You are on page 1of 11

Eksistensi Lembaga Negara Berdasarkan Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945


Oleh:  Dr. H.M. Hidayat  Nur Wahid,  MA.

I. PENDAHULUAN
Berbicara mengenai lembaga negara berarti berbicara mengenai alat kelengkapan yang
ada dalam sebuah negara. Alat kelengkapan negara berdasarkan teori klasik hukum
negara meliputi, kekuasaan eksekutif, dalam hal ini bisa Presiden atau Perdana Menteri
atau Raja; kekuasaan legislatif, dalam hal ini bisa disebut parlemen atau dengan nama
lain seperti Dewan Perwakilan Rakyat; dan kekuasaan yudikatif seperti Mahkamah
Agung atau supreme court. Setiap alat kelengkapan negara tersebut bisa memiliki organ-
organ lain untuk membantu melaksanakan fungsinya.

Kekuasaan eksekutif, misalnya, dibantu oleh menteri-menteri yang biasanya memiliki


suatu depertemen tertentu. Meskipun demikian, dalam kenyataanya, tipe-tipe lembaga
yang diadopsi setiap negara berbeda-beda sesuai dengan perkembangan sejarah politik
kenegaraan dan juga sesuai dengan kebutuhan masyarakat dalam negara yang
bersangkutan. Secara konseptual, tujuan diadakan lembaga-lembaga negara atau alat
kelengkapan negara adalah selain untuk menjalankan fungsi negara, juga untuk
menjalankan fungsi pemerintahan secara aktual.

Lembaga-lembaga negara harus membentuk suatu kesatuan proses yang satu sama lain
saling berhubungan dalam rangka penyelengaraan fungsi negara atau istilah yang
digunakan Prof. Sri Soemantri adalah actual governmental process. Jadi, meskipun dalam
praktiknya tipe lembaga-lembaga negara yang diadopsi setiap negara bisa berbeda, secara
konsep, lembaga-lembaga tersebut harus bekerja dan memiliki relasi sedemikian rupa
sehingga membentuk suatu kesatuan untuk merealisasikan secara praktis fungsi negara
dan ideologis mewujudkan tujuan negara jangka panjang.

Dalam negara hukum yang demokratik, hubungan antara infra struktur politik  (Socio 
Political  Sphere)  selaku  pemilik  kedaulatan  (Political Sovereignty) dengan supra
struktur politik (Governmental Political Sphere) sebagai pemegang atau pelaku
kedaulatan rakyat menurut hukum (Legal Sovereignty),  terdapat  hubungan  yang  saling 
menentukan  dan  saling mempengaruhi. Oleh karena itu, hubungan antar dua komponen
struktur ketatanegaraan tersebut ditentukan dalam UUD, terutama supra struktur politik
telah ditentukan satu sistem, bagaimana kedaulatan rakyat sebagai dasar kekuasaan
tertinggi negara itu dibagi-bagi dan dilaksanakan oleh lembaga- lembaga negara.

Untuk memahami kedudukan dan hubungan lembaga negara terlebih dahulu harus
memahami konteks sejarah dan suasana politik yang terjadi. Kedudukan lembaga negara
dapat dilihat dari konteks negara dan konteks masyarakat. Lembaga negara dalam
konteks negara dapat diketahui melalui sistem  dan mekanisme  penyelenggaraan 
pemerintahan  yang  berlaku sebagaimana yang dianut dalam UUD NRI 1945. dalam
konteks masyarakat dapat dilihat dari kerja Infra Struktur Politik masyarakat yang
meliputi partai politik (political party), golongan kepentingan (interest group), golongan
penekan (pressure group), alat komunikasi politik (media political communication), dan
tokoh politik (political figure) dalam mempengaruhi dan mengarahkan kebijakan-
kebijakan penyelenggara negara.

II.   LEMBAGA NEGARA DALAM SISTEM KETATANEGARAAN


Lembaga negara merupakan lembaga pemerintahan negara yang berkedudukan di pusat
yang fungsi, tugas, dan kewenangannya diatur secara tegas dalam UUD. Secara
keseluruhan UUD 1945 sebelum perubahan mengenal enam lembaga tinggi/tertinggi
negara, yaitu MPR sebagai lembaga tertinggi negara; DPR, Presiden, MA, BPK, dan
DPA sebagai lembaga tinggi negara. Namun setelah perubahan, lembaga negara
berdasarkan ketentuan UUD adalah MPR, DPR, DPD, Presiden, BPK, MA, MK, dan KY
tanpa mengenal istilah lembaga tinggi atau tertinggi negara.

UUD 1945 mengejawantahkan prinisip kedaulatan yang tercermin dalam pengaturan


penyelenggaraan negara. UUD 1945 memuat pengaturan kedaulatan hukum, rakyat, dan
negara karena didalamnya mengatur tentang pembagian kekuasaan yang berdasarkan
pada hukum, proses penyelenggaraan kedaulatan rakyat, dan hubungan antar Negara RI
dengan negara luar dalam konteks hubungan internasional.

Untuk mengetahui bagaimana proses penyelenggaraan negara menurut UUD, maka


Prinsip pemisahan dan pembagian kekuasaan perlu dicermati karena sangat
mempengaruhi hubungan dan mekanisme kelembagaan antar lembaga  negara.  Dengan 
penegasan  prinsip  tersebut,  sekaligus  untuk menunjukan ciri konstitusionalisme yang
berlaku dengan maksud untuk menghindari adanya kesewenang-wenangan kekuasaan.
Adanya pergeseran prinsip pembagian ke pemisahan kekuasaan yang dianut dalam UUD
1945 telah membawa implikasi pada pergeseran kedudukan dan hubungan tata kerja antar
lembaga negara dalam penyelenggaraan pemerintahan negara, baik dalam kekuasaan
legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Perubahan prinsip yang mendasari bangunan
pemisahan kekuasaan antar lembaga negara adalah adanya pergeseran kedudukan
lembaga pemegang kedaulatan rakyat yang semula ditangan MPR dirubah menjadi
dilaksanakan menurut UUD.

Dengan perubahan tersebut, jelas bahwa UUD yang menjadi pemegang kedaulatan rakyat
dalam prakteknya dibagikan pada lembaga-lembaga dengan pemisahan kekuasaan yang
jelas dan tegas. Di bidang legislatif terdapat DPR dan DPD; di bidang eksekutif terdapat
Presiden dan Wakil Presiden yang dipilih oleh rakyat; di bidang yudikatif terdapat
Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Yudisial; di bidang pengawasan
keuangan ada BPK. Namun demikian, dalam pembagian kekuasaan antar lembaga negara
terdapat kedudukan dan hubungan tata kerja antar lembaga negara yang mencerminkan
adanya kesamaan tujuan dalam penyelenggaraan negara.
A.   Majelis Permusyawaratan Rakyat

Sebelum Perubahan UUD 1945, kedaulatan berada di tangan rakyat dilaksanakan


sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. MPR memiliki  tugas  dan 
wewenang  yang  sangat  besar  dalam  praktek penyelenggaraan negara, dengan
kewenangan dan posisi yang demikian penting, MPR disebut sebagai “lembaga tertinggi
negara”, yang juga berwenang mengeluarkan ketetapan-ketetapan yang hierarki
hukumnya berada di bawah Undang-Undang Dasar dan di atas undang-undang.

Setelah Perubahan UUD 1945, kedaulatan rakyat tidak lagi dilaksanakan oleh MPR,
tetapi dilaksanakan “menurut undang-undang dasar”. Dengan demikian, kedaulatan
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Undang- Undang Dasar dan diejawantahkan oleh
semua lembaga negara yang disebutkan di dalam Undang-Undang Dasar sesuai dengan
tugas dan wewenang masing-masing. Dengan perubahan tugas dan fungsi MPR dalam
sistem ketatanegaraan, saat ini, semua lembaga negara memiliki kedudukan yang setara
dan saling mengimbangi.

Saat ini, MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yang semuanya dipilih oleh
rakyat dalam pemilu, bukan lembaga DPR dan lembaga DPD. Komposisi  keanggotaan 
tersebut  sesuai  dengan  prinsip  demokrasi perwakilan yaitu “perwakilan atas dasar
pemilihan” (representation by election).

Dengan ketentuan baru ini secara teoritis berarti terjadi perubahan fundamental dalam
sistem ketatanegaraan, yaitu dari sistem yang vertikal hierarkis dengan prinsip supremasi
MPR menjadi sistem yang horizontal- fungsional dengan prinsip saling mengimbangi dan
saling mengawasi antarlembaga negara.
MPR tidak lagi menetapkan garis-garis besar haluan negara, baik yang berbentuk GBHN
maupun berupa peraturan perundang-undangan, serta tidak lagi memilih dan mengangkat
Presiden dan Wakil Presiden. Hal ini berkaitan dengan perubahan UUD 1945 yang
menganut sistem pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat
yang memiliki program yang ditawarkan langsung kepada rakyat. Jika calon Presiden dan
Wakil Presiden itu menang maka program itu menjadi program pemerintah selama lima
tahun. Berkaitan dengan hal itu, wewenang MPR adalah melantik Presiden atau Wakil
Presiden yang dipilih secara langsung oleh rakyat. Dalam hal ini MPR tidak boleh tidak
melantik Presiden dan/ atau Wakil Presiden yang sudah terpilih.

Wewenang MPR berdasarkan Pasal 3 dan Pasal 8 ayat (2) dan ayat (3) UUD Tahun 1945
adalah:

1. mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar;


2. melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden;
3. memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya
menurut Undang-Undang Dasar;
4. memilih Wakil Presiden dari dua calon yang diusulkan oleh Presiden apabila
terjadi kekosongan jabatan Wakil Presiden dalam masa jabatannya;
5. memilih  Presiden dan Wakil Presiden apabila keduanya berhenti secara
bersamaan dalam masa jabatannya, dari dua pasangan calon Presiden dan calon
Wakil Presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik
yang pasangan calon Presiden dan calon Wakil Presidennya meraih suara
terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya, sampai
berakhir masa jabatannya.

B.   Dewan Perwakilan Rakyat


Dewan Perwakilan Rakyat merupakan lembaga negara yang memegang kekuasaan
legislatif sebagaimana tercantum pada Pasal 20 ayat (1) UUD 1945. Dalam UUD 1945
secara eksplisit dirumuskan tugas, fungsi, hak, dan wewenang DPR yang menjadi
pedoman dalam pola penyelenggaraan negara.

Anggota DPR dipilih melalui pemilihan umum. Ketentuan tersebut dimaksudkan untuk
mewujudkan asas kedaulatan rakyat yang secara implisit menjiwai Pembukaan UUD
1945, dengan demikian tidak ada lagi anggota DPR yang diangkat. Hal itu sesuai dengan
paham demokrasi perwakilan yang mendasarkan keberadaannya pada prinsip perwakilan
atas dasar pemilihan (representation by election). Melalui rekruitmen anggota DPR dalam
pemilu, diharapkan demokrasi semakin berkembang dan legitimasi DPR makin kuat.

Dengan pengaturan secara eksplisit dalam UUD 1945 bahwa DPR sebagai lembaga
pemegang kekuasaan legislatif akan lebih memberdayakan DPR dan mengubah peranan
DPR yang sebelumnya hanya bertugas membahas dan memberikan persetujuan terhadap
rancangan undang-undang yang dibuat oleh Presiden (kekuasaan eksekutif).
Pergeseran kewenangan membentuk undang-undang, yang sebelumnya di  tangan 
Presiden  dialihkan  kepada  DPR,  merupakan  langkah konstitusional untuk meletakkan
secara tepat fungsi lembaga negara sesuai dengan bidang tugasnya masing-masing, yakni
DPR sebagai lembaga pembentuk undang-undang (kekuasaan legislatif) dan Presiden
sebagai lembaga pelaksana undang-undang (kekuasaan eksekutif). Namun, UUD 1945
juga mengatur kekuasaan Presiden di bidang legislatif, antara lain ketentuan bahwa
pembahasan setiap rancangan undang-undang (RUU) oleh DPR dilakukan secara
bersama-sama dengan Presiden.

Dengan  pergeseran  kewenangan  membentuk  undang-undang  itu, sesungguhnya


ditinggalkan pula teori pembagian kekuasaan (distribution of power) dengan prinsip
supremasi MPR menjadi pemisahan kekuasaan
(separation of power) dengan prinsip saling mengawasi dan saling mengimbangi sebagai
ciri yang melekat. Hal itu juga merupakan penjabaran lebih jauh dari kesepakatan untuk
memperkuat sistem presidensial.

Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, untuk optimalisasi lembaga perwakilan


serta memperkukuh pelaksanaan saling mengawasi dan saling mengimbangi oleh DPR,
DPR memiliki fungsi yang diatur secara eksplisit  dalam UUD.
Pada Pasal 20A dipertegas fungsi DPR, yaitu fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan.
Fungsi legislasi mempertegas kedudukan DPR sebagai lembaga legislatif yang
menjalankan kekuasaan membentuk undang-undang. Fungsi anggaran  mempertegas 
kedudukan  DPR  untuk  membahas (termasuk mengubah) Rancangan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) dan menetapkan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN) yang ditujukan bagi kesejahteraan rakyat. Kedudukan DPR
dalam hal APBN ini lebih menonjol dibandingkan dengan kedudukan Presiden karena
apabila DPR tidak menyetujui RAPBN yang diusulkan Presiden, Pemerintah
menjalankan APBN tahun yang lalu [Pasal 23 ayat (3)]. Fungsi pengawasan adalah
fungsi DPR dalam melakukan pengawasan terhadap kebijakan dan pelaksanaan
pemerintahan dan pembangunan oleh Presiden (pemerintah).

Penegasan fungsi DPR dalam UUD 1945 itu akan sangat mendukung pelaksanaan tugas
DPR sehingga DPR makin berfungsi sesuai dengan harapan dan tuntutan rakyat
Selanjutnya, dalam kerangka checks and balances system dan penerapan negara hukum,
dalam pelaksanaan tugas DPR, setiap anggota DPR dapat diberhentikan dari jabatannya.
Dalam masa jabatannya mungkin saja terjadi hal atau kejadian atau kondisi yang
menyebabkan anggota DPR dapat diberhentikan sebagai anggota DPR. Agar
pemberhentian anggota DPR tersebut mempunyai dasar hukum yang baku dan jelas,
pemberhentian perlu diatur dalam undang-undang. Ketentuan ini merupakan mekanisme
kontrol terhadap anggota DPR.
Adanya pengaturan pemberhentian anggota DPR dalam masa jabatannya dalam undang-
undang akan menghindarkan adanya pertimbangan lain yang tidak  berdasarkan  undang-
undang.  Ketentuan  itu  juga  sekaligus menunjukkan konsistensi dalam menerapkan
paham supremasi hukum, yaitu bahwa setiap orang sama di depan hukum, sehingga
setiap warga negara harus tunduk pada hukum. Namun, dalam menegakkan hukum itu
harus dilakukan dengan cara-cara yang sesuai dengan hukum.

C.   Dewan Perwakilan Daerah


Perubahan UUD 1945 melahirkan sebuah lembaga baru dalam struktur ketatanegaraan
Indonesia, yakni Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Dengan kehadiran DPD dalam
sistem perwakilan Indonesia, DPR didukung dan  diperkuat  oleh  DPD.  DPR 
merupakan  lembaga  perwakilan berdasarkan  aspirasi  dan  paham  politik  rakyat 
sebagai  pemegang kedaulatan, sedangkan DPD merupakan lembaga perwakilan penyalur
keanekaragaman aspirasi daerah. Keberadaan lembaga DPD merupakan upaya
menampung prinsip perwakilan daerah.

Sistem perwakilan yang dianut Indonesia merupakan sistem yang khas Indonesia karena
dibentuk sebagai perwujudan kebutuhan, kepentingan, serta tantangan bangsa dan negara
Indonesia.
Ketentuan UUD 1945 yang mengatur keberadaan DPD dalam struktur ketatanegaraan
Indonesia itu antara lain dimaksudkan untuk:

1. memperkuat ikatan daerah-daerah dalam wadah Negara Kesatuan Republik


Indonesia dan memperteguh persatuan kebangsaan seluruh daerah;
2. meningkatkan agregasi dan akomodasi aspirasi dan kepentingan daerah-daerah
dalam perumusan kebijakan nasional berkaitan dengan negara dan daerah;
3.  mendorong percepatan demokrasi, pembangunan dan kemajuan daerah secara
serasi dan seimbang.

Dengan demikian, keberadaan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) dan
otonomi daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (5) berjalan sesuai dengan
keberagaman daerah dalam rangka kemajuan bangsa dan negara.
DPD  memiliki  fungsi  yang  terbatas  di  bidang  legislasi,  anggaran, pengawasan, dan
pertimbangan. Fungsi DPD berkaitan erat dengan sistem saling mengawasi dan saling
mengimbangi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
Kewenangan legislatif yang dimiliki DPD adalah dapat mengajukan kepada DPR dan
ikut membahas rancangan undang-undang yang terkait dengan otonomi  daerah, 
hubungan  pusat  dengan  daerah,  pembentukan, pemekaran, dan pengabungan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan
dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Selain itu, DPD memberikan
pertimbangan kepada DPR atas RUU APBN, RUU yang berkaitan dengan pajak,
pendidikan dan agama.

Dalam bidang pengawasan, DPD mengawasi pelaksanaan berbagai undang-undang yang


ikut dibahas dan diberikan pertimbangan oleh DPD. Namun, kewenangan pengawasan
menjadi sangat terbatas karena hasil pengawasan itu hanya untuk disampaikan kepada
DPR guna bahan pertimbangan dan ditindaklanjuti. Akan tetapi, pada sisi lain anggota
DPD ini memiliki kedudukan dan kewenangan yang sama dengan DPR ketika bersidang
dalam kedudukan sebagai anggota MPR, baik dalam perubahan UUD, pemberhentian
Presiden, maupun Wakil Presiden.

UUD NRI Tahun 1945 menentukan jumlah anggota DPD dari setiap provinsi adalah
sama dan jumlah seluruh anggotanya tidak lebih dari sepertiga jumlah anggota DPR.
Penetapan jumlah wakil daerah yang sama dari setiap provinsi pada keanggotaan DPD
menunjukan kesamaan status provinsi- provinsi  itu  sebagai  bagian  integral  dari 
negara  Indonesia.  Tidak membedakan provinsi yang banyak atau sedikit penduduknya
maupun yang besar atau yang kecil wilayahnya.

D.   Presiden
Perubahan  UUD  1945  yang  cukup  siknifikan  dan  mendasar  bagi penyelenggaraan
demokrasi yaitu pemilihan presiden secara langsung. Presiden dan wakil presiden dipilih
secara langsung oleh rakyat melalui mekanisme pemilu. Pemilihan secara langsung
presiden dan wakil presiden akan memperkuat legitimasi seorang presiden sehingga
presiden diharapkan tidak mudah untuk diberhentikan di tengah jalan tanpa dasar
memadai, yang bisa mempengaruhi stabilitas politik dan pemerintahaan secara aktual.

Presiden merupakan lembaga negara yang memegang kekuasaan dibidang eksekutif.


Seiring dengan Perubahan UUD 1945, saat ini kewenangan Presiden diteguhkan hanya
sebatas pada bidang kekuasaan dibidang pelaksanaan pemerintahan negara. Namun
demikian, dalam UUD 1945 juga diatur mengenai ketentuan bahwa Presiden juga
menjalankan fungsi yang berkaitan dengan bidang legislatif maupun bidang yudikatif.
Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Dasar, Presiden haruslah warga negara Indonesia
yang sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain. Perubahan
ketentuan mengenai persyaratan calon Presiden dan calon Wakil Presiden dimaksudkan
untuk mengakomodasi perkembangan kebutuhan bangsa dan tuntutan zaman serta agar
sesuai dengan perkembangan masyarakat yang makin demokratis, egaliter, dan
berdasarkan rule of law yang salah satu cirinya adalah pengakuan kesederajatan di depan
hukum bagi setiap warga negara. Hal ini juga konsisten  dengan  paham  kebangsaan 
Indonesia  yang  berdasarkan kebersamaan  dengan  tidak  membedakan  warga  negara 
atas  dasar keturunan, ras, dan agama. Kecuali itu, dalam perubahan ini juga terkandung
kemauan politik untuk lebih memantapkan ikatan kebangsaan Indonesia.

Selanjutnya, sebagai perwujudan negara hukum dan checks and balances system, dalam
UUD diatur mengenai ketentuan tentang periode masa jabatan Presiden dan Wakil
Presiden serta adanya ketentuan tentang tata cara pemberhentian Presiden dan Wakil
Presiden dalam masa jabatannya. Ketentuan tersebut menunjukan bahwa jabatan Presiden
dapat dikontrol oleh lembaga negara lainnya, dengan demikian akan terhindar dari
kesewenang-wenangan dalam penyelenggaraan tugas kenegaraan.

Berkaitan dengan pelaksanaan prinsip checks and balances system serta hubungan
kewenangan antara Presiden dengan lembaga negara lainnya, antara lain mengenai
pemberian grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi yang semula menjadi hak prerogatif
Presiden sebagai kepala negara, saat ini dalam menggunakan kewenangannya tersebut
harus dengan memperhatikan pertimbangan lembaga negara lain yang memegang
kekuasaan sesuai dengan wewenangnya. MahkamahAgung memberikan pertimbangan
dalam hal pemberian grasi dan rehabilitasi dari pelaksana fungsi yudikatif. DPR
memberikan pertimbangan dalam hal pemberian amnesti dan abolisi karena didasarkan
pada pertimbangan politik. Oleh karena itu DPR sebagai lembaga perwakilan/lembaga
politik kenegaraan adalah lembaga negara paling tepat memberikan pertimbangan kepada
Presiden mengenai hal itu.

Adanya pertimbangan MA dan DPR (lembaga di bidang yudikatif dan legislatif) juga
dimaksudkan agar terjalin saling mengawasi dan saling mengimbangi antara Presiden dan
kedua lembaga negara tersebut dalam hal pelaksanaan tugas-tugas kenegaraan.

E.   Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Yudisial


Kekuasaan kehakiman dalam sistem ketatanegaraan Indonesia bertujuan untuk
menyelenggarakan peradilan yang merdeka, bebas dari intervensi pihak mana pun, guna
menegakkan hukum dan keadilan. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah
mahkamah agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan
peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan
peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah mahkamah konstitusi.
Perubahan ketentuan mengenai kekuasaan kehakiman dalam UUD 1945 dimaksudkan
untuk mempertegas bahwa tugas kekuasaan kehakiman dalam sistem ketatanegaraan
Indonesia adalah untuk menyelenggarakan peradilan yang merdeka, bebas dari intervensi
pihak mana pun, guna menegakkan hukum dan keadilan. Ketentuan ini merupakan
perwujudan prinsip Indonesia sebagai negara hukum sebagaimana ditegaskan dalam
Pasal 1 ayat (3).

Dalam UUD 1945 Pasal 24 ayat (3) dikatakan bahwa “badan-badan lain yang fungsinya
berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang”. Ketentuan
tersebut menjadi dasar hukum keberadaan berbagai badan lain yang berkaitan dengan
kekuasaan kehakiman, antara lain lembaga penyidik dan lembaga penuntut.

Pengaturan dalam undang-undang mengenai badan lain yang berkaitan dengan kekuasaan
kehakiman membuka partisipasi rakyat melalui wakil- wakilnya di DPR untuk
memperjuangkan agar aspirasi dan kepentingannya diakomodasi dalam pembentukan
undang-undang tersebut.

Adanya ketentuan pengaturan dalam undang-undang tersebut merupakan salah satu


wujud saling mengawasi dan saling mengimbangi antara kekuasaan yudikatif MA dan
badan peradilan di bawahnya serta MK dengan kekuasaan legislatif DPR dan dengan
kekuasaan eksekutif lembaga penyidik dan lembaga penuntut. Selain itu, ketentuan itu
dimaksudkan untuk mewujudkan sistem peradilan terpadu (integrated judiciary system)
di Indonesia.

Pencantuman  Pasal  24  ayat  (3)  di  atas  juga  untuk  mengantisipasi perkembangan
yang terjadi pada masa yang akan datang, misalnya, kalau ada perkembangan badan-
badan peradilan lain yang tidak termasuk dalam kategori keempat lingkungan peradilan
yang sudah ada itu diatur dalam undang-undang.

1. Mahkamah Agung
Perubahan ketentuan yang mengatur tentang tugas dan wewenang Mahkamah Agung
dalam Undang-Undang Dasar dilakukan atas pertimbangan untuk memberikan jaminan
konstitusional yang lebih kuat terhadap kewenangan dan kinerja MA. Sesuai dengan
ketentuan Pasal 24A ayat (1), MA mempunyai wewenang: 1) mengadili pada tingkat
kasasi;
2) menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-
undang;
3) wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang.

2. Mahkamah Konstitusi
Perubahan UUD 1945 juga melahirkan sebuah lembaga negara baru di bidang kekuasaan
kehakiman, yaitu Mahkamah Konstitusi dengan wewenang sebagai berikut:
1) menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar;
2) memutus  sengketa  kewenangan  lembaga  negara  yang kewenangannya diberikan
oleh Undang-Undang Dasar;
3) memutus pembubaran partai politik;
4) memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Lembaga ini merupakan bagian kekuasaan kehakiman yang mempunyai peranan penting
dalam usaha menegakkan konstitusi dan prinsip negara hukum sesuai dengan tugas dan
kewenangannya sebagaimana yang ditentukan dalam UUD 1945. Pembentukan
Mahkamah Konstitusi adalah sejalan dengan dianutnya paham negara hukum dalam
UUD
1945. Dalam negara hukum harus dijaga paham konstitusional.Artinya, tidak boleh ada
undang-undang dan peraturan perundang-undangan lainnya yang bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar.

Hal itu sesuai dengan penegasan bahwa Undang-Undang Dasar sebagai puncak dalam
tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Pengujian undang-undang
terhadap UUD 1945 membutuhkan sebuah mahkamah dalam rangka menjaga prinsip
konstitusionalitas hukum.

3. Komisi Yudisial
Untuk menjaga dan meningkatkan integritas hakim agung, dalam Undang-Undang Dasar
dibentuk lembaga baru yaitu Komisi Yudisial. Melalui lembaga Komisi Yudusial ini,
diharapkan dapat diwujudkan lembaga peradilan yang sesuai dengan harapan rakyat
sekaligus dapat diwujudkan penegakan hukum dan pencapaian keadilan yang diputus
oleh hakim yang terjaga kehormatan dan keluhuran martabat serta perilakunya.

Wewenang  Komisi Yudisial  menurut  ketentuan  UUD  adalah mengusulkan


pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan
menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
Dalam proses rekrutmen hakim agung, calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisial
kepada DPR untuk mendapat persetujuan dan untuk selanjutnya ditetapkan sebagai hakim
agung oleh Presiden.

Pasal 24B UUD menyebutkan Komisi Yudisial merupakan lembaga negara  yang 
bersifat  mandiri  dan  berwenang  mengusulkan pengangkatan hakim agung dan
mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan,
keluhuran martabat, serta prilaku hakim. Dengan demikian, Komisi Yudisial memiliki
dua kewenangan, yaitu mengusulkan pengangkatan calon hakim agung di Mahkamah
Agung dan menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga martabat
serta menjaga prilaku hakim di Mahkamah Konstitusi.

Anggota Komisi Yudisial berdasarkan ketentuan undang-undang berjumlah 7 (tujuh)


orang dan berstatus sebagai pejabat negara yang terdiri atas mantan hakim, praktisi
hukum, akademisi hukum, dan anggota masyarakat. Keanggotaan komisi Yudisial
diajukan Presiden kepada DPR, dengan terlebih dahulu Presiden membantu panitia
seleksi yang terdiri dari unsur pemerintah, praktisi hukum, akademisi hukum, dan
anggota masyarakat.

Komisi ini dibentuk sebagi respon tehadap upaya penegakan dan reformasi di institusi
peradilan, yang selama ini dianggap kurang memuaskan. Selain itu, untuk
meminimalisasi interes politik dari anggota DPR di dalam memilih dan menentukan
hakim agung di Mahkamah Agung. Mahkamah Agung adalah institusi peradilan yang
independen dan seharusnya terlepas dari campur tangan, objektif, dan dapat
dipertanggungjawabkan.  Komisi Yudisial  juga  dibentuk  untuk memberikan
pengawasan terhadap perilaku hakim. Pengawasan dilakukan secara internal peradilan
terhadap para hakim yang apabila terbukti kurang efektif dapat dilakukan penindakan
secara tegas terhadap hakim yang melakukan pelanggaran.

F. Badan Pemeriksa Keuangan

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) merupakan lembaga negara yang memegang


kekuasaan dalam bidang auditor. Pengaturan tugas dan wewenang BPK dalam Undang-
Undang Dasar dimaksudkan untuk memberikan dasar hukum yang kuat serta pengaturan
rinci mengenai BPK yang bebas dan mandiri serta sebagai lembaga negara yang
berfungsi memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Dalam rangka
memperkuat kedudukan, kewenangan, dan independensinya sebagai  lembaga  negara, 
anggotanya  dipilih  oleh  DPR  dengan memperhatikan pertimbangan DPD.

Dalam kedudukannya sebagai eksternal auditor pemerintah yang memeriksa keuangan


negara dan APBD, serta untuk dapat menjangkau pemeriksaan di daerah, BPK membuka
kantor perwakilan di setiap provinsi. BPK mempunyai tugas memeriksa pengelolaan dan
tanggung jawab tentang keuangan negara. Hasil pemeriksaan keuangan negara
diserahkan kepada DPR, dan DPRD sesuai dengan kewenangan. Hasil pemeriksaan
tersebut ditindaklanjuti lembaga perwakilan dan/atau badan sesuai dengan undang-
undang.

Mengingat BPK sebagai lembaga negara dalam bidang auditor, untuk optimalisasi dan
independensi dalam melaksanakan tugasnya, anggota BPK dipilih  oleh  DPR  dengan 
memperhatikan  pertimbangan  DPD  dan diresmikan oleh Presiden. BPK berkedudukan
di ibu kota negara dan memiliki perwakilan disetiap provinsi. Terkait dengan
pemeriksaan keuangan negara, BPK ditegaskan juga berwenang memeriksa pengelolaan
dan tanggung jawab tentang keuangan negara [Pasal 23E ayat (1)] serta menyerahkan
hasil pemeriksaan keuangan negara kepada DPR, DPD, dan DPRD sesuai dengan
kewenangannya [Pasal 23 E ayat (2)].

III. PENUTUP
Hal mendasar dalam praktek penyelenggaraan negara adalah resiko dan akibat praktek
penyelewengan sistem ketatanegaraan. Perbuatan yang secara sengaja dilakukan hanya
untuk kepentingan sesaat bagi kelompok individualitik kolektivitas  tertentu  sama 
dengan  proses  legalisasi  kearah  perilaku penyimpangan.
Untuk mewujudkan kedewasaan berpolitik dalam sebuah organisasi pemerintahan,
terutama dituntut adanya kesadaran kolektivitas sosial. Tanpa adanya kesadaran
kolektivitas akan berpotensi menimbulkan adanya stagnasi penyelenggaraan
pemerintahan dan cenderung menuju kemunduran.
Model  sistem  penyelenggaraan  negara  oleh  lembaga  negara menggambarkan model
interaksi menjadi sebuah skema konseptual yang satu sama lain saling berkaitan dalam
kerangka prinsip checks and balances system. Hubungan antar lembaga negara dalam
kerangka pelaksanaan tugas tercermin pada implementasi dari akibat yang ditimbulkan
dalam konsep fungsional.

Hal yang perlu dikedepankan dalam praktek penyelenggaraan negara adalah pentingnya
masing-masing lembaga negara menjalankan tugas dan wewenangnya secara normal atau
mendapat peresetujuan rakyat mengenai praktek yang dapat diterima semua unsur dan
tidak merugikan salah satu unsur yang dapat membawa kesulitan dalam hal implementasi
tindak lanjut.

Sebagai satu kesatuan sistem, unsur penyelenggaraan negara terus menerus berinteraksi
dalam kesatuan sumber yang secara terus menerus terlibat dalam lingkungannya sesuai
dengan tugas dan wewenangnya yang dapat dipetakan dalam struktur yang dapat
dikontrol oleh semua pihak. Penekanan yang perlu menjadi komitmen semua
penyelenggara negara adalah bagaimana mengembangkan sistem yang transparan dalam
rangka mengupayakan penyelenggaraan negara yang transparan dan bertanggungjawab
serta mampu mengubah praktek yang dapat menghambat pencapaian tujuan
kesejahteraan rakyat.

Penyelenggaraan negara yang aktif dan konstruktif dalam mekanisme dan fungsi pada
struktur kelembagaan akan menjadikan pola teknis operasional yang merupakan
terobosan penting dalam perspektif menjunjung tinggi kedaulatan rakyat yang
berdasarkan pada hukum. Kualitas penyelenggaraan negara akan mudah diwujudkan
melalui pembenahan sistem yang transparan dan mampu mengubah sistem yang
dipandang dapat mencemari penyelenggaraan negara yang murni dan konsekuen.

Terkahir, kesadaran kolektivitas dari penyelenggaran negara dan masyarakat untuk


membangun sistem penyelenggaraan negara yang transparan menjadi syarat mutlak
berhasilnya suatu negara. Penyelenggara negara dituntut untuk mentransformasi segenap
kemampuan dalam rangka mengubah diri yang memicu pada arah perbaikan serta
tanggapan kreatif dari masyarakat yang sifatnya membangun dan kontrol akan
membangun sistem dan mekanisme yang bertanggung jawab. Kesadaran kolektifitas dari
masyarakat, kelompok, dan organisasi sosial akan membangun kerangka struktural
fungsional yang optimal dan menunjang upaya mengedepankan kedaulatan rakyat dalam
kerangka negara hukum.

You might also like