Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Pulau Bali adalah sebuah pulau yang sangat unik dan begitu dikagumi oleh orang-orang
dari seantero jagat. Betapa tidak, para wisatawan datang berbondong-bondong ke Bali untuk
melihat keunikan Bali.Umumnya mereka berwisata ke Bali bukan untuk melihat gedung-gedung
bertingkat,ataupun beton-beton bertulang.Namun ada sesuatu di Bali yang berbeda dari
negaranya,yang wajib untuk dinikmati.Apa itu? Kita tentu sepakat bahwa adat istiadat dan
budaya Bali menjadi tulang punggung denyut nadi pariwisata Bali selain alam pulau seribu pura
nan eksotik.
Masyarakat Bali sejak zaman Mpu Kuturan mengenal sistem Kahyangan Tiga yang
dalam kehidupan sosial masyarakatnya di-implementasikan dalam wadah desa pakraman yang
terbagi lagi dalam konsep banjar-banjar. Konsep yang adiluhung ini sekaligus menjadi pilar
utama kehidupan masyarakat Bali dalam menopang adat dan budayanya yang diwarisi sampai
sekarang.
Tidak dapat dipungkiri, adat istiadat begitu merasuk dalam setiap sendi kehidupan orang
Bali. Sistem desa pekraman yang didalamnya terdapat tiga unsur utama, yakni Tri Hita Karana
di-implementasikan dalam konsep Tri Kahyangan, yang mencakup tiga tempat suci, Pura Desa,
Pura Puseh dan Pura Dalem. Ajaran Mpu Kuturan yang begitu agung ini, benar-benar menjadi
pilar utama penyangga kehidupan manusia Bali. Kegiatan ngayah sebagai bagian dari
pelaksanaan konsep Tri Kahyangan,dijalankan oleh desa pekraman menurut desa,kala,patra di
masing-masing desa pekraman dan biasanya diatur dalam awig-awig desa pekraman setempat.
Pengaturannya pun sedemikian rupa dilengkapi dengan sanksi bagi pelanggarnya. Pada era 80-an
ke bawah, pertanian menjadi sumber penghasilan penduduk Bali yang utama. Persawahan yang
menghampar hijau nan luas membentang dari barat ke timur dan dari selatan ke utara. Daerah
Kuta dan Kerobokan sekarang, dulunya adalah areal persawahan hijau yang subur karena
mendapat aliran air yang banyak dari daerah hulu.Pada saat itu, sistem pengairan tradisional Bali
yang lebih dikenal dengan Subak menjalankan fungsinya dengan baik.
B. PERMASALAHAN
Dari klasifikasi batas di atas, dapat dilihat bahwa umumnya suatu batas
direpresentasikan oleh suatu objek fisik yang haruslah permanen, stabil, mudah
diidentifikasi, dan mudah terlihat. Objek fisik tersebut dapat berbentuk apa saja asalkan
memenuhi syarat tersebut, contohnya adalah tembok, pagar, atau deretan titik patok yang
menandainya (Dale dan Mclaughlin, 1999).
Dalam masyarakat Bali pada dasarnya yang berhak mewarisi harta warisan ialah anak
laki-laki, terutama anak laki-laki yang sudah dewasa dan berkeluarga, sedangkan anak-anak
perempuan tidak sebagai ahli waris, tetapi dapat sebagai penerima bagian warisan untuk
dibawa sebagai harta bawaan ke dalam perkawinannya dengan pihak suami. Akan tetapi pada
prakteknya, anak perempuan dapat dijadikan sebagai ahli waris dengan diubah statusnya
menjadi anak laki-laki.
Unsur-unsur Hukum Adat yang berintikan kepribadian bangsa Indonesia perlu di
masukkan ke dalam lembaga-lembaga dan peraturan-peraturan hukum negara agar hukum
yang baru itu sesuai dengan rasa keadilan dan kesadaran hukum masyarakat dalam kerangka
bangsa Indonesia. Berbeda dengan hal tersebut, BW yang dijadikan sebagai dasar hukum
perdata di Indonesia tidak mengatur tentang hukum pewarisan berdasarkan gender, dalam
artian tidak ada strata gender dalam aturan hukum di dalamnya pewarisan.
2. Contoh kasus Hukum Adat Waris Bali
a. Kasus Posisi:
a. PENGADILAN NEGERI:
1. Hakim Pertama yang menangani perkara ini memberitahukan pertimbangan sebagai
berikut:
2. Menurut bukti P2 yang merupakan “Buku C lama”, Desa Takmung, tanah sengketa
adalah milik Almarhum Tugeg sejak tahun 1950 hingga sekarang. Tanah tersebut
dinyatakan menjadi milik Arya, Wisma dan Darsana (Sekehe 3). Dan sejak
dinyatakan menjadi milik Sekehe tiga, tidak pernah dilakukan mutasi lagi. Hal
tersebut juga sesuai dengan kesaksian dari Kepala Desa Takmung dan “Buku C
Baru” Desa Takmung. Dalam Buku C baru itu juga tidak tercantum keterangan
bahwa tanah sengketa adalah tanah laba puraMeskipun Tergugat menyangkal bahwa
tanah tersebut adalah milik Tugeg yang kemudian diwariskan pada Sekehe Tiga,
tetapi Tergugat tidak dapat membuktikan bahwa tanah sengketa adalah Tanah Laba
Pura.
3. Pura yang ada di tanah sengketa tidak dapat dijadikan bukti bahwa tanah tersebut
adalah tanah laba pura.
4. Keterangan para saksi menyatakan bahwa “Sekehe Tiga” adalah anak-anak kandung
Almarhum Tugeg. Sekehe Tiga tidak mempermasalahkan keberadaan Pura Dalem
Rajapati.
5. Dari pertimbangan-pertimbangan di muka, maka Pengadilan berpendapat bahwa
Penggugat-Penggugat telah dapat membuktikan gugatannya dan Hakim Pertama
memberikan putusan sebagai berikut:
c. MENGADILI:
d.PENGADILAN TINGGI:
1. Mantera, Tergugat dalam perkara ini menyatakan banding atas putusan hak milik.
Setelah memeriksa perkara dan berkas perkara ini, Hakim Banding menemukan fakta
bahwa ternyata Pengadilan Negeri telah memeriksa tiga orang saksi tanpa disumpah.
Pertimbangan yang mendasarinya adalah karena ketiganya masih mempunyai hubungan keluarga
dengan pihak Penggugat. Kades Takmung, Diarsa adalah paman Penggugat dan Tergugat.
Saksi Tergugat, Seregeg dan Serejig, tidak jelas mana saudara kandung dan yang sepupu
dari Tergugat. Antara Berita Acara sidang disatu pihak dan jawaban Tergugat tanggal 6 Mei
1990 serta Daftar Silsilah dilain pihak terdapat perbedaan/pertimbangan.
Saudara sepupu tidak berhak mengundurkan diri, sebagai saksi, sehingga saudara sepupu
haruslah disumpah.
- Saudara Kandung (pasal 174 ayat 1 ke-1 RBg) dan kemenakan/paman (putusan MA No. 300
K/Sip/1973, tanggal 11-11-1975) adalah orang-orang yang berhak mengundurkan diri
sebagai saksi, mereka harus diberitahukan tentang hak untuk pengunduran diri yang tidak
digunakan, harus disumpah (pasal 175 RBg). Sedangkan jika akan menggunakan hak
tersebut, tidak perlu diperiksa tanpa disumpah. Saksi yang tidak disumpah bukan alat bukti.
Yang boleh diperiksa tanpa disumpah, hanya anak di bawah usia 15 tahun dan orang gila
yang kadang-kadang ingat (pasal 173 RBg).
- Atas dasar pertimbangan tersebut, maka Hakim Banding memberi Putusan Sela yang
amarnya sebagai berikut:
2. Memberitahukan kepada saksi saudara kandung. Saksi paman akan haknya untuk
mengundurkan diri sebagai saksi untuk selanjutnya memerintahkan saksi jika
bersedia menjadi saksi untuk bersumpah.
3. Menanyakan saksi yang sudah disumpah: Apakah mereka tetap pada keterangan yang
telah diberikan pada sidang yang lalu.
II. Memberi kesempatan pada kedua pihak, jika masing-masing akan mengajukan tambahan
alat bukti.
- Dalam Putusan Akhir, maka Hakim Banding berdasar atas pemeriksaan Tambahan tersebut
di atas, memberikan putusan akhir yang amarnya: Membatalkan putusan Hakim Pertama dan
mengadili sendiri: Menolak gugatan Penggugat.
CATATAN:
• Dari putusan Mahkamah Agung RI tersebut di atas, dapat diangkat “Abstrak Hukum”
sebagai berikut:
• Suatu keluarga masyarakat Bali, Gusti Made Tugeg dalam perkawinannya dengan Wanita Ni
Gusti Rai Muklek, dilahirkan tiga orang anak lelaki: I. Gusti Nyoman Arya, I. Gusti Made
Wisma, I. Gusti Putu Darsana.
Ayah ketiga anak ini (Gusti Made Tugeg) semasa hidupnya memiliki tanah hak milik.
Adat bali yang dimaksud adalah meliputi, nilai, norma dan prilaku dalam masyarakat
Bali pada umumnya yang sangat dikenal dengan sistem kekeluargaan patrilinial. Sistem
kekeluargaan patrilineal sering diduga keras memberi peluang suburnya budaya patriarkhi
( kekuasaan/ dominasi laki-laki). Dalam kajian terhadap masalah ini membagi atas 3 bagian
yaitu:
1. Semangat moral yang dijadikan dasar hukum adat bali; yang menggambarkan konsep
ideal / das sollen dari hukum adat bali.
2. Letak bias jender dalam hukum adat bali;
3. Upaya mengatasi ketidakadilan gender dalam masyarakat bali.
“ Tidak seorangpun tidak bekerja walaupun untuk sesaat saja karena dengan
tiada berdayanya manusia dibuat bertindak oleh hukum alam”
“ Bekerjalah seperti yang telah ditentukan sebab bekerja jauh lebih baik dari
tidak bekerja. Kalau kau tidak bekerja hidup sehari-haripun tidak mungkin.
(sloka .8).
Semangat moral yang dipetik di atas pada prinsipnya menempatkan lelaki dan
perempuan dalam mitra yang sejajar. Spirit ini kemudian dituangkan dalam bentuk
hukum adat, khususnya dalam hukum kekeluargaan desa adat di Bali. Dalam hukum
keluarga maka dianut sistem kekeluargaan garis keturunan “purusa “ yang sesungguhnya
tidak identik dengan laki-laki, karena ahli waris juga bisa perempuan, khususnya bila
dalam keluarga tidak memiliki anak laki-laki. Nah, bila ada anak laki-laki dan
perempuan, maka otomatis anak laki laki lah sebagai ahli waris. Di sinilah letak
pembedaan anak laki dan perempuan yang ada dalam keluarga. Pada umumnya menurut
menurut hukum waris Bali ada 3 macam ahli waris:
Dalam hukum waris inilah yang sering digugat sebagai aturan yang bias
Gender. Mengikuti pendapat Talcott Parson analisa struktur hukum dalam suatu
kelompok masyarakat terdiri dari:
Sangat jelas sekali anak perempuan apalagi sudah kawin keluar, maka ia tidak
berhak mewaris dan sepenuhnya menjadi tanggungjawab keluarga pihak suami selama
perkawinannya langgengBila terjadi perceraian, anak perempuan tersebut kembali
kekeluarga asalnya, dan beralih menjadi tanggungjawab orangtua atau saudara laki-
lakinya. Hak asuh anak-anak jatuh pada suami / keluarga suami, dan bagi si ibu tidak ada
tanggungjawab ekonomis ataupun spiritual terhadap anak-anaknya.
Faktanya di sinilah getirnya nasib perempuan bali yang bercerai. Menurut hukum
Adat Bali mengenai harta perkawinan, harta bersama ( guna kaya = harta yang diperoleh
selama masa perkawinan adalah dibagi dua (50% hak perempuan) dan bila ada harta
tatadan ( bekal atau hibah dari orangtua perempuan), harta tatadan sepenuhnya kembali
menjadi hak perempuan. Prakteknya, dalam kasus perceraian banyak diselesaikan hanya
secara adat, dan perempuan bali sering tidak menggugat harta bersama apalagi bila ada
anak-anak, biasanya diberikan kepada anak-anaknya. Syukur bila keluarga asalnya
menerima dengan baik. Dari pengamatan perempuan yang bercerai dan pulang ke rumah
selalu berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri, dan juga sering membantu
biaya sekolah anak-anaknya bila memungkinkan.
Menurut hukum adat, orang tua atau saudara laki-laki di rumah asalnya wajib
bertanggungjawab bila ia sakit ataupun meninggal, bila mereka tidak mau akan dikecam
oleh masyarakt adatnya. Oleh karena itu setiap perceraian yang terjadi harus dilaporkan
Hukum Adat Bali tumbuh dan hidup dalam tatanan masyarakat agraris, demikian
juga lembaga-lembaga adat seperti desa adat sangat tergantung pada tanah (wilayah
kerjanya) dan peran-peran individu sesuai dengan kondisi pada saat itu. Dari sisi
kekuasaan dalam masyarakat yang mendominasi adalah para tuan tanah
(feodalismeperempuan sangat tinggi, seperti : praktek kawin paksa, poligami, pemingitan
gadis dalam usia belia dengan alasan menjaga kesuciannya, kawin dalam usia muda, dan
adanya strata sosial kasta yang melarang perempuan kawin dengan orang lain, hanya
dalam lapisan kastanya saja, bila keluar maka ia dibuang dari keluarga, banyak terjadinya
kekerasan fisik dan mental terhadap perempuan.
Dewasa ini hakim pengadilan di Bali dalam kasus perceraian selalu memutus
berdasarkan UU No, 1 tahun 1974 dan sering memutuskan harta bersama dan hak asuh
anak ada pada ibu (perempuan). Sayang sekali perempuan terutama yang ada di pedesaan
(bukan pegawai negeri ataupun lainnya yang wajib menunjukkan surat perceraian dari
kantornya atau yang merasa perlu) tidak mengurus perceraiannya ke pengadilan.
Abdul Wahab, Solichin. 1994. “Esensi Nilai Dalam Kebijakan: Perbincangan Teoritikal”,
dalam Kebijakan Publik dan Pembangunan. Malang : Penerbit IKIP Malang bekerja sama
dengan FIA Unibraw
Dwiyanto, Agus. 1995. “Evaluasi Program dan Kebijaksanaan Pemerintah”, dalam Kumpulan
Makalah Pelatihan Analisis Kebijakan Sosial Angkatan III. Yogyakarta: Pusat Penelitian
Kependudukan UGM.
Gede, Igusti Raka. 1995. Monografi Pula Bali. Jakarta : Pusat Djawatan Pertanian Rakyat.
Hardiyoko dan Panggih Saryoto, “Kearifan Lokal dan Stok Pangan Desa”,
dalam Pangan, Kearifan Lokal, dan Keanekaragaman Hayati,
(Yogyakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas, 2001), hal. 185.
Hardiyoko dan Panggih Saryoto. 2001. “Kearifan Lokal dan Stok Pangan Desa”, dalam Pangan,
Kearifan Lokal, dan Keanekaragaman Hayati. Yogyakarta : Cindelaras Pustaka Rakyat
Cerdas.
I Gusti Raka Gede, Monografi Pula Bali (Jakarta: Pusat Djawatan Pertanian
Rakyat, 1955), hal. 34.
Isna, Alizar dan Anwaruddin. 2000. “Evaluasi Sistem Pelaksanaan dan Pengelolaan Bantuan
Keuangan Program-program Pembangunan (Studi Kasus di Desa Kawungcarang
Kecamatan Sumbang Kabupaten Banyumas)”, Hasil Penelitian, Tidak Diterbitkan.
Purwokerto : Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jenderal Soedirman.
Mazmanian, Daniel A. dan Paul A. Sabatier, Implementation and Public Policy. New Jersey :
Scott, Foresman and Company.
Wimer, David L dan Aidan R. Vining, Policy Analysis: Concepts and Practice. New Jersey :
Third E