Professional Documents
Culture Documents
LATAR BELAKANG
Dalam berbagai kesempatan diskusi atau pertemuan menyangkut evaluasi kinerja lembaga
penelitian, jumlah teknologi unggulan yang dihasilkan seringkali dijadikan parameter utama ukuran
keberhasilan. Pengalaman menunjukkan bahwa tingkat keberhasilan yang diukur dengan parameter
utama tersebut cenderung one-sided, karena penilaiannya lebih banyak dilihat dari sudut pandang
peneliti. Terminologi teknologi unggulan menjadi kehilangan arti pada saat aspek guna laksananya
disertakan sebagai salah satu kriteria penentu keunggulan. Dengan kata lain, sejauhmana teknologi
unggulan tersebut pada kenyataannya dapat diaplikasikan di tingkat pengguna, dan selanjutnya diadopsi,
seringkali masih dipertanyakan. Sementara itu, di dalam program penelitian yang secara reguler terus
diperbaiki, terminologi demand-driven, bahkan demand-driving selalu menjadi kata kunci persyaratan
komponen-komponen teknologi yang direncanakan akan diprioritaskan.
Secara fungsional, lembaga penelitian sebagai suatu sistem memiliki beberapa tugas kunci, yaitu:
(a) menyusun prioritas dan formulasi agenda penelitian, (b) memo-bilisasi dan menggunakan sumberdaya
finansial yang dibutuhkan secara efektif, (c) mengembangkan dan memelihara infrastruktur fisik yang
dibutuhkan, (d) mengembangkan dan membina personil peneliti yang dimiliki, (e) memanfaatkan seluruh
kapabilitas keilmuan di tingkat nasional dan internasional, (f) menjamin kelancaran arus informasi antara
peneliti, penyuluh, petani, pengambil kebijakan dan publik, dan (g) memonitor dan mengevaluasi program
penelitian (Stoop, 1988). Agar fungsi-fungsi di atas dapat berjalan dan terwujud dalam bentuk kontribusi
nyata lembaga penelitian terhadap pembangunan pertanian, diperlukan saling keterkaitan yang kuat
antara lembaga penghasil teknologi, petani dan lembaga transfer teknologi (Bourgeois, 1990). Secara
lebih spesifik, keterkaitan yang kuat diantara segitiga teknologi (technology triangle – research, extension
and farmer/user) memungkinkan terjadinya: (a) penelitian menangani prioritas kebutuhan dan masalah
yang dihadapi pengguna, (b) petani dan penyuluh memperoleh kemudahan untuk mengikuti
perkembangan teknologi, (c) hasil penelitian dapat diaplikasikan untuk memecahkan masalah petani dan
memperluas oportunitas usahatani, (d) teknologi yang tersedia dapat diadaptasikan sesuai dengan kondisi
agroekologis dan sosioekonomis lokal, (e) teknologi tepat-guna dipromosikan dan didistribusikan secara
luas kepada petani, pengguna memiliki kemudahan untuk memperoleh informasi, input dan pelayanan
yang diperlukan untuk mendukung aplikasi teknologi, dan (f) peneliti dapat mengkapitalisasi pengetahuan
pengguna dan memperoleh umpan balik menyangkut relevansi serta keragaan teknologi (Merrill-Sands,
et.al., 1989).
Teknologi pertanian telah dan akan terus memainkan peran penting sebagai akselerator
pembangunan nasional dalam suatu perekonomian yang memiliki dukungan signifikan dari sektor
pertanian (Johnson and Kellogg, 1984). Kepentingan tersebut terutama berkaitan dengan upaya
perbaikan kesejahteraan petani kecil yang mewakili kelompok terbesar dalam sektor pertanian.
Sehubungan dengan itu, teknologi pertanian harus mempertimbangkan kerangka referensi yang lebih luas
dan mencakup pemahaman bahwa proses menuju adopsi teknologi merupakan bagian dari proses-proses
perubahan sosial ekonomi yang jauh lebih kompleks dari sekedar modifikasi pola teknologi (Pineiro,
1990). Hal ini mengimplikasikan bahwa teknologi pertanian per se, secara berdiri sendiri, tidak akan cukup
untuk menimbulkan perubahan-perubahan signifikan menyangkut kondisi sosial ekonomi petani kecil.
Walaupun demikian, teknologi pertanian dapat diposisikan sebagai komponen sentral dalam perencanaan
strategis yang dirancang untuk memperbaiki kesejahteraan petani kecil. Catatan khusus mengenai hal ini
adalah terpenuhinya persyaratan bahwa teknologi yang dikembangkan harus sejalan dengan permintaan
petani dan dapat diaplikasikan sesuai dengan lingkungan produksi (teknis/non-teknis) usahatani
(Mukhopadhyay, 1988).
Jawaban pertanyaan menyangkut bagaimana mempercepat aplikasi teknologi hasil penelitian
pada dasarnya berhubungan erat dengan efektivitas keterkaitan antara berbagai pihak di dalam segitiga
teknologi. Secara ideal, hal ini mengindikasikan perlunya penelusuran melalui pendekatan sistem
teknologis, yang mencakup sub-sistem kelembagaan penghasil teknologi, kelembagaan transfer teknologi
dan kelembagaan pengguna teknologi. Namun demikian, sesuai dengan kapasitas yang dimiliki,
pembahasan awal akan lebih ditekankan pada penelaahan dari sisi penelitian.
.
KETERKAITAN ANTARA PENGHASIL TEKNOLOGI DAN TEKNOLOGI TRANSFER
Konsep keterkaitan mengimplikasikan terselenggaranya komunikasi dan hubungan kerja antara dua
atau lebih organisasi yang memiliki tujuan bersama, dalam rangka membina kontak dan perbaikan
produktivitas secara reguler. Keterkaitan adalah terminologi yang digunakan untuk menjelaskan dua sistem
yang saling dihubungkan oleh pesan-pesan (aliran informasi dan umpan balik) sehingga membentuk suatu
sistem yang lebih besar Eponou, 1993; Eponou, 1996). Hubungan komunikasi yang efektif antara peneliti
dan penyuluh berperan penting dalam upaya modifikasi rekomendasi teknologi serta inisiasi penelitian lebih
lanjut, sehingga teknologi baru atau perbaikan teknologi yang dirancang bersama memiliki daya adaptasi
tinggi terhadap kondisi ekologis setempat/lokal.
Tipe keterkaitan penelitian-penyuluhan dapat ditentukan berdasarkan kerangka teoritis yang
menggunakan dua kriteria umum, yaitu (a) status relatif kedudukan organisasi penelitian dan penyuluhan,
dan (b) metode transfer berkaitan dengan penentuan masalah penelitian, tema/topik penelitian dan
diseminasi hasil penelitian – pendekatan top-down atau bottom-up (Agbamu, 2000). Mengacu pada kriteria
tersebut, keterkaitan penelitian-penyuluhan dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
• Tipe A: Organisasi penelitian dan penyuluhan berjalan dengan status yang sejajar/sama serta
menggunakan pendekatan bottom-up dalam pengambilan keputusan menyangkut kegiatan keterkaitan.
• Tipe B: Kedua organisasi memiliki status operatif yang sejajar/sama, tetapi menggunakan pendekatan
top-down berkaitan dengan manajemen keterkaitan.
• Tipe C: Organisasi penelitian dan penyuluhan berjalan dengan status yang tidak sejajar/sama, dan
sistem keterkaitan diantara keduanya berjalan berdasarkan pendekatan manajemen bottom-up.
• Tipe D: Kedua organisasi memiliki status operatif yang tidak sejajar/sama dan sistem keterkaitan
diantara keduanya berjalan berdasarkan pendekatan manajemen top-down.
• Tipe E: Tidak terdapat sistem keterkaitan yang terorganisasi antara organisasi penelitian dan
penyuluhan.
Organisasi penelitian dan penyuluhan di Indonesia berada di bawah koordinasi Departemen
Pertanian dengan status operatif yang berbeda. Berbeda dengan penyuluhan, organisasi penelitian tidak
beroperasi secara independen di tingkat propinsi, tetapi memiliki cakupan nasional. Sementara itu, garis
koordinasi dan supervisi untuk kegiatan penyuluhan secara hirarkis lebih melekat di tingkat pemerintah
daerah (propinsi, kabupaten, kecamatan).
Penelitian/percobaan on-farm dilaksanakan oleh Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) yang
beroperasi di tingkat propinsi dan dimonitor secara berkala oleh Pusat Penelitian Sosial Ekonomi. Staf BPTP
yang menangani penelitian-penelitian adaptif bekerja sama dengan subject matter specialist
mengembangkan paket-paket teknologi dan selanjutnya diteruskan ke institusi penyuluhan. Dalam konteks
ini, BPTP berfungsi sebagai linkage interface antara organisasi penelitian dan penyuluhan di Indonesia.
1
Sistem Pengetahuan Pertanian Formal
Aktivitas Keterkaitan
Metode Keterkaitan
• Formal
Sistem Klien
• Informal
Keluarga usahatani sasaran
(pengguna akhir
inovasi)
Masalah
• Isu-isu organisasional
• Metode keterkaitan
• Finansial
• Uji-uji adaptif
Pada dasarnya, penyuluh, subject matter specialist dan peneliti merupakan sumber informasi
menyangkut topik/masalah/kebutuhan penelitian. Namun demikian, keputusan akhir berkaitan dengan
pemilihan masalah dan tema penelitian lebih banyak ditentukan oleh peneliti di balai nasional. Institusi
penyuluhan menerima paket-paket inovasi dari lembaga penelitian melalui subject matter specialist yang
ditempatkan di BPTP. Walaupun interaksi antara peneliti, penyuluh dan petani di tingkat propinsi cenderung
semakin membaik, hal ini belum mengarah pada pengambilan keputusan akhir menyangkut keterkaitan yang
sepenuhnya dikendalikan di tingkat propinsi atau kabupaten. Manajemen keterkaitan penelitian-penyuluhan
sangat bergantung pada balai-balai di bawah supervisi Badan Litbang Pertanian (AARD-supervised
2
institutes) dan cenderung masih didominasi oleh pendekatan top-down. Mengacu pada kondisi tersebut,
Agbamu (2000) mengklasifikasikan keterkaitan penelitian-penyuluhan di Indonesia ke dalam Tipe D (sistem
keterkaitan penelitian-penyuluhan diken-dalikan secara nasional – pengambilan keputusan masih
terkonsentrasi di balai-balai nasional, dan institusi penelitian-penyuluhan memiliki status operatif yang tidak
sejajar/sama). Sebagai bahan perbandingan, klasifikasi keterkaitan penelitian-penyuluhan di beberapa
negara lain adalah: Jepang (Tipe A), Mexico (Tipe C), Nigeria (Tipe D), Korea Selatan (Tipe B), Tanzania
(Tipe D), dan Thailand (Tipe E).
Studi menyangkut keterkaitan peneliti-penyuluh untuk sub-sektor tanaman pangan dan hortikultura
(Adiyoga, 1994) memberikan gambaran bahwa tingkat partisipasi peneliti dan penyuluh dalam mekanisme-
mekanisme keterkaitan cenderung masih rendah. Mekanisme yang paling menonjol diikuti oleh keduanya
adalah komunikasi personal informal. Peneliti dan penyuluh beranggapan bahwa efektivitas mekanisme
keterkaitan, terutama berkaitan dengan intensitas pertukaran sumberdaya dan informasi masih rendah.
Tingkat koordinasi antara institusi penelitian dan penyuluhan dipersepsi masih rendah, terutama karena
kurangnya keterpaduan program serta terbatasnya ketersediaan sumberdaya. Rendahnya tingkat koordinasi
ini oleh peneliti juga dipersepsi sebagai akibat dari kurangnya tekanan internal untuk berkolaborasi,
sementara itu penyuluh mempersepsi bentuk/sifat (nature) organisasi yang lebih berperan penting sebagai
penyebab rendahnya koordinasi. Ketersediaan dan relevansi teknologi baru dipersepsi moderat baik oleh
peneliti, maupun penyuluh. Persepsi penyuluh menyangkut jumlah teknologi yang diterima ternyata lebih
rendah dibandingkan dengan persepsi peneliti berkenaan dengan jumlah teknologi yang ditawarkan kepada
penyuluh. Dilain pihak, persepsi peneliti menyangkut tingkat promosi dan diseminasi teknologi baru ternyata
lebih rendah dibandingkan dengan persepsi penyuluh. Konflik struktural yang terjadi sebagai akibat dari
kurangnya koordinasi, rendahnya ketersediaan teknologi baru dan keberagaman lingkungan/agro-ekosistem
yang harus ditangani dipersepsi rendah. Sementara itu, konflik operasional yang terutama diakibatkan oleh
kemungkinan adanya konflik struktural, juga dipersepsi jarang terjadi.
Penelitian lebih awal mengenai hubungan antara peneliti dan penyuluh di Indonesia, dengan
penekanan pada aspek komunikasi dan persepsi antara satu dengan lainnya juga telah dilakukan oleh
Seegers dan Kaimowitz (1989). Sebagian besar peneliti (61,5%) berpendapat bahwa penyuluh sangat
dibutuhkan dalam menentukan prioritas penelitian. Walaupun demikian, hanya < 25% peneliti yang
melakukan kontak langsung/personal dengan penyuluh dan frekuensinya ternyata relatif rendah, yaitu
kurang dari satu kali per tahun. Peneliti menyatakan bahwa 33%-55% artikel/laporan yang ditulis pada
dasarnya diarahkan agar dapat dimanfaatkan oleh penyuluh. Lebih dari separuh peneliti pernah terlibat (satu
sampai dua kali setahun) dalam pelatihan-pelatihan yang diselenggarakan penyuluh. Sementara itu,
partisipasi peneliti dalam kegiatan demplot atau temu lapang dinilai rendah. Mayoritas peneliti menganggap
bahwa salah satu penyebab utama non-adopsi teknologi adalah kegiatan penyuluhan yang kurang/tidak
efektif, sebagai akibat dari kurangnya pendidikan dan pelatihan, buruknya insentif serta seringnya pergantian
personil. Di sisi lain, sebagian besar penyuluh tidak meragukan kompetensi teknis peneliti, tetapi banyak
mempertanyakan mengenai belum cukupnya (jumlah) penelitian yang dilaksanakan, penelitian yang
kurang/tidak sesuai dengan kebutuhan serta belum optimalnya upaya peneliti untuk mengkomunikasikan
hasil penelitiannya.
Beberapa studi di atas memberikan gambaran menyangkut status atau perkembangan aspek
keterkaitan penelitian-penyuluhan di Indonesia yang berkaitan erat dengan tingkat kecepatan aplikasi
teknologi baru. Ditinjau dari sisi sistem teknologi pertanian, berbagai perbaikan masih perlu dilakukan, tidak
saja menyangkut penguatan mekanisme keterkaitan, tetapi juga berkenaan dengan fungsionalisasi spesifik
dari masing-masing komponen di dalam sistem. Sebagai contoh, hubungan tata-kerja antara Balai Nasional
dengan BPTP yang telah disepakati ternyata masih belum terefleksi di dalam koordinasi program, bahkan
jenis kegiatan penelitian (komponen teknologi vs paket teknologi) yang dilakukan cenderung tidak jauh
berbeda. Dengan kata lain, ditinjau dari sisi sub-sistem, misalnya dari perspektif penelitian, secara
internalpun ternyata masih banyak hal yang perlu diperbaiki sehubungan dengan upaya percepatan aplikasi
hasil-hasil penelitian.
3
KETERSEDIAAN DAN RELEVANSI TEKNOLOGI HORTIKULTURA
4
1 Ketersediaan Jumlah dan jenis teknologi Tingkat efektivitas promosi Akses input dan pelayanan
yang dihasilkan teknologi bagi calon pengguna
√√√ √ √
2 Relevansi Profitabilitas & Tingkat kepentingan Teknologi dikembangkan
akseptabilitas sosial teknologi berkaitan dengan sebagai respon terhadap
teknologi sistem produksi petani permintaan yang secara
jelas diartikulasikan petani/
pengguna dan penyuluh.
√ √ ?
Percepatan aplikasi teknologi hortikultura pada dasarnya sangat bergantung pada ketersediaan dan
relevansi teknologi itu sendiri. Dalam konteks yang lebih luas, keter-sediaan teknologi hortikultura yang
relevan dengan kebutuhan pengguna hanya mungkin terwujud jika terdapat keterkaitan kuat antara berbagai
sub-sistem dalam sistem teknologi (penelitian - penyuluhan - pengguna). Dari sisi internal penelitian, tanpa
mengecilkan arti upaya promosi, percepatan aplikasi tidak dapat dipungkiri akan berkorelasi positif dengan
ketersediaan teknologi unggulan yang dikembangkan secara partisipatif untuk merespon permintaan yang
diartikulasikan oleh petani/pengguna dan penyuluh (stakeholders). Dengan kata lain, peluang keberhasilan
upaya percepatan aplikasi hasil penelitian akan semakin tinggi jika diawali dengan ketersediaan teknologi
unggulan yang dikembangkan secara partisipatif dan didukung oleh mekanisme diseminasi serta promosi
yang terkoordinasi.
Paradigma penelitian partisipatif berkembang setelah timbulnya kritik tajam bahwa teknologi yang
dikembangkan di luar area aplikasinya, cenderung didasarkan pada asumsi yang salah/kurang tepat
berkenaan dengan kondisi sosial dan lingkungan yang dihadapi petani (Ashby and Sperling, 1994). Hal ini
memberikan penegasan perlunya inkorporasi pengetahuan petani ke dalam proses perancangan teknologi.
Petani berpartisipasi dalam proses diagnosis dan identifikasi masalah, uji coba inovasi , evaluasi serta difusi
inovasi. Tersirat pula bahwa inkorporasi tersebut dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk partisipasi yang
tidak selalu harus berlaku untuk setiap tahapan atau jenis penelitian. Bentuk partisipasi dapat berubah
mengikuti tahapan perkembangan atau jenis kegiatan penelitian. Bentuk partisipasi petani dalam kegiatan
penelitian yang telah/sedang berlangsung atau dapat dikembangkan untuk merakit teknologi unggulan
hortikultura, diantaranya adalah:
5
Kemitraan antara petani dengan peneliti • Pengelolaan hara
• Pemuliaan partisipatif (CGIAR, 2000)
4 Kolegial • PHT
Peneliti mendorong petani untuk melakukan eksperimentasi • Pemilihan atau seleksi benih/bibit
dan penelitian independen
5 Farmer-led • ?
Petani melakukan identifikasi masalah dan merancang
eksperimen untuk memperoleh solusi
Kebijaksanaan Instrumen
• Mempromosikan keterlibatan lembaga swadaya masyarakat • Petunjuk kebijaksanaan (policy guidelines) yang jelas dan
dan organisasi/kelompok tani sebagai jembatan penghubung terfokus mengenai misi, peranan, tanggung-jawab,
antara petani dan peneliti pendanaan serta mekanisme koordinasi dari berbagai pihak
• Meningkatkan kapasitas lembaga swadaya masyarakat dan yang terlibat dalam kemitraan generasi dan difusi teknologi
organisasi/kelompok tani untuk terlibat dalam kegiatan
penelitian dengan meminimalkan hambatan birokratis
• Meningkatkan partisipasi lembaga swadaya masyarakat dan • Perwakilan lembaga swadaya masyarakat dan
organisasi/kelompok tani dalam mendefinisikan agenda organisasi/kelompok tani yang memiliki kapabilitas untuk
penelitian di tingkat lokal, regional dan nasional mendefinisikan agenda penelitian
• Mendorong partisipasi petani (kecil) untuk berpartisipasi • Kesepakatan/perjanjian/kontrak (tertulis) antara lembaga
dalam proses identifikasi dan kreasi inovasi, evaluasi inovasi swadaya masyarakat dan organisasi/ kelompok tani dengan
dan demonstrasi inovasi ke petani lainnya lembaga penelitian
• Dana khusus untuk mempromosikan, melindungi dan
memberikan kompensasi terhadap kreativitas
individual/kolektif, inovasi dan property rights
• Desentralisasi fiskal yang memungkinkan kemudahan
pendelegasian otoritas serta penyediaan sumberdaya bagi
lembaga swadaya masyarakat dan organisasi/kelompok tani
• Memperbaiki penyebaran inovasi petani melalui komunikasi • Pemahaman menyangkut kapasitas inovatif yang dimiliki
6
dari petani ke petani petani sebagai sumber inovasi teknologi
• Promosi lateral, pembelajaran horisontal dari pe-tani ke
petani melalui lokakarya, kunjungan lapang dan penggunaan
metode komunikasi massa
• Melembagakan pelatihan metodologi penelitian partisipatif • Pengiriman peneliti, penyuluh dan petani ke lembaga
kepada peneliti, penyuluh dan petani pelatihan nasional atau internasional yang memiliki reputasi
tinggi di bidang penelitian pengembangan partisipatif
• Pembentukan unit khusus dalam lembaga penelitian
(semacam in-house service bagi peneliti) yang bertanggung
jawab untuk mengidentifikasi kebutuhan dan partisipasi petani
serta berbagai aspek yang dapat memberikan fasilitasi
percepatan diseminasi hasil penelitian dan aliran umpan balik
• Melembagakan mekanisme promosi untuk teknologi • Pembentukan unit promosi yang bertanggung-jawab untuk
unggulan yang dirancang melalui pendekatan partisipatif menentukan strategi promosi dan memilih metode diseminasi
yang paling efektif
DAFTAR PUSTAKA
Adiyoga, W. (1994). Research and extension linkages in technology generation and transfer for food and
horticultural crops, in West Java, Indonesia. Unpublished doctoral dissertation, University of Illinois,
Champaign-Urbana.
Agbamu, J. U. 2000. Agricultural research extension linkage systems: An international perspectives.
Network Paper No. 106a, Agricultural Research and Extension Network, ODI.
Ashby, J.A and L. Sperling. 1994. Institutionalizing participatory, client-driven research and technology
development in agriculture. Network Paper No. 49, Agricultural Research and Extension Network,
ODI.
Bourgeois, R. 1990. Structural linkages for integrating agricultural research and extension. Working Paper
no. 35. International Service for National Agricultural Research.
CGIAR. 2000. Guidelines for developing participatory plant breeding program. Plant Breeding Working
Group, SWP PRGA.
Eponou, T. 1993. Partners in agricultural technology: Linking research and technology transfer to serve
farmers. Research Report No. 1. The Hague: ISNAR.
Eponou, T. 1999. Partners in technology generation and transfer: Linkages between research and
farmers’ organization in three selected African countries. Research Report No. 9. The Hague:
ISNAR.
Johnson, S. H. and E. D. Kellogg. 1984. Extension's role in adapting and evaluating new technology for
farmers. In B. E. Swanson (Ed.), Agricultural extension: A reference manual (pp. 40-55). Rome:
FAO.
Kaimowitz, D., M. Snyder & P. Engel. 1989. A conceptual framework for studying the links between
agricultural research and technology transfer in developing countries (Linkages Theme Paper No. 1).
The Hague: ISNAR.
Merrill-Sands, D., D. Kaimowitz, K. Sayce. & S. Chater. 1989. The technology triangle: Linking farmers,
technology transfer agents, and agricultural researchers. The Hague: ISNAR.
Mukhopadhyay, S. K. 1988. Factors influencing agricultural research and technology: A case study of India.
In I. Ahmed & V. W. Ruttan (eds.), Generation and diffusion of agricultural innovations: The role of
institutional factors (pp. 129-185). Vermont: Gower Publishing Company Ltd.
7
Pineiro, M. E. 1990. Generation and transfer of technology for poor small farmers. In A. M. Kesseba (Ed.),
Technology systems for small farmers: Issues and options (pp. 65-78). Boulder, CO: Westview
Press.
Seegers, S. & D. Kaimowitz. 1989. Relations between agricultural researchers and extension workers: The
survey evidence (Linkages Discussion Paper No. 2). The Hague: ISNAR.
Stoop, W. A. 1988. NARS linkages in technology generation and technology transfer. Working Paper no.
11. International Service for National Agricultural Research.