Professional Documents
Culture Documents
TRAUMA ABDOMEN
A. TEORI
1. DEFINISI
· Trauma adalah cedera atau rudapaksa atau kerugian psikologis atau emosional (
Dorland, 2002 : 2111 )
· Trauma abdomen adalah cedera pada abdomen, dapat berupa trauma tumpul dan tembus
serta trauma yang disengaja atau tidak disengaja (Smeltzer, 2001 : 2476 )
Suatu pukulan langsung, misalkan terbentur stir ataupun bagian pintu mobil yang melesak ke
dalam karena tabrakan, bisa menyebabkan trauma kompresi ataupun crush injury terhadap organ
viscera. Hal ini dapat merusak organ padat maupun organ berongga, dan bisa mengakibatkan
ruptur, terutama organ-organ yang distensi (misalnya uterus ibu hamil), dan mengakibatkan
perdarahan maupun peritornitis. Trauma tarikan (shearing injury) terhadap organ viscera
sebenarnya adalah crush injury yang terjadi bila suatu alat pengaman (misalnya seat belt jenis
lap belt ataupun komponen pengaman bahu) tidak digunakan dengan benar. Pasien yang cedera
pada suatu tabrakan motor bisa mengalami trauma decelerasi dimana terjadi pergerakan yang
tidak sama antara suatu bagian yang terfiksir dan bagian yang bergerak, seperti rupture lien
ataupun ruptur hepar (organ yang bergerak) dibagian ligamentnya (organ yang terfiksir).
Pemakaian air-bag tidak mencegah orang mengalami trauma abdomen. Pada pasien-pasien yang
mengalami laparotomi karena trauma tumpul, organ yang paling sering kena adalah lien (40-
55%), hepar (35-45%), dan usus (5-10%). Sebagai tambahan, 15% nya mengalami hematoma
retroperitoneal.
b) Trauma tajam
Luka tusuk ataupun luka tembak (kecepatan rendah) akan mengakibatkan kerusakan jaringan
karena laserasi ataupun terpotong. Luka tembak dengan kecepatan tinggi akan menyebabkan
transfer energi kinetik yang lebih besar terhadap organ viscera, dengan adanya efek tambahan
berupa temporary cavitation, dan bisa pecah menjadi fragmen yang mengakibatkan kerusakan
lainnya. Luka tusuk tersering mengenai hepar (40%), usus halus (30%), diafragma (20%), dan
colon (15%). Luka tembak menyebabkan kerusakan yang lebih besar, yang ditentukan oleh
jauhnya perjalanan peluru, dan berapa besar energy kinetiknya maupun kemungkinan pantulan
peluru oleh organ tulang, maupun efek pecahan tulangnya. Luka tembak paling sering mengenai
usus halus (50%), colon (40%), hepar (30%) dan pembuluh darah abdominal (25%).
- Laserasi, memar,ekimosis
- Hipotensi
- Hemoperitoneum
- Adanya tanda “Bruit” (bunyi abnormal pd auskultasi pembuluh darah, biasanya pd arteri
karotis),
- Nyeri
- Pendarahan
- Penurunan kesadaran
- Sesak
- Tanda Kehrs adalah nyeri di sebelah kiri yang disebabkan oleh perdarahan limfa.Tanda ini ada
saat pasien dalam posisi recumbent.
- Tanda Grey-Turner adalah ekimosis pada sisi tubuh ( pinggang ) pada perdarahan
retroperitoneal .
- Tanda coopernail adalah ekimosis pada perineum,skrotum atau labia pada fraktur pelvis
- Tanda balance adalah daerah suara tumpul yang menetap pada kuadran kiri atas ketika
dilakukan perkusi pada hematoma limfe
Bila suatu kekuatan eksternal dibenturkan pada tubuh manusia (akibat kecelakaan lalu lintas,
penganiayaan, kecelakaan olahraga dan terjatuh dari ketinggian), maka beratnya trauma
merupakan hasil dari interaksi antara faktor – faktor fisik dari kekuatan tersebut dengan jaringan
tubuh. Berat trauma yang terjadi berhubungan dengan kemampuan obyek statis (yang ditubruk)
untuk menahan tubuh. Pada tempat benturan karena terjadinya perbedaan pergerakan dari
jaringan tubuh yang akan menimbulkan disrupsi jaringan. Hal ini juga karakteristik dari
permukaan yang menghentikan tubuh juga penting. Trauma juga tergantung pada elastitisitas
dan viskositas dari jaringan tubuh. Elastisitas adalah kemampuan jaringan untuk kembali pada
keadaan yang sebelumnya. Viskositas adalah kemampuan jaringan untuk menjaga bentuk aslinya
walaupun ada benturan. Toleransi tubuh menahan benturan tergantung pada kedua keadaan
tersebut.. Beratnya trauma yang terjadi tergantung kepada seberapa jauh gaya yang ada akan
dapat melewati ketahanan jaringan. Komponen lain yang harus dipertimbangkan dalam beratnya
trauma adalah posisi tubuh relatif terhadap permukaan benturan. Hal tersebut dapat terjadi cidera
organ intra abdominal yang disebabkan beberapa mekanisme :
1. Meningkatnya tekanan intra abdominal yang mendadak dan hebat oleh gaya tekan dari
luar seperti benturan setir atau sabuk pengaman yang letaknya tidak benar dapat
mengakibatkan terjadinya ruptur dari organ padat maupun organ berongga.
2. Terjepitnya organ intra abdominal antara dinding abdomen anterior dan vertebrae atau
struktur tulang dinding thoraks.
3. Terjadi gaya akselerasi-deselerasi secara mendadak dapat menyebabkan gaya robek pada
organ dan pedikel vaskuler.
5. KLASIFIKASI
a) Trauma tumpul
- Hasil dari crush injury dan trauma deselerasi mengenai organ padat (karena perdarahan) atau
usus (karena perforasi dan peritonitis)
b) Trauma tajam
- Mungkin dihubungkan dengan dada, diafragma dan cedera pada system retroperitoneal.
- Hati dan usus kecil adalah organ yang paling tersering mengalami kerusakan.
- Luka tusukan mungkin akan menenbus dinding peritoneum dan seringkali merusak secara
konservatif, bagaimanapun luka akibat tembakan senapan selalu membutuhkan pembedahan dan
penyelidikan lebih awal untuk mengendalikan cedera intraperitoneal.
(Catherino, 2003 : 251)
6. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK/PENUNJANG
Pemeriksaan Diagnostik
a) Trauma Tumpul
DPL adalah prosedur invasive yang bisa cepat dikerjakan yang bermakna merubah rencana untuk
pasien berikutnya ,dan dianggap 98 % sensitive untuk perdarahan intraretroperitoneal. Harus
dilaksanakan oleh team bedah untuk pasien dengan trauma tumpul multiple dengan
hemodinamik yang abnormal, terutama bila dijumpai :
DPL juga diindikasikan pada pasien dengan hemodinamik normal nilai dijumpai hal seperti di
atas dan disini tidak memiliiki fasilitas USG ataupun CT Scan. Salah satu kontraindikasi untuk
DPL adalah adanya indikasi yang jelas untuk laparatomi. Kontraindikasi relative antara lain
adanya operasi abdomen sebelumnya, morbid obesity, shirrosis yang lanjut, dan adanya
koagulopati sebelumnya. Bisa dipakai tekhnik terbuka atau tertutup (Seldinger ) di
infraumbilikal oleh dokter yang terlatih. Pada pasien dengan fraktur pelvis atau ibu hamil, lebih
baik dilakukan supraumbilikal untuk mencegah kita mengenai hematoma pelvisnya ataupun
membahayakan uterus yang membesar. Adanya aspirasi darah segar, isi gastrointestinal, serat
sayuran ataupun empedu yang keluar, melalui tube DPL pada pasien dengan henodinamik yang
abnormal menunjukkan indikasi kuat untuk laparatomi. Bila tidak ada darah segar (>10 cc)
ataupun cairan feses ,dilakukan lavase dengan 1000cc Ringer Laktat (pada anak-anak 10cc/kg).
Sesudah cairan tercampur dengan cara menekan maupun melakukan rogg-oll, cairan ditampung
kembali dan diperiksa di laboratorium untuk melihat isi gastrointestinal ,serat maupun empedu.
(American College of Surgeon Committee of Trauma, 2004 : 149-150)
Test (+) pada trauma tumpul bila 10 ml atau lebih darah makroskopis (gross) pada aspirasi awal,
eritrosit > 100.000 mm3, leukosit > 500/mm3 atau pengecatan gram (+) untuk bakteri, bakteri
atau serat. Sedangkan bila DPL (+) pada trauma tajam bila 10 ml atau lebih darah makroskopis
(gross) pada aspirasi awal,sel darah merah 5000/mm3 atau lebih. (Scheets, 2002 : 279-280)
Individu yang terlatih dengan baik dapat menggunakan USG untuk mendeteksi adanya
hemoperitoneum. Dengan adanya peralatan khusus di tangan mereka yang berpengalaman,
ultrasound memliki sensifitas, specifitas dan ketajaman untuk meneteksi adanya cairan
intraabdominal yang sebanding dengan DPL dan CT abdomen Ultrasound memberikan cara
yang tepat, noninvansive, akurat dan murah untuk mendeteksi hemoperitorium, dan dapat
diulang kapanpun. Ultrasound dapat digunakan sebagai alat diagnostik bedside dikamar
resusitasi, yang secara bersamaan dengan pelaksanaan beberapa prosedur diagnostik maupun
terapeutik lainnya. Indikasi pemakaiannya sama dengan indikasi DPL. (American College of
Surgeon Committee of Trauma, 2004 : 150)
Digunakan untuk memperoleh keterangan mengenai organ yang mengalami kerusakan dan
tingkat kerusakannya, dan juga bisa untuk mendiagnosa trauma retroperineal maupun pelvis
yang sulit di diagnosa dengan pemeriksaan fisik, FAST, maupun DPL. (American College of
Surgeon Committee of Trauma, 2004 : 151)
b) Trauma Tajam
Untuk pasien yang asimptomatik dengan kecurigaan pada diafragma dan struktur abdomen
bagian atas diperlukan pemeriksaan fisik maupun thorax foto berulang, thoracoskopi,
laparoskopi maupun pemeriksaan CT scan.
1. Eksplorasi local luka dan pemeriksaan serial dibandingkan dengan DPL pada luka tusuk
abdomen depan. Untuk pasien yang relatif asimtomatik (kecuali rasa nyeri akibat
tusukan), opsi pemeriksaan diagnostik yang tidak invasive adalah pemeriksaan diagnostik
serial dalam 24 jam, DPL maupun laroskopi diagnostik.
2. Pemeriksaan fisik diagnostik serial dibandingkan dengan double atau triple contrast pada
cedera flank maupun punggung
Untuk pasien yang asimptomatik ada opsi diagnostik antara lain pemeriksaan fisik serial, CT
dengan double atau triple contrast, maupun DPL. Dengan pemeriksaan diagnostic serial untuk
pasien yang mula-mula asimptomatik kemudian menjadi simtomatik, kita peroleh ketajaman
terutama dalam mendeteksi cedera retroperinel maupun intraperineal untuk luka dibelakang linea
axillaries anterior. (American College of Surgeon Committee of Trauma, 2004 : 151)
Pemeriksaan Radiologi
Rontgen untuk screening adalah Ro-foto cervical lateral, Thorax AP dan pelvis AP dilakukan
pada pasien trauma tumpul dengan multitrauma. Rontgen foto abdomen tiga posisi (telentang,
setengah tegak dan lateral decubitus) berguna untuk melihat adanya udara bebas dibawah
diafragma ataupun udara di luar lumen diretroperitoneum, yang kalau ada pada keduanya
menjadi petunjuk untuk dilakukan laparatomi. Hilangnya bayangan psoas menunjukkan
kemungkinan cedera retroperitoneal
1. Urethrografi
2. Sistografi
3. CT Scan/IVP
Bilamana ada fasilitas CT Scan, maka semua pasien dengan hematuria dan hemodinamik stabil
yang dicurigai mengalami sistem urinaria bisa diperiksa dengan CT Scan dengan kontras dan
bisa ditentukan derajat cedera ginjalnya. Bilamana tidak ada fasilitas CT Scan, alternatifnya
adalah pemeriksaan Ivp.
Disini dipakai dosis 200mg J/kg bb kontras ginjal. Dilakukan injeksi bolus 100 cc larutan Jodine
60% (standard 1,5 cc/kg, kalau dipakai 30% 3,0 cc/kg) dengan 2 buah spuit 50 cc yang
disuntikkan dalam 30-60 detik. 20 menit sesudah injeksi bila akan memperoleh visualisasi calyx
pada X-Ray. Bilamana satu sisi non-visualisasi, kemungkinan adalah agenesis ginjal, thrombosis
maupun tertarik putusnya a.renalis, ataupun parenchyma yang mengalami kerusakan massif.
Nonvisualisasi keduanya memerlukan pemeriksaan lanjutan dengan CT Scan + kontras, ataupun
arteriografi renal atau eksplorasi ginjal; yang mana yang diambil tergantung fasilitas yang
dimiliki.
1. Gastrointestinal
Cedera pada struktur gastrointestinal yang letaknya retroperitoneal (duodenum, colon ascendens,
colon descendens) tidak akan menyebabkan peritonitis dan bisa tidak terdeteksi dengan DPL.
Bilamana ada kecurigaan, pemeriksaan dengan CT Scan dengan kontras ataupun pemeriksaan
RO-foto untuk upper GI Track ataupun GI tract bagian bawah dengan kontras harus dilakukan.
Pemeriksaan Laboratorium
o Pemeriksaan darah lengkap untuk mencari kelainan pada darah itu sendiri
o Penurunan hematokrit/hemoglobin
o Peningkatan Enzim hati: Alkaline fosfat,SGPT,SGOT,
o Koagulasi : PT,PTT
o MRI
o Angiografi untuk kemungkinan kerusakan vena hepatik
o CT Scan
o Radiograf dada mengindikasikan peningkatan diafragma,kemungkinan
pneumothorax atau fraktur tulang rusuk VIII-X.
o Scan limfa
o Ultrasonogram
o Peningkatan serum atau amylase urine
o Peningkatan glucose serum
o Peningkatan lipase serum
o DPL (+) untuk amylase
o Penigkatan WBC
o Peningkatan amylase serum
o Elektrolit serum
o AGD
(ENA,2000:49-55)
7. KOMPLIKASI
Trombosis Vena
Emboli Pulmonar
Stress Ulserasi dan perdarahan
Pneumonia
Tekanan ulserasi
Atelektasis
Sepsis
- Pasien yang tidak stabil atau pasien dengan tanda-tanda jelas yang menunjukkan trauma intra-
abdominal (pemeriksaan peritoneal, injuri diafragma, abdominal free air, evisceration) harus
segera dilakukan pembedahan
- Trauma tumpul harus diobservasi dan dimanajemen secara non-operative berdasarkan status
klinik dan derajat luka yang terlihat di CT
- Trauma penetrasi :
1. PENGKAJIAN
1) Data subyektif
a) Nyeri di RUQ ,hipokondria atau region epigastrik ( cedera pada hati)
b) Nyeri pada kuadran kiri atas (LUQ ), tanda Kehr (nyeri pada kuadran kiri atas yang menjalar
ke bahu kiri) pada cedera limfa
c) Nyeri pada area epigastrik atau bagian belakang, mungkin asimptomatik kecuali terdapat
peritonitis, tanda mungkin tidak ditemukan sampai 12 jam setelah cedera pada cedera pancreas
d) Nyeri pada abdomen ,mual dan muntah pada cedera usus
1. Riwayat medis :
- Alergi
2) Data objektif
Data Primer
Data sekunder
E : Exposure : Terdapat jejas ( trauma tumpul atu trauma tajam) pada daerah abdomen
tergantung dari tempat trauma
F : Five intervension / vital sign : Tanda vital : hipotensi, takikardi, pasang monitor jantung,
pulse oksimetri, catat hasil lab abnormal
Hasil lab :
Pemeriksaan darah lengkap untuk mencari kelainan pada darah itu sendiri
Penurunan hematokrit/hemoglobin
Peningkatan Enzim hati: Alkaline fosfat,SGPT,SGOT,
Koagulasi : PT,PTT
MRI
Angiografi untuk kemungkinan kerusakan vena hepatik
CT Scan
Radiograf dada mengindikasikan peningkatan diafragma,kemungkinan pneumothorax
atau fraktur tulang rusuk VIII-X.
Scan limfa
Ultrasonogram
Peningkatan serum atau amylase urine
Peningkatan glucose serum
Peningkatan lipase serum
DPL (+) untuk amylase
Penigkatan WBC
Peningkatan amylase serum
Elektrolit serum
AGD
a) Nyeri di RUQ ,hipokondria atau region epigastrik( cedera pada hati),
b) Nyeri pada kuadran kiri atas (LUQ ) ,Tanda Kehr (nyeri pada kuadran kiri atas yang
menjalar ke bahu kiri) pada cedera limfa
c) Nyeri pada area epigastrik atau bagian belakang, mungkin asimptomatik kecuali terdapat
peritonitis,tanda mungkin tidak ditemukan sampai 12 jam setelah cedera pada cedera pancreas
Nyeri yang dirasakan sifatnya akut dan terjadi secara mendadak bisa diakibatkan oleh trauma
tumpul atau trauma tajam.
H : Head to toe :
Inspeksi :
Auskultasi :
Palpasi :
- Pembengkakan pada abdomen
Perkusi :
I : Inspeksi posterior surface : Dikaji jika ada yang mengalami cedera pada bagian punggung
(spinal)
1. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Perdarahan (emergency)
2. Syok Hipovolemik (emergency )
3. Nyeri akut b/d agen cedera fisik( Trauma tumpul / tajam) ditandai dengan keluhan nyeri,
diaphoresis, dispnea, takikardia
4. Cemas b/d prosedur pembedahan ditandai dengan pasien gelisah, takut, gugup, gemetar,
wajah tegang
5. Pola napas tidak efektif b/d hiperventilasi ditandai dengan sesak, dispnea, penggunaan
otot bantu napas, napas cupung hidung
6. Kerusakan integritas kulit b/d trauma tajam/tumpul ditandai dengan adanya hematoma,
ekimosis, luka terbuka, jejas pada daerah abdomen
7. Risiko infeksi b/d invasi bakteri
Dx 1 : Perdarahan
Tujuan : Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 2 x 4 jam diharapkan perdarahan dapat
dihentikan/teratasi
Kriteria hasil :
Intervensi :
Mandiri :
3) Pantau tanda-tanda perubahan sirkulasi ke jaringan perifer (CRT dan sianosis).
Kolaborasi :
Dx 2 : Nyeri akut b/d agen cedera fisik ( Trauma tumpul / tajam) ditandai dengan keluhan nyeri,
diaporesis, dispnea, takikardia
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 10 menit diharapkan nyeri yang
dialami pasien terkontrol
Kriteria hasil :
Intervensi :
Mandiri :
1. Kaji nyeri secara komprehensif meliputi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, qualitas,
intensitas nyeri dan faktor presipitasi.
Mempengaruhi pilihan/ pengawasan keefektifan intervensi.
Memfokuskan kembali perhatian, meningkatkan rasa kontrol dan dapat meningkatkan kekuatan
otot; dapat meningkatkan harga diri dan kemampuan koping.
Kolaborasi :
Dx 3 : Cemas b/d prosedur pembedahan ditandai dengan pasien gelisah, takut, gugup, gemetar,
wajah tegang
Tujuan : Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 2 x 10 menit diharapkan cemas pasien
berkurang
Kriteria hasil :
Intervensi :
Mandiri :
1. Indetifikasi tingkat kecemasan dan persepsi klien seperti takut dan cemas serta rasa
kekhawatirannya.
2. Kaji tingkat pengetahuan klien terhadap musibah yang dihadapi dan pengobatan
pembedahan yang akan dilakukan.
3. Berikan kesempatan pada klien untuk mengungkapkan perasaannya.
4. Berikan perhatian dan menjawab semua pertanyaan klien untuk membantu
mengungkapkan perasaannya.
5. Observasi tanda – tanda kecemasan baik verbal dan non verbal.
6. Berikan penjelasan setiap tindakan persiapan pembedahan sesuai dengan prosedur.
7. Berikan dorongan moral dan sentuhan therapeutic.
8. Berikan penjelasan dengan menggunakan bahasa yang sederhana tentang pengobatan
pembedahan dan tujuan tindakan tersebut kepada klien beserta keluarga.
Dx 4 : Pola napas tidak efektif b/d hiperventilasi ditandai dengan sesak, dispnea, penggunaan
otot bantu napas, napas cuping hidung
Tujuan : Setelah dilakukan askep selama 1 x 10 menit diharapkan pola nafas pasien kembali
efektif
Kriteria hasil :
Intervensi :
Mandiri :
Untuk mengetahui derajat gangguan yang terjadi, dan menentukan intervensi yang tepat
Kolaborasi
1. Bantu intubasi jika pernapasan semakin memburuk dan siapkan pemasangan ventilator
sesuai indikasi
DAFTAR PUSTAKA
Smeltzer C. Suzanne, Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah.
EGC : Jakarta
Nanda. 2005. Panduan Diagnosa Keperawatan Nanda Definisi dan Klasifikasi 2005 -2006.
Editor : Budi Sentosa. Jakarta : Prima Medika
Lynda Jual Carpenito-Moyet. 2006. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Jakarta : EGC
Testa,A.Paul.2008.AbdominalTrauma.(Online)(http://emedicine.medscape.com/article/822099-
overview diakses pada tanggal 28 Juli 2008)