You are on page 1of 42

LAPORAN PRODUKSI BERSIH

PADA INDUSTRI PENYAMAKAN KULIT

Oleh:
Farid Abdul Qohar F34070003
Sri Alam S. Nasution F34070006
Biantri Raynasari F34070007
Rima Rahmawati F34070009
Andini Widya Astuti F34070010
Agung Utomo F34070012
Siti Irma Erviana F34070015
Alisia Rahmaisni F34070034
Yana Taryana F34070036
Rahman F34070100

2010
DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Industri penyamakan kulit adalah industri yang mengolah kulit mentah
menjadi kulit jadi. Industri penyamakan kulit merupakan salah satu industri yang
didorong perkembangannya sebagai penghasil devisa non migas. Industri
Penyamakan kulit sebagai salah satu industri yang berpotensi menghasilkan
limbah, terutama tanin, kromium, suspensi solid, BOD, COD dan klorida.
Sejauh ini masalah utama yang masih sering dipermasalahkan dalam indutri
ini yaitu mengenai penanganan limbah yang dihasilkan, karena industri ini
mempunyai konsekuen untuk dapat mencemari lingkungan yang ada disekitarnya
baik melalui air, tanah dan udara. Peraturan Pemerintah No. 82 tahun 2001
tentang pengendalian Pencemaran Lingkungan, menjelaskan bahwa tidak
diperkenangkan membuang limbah cair kedalam tanah kecuali mendapat izin dari
mentri terkait dan berdasarkan hasil penelitian. Olehnya itu diharapkan bahwa
setiap kegiatan industri yang mengeluarkan limbah harus dilengkapi dengan
instalasi pengolahan air limbah, dengan harapan untuk menekan dampak yang
terjadi, sehingga kelestarian lingkungan dapat teratasi.
Berdasarkan hal di atas, penulis memilih Industri penyamakan kulit sebagai
industri yang akan di audit produksi bersih. Industri penyamakan kulit ini berada
di daerah Cibuluh Bogor dan masih tergolong ke dalam industri skala kecil.
Limbah yang dihasilkan tidak terlalu banyak, seperti halnya industri-industri
penyamakan kulit pada skala besar. Namun, hal tersebut tidak dapat menghalangi
adanya suatu pengendalian dan pengurangan limbah produksi.
B. TUJUAN
Tujuan dari kunjungan kelompok ke Industri Penyamakan Kulit di Cibuluh,
Bogor ini yaitu :
1. Untuk mengetahui jenis limbah yang dihasilkan oleh industri penyamakan
kulit Cibuluh Bogor.
2. Untuk mengetahui sumber dan karateristik limbah cair industri penyamakan
kulit.
3. Untuk mengetahui proses pengolahan limbeh cair pada Industri Penyamatan
kulit.
4. Untuk mengetahui dampak yang ditimbulkan dari industri penyamakan
kulit.
5. Untuk menerapkan produksi bersih, mengatasi dan memberikan solusi
penanganan limbah terhadap industri penyamakan kulit di Cibuluh Bogor.
II. PROSEDUR

Prosedur Quick Scan Penyamakan Kulit


Waktu : Selasa, 9 November 2010
Tempat : Industri Penyamakan Kulit
Prosedur :
1. Persiapan
Pengadaan informasi dari sektor industri dan pengumpulan data dari
pengalaman sektor spesifik cleaner production.
2. Pelaksanaan
Wawancara & tour fasilitas dengan para manajer produksi atau yang
bertanggung jawab menentukan informasi penting.
3. Evaluasi data
Membandingkan proses produksi yang terjadi di lapang dengan yang ada di
referensi dan dapat berupa ringkasan dari proses operasi, material dan energi
yang menggunakan diagram alir.
4. Laporan ringkas
Penilaian dari potensi produksi bersih dan diskusi pada jasa penilaian
produksi bersih.
III. DESKRIPSI INDUSTRI

Kunjungan produksi bersih dilakukan pada industri penyamakan kulit H. Ali


Ahmad. Industri ini merupakan usaha keluarga yang dirintis oleh H. Ali Ahmad.
Lokasi pabrik terdapat di Cibuluh, Bogor yang telah berdiri sejak 30 tahun lalu.
Industri penyamakan kulit H. Ali Ahmad termasuk ke dalam industri kecil karena
memiliki tenaga kerja 30 orang. Sebagian besar tenaga kerjanya berada di bagian
produksi yaitu sebanyak 20 orang. Kapasitas produksi di pabrik ini berkisar antara
1 ton sampai 1,5 ton setiap harinya.
Bahan baku yang digunakan berupa kulit sapi, kambing, dan domba yang
diperoleh dari rumah potong hewan yang berasal dari Jakarta dan Ciampea. Bahan
baku sebelumnya dikumpulkan oleh pengumpul dan kemudian dijual ke pabrik.
Mulai 5 tahun lalu, bahan baku mulai susah didapat karena munculnya industri
penyamakan kulit lain. Akibatnya, kapasitas produksi sebanyak 1 ton sampai 1,5
ton tidak dapat dipenuhi setiap harinya. Untuk menekan biaya produksi, pabrik
tidak melakukan produksi tiap hari dan hanya akan melakukan produksi apabila
kapasitas minimalnya terpenuhi.
Pasokan bahan baku yang diperoleh juga dipengaruhi oleh waktu. Suplai
kulit akan meningkat pada hari-hari tertentu seperti hari raya idul adha. Namun,
kulit yang berasal dari hewan kurban pada umumnya memiliki kualitas yang
rendah karena kulit tidak mendapatkan penanganan awal yang baik setelah kulit
dipisahkan dari hewan.
Pengolahan kulit yang dilakukan adalah mengolah bahan mentah berupa
kulit hewan sampai menjadi bahan setengah jadi yaitu lembaran kulit yang siap
diolah. Lembaran kulit ini dapat diolah menjadi produk lain seperti sepatu, tas,
dan jaket kulit. Waktu pengolahan yang diperlukan mulai dari bahan mentah
menjadi bahan setengah jadi adalah 20 hari. Proses tersebut terdiri atas 17 tahap,
yaitu pengawetan, pengurangan kadar garam, perontokan bulu, pencucian,
pembuangan daging, pembuangan kapur, pencucian, pengasaman (pikel),
penyamakkan (tanning), penipisan atau penyerutan, pewarnaan dasar, pencucian,
pengeringan, perenggangan, spraying, penyetrikaan, serta pengukuran dan
penyortiran.
IV. TINJAUAN PUSTAKA

A. KULIT
Komoditas kulit digolongkan menjadi kulit mentah dan kulit samak
(Purnomo, 1985). Menurut Judoamidjojo (1974), kulit mentah adalah bahan baku
kulit yang baru ditanggalkan dari tubuh hewan sampai kulit yang mengalami
proses-proses pengawetan atau siap samak. Kulit mentah dibedakan atas kulit
hewan besar (hides) seperti sapi, kerbau, steer, dan kuda, serta kelompok kulit
yang berasal dari hean kecil (skins) seperti kambing, domba, calf, dan kelinci
(Purnomo, 1985) termasuk di dalamnya kulit hewan besar yang belum dewasa
seperti kulit anak sapi dan kuda.
Menurut Judoamidjojo (1974), secara topografis kulit dibagi menjadi 3
bagian. Gambar 1 menunjukkan topografi kulit hewan secara umum.
a. Daerah krupon, merupakan daerah terpenting yang meliputi kira-kira 55%
dari seluruh kulit dan memiliki jaringan kuat dan rapat serta merata dan
padat.
b. Daerah leher dan kepala meliputi 3% bagian dari seluruh kulit. Ukurannya
lebih tebal dari daerah krupon dan jaringannya bersifat longgar serta sangat
kuat.
c. Daerah perut, paha, dan ekor meliputi 22% dari seluruh luas kulit. Bagian
tersebut paling tipis dan longgar.

Gambar 1 Topografi kulit hewan.


Komposisi kimia kulit terdiri atas air, protein, lemak, garam mineral, dan zat
lainnya (Fahidin, 1977). Kandungan air pada tiap bagian kulit tidaklah sama.
Bagian yang paling sedikit mengandung air adalah krupon (bagian punggung),
selanjutnya berturut-turut adalah bagian leher dan perut (Purnomo, 1985). Kadar
air berbanding terbalik terhadap kadar lemak. Jika kadar lemaknya tinggi maka
kadar airnya rendah (Purnomo, 1985). Tabel 1 menunjukkan komposisi kimia
kulit mentah segar. Terlihat dalam Tabel 1 bahwa kandungan protein pada kulit
memiliki presentasi yang tinggi sehingga harus segera dilakukan proses
pengawetan dan penyamakan agar kulit tahan lama.
Tabel 1. Komposisi substansi kimia kulit domba mentah segar
Komponen Presentase (%)
Air 64
Protein 33
Protein fibrous
-elastin 0.3
-kolagen 29
-keratin 2
Protein globular
-albumin, globulin 1
-mucin, mucoid 0.7
Lemak 2
Garam mineral 0.5
Zat lain 0.5
Sumber: Sharephouse (1978)

B. PENGAWETAN
Proses pengawetan dilakukan paling lambat lima jam setelah proses
pengulitan menjadi kulit mentah segar. Proses pengawetan meliputi proses
penggaraman dan pengeringan bertujuan untuk mencegah serta membatasi
pertumbuhan bakteri pembusuk Proses pengawetan dapat dilakukan dengan
beberapa cara:
1. Pementangan
Kulit mentah yang sudah dibersihkan pada suatu bingkai segi empat yang
terbuat dari kayu, bambu atau papan, kemudian dijemur dengan kemiringan
60o dari tanah dan permukaan daging mengarah ke atas. Lama penjemuran
untuk kulit sapi antara 2 sampai 4 hari, sedang kulit kambing dan domba
cukup 1 sampai 2 hari.
2. Pickle
Yaitu cairan yang terdiri dari larutan garam dapur (NaCl) dengan asam
sulfat (H2SO4) atau asam formit (H3COOH) dengan perbandingan tertentu.
Pengerjaan dengan pickle harus melalui proses siap samak, sehingga telah
bersih dari segala kotoran. Kulit siap samak tersebut dimasukkan ke dalam
asam, diaduk perlahan-lahan dan kemudian didiamkan selama satu malam.
Menurut Aten (1966), pengawetan dengan cara penggaraman terbagi
menjadi penggaraman kering (dry salting) dan penggaraman basah (wet salting).
Stanley (1993), menambahkan bahwa penggaraman merupakan metode
pengawetan yang paling mudah dan efektif. Reaksi osmosis dari garam mendesak
air keluar dari kulit hingga tingkat kondisi yang tidak memungkinkan
pertumbuhan bakteri.
Menurut Fahidin dan Muslich (1999), garam yang digunakan dalam
pengawetan kulit memiliki beberapa fungsi yaitu: 1) mengambil air dari kulit
sehingga menghalangi pertumbuhan bakteri busuk; 2) membentuk reaksi
plasmolisis mikroorganisme; dan 3) meracuni mikroorganisme. Garam yang biasa
dipakai adalah garam dapur (NaCl) dan garam khari (NaCl 50% dan Na2SO4
50%) (Judoamidjojo, 1974). Fahidin dan Muslich (1999) menambahkan bahwa
syarat-syarat garam yang digunakan sebagai berikut: butiran garam 1 mm, kadar
Ca dan Mg tidak boleh lebih dari 2%, serta bebas dari besi.

C. PENYAMAKAN
Kulit mentah segar bersifat mudah busuk karena merupakan media yang
baik untuk tumbuh dan berkembangbiaknya organisme. Kulit mentah tersusun
dari unsur kimiawi seperti: protein, karbohidrat, lemak, dan mineral. Oleh sebab
itu, perlu dilakukan proses pengwetan kulit sebelum kulit diolah lebih lanjut.
Teknik mengolah kulit mentah menjadi kulit samak disebut penyamakan.
Dengan demikian, kulit hewan yang mudah busuk dapat menjadi tahan terhadap
serangan mikroorganisme (Judoamdjojo, 1981). Prinsip mekanisme penyamakan
kulit adalah memasukkan bahan penyamak ke dalam anyaman atau jaringan serat
kulit sehingga menjadi ikatan kimia antara bahan penyamak dan serat kulit
(Purnomo, 1991).
Menurut Fahidin dan Muslich (1999), teknik penyamakan kulit
dikelompokkan menjadi 3 tahapan, yaitu proses pra penyamakan, penyamakan,
dan pasca penyamakan.
1. Prapenyamakan
Proses pra-penyamakan (Beam Open House Operation) meliputi
perendaman, pengapuran, pembuatan daging, pembuangan kapur, pengikatan
proten, pemucatan dan pengasaman (Purnomo, 1992).
a. Perendaman (soaking) merupakan tahapan pertama dari proses penyamakan
yang bertujuan mengembalikan kadar air kulit yang hilang selama proses
pengawetan sehingga kadar airnya mendekati kadar air kulit segar.
Bienkiewicz (1983) menambahkan bahwa tujuan perendaman adalah
membuang zat padat seperti pasir, kerikil, parasit, sisa darah, urin, dan
kotoran. Pencegahan proses pembusukan dalam perendaman dapat
dilakukan dengan cara: 1) mengusahakan agar air perendaman tetap dingin,
terutama di musim panas perlu digunakan thermometer; 2) penambahan
sedikit bakterisida (Mann, 1980).
b. Tujuan pengapuran adalah menghilangkan epidermis dan bulu, kelenjar
keringat dan lemak, dan menghilangkan semua zat-zat yang bukan collagen
yang aktif menghadapi zat-zat penyamak. Oleh karena semua proses
penyamakan dapat dikatakan berlangsung dalam lingkungan asam maka
kapur di dalam kulit harus dibersihkan sama sekali. Kapur yang masih
ketinggalan akan mengganggu proses penyamakan. Proses ini menggunakan
enzim protese untuk melanjutkan pembuangan semua zat- zat bukan
collagen yang belum terhilangkan dalam proses pengapuran antara lain:
1) Sisa- sisa akar bulu dan pigmen
2) Sisa- sisa lemak yang tak tersabunkan
3) Sedikit atau banyak zat- zat kulit yang tidak diperlukan artinya untuk
kulit atasan yang lebih lemas membutuhkan waktu proses bating yang
lebih lama Sisa kapur yang masih ketinggalan (Purnomo, 1992).
c. Proses buang daging (fleshing) bertujuan menghilangkan sisa-sisa daging
(subcutis) dan lemak yang masih melekat pada kulit. Proses buang bulu
(scudding) bertujuan menghilangkan sisa-sisa bulu beserta akarnya yang
masih tertinggal pada kulit (Fahidin dan Muslich, 1999).
d. Pembuangan kapur (deliming) bertujuan untuk menurunkan pH yang
disebabkan sisa kapur yang masuk masih terdapat pada kulit (Purnomo,
1992). Proses buang kapur biasanya menggunakan garam ammonium sulfat
(ZA). Garam itu memudahkan proses pembuangan kapur karena tidak ada
pengendapan-pengendapan dan tidak terjadi pembengkakan kulit (Fahidin
dan Muslich, 1999).
Ca(OH)2+(NH)2SO4 CaSO4+2NH4OH
e. Pelumatan (bating) bertujuan untuk membuka atau melemaskan kulit lebih
sempurna secara enzimatik. Bahan yang digunakan adalah oropon/enzilen,
yaitu bahan paten yang dibuat dari pankreas dan garam-garam ammonium
sebagai aktivator (Judoamidjojo et al., 1979). Menurut Purnomo (1985),
tujuan dari proses bating adalah menghilangkan sisa-sisa akar bulu dan
pigmen, sisa lemak yang tidak tersambungkan, dan menghilangkan sisa
kapur yang masih tertinggal. Proses bating diperlukan terutama untuk
pembuatan kulit halus dan lemas, misalnya kulit box, pakaian, dan sarung
tangan (Fahidin dan Muslich, 1999).

Menurut Mann (1980), waktu bating yang berlebihan dapat menyebabkan


kulit menjadi lepas dan menipis karena banyak protein yang terhidrolisis
sehingga mengakibatkan kekuatan tarik menjadi rendah. O’ Flaherty (1956)
menyatakan bahwa waktu bating yang terlalu singkat menyebabkan
terjadinya pemisahan serat-serat fibril yang tidak sempurna, penetrasi bahan
penyamak kurang merata, permukaan terluar dari serabut lebih tersamak
sehingga kulit menjadi mudah patah, kaku, dan keras.
f. Pengasaman (pikling) berfungsi untuk mengasamkan kulit sampai pH
tertentu sebelum proses penyamakan krom, jadi dilakukan penurunan pH
kulit menjadi 3 (Jayusman, 1990). Selain itu, pengasaman juga dilakukan
untuk menghilangkan noda hitam pada kulit akibat proses sebelumnya atau
unsur besi pada kulit, serta hilangnya noda putih karena pengendapan
CaCO3 yang menyebabkan cat dasar tidak merata (Purnomo, 1992).

2. Penyamakan
Penyamakan adalah seni atau teknik dalam mengubah kulit mentah yang
bersifat labil menjadi kulit samak yang lebih permanen (Judoamidjojo, 1984;
Brotomulyono et al., 1986). Penyamakan bertujuan mengubah kulit mentah yang
memiliki sifat tidak stabil menjadi kulit tersamak yang mempunyai sifat stabil dan
bahan pokok dari proses ini adalah kulit siap samak dan bahan samak (Purnomo,
1992). Fahidin dan Muslich (1999) juga menyebutkan bahwa bahan mineral yang
digunakan pada proses penyamakan adalah garam yang berasal dari logam
alumunium, zirkanium, ferum, cobalt, dan kromium. Keuntungan penggunaan
krom adalah penyamakan lebih cepat, murah, serta mudah diwarnai.
Penyamakan kulit dapat dikelompokkan berdasarkan bahan penyamak yang
digunakan, yaitu: 1) samak nabati, menggunakan bahan penyamak asal tumbuhan;
2) samak mineral, menggunakan bahan penyamak mineral seperti Al, Cr, atau Zn;
3) samak sintesis, menggunakan bahan penyamak sintetik seperti aromatic
syntans, resin, dan apiphatic syntans; 4) samak aldehid, menggunakan bahan
penyamak aldehid seperti minyak ikan, gluteraldehid, formaldehid (Shapouse,
1983).
Cara penyamakan dengan bahan penyamakan mineral dengan menggunakan
bahan penyamak krom, yaitu zat penyamak krom yang biasa digunakan adalah
bentuk kromium sulfat basa. Basisitas dari garam krom dalam larutan
menunjukkan berapa banyak total velensi kroom diikat oleh hidriksil sangat
penting dalam penyamakan kulit. Pada basisitas total antara 0-33,33%, molekul
krom terdispersi dalam ukuran partikel yang kecil (partikel optimun untuk
penyamakan). Zat penyamak komersial yang paling banyak digunakan memunyai
basisitas 33,33%. Jika zat penyamak krom ini ingin difiksasikan didalam substansi
kulit, maka basisitas dari cairan krom harus dinaikkan sehingga mengakibatkan
bertambah besarnya ukuran partikel zat penyamak krom. Dalam penyamakan
diperlukan 2,5- 3,0% Cr2O3 hanya 25 %, maka dalam pemakainnya diperlukan
100/25 x 2,5 % Cromosol B= 10% Cromosol B. Obat ini dilarutkan dengan 2-3
kali cair, dan direndam selama 1 malam. Kulit yang telah diasamkan diputar
dalam drum dengan 80- 100%air, 3-4 % garam dapur (NaCl), selma 10-15 menit
kemudian bahan penyamak krom dimasukkan sbb:
 1/3 bagian dengan basisitas 33,3 % putar selama 1 jam
 1/3 bagian dengan basisitas 40-45 % putar selama 1 jam
 1/3 bagian dengan basisitas 50 % putar selama 3 jam.
Cara penyamakan dengan bahan penyamak aluminium (tawas putih), yaitu
kulit yang telah diasamkan diputar dengan:
 40- 50 % air
 10% tawas putih
 1- 2% garam, putar selama 2-3 jam lu ditumpuk selama 1 malam
 Esok harinya kulit diputar lagi selama ½ – 1 jam, lalu digantung dan
dikeringkan pada udara yang lembab selama 2-3 hari. Kulit diregang dengan
tangan atau mesin sampai cukup lemas (Shapouse, 1983).
Penyamakan kulit dapat juga dilakukan dengan kombinasi bahan penyamak
misalnya menggunakan alumunium pada tahap pendahuluan kemudian
dilanjutkan dengan bahan nabati seperti mimosa-puder (Oetojo et al., 1987).

3. Pasca Penyamakan
Pasca penyamakan bertujuan membentuk sifat-sifat tertentu pada kulit
terutama berhubungan dengan kelemasan, kepadatan, dan warna kulit. Proses
tersebut terdiri dari netralisasi, pewarnaan, perminyakan, pengecatan,
pengerinngan dan peregangan (Fahidin dan Muslich, 1999).
a. Penetralan (neutralization) bertujuan mengurangi kadar asam dari kulit wet
blue agar tidak menghambat proses pengecatan dasar dan perminyakan
(Purnomo, 1992). Menurut Judoamidjojo (1974), penetralan bertujuan
memperlambat reaksi pengikatan zat warna pada substansi kulit sehingga
zat warna dapat meresap ke dalam substansi kulit sebelum berikatan.
b. Pewarnaan dasar memiliki fungsi sebagai pemberian warna dasar pada kulit
tersamak seperti yang diinginkan (Purnomo, 1992). Pemberian warna
disesuaikan dengan bentuk produk akhir yang direncanakan. Warna coklat
sering digunakan pada tahap pengecatan dasar.
c. Perminyakan (fat liquoring) bertujuan melicinkan serat kulit sehingga lebih
tahan terhadap gaya tarikan, menjaga serat kulit agar tidak lengket sehingga
lebih lunak dan lemas, dan memperkecil daya serap. Selain itu,
dimaksudkan agar kulit menjadi lebih fleksibel atau lebih mudah dilekuk-
lekukan dan tidak mudah sobek. Caranya dapat dilakukan dengan
meminyaki permukaan dengan mengulas, pelemasan dengan tong berputar
atau pencelupan dalam lemak panas (Purnomo, 1992). Hal itu penting untuk
menarik konsumen saat pemasaran produk. Menurut Thorstensen (1985),
jenis minyak yang umum digunakan dalam proses peminyakan adalah
trigliserida yang diperoleh dari tumbuh-tumbuhan, ikan laut, dan hewan.
d. Pengecetan bertujuan untuk memenuhi selera konsumen. Pengecatan zat
warna hanya melekat di permukaan dalam media bahan perekat yang
fungsinya melekatkan warna dan memperbaiki permukaan kulit.
e. Pengeringan bertujuan untuk menghentikan semua reaksi kimia di dalam
kulit. Biasanya dilakukan selama 1-3 hari pada udara biasa agar kulit
menyesuaikan kelembaban udara sekitarnya.
f. Peregangan dilakukan dengan tujuan untuk menarik kulit sampai mendekati
batas kemulurannya, agar jika dibuat barang kerajinan tidak terlalu mulur,
tidak merubah bentuk ukuran.

Mutu kulit samak (leather) selain dipengaruhi oleh proses yang dilakukan di
industri penyamakan kulit, juga sangat bergantung pada mutu kulit mentah
sebagai bahan dasarnya. Sementara itu, mutu kulit mentah dipengaruhi oleh
kerusakan kulit yang terjadi pada saat hewan hidup, pemotongan, dan pengawetan
(Willamson dan Payne, 1993). Tancous et al. (1981) membagi kerusahan kulit
mentah menjadi:
a. Kerusakan antemoterm, yaitu kerusakan yang terjadi pada hewan hidup.
b. Kerusakan postmortem, yaitu kerusakan yang terjadi pada waktu pengulitan,
pengawetan, penyimpanan, dan transportasi.
Selain kerusakan tersebut, mutu kulit juga dipengaruhi oleh bangsa, jenis
kelamin, dan umur ternak waktu dipotong (Tancous et al., 1981). Menurut Mann
(1966), bangsa sapi untuk produksi susu atau domba untuk produksi wool
mempunyai kulit yang tipis karena nutrisi makanan yang diserap tubuh digunakan
untuk memproduksi susu/wool. Tingginya kadar lemak dalam kroium maupun
subcutis merupakan faktor penurunan kualitas lainnya yang dipengaruhi bangsa
domba (Tancous et al., 1981). Kulit seperti itu juga dapat mempengaruhi kualitas
kulit samak karena kekuatan tarik dan kemuluran kulit samak menjadi rendah.
Dikatakan pula pada setiap spesies terapat perbedaan antara kulit hewan
jaantan dan betina. Perbedaan pokoknya adalah kulit hewan betina mempunyai
rajah yang lebih halus daripada kulit hewan jantan. Pada umumnya, kulit hewan
betina mempunyai bobot rata-rata lebih ringan dari kulit hewan jantan tetapi
mempunyai daya tahan renggang yang lebih besar. Namun demikian, karena
permintaan kulit di pasar sangat besar maka perbedaan kedua jenis kelamin dapat
diabaikan dan tidak dianggap sebagai suatu defek.
Perbedaan yang dipengaruhi oleh umur hewan dapat menurunkan mutu
setelah menjadi kulit samak. Kulit yang berasal dari hewan muda pada umumnya
mempunyai struktur yang halus tetapi kompak, berajah sangat halus tetapi kurang
tahan terhadap pengaruh dari luar dibandingkan kulit hewan yang lebih tua.
Sebaliknya bila hewan semakin tua, lapisan rajah makin kuat dan kasar.
Disamping itu, akan semakin banyak yang mengalami luka-luka sehingga makin
banyak tenunan parutnya, bekas luka oleh penyakit parasit, guratan, cap bakar,
dan lainnya.
V. PEMBAHASAN

Proses penyamakan kulit berawal dari proses pengawetan kulit dengan


menggunakan garam giling. Kulit yang diawetkan belum mengalami penanganan
apapun. Pengawetan dilakukan pada suatu ruangan dimana kulit dilebarkan dan
hanya ditumpuk, tanpa ada sortasi berdasarkan jenis kulit. Garam giling
ditambahkan dan diratakan pada permukaan kulit yang tidak berbulu sebelum
kulit ditumpuk pada ruang pengawetan. Tujuan pengawetan ini adalah untuk
mengurangi kadar air pada kulit. Kulit dibiarkan dalam ruang pengawetan selama
kurang lebih sehari semalam.
Produksi dilakukan jika kulit yang tersedia minimal satu ton, karena lama
proses dan biaya serta energi yang dikeluarkan untuk memproses kulit tidak
bergantung pada jumlah, dengan kata lain banyak atau sedikit kulit yang diproses
sama saja. Oleh karena itu pemrosesan kulit dalam jumlah sedikit menjadi tidak
efisien. Jumlah optimal untuk dilakukan proses produksi adalah 1,5 ton, yang
mewakili 1000 lembar kulit kambing dan mewakili 75-80 lembar kulit sapi.
Garam giling yang ditambahkan sebanyak 1 kg untuk setiap lembar kulit kambing
dan 5 kg untuk setiap lembar kulit sapi. Kulit yang telah mengalami pengawetan
bisa bertahan hingga dua minggu, sedangkan kulit yang tidak mengalami
pengawetan akan membusuk hanya dalam satu sampai dua hari.
Proses ini menghasilkan limbah berupa air dan garam. Penyusutan massa
kulit akibat penurunan kadar air sebesar 10-15%. Garam sisa setelah proses
pengawetan menjadi berwarna kemerahan dan menjadi limbah padat. Ruang
pengawetan dan penyimpanan garam giling dapat dilihat pada Gambar 2 dan
Gambar 3.

Gambar 2. Ruang Pengawetan Gambar 3. Ruang Penyimpanan Garam


Setelah pengawetan, tahapan kedua adalah pencucian pada kulit untuk
menghilangkan garam yang masih menempel pada kulit. Kulit dimasukkan dalam
alat yang disebut molen seperti Gambar 4 di bawah ini.

Gambar 4 Alat Molen


Jumlah air yang dimasukkan adalah seberat massa kulit. Untuk pencucian
diperlukan 4 kali penggantian air. Seluruh proses pencucian memerlukan waktu
antara 5-6 jam. Proses ini juga menghasilkan limbah berupa air hasil pencucian.
Pencucian sebenarnya dilakukan hingga air buangan sudah tidak terlalu keruh dan
kadar garamnya maksimal 10%.
Setelah itu, kulit dipindahkan ke molen berikutnya untuk tahapan ketiga,
yakni proses perontokan bulu. Untuk proses ini ditambahkan kapur dan sianida
masing-masing sejumlah 5% dan 2.5% dari berat kulit yang masuk. Kapur
berfungsi untuk pembengkakan kulit dan sianida yang berfungsi untuk perontokan
bulu. Proses ini juga memakan waktu sekitar 8 jam. Limbah yang dihasilkan dari
proses ini adalah limbah padat berupa bulu dan limbah cair berupa larutan kapur
dan sianida. Output dari proses ini berupa kulit tanpa bulu.
Kulit yang telah dirontokkan bulunya mengandung kapur sehingga perlu
dilakukan proses pencucian. Pencucian sebagai tahapan keempat dilakukan
dengan kembali memutar kulit dalam molen sebanyak 2 kali dengan jumlah air
yang ditambahkan 2 kalinya berat kulit yang masuk. Pada proses ini dilakukan 10-
15 kali pemutaran molen dan memerlukan waktu sekitar ¼ jam. Dengan demikian
proses ini menghasilkan air yang mengandung kapur dan sianida sebagai
limbahnya.
Selain bulu, pada kulit biasanya masih terdapat sisa daging. Sisa daging
yang masih menempel pada kulit perlu dihilangkan. Oleh karena itu, tahapan
kelima adalah proses penghilangan daging yang dilakukan dengan menggunakan
alat di bawah ini.

Gambar 5 Alat Penghilang Daging

Kulit diselipkan di antara roller dan daging akan terlepas dari kulit dengan
sendirinya. Proses penghilangan daging dilakukan secara manual dengan
memasukkan kulit satu per satu. Proses ini menghasilkan limbah padat berupa
daging. Penurunan berat kulit akibat dipisahkannya daging sekitar 10%.
Tahap keenam adalah penghilangan kapur. Tahap pencucian sebelumnya
hanya menghilangkan sebagian besar kapur dan sianida, akan tetapi masih
terdapat kapur yang menempel pada kulit. Untuk itu, proses penghilangan kapur
ini menggunakan air, sabun khusus kulit dan teffel, serta ZA masing-masing
sebanyak 100%, 0,5%, dan 1,5% dari berat kulit yang masuk. Limbah yang
dihasilkan dari proses ini berupa air sisa dengan output adalah kulit dengan sedikit
kandungan kapur. Kandungan kapur pada kulit pada tahap ini tidak dapat
dihilangkan 100%. Pada tahap ini dilakukan 2 kali pembilasan dan memerlukan
waktu sekitar 3 jam.
Untuk menghilangkan sisa sedikit kapur pada kulit, kembali dilakukan
pencucian. Tahap ketujuh ini memerlukan air sejumlah 2 kali berat kulit yang
masuk. Limbah dari tahap ini adalah air sisa pencucian sementara output-nya
adalah kulit tanpa kandungan kapur.
Tahap kedelapan adalah pengasaman kulit (pikel). Untuk proses ini,
ditambahkan air sejumlah 70%, garam 10%, formid acid (asam semut) 0.5%, dan
asam sulfat 1% dari berat kulit yang masuk. Pengasaman memerlukan waktu
perendaman minimal selama 2 jam sampai pH kulit 2-2,5. Limbah dari tahap ini
adalah sisa larutan pengasaman.
Tahap kesembilan adalah tanning. Pada tahap ini kulit ditambahkan chrom
sebanyak 5-6% dan sodium karbonat sebanyak 0.75%. Akan tetapi penambahan
sodium karbonat tidak dilakukan sekaligus melainkan dibagi menjadi 3 kali
pemasukan, dengan selang waktu antar penambahan 15 menit. Limbah yang
dihasilkan dari tahap ini adalah larutan sisa dan output-nya adalah kulit yang
berwarna kebiruan (wet blue) yang pH-nya telah meningkat menjadi 3,8-4.
Tahap kesepuluh adalah proses perataan dan pengukuran (shaping) dengan
melakukan penipisan (penyerutan). Proses perataan bertujuan untuk
penyeragaman kulit. Limbahnya berupa limbah padat serbuk serutan. Pada tahap
ini dapat terjadi pengurangan kulit sebanyak 10%, bergantung dari ukuran kulit
yang diinginkan. Proses perataan dan pengukuran ini juga dilakukan secara
manual. Berikut ini adalah gambar proses perataan dan pengukuran.

Gambar 6 Proses Perataan dan Pengukuran

Tahap berikutnya adalah proses pewarnaan dasar. Warna yang ditambahkan


bergantung pada permintaan konsumen. Untuk proses pewarnaan dasar, kulit
ditambahkan dengan cat dasar, minyak pelemasan kulit, dan air. Minyak
pelemasan kulit sebanyak 10% dan air sebanyak 50%. Limbah yang dihasilkan
adalah sisa cat dasar, minyak pelemasan kulit, dan air. Pemutaran molen untuk
proses pewarnaan dasar memerlukan waktu 5-6 jam.
Setelah pewarnaan dasar, tahap keduabelas adalah pencucian kembali kulit
yang ditambahkan air sama dengan berat kulit yang masuk. Tahap ini
menghasilkan limbah cair berupa air sisa.
Tahap ketigabelas adalah pengeringan. Kulit dengan warna dasar yang
sudah dibilas dikeringkan dengan dijemur di dalam ruangan. Penjemuran kulit
secara langsung di bawah sinar matahari memberi hasil yang kurang baik
sehingga pengeringan kulit hanya dengan mengandalkan adanya angin. Proses
pengeringan dilakukan selama 24 jam.
Tahap keempatbelas adalah perenggangan. Peregangan dilakukan pada
ruang khusus dimana kulit satu per satu dilebarkan dan dijepit pada alat seperti
gambar di bawah ini.

Gambar 7 Alat Peregangan

Setelah kulit dilebarkan dan dijepit, papan penjepit didorong agar masuk ke
bagian ruangan yang bersuhu ±700C selama 50 menit. Sebelumnya dilakukan
peregangan secara manual selama 30 menit untuk menurunkan kadar air sebelum
kulit dijepit pada papan penjepit dan dimasukkan dalam ruangan bersuhu 70 0C.
Proses ini sekaligus mengeringkan kulit agar kadar air benar-benar rendah.
Kemudian kulit mengalami tahap kelimabelas, yaitu proses spraying untuk
memberi warna akhir pada kulit. Pemberian warna menggunakan cat kulit sesuai
dengan permintaan konsumen. Limbah yang dihasilkan adalah serbuk cat. Proses
spraying seperti tampak pada gambar di bawah ini.

Gambar 8 Proses Spraying


Setelah itu, kulit disetrika agar kulit menjadi licin. Proses penyetrikaan yang
merupakan tahap keenambelas dilakukan dengan alat seperti pada gambar di
bawah ini.

Gambar 9 Proses Penyetrikaan

Penyetrikaan dilakukan pada suhu 70-1000C. Kulit juga dapat melalui


pengepresan untuk memberi motif pada kulit sesuai permintaan konsumen.
Tahap terakhir adalah proses pengukuran dan penyortiran sesuai standar
permintaan konsumen. Apabila ada kulit yang tidak sesuai standar, maka kulit
dipisahkan untuk dijual ke konsumen dengan standar kulit yang lebih rendah atau
dinyatakan sebagai produk gagal (reject). Pengukuran bertujuan menentukan luas
kulit dalam satuan kaki untuk selanjutnya menentukan harga jual kulit. Harga jual
kulit ditentukan berdasarkan luas kulit (Rupiah per kaki). Pengukuran kulit
dilakukan menggunakan alat di bawah ini.

Gambar 10 Proses Pengukuran


Di bawah ini adalah diagram alir dari proses produksi industri penyamakan
kulit:
Garam giling
Pengawetan Air, garam sisa

Air
Pengurangan kadar garam Air, garam sisa

Kapur, Sianida
Perontokkan bulu Bulu

Air
Pencucian Air

Pembuangan daging Daging

Pembuangan kapur Air kapur

Air Air
Pencucian
Air, garam, asam
sulfat, asam semut
Pikel Sisa larutan pengasaman

Chrom, sodium karbonat


Tanning (penyamakan) Larutan sisa

Perataan dan pengukuran (shapping) Serbuk kulit

Cat dasar, minyak pelemasan kulit


Pewarnaan dasar Sisa cat dasar, minyak
pelemasan kulit, air
Air
Pencucian Air

Pengeringan Uap air

Perenggangan

Cat kulit
Spraying Air

Penyetrikaan

Pengukuran dan Penyortiran Kulit gagal


(reject)
Gambar 11 Diagram alir proses produksi
A. Kesetimbangan Massa Proses Produksi Penyamakan Kulit
Proses produksi dari industri penyamakan kulit yang kami kunjungi terdiri
atas 14 tahapan proses produksi. Masing-masing proses memiliki kesetimbangan
neraca massa yang berbeda. Di bawah ini adalah uraian kesetimbangan massa dari
masing-masing proses produksi:
1. Pengawetan
Sistem kesetimbangan massa pada proses pengawetan dapat dilihat pada
gambar di bawah ini.
Kulit sapi (1500 kg)

Garam giling
Pengawetan Air + garam (400 kg)
sapi = 400 kg

Kulit mengandung garam

Gambar 12. Neraca massa proses pengawetan

Tabel 2. Input dan output massa pada proses pengawetan


Input Output
Kulit sapi, kambing, domba Air + garam
kambing, domba
Garam giling Kulit mengandung garam

2. Pengurangan kadar garam


Sistem kesetimbangan masa pada proses pengurangan kadar garam dapat
dilihat pada gambar di bawah ini.

Kulit mengandung garam (1500 kg)

Air
4400 kg Pengurangan kadar garam Larutan garam (4400 kg)

Kulit yang telah berkurang kandungan garamnya

Gambar 13. Neraca massa proses pengurangan kadar garam


Tabel 3. Input dan output massa pada proses pengurangan kadar garam
Input Output
Kulit mengandung garam Larutan garam
Air Kulit yang telah berkurang kandungan garamnya

3. Perontokkan bulu
Sistem kesetimbangan masa pada proses perontokkan bulu dapat dilihat
pada gambar dibawah ini.

Kulit yang telah berkurang kandungan garamnya (1500 kg)

Bulu (45 kg) + air


Kapur (55 kg) + Perontokkan bulu
Sianida (27,5 kg) kapur (72,5 kg)

Kulit tanpa bulu

Gambar 14. Neraca massa proses perontokkan bulu


Tabel 4. Input dan output massa pada proses perontokkan bulu
Input Output
Kulit yang telah berkurang kandungan garamnya Bulu + air kapur
Kapur, Sianida Kulit tanpa bulu

4. Pencucian
Sistem kesetimbangan massa pada proses pencucian dapat dilihat pada
gambar di bawah ini.
Kulit tanpa bulu (1465 kg)

Air (2930 kg) pencucian Air sisa (2930 kg)

Kulit tanpa bulu

Gambar 15. Neraca massa proses pencucian


Tabel 5. Input dan output massa pada proses pencucian
Input Output
Kulit tanpa bulu Kulit tanpa bulu
air Air sisa

5. Penghilangan daging
Sistem kesetimbangan massa pada proses penghilangan daging dapat dilihat
pada gambar di bawah ini.

Kulit tanpa bulu (1465 kg)

Penghilangan daging Daging (105 kg)

Kulit tanpa daging

Gambar 16. Neraca massa proses penghilangan daging

Tabel 6. Input dan output massa pada proses penghilangan daging


Input Output
Kulit tanpa bulu Daging
Kulit tanpa daging

6. Pembuangan kapur
Sistem kesetimbangan massa pada proses pembuangan kapur dapat dilihat
pada gambar di bawah ini.
Kulit tanpa daging (1360 kg)

Air (1360 kg) + sabun khusus Pembuangan kapur Air sisa (1387,2 kg)
kulit + teffel (6,8 kg) + ZA
(20.4 kg)

Kulit dengan sedikit kandungan


kapur
Gambar 17. Neraca massa proses pembuangan kapur
Tabel 7. Input dan output massa pada proses pembuangan kapur
Input Output
Kulit tanpa bulu Air sisa
Air, sabun khusus kulit, teffel, ZA Kulit dengan sedikit kandungan kapur

7. Pencucian
Sistem kesetimbangan massa pada proses pencucian dapat dilihat pada
gambar di bawah ini.

Kulit dengan sedikit kandungan kapur (1360 kg)

Air (2720 kg) Pencucian Air sisa (2720 kg)

Kulit tanpa kandungan kapur


Gambar 18. Neraca massa proses pencucian

Tabel 8. Input dan output massa pada proses pencucian


Input Output
Kulit dengan sedikit kandungan kapur Kulit tanpa kandungan kapur

air Air sisa

8. Pengasaman kulit (pikel)


Sistem kesetimbangan massa pada proses pikel dapat dilihat pada gambar di
bawah ini.
Kulit tanpa kandungan kapur
(1360 kg)

kambing, domba
Air (952 kg) + garam (136 Pengasaman kulit (pikel) Sisa larutan pengasaman
kg) + asam semut (680 kg) (1781,6 kg)
+ asam sulfat (13,6 kg)

Kulit dengan pH 2-2,5

Gambar 19. Neraca massa proses pengasaman kulit


Tabel 9. Input dan output massa pada proses perataan dan pengukuran
Input Output
Kulit tanpa daging Kulit dengan pH 2-2,5

Air + garam + asam semut + asam sulfat Sisa larutan pengasaman

9. Tanning
Sistem kesetimbangan massa pada proses tanning dapat dilihat pada gambar
di bawah ini.
Kulit dengan pH 2-2,5 (1360 kg)

Chrom (68 kg) + sodium Tanning Larutan sisa (78,2 kg)


karbonat (10,2 kg)

Kulit dengan pH 3,8-4 (wet blue)


Gambar 20. Neraca massa proses tanning

Tabel 10. Input dan output massa pada proses tanning


Input Output
Kulit dengan pH 2-2,5 Kulit dengan pH 3,8-4 (wet blue)

Chrom + sodium karbonat Larutan sisa

10. Perataan dan pengukuran


Sistem kesetimbangan massa pada proses perataan dan pengukuran dapat
dilihat pada gambar di bawah ini.

Kulit wet blue (1360 kg)

Perataan dan pengukuran Serbuk serutan (680 kg)

Kulit dengan ukuran yang diinginkan


Gambar 21. Neraca massa proses perataan dan pengukuran
Tabel 11. Input dan output massa pada proses perataan dan pengukuran
Input Output
Kulit tanpa daging Kulit dengan ukuran yang diinginkan
Serbuk serutan

11. Pewarnaan dasar


Sistem kesetimbangan massa pada proses pewarnaan dasar dapat dilihat
pada gambar di bawah ini.

Kulit dengan ukuran yang diinginkan


(680 kg)

Cat dasar, minyak Sisa cat dasar, minyak


pelemasan kulit (68 kg) + Pewarnaan dasar pelemasan kulit + air (393
air (340 kg) kg)

Kulit dengan warna dasar


Gambar 22. Neraca massa proses pewarnaan dasar

Tabel 12. Input dan output massa pada proses pewarnaan dasar
Input Output
Kulit dengan ukuran yang diinginkan Kulit dengan warna dasar

cat dasar, minyak pelemasan kulit + air Sisa cat dasar, minyak pelemasan kulit + air

12. Pencucian
Sistem kesetimbangan massa pada proses pencucian dapat dilihat pada
gambar di bawah ini.
Kulit dengan warna dasar (685 kg)

Air (685 kg) pencucian Air sisa (680 kg)

Kulit dengan warna dasar yang sudah dibilas

Gambar 23. Neraca massa proses tanning (penyamakan)


Tabel 13. Input dan output massa pada proses pencucian
Input Output
Kulit dengan warna dasar Kulit dengan warna dasar yang sudah dibilas
air Air sisa

13. Pengeringan
Sistem kesetimbangan massa pada proses pengeringan dapat dilihat pada
gambar di bawah ini.

Kulit dengan warna dasar yang sudah dibilas (690 kg)

Pengeringan Uap air (10 kg)

Kulit kering

Gambar 24. Neraca massa proses pengeringan

Tabel 14. Input dan output massa pada proses pengeringan


Input Output
Kulit yang sudah diserut Kulit kering
Uap air

14. Perenggangan
Sistem kesetimbangan massa pada proses perenggangan dapat dilihat pada
gambar di bawah ini.

Kulit kering
(680 kg)

Perenggangan

Kulit yang telah diregangkan

Gambar 25. Neraca massa proses perenggangan


Tabel 15. Input dan output massa pada proses spraying
Input Output
Kulit kering Kulit yang telah diregangkan

15. Spraying
Sistem kesetimbangan massa pada proses spraying dapat dilihat pada
gambar di bawah ini.

Kulit yang telah diregangkan (680 kg)

Cat kulit Spraying (pewarnaan) Serbuk cat

Kulit yang telah diwarnai

Gambar 26. Neraca massa proses spraying

Tabel 16. Input dan output massa pada proses spraying


Input Output
Kulit kering Serbuk cat
Kulit yang telah diwarnai

16. Penyetrikaan
Sistem kesetimbangan massa pada proses penyetrikaan dapat dilihat pada
gambar di bawah ini.
Kulit yang telah diwarnai
(680 kg)

Penyetrikaan

Kulit yang telah disetrika


Gambar 27. Neraca massa proses penyetrikaan
Tabel 17. Input dan output massa pada proses perenggangan
Input Output
Kulit yang telah diwarnai Kulit yang telah disetrika

17. Pengukuran dan penyortiran


Sistem kesetimbangan massa pada proses pengukuran dan penyortiran dapat
dilihat pada gambar di bawah ini.

Kulit yang telah disetrika(680 kg)

Pengukuran dan penyortiran Kulit gagal (reject)


(0,68 kg)

Kulit terpilih (679,72 kg)

Gambar 28. Neraca massa proses penyortiran

Tabel 18. Input dan output massa pada proses penyortiran


Input Output
Kulit yang telah disetrika Kulit gagal (reject)

Kulit yang terpilih

B. Identifikasi Munculnya Limbah dari Setiap Proses Produksi


Pada umumnya suatu proses produksi akan menghasilkan limbah. Di bawah
ini adalah hasil identifikasi limbah dari setiap tahapan produksi penyamakan kulit:
1. Pengawetan
 Limbah cair: air yang keluar dari kulit akibat terjadinya reaksi antara
garam dengan kulit yang diawetkan.
 Limbah padat: garam yang tercecer saat penggaraman dan garam sisa
pengawetan.
 Limbah gas: bau busuk.
2. Pengurangan kadar garam
 Limbah cair: berupa air
 Limbah padat: sisa garam yang mengkristal pada molen
3. Perontokan bulu
 Limbah cair: berupa air yang telah tercampur dengan zat kapur dan
sianida
 Limbah padat: bulu kambing atau sapi, sisa-sisa kapur yang mengkristal
pada molen
4. Pencucian
 Limbah cair: berupa air sisa dari pencucian kulit tanpa bulu.
5. Penghilangan daging
 Limbah cair: berupa air yang digunakan untuk membersihkan alat.
 Limbah padat berupa daging yang terpisahkan
6. Pembuangan Kapur
 Limbah cair: berupa air kapur
 Limbah padat: sisa-sisa kapur yang mengkristal pada molen
7. Pencucian
 Limbah cair: berupa air sisa dari pencucian kulit dengan sedikit
kandungan kapur.
8. Pengasaman kulit (pikel)
 Limbah cair: berupa sisa larutan pengasaman.
9. Tanning (Penyamakan)
Limbah cair: berupa larutan sisa campuran dari chrom dan sodium.
10. Perataan dan pengukuran (Shaping)
 Limbah padat berupa serbuk kulit dari penyerutan kulit menggunakan
mesin.
11. Pewarnaan dasar
 Limbah cair: berupa sisa cat dasar dan minyak pelemasan kulit dan air.
12. Pencucian
 Limbah cair: berupa air sisa proses pencucian.
13. Pengeringan
 Limbah gas: berupa uap air sisa dari proses pengeringan.
14. Perenggangan
 Pada proses ini umumnya tidak ada limbah yang dihasilkan.
15. Sparying (Pewarnaan)
 Limbah gas (udara) : serbuk cat yang terbuang di udara
 Limbah cair : ceceran cat yang terbuang saat penyemprotan
16. Penyetrikaan
Secara umum pada proses ini tidak ada limbah yang dihasilkan. Tetapi suhu
panas yang dihasilkan mesin menyebabkan suhu di ruangan penyetrikaan
cukup panas.
17. Pengukuran dan Penyortiran
Limbah padat berupa kulit gagal (product reject), yang masih bisa
digunakan dengan kualitas lebih rendah dan kertas etiket (label).

C. Opsi Produksi Bersih Pada Industri Penyamakan Kulit


Setelah diidentifikasi limbah yang dihasilkan dari setiap proses, lalu
dilakukan pemilihan opsi produksi bersih pada industri penyamakan kulit, dengan
harapan limbah dari setiap proses produksi dapat diminimalisir. Di bawah ini
adalah uraian dari opsi produksi bersih yang akan kami tawarkan pada industri
penyamakan kulit yang kami kunjungi:

1. Pada proses pengawetan


 Limbah cair yang dihasilkan merupakan bahan organik, sehingga dapat
dipakai sebagai bahan baku pupuk cair.
 Menerapkan good house keeping agar tidak terdapat lagi ceceran garam.
Hal ini dapat dilakukan dengan mengumpulkan garam-garam sisa dari
pengawetan, dan menggunakannya kembali.
 Mengumpulkan air yang keluar dari kulit pada suatu wadah, agar baunya
bisa diminimalkan.
 Membuat tempat khusus (bak khusus) untuk pengawetan dan
mengalirkan air keluar yang dari kulit menggunakan pipa menuju bak
penampungan limbah cair.
 Menggunakan takaran yang pas untuk penggaraman, agar tidak ada
garam yang terbuang ketika dan setelah penggaraman.

2. Pada proses pengurangan kadar garam


 Meminimalkan penggunaan air dan mengumpulkan limbah cair tersebut
ke dalam suatu wadah serta penggunaan kembali air tersebut pada proses
yang sama untuk selanjutnya.
 Mengolah sisa garam yang mengkristal pada molen, misalnya dilakukan
pengeringan agar dapat digunakan kembali garam tersebut pada proses
pengawetan.
 Mengoptimalkan penggunaan garam dengan cara meminimalisir
penggunaan garam.
 Mendesain instalasi pembuangan air dengan baik menggunakan pipa,
agar sisa air pada proses ini tidak tercecer dan menerapkan good house
keeping.
 Membersihkan garam yang mengkristal pada molen setelah proses
penggaraman.

3. Pada proses perontokan bulu


 Mengumpulkan bulu yang terbuang dan memanfaatkannya menjadi suatu
produk lain. Contohnya: bulu dapat diolah menjadi benang wall, unutk
pupuk kompos, untuk industri jaket (dijual ke industri yang
membutuhkan) dan dimanfaatkan pula untuk berbagai bentuk kerajinan
tangan.
 Mengumpulkan limbah air tersebut pada suatu wadah/ kolam untuk
dilakukan proses pengolahan lebih lanjut karena mengandung zat kapur
dan sianida.
 Zat kapur dan sianida dipisahkan dari air dengan cara diendapkan yang
digunakan kembali untuk proses perontokan bulu.
 Meminimalisir penggunaan zat kapur dan sianida.
 Mendesain instalasi pembuangan air dengan baik menggunakan pipa,
agar sisa air pada proses ini tidak tercecer dan menerapkan good house
keeping.
 Membersihkan kapur yang mengkristal pada molen setelah proses
perontokan bulu.

4. Pada proses pencucian


 Pada proses pencucian didapatkan limbah cair berupa air sisa pencucian.
Air sisa pencucian ini sebaiknya ditampung dalam satu wadah yang
kemudian akan digunakan kembali pada proses pencucian berikutnya,
dan sedapat mungkin meminimisasi penggunaan air.
 Menerapkan good house keeping.

5. Pada proses penghilangan daging


 Dihasilkan potongan-potongan atau sisa daging kemudian
mengumpulkan daging yang terbuang pada satu tempat khusus. Potongan
daging ini bisa dipilah dan dikeringkan untuk pakan ternak ikan,
makanan kucing atau bisa dijual ke pengolahnya.
 Daging diolah untuk kemudian dimanfaatkna menjadi pupuk.
 Membersihkan alat setiap kali selesai kegiatan dengan menerapkan
goodhouse keeping.
 Mengalirkan langsung sisa air menggunakan saluran pipa menuju bak
pembuangan limbah cair.
 Membakar danging yang terkumpul agar tidak membusuk dan tidak
mengahasilkan bau bangkai.

6. Pada proses pembuangan kapur


 Meminimalisir penggunaan kapur agar kandungan kapurnya tidak tinggi
dan air tersebut dapat digunakan kembali. Penggunaan kembali air
tersebut untuk proses pengapuran selanjutnya.
 Memanfaatkan sisa-sisa kapur yang mengkristal untuk proses pengapuran
selanjutnya.
 Mendesain instalasi pembuangan air dengan baik menggunakan pipa,
agar sisa air pada proses ini tidak tercecer dan menerapkan good house
keeping.
 Membersihkan kapur yang mengkristal pada molen setelah proses
perontokan bulu.

7. Pada proses pencucian


 Pada proses pencucian didapatkan limbah cair berupa air sisa pencucian.
Air sisa pencucian ini sebaiknya ditampung dalam satu wadah yang
kemudian akan digunakan kembali pada proses pencucian berikutnya,
dan sedapat mungkin meminimisasi penggunaan air.
 Menerapkan good house keeping.

8. Pada proses pengasaman (pikel)


 Limbah yang dihasilkan pada proses ini berupa limbah cair yaitu larutan
sisa pengasaman. Limbah tersebut sebelum dibuang dilakukan
penanganan terlebih dahulu.
 Menerapkan good house keeping.

9. Pada proses penyamakan


 Pada proses ini digunakan chrom, produksi bersih dapat dilakukan
dengan mengukur secara teliti jumlah chrom yang diperlukan, sehingga
tidak terjadi pemborosan dalam pemakaian chrom. Jadi meminimalisir
limbah chrom yang terbentuk.
 Membuang air ke bak penampungan menggunakan saluran pipa.
Menggunakan takaran chrom secukupnya agar sisa air yang dihasilkan
tidak mengandung chrom dengan kelarutan yang tinggi.
 Menerapkan good house keeping.
10. Pada perataan dan pengukuran (shaping)
 Pada proses ini dihasilkan serbuk kulit. Opsi yang dapat diterapkan yaitu
mengumpulkan serbuk kulit dan dimanfaatkan sebagai bahan baku
pembuatan produk lain atau dengan menjual serbuk kulit.
 Mendesain alat penyerutan dengan menambahkan suatu wadah untuk
tempat berkumpulnya serbuk kulit tersebut atau dapat dilakukan dengan
cara menyediakan wadah untuk tempat keluarnya (mengumpulnya)
serbuk kulit.
 Membuat tempat penampungan khusus untuk serbuk kulit yang
dihasilkan agar tidak tercecer dan menerapkan good house keeping.

11. Pada proses pewarnaan dasar


 Membuang air ke bak penampungan menggunakan saluran pipa.
 Mengumpulkan sisa cat dasar untuk digunakan pada proses pewarnaan
dasar selanjutnya.
 Mengumpulkan minyak minyak pelemasan kulit agar dapat digunakan
kembali pada proses pewarnaan dasar selanjutnya.
 Menerapkan good house keeping.

12. Pada proses pencucian


 Pada proses pencucian didapatkan limbah cair berupa air sisa pencucian.
Air sisa pencucian ini sebaiknya ditampung dalam satu wadah yang
kemudian akan digunakan kembali pada proses pencucian berikutnya,
dan sedapat mungkin meminimisasi penggunaan air.
 Menerapkan good house keeping.

13. Pada proses pengeringan


 Dilakukan penjemuran di luar ruangan, sehingga semua kulit bisa terkena
langsung sinar matahari, sehingga proses pengeringan berjalan lebih
efektif dan efisien.
 Menerapkan good house keeping.
14. Pada proses peregangan
 Secara umum pada proses ini tidak ada limbah yang dihasilkan. Tetapi
suhu panas yang dihasilkan mesin menyebabkan suhu di ruangan
penyetrikaan cukup panas.
 Menerapkan good house keeping dengan menyusun kulit yang telah
disetrika dengan rapih dan teratur.

15. Pada proses spraying


 Dilakukan penyemprotan warna terhadap kulit, hendaknya penyemprotan
dilakukan secara hati-hati dan tidak terlalu boros. Hal ini untuk
meminimalisir zat pewarna yang disemprotkan agar tidak berceceran
dimana-mana.
 Menerapkan good house keeping misalnya, menuangkan cat secara hati-
hati, agar cat tidak tercecer.
 Mengumpulkan ceceran cat untuk digunakan kembali pada proses
penyemprotan selanjutnya.
 Menggunakan sprayer yang hasil semprotannya tidak terlalu menyebar,
agar tidak banyak cat yang terbuang.

16. Pada proses penyetrikaan


 Secara umum pada proses ini tidak ada limbah yang dihasilkan. Tetapi
suhu panas yang dihasilkan mesin menyebabkan suhu di ruangan
penyetrikaan cukup panas.
 Menerapkan good house keeping dengan menyusun kulit yang telah
disetrika dengan rapih dan teratur.

17. Pada proses penyortiran


 Pada proses ini dihasilkan kulit-kulit yang ukurannya memenuhi standar
dan tidak memenuhi standar. Opsi yang dapat diterapkan yaitu menjual
kulit yang tidak sesuai standar kepada konsumen dengan standar yang
lebih rendah.
 Mengumpulkan kulit yang tidak sesuai ukurannya untuk dimanfaatkan
pada pembuatan produk lain.
 Menerapkan good house keeping dengan mengumpulkan kertas etiket
(label) untuk dibuang ke tempat sampah.
 Menggunakan etiket atau label secukupnya.
VI. ANALISIS BIAYA

Setelah dilakukan penguraian opsi produksi bersih, selanjutnya dilakukan


analisi biaya dari opsi produksi yang kami tawarkan. Di bawah ini adalah
uraiannya:
Tabel 19. Asumsi biaya
No Kegiatan Harga satuan (Rp)
1 Losses bulu 3%
2 Peeriode Produksi 1,5 ton/ hari
6 hari/ minggu
4 minggu/ bulan
3 Losses serbuk kulit 0,1 %
4 Losses kulit tidak sesuai 2%
standar
5 Losses daging 7%

Tabel 20. Daftar Pemasukan dan Pengeluaran Biaya Tambahan Produksi Bersih
No Nama Pemasukan Jumlah Harga Keuntungan Investasi
satuan (Rp) (Rp/bulan) (Rp)
1 Penjualan bulu yang 1080 2.000/kg 2.160.000 -
terbuang kg
2 Penjualan daging untuk 2520 5.000/kg 12.600.000 -
pakan ternak kg
3 Penjualan Serbuk kulit 36 kg 1.000/kg 36.000 -
untuk menjadi pupuk
4 Penjualan kulit yang 720 kg 1.500/kg 1.080.000 -
tidak memenuhi
standar
5 Memasang pipa saluran 24 m 13.300/m - 320.000
limbah dari proses
pengawetan
No Nama Pemasukan Jumlah Harga Keuntungan Investasi
satuan (Rp) (Rp/bulan) (Rp)
6 Melengkapi alat 1 unit - 240.000 2.000.000
penakar (timbangan)
garam
7 Memasang pipa 24 m 13.300/m - 320.000
instalasi pembuangan
air (garam)
8 Memasang pipa 24 m 13.300/m - 320.000
instalasi pembuangan
air (kapur)
9 Memasang pipa 24 m 13.300/m - 320.000
instalasi pembuangan
air (daging)
10 Memasang pipa 24 m 13.300/m - 320.000
instalasi pembuangan
air (perataan dan
pengukuan)
11 Bak tembook 1 unit 1.000.000/ - 1.000.000
penampungan untuk unit
pewarnaan dasar
12 Bak penampungan 10 unit 50.000/unit - 500.000
untuk serbuk kulit
Total 16.116.000 5.100.000
Pay Back Period 0,316 bulan
VII. KESIMPULAN

Dari hasil kunjungan ke industri penyamakan kulit di daerah Cibuluh Bogor


diketahui bahwa proses penyamakan kulit terdiri dari beberapa proses, yaitu
pengawetan, pengurangan kadar garam, perontokan bulu, pencucian, pembuangan
daging, pembuangan kapur, pencucian, pengasaman (pikel), penyamakkan
(tanning), penipisan atau penyerutan, pewarnaan dasar, pencucian, pengeringan,
perenggangan, spraying, penyetrikaan, serta pengukuran dan penyortiran. Pada
proses produksi industri ini menghasilkan beberapa jenis limbah yang
digolongkan berdasarkan bentuk yaitu limbah padat dan limbah cair. Limbah
padat diantaranya adalah garam yang berwarna kemerahan, daging sisa, dan
serbuk kulit. Sedangkan limbah cair adalah air sisa pencucian, larutan kapur,
larutan asam, dan larutan chrom.
Limbah yang dihasilkan berasal dari beberapa proses penyamakan kulit,
diantaranya adalah garam yang berwarna kemerahan berasal dari proses
penyamakan. Garam ini tidak dapat digunakan untuk pengawetan selanjutnya.
Serbuk kulit dihasilkan dari proses penyerutan, serbuk kulit dapat dimanfaatkan
untuk pembuatan pupuk. Sedangkan air sisa pencucian merupakan air yang
dihasilkan dari proses pencucian pada molen, pencucian bisa dilakukan 3 – 4 kali
ulangan sehingga air cucian ke 4 bisa digunakan kembali untuk proses pencucian
selanjutnya. Hal ini disebabkan karena air tidak terlalu keruh. Untuk larutan
kapur, larutan chrom, larutan asam, tidak dapat digunakan lagi untuk proses
selanjutnya sehingga harus dibuang. Pengolahan perlu dilakukan sebelum
pembuangan ke lingkungan untuk menyesuaikan dengan BOD dan COD yang
standar.
Penerapan produksi bersih pada industri penyamakan kulit merupakan salah
satu solusi untuk menangani pencemaran lingkungan dan akan menghasilkan
keuntungan. Untuk menangani limbah cair diperlukan adanya pemasangan
instalasi pipa dan ditampung pada tempat yang berbeda sesuai jenis limbahnya
sehingga penangananya akan lebih mudah dan harus menerapkan good house
keeping. Sedangkan penanganan limbah padat yang berupa kulit sisa potongan,
serbuk kulit, bulu, dan daging dapat dijual kepada industri yang terkait.
DAFTAR PUSTAKA

Aten ARF. 1966. Flying and Curing of Hide and Skin as A Rural Industry. FAO

Fahidin dan Mislich. 1999. Ilmu dan Teknologi Kulit. Fateta. IPB. Bogor.

Judoamidjojo M. 1974. Dasar Teknologi dan Kimia Kulit. Departemen Teknologi


Hasil Pertanian. Fateta. IPB. Bogor.

Mann I. 1980. Rural Tanning Techniques. Food and Agriculture Organization of


The United Nations. Rome

Oetojo B. 1996. Penggunaan Campuran Kuning Telur dan Putih Telur untuk
Peminyakan Kuit. Majalah Barang Kulit, Karet, dan Plastik. 12 (24):47-53.

O’Flaheri, Reddy FOT, Lollar MR. 1956. The Cemicals and Technology of
Leather. Reinhold Publishing Corporation. New York.

Purnomo E. 1985. Pengetahuan Dasar Teknologi Penyamakan Kulit. Akademi


Teknologi Kulit. Departemen Perindustrian. Yogyakarta.

Shapouse JH. 1978. Leather Technician’s Handbook. Leather Producers


Association. London.

Stanley A. 1993. Preservation of Rawstock. Leather the International Journal.


195 (4662) Dec. 1993:27-30.

Thorstensen TC. 1985. Practical Leather Technology. Robert E. Krieger


Publishing Company. Florida.

Williamson G dan Payne WJA. 1993. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis.


Diterjemahkan oleh Djiwa Darmaja. UGM Press. Yogyakarta.

You might also like