You are on page 1of 21

YANG TELAH DITINGGALKAN ORANG MINANG

DALAM UPAYA MEMERANGI KEMISKINAN


DITENGAH MASYARAKAT RANAH MINANG
SEBUAH KACA BANDING
TINJAUAN ISLAM

Oleh : H. Mas'oed Abidin

PENGENTASAN KEMISKINAN 1
Sumatera Barat, dengan akar budaya Minangkabau, sangat intens (basitungkin)
dalam mengantisipasi berkembangnya kemiskinan.
Ada sinyalemen, tentang lahan Ranah Minang. Sebagai dikatakannya, tanah di
Minangkabau, tidak (kurang) bersahabat. "Dari keseluruhan wilayah Sumatera Barat,
hanya sekitar 14 persen saja yang kondisi tanahnya subur dan cocok untuk areal
pertanian."1.
Perlulah pula dimaklumi, sebahagian dari luas lahan dimaksud, sudah didiami
anak kemenakan warga transmigrasi. Sejak dari Pasaman, Sitiung, Lunang-Silaut, Solok
Selatan. Sebahagiannya pula diolah oleh perusahaan-perusahaan perkebunan, yang
menyebar dari Pasaman hingga ke batas Mandailing (Tapsel). Dari Sijunjung hingga ke
batas Jambi dan Riau. Begitu pula mendekat batas Bengkulu, di ujung Pesisir Selatan.
Tanah yang tadinya berada dalam status tanah ulayat Nagari, atau dalam sako
pusako tinggi, pelan-pelan berangsur tergeser. Mengiring gerak roda pengembangan
wilayah.
Secara keseluruhan tanah-tanah kosong tadinya, kini mulai ditanami. Pelan-pelan
tetapi pasti, menjanjikan mutiara hijau di kepingan wilayah Sumatera Barat.
Mulai dari tanaman sawit, karet, cokelat, lada/merica, kulit manis, hingga ketela
pohon (ubi kayu).
Masa doeloe seketika tanah-tanah itu belum diolah, hanya dijadikan anak
kemenakan sebagai hutan tempat mencari kayu api. Paling tinggi tempat simpanan kayu
pembuat rumah atau untuk mencari akar-rotan.
Persawahan atau perladangan anak nagari semasa itu, merupakan hasil taruko
ninik-mamak. Sawah bajanjang bapamatang dan ladang babiteh babentalak. Dari mamak turun
ke kemenakan. Begitulah seterusnya.
Letaknyapun di sekeliling Dusun Taratak. Bahkan ada yang berada di keliling
rumah tempat diam.
Perkembangan dusun menjadi desa, dan nagari masuk lurah, anak kemenakan ikut
bertambah. Rumah kecil tak mampu lagi menampung jumlah cucu dan cicit. Bangunan
barupun ditegakkan, tanah persawahan menjadi satu-satunya pilihan untuk batagak rumah
baru.
Manaruko hutan menjadi sawah, tidak lagi merupakan kebiasaan masa kini.
Sebaliknya yang terjadi, mengurangi areal persawahan menjadi lokasi perumahan.
Di sinilah ditemui kritisnya masalah peternakan jika dikaitkan dengan sumber
pendapatan pertanian.
Akan tetapi, masyarakat Minangkabau, tidak dapat dikatakan miskin dan belum
pula bisa dikatakan berada. Yang jelas, mereka tetap bisa hidup dan bertahan hidup, di
areal yang makin terbatas itu.
Keadaan itu memungkinkan, karena adanya peran budaya Minang yang sedari
awal intensif mengantisipasi gejala kemiskinan itu.
Antara lain, bunyi pantun.

1
Prof. Emil Salim (pernah menjabat Menteri KLH, Kabinet Pembangunan V), sebagai
diungkapkan Singgalang, Rabu, 7 Juli 1993, halaman pertama, dari Musyawarah Pola
Dasar Pembangunan Sumbar.

2 PENGENTASAN KEMISKINAN
Karatau madang di ulu,
ba buwah ba bungo balun,
marantau-lah buyuang dahulu,
di rumah paguno balun.
Adanya kebiasaan merantau menjadikan pemuda-pemuda Minangkabau
(Sumatera Barat), mencari hidup di lahan orang lain. Modalnya keyakinan, kemauan dan
tulang delapan karat.
Sementara itu, sang dara (gadis/remaja putri) Minangkabau, tidak pula dibiarkan
hidup cengeng. Mereka diajar bertani, merenda, menjahit, menyulam, dan berbagai
kepandaian puteri lainnya. Yang sungguhpun, dirasakan bahwa kepandaian-kepandaian
semacam itu, kini mulai terasa langka.
Kalaulah kemiskinan yang ada, tidak dirasakan sebagai bahaya, itu hanya
disebabkan karena pandainya batenggang.
Sesuai bunyi pantun;
Alah bakarih samporono,
Bingkisan rajo majopaik,
tuah basabab bakarano
pandai batenggang di nan rumik.
Selanjutnya, kepandaian batenggang itu digambarkan dalam pantun lainnya;
Latiak-latiak tabang ka pinang,
hinggok di pinang duo-duo,
satitiak aie dalam piriang,
di sinan ba main ikan rayo.
Falsafah budaya ini, bukannya menelorkan masyarakat yang statis. Sama sekali
tidak. Bahkan melahirkan sikap jiwa yang digjaya. Satu iklim jiwa (mentalclimate) yang
subur. Bila pandai menggunakannya dengan tepat, akan banyak membantu dalam usaha
pembangunan sumber daya manusia di ranah ini.
Sifat egoistis, memang kurang diminati dalam budaya Minangkabau. Membiarkan
kemelaratan orang lain, dengan menyenangkan diri sendiri, mungkin merupakan sikap
yang tak pernah diwariskan. Yang ada, hanyalah tenggang manenggang dan raso jo pareso.
Menurut bahasa halusnya alur dan patut.
Mengatasi masalah kemiskinan ditengah kelembagaan masyarakat Minangkabau,
terlihat dari usaha dan perhatian khusus terhadap kemakmuran lahiriyah (material).
Ungkapan itu jelas tersimak dalam untaian pepatah yang menyibakkan arti
kemakmuran itu.
Rumah Gadang gajah maharam
Lumbuang baririk di halaman
Rangkiang tujuah sa jaja
Sabuah si Bajau-bajau
Panenggang anak dagang lalu

PENGENTASAN KEMISKINAN 3
Sabuah si Tinjau Lauik
Panenggang anak korong kampuang
Birawari lumbuang nan banyak
Makanan anak kamanakan
Manjilih di tapi aie
Mardeso di paruik kanyang.

4 PENGENTASAN KEMISKINAN
Berencana Berhemat
Untuk mewujudkan terpeliharanya kondisi dimaksud, diingatkan sungguh
pentingnya perencanaan dan penghematan. Perencanaan yang jauh jangkauannya ke
depan, dengan pengkajian potensi yang tengah dimiliki. Penghematan dengan tujuan bisa
memahami situasi, untuk mendukung berhasilnya sebuah program yang tengah
dikembangkan.
Perhatian yang dalam maknanya ini, terungkap di dalam kalimat-kalimat;
Ingek sabalun kanai
Kulimek sabalun abih
Ingek-ingek nan ka pai
Agak-agak nan ka tingga.
Maka, melupakan dan mengabaikan nilai-nilai luhur budaya ini, akan berarti satu
kerugian. Membangun kesejahteraan sebagai upaya mengantisipasi kemiskinan, bertitik
tolak pada pembinaan unsur sumber daya manusia.
Memulainya dengan cara sederhana. Dengan apa yang ada. Yaitu potensi alam
yang terbatas, dan menggerakkan potensi yang terpendam di dalam sumber daya
manusianya. Terutama di pedesaan-pedesaan.
Mengembalikan kepada benih-benih kekuatan yang ada di dalam dirinya masing-
masing. Melalui usaha-usaha yang terpadu serta berkesinambungan. Dengan mempertajam
daya observasi, dan meningkatkan daya pikir masyarakat pedesaan dimaksud.
Usaha itu berkelanjutan dengan mendinamisir daya gerak serta memperhalus
daya rasa. Kemudian meningkat pengembangan daya cipta, dan menumbuh bangkitkan
daya kemauan mereka.
Supaya dapat dikembalikan kepercayaan kepada diri sendiri. Dan ditumbuhkan
kemauan untuk melaksanakan sikap mandiri (self help). Sesuai bimbingan Allah:
"Allah tidak akan memberikan perubahan terhadap apa-apa dengan satu kaum,
sampai kaum itu berupaya melakukan perubahan (perbaikan) terhadap sikap jiwa
(apa yang ada) dalam diri mereka sendiri.". (Ar Ra'd, 13:11).
Kita rasanya tidak perlu segan menyatakan bahwa wangsa Minangkabau hampir
seratus persen penganut Islam. Sungguhpun, barangkali satu dua sudah ada yang
berpindah keyakinan mereka, karena perpustakaan musim atau pergantian nilai-nilai
kebudayaan.
Begitu eratnya jalinan adat dan agama ini, melahirkan pilinan adatnya bersendi
syara', syara' bersendikan Kitabullah.
Islam yang mengajarkan nilai-nilai ukhuwah terjalinlah berkulindan dengan
kebiasaan luhur.
Senteng babilai/Kurang batukuak
Batuka ba anjak/Barubah basapo.
Sebagai pengalaman amar ma'ruf, nahi munkar dalam ajaran agama yang dianut.
Anggang jo kekek bari makan
Tabang ka pantai ka duo nyo
Panjang jo singkek pa ulehkan

PENGENTASAN KEMISKINAN 5
Makonyo sampai nan dicito.
Adat hidup, tolong manolong. Adat mati, janguak manjanguak. Adat lai, bari
mambari. Adat tidak, salang manyalang (basalang tenggang).
Begitulah yang terjadi, sehingga dalam kehidupan seharian, terlihat nyata dalam
perbuatan. Karajo baik ba imbauan, Karajo buruak ba hambauan.
Kalau dalam perkembangan zaman, kebiasaan-kebiasaan lama ini mengalami
proses pergeseran nilai-nilai budaya asing.
Akan tetapi tetap diyakini, bahwa nilai-nilai budaya Minang itu, tidak hilang dan
tidak pula habis.
Ini jelas merupakan sebuah potensi yang bisa digerakkan.
Dalam kaitannya dengan budaya merantau, terbentuklah pula ikatan-ikatan
keluarga di perantauan. Sedari ikatan, dalam hubungan saparuik hingga se taratak, dusun
nagari. Sampai kepada lingkungan wilayah yang luas, dari Sikiliang air Bangih, dari ombak
nan badabua, sampai ka durian di takuak rajo. Artinya meliputi wilayah adat dan nilai budaya
Minangkabau.
Tujuannya, pada mulanya sekedar ba suo suo. Mempererat hubungan kekeluargaan.
Meningkatkan, kepada memikirkan kampuang halaman. Dan berakhir, kepada usaha
membangun kampung halaman.
Belum terdata dengan akurat, berapa perbandingan jumlah orang Minang yang di
rantau itu. Apakah jumlah mereka sama dengan jumlah yang tengah menetap di kampung.
Atau barangkali beberapa kali lipat dari penghuni ranah sendiri.
Telah lama terjadi, bahwa orang kampung ikut menikmati hasil orang rantau.
Malah sering tersua, sirkulasi hidup kampung ditentukan dari rantau. Mulai dari
pembinaan pribadi keluarga, membangun rumah, menebus sawah, hingga membangun
sarana umum milik nagari.
Perencanaan pembangunan nagari, sering tidak dapat dilaksanakan, tanpa diikut
sertakan dunsanak yang tinggal di rantau. Begitulah kenyataan yang tersua.
Namun di dalamnya diakui merupakan satu potensi yang bisa dikembangkan.
KEKAYAAN orang rantau, mungkin tidak sebanding dengan modal yang tertanam
di kampung (nagari). Karena rantau adalah lahan usaha. Umumnya bergerak dalam bidang
usaha perniagaan. Sedikit yang menggarap usaha pertanian. Karena adanya ungkapan,
kalau akan bertani juga, mungkin lebih baik mengolah lahan di kampung saja.
Lapangan usaha sebagai ambtenaar kata orang saisuak, sangat diminati orang
Minang. Mulai berpalingnya kepada managemen perusahaan-perusahaan swasta. Bahkan
dalam usaha mandiri, belakangan ini paling banyak digeluti.
Lapangan usaha itu, banyak menjanjikan pendapatan yang lumayan. Daripada
menanti apa yang ditetapkan berbentuk gaji bulanan. Apalagi lapangan di kantor-kantor
pemerintah makin hari makin sempit juga. Dan cepatnya gerak pembangunan bangsa, telah
membuka lapangan kerja baru. Kejelian mengkaji kesempatan menyebabkan arus mobilitas
horizontal menuju rantau, tak mudah di hempang.
Kerasnya hidup di rantau, suatu tantangan yang berat. Diperlukan sikap jiwa yang
matang. Di samping kemauan keras, dan tulang delapan karat, dibawa juga falsafah budaya
untuk pedoman mengarungi lautan kehidupan rantau.
Falsafah hidup itu, disimak dalam kehidupan keseharian tanah rantau.

6 PENGENTASAN KEMISKINAN
Panggiriak pisau si rauik,
Patunggkek batang lintabung,
Salodang ambiak ka nyiru.
Setitiak jadikan lauik,
Sakapa (sekepal) jadikan gunuang,
Alam takambang jadi guru.
Belajar kepada alam, mengambil pelajaran dari perjalanan hidup yang tengah
diarungi. Tidak lain adalah seiring bidal pantun;
Biduak dikayuah manantang ombak
Laia di kambang manantang angin.
Nangkodoh ingek kamudi
padoman nan usah dilupokan.
Pedoman dalam menempuh kehidupan itu, dikiatkan;
Hendak kayo, badikik-dikik (hemat)
Hendak tuah, batanua urai (penyantun)
Hendak mulia, tapek i janji (amanah)
Hendak luruih, rantangkan tali (mematuhi peraturan)
Hendak buliah, kuat mancari (etos kerja yang tinggi)
Hendak namo, tinggakan jaso (berbudi daya)
Hendak pandai, rajin belajar (rajin dan berinovasi)
Dek sakato mangkonyo ada (kerukunandan partisipatif)
Dek sakutu mangkonyo maju (memelihara mitra usaha)
Dek ameh mangkonyo kameh (perencanaan masa depan)
Dek padi mangkonyo manjadi (pemeliharaan sumber ekonomi)
Tidak mengherankan, bila tantangan berat di rantau mampu diatasi. Dan sesuatu
yang paling menarik, bahwa perantau sanggup mengolah pekerjaan apa saja asal halal.
Tidak memilih pekerjaan, dengan motivasi hidup yang tinggi. Kondisi ini membuka
peluang kepada percepatan mobilitas vertical dalam bentuk peningkatan pendapatan.
Nan lorong tanami tabu, Nan tunggang tanami bambu.
Nan gurun buek ka parak, Nan bancah jadikan sawah.
Nan padek ka parumahan, Nan munggu pandam pakuburan.
Nan gaung katabek ikan, Nan padang kapangimpauan.
Nan lambah kubagan kabau, Nan rawang ranangan itiak.
Begitulah pemeliharaan dan pemanfaatan sumber daya alam, secara optimal,
untuk kesejahteraan ummat manusia.
Kekayaan nilai-nilai seperti itu, merupakan modal besar. Dan telah memberikan
motivasi yang kuat, dalam upaya mengentaskan kemiskinan di ranah ini. Setidak-tidaknya

PENGENTASAN KEMISKINAN 7
berperan aktif memintasi, agar kemiskinan itu tidak meruyak. Sungguhpun kenyataan
bahwa pengentasannya tidak berubah drastis.
Benteng Tawazunitas
Perubahan tata kehidupan secara ekonomis, di tengah perkembangan iptek
memang satu keharusan. Perubahan itu tidak bisa ditolak, dan dia akan bergerak terus.
Karena diyakini, dunia itu berisi perubahan-perubahan.
Jika manusia menjadi statis di tengah dinamika perkembangan, maka yang akan
ditemui adalah penderitaan.
Yang perlu dipertimbangkan di tengah perubahan-perubahan itu, obyektifitas-nya.
Apakah manusia akan menjadi obyek dari perubahan itu? Ataukah, manusia akan
berperan aktif memanfaatkan perubahan-perubahan itu, untuk peningkatan mutu
kehidupannya. Baik dalam bidang material, ataupun emosional (kejiwaan).
Jawaban ini, akan banyak tergantung dari kesiapan watak, dari manusia yang
menghadapi perubahan-perubahan dimaksud.
Yang paling tepat barangkali, adalah manusia memanfaatkan perubahan-
perubahan, untuk diri mereka. Dan kurang manusiawi, jika manusia diperbudak oleh
perubahan-perubahan itu. Yang lebih maknawi, bahwa manusia akan berusaha memilih
dan memilah perubahan (inovasi) yang datang. Terapannya adalah, tepat guna dan
bernilai guna.
Ukurannya, dalam manfaat nilai lebih, tanpa mengorbankan nilai-nilai positif yang
hakiki, yang sebelumnya telah dipunyai. Dalam kata lain bisa diungkapkan, bahwa
perubahan-perubahan (kemajuan) iptek yang mendunia (globalisasi), tidak perlu
mengorbankan nilai-nilai adat maupun keyakinan (agama), dari pengendali iptek
(manusia) itu.
Peningkatan tingkat kehidupan (ekonomi), tidak perlu mengorbankan kegotong
royongan, umpamanya. Sikap jiwa saling memuliakan, tidak perlu diganti dengan egoistis,
(siapa lu, siapa gua). Sebagaimana pernah menjangkiti kehidupan masyarakat lainnya.
Akhirnya bisa berkembang kepada hilangnya kepedulian sosial.
Kita memerlukan benteng-benteng kejiwaan yang kuat. Di antaranya adalah
pemeliharaan nilai keseimbangan atau disebut juga tawazunitas, menurut istilah agama.
Nilai budaya Minang mengingatkan, "sekali aie gadang sekali tapian barubah".
Yang berubah itu hanya tapian saja. Kebiasaan-kebiasaan ketepian, tapi berlaku
sebagaimana biasa. Bukan berarti datangnya perubahan (aie gadang), lantas tepian pun
ditinggalkan.
Yang diajarkan adalah perubahan akan selalu ada. Bahkan, dalam menghadapi
setiap invasi yang akan datang, selalu diingatkan. Jangan bertemu hendaknya, "Jalan dialih
urang lalu. Tepian diasak urang mandi.".
Untuk ini diperlukan keteguhan sikap dan pendirian.
Kita tidak dapat membayangkan, bentuk masyarakat macam apa jadinya, kalau
nilai-nilai (norma-norma) sudah menipis. Perlu dipertanyakan. Apakah generasi kini, atau
yang akan datang masih dipersiapkan memiliki nilai-nilai budaya mereka? Masihkah nilai-
nilai (norma) hukum mereka pertahankan?
Masihkah, norma-norma agama (nilai agama) mereka minati? Masihkah, nilai-nilai
kebiasaan bermasyarakat menjadi kegandrungan untuk dipelihara? Bagaimana, hubungan
riil yang terjadi?

8 PENGENTASAN KEMISKINAN
Kecemasan ini beralasan sekali. Karena berkembangnya kecenderungan kehidupan
serba boleh (permissive society). Yang dipertahankan adalah hak. Dan melupakan
pentingnya terlebih dahulu melaksanakan kewajiban. Nilai agama dan budaya, pada
dasarnya berisikan "Declaration of Human Duties" itu. Berisikan piagam dasar kewajiban-
kewajiban azasi manusia (masyarakat).

SUNGGUHPUN ukuran kelayakan telah mengalami perubahan, beriring dengan


kadar perkembangan. Akan tetapi, ukuran baik dan buruk, boleh dan tidak, acuan
kepantasan (normatif, manusiawi, kemasyarakatan), harus tetap dipertahankan. Diantara
ukuran yang kita miliki adalah alur dan patut.
Jiko mangaji dari alif, jiko babilang dari aso.
Jiko naik dari janjang, jiko turun dari tanggo.
Memulai dengan apa yang ada.
Kita wajib bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta 'ala, atas mulai meningkatnya
taraf kemakmuran masyarakat, dengan ukuran materi. Tetapi kenaikan pendapatan
masyarakat ini, menjadi tidak sebanding, dengan kebutuhan yang meningkat deras.
Akibatnya pendapatan yang tadinya sebatas pemenuhan kebutuhan primer (pangan,
sandang, papan), terserap oleh kebutuhan lainnya (sekunder, prestise).
Pemilihan mana yang pokok menjadi kabur. Tersebab ukuran keseragaman
kehidupan, mulai menjalar di tengah kelompok masyarakat (desa).
Sering bertemu, kesalahan arah dalam menentukan pilihan. Kebutuhan mana yang
didahulukan. Sering pula dikaburkan oleh dorongan bisa mendapatkan lebih mudah.
Melalui hutang (kredit) tanpa jaminan, yang menjalar hingga ke pelosok-pelosok dusun.
Tanpa disadari, bahwa garis yang tadinya dibuat, mau tak mau terlintas. HIngga
bayang-bayang tidak lagi sepanjang badan. Dan kemiskinan yang ditakuti itu, kian hari
kian tinggi. Dan si miskin pun kian terperosok jauh ke dalam. Jumlahnya pun makin
bertambah.
Di antara lain, penyebabnya karena tidak adanya sumber penghasilan yang ketat.
Kehidupan desa yang tadinya hanya mengandalkan hasil pertanian, besarnya tetap segitu
gitu juga.
Pengentasan hanya dimungkinkan, dengan terbukanya sumber pendapatan yang
bervariasi.
Misalnya perkebunan atau peternakan. Bagi daerah-daerah tertentu, bisa
dikembangkan pertukangan, kerajinan rumah tangga. Bahkan di pantai-pantai, dapat juga
berbentuk nelayan, atau perikanan.
Di beberapa daerah (wilayah), kesempatan membuka lahan usaha ini sudah mulai
tampak Pasaman sebagai contoh, kini mulai bergerak ke arah perkebunan besar kelapa
sawit. Ribuan hektar banyaknya. Perusahaan-perusahaan besar nasional telah lama mulai
menggarapnya. Diperbanyak jumlahnya oleh perusahaan agribisnis yang ada di daerah
sendiri.
Tanahnya tadi adalah tanah ulayat. Diserahkan sebagai konsesi melalui izin usaha.
Bahkan ada yang langsung dialihkan dengan pemindahan hak melalui jual beli.
Begitu juga di Sitiung (Sijunjung) daerah transmigrasi. Sekarang mulai dilirik
Lunang-Silaut (Pesisir Selatan).

PENGENTASAN KEMISKINAN 9
Beberapa daerah lainnya, seperti Alahan Panjang, Bidar Alam, Sungai Kunyit
(daerah Solok Selatan) yang berbatasan Jambi, telah pula berkembang ke arah perkebunan
Sawit, Karet, Teh dan Cokelat.
Daerah Limapuluh Kota misalnya, selain perkebunan teh Halaban, mulai pula ke
Baruh Gunung, dan Suliki Gunung Emas. Kebun karet rakyat dan pengempaan gambir,
mulai agak bernafas dengan leluasa.
Di kaki Gunung Sago dan Gunung talang, mulai bergerak perkebunan rakyat
lainnya. Ada yang berbentuk kulit manis, murbei, markisa. Dan juga tanaman palawija,
sedari lobak, kentang, bawang merah dan putih.
Sebenarnya semua ini, adalah penghasilan yang lumayan, bisa berguna dalam
mengentaskan kemiskinan masyarakat pedesaan.
Idealnya, masyarakat pedesaan itu harus berani memulai. Memulai dengan apa
yang ada. Karena yang ada itu sudah cukup untuk memulai. Potensi besar yang dimiliki,
yang ada itu, adalah telapak tangan dan potensi alam anugerah Allah.
Dengan sedikit bimbingan pengetahuan, dan manajemen perusahaan, semua
potensi yang potensial itu, niscaya kalau digerakkan akan merupakan potensi yang riil.
Maka seharusnya dan semestinya-lah perusahaan perkebunan besar di sentra-
sentra tadi, mulai membangunkan untuk rakyat pedesaan warga setempat, perkebunan-
perkebunan mini.
Secara selektif, dipilihkan masyarakat desa yang tidak berpunya. Hingga mereka
menjadi orang berpunya, (dalam hal ini minimal sebidang perkebunan yang telah jadi).
Ada sebuah gejala yang mulai terlihat mengenaskan. Yaitu, menurunnya tingkat
penghidupan penduduk desa, di sekeliling daerah perkebunan atau daerah transmigrasi.
Penduduk desa yang tadinya memiliki ulayat, sekarang bahkan ada yang tidak
mempunyai sekeping tanahpun, untuk diolah mereka sebagai lahan usaha. Kalaupun ada,
modal pengolahan (materil dan pengetahuan) sangat minim sekali.
Kehidupan masa depan mereka, jadinya kabur dan mungkin saja hilang.
PROSES kemiskinan bergerak tumbuh lebih cepat dari tumbuhnya komoditas
perkebunan yang ditanam.
Maka, mengutamakan “peserta” perkebunan, dengan mendahulukan penduduk
desa sekelilingnya menjadi lebih mendesak. Hendaknya jangan timbul penduduk “desa
siluman”, yang memetik hasil dari lingkungan desa, tetapi membiarkan penduduknya
tetap merana. Bagai kata orang Minang, “ayam bertelur diatas padi mati kelaparan”.
Inilah yang bertemu di Mentawai, mungkin juga di Pasaman, Sitiung ataupun
Lunang Silaut dan Solok Selatan.
Program PIR yang sudah ada, hendaknya lebih selektif disasarkan kepada
penduduk yang betul-betul miskin.
Melalui program terpadu semacam ini, pengentasan kemiskinan niscaya bisa di-
entaskan.
Hal yang sama, bisa dikembangkan pula pada sentra lain-lain. Melalui perikanan,
nelayan, pertukangan, home industri, atau usaha-usaha serupa.
Sepanjang ranah pesisir, mulai dari Sikilang Air Bangis hingga mendekat Muko-
Muko, bisa diperbaiki kehidupan nelayan. Warga nelayan yang miskin, secara berangsur-

10 PENGENTASAN KEMISKINAN
angsur bisa memiliki perahu-perahu pemukat, mesin tempel (motor boat), jaring-jaring
pukat dan peralatan lainnya yang layak dimiliki oleh kehidupan para nelayan.
Peralatan permodalan, berupa mesin jahit, pertukangan, untuk sentra “home
industri”, disasarkan juga kepada kelompok miskin.
Sungguhpun usaha ini telah dilakukan pemerintah. Tetapi keikut sertaan seluruh
unsur masyarakat desa dan rantau perlu lebih dipadukan. Peranan informal leader amat
menentukan.
Yang penting adalah, membuat kiat bagaimana kesejahteraan itu bermuara di desa.
Meningkatnya pendapat masyarakat desa, merupakan sumber pendapatan baru
bagi masyarakt kota. Rumus ini tidak perlu diragukan lagi.
Membentuk desa binaan merupakan langkah awal yang perlu diwujudkan. Usaha
ini seiring sungguh dengan garisan Allah Subhanahu wa Taala.
“Berikanlah kepada karib kerabat (masyarakt keliling, sanak keluarga di kampung
halaman) haknya. Begitu pula terhadap orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam
perjalanan. Janganlah kamu menjadi orang “mubadzdzir” (pemboros, dan melakukan
tindakan yang tidak bermanfaat, membuang-buang kesempatan). Karena orang-orang
pemboros adalah teman dari Syaithan. Dan syaithan itu sangat inkar kepada Tuhannya.”.
(QS. Al Isra’, 17:26-27).
Gerakkan Potensi Ummat
Selalu saja menjadi pertanyaan yang agak sulit dijawab. Tentang darimana bisa
diambilkan dana bagi pengentasan kemiskinan itu.
Pertanyaan selanjutnya, siapa yang berkompeten melaksanakan usaha pengentasan
kemiskinan tersebut?
Bagaimana memulainya? Dan apakah kira-kira usaha itu akan berhasil segera?
Barangkali, banyak lagi pertanyaan lainya yang mungkin tumbuh sesudah itu.
Harus diakui secara sadar, bahwa “pengentasan kemiskinan” itu, bukanlah
pekerjaan mudah. Tidak semudah mengucapkannya. Dan hasilnya, juga tidak bisa cepat,
drastis dan sekali jalan.
Secara berangsur-angsur, adalah pasti. Sesuai hukum alam, sebagai satu
“sunnatullah” yang telah digariskan. Yaitu, “thabaqan ‘an thabaq”, atau “selangkah demi
selangkah”.
Jika tidak seluruhnya bisa berhasil, bukan berarti pula seluruhnya tidak dikerjakan.
Kerjakan juga mana yang mungkin. Inilah dasar dari optimisme cita luhur itu.
Pandangan ajaran Islam lebih tegas lagi. Setiap muslim, tidak dibebaskan
membiarkan saudaranya (tetangganya) kelaparan di sampingnya. Sementara dia tidur
kekenyangan. Begitu jelasnya ajaran Rasulullah, Shallallahu alaihi wa sallam.
Karena itu, tugas ini menjadi beban setiap Muslim yang berada. Fii amwalihim
naqqun ma luum. Di dalam hartanya, ada hak orang lain. Hak itu berupa infaq, shadaqah
dan zakat.
Zakat sebagai sumber dana ummat (Islam), pernah berperan membiayai
perjuangan kemerdekaan. Lihatlah, bagaimana gencarnya pengumpulan zakat, untuk
pembeli senjata, pemberli pesawat udara (Seulawah satu). Dimasa kita berjuang mencapai
kemerdekaan dimasa penjajahan kolonial Belanda dahulu (1945).

PENGENTASAN KEMISKINAN 11
Jauh sebelumnya, bahkan hingga kini. Zakat masih merupakan satu sumber
pembangunan dibidang pendidikan dan agama. Banyak Madrasah, pesantren, yang telah
dibangun dengan “dana zakat” itu.
Masjid dan Mushalla, barangkali adalah pembuatan toko, kebun, kapal atau pabrik
dengan uang zakat. Dan hasilnya diperuntukkan bagi kepentingan si miskin.
Untuk melakukan studi banding, beberapa negeri tetangga telah lebih dahulu
melakukannya, seperti Mesir dan Malaysia2.
Bagaimana soalnya dengan kontraktor? Masihkah zakat dikeluarkan sebagai
halnya petani? Sebahagiannya, ada yang mempersoalkan bahwa mereka terikat beban
hutang dengan bank.
Bagaimana pula dengan bank-bank, yang sekarang telah menjadi perusahaan (PT)?
Adakah mereka mengeluarkan zakat?
Pertanyaan juga kepada para pegawai, yang jika dihitung, ada yang mendapatkan
gaji, rendahnya Rp. 2,4 juta per tahung? Bahan ada yang lebih, hingga 50 sampai 100 juta?
Atau yang yang menengah saja, sekitar Rp 12 juta setahun? Masihkah dipersoalkan, bahwa
kami masih dihimpit hutang, karana pembelian mobil dan lain-lainnya, sampai dua atau
tiga buah?
Secara sederhana, bisa dimulai menghitungnya. Berapa besar DIP yang diberikan
pemerintah pusat untuk daerah Sumbar tahun ini. Semuanya jelas dikerjakan oleh
kontraktor (perusahaan). Kalaulah 2,5 persen dikeluarkan dalam bentuk zakat, barangkali
kita memiliki sumber dana sekian milyar rupiah.
Kalaulah 2,5 persen pula dari keuangan perusahaan besar seperti PT Semen
Padang, PT Bank-bank, dan PT-PT lainnya, maka akan bertambah pula sekian ratus juta
rupiah, pertahunnya.
Menghitung, memang lebih mudah daripada memungut atau mengeluarkannya.
Disinilah peluang kerja bagi BAZIS. Dan, seharusnya BAZIS itu, menjadi perencana,
penghitung, pembagi, dan penggerak. Semacam badan perencanaan pembangunan dan
pengentasan kemiskinan. Penyedia istimewa (sumber pendapatan) bagi orang-orang yang
perlu diangkatkan.
Begitulah angan-angan yang gerangan perlu dikembangkan.
GEBU MINANG, bisa juga berperan mulai dari rantau. Badan amal ini bisa
bertindak sebagai penggerak pula, untuk mewujudkan Desa-desa Binaan. Mungkin dengan
mengeluarkan obligasi dan mengajak pihak-pihak berpunya, untuk menanamkan
modalnya bagi kesejahteraan anak kemenakan di kampung halaman.
Mungkin sekali, mengajak kerjasama “Bank Muamalat Indonesia”, dalam bentuk
syarikat usaha. Berbagai hasil kelaknya, dengan mengawali pada berbagai tugas dan
kerjaan.
Masyarakat Minang terangnya adalah masyarakat muslim, yang bagi mereka adat
dan agama Islam berjalin-berkelindan. Adatnya bersendi syara’ , dan syara’ bersendi
Kitabullah (Al Quran).

2
Mesir, sudah lebih dari seribu tahun mengelola uang zakat, untuk penguasaan tana-tanah
produktif (pertanian), dan sarana-sarana ekonomi (perdagangan, dan pabrik-pabrik).
Hasilnya samapai hari ii, menyantuni lembaga pendidikan tertua Al Azhar. Tidaklah
berlebihan bila disebutkan bahwa Institut Al Azhar Mesir ini, merupakan institut terkaya,
yang mengelola harta waqaf dan zakat.

12 PENGENTASAN KEMISKINAN
Masjid dan Mushalla, serta Lembaga-lembaga Agama Islam, yang selama ini telah
berperan sebagai ujung tombak “pengumpul zakat”. Bisa lebih difungsikan, dengan
memberikan mutu dan kualitas ummat Islam sendiri.
Akhirnya, “mass-media”, bisa dimintakan partisipasinya pula. Terutama dalam
pengumuman dan pelaporan setiap kegiatan pengumpulan dan pemanfaatan dana-dana
ummat. Tentu secara berkala dan bertanggung jawab.
“Apa yang bisa dilakukan di sini” adalah awal dari gagasan tulisan ini. Kalimat itu
juga mengakhirinya. Terpulanglah kepada kita, darimana akan dimulai. Menggerakkan
potensi ummat dengan mengharap ridha Allah, adalah tujuan utamanya.
“Allahumma zidha ‘ilman”. Wahai Allah, tambahlah ilmu kami. Ilmu yang
bermanfaat yang bisa dikembangkan, bisa diaplikasikan menjadi kenyataan. Karena
Engkau tela berfirman,”Sesiapa yang telah Engkau berikan hikmah (yakni ilmu yang
bermanfaat, bisa diterapkan untuk menciptakan kemaslahatan ummat banya, atas dasar
ridha Engkau). Berarti mereka telah Engkau anugerahkan kebaikan yang besar.” (Al
Quran).

PENGENTASAN KEMISKINAN
PENGENTASAN kemiskinan, dengan pengertian usaha bersama-sama mengurangi
tingkat kemiskinan perlu ditampilkan. Perlu dipentaskan. Karena usaha mengatasi
kemisikinan di tengah kehidupan ummat, sesungguhnya merupakan usaha yang mulia.
Agama Islam, dengan mempedomani Al Quran dan Sunnah Rasulullah selalu
memberikan perhatian yang besar serta berkesinambungan terhadap masalah sosial ini.
Ajaran Al Quran amat memperhatikan usaha-usaha penanggulangan kemiskinan.
Tidak diragukan lagi, ayat-ayat pertama dari Mashhaf Al Quran, memberikan ciri-
ciri sifat dan sikap seorang Muttaqin (orang yang bertaqwa). Diantaranya, orang yang
percaya kepada Yang Ghaib (Allah), mendirikan shalat serta membelanjakan sebahagian
rezekinya (hartanya) untuk kemaslahatan ummat banyak. Artinya, memberikan perhatian
penuh terhadap kehidupan orang-orang miskin. Seperti tertera dalam Wahyu Allah, Surat
Al Baqarah, 2 : 3 (Al Quran).
Karena itu, seorang Muslim seyogyanya tidak perlu merasa sungkan dan segan,
dalam berusaha mementaskan setiap usaha ke arah pengentasan kemiskinan.
Al Quran yang menjadi pedoman setiap Muslim (jumlah kita diakui terbanyak di
Dunia ini), seyogyanya mengambilkan pelajaran tentang cara-cara yang diajarkannya guna
mengentaskan kemiskinan ummat.
Karena sudah pasti, yang terbanyak di antara ummat yang berada di bawah garis
kemiskinan itu, tentulah Muslim pula.
Al Quran menceritakan, di kala seorang kafir (yang menolak ajaran Allah),
dimasukkan ke dalam neraka, mereka ditanya, Apa sebabnya mereka tercampak ke dalam
kehinaan (Neraka) ini. Jawabnya karena, pertama, Kami bukanlah termasuk golongan
orang-orang yang shalat.
Kedua, Kami tidak hendak memberi makan orang miskin.
Ketiga, Kami asyik membicarkan kebathilan. Tanpa berusaha sedikitpun
menghapus kebathilan itu. Habis hari karena berbincang. Tak ada waktu tersisa untuk
mengubah kepincangan-kepincangan.

PENGENTASAN KEMISKINAN 13
Keempat, Kami mendustakan hari pembalasan (hari akhirat). Keyakinan mereka
hanya terpaut kepada hal-hal duniawiyah semata. Yang ada hanya pemikiran masa kini, di
sini. Tidak ada sama sekali berpikir dan berbuat untuk hari esok. Hari yang pasti didatangi
setiap diri. Nanti, setelah mati.
Keterangan tersebut jelas diterangkan Allah dalam Firman Nya, Al Quran Surah ke
74, Al Muddatsir ayat 40 - 47.
Yang menjadi titik perbincangan adalah memberi makan orang miskin.

Ruang lingkungan luas. Termasuk memberi makan, juga adalah menyiapkan


sumber atau lahan usaha bagi si miskin. Hingga setiap saat mempunyai harapan dari hasil
garapannya. Mereka tidak lagi disibukkan mengumpulkan sesuap nasi atau setekong beras
untuk makan gari ini. Tapi, sudah mempunyai sumber usaha yang menghasilkan makan
setiap hari. Untuk dirinya sendiri dan untuk keluarganya pula. Jadi, usaha melahirkan
kemandirian.
Secara konvensional, yang disebut miskin itu peminta-minta. Dia tidak punya kerja,
kecuali hanya meminta-minta. Sungguhpun mereka punya hak untuk meminta-minta
kepada orang yang berpunya (lihat Surat Adz Dzariyat, 51:19-20). Tapi sama-sama tidak
bermartabat, membiarkan diri selalu menjadi peminta-minta. Atau juga tidak mulia
tindakan si kaya yang memupuk terpeliharanya kebiasaan orang yang selalu meminta-
minta.
Dalam sebuah ajaran Rasululah Shallallahu ‘alaihi wassalam ditegaskan, “Mencari
kayu api ke hutan, mengikatnya dan kemudian menjualnya, (berusaha dengan tangan
sendiri, memeras keringat), kemudian hasilnya kamu terima, dan kamu makan berserta
keluarga di rumah. Usaha demikian itu lebih bermartabat, daripada kamu berkeliling
menengadahkan tangan meminta-minta, diberi ataupun tidak diberi oleh orang lain. Allah
lebih senang kepada tangan yang di atas daripada tangan yang di bawah (peminta-minta).

Menelurkan Harga Diri.


Umar bin Khattab, memberikan arahan lebih keras. Tatkala dilihatnya seorang
pemuda, duduk mendo’a menengadahkan tangan meminta rezeki. Tanpa berusaha
meninggalkan pojok dinding Ka’bah. Sedari pagi hingga malam, hanya berseru dengan
nada memelas.
“Wahai Tuhan, berilah aku rezeki harta”. Begitulah yang didengar Umar bin
Khattab, keluhan remaja yang memiliki tubuh sehat dan otot perkasa.
Dengan nada keras, sembari mengancam dengan mata pedang, Umar
mengingatkan,
“Wahai pemuda. Janganlah sekali-kali kamu hanya pandai menengadahkan
tangan, meminta-minta diturunkan rezeki harta. Kamu harus tahu, sejak langit
berkembang, Allah tidak pernah menurunkan hujan emas dan perak. Gerakkan tanganmu!
Allah akan beri kamu rezeki.”.
Peringatan keras ini, memiliki ajaran dan pandangan yang sungguh dalam.
Larangan meminta-minta. Tumbuhkan sikap berusaha. Melahirkan etos kerja yang
tinggi. Sebagai pembuka jalan bagi pintu rezeki.

14 PENGENTASAN KEMISKINAN
Di sinilah terdapat salah satu kunci. Mengentaskan kemiskinan melalui “pemberian
pelajaran”, menunbuhkan “harga diri”. Menumbuhkan “rasa malu” selalu menjadi beban
orang lain. Jadi, harus ada program jelas untuk mengubah sikap kebiasaan.
Orang miskin adalah orang yang serba kekurangan. Orang yang berkekurangan
lantaran tidak mempunyai apa-apa. Tidak memiliki mata pencaharian. Tidak mempunyai
kepandaian dalam mencari nafkah. Mereka perlu dibantu dan diangkatkan derajatnya.
Dicarikan baginya lahan dan lapangan pekerjaan. Dibuatkan untuk mereka sumber
pengidupan. Dididik mereka untuk bisa berusaha untuk hidup. Ajarkan mereka arti dan
makna “madiri” dalam bentuk perbuatan dan kenyataan.
Lebih halus ta’rif atau definisi yang diberikan Rasul Shallallahu ‘alaihi wassalam,
sebagaimana diriwatkan Bukhari Muslim dalam shahihnya.
“Orang miskin itu bukanlah mereka yang berkeliling meminta-minta (sebagai
pemulung), agar diberikan kepadanya sesuap nasi atau sebuah dua biji korma. Tapi orang
miskin itu, adalah mereka yang hidupnya tidak layak berkecukupan. Kemudian mereka
diberi sedekah, dan sesudah itu mereka tidak pergi lagi meminta-minta kepada orang
lainnya.”. (HR. Bukhari dan Muslim, Shahih Insya Allah).
Hadist lainnya menyebutkan;
“Orang miskin itu, hanyalah orang yang menjaga kehormatannya.”.
Mereka perlu mendapatkan perhatian. Terhadap nasib mereka perlu ditumbuhkan
kepedulian yang tinggi.
Perangi Kemiskinan.
Fakir dan miskin, adalah bayangan kehidupan yang berbahaya.
Bahayanya jelas digambarkan oleh Rasulullah. Beliau berkata, “Hampir-hampir
kefaqiran yang membawa kekufuran”. Walaupun tidak selamanya orang kufur itu terdiri dari
orang fakir. Atau sebaliknya tidak pula selamanya orang berpunya terjauh dari kekufuran.
Namun, dapat disimak terminologi sosialnya, bahwa kekufuran itu terbuka itu
terbuka pada salah satu pintunya kefakiran.
Maka mengatasi kefakiran dan kemiskinan, bermakna menghambat peluang
kearah kekufuran.
Disini terletak satu peran utama setiap muslim yang mampu.
Kewajiban asasi, dalam kaitannya dengan “hablum minan saasi” atau hubungan
horizontal antara sesama manusia (Muslim).
Dalam hubungan ini, Ali bin Abi thalib mengandaikan. “Andaikata, kefakiran atau
kemiskinan mewujudkan dirinya dalam sosok tubuh seperti manusia, niscaya aku akan
cabut pedangku. Aku tebas batang lehernya. Sehingga kemiskinan (kefakiran) itu tidak
sempat hidup ditengah kehidupan manusia banyak.”.
Demikian Ali bin Abi Thalib, mengumumkan perang terhadap kemiskinan
(kefakiran).
Akan tetapi Umar bin Khattab, langsung mementaskan di arena kekhalifahan
beliau. Bagaimana beliau sendiri berperan langsung dalam mengentaskan kemiskinan di
zamannya.
Diantaranya tersebut kisah, bahwa Umar bin Khattab selalu melakukan perjalanan
incognito, ke pelosok-pelosok desa, ke gubuk-gubuk reot. Melihat dan meneliti keadaan
kehidupan masyarakat kalangan bawah.

PENGENTASAN KEMISKINAN 15
Di suatu malam, Umar bin Khattab mendengan suara tangisan anak-anak dari
sebuah gubuk. Terdengar pula dendangan ibu menentramkan tangisan anak itu.
Setelah mendekat, Umar bin Khattab meminta izin kepada sang Ibu agar
diperbolehkan masuk. Dalam dialog pendek, dari sang ibu didapat penjelasan, bahwa dia
berusaha menenangkan tangisan anaknya yang tengah kelaparan. Untuk menghubur dan
menenangkan anak menjelang tidur, ibu itu sengaja merebus batu.
Umar bertanya kepadanya, “Wahai ibu, kenapa ibu tidak datang saja kepada
Amirul Mukminin (Umar bin Khattab), untuk meminta pangan? Sehingga tidak perlu
berbohong terhadap anakmu?”.
Sang Ibu menjawab, “Seharusnya Amirul Mukminin tahu tentang nasib
rakyatnya.”.
Umar segera bangkit dan pamit dengan wajah duka. Di dalam hatinya berkecamuk
rasa iba dan tanggung jawab. Memang kewajibannya, membela rakyatnya yang miskin.
Dia kumpulkan gandum yang ada dirumahnya. Dimasukkannya ke dalam karung.
Dipikulnya sendiri dengan pundaknya. Dibawanya juga di malam hari itu, ke rumah ibu
yang merebus baru untuk anaknya yang kelaparan.
Dia masak sendiri gandum bawaannya hingga matang. Siap dihidangkan sebagai
makanan yang layak. Dia berikan kepada anak yang tengah kelaparan itu. Diapun bergurau
dengan anak itu sampai sang anak tertidur. Tidur bukan karena lapar. Tapi tidur dengan
perut berisi.
Demikian salah satu bentuk adegan, bagaimana Umar bin Khattab “mementaskan”
usaha-usaha mengentaskan kemisikinan di zamannya.
Yang dapat dipetik dari pementasan itu, usaha-usaha pengentasan kemisikinan,
perlu dilakukan secara nyata. Tidak sebatas keinginan dan teori belaka.
Umar bin Khattab menjadi orang yang pertama dalam banyak hal. Pertama
mendirikan baitul-maal, (pembagian warisan). Juga pertama kali mengirimkan bahan
makanan melalui Laut Merah dari Mesir ke Madinah. Menetapkan pengenaan zakat atas
ternak kuda. Menyediakan gudang-gudang yang berisi gandum (bahan pangan) bagi
orang-orang yang kehabisan bahan makanan (fakir miskin).

Zakat dan Prinsip


ZAKAT merupakan satu institusi yang dapat dipakai sebagai alternatif bagi
pengentasan kemiskinan ummat. Minimal terbatas bagi kalangan Muslim. Di tengah
kehidupan sesama muslim.
Atas dasar, “Saling bertolonganlah kamu atas kebaikan dan ketaqwaan”. (QS. Al
Maidah, 5:2).
Dengan demikian Al Quran, meletakkan prinsip ta‘awunitas atau partisipatif
(saling tolong bertolongan untuk kebaikan dan ketaqwaan). Tidak ada prinsip ta’awunitas
itu untuk keburukan maupun kema’shiyatan.
Harus dibedakan, antara zakat dengan infaq dan shadaqah, dalam kaitannya
sebagai perintah Allah. Walaupun diakui semuanya merupakan sumber dana ummat.
ZAKAT merupakan dana yang wajib dikeluarkan, wajib di-tagih, wajib di-pungut,
dari pemegang dana.

16 PENGENTASAN KEMISKINAN
INFAK dan SHADAQAH lainnya (diluar zakat), harus digalakkan untuk
dikeluarkan, sebagai alat untuk meningkatkan ukhuwwah (solidaritas) dan jihad ff
sabiilillah (peningkatan amaliyah dalam meningkatkan dan mempertahankan aqidah dan
kaedah di jalan Allah).
Zakat, sebagaiman halnya shalat, merupakan satu arkaan min arkaanil-Islam.
Sendi-sendi dari Islam. Zakat merupakan rukun (sendi) Islam yang ke-empat, setelah
syahadatain, shalat, dan shaum (puasa).
Dalam Kitab suci Al Quranul Karim, selalu diseiringkan perintah shalat dan zakat
ini. Hingga dapat dikatakan, zakat inilah yang membedakan apakah seseorang itu mukmin
atau kafir (munafik).
Orang mukmin yang benar, selain mempercayai hari akhir, serta mengerjakan
shalat, dan tidak mempersekutukan Allah, juga seorang pembayar zakat.
Karena Al Quran selalu menghubungkan antara shalat dan zakat, maka para
sahabat Rasulullah (salafus-shalih), selalu berperdapat, antara keduanya tidak boleh ada
pemisahan.
Al Quranul Karim juga menyebutkan zakat dengan kata-kata shadaqah. Bermakna
shadaqah yang wajib. Sebagai pembuktian atas pembenaran perintah Allah, yang melekat
pada harta benda seorang mukminin.
Membayarkan zakat kewajiban muslim, sama halnya dengan kewajiban shalat.
Maka memungut zakat dari seorang yang berkewajiban zakat merupakan perintah Allah
pula. (At Taubah, 9:103). “Ambillah (pungutlah) dari sebahagian harta mereka sadaqah
(zakat).
Dalam pelaksanaan pemungutan zakat, harus ada satu badan. Bagi negara-negara
Islam, perintah pemungutan datangnya dari Kepala Negara (Amirul Mukminin). Tentu
melalui satu penegasan perundang-undangan, sesuai dengan Kitabullah. Untuk daerah
kita, bisa dilakukan oleh Baitul Maal atau BAZIZ.
Karena itu, dalam pandangan Al Quran (Islam), seorang belum dapat disetarakan
dengan orang-orang yang bertaqwa, sebelum dia mengeluarkan sebahagian hartanya
(berupa zakat). Tanpa zakat, seseorang terjauh dari rahmat Allah.

Kewajiban Azasi
Tatkala Rasulullah mengirimkan utusan ke Yaman, bernama Mua’adz bin Jabal,
Nabi menginstruksikan beberapa patokan yang harus dijalankannya. Antara lain,
sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dalam shahihnya.
“Kau akan berada di tengah ummat Ahli Kitab. Ajaklah mereka mengakui, tidak
ada Tuhan selain Allah dan Saya (Muhammad) adalah Rasul-Nya.
“Bila mereka menerima (mengakui), beritahukanlah kepada mereka, bahwa mereka
wajib melaksanakan shalat lima kali dalam sehari semalam.
“Bila mereka telah menjalankannya, beritahukan pula, mereka diwajibkan
mengeluarkan zakat, yang dipungut dari orang-orang kaya dan dikembalikan kepada
orang-orang miskin.
Dan bila mereka menjalankannya (shalat dan zakat ), maka kau harus melindungi
harta kekayaan mereka itu. Selanjutnya rasulullah menegaskan lagi .

PENGENTASAN KEMISKINAN 17
“Dan takutlah kepada doa-doa orang yang teraniaya (diantaranya orang-orang
miskin). Karena antara doa orang teraniaya dengan allah tidak ada batas (penghalang)“
(HR.Bukhari muslim, dari Anas Radhiallahu “anhu).
“Aku diperintahkan memerangi manusia, kecuali bila meraka meng-ikrar0kan
syahadat, bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad Rasul Allah (kemudian)
mendirikan Shalat dan membayarkan zakat”. (HR.Bukhari Muslim).
Peringatan Rasullulah lainnya, berbunyi “Bila shadaqah (zakat) bercampur dengan
kekayaan laian. Bila harta kekayaan tidak dikeluarkan zakatnya . Kekayaan itu akan binasa
“ (HR Bazar dan Baihaqi , liaht Nailul Authar, jilid IV-126).
Jelaslah zakat itu bagi seseorang Mukmin yang memiliki harta kekayaan, memiliki
beberapa fungsi ,
1. Perintah Allah (tanda pembenaran syahadat da shalat)
2. Pembesih harta kekayaan
3. Pengentasn Kemiskinan ummat, karena ditujukan kepada orang miskin.
4. Sumber dana ummat, penggunaanya diarahkan kepada obyek tertentu (hasnaf
delapan)
5. Pembeda antara Mukmin & Munafik
Kehidupan sehari-hari menberiakan bukti nyata “tidak ada orang yang melarat
lantaran mengeluarkan zakat“. Bahkan sebaliknya yang sering bersua, orang kaya
(Muslim), akhirnya tidak pernah mengenyan ketentraman , lantaran selalu menahan hak
zakat..
Zakat wajib dikelola dengan management yang benar. Sumbernya menjadi jelas,
sebagai mana ditetapkan Al-qur’an. Setiap muslim yang mempunyao harta, wajib berzakat.
Kewajiban demikian ditentukan berdasarkan batas (hisab) dari segi jumlahnya . Batas juga
dari waktu (haul), dalam setahun. Dan batas besarnya kewajiban yang wajib dikeluarkan .
Sedari tingkat 2,5 (dua setengah) persen, 5 persen, 10 persen, bahkan ada yang sampai 20
persen dari besarnya kekayaan (hisab).
Penerima zakat, juga dijelaskan dengan tegas. Antaranya Al Quran Surat At
Taubah (IX) ayat 60. Ayat dari Firma Allah tersebut menjelaskan penerima zakat tersebut
adalah “orang-orang”. Subjeknya kelompok perorangan. Terdiri dari (1) .orang fakir (2) .
Orang Miskin (3). Orang (para) Amil (pengelola zakat ). (4). Orang (para) Muallaf yang
dibujuik hatinya. (5). Mereka (orang) yang diperhamba (membebaskan perbudakan ). (6).
Merka yang dililit hutang (mandi hutang). (7). Jihad dijalan Allah . (8). Dan orang yan
gterlantar dalam perjalanan .
“Demikian diwajibkan Allah Maha Tahu Maha Bijaksana (QS 9 : 60).
Lima kelompok dari delapan asnaf ini adalah orang-orang yang amat memerlukan
perhatian khusus. Karena mereka tengah berada ditepi jurang kemelaratan. Mereka adalah
fakir,miskin, budak yang diperhamba, orang yang dililit hutang dan yang terlantar dalam
perjalanan.
Dua kelompok tengah berhadapan dengan medan dakwah illallah . Ya’ni, Muallaf
dan fisabilillah. Kelompok yang dengan kesadaran hati mereka menerima Islam, Problema
yang dihadapi mereka bukan sedikit. Kadang-kadang berbentuk pengucilan dari kelompok
(agama) anutan lamanya.
Mereka cenderung tengah berproses kearah kemiskinan, jika tidak segera
diantisipasi.

18 PENGENTASAN KEMISKINAN
Sebagaimana juga halnya “fisabilillah “. Merka tengah berjihad. Bisa sebagai
pejuang di meda laga, karena mempertahankan aqidah Islamiah. Bisa juga mereka yang
tengah berdakwah didaerah sulit.
Ruang lingkup fisabilillah ini cukup luas. Bisa juga mereka yang tengah menuntut
ilmu pengetahuan, kemudian berkewajiban kembali ke tengah ummatrnya, membina dan
mencerdaskan kel;ingkungannya.
Pada hakekatnya, mereka bukanlah berjuang untuk diri sendiri, tetapi untuk
kepentingan orang banyak . Atas redha Allah semata. Maka mereka perlu mendapatkan
perhatian yang mendalam.
Kesemua kelompok itu, mendapatkan porsi dari sumber zakat menurut prioritas
secara kondisional dan situasional. Pengelolaanya adalah “amil” zakat. Untuk itu, mereka
berhak mendapatkan bahagian. Intisarinya agar amanah untuk pihak-pihak yang
diprioritaskan, tidak menyimpang kepada yang lainnya . Terciptanya keadilan dan
pemerataan sesuai dengan program yang hendak dikembangkan. Amil zakat tetap akan
menerima bahagian dari zakat itu, walau merka terdir dari orang-orang berpunya juga.
Terserah apakah bahagian imerka akan mereka nikmati berbentuk materi, atau akan
mereka kembalikan lagi dalam bentuk shadaqah. Semuanya ini lebih banyak ditentukan
oleh kualitas pribadi para amail.
Bahkan ada kalanya orang-orang “berduit” yang diberi amanah sebagai “amil”
zakat, bisa meniru aa yang dilakukan oleh Kaum Anshar (Madinah) terhadap kaum
Muhajirin, dalm sejarah Hijrah Rasullullah Shallallahu a’alaihi Wa Salam..
Mulianya sikap merka seperti diceritakan Allah di dalam Al Hasyr (QS.LIX) ayat -9
, antara lain mereka tunjukkan kasih sayang kepada orang berpindah ke kampung mereka,
(Dewasa ini sebagai program Transmigrasi .Pen).
Dan tidak meraka menaruh keinginan dalam hati terhadap apa yang diberikan
kepada merka (yang berpindah itu). Bahkan mereka utamakan kawannya lebih dari diri
mereka sendiri meskipun mereka dalam kesusahan (pula)..
Begitu kira-kira bentuk-bentuk dari kualitas ummat, yang terbina karena iman
mereka terhadap Allah. Hidup dalam kehidupan redha Allah.
Harus dipungut
Tidak pantas, zakat dihitung oleh pemilik harta kekayaan, menurut keinginan dan
kepentingannya semata.
Zakat harus dipungut. Karena itu institusi “amil” perlu membagi dirinya menjadi
pemungut (collector) dan pembagi zakat (distributor).
Demi memudahkan para pemungut (kolektor,amil) dalam menjalankan tugasnya
maka kemajuan iptek sekarang ini, memungkinkan sekali untuk menyusun lebih dahulu
kohir (formulir zakat) .
Selengkapnya dapat berisikan cara-cara yang tepat dan mudah bagi pemilik harta
kekayaan untuk menghidupkan semangat berzakat. Juga memudahkan menghitung berapa
sesungguhnya besar zakat mereka yang semestinya dikeluarkan.
Akan salah kiprah jadinya, kalau ditemuinya juga pembayar zakat hanya
mengeluarkan berupa kain sarung tua, ampelop uang di akhir tahun . Sebagaimana
biasanya di bulan-bulan Ramadhan . Kemudian membagikan secara merata kepada siapa
saja yang menurutnya pantas . Karena mungkin sasarannya kurang tetap. Dampaknya bisa
berakibat memperbanyak jumlah orang miskin. Pendistribusian zakat perlu dipandu oleh

PENGENTASAN KEMISKINAN 19
Amil Zakat. Hal ini akan mempermudah terlaksananya “pementasan “ dan “pemintasan”
dari usaha-usaha ke arah “pengentasan kemiskinan” ummat..
Zakat sesungguhnya bukanlah milik pembayar zakat. Zakat adalah “harta milik
Allah”, yang diamanahkan untuk dibayarkan kepda orang-orang tertentu “ yang
ditentukan oleh Allah. Mungkin saja terjadi,pemilik zakat menyerahkan kepada badan
(amil) tertentu . Tersebab karena keragu-raguan hati semata. Apakah zakatnya sampai
kesasaran atau tidak.
Maka dalam hal demikian itu menjadi tugas pokok dari amillah untuk
mengumumkan pertanggung jawaban secara terbuka kepada ummat. Bisa sekali dengan
memanfaatkan media massa yang ada dan menjangkau seluruh lapisan ummat.
Pantas,pintas dan pentas
Zakat sebagai penghapus kemiskinan telah dipentaskan sejak mas aRasullullah
Shallalahu ‘alaihi Wassalam. Dalam sebuah hadist, sebagai mana diriwayatkan Bukhari
Muslim, Rasullullah mengingatkan, “Meminta-minta tidak halal kecuali salah seorang dari
tiga beban “. Pertama ,”orang yang menanggung beban berat (tidak mampu memikul
sendiri ),maka baginya halal meminta “,Ketiga “orang yang dibalut kemiskinan maka
baginya pun halal meminta sampai dia kembali tegak dan hidup secara wajar “.”Selain dari
tersebut diatas haram baginya makan hasil meminta-minta.“. (HR.Bukhari Muslim, dari
Qabishah al Hilali).
Batasan dan larangan Rasulullah ini, membuka peluang boleh meminta sampai
terangakat kemiskinan dan di dalamnya terkandung makna berilah kepada seorang miskin
sessuatu yang menyebabkan sesudahnya di a bisa hidup wajar (terangkat kembali dari
garis kemiskinan).
Hidup layak, sebagai ukuran “kepantasan“, bervariasi sesuai kondisi kehidupan
ummat dikala itu. Makanya kalangan miskin diangkat melalui pendidikan, pengajaran
bagaimana membina hidup yang layak. Mengajarkan cara-cara mengolah kehidupan. Siap
untuk membentuk hidup yang layak. Bisa melalui lapangan hidup pertanian, pertukangan,
(nelayan) perikanan, perkebunan. Bahkan juga meniti usaha-usaha perniagaan.
Untuk itu tentu perlu dikaji kesediaan “simiskin” untuk mengubah sikap jiwa. Dari
menerima kemudian memakan .Menjadi penerima,pengolah, pemelihara dan baru
memakan hasilnya, untuk dirinya dan keluarganya.
Karena itu,tepat dan pantas jika kafir miskin diberi zakat hingga ia berkecukupan .
Boleh dalam bentuk peralatan permodalan .
Besarnya bantuan itu boleh disesuaikan dengan keperluan (untuk mengentaskan
kemiskinan), agar dari usahanya diperoleh keuntungan. Meskipun jumlah permodalan itu
besar (Imam Nawawi, Syarah Minhaj -VI/159).
Bahkan Imam Syafei menegaskan, ”Bantuan zakat bisa dalam bentuk memberikan
sebuah pekerjaan. Malah kemudian bisa pula ditambah untu usaha-usaha lainnya hingga
dapat memenuhi kebutuhan si-miskin” (Al Umm). Yang kemudian pendapat ini disepakati
pula oleh Imam Ahmad,”orang miskin boleh mengambil zakat untuk seluruh kebutuhan
hidup (berupa sumber usaha yang berketerusan)” (Al Inshaf,III/238).
Selanjutnya Ma’alim as Sunnah (II/239) menjelaskan pendapat Khattabi, ”Batas
pemberian zakat adalah kecukupan (bagi simiskin yang diangkatkan derajatnya). Dengan
zakat diciptakan kehidupan seseorang menjadi lebihj baik. Batas itu disesuaikan dengan
kondisi serta tingakat kehidupan umum yang berlaku.Tentu akan berbeda pada tiap orang,
sesuai dengan keadaaan mereka (bangsa)”.

20 PENGENTASAN KEMISKINAN
Pendapat-pendapat itu merujuk kepada kebijaksanaan umum yang pernah
dilakukan oleh Umar bin Khattab. ”Kalau memberikan bantuan hendaknya mencukupi.”.
Umar mementaskan dalam masa pemerintahannya . Umar pernah memberikan bantuan
(zakat) berupa tiga ekor unta kepada seorang laki-laki yang memerlukan bantuan.
Kemudian Umar pernah mengatakan niatnya yang teguh dalam “mengentaskan
kenmiskinan “ di tengah rakyatnya .Akan aku ulangi pembagian zakat (sedekah) walaupun
diantara mereka baru akan cukup dengan menyerahkan seratus ekor unta”.(Al Anwaal,565-
566).
Ternyatalah ,institusi zakat dapat dipergunakan secara efektif. Dalam usaha
meningkatkan taraf hidup sesama muslimin untuk menjadi keluarga yang mampu dan
hidup penuh dengan kelayakan, dalam ukuran ekonomis. Entaskan kemiskinan.
Ini pula yang menjadi paham dai Imam Al Ghazzali (Ihya,I/207, al Halabi),
”Hendaknya zakat dapat dipakai untuk pembeli tanah (diolah bagi keperluan orang miskin
) dan hasilnya cukup untuk seumur hidup”.
Maka termasuk “pantas” mempergunakan zakat untuk usaha yang
berkesinambungan mendatangkan hasil tetap.Pantas juga membuka perkebunan dan
lahan-lahan pertanian . Sebagai jalan “pintas” untuk mengentaskan kemiskinan itu.
Yang perlu dijaga tujuan utamnyahanya untuk kepentingan peningakatan taraf
hidup orang melarat. Tidak untuk kepentingan yang lain dari itu. Disinilah peran BAZIS.

PENGENTASAN KEMISKINAN 21

You might also like