You are on page 1of 4

Pornografi dan Pornoaksi

SIAPA DI BELAKANG
PORNOGRAFI DAN PORNOAKSI … ???
Laporan Kantor Berita Associated Press (AP) yang menyebutkan, Indonesia berada di
urutan kedua setelah Rusia yang menjadi surga bagi pornografi. (Republika, 17/07/2003).
Fakta di lapangan pun membenarkan hal itu. Di seluruh dunia, tak ada negara di mana VCD
porno lebih mudah didapatkan selain di negeri ini. Demikian pula peredaran media cetak
(majalah, tabloid), maupun media interaktif (internet) yang menjurus pada hal-hal yang
berbau porno-sekalipun tidak memajang gambar bugil di sampul depan ala majalah Playboy
atau Hustler. Tayangan dan obrolan seks di radio dan televisi juga semakin “berani”.
Pemberitaan tentang berbagai aktivitas seksual yang menyimpang dari syariat itu justru
dibungkus dengan nada yang berkesan dirayakan. Sebuah buku yang berjudul Jakarta under
Cover telah mengejutkan banyak kalangan, bahwa ternyata Jakarta sudah tidak jauh berbeda
dengan Paris, Amsterdam, atau Moskow, dalam soal pornografi (menyangkut media-media
porno) maupun pornoaksi (menyangkut aksi-aksi porno). Orang menduga bahwa perputaran
uang yang terkait dengan “bisnis” ini sudah ratusan miliar rupiah setiap hari.

MENYOAL SIKAP ULAMA, MASYARAKAT, DAN PEMERINTAH

Ini semua jelas ironi. Mengapa negeri Muslim terbesar di dunia ini tidak bisa
mencegah semua itu terjadi. Masyarakat cenderung diam dan membiarkan proses itu
dianggap sebagai ekses wajar modernisasi dan globalisasi.

Sementara itu, kaum ulama, yang mestinya memiliki tugas mengingatkan


masyarakat dan penguasa, juga rata-rata hanya mengungkapkan sebatas “keprihatinan”.
Dalam bahasa politik, ungkapan keprihatinan ini merupakan bentuk ketidaksetujuan yang
paling rendah; jauh di bawah “protes” apalagi “aksi pencegahan”. Kalaupun ada satu-dua
ulama yang protes keras terhadap pornografi maupun pornoaksi, hasilnya justru sering
kontraproduktif. Pasalnya: Pertama, si ulama tersebut akan dituduh ramai-ramai sebagai
“munafik”. Kedua, yang akhirnya akan dibela oleh publik yang dikendalikan opini media
justru aktor pornografi/pornoaksi tersebut; bukannya masyarakat beserta generasi muda
yang menjadi harapan umat pada masa depan. Akibatnya, makin banyak ulama yang
akhirnya memilih sikap diam daripada justru menjadi “promotor gratis” bagi aktor maksiat.

Di sisi lain, usaha melarang pornografi/pornoaksi melalui jalur hukum dengan


membuat RUU atau dengan memasukkan pornografi/pornoaksi sebagai tindak pidana
dalam KUHP, ternyata justru banyak dimentahkan oleh anggota dewan sendiri. Status
pornografi/pornoaksi akan hanya ilegal kalau suatu pasal-pasal karet ditarik agak longgar
(dan ini makin dijauhi karena dianggap bertentangan dengan HAM); namun juga tidak akan
menjadi delik apapun kalau orang membaca KUHP secara tekstual. Inilah yang sering
dipakai para pembela pornografi/pornoaksi. Mereka akan memulai dengan pertanyaan
seputar definisi pornografi/pornoaksi. Jawaban yang diberikan tentu saja justru akan makin
membingungkan. Sehubungan dengan itu, Dosen Institut Agama Islam (IAIN) Sumatera
Utara, Prof Dr Syahrin Harahap, mengatakan, saat ini kegiatan pornografi di Tanah Air
sudah sangat meresahkan warga masyarakat. “Pemerintah dan DPR agar secepatnya untuk
mengesahkan UU Anti Pornografi tersebut,” kata Prof Syahrin menjawab ANTARA di
Medan, Kamis.

Namun demikian, ini tidak aneh. Kebingungan di atas terjadi karena tolok ukur yang
dipegang adalah “kesepakatan” masyarakat tentang apa yang dianggap bermanfaat atau
berbahaya. Padahal, masyarakat itu selalu berubah dan bisa jadi pada suatu saat tidak sadar,
bahwa kesepakatan-kesepakatan di antara mereka akan berdampak serius bagi
keberlangsungan masyarakat itu pada masa depan.

H. Mas’oed Abidin 1
Pornografi dan Pornoaksi

Yang jelas, kesepakatan masyarakat itu selalu disetir oleh para opinion leader
(pengendali opini) atau para pembuat pendapat yang tentu saja memiliki kepentingan
tertentu, apakah itu bisnis, reputasi, dll. Tidak jarang, di suatu negeri, penguasa sengaja
mengobral berbagai bentuk maksiat (judi, minuman keras, pornografi/pornoaksi) untuk
mengalihkan perhatian masyarakat pada kezaliman mereka.

Tolok ukur seperti ini muncul ketika suatu masyarakat memutuskan untuk
memisahkan agama dari kehidupan (fashluddîn ‘an al-hayat) atau yang disebut dengan
sekularisme. Dalam negara yang dibangun di atas sistem sekular, agama tidak mendapat
peran untuk mengatur masyarakat melalui undang-undang, kecuali sebagian kecil (UU
zakat, UU pernikahan).

FAKTOR EKONOMI

Di samping banyak pihak-pihak tertentu yang memang bermental bejat, banyak pula
orang yang terlibat dalam pornografi/pornoaksi ini yang sesungguhnya juga hanya menjadi
korban. Dengan imbalan yang sebenarnya tak seberapa dibandingkan dengan sebuah nama
baik, keutuhan keluarga, dan ridha Allah, banyak orang rela menjadi pengedar VCD porno
ataupun menjadi pekerja seks komersial (pelacur). Banyak dari mereka terpaksa melakukan
ini karena desakan ekonomi. Karena itu, tidak aneh, berbagai razia yang dilakukan aparat
maupun beberapa kelompok yang menyatakan perang terhadap maksiat tidak mampu
menghilangkan-atau bahkan sekadar mengurangi-bisnis haram ini secara permanen.

Mungkin akan lain halnya bila desakan ekonomi bisa diatasi. Bagaimanapun, orang
akan cenderung pada suatu jenis profesi yang terhormat, aman, dan menenteramkan untuk
menuju hari tua. Karena itu, melihat masalah ekonomi yang sangat kompleks yang membelit
negeri ini, tak ada cara lain kecuali menerapkan sistem ekonomi yang lebih adil dan
manusiawi. Sistem ini yang akan mengentaskan banyak orang dari “bisnis setan” sehingga
diharapkan tak ada lagi orang yang memasuki dunia pornografi/pornoaksi karena alasan
kesulitan ekonomi.

Oleh karena itu, bagi kaum Muslim, yang urgen dan fundamental adalah bagaimana
agar seluruh sistem kehidupan pribadi, bermasyarakat, dan bernegara yang ada ini dibangun
kembali di atas dasar yang lebih kokoh; bukan sekularisme lagi. Dasar itu adalah Islam!
Mungkinkah itu?

BATASAN PORNOGRAFI/PORNOAKSI MENURUT ISLAM

Islam memberikan definisi yang jelas dan tidak mengambang tentang pornografi dan
pornoaksi. Pornografi adalah produk grafis (tulisan, gambar, film)-baik dalam bentuk
majalah, tabloid, VCD, film-film atau acara-acara di TV, situs-situs porno di internet, ataupun
bacaan-bacaan porno lainnya-yang mengumbar sekaligus menjual aurat, artinya aurat
menjadi titik pusat perhatian.

Sedangkan pornoaksi adalah sebuah perbuatan memamerkan aurat yang digelar dan
ditonton secara langsung; dari mulai aksi yang “biasa-biasa” saja seperti aksi para artis di
panggung-panggung hiburan umum hingga yang luar biasa dan atraktif seperti tarian
telanjang atau setengah telanjang di tempat-tempat hiburan khusus (diskotek-diskotek, klab-
klab malam, dll). Tentu saja, dalam konteks pornografi dan pornoaksi yang mengumbar
aurat ini, yang dimaksud adalah aurat menurut syariat Islam. Seorang wanita yang
memperlihatkan sekadar rambut atau bagian bawah kakinya, misalnya, jelas termasuk orang
yang mengumbar aurat. Sebab, aurat wanita dalam pandangan Islam adalah seluruh
tubuhnya kecuali muka dan telapak tangan.

H. Mas’oed Abidin 2
Pornografi dan Pornoaksi

Secara fikih, menyaksikan secara langsung aurat seseorang yang bukan haknya
(pornoaksi) adalah haram, kecuali untuk tujuan yang dibolehkan oleh syara, misalnya
memberi pertolongan medis. Ini akan berlaku juga pada para pembuat pornografi
(kamerawan, pengarah gaya, sutradara, dsb.).

Sementara itu, sebuah benda dengan muatan pornografi dihukumi sebagai benda,
yaitu mubah. Namun demikian, kemubahan ini bisa berubah menjadi haram ketika benda
(baca: sarana/wasilah) itu dipastikan dapat menjerumuskan pada tindakan keharaman.
Sebab, kaidah ushul fikih yang mu’tabar menyebutkan, ”Sarana yang menjerumuskan pada
tindakan keharaman adalah haram”

Karena itu, kemubahan ini juga tidak berlaku untuk penyebarluasan dan propaganda
pornografi/pornoaksi yang akan memiliki dampak serius di masyarakat. Seseorang yang
dihadapkan pada suatu media porno, misalnya, memang dipandang belum melakukan
aktivitas haram (karena media sebagai benda adalah mubah). Akan tetapi, bila orang itu ikut
dalam usaha membuat dan/atau menyebarkanluaskan media porno, maka menurut syariat,
dia dianggap telah melakukan aktivitas yang haram.

SOLUSI ISLAM

Islam menghargai kebebasan seseorang untuk berekspresi, namun dalam koridor


syariat. Islam juga mengakui bahwa setiap manusia memiliki naluri seksual, namun
mengarahkannya supaya disalurkan dalam cara-cara sesuai syariat. Islam sebagai mabda’
(ideologi) memiliki cara-cara yang khas, untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi
manusia tanpa menelantarkan kebutuhannya yang lain, dan juga tanpa mengabaikan
kebutuhan manusia lainnya dalam masyarakat.

Oleh karena itu, Islam tidak sekadar menetapkan agar tak ada seorang pun dalam
wilayah Islam yang mengumbar aurat, kecuali dalam hal-hal yang dibenarkan syariat;
namun Islam juga memberikan satu perangkat agar ekonomi berjalan dengan benar,
sehingga tak perlu ada orang yang harus mencari nafkah dalam bisnis pornografi/pornoaksi.
Islam juga memberikan tuntunan hidup dan aturan bermasyarakat yang akan menjaga agar
setiap orang memahami tujuan hidup yang sahih serta tolok ukur kebahagiaan yang hakiki
sehingga demand (permintaan) pada bisnis pornografi/pornoaksi pun akan merosot tajam.
Bagaimanapun, setiap bisnis hanya akan berputar kalau ada supply (penawaran) dan demand
(permintaan). Karena itu, keduanya harus dihancurkan.

Pemerintahan menurut ajaran Islam akan mendidik rakyatnya untuk berpola sikap
dan perilaku islami. Media massa akan diarahkan agar tidak lagi memprovokasi umat
dengan stimulasi-stimulasi yang merangsang kebutuhan pornografi/pornoaksi. Demikian
juga keberadaan berbagai sarana hiburan yang selama ini menjadi ajang pertemuan pelaku
kemaksiatan akan dibersihkan, tanpa harus merusak fisiknya.

Jika setelah langkah-langkah ini dilakukan, setelah negara mengatasi masalah di sisi
supply (penawaran) dengan perbaikan pendidikan dan ekonomi, kemudian mengatasi
masalah di sisi demand (permintaan) dengan menghilangkan “para provokator”-nya, tetap
ada yang nekad melanggar hukum, maka negara tak akan ragu-ragu lagi menerapkan sanksi
represif. Hukuman jilid atau rajam akan diterapkan kepada pezina. Hukuman ta’zir akan
diterapkan bagi para pengelola dan pendukung bisnis ini.

Definisi zina dalam Islam adalah jelas, yakni setiap hubungan seksual yang
dikehendaki dari pihak-pihak yang tidak diikat pernikahan.
‫ش ًة وَسَاءَ سَبِيلًا‬
َ ِ‫َولَا تَقْرَبُوا الزّنَا إِنّهُ كَانَ فَاح‬
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang
keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Israk, 17:32)

H. Mas’oed Abidin 3
Pornografi dan Pornoaksi

Ini jelas berbeda dengan definisi KUHP yang hanya membatasi perzinaan sebatas
pada orang-orang yang berstatus kawin dan pasangannya keberatan atas selingkuhnya.
Definisi KUHP ini jelas belum akan mampu melibas aktor-aktor pornografi/pornoaksi yang
statusnya tidak kawin atau justru atas ‘doa-restu’ pasangannya.

َ‫علَى الْ ُمؤْمِنِين‬


َ َ‫ح ّرمَ َذلِك‬
ُ َ‫حهَا ِإلّا زَانٍ َأوْ مُشْ ِركٌ و‬
ُ ِ‫ح إلّا زَانِيَةً َأوْ مُشْ ِركَ ًة وَالزّا ِنيَ ُة لَا يَ ْنك‬
ُ ِ‫الزّانِي لَا يَ ْنك‬
“Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau
perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-
laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang
yang mu'min.” (QS. An Nuur, 24 : 3)

Walhasil, memberantas pornografi/pornoaksi tak bisa sepotong-sepotong, namun


harus komprehensif. Ini tak bisa tidak harus dimulai dari dasar fundamentalnya, yakni
dengan melibas sistem hukum sekular dan menggantinya dengan sistem hukum Islam.
Bukankah Allah Swt. telah berfirman:

َ‫حكْمًا لِ َق ْومٍ يُوقِنُون‬


ُ ِ‫ن اللّه‬
َ ِ‫ن وَمَنْ أَحْسَنُ م‬
َ ‫ح ْكمَ الْجَا ِهلِيّ ِة يَ ْبغُو‬
ُ َ‫َأف‬

“Apakah hukum Jahiliah yang kalian kehendaki? Siapakah yang lebih baik
hukumnya selain Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS al-Maidah, 5 : 50).

H. Mas’oed Abidin 4

You might also like