Professional Documents
Culture Documents
I. PENDAHULUAN
Berbicara mengenai lembaga negara berarti berbicara mengenai alat kelengkapan yang
ada dalam sebuah negara. Alat kelengkapan negara berdasarkan teori klasik hukum
negara meliputi, kekuasaan eksekutif, dalam hal ini bisa Presiden atau Perdana Menteri
atau Raja; kekuasaan legislatif, dalam hal ini bisa disebut parlemen atau dengan nama
lain seperti Dewan Perwakilan Rakyat; dan kekuasaan yudikatif seperti Mahkamah
Agung atau supreme court. Setiap alat kelengkapan negara tersebut bisa memiliki organ-
organ lain untuk membantu melaksanakan fungsinya.
Lembaga-lembaga negara harus membentuk suatu kesatuan proses yang satu sama lain
saling berhubungan dalam rangka penyelengaraan fungsi negara atau istilah yang
digunakan Prof. Sri Soemantri adalah actual governmental process. Jadi, meskipun dalam
praktiknya tipe lembaga-lembaga negara yang diadopsi setiap negara bisa berbeda, secara
konsep, lembaga-lembaga tersebut harus bekerja dan memiliki relasi sedemikian rupa
sehingga membentuk suatu kesatuan untuk merealisasikan secara praktis fungsi negara
dan ideologis mewujudkan tujuan negara jangka panjang.
Dalam negara hukum yang demokratik, hubungan antara infra struktur politik (Socio
Political Sphere) selaku pemilik kedaulatan (Political Sovereignty) dengan supra
struktur politik (Governmental Political Sphere) sebagai pemegang atau pelaku
kedaulatan rakyat menurut hukum (Legal Sovereignty), terdapat hubungan yang saling
menentukan dan saling mempengaruhi. Oleh karena itu, hubungan antar dua komponen
struktur ketatanegaraan tersebut ditentukan dalam UUD, terutama supra struktur politik
telah ditentukan satu sistem, bagaimana kedaulatan rakyat sebagai dasar kekuasaan
tertinggi negara itu dibagi-bagi dan dilaksanakan oleh lembaga- lembaga negara.
Untuk memahami kedudukan dan hubungan lembaga negara terlebih dahulu harus
memahami konteks sejarah dan suasana politik yang terjadi. Kedudukan lembaga negara
dapat dilihat dari konteks negara dan konteks masyarakat. Lembaga negara dalam
konteks negara dapat diketahui melalui sistem dan mekanisme penyelenggaraan
pemerintahan yang berlaku sebagaimana yang dianut dalam UUD NRI 1945. dalam
konteks masyarakat dapat dilihat dari kerja Infra Struktur Politik masyarakat yang
meliputi partai politik (political party), golongan kepentingan (interest group), golongan
penekan (pressure group), alat komunikasi politik (media political communication), dan
tokoh politik (political figure) dalam mempengaruhi dan mengarahkan kebijakan-
kebijakan penyelenggara negara.
Dengan perubahan tersebut, jelas bahwa UUD yang menjadi pemegang kedaulatan rakyat
dalam prakteknya dibagikan pada lembaga-lembaga dengan pemisahan kekuasaan yang
jelas dan tegas. Di bidang legislatif terdapat DPR dan DPD; di bidang eksekutif terdapat
Presiden dan Wakil Presiden yang dipilih oleh rakyat; di bidang yudikatif terdapat
Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Yudisial; di bidang pengawasan
keuangan ada BPK. Namun demikian, dalam pembagian kekuasaan antar lembaga negara
terdapat kedudukan dan hubungan tata kerja antar lembaga negara yang mencerminkan
adanya kesamaan tujuan dalam penyelenggaraan negara.
A. Majelis Permusyawaratan Rakyat
Setelah Perubahan UUD 1945, kedaulatan rakyat tidak lagi dilaksanakan oleh MPR,
tetapi dilaksanakan “menurut undang-undang dasar”. Dengan demikian, kedaulatan
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Undang- Undang Dasar dan diejawantahkan oleh
semua lembaga negara yang disebutkan di dalam Undang-Undang Dasar sesuai dengan
tugas dan wewenang masing-masing. Dengan perubahan tugas dan fungsi MPR dalam
sistem ketatanegaraan, saat ini, semua lembaga negara memiliki kedudukan yang setara
dan saling mengimbangi.
Saat ini, MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yang semuanya dipilih oleh
rakyat dalam pemilu, bukan lembaga DPR dan lembaga DPD. Komposisi keanggotaan
tersebut sesuai dengan prinsip demokrasi perwakilan yaitu “perwakilan atas dasar
pemilihan” (representation by election).
Dengan ketentuan baru ini secara teoritis berarti terjadi perubahan fundamental dalam
sistem ketatanegaraan, yaitu dari sistem yang vertikal hierarkis dengan prinsip supremasi
MPR menjadi sistem yang horizontal- fungsional dengan prinsip saling mengimbangi dan
saling mengawasi antarlembaga negara.
MPR tidak lagi menetapkan garis-garis besar haluan negara, baik yang berbentuk GBHN
maupun berupa peraturan perundang-undangan, serta tidak lagi memilih dan mengangkat
Presiden dan Wakil Presiden. Hal ini berkaitan dengan perubahan UUD 1945 yang
menganut sistem pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat
yang memiliki program yang ditawarkan langsung kepada rakyat. Jika calon Presiden dan
Wakil Presiden itu menang maka program itu menjadi program pemerintah selama lima
tahun. Berkaitan dengan hal itu, wewenang MPR adalah melantik Presiden atau Wakil
Presiden yang dipilih secara langsung oleh rakyat. Dalam hal ini MPR tidak boleh tidak
melantik Presiden dan/ atau Wakil Presiden yang sudah terpilih.
Wewenang MPR berdasarkan Pasal 3 dan Pasal 8 ayat (2) dan ayat (3) UUD Tahun 1945
adalah:
Anggota DPR dipilih melalui pemilihan umum. Ketentuan tersebut dimaksudkan untuk
mewujudkan asas kedaulatan rakyat yang secara implisit menjiwai Pembukaan UUD
1945, dengan demikian tidak ada lagi anggota DPR yang diangkat. Hal itu sesuai dengan
paham demokrasi perwakilan yang mendasarkan keberadaannya pada prinsip perwakilan
atas dasar pemilihan (representation by election). Melalui rekruitmen anggota DPR dalam
pemilu, diharapkan demokrasi semakin berkembang dan legitimasi DPR makin kuat.
Dengan pengaturan secara eksplisit dalam UUD 1945 bahwa DPR sebagai lembaga
pemegang kekuasaan legislatif akan lebih memberdayakan DPR dan mengubah peranan
DPR yang sebelumnya hanya bertugas membahas dan memberikan persetujuan terhadap
rancangan undang-undang yang dibuat oleh Presiden (kekuasaan eksekutif).
Pergeseran kewenangan membentuk undang-undang, yang sebelumnya di tangan
Presiden dialihkan kepada DPR, merupakan langkah konstitusional untuk meletakkan
secara tepat fungsi lembaga negara sesuai dengan bidang tugasnya masing-masing, yakni
DPR sebagai lembaga pembentuk undang-undang (kekuasaan legislatif) dan Presiden
sebagai lembaga pelaksana undang-undang (kekuasaan eksekutif). Namun, UUD 1945
juga mengatur kekuasaan Presiden di bidang legislatif, antara lain ketentuan bahwa
pembahasan setiap rancangan undang-undang (RUU) oleh DPR dilakukan secara
bersama-sama dengan Presiden.
Penegasan fungsi DPR dalam UUD 1945 itu akan sangat mendukung pelaksanaan tugas
DPR sehingga DPR makin berfungsi sesuai dengan harapan dan tuntutan rakyat
Selanjutnya, dalam kerangka checks and balances system dan penerapan negara hukum,
dalam pelaksanaan tugas DPR, setiap anggota DPR dapat diberhentikan dari jabatannya.
Dalam masa jabatannya mungkin saja terjadi hal atau kejadian atau kondisi yang
menyebabkan anggota DPR dapat diberhentikan sebagai anggota DPR. Agar
pemberhentian anggota DPR tersebut mempunyai dasar hukum yang baku dan jelas,
pemberhentian perlu diatur dalam undang-undang. Ketentuan ini merupakan mekanisme
kontrol terhadap anggota DPR.
Adanya pengaturan pemberhentian anggota DPR dalam masa jabatannya dalam undang-
undang akan menghindarkan adanya pertimbangan lain yang tidak berdasarkan undang-
undang. Ketentuan itu juga sekaligus menunjukkan konsistensi dalam menerapkan
paham supremasi hukum, yaitu bahwa setiap orang sama di depan hukum, sehingga
setiap warga negara harus tunduk pada hukum. Namun, dalam menegakkan hukum itu
harus dilakukan dengan cara-cara yang sesuai dengan hukum.
Sistem perwakilan yang dianut Indonesia merupakan sistem yang khas Indonesia karena
dibentuk sebagai perwujudan kebutuhan, kepentingan, serta tantangan bangsa dan negara
Indonesia.
Ketentuan UUD 1945 yang mengatur keberadaan DPD dalam struktur ketatanegaraan
Indonesia itu antara lain dimaksudkan untuk:
Dengan demikian, keberadaan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) dan
otonomi daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (5) berjalan sesuai dengan
keberagaman daerah dalam rangka kemajuan bangsa dan negara.
DPD memiliki fungsi yang terbatas di bidang legislasi, anggaran, pengawasan, dan
pertimbangan. Fungsi DPD berkaitan erat dengan sistem saling mengawasi dan saling
mengimbangi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
Kewenangan legislatif yang dimiliki DPD adalah dapat mengajukan kepada DPR dan
ikut membahas rancangan undang-undang yang terkait dengan otonomi daerah,
hubungan pusat dengan daerah, pembentukan, pemekaran, dan pengabungan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan
dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Selain itu, DPD memberikan
pertimbangan kepada DPR atas RUU APBN, RUU yang berkaitan dengan pajak,
pendidikan dan agama.
UUD NRI Tahun 1945 menentukan jumlah anggota DPD dari setiap provinsi adalah
sama dan jumlah seluruh anggotanya tidak lebih dari sepertiga jumlah anggota DPR.
Penetapan jumlah wakil daerah yang sama dari setiap provinsi pada keanggotaan DPD
menunjukan kesamaan status provinsi- provinsi itu sebagai bagian integral dari
negara Indonesia. Tidak membedakan provinsi yang banyak atau sedikit penduduknya
maupun yang besar atau yang kecil wilayahnya.
D. Presiden
Perubahan UUD 1945 yang cukup siknifikan dan mendasar bagi penyelenggaraan
demokrasi yaitu pemilihan presiden secara langsung. Presiden dan wakil presiden dipilih
secara langsung oleh rakyat melalui mekanisme pemilu. Pemilihan secara langsung
presiden dan wakil presiden akan memperkuat legitimasi seorang presiden sehingga
presiden diharapkan tidak mudah untuk diberhentikan di tengah jalan tanpa dasar
memadai, yang bisa mempengaruhi stabilitas politik dan pemerintahaan secara aktual.
Selanjutnya, sebagai perwujudan negara hukum dan checks and balances system, dalam
UUD diatur mengenai ketentuan tentang periode masa jabatan Presiden dan Wakil
Presiden serta adanya ketentuan tentang tata cara pemberhentian Presiden dan Wakil
Presiden dalam masa jabatannya. Ketentuan tersebut menunjukan bahwa jabatan Presiden
dapat dikontrol oleh lembaga negara lainnya, dengan demikian akan terhindar dari
kesewenang-wenangan dalam penyelenggaraan tugas kenegaraan.
Berkaitan dengan pelaksanaan prinsip checks and balances system serta hubungan
kewenangan antara Presiden dengan lembaga negara lainnya, antara lain mengenai
pemberian grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi yang semula menjadi hak prerogatif
Presiden sebagai kepala negara, saat ini dalam menggunakan kewenangannya tersebut
harus dengan memperhatikan pertimbangan lembaga negara lain yang memegang
kekuasaan sesuai dengan wewenangnya. MahkamahAgung memberikan pertimbangan
dalam hal pemberian grasi dan rehabilitasi dari pelaksana fungsi yudikatif. DPR
memberikan pertimbangan dalam hal pemberian amnesti dan abolisi karena didasarkan
pada pertimbangan politik. Oleh karena itu DPR sebagai lembaga perwakilan/lembaga
politik kenegaraan adalah lembaga negara paling tepat memberikan pertimbangan kepada
Presiden mengenai hal itu.
Adanya pertimbangan MA dan DPR (lembaga di bidang yudikatif dan legislatif) juga
dimaksudkan agar terjalin saling mengawasi dan saling mengimbangi antara Presiden dan
kedua lembaga negara tersebut dalam hal pelaksanaan tugas-tugas kenegaraan.
Dalam UUD 1945 Pasal 24 ayat (3) dikatakan bahwa “badan-badan lain yang fungsinya
berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang”. Ketentuan
tersebut menjadi dasar hukum keberadaan berbagai badan lain yang berkaitan dengan
kekuasaan kehakiman, antara lain lembaga penyidik dan lembaga penuntut.
Pengaturan dalam undang-undang mengenai badan lain yang berkaitan dengan kekuasaan
kehakiman membuka partisipasi rakyat melalui wakil- wakilnya di DPR untuk
memperjuangkan agar aspirasi dan kepentingannya diakomodasi dalam pembentukan
undang-undang tersebut.
Pencantuman Pasal 24 ayat (3) di atas juga untuk mengantisipasi perkembangan
yang terjadi pada masa yang akan datang, misalnya, kalau ada perkembangan badan-
badan peradilan lain yang tidak termasuk dalam kategori keempat lingkungan peradilan
yang sudah ada itu diatur dalam undang-undang.
1. Mahkamah Agung
Perubahan ketentuan yang mengatur tentang tugas dan wewenang Mahkamah Agung
dalam Undang-Undang Dasar dilakukan atas pertimbangan untuk memberikan jaminan
konstitusional yang lebih kuat terhadap kewenangan dan kinerja MA. Sesuai dengan
ketentuan Pasal 24A ayat (1), MA mempunyai wewenang: 1) mengadili pada tingkat
kasasi;
2) menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-
undang;
3) wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang.
2. Mahkamah Konstitusi
Perubahan UUD 1945 juga melahirkan sebuah lembaga negara baru di bidang kekuasaan
kehakiman, yaitu Mahkamah Konstitusi dengan wewenang sebagai berikut:
1) menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar;
2) memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan
oleh Undang-Undang Dasar;
3) memutus pembubaran partai politik;
4) memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Lembaga ini merupakan bagian kekuasaan kehakiman yang mempunyai peranan penting
dalam usaha menegakkan konstitusi dan prinsip negara hukum sesuai dengan tugas dan
kewenangannya sebagaimana yang ditentukan dalam UUD 1945. Pembentukan
Mahkamah Konstitusi adalah sejalan dengan dianutnya paham negara hukum dalam
UUD
1945. Dalam negara hukum harus dijaga paham konstitusional.Artinya, tidak boleh ada
undang-undang dan peraturan perundang-undangan lainnya yang bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar.
Hal itu sesuai dengan penegasan bahwa Undang-Undang Dasar sebagai puncak dalam
tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Pengujian undang-undang
terhadap UUD 1945 membutuhkan sebuah mahkamah dalam rangka menjaga prinsip
konstitusionalitas hukum.
3. Komisi Yudisial
Untuk menjaga dan meningkatkan integritas hakim agung, dalam Undang-Undang Dasar
dibentuk lembaga baru yaitu Komisi Yudisial. Melalui lembaga Komisi Yudusial ini,
diharapkan dapat diwujudkan lembaga peradilan yang sesuai dengan harapan rakyat
sekaligus dapat diwujudkan penegakan hukum dan pencapaian keadilan yang diputus
oleh hakim yang terjaga kehormatan dan keluhuran martabat serta perilakunya.
Pasal 24B UUD menyebutkan Komisi Yudisial merupakan lembaga negara yang
bersifat mandiri dan berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan
mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan,
keluhuran martabat, serta prilaku hakim. Dengan demikian, Komisi Yudisial memiliki
dua kewenangan, yaitu mengusulkan pengangkatan calon hakim agung di Mahkamah
Agung dan menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga martabat
serta menjaga prilaku hakim di Mahkamah Konstitusi.
Komisi ini dibentuk sebagi respon tehadap upaya penegakan dan reformasi di institusi
peradilan, yang selama ini dianggap kurang memuaskan. Selain itu, untuk
meminimalisasi interes politik dari anggota DPR di dalam memilih dan menentukan
hakim agung di Mahkamah Agung. Mahkamah Agung adalah institusi peradilan yang
independen dan seharusnya terlepas dari campur tangan, objektif, dan dapat
dipertanggungjawabkan. Komisi Yudisial juga dibentuk untuk memberikan
pengawasan terhadap perilaku hakim. Pengawasan dilakukan secara internal peradilan
terhadap para hakim yang apabila terbukti kurang efektif dapat dilakukan penindakan
secara tegas terhadap hakim yang melakukan pelanggaran.
Mengingat BPK sebagai lembaga negara dalam bidang auditor, untuk optimalisasi dan
independensi dalam melaksanakan tugasnya, anggota BPK dipilih oleh DPR dengan
memperhatikan pertimbangan DPD dan diresmikan oleh Presiden. BPK berkedudukan
di ibu kota negara dan memiliki perwakilan disetiap provinsi. Terkait dengan
pemeriksaan keuangan negara, BPK ditegaskan juga berwenang memeriksa pengelolaan
dan tanggung jawab tentang keuangan negara [Pasal 23E ayat (1)] serta menyerahkan
hasil pemeriksaan keuangan negara kepada DPR, DPD, dan DPRD sesuai dengan
kewenangannya [Pasal 23 E ayat (2)].
III. PENUTUP
Hal mendasar dalam praktek penyelenggaraan negara adalah resiko dan akibat praktek
penyelewengan sistem ketatanegaraan. Perbuatan yang secara sengaja dilakukan hanya
untuk kepentingan sesaat bagi kelompok individualitik kolektivitas tertentu sama
dengan proses legalisasi kearah perilaku penyimpangan.
Untuk mewujudkan kedewasaan berpolitik dalam sebuah organisasi pemerintahan,
terutama dituntut adanya kesadaran kolektivitas sosial. Tanpa adanya kesadaran
kolektivitas akan berpotensi menimbulkan adanya stagnasi penyelenggaraan
pemerintahan dan cenderung menuju kemunduran.
Model sistem penyelenggaraan negara oleh lembaga negara menggambarkan model
interaksi menjadi sebuah skema konseptual yang satu sama lain saling berkaitan dalam
kerangka prinsip checks and balances system. Hubungan antar lembaga negara dalam
kerangka pelaksanaan tugas tercermin pada implementasi dari akibat yang ditimbulkan
dalam konsep fungsional.
Hal yang perlu dikedepankan dalam praktek penyelenggaraan negara adalah pentingnya
masing-masing lembaga negara menjalankan tugas dan wewenangnya secara normal atau
mendapat peresetujuan rakyat mengenai praktek yang dapat diterima semua unsur dan
tidak merugikan salah satu unsur yang dapat membawa kesulitan dalam hal implementasi
tindak lanjut.
Sebagai satu kesatuan sistem, unsur penyelenggaraan negara terus menerus berinteraksi
dalam kesatuan sumber yang secara terus menerus terlibat dalam lingkungannya sesuai
dengan tugas dan wewenangnya yang dapat dipetakan dalam struktur yang dapat
dikontrol oleh semua pihak. Penekanan yang perlu menjadi komitmen semua
penyelenggara negara adalah bagaimana mengembangkan sistem yang transparan dalam
rangka mengupayakan penyelenggaraan negara yang transparan dan bertanggungjawab
serta mampu mengubah praktek yang dapat menghambat pencapaian tujuan
kesejahteraan rakyat.
Penyelenggaraan negara yang aktif dan konstruktif dalam mekanisme dan fungsi pada
struktur kelembagaan akan menjadikan pola teknis operasional yang merupakan
terobosan penting dalam perspektif menjunjung tinggi kedaulatan rakyat yang
berdasarkan pada hukum. Kualitas penyelenggaraan negara akan mudah diwujudkan
melalui pembenahan sistem yang transparan dan mampu mengubah sistem yang
dipandang dapat mencemari penyelenggaraan negara yang murni dan konsekuen.