Professional Documents
Culture Documents
Oleh:
Farid Abdul Qohar F34070003
Sri Alam S. Nasution F34070006
Biantri Raynasari F34070007
Rima Rahmawati F34070009
Andini Widya Astuti F34070010
Agung Utomo F34070012
Siti Irma Erviana F34070015
Alisia Rahmaisni F34070034
Yana Taryana F34070036
Rahman F34070100
2010
DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Industri penyamakan kulit adalah industri yang mengolah kulit mentah
menjadi kulit jadi. Industri penyamakan kulit merupakan salah satu industri yang
didorong perkembangannya sebagai penghasil devisa non migas. Industri
Penyamakan kulit sebagai salah satu industri yang berpotensi menghasilkan
limbah, terutama tanin, kromium, suspensi solid, BOD, COD dan klorida.
Sejauh ini masalah utama yang masih sering dipermasalahkan dalam indutri
ini yaitu mengenai penanganan limbah yang dihasilkan, karena industri ini
mempunyai konsekuen untuk dapat mencemari lingkungan yang ada disekitarnya
baik melalui air, tanah dan udara. Peraturan Pemerintah No. 82 tahun 2001
tentang pengendalian Pencemaran Lingkungan, menjelaskan bahwa tidak
diperkenangkan membuang limbah cair kedalam tanah kecuali mendapat izin dari
mentri terkait dan berdasarkan hasil penelitian. Olehnya itu diharapkan bahwa
setiap kegiatan industri yang mengeluarkan limbah harus dilengkapi dengan
instalasi pengolahan air limbah, dengan harapan untuk menekan dampak yang
terjadi, sehingga kelestarian lingkungan dapat teratasi.
Berdasarkan hal di atas, penulis memilih Industri penyamakan kulit sebagai
industri yang akan di audit produksi bersih. Industri penyamakan kulit ini berada
di daerah Cibuluh Bogor dan masih tergolong ke dalam industri skala kecil.
Limbah yang dihasilkan tidak terlalu banyak, seperti halnya industri-industri
penyamakan kulit pada skala besar. Namun, hal tersebut tidak dapat menghalangi
adanya suatu pengendalian dan pengurangan limbah produksi.
B. TUJUAN
Tujuan dari kunjungan kelompok ke Industri Penyamakan Kulit di Cibuluh,
Bogor ini yaitu :
1. Untuk mengetahui jenis limbah yang dihasilkan oleh industri penyamakan
kulit Cibuluh Bogor.
2. Untuk mengetahui sumber dan karateristik limbah cair industri penyamakan
kulit.
3. Untuk mengetahui proses pengolahan limbeh cair pada Industri Penyamatan
kulit.
4. Untuk mengetahui dampak yang ditimbulkan dari industri penyamakan
kulit.
5. Untuk menerapkan produksi bersih, mengatasi dan memberikan solusi
penanganan limbah terhadap industri penyamakan kulit di Cibuluh Bogor.
II. PROSEDUR
A. KULIT
Komoditas kulit digolongkan menjadi kulit mentah dan kulit samak
(Purnomo, 1985). Menurut Judoamidjojo (1974), kulit mentah adalah bahan baku
kulit yang baru ditanggalkan dari tubuh hewan sampai kulit yang mengalami
proses-proses pengawetan atau siap samak. Kulit mentah dibedakan atas kulit
hewan besar (hides) seperti sapi, kerbau, steer, dan kuda, serta kelompok kulit
yang berasal dari hean kecil (skins) seperti kambing, domba, calf, dan kelinci
(Purnomo, 1985) termasuk di dalamnya kulit hewan besar yang belum dewasa
seperti kulit anak sapi dan kuda.
Menurut Judoamidjojo (1974), secara topografis kulit dibagi menjadi 3
bagian. Gambar 1 menunjukkan topografi kulit hewan secara umum.
a. Daerah krupon, merupakan daerah terpenting yang meliputi kira-kira 55%
dari seluruh kulit dan memiliki jaringan kuat dan rapat serta merata dan
padat.
b. Daerah leher dan kepala meliputi 3% bagian dari seluruh kulit. Ukurannya
lebih tebal dari daerah krupon dan jaringannya bersifat longgar serta sangat
kuat.
c. Daerah perut, paha, dan ekor meliputi 22% dari seluruh luas kulit. Bagian
tersebut paling tipis dan longgar.
B. PENGAWETAN
Proses pengawetan dilakukan paling lambat lima jam setelah proses
pengulitan menjadi kulit mentah segar. Proses pengawetan meliputi proses
penggaraman dan pengeringan bertujuan untuk mencegah serta membatasi
pertumbuhan bakteri pembusuk Proses pengawetan dapat dilakukan dengan
beberapa cara:
1. Pementangan
Kulit mentah yang sudah dibersihkan pada suatu bingkai segi empat yang
terbuat dari kayu, bambu atau papan, kemudian dijemur dengan kemiringan
60o dari tanah dan permukaan daging mengarah ke atas. Lama penjemuran
untuk kulit sapi antara 2 sampai 4 hari, sedang kulit kambing dan domba
cukup 1 sampai 2 hari.
2. Pickle
Yaitu cairan yang terdiri dari larutan garam dapur (NaCl) dengan asam
sulfat (H2SO4) atau asam formit (H3COOH) dengan perbandingan tertentu.
Pengerjaan dengan pickle harus melalui proses siap samak, sehingga telah
bersih dari segala kotoran. Kulit siap samak tersebut dimasukkan ke dalam
asam, diaduk perlahan-lahan dan kemudian didiamkan selama satu malam.
Menurut Aten (1966), pengawetan dengan cara penggaraman terbagi
menjadi penggaraman kering (dry salting) dan penggaraman basah (wet salting).
Stanley (1993), menambahkan bahwa penggaraman merupakan metode
pengawetan yang paling mudah dan efektif. Reaksi osmosis dari garam mendesak
air keluar dari kulit hingga tingkat kondisi yang tidak memungkinkan
pertumbuhan bakteri.
Menurut Fahidin dan Muslich (1999), garam yang digunakan dalam
pengawetan kulit memiliki beberapa fungsi yaitu: 1) mengambil air dari kulit
sehingga menghalangi pertumbuhan bakteri busuk; 2) membentuk reaksi
plasmolisis mikroorganisme; dan 3) meracuni mikroorganisme. Garam yang biasa
dipakai adalah garam dapur (NaCl) dan garam khari (NaCl 50% dan Na2SO4
50%) (Judoamidjojo, 1974). Fahidin dan Muslich (1999) menambahkan bahwa
syarat-syarat garam yang digunakan sebagai berikut: butiran garam 1 mm, kadar
Ca dan Mg tidak boleh lebih dari 2%, serta bebas dari besi.
C. PENYAMAKAN
Kulit mentah segar bersifat mudah busuk karena merupakan media yang
baik untuk tumbuh dan berkembangbiaknya organisme. Kulit mentah tersusun
dari unsur kimiawi seperti: protein, karbohidrat, lemak, dan mineral. Oleh sebab
itu, perlu dilakukan proses pengwetan kulit sebelum kulit diolah lebih lanjut.
Teknik mengolah kulit mentah menjadi kulit samak disebut penyamakan.
Dengan demikian, kulit hewan yang mudah busuk dapat menjadi tahan terhadap
serangan mikroorganisme (Judoamdjojo, 1981). Prinsip mekanisme penyamakan
kulit adalah memasukkan bahan penyamak ke dalam anyaman atau jaringan serat
kulit sehingga menjadi ikatan kimia antara bahan penyamak dan serat kulit
(Purnomo, 1991).
Menurut Fahidin dan Muslich (1999), teknik penyamakan kulit
dikelompokkan menjadi 3 tahapan, yaitu proses pra penyamakan, penyamakan,
dan pasca penyamakan.
1. Prapenyamakan
Proses pra-penyamakan (Beam Open House Operation) meliputi
perendaman, pengapuran, pembuatan daging, pembuangan kapur, pengikatan
proten, pemucatan dan pengasaman (Purnomo, 1992).
a. Perendaman (soaking) merupakan tahapan pertama dari proses penyamakan
yang bertujuan mengembalikan kadar air kulit yang hilang selama proses
pengawetan sehingga kadar airnya mendekati kadar air kulit segar.
Bienkiewicz (1983) menambahkan bahwa tujuan perendaman adalah
membuang zat padat seperti pasir, kerikil, parasit, sisa darah, urin, dan
kotoran. Pencegahan proses pembusukan dalam perendaman dapat
dilakukan dengan cara: 1) mengusahakan agar air perendaman tetap dingin,
terutama di musim panas perlu digunakan thermometer; 2) penambahan
sedikit bakterisida (Mann, 1980).
b. Tujuan pengapuran adalah menghilangkan epidermis dan bulu, kelenjar
keringat dan lemak, dan menghilangkan semua zat-zat yang bukan collagen
yang aktif menghadapi zat-zat penyamak. Oleh karena semua proses
penyamakan dapat dikatakan berlangsung dalam lingkungan asam maka
kapur di dalam kulit harus dibersihkan sama sekali. Kapur yang masih
ketinggalan akan mengganggu proses penyamakan. Proses ini menggunakan
enzim protese untuk melanjutkan pembuangan semua zat- zat bukan
collagen yang belum terhilangkan dalam proses pengapuran antara lain:
1) Sisa- sisa akar bulu dan pigmen
2) Sisa- sisa lemak yang tak tersabunkan
3) Sedikit atau banyak zat- zat kulit yang tidak diperlukan artinya untuk
kulit atasan yang lebih lemas membutuhkan waktu proses bating yang
lebih lama Sisa kapur yang masih ketinggalan (Purnomo, 1992).
c. Proses buang daging (fleshing) bertujuan menghilangkan sisa-sisa daging
(subcutis) dan lemak yang masih melekat pada kulit. Proses buang bulu
(scudding) bertujuan menghilangkan sisa-sisa bulu beserta akarnya yang
masih tertinggal pada kulit (Fahidin dan Muslich, 1999).
d. Pembuangan kapur (deliming) bertujuan untuk menurunkan pH yang
disebabkan sisa kapur yang masuk masih terdapat pada kulit (Purnomo,
1992). Proses buang kapur biasanya menggunakan garam ammonium sulfat
(ZA). Garam itu memudahkan proses pembuangan kapur karena tidak ada
pengendapan-pengendapan dan tidak terjadi pembengkakan kulit (Fahidin
dan Muslich, 1999).
Ca(OH)2+(NH)2SO4 CaSO4+2NH4OH
e. Pelumatan (bating) bertujuan untuk membuka atau melemaskan kulit lebih
sempurna secara enzimatik. Bahan yang digunakan adalah oropon/enzilen,
yaitu bahan paten yang dibuat dari pankreas dan garam-garam ammonium
sebagai aktivator (Judoamidjojo et al., 1979). Menurut Purnomo (1985),
tujuan dari proses bating adalah menghilangkan sisa-sisa akar bulu dan
pigmen, sisa lemak yang tidak tersambungkan, dan menghilangkan sisa
kapur yang masih tertinggal. Proses bating diperlukan terutama untuk
pembuatan kulit halus dan lemas, misalnya kulit box, pakaian, dan sarung
tangan (Fahidin dan Muslich, 1999).
2. Penyamakan
Penyamakan adalah seni atau teknik dalam mengubah kulit mentah yang
bersifat labil menjadi kulit samak yang lebih permanen (Judoamidjojo, 1984;
Brotomulyono et al., 1986). Penyamakan bertujuan mengubah kulit mentah yang
memiliki sifat tidak stabil menjadi kulit tersamak yang mempunyai sifat stabil dan
bahan pokok dari proses ini adalah kulit siap samak dan bahan samak (Purnomo,
1992). Fahidin dan Muslich (1999) juga menyebutkan bahwa bahan mineral yang
digunakan pada proses penyamakan adalah garam yang berasal dari logam
alumunium, zirkanium, ferum, cobalt, dan kromium. Keuntungan penggunaan
krom adalah penyamakan lebih cepat, murah, serta mudah diwarnai.
Penyamakan kulit dapat dikelompokkan berdasarkan bahan penyamak yang
digunakan, yaitu: 1) samak nabati, menggunakan bahan penyamak asal tumbuhan;
2) samak mineral, menggunakan bahan penyamak mineral seperti Al, Cr, atau Zn;
3) samak sintesis, menggunakan bahan penyamak sintetik seperti aromatic
syntans, resin, dan apiphatic syntans; 4) samak aldehid, menggunakan bahan
penyamak aldehid seperti minyak ikan, gluteraldehid, formaldehid (Shapouse,
1983).
Cara penyamakan dengan bahan penyamakan mineral dengan menggunakan
bahan penyamak krom, yaitu zat penyamak krom yang biasa digunakan adalah
bentuk kromium sulfat basa. Basisitas dari garam krom dalam larutan
menunjukkan berapa banyak total velensi kroom diikat oleh hidriksil sangat
penting dalam penyamakan kulit. Pada basisitas total antara 0-33,33%, molekul
krom terdispersi dalam ukuran partikel yang kecil (partikel optimun untuk
penyamakan). Zat penyamak komersial yang paling banyak digunakan memunyai
basisitas 33,33%. Jika zat penyamak krom ini ingin difiksasikan didalam substansi
kulit, maka basisitas dari cairan krom harus dinaikkan sehingga mengakibatkan
bertambah besarnya ukuran partikel zat penyamak krom. Dalam penyamakan
diperlukan 2,5- 3,0% Cr2O3 hanya 25 %, maka dalam pemakainnya diperlukan
100/25 x 2,5 % Cromosol B= 10% Cromosol B. Obat ini dilarutkan dengan 2-3
kali cair, dan direndam selama 1 malam. Kulit yang telah diasamkan diputar
dalam drum dengan 80- 100%air, 3-4 % garam dapur (NaCl), selma 10-15 menit
kemudian bahan penyamak krom dimasukkan sbb:
1/3 bagian dengan basisitas 33,3 % putar selama 1 jam
1/3 bagian dengan basisitas 40-45 % putar selama 1 jam
1/3 bagian dengan basisitas 50 % putar selama 3 jam.
Cara penyamakan dengan bahan penyamak aluminium (tawas putih), yaitu
kulit yang telah diasamkan diputar dengan:
40- 50 % air
10% tawas putih
1- 2% garam, putar selama 2-3 jam lu ditumpuk selama 1 malam
Esok harinya kulit diputar lagi selama ½ – 1 jam, lalu digantung dan
dikeringkan pada udara yang lembab selama 2-3 hari. Kulit diregang dengan
tangan atau mesin sampai cukup lemas (Shapouse, 1983).
Penyamakan kulit dapat juga dilakukan dengan kombinasi bahan penyamak
misalnya menggunakan alumunium pada tahap pendahuluan kemudian
dilanjutkan dengan bahan nabati seperti mimosa-puder (Oetojo et al., 1987).
3. Pasca Penyamakan
Pasca penyamakan bertujuan membentuk sifat-sifat tertentu pada kulit
terutama berhubungan dengan kelemasan, kepadatan, dan warna kulit. Proses
tersebut terdiri dari netralisasi, pewarnaan, perminyakan, pengecatan,
pengerinngan dan peregangan (Fahidin dan Muslich, 1999).
a. Penetralan (neutralization) bertujuan mengurangi kadar asam dari kulit wet
blue agar tidak menghambat proses pengecatan dasar dan perminyakan
(Purnomo, 1992). Menurut Judoamidjojo (1974), penetralan bertujuan
memperlambat reaksi pengikatan zat warna pada substansi kulit sehingga
zat warna dapat meresap ke dalam substansi kulit sebelum berikatan.
b. Pewarnaan dasar memiliki fungsi sebagai pemberian warna dasar pada kulit
tersamak seperti yang diinginkan (Purnomo, 1992). Pemberian warna
disesuaikan dengan bentuk produk akhir yang direncanakan. Warna coklat
sering digunakan pada tahap pengecatan dasar.
c. Perminyakan (fat liquoring) bertujuan melicinkan serat kulit sehingga lebih
tahan terhadap gaya tarikan, menjaga serat kulit agar tidak lengket sehingga
lebih lunak dan lemas, dan memperkecil daya serap. Selain itu,
dimaksudkan agar kulit menjadi lebih fleksibel atau lebih mudah dilekuk-
lekukan dan tidak mudah sobek. Caranya dapat dilakukan dengan
meminyaki permukaan dengan mengulas, pelemasan dengan tong berputar
atau pencelupan dalam lemak panas (Purnomo, 1992). Hal itu penting untuk
menarik konsumen saat pemasaran produk. Menurut Thorstensen (1985),
jenis minyak yang umum digunakan dalam proses peminyakan adalah
trigliserida yang diperoleh dari tumbuh-tumbuhan, ikan laut, dan hewan.
d. Pengecetan bertujuan untuk memenuhi selera konsumen. Pengecatan zat
warna hanya melekat di permukaan dalam media bahan perekat yang
fungsinya melekatkan warna dan memperbaiki permukaan kulit.
e. Pengeringan bertujuan untuk menghentikan semua reaksi kimia di dalam
kulit. Biasanya dilakukan selama 1-3 hari pada udara biasa agar kulit
menyesuaikan kelembaban udara sekitarnya.
f. Peregangan dilakukan dengan tujuan untuk menarik kulit sampai mendekati
batas kemulurannya, agar jika dibuat barang kerajinan tidak terlalu mulur,
tidak merubah bentuk ukuran.
Mutu kulit samak (leather) selain dipengaruhi oleh proses yang dilakukan di
industri penyamakan kulit, juga sangat bergantung pada mutu kulit mentah
sebagai bahan dasarnya. Sementara itu, mutu kulit mentah dipengaruhi oleh
kerusakan kulit yang terjadi pada saat hewan hidup, pemotongan, dan pengawetan
(Willamson dan Payne, 1993). Tancous et al. (1981) membagi kerusahan kulit
mentah menjadi:
a. Kerusakan antemoterm, yaitu kerusakan yang terjadi pada hewan hidup.
b. Kerusakan postmortem, yaitu kerusakan yang terjadi pada waktu pengulitan,
pengawetan, penyimpanan, dan transportasi.
Selain kerusakan tersebut, mutu kulit juga dipengaruhi oleh bangsa, jenis
kelamin, dan umur ternak waktu dipotong (Tancous et al., 1981). Menurut Mann
(1966), bangsa sapi untuk produksi susu atau domba untuk produksi wool
mempunyai kulit yang tipis karena nutrisi makanan yang diserap tubuh digunakan
untuk memproduksi susu/wool. Tingginya kadar lemak dalam kroium maupun
subcutis merupakan faktor penurunan kualitas lainnya yang dipengaruhi bangsa
domba (Tancous et al., 1981). Kulit seperti itu juga dapat mempengaruhi kualitas
kulit samak karena kekuatan tarik dan kemuluran kulit samak menjadi rendah.
Dikatakan pula pada setiap spesies terapat perbedaan antara kulit hewan
jaantan dan betina. Perbedaan pokoknya adalah kulit hewan betina mempunyai
rajah yang lebih halus daripada kulit hewan jantan. Pada umumnya, kulit hewan
betina mempunyai bobot rata-rata lebih ringan dari kulit hewan jantan tetapi
mempunyai daya tahan renggang yang lebih besar. Namun demikian, karena
permintaan kulit di pasar sangat besar maka perbedaan kedua jenis kelamin dapat
diabaikan dan tidak dianggap sebagai suatu defek.
Perbedaan yang dipengaruhi oleh umur hewan dapat menurunkan mutu
setelah menjadi kulit samak. Kulit yang berasal dari hewan muda pada umumnya
mempunyai struktur yang halus tetapi kompak, berajah sangat halus tetapi kurang
tahan terhadap pengaruh dari luar dibandingkan kulit hewan yang lebih tua.
Sebaliknya bila hewan semakin tua, lapisan rajah makin kuat dan kasar.
Disamping itu, akan semakin banyak yang mengalami luka-luka sehingga makin
banyak tenunan parutnya, bekas luka oleh penyakit parasit, guratan, cap bakar,
dan lainnya.
V. PEMBAHASAN
Kulit diselipkan di antara roller dan daging akan terlepas dari kulit dengan
sendirinya. Proses penghilangan daging dilakukan secara manual dengan
memasukkan kulit satu per satu. Proses ini menghasilkan limbah padat berupa
daging. Penurunan berat kulit akibat dipisahkannya daging sekitar 10%.
Tahap keenam adalah penghilangan kapur. Tahap pencucian sebelumnya
hanya menghilangkan sebagian besar kapur dan sianida, akan tetapi masih
terdapat kapur yang menempel pada kulit. Untuk itu, proses penghilangan kapur
ini menggunakan air, sabun khusus kulit dan teffel, serta ZA masing-masing
sebanyak 100%, 0,5%, dan 1,5% dari berat kulit yang masuk. Limbah yang
dihasilkan dari proses ini berupa air sisa dengan output adalah kulit dengan sedikit
kandungan kapur. Kandungan kapur pada kulit pada tahap ini tidak dapat
dihilangkan 100%. Pada tahap ini dilakukan 2 kali pembilasan dan memerlukan
waktu sekitar 3 jam.
Untuk menghilangkan sisa sedikit kapur pada kulit, kembali dilakukan
pencucian. Tahap ketujuh ini memerlukan air sejumlah 2 kali berat kulit yang
masuk. Limbah dari tahap ini adalah air sisa pencucian sementara output-nya
adalah kulit tanpa kandungan kapur.
Tahap kedelapan adalah pengasaman kulit (pikel). Untuk proses ini,
ditambahkan air sejumlah 70%, garam 10%, formid acid (asam semut) 0.5%, dan
asam sulfat 1% dari berat kulit yang masuk. Pengasaman memerlukan waktu
perendaman minimal selama 2 jam sampai pH kulit 2-2,5. Limbah dari tahap ini
adalah sisa larutan pengasaman.
Tahap kesembilan adalah tanning. Pada tahap ini kulit ditambahkan chrom
sebanyak 5-6% dan sodium karbonat sebanyak 0.75%. Akan tetapi penambahan
sodium karbonat tidak dilakukan sekaligus melainkan dibagi menjadi 3 kali
pemasukan, dengan selang waktu antar penambahan 15 menit. Limbah yang
dihasilkan dari tahap ini adalah larutan sisa dan output-nya adalah kulit yang
berwarna kebiruan (wet blue) yang pH-nya telah meningkat menjadi 3,8-4.
Tahap kesepuluh adalah proses perataan dan pengukuran (shaping) dengan
melakukan penipisan (penyerutan). Proses perataan bertujuan untuk
penyeragaman kulit. Limbahnya berupa limbah padat serbuk serutan. Pada tahap
ini dapat terjadi pengurangan kulit sebanyak 10%, bergantung dari ukuran kulit
yang diinginkan. Proses perataan dan pengukuran ini juga dilakukan secara
manual. Berikut ini adalah gambar proses perataan dan pengukuran.
Setelah kulit dilebarkan dan dijepit, papan penjepit didorong agar masuk ke
bagian ruangan yang bersuhu ±700C selama 50 menit. Sebelumnya dilakukan
peregangan secara manual selama 30 menit untuk menurunkan kadar air sebelum
kulit dijepit pada papan penjepit dan dimasukkan dalam ruangan bersuhu 70 0C.
Proses ini sekaligus mengeringkan kulit agar kadar air benar-benar rendah.
Kemudian kulit mengalami tahap kelimabelas, yaitu proses spraying untuk
memberi warna akhir pada kulit. Pemberian warna menggunakan cat kulit sesuai
dengan permintaan konsumen. Limbah yang dihasilkan adalah serbuk cat. Proses
spraying seperti tampak pada gambar di bawah ini.
Air
Pengurangan kadar garam Air, garam sisa
Kapur, Sianida
Perontokkan bulu Bulu
Air
Pencucian Air
Air Air
Pencucian
Air, garam, asam
sulfat, asam semut
Pikel Sisa larutan pengasaman
Perenggangan
Cat kulit
Spraying Air
Penyetrikaan
Garam giling
Pengawetan Air + garam (400 kg)
sapi = 400 kg
Air
4400 kg Pengurangan kadar garam Larutan garam (4400 kg)
3. Perontokkan bulu
Sistem kesetimbangan masa pada proses perontokkan bulu dapat dilihat
pada gambar dibawah ini.
4. Pencucian
Sistem kesetimbangan massa pada proses pencucian dapat dilihat pada
gambar di bawah ini.
Kulit tanpa bulu (1465 kg)
5. Penghilangan daging
Sistem kesetimbangan massa pada proses penghilangan daging dapat dilihat
pada gambar di bawah ini.
6. Pembuangan kapur
Sistem kesetimbangan massa pada proses pembuangan kapur dapat dilihat
pada gambar di bawah ini.
Kulit tanpa daging (1360 kg)
Air (1360 kg) + sabun khusus Pembuangan kapur Air sisa (1387,2 kg)
kulit + teffel (6,8 kg) + ZA
(20.4 kg)
7. Pencucian
Sistem kesetimbangan massa pada proses pencucian dapat dilihat pada
gambar di bawah ini.
kambing, domba
Air (952 kg) + garam (136 Pengasaman kulit (pikel) Sisa larutan pengasaman
kg) + asam semut (680 kg) (1781,6 kg)
+ asam sulfat (13,6 kg)
9. Tanning
Sistem kesetimbangan massa pada proses tanning dapat dilihat pada gambar
di bawah ini.
Kulit dengan pH 2-2,5 (1360 kg)
Tabel 12. Input dan output massa pada proses pewarnaan dasar
Input Output
Kulit dengan ukuran yang diinginkan Kulit dengan warna dasar
cat dasar, minyak pelemasan kulit + air Sisa cat dasar, minyak pelemasan kulit + air
12. Pencucian
Sistem kesetimbangan massa pada proses pencucian dapat dilihat pada
gambar di bawah ini.
Kulit dengan warna dasar (685 kg)
13. Pengeringan
Sistem kesetimbangan massa pada proses pengeringan dapat dilihat pada
gambar di bawah ini.
Kulit kering
14. Perenggangan
Sistem kesetimbangan massa pada proses perenggangan dapat dilihat pada
gambar di bawah ini.
Kulit kering
(680 kg)
Perenggangan
15. Spraying
Sistem kesetimbangan massa pada proses spraying dapat dilihat pada
gambar di bawah ini.
16. Penyetrikaan
Sistem kesetimbangan massa pada proses penyetrikaan dapat dilihat pada
gambar di bawah ini.
Kulit yang telah diwarnai
(680 kg)
Penyetrikaan
Tabel 20. Daftar Pemasukan dan Pengeluaran Biaya Tambahan Produksi Bersih
No Nama Pemasukan Jumlah Harga Keuntungan Investasi
satuan (Rp) (Rp/bulan) (Rp)
1 Penjualan bulu yang 1080 2.000/kg 2.160.000 -
terbuang kg
2 Penjualan daging untuk 2520 5.000/kg 12.600.000 -
pakan ternak kg
3 Penjualan Serbuk kulit 36 kg 1.000/kg 36.000 -
untuk menjadi pupuk
4 Penjualan kulit yang 720 kg 1.500/kg 1.080.000 -
tidak memenuhi
standar
5 Memasang pipa saluran 24 m 13.300/m - 320.000
limbah dari proses
pengawetan
No Nama Pemasukan Jumlah Harga Keuntungan Investasi
satuan (Rp) (Rp/bulan) (Rp)
6 Melengkapi alat 1 unit - 240.000 2.000.000
penakar (timbangan)
garam
7 Memasang pipa 24 m 13.300/m - 320.000
instalasi pembuangan
air (garam)
8 Memasang pipa 24 m 13.300/m - 320.000
instalasi pembuangan
air (kapur)
9 Memasang pipa 24 m 13.300/m - 320.000
instalasi pembuangan
air (daging)
10 Memasang pipa 24 m 13.300/m - 320.000
instalasi pembuangan
air (perataan dan
pengukuan)
11 Bak tembook 1 unit 1.000.000/ - 1.000.000
penampungan untuk unit
pewarnaan dasar
12 Bak penampungan 10 unit 50.000/unit - 500.000
untuk serbuk kulit
Total 16.116.000 5.100.000
Pay Back Period 0,316 bulan
VII. KESIMPULAN
Aten ARF. 1966. Flying and Curing of Hide and Skin as A Rural Industry. FAO
Fahidin dan Mislich. 1999. Ilmu dan Teknologi Kulit. Fateta. IPB. Bogor.
Oetojo B. 1996. Penggunaan Campuran Kuning Telur dan Putih Telur untuk
Peminyakan Kuit. Majalah Barang Kulit, Karet, dan Plastik. 12 (24):47-53.
O’Flaheri, Reddy FOT, Lollar MR. 1956. The Cemicals and Technology of
Leather. Reinhold Publishing Corporation. New York.