Professional Documents
Culture Documents
Witono Adiyoga
Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Jl. Tangkuban Perahu 517 Lembang, Bandung - 40391
PENDAHULUAN
Rantai pasokan pertama dan kedua diestimasi menyerap sekitar 80% dari total
pasok sayuran Jawa Barat. Sisanya sekitar 20% dipasarkan melalui rantai pasok
ketiga dan keempat. Gambaran tersebut menunjukkan bahwa rantai pasokan
sayuran di Jawa Barat masih didominasi oleh rantai pasokan tradisional yang outlet
utamanya adalah pasar-pasar tradisional. Volume pasok dari sentra produksi
3
PRODUSEN
TRANSPORTER/PENGANGKUT
TRANSPORTER/PENGANGKUT
KONSUMEN
Tabel 1 Elemen, deskripsi dan nilai tambah dalam rantai pasokan sayuran di Jawa Barat
Outlet untuk sayuran yang berasal dari Lembang dan Pangalengan, Jawa
Barat terutama adalah pasar-pasar lokal, Bandung dan Jakarta. Pedagang lokal dan
antar wilayah yang terlibat di dalam rantai pasokan pada umumnya tidak memiliki
spesialisasi untuk menangani satu jenis komoditi sayuran, tetapi beberapa jenis
komoditas sayuran secara sekaligus. Jumlah pedagang ini secara intuitif dipastikan
akan mempengaruhi perilaku operasionalnya di pasar. Observasi lapangan dan
wawancara petani di Lembang dan Pangalengan mengindikasikan tidak adanya
pedagang atau perusahaan tunggal yang secara individual beroperasi
memaksimalkan keuntungan tanpa ada reaksi dari pedagang atau perusahaan lain
untuk mengganggu harga produk yang sedang berlaku. Dengan kata lain, tidak ada
praktek monopoli di dalam rantai pasokan sayuran dan setiap pedagang atau
perusahaan akan berupaya meningkatkan share pasarnya melalui berbagai strategi
pemasaran yang dimiliki. Produk sayuran yang diperjual-belikan sepanjang rantai
pasokan pada dasarnya homogen. Dalam hal ini, konsumen yang menganggap
bahwa produk dari seorang penjual tidak berbeda dengan produk dari penjual
lainnya. Sebagai contoh, produsen kentang Granola akan sukar meyakinkan
pedagang bahwa kentangnya lebih baik dibandingkan dengan kentang petani lain,
kecuali hanya dari perbedaan visual, misalnya ukuran atau kelas. Pada dasarnya,
partisipan bebas untuk terlibat atau keluar dari rantai pasokan sayuran. Faktor
yang berpengaruh terhadap keluar atau masuknya partisipan dari rantai pasokan,
diantaranya adalah absolute cost advantage dan keunikan manajemen serta
kompetensi teknis yang dimiliki oleh masing-masing partisipan. Perlu dicermati
bahwa pengetahuan pasar sebenarnya tidak hanya mencakup penguasaan informasi
harga dan kualitas produk. Pengetahuan pasar tersebut juga harus mencakup
pengetahuan mengenai aksi yang akan dilakukan oleh kompetitor, maupun
pertimbangan-pertimbangan matang mengenai kondisi pasar pada saat yang akan
datang. Pada batas-batas tertentu, pengetahuan pasar setiap partisipan yang
terlibat dalam rantai pasokan sayuran tampaknya cukup baik dalam mendasari
pengambilan keputusan-keputusan operasional yang dibutuhkan. Berbagai
karakteristik rantai pasokan di atas memberikan gambaran bahwa struktur pasar
yang dihadapi oleh rantai pasokan sayuran di Jawa Barat cenderung mendekati
pasar persaingan sempurna.
Salah satu fenomena menarik dari rantai pasokan sayuran tradisional adalah
penjualan produk secara tebasan. Jenis sayuran yang sering dijual secara tebasan,
diantaranya adalah kubis, petsai, kubis bunga dan sayuran daun lainnya. Seminggu
6
atau tiga minggu sebelum panen, pedagang datang untuk mengestimasi produksi
yang akan dihasilkan, menegosiasikan harga, membayar secara tunai atau
memberikan uang muka, mengambil alih kegiatan pemeliharaan tanaman sampai
panen dan kemudian memasarkan produknya. Beberapa alasan yang melatar-
belakangi sebagian petani di Lembang dan Pangalengan melakukan penjualan
tebasan ini, diantaranya adalah: (a) kebutuhan uang tunai untuk keperluan
mendesak, (b) spekulasi mendapatkan harga tinggi pada saat transaksi, dan (c)
menghindarkan tambahan pengeluaran sampai saat panen. Tabel 2 memberikan
informasi menyangkut metode penjualan, transaksi dan pembeli sayuran.
Table 3 Bagian petani dan marjin pemasaran beberapa sayuran penting di Jawa
Barat, 1999-2003
Dengan kata lain, pedagang tidak memiliki posisi tawar menawar yang cukup
kuat untuk membebankan dampak/akibat dari pergeseran permintaan dan
penawaran kepada produsen maupun konsumen. Lebih lanjut diindikasikan bahwa
variasi harga di tingkat pedagang besar secara umum lebih rendah dibandingkan
dengan variasi marjin tataniaga dan variasi harga di tingkat sentra produksi. Hal ini
menunjukkan bahwa dalam jangka pendek pasar cenderung beroperasi untuk
mempertahankan stabilitas harga di tingkat pedagang besar. Indikasi ini
memberikan penekanan perlunya perbaikan pengelolaan rantai pasokan sayuran
tradisional di Jawa Barat yang lebih memberikan perhatian terhadap upaya
memecahkan instabilitas harga yang cukup tinggi di tingkat sentra produksi.
Secara umum, bagian petani untuk keempat jenis sayuran cukup tinggi dan
merefleksikan tingkat kompetisi yang cukup tinggi di sepanjang rantai pasokan.
Besaran variasi bagian petani secara konsisten selalu lebih rendah dibandingkan
dengan besaran variasi marjin tataniaga. Bagian petani dan marjin tataniaga
biasanya berkorelasi negatif, artinya jika bagian petani meningkat maka marjin
tataniaga akan menurun. Secara implisit hal ini mengimplikasikan adanya
8
keterkaitan yang kuat antara elemen produksi dan elemen pemasaran di dalam
rantai pasokan sayuran tradisional di Jawa Barat.
Proses yang memungkinkan penjual dan pembeli mencapai kesepakatan harga
untuk sejumlah produk di lokasi tertentu dikenal sebagai price discovery. Proses ini
merupakan proses yang bersifat manusiawi, tidak terlepas dari kemungkinan
kesalahan dan sangat dipengaruhi oleh ketersediaan informasi, keterampilan
berdagang serta kekuatan tawar menawar dari pembeli maupun penjual. Sebagai
konsekuensi dari proses tersebut adalah adanya harga yang sangat beragam untuk
transaksi-transaksi berbeda. Tabel 4 menunjukkan bahwa produsen sayuran di
Lembang dan Pangalengan telah mengidentifikasi beberapa faktor dan menyepakati
bahwa faktor terpenting yang mempengaruhi penentuan harga adalah kualitas
produk. Di Lembang urutan kepentingan tersebut kemudian diikuti oleh jenis
pedagang, lokasi transaksi dan tingkat keeratan hubungan dengan pedagang.
Sedangkan di Pangalengan, urutan kepentingan kualitas produk diikuti oleh
kuantitas produk, jenis pedagang, keterkaitan dengan pedagang pemberi
pinjaman/kredit dan lokasi transaksi. Menarik untuk diperhatikan bahwa lebih
banyak petani di Pangalengan yang memiliki hubungan dengan pedagang pemberi
pinjaman. Hubungan keterikatan tersebut akan mengurangi kekuatan tawar
menawar produsen bersangkutan dalam proses penentuan harga.
Hanya sebagian kecil produsen di Lembang dan Pangalengan yang menjual
produknya dan menerima pembayaran tunai segera setelah transaksi. Sistem
pembayaran kemudian tampaknya merupakan metode pembayaran yang paling
umum dilakukan di kedua sentra produksi sayuran tersebut. Paling sedikit ada dua
bentuk pembayaran kemudian, yaitu: (a) seluruh pembayaran dilakukan 2-10 hari
setelah transaksi, dan (b) pembeli/ pedagang memberikan 20-50% uang muka dan
sisanya dibayarkan setelah semua produk habis terjual.
Table 4 Penetapan harga dan metode pembayaran dalam rantai pasokan sayuran
tradisional di Jawa Barat
Σ % Σ %
1 Acuan yang digunakan dalam transaksi penetapan harga:
Kalkulasi biaya/unit produk dan keuntungan yang 2 7.7 2 7.4
diharap
Pengetahuan mengenai harga yang berlaku di pasar 24 92.3 25 92.6
2 Sumber informasi harga:
Media cetak dan/atau elektronik - - - -
Produsen lain 3 11.5 3 11.1
Pedagang 12 46.2 7 25.9
Petani lain dan pedagang 11 42.3 17 63.0
3 Faktor yang dianggap penting dalam penetapan harga:
Kuantitas produk 5 19.2 23 85.2
Kualitas produk 26 100.0 27 100.0
Tempat/lokasi transaksi 13 50.0 8 29.6
Jenis pedagang 20 76.9 20 74.1
Hubungan baik dengan pedagang tertentu 10 38.5 6 22.2
Keterkaitan dengan pedagang pemberi pinjaman 1 3.8 11 40.7
4 Sistem pembayaran yang dlakukan:
Tunai 2 7.7 2 7.4
Kemudian 3 11.5 18 66.7
Tunai dan kemudian 21 80.8 7 25.9
9
Jenis Harga beli Susut Pengke Sortasi Penge- Trans- Profit Harga jual
-lasan masan portasi margin
Rp/kg
Kubis bunga 4 000 240 125 125 200 200 260 5150
Paprika hijau 8 000 480 240 240 400 400 640 10 400
Paprika merah 11 000 660 330 330 550 550 880 14 300
Paprika kuning 11 000 660 330 330 550 550 880 14 300
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Boselie, D., S. Wertheim and M. Overboom. 2003. Best in fresh: Building freshg
produce supply chains. KLICT, Wageningen University.
Development Alternatives Inc. and Center for Development Studies, Bogor
Agricultural University. 2004. Research on supermarket supply chains in
Indonesia. Final Report. DAI – CDS/BAU.
Reardon, T., C.P Timmer and A. Julio Berdegue. 2003. The rise of supermarkets in
Latin America and Asia: Implications for internasional markets for fruits and
vegetables. In: Anita Regmi and Mark Gehlar (eds.), Global markets for high
value food products. Agricultural Information Bulletin, USDA-ERS.
Roekel, J., R. Kopicky, C.J.E. Broekmans and D. Boselie. 2000. Building agri supply
chains: Issues and guidelines. Agricultural Economics Research Institute
(LEI), Wageningen UR
Xiangyang, C., D. Yingchun, H. Kupper. 2003. Designing effective supply chains of
freshg produce initiated by supermarkets in China: A case study on Suguo
Supermarket. Nanjing Agricultural University, China