai sebagai bagian dari propinsi Sumatera Barat, ternyata tidak
banyak dipengaruhi oleh alam budaya Minangkabau. Namun asimilasi
kebudayaan tetap berlangsung secara lamban. Hukum adat yang berlaku di
Mentawai banyak seiring dengan norma dan etika yang ada dalam ajaran Islam.
Dalam beberapa hal Mentawai memang sangat tradisional, sehingga kenyataan
yang terlihat "Mentawai identik dengan upacara-upacara adat yang kuno itu"
seperti cawat atau kabit sebagai pakaian penduduknya, serta keunikan yang
terlihat dalam masyarakatnya.
Satu hal yang mesti diwaspadai adalah Mentawai bukannya suku bangsa
yang tidak punya adat dan norma yang berlaku di masyarakat. Lebih dari itu
Mentawai menganut etika yang sangat fanatik.

3
Bila kita simak, Mentawai benar-benar diatur oleh nilai dan etika yang
secara langsung, dijunjung tinggi dalam ajaran Islam. Hal ini terbukti dengan
pengakuan Pak Hamzah (50) Kepala Suku Taileleu yang bernaung dibawah
desa Pasakiat (lk, 75 kilometer dari Muara Siberut) bahwa Islam sudah dikenal
penduduk sejak awal kemerdekaan, tapi karena pembinaan dan pendidikan
Islam rendah, maka kami dibina oleh orang yang non Muslim. Dengan demikian
"Adat basandi syara', Syara' Basandi Kitabullah yang berlaku umum di seluruh
Minangkabau, telah ada juga mempengaruhi kehidupan Mentawai.
Meskipun banyak penulis yang mengemukakan kekunoan Mentawai,
namun perlu untuk diungkapkan sisi positif yang ditonjolkan oleh suku Mentawai
yang meliputi sikap masyarakatnya, nilai dan etika. Keunikan serta komunikasi
Mentawai telah memperlihatkan betapa dalam keterasingan dan keterpencilan
suku Mentawai tetap mempunyai aturan dalam kehidupan bermasyarakat, yang
sampai saat ini tetap berlaku. Antara lain adalah sebagai berikut:
• Sikap suka gotong royong, mengenal adanya muhrim, dan terdapatnya hukuman
berat terhadap pezina.
Masyarakat Mentawai memang tidak mengenal apa yang disebut zina, karena
hukuman yang berlaku keras terhadap pezina. Mentawai berprinsip orang
yang melakukan perzinaan hukumanyang pantas adalah bunuh sampai mati
atau diusir dari kampung halaman 3)
• Sikap harga menghargai dan berkeadilan sangat menonjol.
Orang yang tidak tahu menghargai orang lain, tidak mustahil menjadi mangsa
hukum. Penduduk tidak boleh berbuat seenak perut. Semua urusan mesti
diselesaikan menurut jalur dan norma yang berlaku. Keadilan masyarakat
Mentawai berlaku dengan ketat. "Ada sama di makan, tidak ada sama ditahan,
demikian konsekuensi hidup bermasyarakat di Mentawai. Seorang yang
mendapat rusa buruan di hutan, akan memukul pentungan sebagai
pemberitahuan kepada seluruh masyarakat sesuku dengannya untuk dibagi
dan dinikmati bersama. Kehidupan keluarga juga tidak luput menegakkan
aturan ini.
• Masyarakat Mentawai jujur dan pantang didustai.
Hal lain yang mesti dijaga dengan Mentawai supaya mereka jangan didustai.
Sekali mereka “kena” mereka tidak akan percaya seumur hidup.
• Orang Mentawaipun mengenal aurat dan berbudaya malu.
Banyak orang mengenal Mentawai menurut cara berpakaiannya kabit, yakni
menutup tubuh sekedarnya dengan kulit kayu. Bagi wanita memakai jenis rok
yang terbuat dari kulit kayu dan pelepah pisang kering, (ini cerita masa
dahulu). Tetapi mesti disadari bahwa memakai pakaian seperti ini bukanlah
menjadi adat di Mentawai.

3 )
Karena pengaruh zaman dan juga ajaran penghapusan dosa dalam gerakan misionaris pandangan terhadap
perzinaan di Mentawai sekarang mulai melemah. Hukuman yang banyak diterapkan adalah denda ( = tullo, bahasa
Mentawai berarti denda yang dibayar dengan harta seperti Parang, Peralatan-peralatan Adat, babi, bahkan Peralatan
Rumah Tangga). Pengambilan denda ini bisa sampai harta kekayaan habis, akhirnya pelaku zina terpaksa juga
meninggalkan kampung halaman karena sudah melarat ditambah malu

4
Keadaan alam yang memaksa serta keterbelakangan menyebabkan mereka
hanya memakai pakaian seperlunya saja. Masyarakat pulau ini tidak ada yang
tidak mengerti mana auratnya. Wanita memakai rok sepuluh centimeter
dibawah lutut, menutup dada dengan menyilangkan pelepah dari tengkuk
diikatkan ke perut. Tradisi berpakaian seperti ini jarang ditemui di seluruh suku
primitif manapun di dunia. Denda dan hukuman akan siap mendera bagi laki-
laki yang menyia-nyiakan auratnya terlihat oleh orang lain. Seperti yang
diceritakan tokoh masyarakat Mentawai menyatakan bahwa dari cawat itu
tidak boleh terlihat keluar sehelai bulupun. Bila ini terjadi hukumannya pastilah
berat 4)
• Komunikasi di Mentawai seakan seiring dengan teknologi maju.
Bahasa yang berlaku di Mentawai dipergunakan masyarakat secara universal.
Tatto selain berperan sebagai aktualisasi karya seni asli Mentawai, juga
berperan sebagai komunikasi langsung. Dari tatto dapat diketahui tentang
perihal diri pemakaiannya. Bangsawan atau rakyat biasa, suku si pemakainya,
usia serta jumlah anik dan keluarga. Bahkan dari tatto dapat diketahui prestasi
seseorang, misalnya berapa ekor binatang buruannya yang berhasil
dibunuhnya.
Komunikasi berbentuk isyarat telah diterima secara turun temurun mendahului
kemajuan teknologi komunikasi modern. Bahkan setiap anak kecil di Mentawai
mengerti isyarat berita yang di sampaikan melalui pukulan kentongan ini.5)
Suku Mentawai tidak mengenal siapa yang kuat, ia yang berkuasa. Tidak
dikenal adanya dispensasi hukuman kepada penguasa dan orang
berpengaruh bila ia terbukti bersalah. Hukum tetap berlaku bagi semua
anggota suku. Seorang kerei (= dukun) misalnya, yang terbukti melakukan
penganiayaan dengan kekuatan batin akan segera diusir dari negeri itu dan
tidak boleh kembali lagi. Sebelum berangkat, terdakwa dibekali sampan dan
bekal makanan untuk beberapa hari.
• Masyarakat Mentawai masih hidup dalam kesatuan-kesatuan sosial yang
terasing dari sistem budaya yang lebih luas.
Mereka harus diperkenalkan bagaimana besarnya arti satu pengorbanan
dalam pembangunan yang punya kaitan luas dalam satu kesatuan nasional.
Karenanya mereka harus diikut sertakan secara aktif dalam setiap proses
pembangunan.

Masih ada hambatan hingga sekarang, antara lain ;


4 )
Pada masa sekarang para Pelancong berkulit putih yang datang ke Mentawai tidak jarang juga memakai tato sangat
sering melakukan mandi telanjang tanpa menutupi aurat sama sekali seperti yang lazim berlaku di daerah asal
mereka yang sudah maju. Kejadian seperti ini sangat kontras dengan kehidupan masyarakat Mentawai.
5 )
Kentongan yang dipukul ini biasanya bernama TUDUK KAT suatu bentuk teknologi sederhana dalam
berkomunikasi semacam isyarat morse yang diketuk melalui ketontong yang terbuat dari kayu dan tersedia di setiap
rumah. Apapun peristiwa yang terjadi seperti kematian, kelahiran, bahaya, dapat buruan diinformasikan melalui
ketukan ketontong tersebut. Apa pun yang terjadi di tengah suku akan di ketahui oleh suku yang lain. Menurut
cerita perantau Padang (Sasareu menurut istilah Mentawai) isyarat morse Mentawai ini sangat efektif untuk
menyebarkan informasi di seluruh pedalam kepulauan Mentawai. Jarang penduduk yang tidak mengerti akan tetapi
susah dipelajari oleh orang lain (Pendatang)

5
(1) Jauhnya jarak antara tanah tepi dengan kepulauan ini, dan belum memadainya alat
transportasi -- tidak akan ada setiap waktu di kehendaki
(2) Lingkungan alam dengan flora dan fauna yang berbeda, menjadikan wilayah ini dan
menarik minat semua pihak eksklusif.
(3) Adaptasi terhadap lingkungan sangat berpengaruh terhadap mental basic sebagai
masyarakat yang berpindah-pindah.
(4) Barang-barang keperluan sehari-hari memang tidak semuanya bisa dihasilkan sendiri,
karenanya perlu ada pasar-pasar penukaran kebutuhan, yang sering didominasi oleh
para pendatang.
(5) Penduduknya masih hidup dalam kelompok kecil yang terisolir dalam keterbatasan
komunikasi.

Dalam hal pemukiman dan kiat pemenuhan kebutuhan sangat tergantung


kepada kemurahan alam yang telah menyediakan kebutuhan sehari-hari. Hal ini
berdampak jauh kepada kesehatan masyarakat secara umum. Setiap musim
buah-buahan sering ditemui masyarakat dijangkiti penyakit kolera/disentri, juga
karena keterbatasan sarana dan petugas kesehatan serta kebiasaan penduduk
kepada pedukunan sikerei, sebagai aspek sosial budaya.
Kondisi ini membawa kesulitan bagi program pemindahan penduduk
kelokasi pemukiman yang telah disediakan (PKMT) 6) oleh pemerintah. Kalaupun
ada hasil yang diperdapat oleh pertanian sederhana, maka hasil tersebut
umumnya dinikmati oleh keluarga, sanak sekampung bahkan hasil tersebut
terikat kepada produksi sosial.
Tidaklah mengherankan, bila wilayah pemukiman turun temurun masih,
tetap akan dipertahankan, karena padanya melekat tradisi pengolahan lahan,
pengambilan hasil, dan pengamanan sumber-sumber daya alam sebagai satu
wilayah kesukuan maupun wilayah Sibakatlaggai yang telah diikuti sejak lama.
Memindahkan masyarakat Mentawai ke daerah yang lebih baik menurut
tatanan modern, menjadi lebih sulit. Setidak-tidaknya membawa masalah.
Kesadaran wilayah pada masyarakat Mentawai sangat tinggi, dan
mempengaruhi mekanisme gerak mereka.
Penerapan teknologi modern tanpa kesiapan mental dan pranata sosial
yang mendukung akan dapat memperlemah kesetiaan penduduk terhadap tradisi
pengolahan sumber daya.
Sebagaimana lazimnya juga pada daerah lain di Indonesia, maka
pengenalan batas-batas lingkungan kerabat, wilayah, dan tatanan sosial, akan
berdampak luas bagi mekanisme pengembangan diri, dan generasi berikutnya.
Disini mereka mengembangkan aturan-aturan yang telah disepakati tentang
yang boleh dan yang tidak, sebagai suatu kesepakatan sosial.

6 )
PKMT = Pemukiman Kembali Masyarakat suku Terasing yang dilaksanakan oleh Depsos, Banyak ditinggalkan
oleh penduduk. Contoh Puro I, II di Siberut. Beda halnya di Sipora perkampungan dibuat sendiri oleh masyarakat

6
Karena itu, pengembangan pemukiman wilayah penduduk Mentawai
seyogyanya di lakukan dengan memperhatikan pola - pola adaptasi sosial
penduduk setempat.
Kurangnya penghargaan terhadap pemuka adat setempat bisa
mengundang perlawanan, setidak-tidaknya antipati dari kelompok masyarakat
luas. Akibatnya gerak pembangunan yang dilakukan menjadi terhambat.
Yang ditunggu hanyalah pergantian generasi. Melalui pendidikan dan
pengalaman hidup di daerah yang lebih maju. Proses kearah ini sedang berjalan.

Padang, Nopember 1999.

You might also like