You are on page 1of 68

Struma (Pembesaran Kelenjar Gondok)

Oleh imrannito

Struma adalah pembesaran kelenjar gondok yang disebabkan oleh penambahan jaringan
kelenjar gondok yang menghasilkan hormaon tiroid dalam jumlah banyak sehingga
menimbulkan keluhan seperti berdebar – debar, keringat, gemetaran, bicara jadi gagap,
mencret, berat badan menurun, mata membesar, penyakit ini dinamakan hipertiroid
(graves’ disease). Ada juga struma yang tidak menimbulkan gejala seperti itu bahkan
tidak ada gejala sama sekali sehingga pasien datang berobat hanya karena keluhan merasa
takut atau risih karena gondoknya membesar, hal ini bisa disebabkan oleh cairan tiroid
(kista tiroid) dan kanker kelenjar tiroid. Struma juga bisa disebakan oleh asupan mineral
yodium yang kurang dalam waktu yang lama (gondok endemik). Pemeriksaan yang
dilakukan adalah mengetahui dulu status horman tiroid dengan pemeriksaan FT4 dan
TSH, USG kelenjar tiroid dan scanning kelenjar tiroid. Pengobatan dari struma ini
tergantung dari status horman tiroid (hipertiroid, eutiroid atau hipotiroid), dari USG
apakah mengandung cairan (kista tiroid) dan dari scanning tiroid (HOT atau COLD)
nodul.

STRUMA NODOSA NON TOKSIK. (PEMBESARAN KEL, TIROID)


STRUMA NODOSA NON TOKSIK

PENGERTIAN
Struma nodosa non toksik merupakan pembesaran kelenjar tiroid yang teraba sebagai
suatu nodul ,tanpa disertai tanda – tanda hipertiroidisme,berdasarkan jumlah nodul
,dibagi :
• Struma mononodosa non toksik
• Struma multinodosa nontoksik

Berdasarkan kemampuan menangkap iodium radioaktif,nodul dibedakan menjadi : nodul


dingin ,nodul hangat,nodul panas,

Sedangkan berdasarkan konsistensinya ,nodul dibedakan menjadi ;nodul lunak ,nodul


kistik, nodul keras,nodul sangat keras,
DIAGNOSIS
Anamnesis :
• Sejak kapan benjolan timbul
• Rasa nyeri spontan atau tidak spontan ,berpindah atau tetap
• Cara membesarkanya : cepat atau lambat
• Pada awalnya berupa satu benjolan yang membesar menjadi beberapa benjolan atau
hanya pembesaran leher saja
• Riwayat keluarga
• Riwayat penyinaran daerah pada waktu kecil/muda
• Perubahan suara
• Gangguan menelan ,sesak nafas
• Penurunan berat badan
• Keluhan tirotoksikosis

Pemeriksaan fisik ;
• Umum
• Local ;
o Nodul tunggal atau majemuk,atau difus
o Nyeri tekan
o Konsistensi
o Permukaan
o Perlekatan pada jaringan sekitarnya
o Pendesakan atau pendorongan trakea
o Pembesaran kelenjar getah bening regional
o Pemberton’s sign

Penilaian risiko keganasan :


Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang mengarahkan diagnostic penyakit tiroid jinak
,tetapi tak sepenuhnya menyingkirkan kemungkinan kanker tiroid :
• Riwayat keluarga dengan struma nodosa atau difusi jinak
• Riwayat keluarga dengan tiroiditis hashimoto atau penyakit tiroid autoimun,
• Gejala hipo atau hipertiroidisme
• Nyeri berhubungan dengan nodul
• Nodul lunak, mudah degerakan
• Multinodul tanpa nodul yang dominant ,dan konsistensi sama.

namnesis dan pemeriksaan fisik yang meningkatkan kecurigaan kearah keganasan tiroid :
• Umur < 20 tahun atau > 70 tahun
• Gender laki- laki
• Nodul disertai disfagi ,serak atau obstruksi jlan napas
• Pertumbuhan nodul cepat ( beberapa minggu – bulan )
• Riwayat radiasi daerah leher waktu usia anak – anak atau dewasa ( juga meningkatkan
insiden penyakit nodul tiroid jinak )
• Riwayat keluarga kanker tiroid meduler
• Nodul yang tunggal ,berbatas tegas ,keras,irregular dan sulit digerakan
• Paralysis pita suara
• Temuan limpadenofati servikal
• Metastasis jauh ( paru-paru ),DLL

Langkah diagnosis I :TSHs FT4


Hasil : non –toksis – langkah diagnostic H :BAJAH nodul tiroid
Hasil ; A ganas
B curiga
C jinak
D tak cukup /sediaan tak representative

DIAGNOSIS BANDING
• Struma nodosa yang terjadi pada peningkatan kebutuhan terhadap tiroksin saat masa
pertumbuhan ,pubertas laktasi,menstruasi,kehamilan menopause,infeksi,stes lain .
• Tiroiditis akut
• Tiroiditis subakut
• Tiroiditis kronis,limpositik (hashimoto),fibrous-invasif ( riedel )
• Simple goiter
• Struma endemic
• Kista tiroid,kista degenerasi
• Adenoma
• Karsinoma tiroid primer,metastatik
• Limfoma

PEMEIKSAAN PENUNJANG
• Laboratorium : T4 atau T3, dan TSHs
• Biosi aspirasi jarum halus ( BAJAH ) nodul tiroid
o Bila hasil laboratorium; non –toksik
o Bila hasil lab,(awal ) toksik,tetapi hasil scan : cold nodule – syrat sudah menjadi
eutiroid,
• USG tiroid
o Pemantau kasus nodul yang tidak diopersi
o Pemendu pada BAJAH
• Sidik tiroid :
o Bila klinis ganas,tetapi hasil sitologi dengan BAJAH ( 2 X );jinakm ,
o Hasil sitologi dengan BAJAH : curiga ganas
• Petanda keganasan tiroid ( bila ada riwayat keluarga dengan karsinoma tiroid
medular,diperiksakan kalsitonik)
• Pemeriksaaan antitiroglobulin bila TSHs meningkat,curiga penyakit hashimoto

TERAPI
Sesuai hasil BAJAH ,maka terapi :
A, Ganas ;------- operasi tirodektomi near total ;
B, curiga ;-------- operasi dengan lebih dulu melakukan potong beku (VC)
Bila hasil = ganas ---- operasi tiroidektomi near total
Bila hasil = jinak ----- operasi lobektomi,atau tiroidektomi near
Total.
--- alternatif ; sidik tiroid,bila hasil = cold nodule --- operasi
C, tak cukup / sediaan tak representatif
Jika nodul solid ( saat BAJAH ); ulang BAJAH.♣
♣ Bila klinis curiga ganas tinggi ----- operasi lobektomi
Bila♣ klinis curiga ganas rendah ----- observasi
Jika nodul kistik (saat♣ BAJAH ) ;aspirasi
Bila kista regresi ---- observasi♣
Bila♣ kista rekurens,klinis curiga ganas rendah ---- observasi
Bila♣ kista rekurens, klinis curiga ganas tinggi ----- operasi lobektomi

D,jinak
* terapi dengan levo-tiroksin ( LT 4) dosis subtoksis .
• Dosis dititrasi mulai 2 x 25 ug ( 3 hari )
• Dilanjutkan 3 x 25 ug ( 3 – 4 hari )
• Bila tidak ada efek samping atau tanda toksis ; dosis - menjadi 2 x 100 ug sampai 4 --- 6
minggu , kemudian evaluasi TSH ( target 0,1 - 0,3 ulU /L)
• Supresi TSH dipertahankan selama 6 bulan
• Evaluasi dengan USG : apakah nodul berhasil mengecil atau tidak ( berhasil bila
mengecil > 50 % dari volume awal )
o Bila nodul mengecil atau tetap --- L – tiroksin dihentikan dan diobservasi;
o Bila setelah itu struma membesar lagi ,maka L-tiroksin dimulsi lagi ( target TSH 0,1 –
0,3 ul U/L )
o Bila setelah 1- tiroksin dihentikan ,struma tidak berubah ,diobservasi saja.
o Bila nodul membesar dalam 6 bulan atau saat terapi supresi --- obat dihentikan dan
operasi tiroidektomi dan dilakukan pemeriksaan histopatologi --- hasi PA :
♣ Jinak teapi dengan L_tiroksin ; target TSH 0,5 – 3,0 uI U/L
Ganas♣ terapi L-tiroksin
• Individu dengan risiko ganas tinggi :target TSH < 0,01 – 0,05 uI U/L
• Individu dengan risiko ganas rendah : target TSH 0,05 – 0,1 uI U / L

STRUMA
Disusun Oleh

Muhammad Akbar

Defenisi

Kelainan glandula tyroid dapat berupa gangguan fungsi seperti tiritosikosis atau
perubahan susunan kelenjar dan morfologinya, seperti penyakit tyroid noduler.
Berdasarkan patologinya, pembesaran tyroid umumnya disebut struma (De Jong &
Syamsuhidayat, 1998).

Embriologi

Kelenjar tyroid berkembang dari endoderm pada garis tengah usus depan (De
Jong & Syamsuhidayat, 1998). Kelenjar tyroid mulai terlihat terbentuk pada janin
berukuran 3,4-4 cm, yaitu pada akhir bulan pertama kehamilan. Kelenjar tyroid berasal
dari lekukan faring antara branchial pouch pertama dan kedua. Dari bagian tersebut
timbul divertikulum, yang kemudian membesar, tumbuh ke arah bawah mengalami
desensus dan akhirnya melepaskan diri dari faring. Sebelum lepas, berbentuk sebagai
duktus tyroglossus yang berawal dari foramen sekum di basis lidah.

Duktus ini akan menghilang setelah dewasa, tetapi pada keadaan tertentu masih
menetap. Dan akan ada kemungkinan terbentuk kelenjar tyroid yang letaknya abnormal,
seperti persisten duktud tyroglossus, tyroid servikal, tyroid lingual, sedangkan desensus
yang terlalu jauh akan membentuk tyroid substernal. Branchial pouch keempat ikut
membentuk kelenjar tyroid, merupakan asal sel-sel parafolikular atau sel C, yang
memproduksi kalsitonin.(IPD I). Kelenjar tyroid janin secara fungsional mulai mandiri
pada minggu ke-12 masa kehidupan intrauterin. (De Jong & Syamsuhidayat, 1998).

Anatomi

Kelenjar tyroid terletak dibagian bawah leher, antara fascia koli media dan fascia
prevertebralis. Didalamruang yang sama terletak trakhea, esofagus, pembuluh darah
besar, dan syaraf. Kelenjar tyroid melekat pada trakhea sambil melingkarinya dua pertiga
sampai tiga perempat lingkaran. Keempat kelenjar paratyroid umumnya terletak pada
permukaan belakang kelenjar tyroid (De Jong & Syamsuhidayat, 1998).

Tyroid terdiri atas dua lobus, yang dihubungkan oleh istmus dan menutup cincin
trakhea 2 dan 3. Kapsul fibrosa menggantungkan kelenjar ini pada fasia pretrakhea
sehingga pada setiap gerakan menelan selalu diikuti dengan terangkatnya kelenjar kearah
kranial. Sifat ini digunakan dalam klinik untuk menentukan apakah suatu bentukan di
leher berhubungan dengan kelenjar tyroid atau tidak (Djokomoeljanto, 2001).

Vaskularisasi kelenjar tyroid berasal dari a. Tiroidea Superior (cabang dari a.


Karotis Eksterna) dan a. Tyroidea Inferior (cabang a. Subklavia). Setiap folikel lymfoid
diselubungi oleh jala-jala kapiler, dan jala-jala limfatik, sedangkan sistem venanya
berasal dari pleksus perifolikular (Djokomoeljanto, 2001).

Nodus Lymfatikus tyroid berhubungan secara bebas dengan pleksus trakhealis


yang kemudian ke arah nodus prelaring yang tepat di atas istmus, dan ke nl. Pretrakhealis
dan nl. Paratrakhealis, sebagian lagi bermuara ke nl. Brakhiosefalika dan ada yang
langsung ke duktus thoraksikus. Hubungan ini penting untuk menduga penyebaran
keganasan (Djokomoeljanto, 2001).

Histologi

Pada usia dewasa berat kelenjar ini kira-kira 20 gram. Secara mikroskopis terdiri
atas banyak folikel yang berbentuk bundar dengan diameter antara 50-500 µm. Dinding
folikel terdiri dari selapis sel epitel tunggal dengan puncak menghadap ke dalam lumen,
sedangkan basisnya menghadap ke arah membran basalis. Folikel ini berkelompok
sebanyak kira-kira 40 buah untuk membentuk lobulus yang mendapat vaskularisasi dari
end entry. Setiap folikel berisi cairan pekat, koloid sebagian besar terdiri atas protein,
khususnya protein tyroglobulin (BM 650.000) (Djokomoeljanto, 2001)

Fisiologi Hormon Tyroid

Kelenjar tyroid menghasilkan hormon tyroid utama yaitu Tiroksin (T4). Bentuk
aktif hormon ini adalah Triodotironin (T3), yang sebagian besar berasal dari konversi
hormon T4 di perifer, dan sebagian kecil langsung dibentuk oleh kelenjar tyroid. Iodida
inorganik yang diserap dari saluran cerna merupakan bahan baku hormon tyroid. Iodida
inorganik mengalami oksidasi menjadi bentuk organik dan selanjutnya menjadi bagian
dari tyrosin yang terdapat dalam tyroglobulin sebagai monoiodotirosin (MIT) atau
diiodotyrosin (DIT). Senyawa DIT yang terbentuk dari MIT menghasilkan T3 atau T4
yang disimpan di dalam koloid kelenjar tyroid.

Sebagian besar T4 dilepaskan ke sirkulasi, sedangkan sisanya tetap didalam


kelenjar yang kemudian mengalami diiodinasi untuk selanjutnya menjalani daur ulang.
Dalam sirkulasi, hormon tyroid terikat pada globulin, globulin pengikat tyroid (thyroid-
binding globulin, TBG) atau prealbumin pengikat tiroksin (Thyroxine-binding pre-
albumine, TPBA) (De Jong & Syamsuhidayat, 1998).

Metabolisme T3 dan T4

Waktu paruh T4 di plasma ialah 6 hari sedangkan T3 24-30 jam. Sebagian T4


endogen (5-17%) mengalami konversi lewat proses monodeiodonasi menjadi T3.
Jaringan yang mempunyai kapasitas mengadakan perubahan ini ialah jaringan hati, ginjal,
jantung dan hipofisis. Dalam proses konversi ini terbentuk juga rT3 (reversed T3, 3,3’,5’
triiodotironin) yang tidak aktif, yang digunakan mengatur metabolisme pada tingkat
seluler (Djokomoeljanto, 2001).

Pengaturan faal tiroid :

Ada 4 macam kontrol terhadap faal kelenjar tiroid : (Djokomoeljanto, 2001)

1. TRH (Thyrotrophin releasing hormone)

Tripeptida yang disentesis oleh hpothalamus. Merangsang hipofisis mensekresi


TSH (thyroid stimulating hormone) yang selanjutnya kelenjar tiroid teransang
menjadi hiperplasi dan hiperfungsi

2. TSH (thyroid stimulating hormone)

Glikoprotein yang terbentuk oleh dua sub unit (alfa dan beta). Dalam sirkulasi
akan meningkatkan reseptor di permukaan sel tiroid (TSH-reseptor-TSH-R) dan
terjadi efek hormonal yaitu produksi hormon meningkat
3. Umpan Balik sekresi hormon (negative feedback).

Kedua hormon (T3 dan T4) ini menpunyai umpan balik di tingkat hipofisis.
Khususnya hormon bebas. T3 disamping berefek pada hipofisis juga pada tingkat
hipotalamus. Sedangkan T4 akan mengurangi kepekaan hipifisis terhadap
rangsangan TSH.

4. Pengaturan di tingkat kelenjar tiroid sendiri.

Produksi hormon juga diatur oleh kadar iodium intra tiroid

Efek metabolisme Hormon Tyroid : (Djokomoeljanto, 2001)

1. Kalorigenik
2. Termoregulasi
3. Metabolisme protein. Dalam dosis fisiologis kerjanya bersifat anabolik, tetapi
dalam dosis besar bersifat katabolik
4. Metabolisme karbohidrat. Bersifat diabetogenik, karena resorbsi intestinal
meningkat, cadangan glikogen hati menipis, demikian pula glikogen otot menipis
pada dosis farmakologis tinggi dan degenarasi insulin meningkat.
5. Metabolisme lipid. T4 mempercepat sintesis kolesterol, tetapi proses degradasi
kolesterol dan ekspresinya lewat empedu ternyata jauh lebih cepat, sehingga pada
hiperfungsi tiroid kadar kolesterol rendah. Sebaliknya pada hipotiroidisme
kolesterol total, kolesterol ester dan fosfolipid meningkat.
6. Vitamin A. Konversi provitamin A menjadi vitamin A di hati memerlukan
hormon tiroid. Sehingga pada hipotiroidisme dapat dijumpai karotenemia.
7. Lain-lain : gangguan metabolisme kreatin fosfat menyebabkan miopati, tonus
traktus gastrointestinal meninggi, hiperperistaltik sehingga terjadi diare, gangguan
faal hati, anemia defesiensi besi dan hipotiroidisme.

Klasifikasi Struma
Pembesaran kelenjar tiroid (kecuali keganasan)

Menurut American society for Study of Goiter membagi :

1. Struma Non Toxic Diffusa


2. Struma Non Toxic Nodusa
3. Stuma Toxic Diffusa
4. Struma Toxic Nodusa

Istilah Toksik dan Non Toksik dipakai karena adanya perubahan dari segi fungsi
fisiologis kelenjar tiroid seperti hipertiroid dan hipotyroid, sedangkan istilah nodusa dan
diffusa lebih kepada perubahan bentuk anatomi.

1. Struma non toxic nodusa

Adalah pembesaran dari kelenjar tiroid yang berbatas jelas tanpa gejala-gejala
hipertiroid.

Etiologi : Penyebab paling banyak dari struma non toxic adalah kekurangan
iodium. Akan tetapi pasien dengan pembentukan struma yang sporadis,
penyebabnya belum diketahui. Struma non toxic disebabkan oleh beberapa hal,
yaitu :

1. Kekurangan iodium: Pembentukan struma terjadi pada difesiensi sedang


yodium yang kurang dari 50 mcg/d. Sedangkan defisiensi berat iodium
adalah kurang dari 25 mcg/d dihubungkan dengan hypothyroidism dan
cretinism.
2. Kelebihan yodium: jarang dan pada umumnya terjadi pada preexisting
penyakit tiroid autoimun
3. Goitrogen :
 Obat : Propylthiouracil, litium, phenylbutazone,
aminoglutethimide, expectorants yang mengandung yodium
 Agen lingkungan : Phenolic dan phthalate ester derivative dan
resorcinol berasal dari tambang batu dan batubara.
 Makanan, Sayur-Mayur jenis Brassica ( misalnya, kubis, lobak
cina, brussels kecambah), padi-padian millet, singkong, dan goitrin
dalam rumput liar.
4. Dishormonogenesis: Kerusakan dalam jalur biosynthetic hormon kelejar
tiroid
5. Riwayat radiasi kepala dan leher : Riwayat radiasi selama masa kanak-
kanak mengakibatkan nodul benigna dan maligna (Lee, 2004)

2. Struma Non Toxic Diffusa

Etiologi : (Mulinda, 2005)

1. Defisiensi Iodium
2. Autoimmun thyroiditis: Hashimoto oatau postpartum thyroiditis
3. Kelebihan iodium (efek Wolff-Chaikoff) atau ingesti lithium, dengan
penurunan pelepasan hormon tiroid.
4. Stimulasi reseptor TSH oleh TSH dari tumor hipofisis, resistensi hipofisis
terhadap hormo tiroid, gonadotropin, dan/atau tiroid-stimulating
immunoglobulin
5. Inborn errors metabolisme yang menyebabkan kerusakan dalam
biosynthesis hormon tiroid.
6. Terpapar radiasi
7. Penyakit deposisi
8. Resistensi hormon tiroid
9. Tiroiditis Subakut (de Quervain thyroiditis)
10. Silent thyroiditis
11. Agen-agen infeksi
12. Suppuratif Akut : bacterial
13. Kronik: mycobacteria, fungal, dan penyakit granulomatosa parasit
14. Keganasan Tiroid
2. Struma Toxic Nodusa

Etiologi : (Davis, 2005)

1. Defisiensi iodium yang mengakibatkan penurunan level T4


2. Aktivasi reseptor TSH
3. Mutasi somatik reseptor TSH dan Protein Gα
4. Mediator-mediator pertumbuhan termasuk : Endothelin-1 (ET-1), insulin like
growth factor-1, epidermal growth factor, dan fibroblast growth factor.

4. Struma Toxic Diffusa

Yang termasuk dalam struma toxic difusa adalah grave desease, yang merupakan
penyakit autoimun yang masih belum diketahui penyebab pastinya (Adediji,2004)

Patofisiologi :

Gangguan pada jalur TRH-TSH hormon tiroid ini menyebabkan perubahan dalam
struktur dan fungsi kelenjar tiroid gondok. Rangsangan TSH reseptor tiroid oleh TSH,
TSH-Resepor Antibodi atau TSH reseptor agonis, seperti chorionic gonadotropin, akan
menyebabkan struma diffusa. Jika suatu kelompok kecil sel tiroid, sel inflamasi, atau sel
maligna metastase ke kelenjar tiroid, akan menyebabkan struma nodusa (Mulinda, 2005)

Defesiensi dalam sintesis atau uptake hormon tiroid akan menyebabkan


peningkatan produksi TSH. Peningkatan TSH menyebabkan peningkatan jumlah dan
hiperplasi sel kelenjar tyroid untuk menormalisir level hormon tiroid. Jika proses ini terus
menerus, akan terbentuk struma. Penyebab defisiensi hormon tiroid termasuk inborn error
sintesis hormon tiroid, defisiensi iodida dan goitrogen (Mulinda, 2005)

Struma mungkin bisa diakibatkan oleh sejumlah reseptor agonis TSH. Yang
termasuk stimulator reseptor TSH adalah reseptor antibodi TSH, kelenjar hipofise yang
resisten terhadap hormon tiroid, adenoma di hipotalamus atau di kelenjar hipofise, dan
tumor yang memproduksi human chorionic gonadotropin (Mulinda, 2005)
DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN

Diagnosis disebut lengkap apabila dibelakang struma dicantumkan keterangan lainnya,


yaitu morfologi dan faal struma.

Dikenal beberapa morfologi (konsistensi) berdasarkan gambaran makroskopis yang


diketahui dengan palpasi atau auskultasi :

1. Bentuk kista : Struma kistik

 Mengenai 1 lobus
 Bulat, batas tegas, permukaan licin, sebesar kepalan
 Kadang Multilobaris
 Fluktuasi (+)

2. Bentuk Noduler : Struma nodusa

 Batas Jelas
 Konsistensi kenyal sampai keras
 Bila keras curiga neoplasma, umumnya berupa adenocarcinoma
tiroidea

3. Bentuk diffusa : Struma diffusa

 batas tidak jelas


 Konsistensi biasanya kenyal, lebih kearah lembek

4. Bentuk vaskuler : Struma vaskulosa

 Tampak pembuluh darah


 Berdenyut
 Auskultasi : Bruit pada neoplasma dan struma vaskulosa
 Kelejar getah bening : Para trakheal dan jugular vein
Dari faalnya struma dibedakan menjadi :

1. Eutiroid
2. Hipotiroid
3. Hipertiroid

Berdasarkan istilah klinis dibedakan menjadi :

1. Nontoksik : eutiroid/hipotiroid
2. Toksik : Hipertiroid

Pemeriksaan Fisik :

Status Generalis :

1. Tekanan darah meningkat


2. Nadi meningkat
3. Mata :

 Exopthalmus
 Stelwag Sign : Jarang berkedip
 Von Graefe Sign : Palpebra superior tidak mengikut bulbus okuli
waktu melihat ke bawah
 Morbus Sign : Sukar konvergensi
 Joffroy Sign : Tidak dapat mengerutkan dahi
 Ressenbach Sign : Temor palpebra jika mata tertutup

4. Hipertroni simpatis : Kulit basah dan dingin, tremor halus


5. Jantung : Takikardi

Status Lokalis :

1. Inspeksi

 Benjolan
 Warna
 Permukaan
 Bergerak waktu menelan

2. Palpasi

 Permukaan, suhu
 Batas :

Atas : Kartilago tiroid

Bawah : incisura jugularis

Medial : garis tengah leher

Lateral : M. Sternokleidomastoideus

STRUMA NON TOKSIK

Struma non toksik adalah pembesaran kelenjar tiroid pada pasien eutiroid, tidak
berhubungan dengan neoplastik atau proses inflamasi. Dapat difus dan simetri atau
nodular.

Apabila dalam pemeriksaan kelenjar tiroid teraba suatu nodul, maka pembesaran
ini disebut struma nodosa. Struma nodosa tanpa disertai tanda-tanda hipertiroidisme
disebut struma nodosa non-toksik. Struma nodosa atau adenomatosa terutama ditemukan
di daerah pegunungan karena defisiensi iodium. Biasanya tiroid sudah mlai membesar
pada usia muda dan berkembang menjadi multinodular pada saat dewasa. Struma
multinodosa terjadi pada wanita usia lanjut dan perubahan yang terdapat pada kelenjar
berupa hiperplasi sampai bentuk involusi. Kebanyakan penderita struma nodosa tidak
mengalami keluhan karena tidak ada hipotiroidisme atau hipertiroidisme. Nodul mungkin
tunggal tetapi kebanyakan berkembang menjadi multinoduler yang tidak berfungsi.
Degenerasi jaringan menyebabkan kista atau adenoma. Karena pertumbuhannya sering
berangsur-angsur, struma dapat menjadi besar tanpa gejala kecuali benjolan di leher.
Walaupun sebagian struma nodosa tidak mengganggu pernapasan karena menonjol ke
depan, sebagian lain dapat menyebabkan penyempitan trakea jika pembesarannya
bilateral. Pendorongan bilateral demikian dapat dicitrakan dengan foto Roentgen polos
(trakea pedang). Penyempitan yang berarti menyebabkan gangguan pernapasan sampai
akhirnya terjadi dispnea dengan stridor inspirator (Noer, 1996) .

Manifestasi klinis

Struma nodosa dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa hal (Mansjoer, 2001) :

1. Berdasarkan jumlah nodul : bila jumlah nodul hanya satu disebut struma nodosa
soliter (uninodosa) dan bila lebih dari satu disebut multinodosa.
2. Berdasarkan kemampuan menangkap yodium radoiaktif : nodul dingin, nodul
hangat, dan nodul panas.
3. Berdasarkan konsistensinya : nodul lunak, kistik, keras, atau sangat keras.

Pada umumnya pasien struma nodosa datang berobat karena keluhan kosmetik
atau ketakutan akan keganasan. Sebagian kecil pasien, khususnya yang dengan struma
nodosa besar, mengeluh adanya gejala mekanis, yaitu penekanan pada esophagus
(disfagia) atau trakea (sesak napas) (Noer, 1996). Gejala penekanan ini data juga oleh
tiroiditis kronis karena konsistensinya yang keras (Tim penyusun, 1994). Biasanya tidak
disertai rasa nyeri kecuali bila timbul perdarahan di dalam nodul (Noer, 1996).

Keganasan tiroid yang infiltrasi nervus rekurens menyebabkan terjadinya suara


parau (Tim penyusun, 1994).

Kadang-kadang penderita datang dengan karena adanya benjolan pada leher


sebelah lateral atas yang ternyata adalah metastase karsinoma tiroid pada kelenjar getah
bening, sedangkan tumor primernya sendiri ukurannya masih kecil. Atau penderita
datang karena benjolan di kepala yang ternyata suatu metastase karsinoma tiroid pada
kranium (Tim penyusun, 1994).

Diagnosis

Anamnesa sangatlah pentinglah untuk mengetahui patogenesis atau macam


kelainan dari struma nodosa non toksika tersebut. Perlu ditanyakan apakah penderita dari
daerah endemis dan banyak tetangga yang sakit seperti penderita (struma endemik).
Apakah sebelumnya penderita pernah mengalami sakit leher bagian depan bawah disertai
peningkatan suhu tubuh (tiroiditis kronis). Apakah ada yang meninggal akibat penyakit
yang sama dengan penderita (karsinoma tiroid tipe meduler) (Tim penyusun, 1994).

Pada status lokalis pemeriksaan fisik perlu dinilai (Mansjoer, 2001) :

1. jumlah nodul
2. konsistensi
3. nyeri pada penekanan : ada atau tidak
4. pembesaran gelenjar getah bening

Inspeksi dari depan penderita, nampak suatu benjolan pada leher bagian depan
bawah yang bergerak ke atas pada waktu penderita menelan ludah. Diperhatikan kulit di
atasnya apakah hiperemi, seperti kulit jeruk, ulserasi.

Palpasi dari belakang penderita dengan ibu jari kedua tangan pada tengkuk
penderita dan jari-jari lain meraba benjolan pada leher penderita.

Pada palpasi harus diperhatikan :

o lokalisasi benjolan terhadap trakea (mengenai lobus kiri, kanan atau


keduanya)
o ukuran (diameter terbesar dari benjolan, nyatakan dalam sentimeter)
o konsistensi
o mobilitas
o infiltrat terhadap kulit/jaringan sekitar
o apakah batas bawah benjolan dapat diraba (bila tak teraba mungkin ada
bagian yang masuk ke retrosternal)

Meskipun keganasan dapat saja terjadi pada nodul yang multiple, namun pada
umumnya pada keganasan nodulnya biasanya soliter dan konsistensinya keras sampai
sangat keras. Yang multiple biasanya tidak ganas kecuali bila salah satu nodul tersebut
lebih menonjol dan lebih keras dari pada yang lainnya.

Harus juga diraba kemungkinan pembesaran kelenjar getah bening leher,


umumnya metastase karsinoma tiroid pada rantai juguler (Tim penyusun, 1994).

Pemeriksaan penunjang meliputi (Mansjoer, 2001) :

1. Pemeriksaan sidik tiroid

Hasil pemeriksaan dengan radioisotop adalah teraan ukuran, bentuk lokasi,


dan yang utama ialah fungsi bagian-bagian tiroid. Pada pemeriksaan ini pasien
diberi Nal peroral dan setelah 24 jam secara fotografik ditentukan konsentrasi
yodium radioaktif yang ditangkap oleh tiroid. Dari hasil sidik tiroid dibedakan
3 bentuk :

o nodul dingin bila penangkapan yodium nihil atau kurang dibandingkan


sekitarnya. Hal ini menunjukkan sekitarnya.
o Nodul panas bila penangkapan yodium lebih banyak dari pada sekitarnya.
Keadaan ini memperlihatkan aktivitas yang berlebih.
o Nodul hangat bila penangkapan yodium sama dengan sekitarnya. Ini
berarti fungsi nodul sama dengan bagian tiroid yang lain.

2. Pemeriksaan Ultrasonografi (USG)

Pemeriksaan ini dapat membedakan antara padat, cair, dan beberapa bentuk
kelainan, tetapi belum dapat membedakan dengan pasti ganas atau jinak.
Kelainan-kelainan yang dapat didiagnosis dengan USG :
o kista
o adenoma
o kemungkinan karsinoma
o tiroiditis

3. Biopsi aspirasi jarum halus (Fine Needle Aspiration/FNA)

Mempergunakan jarum suntik no. 22-27. Pada kista dapat juga dihisap cairan
secukupnya, sehingga dapat mengecilkan nodul (Noer, 1996).

Dilakukan khusus pada keadaan yang mencurigakan suatu keganasan. Biopsi


aspirasi jarum halus tidak nyeri, hampir tidak menyababkan bahaya
penyebaran sel-sel ganas. Kerugian pemeriksaan ini dapat memberika hasil
negatif palsu karena lokasi biopsi kurang tepat, teknik biopsi kurang benar,
pembuatan preparat yang kurang baik atau positif palsu karena salah
interpretasi oleh ahli sitologi.

4. Termografi

Metode pemeriksaan berdasarkan pengukuran suhu kulit pada suatu tempat


dengan memakai Dynamic Telethermography. Pemeriksaan ini dilakukan
khusus pada keadaan yang mencurigakan suatu keganasan. Hasilnya disebut
panas apabila perbedaan panas dengan sekitarnya > 0,9o C dan dingin apabila
<>o C. Pada penelitian Alves didapatkan bahwa pada yang ganas semua
hasilnya panas. Pemeriksaan ini paling sensitif dan spesifik bila dibanding
dengan pemeriksaan lain.

5. Petanda Tumor

Pada pemeriksaan ini yang diukur adalah peninggian tiroglobulin (Tg) serum.
Kadar Tg serum normal antara 1,5-3,0 ng/ml, pada kelainan jinak rataa-rata
323 ng/ml, dan pada keganasan rata-rata 424 ng/ml.
Penatalaksanaan

Indikasi operasi pada struma nodosa non toksika ialah (tim penyusun, 1994) :

1. keganasan
2. penekanan
3. kosmetik

Tindakan operasi yang dikerjakan tergantung jumlah lobus tiroid yang terkena. Bila
hanya satu sisi saja dilakukan subtotal lobektomi, sedangkan kedua lobus terkena
dilakukan subtotal tiroidektomi. Bila terdapat pembesaran kelenjar getah bening leher
maka dikerjakan juga deseksi kelenjar leher funsional atau deseksi kelenjar leher
radikal/modifikasi tergantung ada tidaknya ekstensi dan luasnya ekstensi di luar kelenjar
getah bening.

Radioterapi diberikan pada keganasan tiroid yang :

1. inoperabel
2. kontraindikasi operasi
3. ada residu tumor setelah operasi
4. metastase yang non resektabel

Hormonal terapi dengan ekstrak tiroid diberikan selain untuk suplemen juga
sebagai supresif untuk mencegah terjadinya kekambuhan pada pasca bedah karsinoma
tiroid diferensiasi baik (TSH dependence). Terapai supresif ini juga ditujukan terhadap
metastase jauh yang tidak resektabel dan terapi adjuvan pada karsinoma tiroid
diferensiasi baik yang inoperabel.

Preparat : Thyrax tablet

Dosis : 3x75 Ug/hari p.o


STRUMA TOKSIK

Struma difus toksik (Grave’s Disease)

Grave’s disease adalah bentuk umum dari tirotoksikosis. Penyakit Grave’s terjadi
akibat antibodi reseptor TSH (Thyroid Stimulating Hormone) yang merangsangsang
aktivitas tiroid itu sendiri (Mansjoer, 2001).

Manifestasi klinis

Pada penyakit Graves terdapat dua gambaran utama yaitu tiroidal dan
ekstratiroidal. Keduanya mungkin tidak tampak. Ciri- ciri tiroidal berupa goiter akibat
hiperplasia kelenjar tiroid dan hipertiroidisme akibat sekresi hormon tiroid yang
berlebihan (Price dan Wilson, 1994).

Gejala-gejala hipertiroidisme berupa manifestasi hipermetabolisme dan aktivitas


simpatis yang berlebihan. Pasien mengeluh lelah, gemetar, tidak tahan panas, keringat
semakin banyak bila panas, kulit lembab, berat badan menurun, sering disertai dengan
nafsu makan meningkat, palpitasi, takikardi, diare, dan kelemahan serta atrofi otot.
Manifestasi ekstratiroidal berupa oftalmopati dan infiltrasi kulit lokal yang biasanya
terbatas pada tungkai bawah. Oftalmopati ditandai dengan mata melotot, fisura palpebra
melebar, kedipan berkurang, lid lag (keterlambatan kelopak mata dalam mengikuti
gerakan mata), dan kegagalan konvergensi. Jaringan orbita dan dan otot-otot mata
diinfltrasi oleh limfosit, sel mast dan sel-sel plasma yang mengakibatkan eksoltalmoa
(proptosis bola mata), okulopati kongestif dan kelemahan gerakan ekstraokuler (Price dan
Wilson, 1994).

Diagnosis

Sebagian besar pasien memberikan gejala klinis yang jelas, tetapi pemeriksaan
laboratorium tetap perlu untuk menguatkan diagnosis. Pada kasus-kasus subklinis dan
pasien usia lanjut perlu pemeriksaan laboratorium yang cermat untuk membantu
menetapkan diagnosis hipertiroidisme. Diagnosis pada wanita hamil agak sulit karena
perubahan fisiologis pada kehamilan pembesaran tiroid serta manifestasi hipermetabolik,
sama seperti tirotoksikosis. Menurut Bayer MF, pada pasien hipertiroidisme akan
didapatkan Thyroid Stimulating Hormone sensitive (TSHs) tak terukur atau jelas
subnormal dan Free T4 (FT4) meningkat (Mansjoer, 2001).

Penatalaksanaan

Tujuan pengobatan hipertiroidisme adalah membatasi produksi hormon tiroid yang


berlebihan dengan cara menekan produksi (obat antitiroid) atau merusak jaringan tiroid
(yodium radioaktif, tiroidektomi subtotal).

1. Obat antitiroid

Indikasi :

1. terapi untuk memperpanjang remisi atau mendapatkan remisi yang


menetap, pada pasien muda dengan struma ringan sampai sedang dan
tirotoksikosis.
2. Obat untuk mengontrol tirotoksikosis pada fase sebelum pengobatan, atau
sesudah pengobatan pada pasien yang mendapat yodium aktif.
3. Persiapan tiroidektomi
4. Pengobatan pasien hamil dan orang lanjut usia
5. Pasien dengan krisis tiroid

Obat antitiroid yang sering digunakan :

Obat Dosis awal (mg/hari) Pemeliharaan (mg/hari)

Karbimazol 30-60 5-20

Metimazol 30-60 5-20

Propiltourasil 300-600 5-200


2. Pengobatan dengan yodium radioaktif

Indikasi :

1. pasien umur 35 tahun atau lebih


2. hipertiroidisme yang kambuh sesudah penberian dioperasi
3. gagal mencapai remisi sesudah pemberian obat antitiroid
4. adenoma toksik, goiter multinodular toksik
2. Operasi

Tiroidektomi subtotal efektif untuk mengatasi hipertiroidisme. Indikasi :

1. pasien umur muda dengan struma besar serta tidak berespons terhadap
obat antitiroid.
2. pada wanita hamil (trimester kedua) yang memerlukan obat antitiroid
dosis besar
3. alergi terhadap obat antitiroid, pasien tidak dapat menerima yodium
radioaktif
4. adenoma toksik atau struma multinodular toksik
5. pada penyakit Graves yang berhubungan dengan satu atau lebih nodul

Struma nodular toksik

Struma nodular toksik juga dikenal sebagai Plummer’s disease (Sadler et al,
1999). Paling sering ditemukan pada pasien lanjut usia sebagai komplikasi goiter nodular
kronik.

Manifestasi klinis
Penderita mungkin mengalami aritmia dan gagal jantung yang resisten terhadap
terapi digitalis. Penderita dapat pula memperlihatkan bukti-bukti penurunan berat badan,
lemah, dan pengecilan otot. Biasanya ditemukan goiter multi nodular pada pasien-pasien
tersebut yang berbeda dengan pembesaran tiroid difus pada pasien penyakit Graves.
Penderita goiter nodular toksik mungkin memperlihatkan tanda-tanda mata (melotot,
pelebaran fisura palpebra, kedipan mata berkurang) akibat aktivitas simpatis yang
berlebihan. Meskipun demikian, tidak ada manifestasi dramatis oftalmopati infiltrat
seperti yang terlihat pada penyakit Graves (Price dan Wilson, 1994). Gejala disfagia dan
sesak napas mungkin dapat timbul. Beberapa goiter terletak di retrosternal (Sadler et al,
1999)

Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat, pemeriksaan fisik dan didukung oleh


tingkat TSH serum menurun dan tingkat hormon tiroid yang meningkat. Antibodi
antitiroid biasanya tidak ditemukan (Sadler et al, 1999)

Penatalaksanaan

Terapi dengan pengobatan antitiroid atau beta bloker dapt mengurangi gejala
tetapi biasanya kurang efektif dari pada penderita penyakit Graves. Radioterapi tidak
efektif seperti penyakit Graves karena pengambilan yang rendah dan karena penderita ini
membutuhkan dosis radiasi yang besar. Untuk nodul yang soliter, nodulektomi atau
lobektomi tiroid adalah terapi pilihan karena kanker jarang terjadi. Untuk struma
multinodular toksik, lobektomi pada satu sisi dan subtotal lobektomi pada sisi yang lain
adalah dianjurkan (Sadler et al, 1999)

PENYAKIT TIROID YANG LAIN

Tiroiditis

Ditandai dengan pembesaran, peradangan dan disfungsi kelenjar tiroid.


Klasifikasi (Noer, 1996) :

1. Akut (supuratif)

Disebut juga infective thyroiditis, infeksi oleh bakteri atau jamur. Bentuk khas
infeksi bakterial ini ialah tiroiditis septik akut. Kuman penyebab antara lain
Staphylococcus aureus, Streptococcus hemolyticus, dan Pneumococcus. Infeksi
terjadi melalui aliran darah, penyebaran langsung dari jaringan sekitarnya, saluran
getah bening, trauma langsung dan duktus tiroglosus yang persisten. Kelainan
yang tejadi dapat disertai abses atau tanpa abses. Gejala klinis berupa nyeri di
leher mendadak, malaise, demam, menggigil, dan takikardi. Nyeri bertambah
pada pergerakan leher dan gerakan menelan. Daerah tiroid membengkak dengan
tanda-tanda radang lain dan sangat nyeri tekan. Pemeriksaan laboratorium
menunjukkan leukositosis, LED meninggi, sidikan tiroid menunjukkan nodul
dingin. Pengobatan utama adalah antibiotik. Kokus gram positif biasanya diatasi
dengan penisilin atau derivatnya, tetrasiklin atan kloramfenikol. Apabila terjadi
abses melibatkan satu lobus diperlukan lobektomi (dengan lindungan antibiotik).
Jika infeksi sudah menyebar melalui kapsul dan mencapai jaringan sekitarnya,
diperlukan insisi dan drainage.

2. Subakut

Etiologi umumnya diduga oleh virus. Pada beberapa kasus dijumpai antibodi
autoimun. Pasien mengeluh di leher bagian depan menjalar ke telinga, demam,
malaise, disertai hipertiroidisme ringan atau sedang. Pada pameriksaan fisik
ditemukan tiroid membesar, nyeri tekan, biasanya disertai takikardi berkeringat,
demam, tremor dan tanda-tanda lain hipertiroidisme. Pemeriksaan laboratorium
sering di jumpai leukositosis, laju endap darah meningkat. Pada 2/3 kasus kadar
hormon tiroid meninggi karena penglepasan yang berlebihan akibat destruksi
kelenjar tiroid oleh proses inflamasi. Penyakit ini biasanya sembuh sendiri
sehingga pengobatan yang diberikan bersifat simtomatis. Dapat diberikan asetosal
untuk mengurangi nyeri. Pada keadaan berat dapat diberikan glukokortokoid
misalnya prednison dengan dosis awal 50 mg/hari.

3. Menahun
1. limfositik (Hashimoto)

merupakan suatu tiroiditis autoimun dengan nama lain yaitu struma


limfomatosa, tiroiditis autoimun. Umumnya menyerang wanita berumur
30-50 tahun. Kelenjar tiroid biasanya membesar lambat, tidak terlalu
besar, simetris, regular dan padat. Kadang-kadang ada nyeri spontan dan
nyeri tekan. Bisa eutiroid atau hipotiroid dan jarang hipertiroid. Kelainan
histopatologisnya antara lain infiltrasi limfosit yang difus, obliterasi
folikel tiroid dan fibrosis. Diagnosis hanya dapat ditegakkan dengan pasti
secara histologis melalui biopsi. Bila kelenjar tiroid sangat besar mungkin
diperlukan pengangkatan, tetapi operasi ini sebaiknya ditunda karena
kelenjar tiroid dapat mengecil sejalan denagn waktu. Pemberian tiroksin
dapat mempercepat hal tersebut.

2. Non spesifik
3. fibrous-invasif (Riedel)

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 1994., Struma Nodusa Non Toksik., Pedoman Diagnosis dan Terapi., Lab/UPF
Ilmu Bedah., RSUD Dokter Sutomo., Surabaya

Adediji., Oluyinka S.,2004., Goiter, Diffuse Toxic., eMedicine.,

http://www.emedicine.com/med/topic917.htm

Davis, Anu Bhalla., 2005, Goiter, Toxic Nodular., eMedicine.,


http://www.emedicine.com/med/topic920.htm

De Jong. W, Sjamsuhidajat. R., 1998., Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Revisi., EGC.,
Jakarta

Djokomoeljanto, 2001., Kelenjar Tiroid Embriologi, Anatomi dan Faalnya., Dalam :


Suyono, Slamet (Editor)., 2001., Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.,FKUI., Jakarta

Lee, Stephanie L., 2004., Goiter, Non Toxic., eMedicine.,

http://www.emedicine.com/med/topic919.htm

Mansjoer A et al (editor) 2001., Struma Nodusa Non Toksik., Kapita Selekta


Kedokteran., Jilid 1, Edisi III., Media Esculapius., FKUI., Jakarta

Mulinda, James R., 2005., Goiter., eMedicine.,

http://www.emedicine.com/MED/topic916.htm

Sadler GP., Clark OH., van Heerden JA., Farley DR., 1999., Thyroid and Parathyroid., In
: Schwartz. SI., et al., 1999., Principles of Surgery. Vol 2., 7th Ed., McGraw-Hill.,
Newyork.

1.

Pengertian struma nodosa non toksik

Struma nodosa non toksik adalah pembesaran kelenjar tyroid yang


secara klinik teraba nodul satu atau lebih tanpa disertai tanda-tanda
hypertiroidisme.

(Sri Hartini, Ilmu Penyakit Dalam, jilid I, hal. 461, FKUI, 1987).

1.

Anatomi kelenjar tyroid

Kelenjar tyroid mempunyai dua lobus, struktur yang kaya


vaskularisasi, lobus terletak di sebelah lateral trakea tepat dibawah
laring dan dihubungkan dengan jembatan jaringan tiroid, yang disebut
isthmus, yang terlentang pada permukaan anterior trakea. Secara
mikroskopik, tiroid terutama terdiri atas folikel steroid, yang masing –
masing menyimpan materi koloid dibagian pusatnya. Folikel
memproduksi, menyimpan dan mensekresi kedua hormon utama T3
(triodotironin) dan T4 (tiroksin). Jika kelenjar secara aktif
mengandung folikel yang besar, yang masing – masing mempunyai
jumlah koloid yang disimpan dalam jumlah besar sel – selnya, sel – sel
parafolikular mensekresi hormon kalsitonin. Hormon ini dan dua hormon
lainnya mempengaruhi metabolisme kalsium. Hormon – hormon ini akan
dibicarakan kemudian.

1.

Etiologi

Adanya gangguan fungsional dalam pembentukan hormon tyroid


merupakan faktor penyebab pembesaran kelenjar tyroid antara lain :

1.
1.

Defisiensi iodium

Pada umumnya, penderita penyakit struma sering terdapat di


daerah yang kondisi air minum dan tanahnya kurang mengandung
iodium, misalnya daerah pegunungan.

1.
1.

Kelainan metabolik kongenital yang menghambat sintesa


hormon tyroid.

Penghambatan sintesa hormon oleh zat kimia (seperti


substansi dalam kol, lobak, kacang kedelai).

Penghambatan sintesa hormon oleh obat-obatan


(misalnya : thiocarbamide, sulfonylurea dan litium).

1.

Patofisiologi
Iodium merupakan semua bahan utama yang dibutuhkan tubuh
untuk pembentukan hormon tyroid. Bahan yang mengandung iodium
diserap usus, masuk ke dalam sirkulasi darah dan ditangkap paling
banyak oleh kelenjar tyroid. Dalam kelenjar, iodium dioksida menjadi
bentuk yang aktif yang distimuler oleh Tiroid Stimulating Hormon
kemudian disatukan menjadi molekul tiroksin yang terjadi pada fase sel
koloid. Senyawa yang terbentuk dalam molekul diyodotironin
membentuk tiroksin (T4) dan molekul yoditironin (T3). Tiroksin (T4)
menunjukkan pengaturan umpan balik negatif dari sekresi Tiroid
Stimulating Hormon dan bekerja langsung pada tirotropihypofisis,
sedang tyrodotironin (T3) merupakan hormon metabolik tidak aktif.
Beberapa obat dan keadaan dapat mempengaruhi sintesis, pelepasan
dan metabolisme tyroid sekaligus menghambat sintesis tiroksin (T4)
dan melalui rangsangan umpan balik negatif meningkatkan pelepasan
TSH oleh kelenjar hypofisis. Keadaan ini menyebabkan pembesaran
kelenjar tyroid.

1.

Gejala-gejala

Pada penyakit struma nodosa nontoksik tyroid membesar dengan


lambat. Awalnya kelenjar ini membesar secara difus dan permukaan
licin. Jika struma cukup besar, akan menekan area trakea yang dapat
mengakibatkan gangguan pada respirasi dan juga esofhagus tertekan
sehingga terjadi gangguan menelan.

1.

Diagnosis

Diagnosis dapat ditegakkan atas dasar adanya struma yang bernodul


dan tidak toksik, melalui :

1.
1.

Pada palpasi teraba batas yang jelas, bernodul satu atau


lebih, konsistensinya kenyal.
Pada pemeriksaan laboratorium, ditemukan serum T4
(troksin) dan T3 (triyodotironin) dalam batas normal.

Pada pemeriksaan USG (ultrasonografi) dapat dibedakan


padat atau tidaknya nodul.

Kepastian histologi dapat ditegakkan melalui biopsi yang


hanya dapat dilakukan oleh seorang tenaga ahli yang
berpengalaman.

Pencegahan

2. Penatalaksanaan

Dengan pemberian kapsul minyak beriodium terutama bagi penduduk


di daerah endemik sedang dan berat.

Edukasi

Program ini bertujuan merubah prilaku masyarakat, dalam hal pola


makan dan memasyarakatkan pemakaian garam beriodium.

Penyuntikan lipidol

Sasaran penyuntikan lipidol adalah penduduk yang tinggal di daerah


endemik diberi suntikan 40 % tiga tahun sekali dengan dosis untuk
orang dewasa dan anak di atas enam tahun 1 cc, sedang kurang dari
enam tahun diberi 0,2 cc – 0,8 cc.

1.
1.

Tindakan operasi

Pada struma nodosa non toksik yang besar dapat dilakukan tindakan
operasi bila pengobatan tidak berhasil, terjadi gangguan misalnya :
penekanan pada organ sekitarnya, indikasi, kosmetik, indikasi
keganasan yang pasti akan dicurigai.

Konsep Asuhan Keperawatan


Dalam melaksanakan asuhan keperawatan, penulis menggunakan
pedoman asuhan keperawatan sebagai dasar pemecahan masalah pasien
secara ilmiah dan sistematis yang meliputi tahap pengkajian, perencanaan
keperawatan, tindakan keperawatan dan evaluasi keperawatan.

1.

Pengkajian

Pengkajian merupakan langkah awal dari dasar dalam proses


keperawatan secara keseluruhan guna mendapat data atau informasi
yang dibutuhkan untuk menentukan masalah kesehatan yang dihadapi
pasien melalui wawancara, observasi, dan pemeriksaan fisik meliputi :

1.
1.

Aktivitas/istirahat ; insomnia, otot lemah, gangguan


koordinasi, kelelahan berat, atrofi otot.

Eliminasi ; urine dalam jumlah banyak, perubahan dalam


faeces, diare.

Integritas ego ; mengalami stres yang berat baik


emosional maupun fisik, emosi labil, depresi.

Makanan/cairan ; kehilangan berat badan yang mendadak,


nafsu makan meningkat, makan banyak, makannya sering,
kehausan, mual dan muntah, pembesaran tyroid, goiter.

Rasa nyeri/kenyamanan ; nyeri orbital, fotofobia.

Pernafasan ; frekuensi pernafasan meningkat, takipnea,


dispnea, edema paru (pada krisis tirotoksikosis).

Keamanan ; tidak toleransi terhadap panas, keringat yang


berlebihan, alergi terhadap iodium (mungkin digunakan
pada pemeriksaan), suhu meningkat di atas 37,40C,
diaforesis, kulit halus, hangat dan kemerahan, rambut
tipis, mengkilat dan lurus, eksoptamus : retraksi, iritasi
pada konjungtiva dan berair, pruritus, lesi eritema (sering
terjadi pada pretibial) yang menjadi sangat parah.

Seksualitas ; libido menurun, perdarahan sedikit atau


tidak sama sekali, impotensi.

Langkah selanjutnya adalah penentuan diagnosa keperawatan


yang merupakan suatu pernyataan dan masalah pasien secara nyata
maupun potensial berdasarkan data yang terkumpul. Diagnosa
keperawatan pada pasien dengan struma nodosa nontoksis khususnya
post operai dapat dirumuskan sebagai berikut ;

Resiko tinggi terjadi ketidakefektivan bersihan jalan nafas


berhubungan dengan obstruksi trakea, pembengkakan, perdarahan dan
spasme laringeal.

Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan cedera pita


suara/kerusakan laring, edema jaringan, nyeri, ketidaknyamanan.

Resiko tinggi terhadap cedera/tetani berhubungan dengan proses


pembedahan, rangsangan pada sistem saraf pusat.

Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan dengan tindakan


bedah terhadap jaringan/otot dan edema pasca operasi.

1.

Perencanaan keperawatan/intervensi

Perencanaan keperawatan adalah penyusunan rencana tindakan yang


akan dilaksanakan untuk menanggulangi masalah pasien sesuai diagnosa
keperawatan yang telah ditentukan dengan tujuan utama memenuhi
kebutuhan pasien. Berdasarkan diagnosa keperawatan yang diuraikan di
atas, maka disusunlah rencana keperawatan/intervensi sebagai
berikut :

1.
1.
Resiko tinggi terjadi ketidakefektivan bersihan jalan
nafas berhubungan dengan obstruksi trakea,
pembengkakan, perdarahan dan spasme laryngeal.

Tujuan yang ingin dicpai sesuai kriteria hasil :

Mempertahankan jalan nafas paten dengan mencegah aspirasi.

Rencana tindakan/intervensi

Pantau frekuensi pernafasan, kedalaman dan kerja pernafasan.

Rasional :

Pernafasan secara normal kadang-kadang cepat, tetapi


berkembangnya distres pada pernafasan merupakan indikasi
kompresi trakea karena edema atau perdarahan.

Auskultasi suara nafas, catat adanya suara ronchi.

Rasional :

Ronchi merupakan indikasi adanya obstruksi.spasme laringeal


yang membutuhkan evaluasi dan intervensi yang cepat.

Kaji adanya dispnea, stridor, dan sianosis. Perhatikan kualitas suara.

Rasional :

Indikator obstruksi trakea/spasme laring yang membutuhkan


evaluasi dan intervensi segera.

Waspadakan pasien untuk menghindari ikatan pada leher, menyokog


kepala dengan bantal.

Rasional :

Menurunkan kemungkinan tegangan pada daerah luka karena


pembedahan.
Bantu dalam perubahan posisi, latihan nafas dalam dan atau batuk
efektif sesuai indikasi.

Rasional :

Mempertahankan kebersihan jalan nafas dan evaluasi. Namun


batuk tidak dianjurkan dan dapat menimbulkan nyeri yang berat,
tetapi hal itu perlu untuk membersihkan jalan nafas.

Lakukan pengisapan lendir pada mulut dan trakea sesuai indikasi, catat
warna dan karakteristik sputum.

Rasional :

Edema atau nyeri dapat mengganggu kemampuan pasien untuk


mengeluarkan dan membersihkan jalan nafas sendiri.

Lakukan penilaian ulang terhadap balutan secara teratur, terutama


pada bagian posterior

Rasional :

Jika terjadi perdarahan, balutan bagian anterior mungkin akan


tampak kering karena darah tertampung/terkumpul pada daerah
yang tergantung.

Selidiki kesulitan menelan, penumpukan sekresi oral.

Rasional :

Merupakan indikasi edema/perdarahan yang membeku pada


jaringan sekitar daerah operasi.

Pertahankan alat trakeosnomi di dekat pasien.

Rasional :

Terkenanya jalan nafas dapat menciptakan suasana yang


mengancam kehidupan yang memerlukan tindakan yang darurat.

Pembedahan tulang
Rasional :

Mungkin sangat diperlukan untuk penyambungan/perbaikan


pembuluh darah yang mengalami perdarahan yang terus menerus.

1.
1.

Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan cedera


pita suara/kerusakan saraf laring, edema jaringan, nyeri,
ketidaknyamanan.

Tujuan yang ingin dicapai sesuai kriteria hasil :

Mampu menciptakan metode komunikasi dimana kebutuhan dapat


dipahami.

Rencana tindakan/intervensi

Kaji fungsi bicara secara periodik.

Rasional :

Suara serak dan sakit tenggorok akibat edema jaringan atau


kerusakan karena pembedahan pada saraf laringeal yang
berakhir dalam beberapa hari kerusakan saraf menetap dapat
terjadi kelumpuhan pita suara atau penekanan pada trakea.

Pertahankan komunikasi yang sederhana, beri pertanyaan yang hanya


memerlukan jawaban ya atau tidak.

Rasional :

Menurunkan kebutuhan berespon, mengurangi bicara.

Memberikan metode komunikasi alternatif yang sesuai, seperti papan


tulis, kertas tulis/papan gambar.

Rasional :

Memfasilitasi eksprsi yang dibutuhkan.


Antisipasi kebutuhan sebaik mungkin. Kunjungan pasien secara teratur.

Rasional ;

Menurunnya ansietas dan kebutuhan pasien untuk berkomunias.

Beritahu pasien untuk terus menerus membatasi bicara dan jawablah


bel panggilan dengan segera.

Rasional :

Mencegah pasien bicara yang dipaksakan untuk menciptakan


kebutuhan yang diketahui/memerlukan bantuan.

Pertahankan lingkungan yang tenang.

Rasional :

Meningkatkan kemampuan mendengarkan komunikasi perlahan


dan menurunkan kerasnya suara yang harus diucapkan pasien
untuk dapat didengarkan.

1.
1.

Resiko tinggi terhadap cedera/tetani berhubungan dengan


proses pembedahan, rangsangan pada sistem saraf pusat.

Tujuan yang ingin dicapai sesuai kriteria hasil :

Menunjukkan tidak ada cedera dengan komplikasi


terpenuhi/terkontrol.

Rencana tindakan/intervensi

Pantau tanda-tanda vital dan catat adanya peningkatan suhu tubuh,


takikardi (140 – 200/menit), disrtrimia, syanosis, sakit waktu bernafas
(pembengkakan paru).

Rasional :
Manipulasi kelenjar selama pembedahan dapat mengakibatkan
peningkatan pengeluaran hormon yang menyebabkan krisis
tyroid.

Evaluasi reflesi secara periodik. Observasi adanya peka rangsang,


misalnya gerakan tersentak, adanya kejang, prestesia.

Rasional :

Hypolkasemia dengan tetani (biasanya sementara) dapat terjadi


1 – 7 hari pasca operasi dan merupakan indikasi hypoparatiroid
yang dapat terjadi sebagai akibat dari trauma yang tidak
disengaja pada pengangkatan parsial atau total kelenjar
paratiroid selama pembedahan.

Pertahankan penghalang tempat tidur/diberi bantalan, tmpat tidur


pada posisi yang rendah.

Rasional :

Menurunkan kemungkinan adanya trauma jika terjadi kejang.

Memantau kadar kalsium dalam serum.

Rasional :

Kalsium kurang dari 7,5/100 ml secara umum membutuhkan


terapi pengganti.

Kolaborasi

Berikan pengobatan sesuai indikasi (kalsium/glukonat, laktat).

Rasional ;

Memperbaiki kekurangan kalsium yang biasanya sementara


tetapi mungkin juga menjadi permanen.

1.
1.
Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan tindakan
bedah terhadap jaringan/otot dan paska operasi.

Tujuan yang ingin dicapai sesuai kriteria hasil :

Melaporkan nyeri hilang atau terkontrol. Menunjukkan kemampuan


mengadakan relaksasi dan mengalihkan perhatian dengan aktif
sesuai situasi.

Rencana tindakan/intervensi :

Kaji tanda-tanda adanya nyeri baik verbal maupun non verbal, catat
lokasi, intensitas (skala 0 – 10) dan lamanya.

Rasional :

Bermanfaat dalam mengevaluasi nyeri, menentukan pilihan


intervensi, menentukan efektivitas terapi.

Letakkan pasien dalam posisi semi fowler dan sokong kepala/leher


dengan bantal pasir/bantal kecil.

Rasional :

Mencegah hiperekstensi leher dan melindungi integritas gari


jahitan.

Pertahankan leher/kepala dalam posisi netral dan sokong selama


perubahan posisi. Instruksikan pasien menggunakan tangannya untuk
menyokong leher selama pergerakan dan untuk menghindari
hiperekstensi leher.

Rasional :

Mencegah stress pada garis jahitan dan menurunkan tegangan


otot.

Letakkan bel dan barang yang sering digunakan dalam jangkauan yang
mudah.
Rasional :

Membatasi ketegangan, nyeri otot pada daerah operasi.

Berikan minuman yang sejuk/makanan yang lunak ditoleransi jika pasien


mengalami kesulitan menelan.

Rasional :

Menurunkan nyeri tenggorok tetapi makanan lunak ditoleransi


jika pasien mengalami kesulitan menelan.

Anjurkan pasien untuk menggunakan teknik relaksasi, seperti imajinasi,


musik yang lembut, relaksasi progresif.

Rasional :

Membantu untuk memfokuskan kembali perhatian dan membantu


pasien untuk mengatasi nyeri/rasa tidak nyaman secara lebih
efektif.

Kolaborasi

Beri obat analgetik dan/atau analgetik spres tenggorok sesuai


kebutuhannya.

Berikan es jika ada indikasi

Rasional :

Menurunnya edema jaringan dan menurunkan persepsi terhadap


nyeri.

1.
1.

Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) mengenai


kondisi, prognosis dan kebutuhan tindakan berhubungan
dengan tidak mengungkapkan secara terbuka/mengingat
kembali, setelah menginterpretasikan konsepsi.
Tujuan yang ingin dicapai sesuai kriteria hasil :

Adanya saling pengertian tentang prosedur pembedahan dan


penanganannya, berpartisipasi dalam program pengobatan,
melakukan perubahan gaya hidup yang perlu.

Rencana tindakan/intervensi :

Tinjau ulang prosedur pembedahan dan harapan selanjutnya.

Rasional ;

Member pengetahuan dasar dimana pasien dapat membuat


keputusan sesuai informasi.

Diskusikan kebutuhan diet yang seimbang, diet bergizi dan bila dapat
mencakup garam beriodium.

Mempercepat penyembuhan dan membantu pasien mencapai


berat badan yang sesuai dengan pemakaian garam beriodium
cukup.

Hindari makanan yang bersifat gastrogenik, misalnya makanan laut


yang berlebihan, kacang kedelai, lobak.

Rasional :

Merupakan kontradiksi setelah tiroidiktomi sebab makanan ini


menekan aktivitas tyroid.

Identifikasi makanan tinggi kalsium (misalnya : kuning telur, hati)

Rasional :

Memaksimalkan suplay dan absorbsi jika fungsi kelenjar


paratiroid terganggu.

Dorong program latihan umum progresif

Rasional :
Latihan dapat menstimulasi kelenjar tyroid dan produksi hormon
yang memfasilitasi pemulihan kesejahteraan.

1.

Pelaksanaan keperawatan

Pelaksanaan keperawatan merupakan perwujudan dari rencana


keperawatan yang telah dirumuskan dalam rangka memenuhi kebutuhan
pasien secara optimal dengan menggunakan keselamatan, keamanan dan
kenyamanan pasien. Dalam melaksanakan keperawatan, haruslah
dilibatkan tim kesehatan lain dalam tindakan kolaborasi yang
berhubungan dengan pelayanan keperawatan serta berdasarkan atas
ketentuan rumah sakit.

1.

Evaluasi

Evaluasi merupakan tahapan terakhir dari proses keperawatan yang


bertujuan untuk menilai tingkat keberhasilan dari asuhan keperawatan
yang telah dilaksanakan.

Dari rumusan seluruh rencana keperawatan serta impelementasinya,


maka pada tahap evaluasi ini akan difokuskan pada :

1. Apakah jalan nafas pasien efektif?


2. Apakah komunikasi verbal dari pasien lancar?
3. Apakah tidak terjadi tanda-tanda infeksi?
4. Apakah gangguan rasa nyaman dari pasien dapat terpenuhi?
5. Apakah pasien telah mengerti tentang proses penyakitnya serta
tindakan perawatan dan pengobatannya?

Sumber:

1. Brunner dan Suddarth, (2001) Keperawatan Medikal Bedah, edisi 8,


volume 2, penerbit EGC.
2. Guyton, C. Arthur, (1991), Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit,
Missisipi; Departemen of Physiology and Biophysis. EGC. Penerbit Buku
Kedokteran. Jakarta.
3. Junadi, Purnawan,(2000), Kapita Selekta Kedokteran, edisi ke III,
penerbit FKUI, Jakarta.
4. Long, Barbara C, (1996), Keperawatan Medikal Bedah, EGC. Penerbit
Buku Kedokteran, Jakarta.
5. Price, Sylvia A,(1998). Patofisiologi, jilid 2, penerbit EGC, Jakarta.
6. Tucker, Susan Martin(1998), Standar Perawatan Pasien, Penerbit buku
kedokteran, EGC. Jakarta.

PENGERTIAN

Struma Diffusa toxica adalah salahsatu jenis struma yang disebabkan oleh sekresi
hormon-hormon thyroid yang terlalu banyak. Histologik keadaan ini adalah sebagai suatu
hipertrofi dan hyperplasi dari parenchyn kelenjar.

ETIOLOGI
Hyperthyroid disebabkan oleh hyperskresi dari hormon-hormon thyroid tetapi yang
mempengaruhiadalah faktor : umur, temperatur, iklim yang berubah, kehamilan, infeksi,
kekurangan yodium dan lain-lain.

ANATOMI
Kelenjar thyroid terletak di depan trakhea dan di bawah laryng yang terdiri atas dua lobus
yang terletak disebelah dan kiri trakhea dan diikat bersama oleh secarik jaringan disebuit
istmus yang melintasi pada cincin tulang trakhea dua dan tiga.
Strktur thyroid terdiri atas sejumlah besar folikel dilapisi oleh cuboid epitelium
membentuk ruang yang disebut koloid yaitu lumen substansi protein.
Regulasi sekresi hormon tyroid dipengaruhioleh sistim kerja balik antara kelenjar
hipofisis atau pituitari lobus anterior dan kelenjarthyroid. Lobus anterior hipofisis
mensekresi TSH yang berfungsi meningkatkan iodine, meningkatkan sintesis dan sekresi
hormon thyroiid, meningkatkan ukuran kelenjar thyroid.
Apabila terjasi penurunanhormon thyroid, hipofisis anterior merangsang peningkatan
sekresi TSH dan mempengaruhi kelenjar thyroid untuk meningkatkan sekresi hormon
rthyroid.

a. Thyroxine (T4) berfungsi untuk mempertahankan metabolisme tubuh.


b. Tridothyronin (T3), berfungsi untuk mempercepat metabolisme tubuh.

Fungsi utama kelenjar thyroid adalah memproduksi hormon tiroxin yang berguna untuk
mengontrol metabolisme sel. Dalam produksinya sangat erat hubungannya dengan proses
sintesa tyroglobulin sedbagai matrik hormon, yodium dari luar, thyroid stimuliting
hormon dari hip[ofise.
PATOFISIOLOGI
Dengan bertambahnya produksi TSH dari hipofisis ( gambar a), oleh karena banyak
sekali T3 dan T4 beredar di dalam darah, maka hipofisis mengurangkan produksi TSH.
Seharusnya hyperaktivitas dari thyroid berhenti akan tetapi di dalam sdarah telah
terbentuk suatu zat yang disebut Long- acting Thyroid Stimulator (LATS) sebagai akibat
dari suatu reaksi imunologik dan LATS ,ini merangsang thyroid untuk tetap
memproduksi hormon yang banyak (gambar b).

PENGKAJIAN

Pengumpulan data
1. Anamnese
Dari anamnese diperoleh:
1) Identifikasi klien.

2) Keluhan utama klien.

Pada klien post operasi thyroidectomy keluhan yang dirasakan pada umumnya adalah
nyeri akibat luka operasi.

3) Riwayat penyakit sekarang


Biasanya didahului oleh adanya pembesaran nodul pada leher yang semakin membesar
sehingga mengakibatkan terganggunyapernafasan karena penekanan trakhea eusofagus
sehingga perlu dilakukan operasi.

4) Riwayat penyakit dahulu


Perlu ditanyakan riwayat penyakit dahulu yang berhubungan dengan penyakit gondok,
misalnya pernah menderita gondok lebih dari satu kali, tetangga atau penduduk sekitar
berpenyakit gondok.

5) Riwayat kesehatan keluarga


Dimaksutkan barangkali ada anggota keluarga yang menderitan sama dengan klien saat
ini.

6) Riwayat psikososial
Akibat dari bekas luka operasi akan meninggalkan bekas atau sikatrik sehingga ada
kemungkinan klien merasa malu dengan orang lain.

PEMERIKSAAN FISIK
1) Keadaan umum
Pada umumnya keadaan penderita lemah dan kesadarannya composmentis dengan tanda-
tanda vital yang meliputi tensi, nadi, pernafasan dan suhu yang berubah.
2) Kepala dan leher
Pada klien dengan post operasi thyroidectomy biasanya didapatkan adanya luka operasi
yang sudah ditutup dengan kasa steril yang direkatkan dengan hypafik serta terpasang
drain. Drain perlu diobservasi dalam dua sampai tiga hari.

3) Sistim pernafasan
Biasanya pernafasan lebih seak akibat dari penumpukan sekret efek dari anestesi, atau
karena adanya darah dalam jalan nafas.

4) Sistim Neurologi

Pada pejmeriksaan reflek hasilnya positif tetapi dari nyeri ajkandipaspatkan ekspresi
wajah yang tegang dan gelisah karena menahan sakit.

5) Sistim gastrointestinal
Komplikasi yang paling sering adalah mual akibat peningkatan asam lambung akibat
anestesi umum, dan pada akhirnya akan hilang sejalan dengan efek anestesi yang hilang.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1) Pemeriksaan penunjang
• Human thyrologlobulin( untuk keganasan thyroid)
• Kadar T3, T4
Nilai normal T3=0,6-2,0 , T4= 4,6-11
• Darah rutin
• Endo Crinologiie minimal tiga hari berturut turut (BMR) nilai normal antara –10s/d +15
• Kadar calsitoxin (hanya pada pebnderita tg dicurigai carsinoma meduler).

2) Pemeriksaan radiologis
• Dilakukan foto thorak posterior anterior
• Foto polos leher antero posterior dan laterl dengan metode soft tissu technig .
• Esofagogram bila dicurigai adanya infiltrasi ke osofagus.

DIOAGNOSA KEPERAWATAN
Adapun diagnosa yang sering timbul pada penderita post operasi theroidectomy adalah
1) Gangguan jalan nafas yang berhubungan dengan obstruksi trakhea secunder terhadap
perdarahan, sopasme laring yang ditandai dengan sesak nafas, pernafasan cuping hidung
sampai dengan sianosis.
2) Ganggiuan komunilasi verbal sehubungan dengan nyeri, kerusakan nervus laringeal
yang ditandai dengan klien sulit berbicara dan hilang suara.
3) Gangguan rasa nyaman (nyeri) sehubungan dengan dampak pembedahan, udema otot,
terputusnya jaringan syaraf, yang ditandai ekspresi wajah tampak tegang.
4) Kurangnya pengetahuan yang berhubungan dengan salah interprestasi yang ditandai
dengan sering bertanya tentang penyakitnya.
5) Potensial terjadinya perdarahan berhubungan dengan terputusnya pembulu darah
sekunder terhadap pembedahan.
PERENCANAAN

Rencana tindakan yang dilakukan pada klien post operasi thyroidectomy meliputi :

Diagnosa pertama

1.Tujuan:
Jalan nafas klien efektif

2. Kriteria:
Tiadak ada sumbatan pada trakhea

3. Rencana tindakan:
1) Monitor pernafasan dan kedalaman dan kecepatan nafas.
2) Dengarkan suara nafas, barangkali ada ronchi.
3) Observasi kemungkinan adanya stridor, sianosis.
4) Atur posisi semifoler
5) Bantu klien dengan teknik nafas dan batuk efektif.
6) Melakukan suction pada trakhea dan mulut.
7) Perhatikan klien dalam hal menelan apakah ada kesulitan.

4. Rasional
1) Pengetahui perkembangan dari gangguan pernafasan.
2) Ronchi bisa sebagai indikasi adanya sumbatan jalan nafas.
3) Indikasi adanya sumbatan pada trakhea atau laring.
4) Memberikan suasana yang lebih nyaman.
5) Memudahkan pengeluaran sekret, memelihara bersihan jalan nafas.dan ventilsassi
6) Sekresi yang menumpuk mengurangi lancarnya jalan nafas.
7) Mungkin ada indikasi perdarahan sebagai efek samping opersi.

Diagnosa keperawatan kedua

1. Tujuan :
Klien dapat komunikasi secara verbal

2. Kriteria hasil:
Klien dapat mengungkapkan keluhan dengan kata-kata.

3. Rencana tindakan:
1) Kaji pembicaraan klien secara periodik
2) Lakukan komunikasi dengan singkat dengan jawaban ya/tidak.
3) Kunjungi klien sesering mungkin
4) Ciptakan lingkungan yang tenang.
4. RASIONALISASI:
1) Suara parau dan sakit pada tenggorokan merupakan faktor kedua dari odema jaringan /
sebagai efek pembedahan.
2) Mengurangi respon bicara yang terlalu banyak.
3) Mengurangi kecemasan klien
4) Klien dapat mendengar dengan jelas komunikasi antara perawat dan klien.

Diagnosa keperawatan ketiga

1. Tujuan:
Rasa nyeri berkurang

2. Kriteria hasil:
Dapat menyatakan nyeri berkurang, tidak adanya perilaku uyg menunjukkan adanya
nyeri.

3. Rencana tindakan
1) Atur posisi semi foler, ganjal kepala /leher dengan bantal kecil
2) Kaji respon verbal /non verbal lokasi, intensitas dan lamanya nyeri.
3) Intruksikan pada klien agar menggunakan tangan untuk menahan leher pada saat alih
posisi .
4) Beri makanan /cairan yang halus seperti es krim.
5) Lakukan kolaborasi dengan dokter untuk pemberian analgesik.

4. Rasionalisasi
1) Mencegah ghyperekstensi leher dan melindungi integritas pada jahitan pada luka.
2) Mengevaluasi nyeri, menentukan rencana tindakan keefektifan terapi.
3) Mengirangi ketegangan otot.
4) Makanan yang halus lebih baik bagi klien yang menjalani kesulitan menelan.
5) Memutuskan transfusi SSP pada rasa nyeri.

Diagnosa keperawatan keempat

1. Tujuan:
Pengetahuan klien bertambah.

2. Kriteria hasil:
Klien berpsartisipasi dalam program keperawatan

3. Rencana tindakan:
1) Diskusikan tentang keseimbangan nutrisi.
2) Hindari makanan yang banyak mengandung zat goitrogenik misalnya makanan laut,
kedelai, Lobak cina dll.
3) Konsumsikan makanan tinggi calsium dan vitamin D.

4. Rasionalisasi:
1) Mempertahankandaya tahan tubuh klien.
2) Kontra indikasi pembedahan kelenjar thyroid.
3) Memaksimalkan supli dan absorbsi kalsium.

Diagnosa keperawatan kelima

1. Tujuan
Perdarahan tidak terjadi.

2. Kriteria hasil
Tidak terdapat adanya tanda-tanda perdarahan.

3. Rencana tindakan:
1) Observasi tanda-tanda vital.
2) Pada balutan tidak didapatkan tanda-tanda basah karena darah.
3) Dari drain tidak terdapat cairan yang berlebih.( > 50 cc).

4. Rasionalisasi:
1) Dengan mengetahui perubahan tanda-tanda vital dapat digunakan untuk mengetahui
perdarahan secara dini.
2) Dengan adanya balutan yang basah berartiadanya perdarahan pada luka operasi.
3) Cairan pada drain dapat untuk mengetahui perdarahan luka operasi.

PELAKSANAAN
Merupakan implikasi dari rencana tindakan dengan maksut agar kebutuhanklien
terpenuhi.

EVALUASI
1) teruskan bila masalah masih ada.
2) Revisi/modifikasi bila masalah ada tetapi rencana dirubah.
3) Terpecahkan jika masalah berhasil dipecahkan.

A S K E P S TR U M A
A.

3. Resiko tinggi terhadap cedera/tetani berhubungan dengan proses pembedahan,


rangsangan pada sistem saraf pusat.
Tujuan yang ingin dicapai sesuai kriteria hasil :
Menunjukkan tidak ada cedera dengan komplikasi terpenuhi/terkontrol.
Rencana tindakan/intervensi
Pantau tanda-tanda vital dan catat adanya peningkatan suhu tubuh, takikardi
(140 – 200/menit), disrtrimia, syanosis, sakit waktu bernafas (pembengkakan
paru).
Rasional :
Manipulasi kelenjar selama pembedahan dapat mengakibatkan
peningkatan pengeluaran hormon yang menyebabkan krisis tyroid.
Evaluasi reflesi secara periodik. Observasi adanya peka rangsang, misalnya
gerakan tersentak, adanya kejang, prestesia.
Rasional :
Hypolkasemia dengan tetani (biasanya sementara) dapat terjadi 1 – 7
hari pasca operasi dan merupakan indikasi hypoparatiroid yang dapat
terjadi sebagai akibat dari trauma yang tidak disengaja pada
pengangkatan parsial atau total kelenjar paratiroid selama
pembedahan.
Pertahankan penghalang tempat tidur/diberi bantalan, tmpat tidur pada posisi
yang rendah.
Rasional :
Menurunkan kemungkinan adanya trauma jika terjadi kejang.
Memantau kadar kalsium dalam serum.
Rasional :
Kalsium kurang dari 7,5/100 ml secara umum membutuhkan terapi
pengganti.
Kolaborasi
Berikan pengobatan sesuai indikasi (kalsium/glukonat, laktat).
Rasional ;
Memperbaiki kekurangan kalsium yang biasanya sementara tetapi
mungkin juga menjadi permanen.
4. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan tindakan bedah terhadap
jaringan/otot dan paska operasi.
Tujuan yang ingin dicapai sesuai kriteria hasil :

Melaporkan nyeri hilang atau terkontrol. Menunjukkan kemampuan


mengadakan relaksasi dan mengalihkan perhatian dengan aktif sesuai
situasi.
Rencana tindakan/intervensi :
Kaji tanda-tanda adanya nyeri baik verbal maupun non verbal, catat lokasi,
intensitas (skala 0 – 10) dan lamanya.
Rasional :
Bermanfaat dalam mengevaluasi nyeri, menentukan pilihan intervensi,
menentukan efektivitas terapi.
Letakkan pasien dalam posisi semi fowler dan sokong kepala/leher dengan
bantal pasir/bantal kecil.
Rasional :
Mencegah hiperekstensi leher dan melindungi integritas gari jahitan.
Pertahankan leher/kepala dalam posisi netral dan sokong selama perubahan
posisi. Instruksikan pasien menggunakan tangannya untuk menyokong leher
selama pergerakan dan untuk menghindari hiperekstensi leher.
Rasional :
Mencegah stress pada garis jahitan dan menurunkan tegangan otot.
Letakkan bel dan barang yang sering digunakan dalam jangkauan yang
mudah.
Rasional :
Membatasi ketegangan, nyeri otot pada daerah operasi.
Berikan minuman yang sejuk/makanan yang lunak ditoleransi jika pasien
mengalami kesulitan menelan.
Rasional :
Menurunkan nyeri tenggorok tetapi makanan lunak ditoleransi jika
pasien mengalami kesulitan menelan.
Anjurkan pasien untuk menggunakan teknik relaksasi, seperti imajinasi,
musik yang lembut, relaksasi progresif.
Rasional :
Membantu untuk memfokuskan kembali perhatian dan membantu
pasien untuk mengatasi nyeri/rasa tidak nyaman secara lebih efektif.
Kolaborasi
Beri obat analgetik dan/atau analgetik spres tenggorok sesuai
kebutuhannya.
Berikan es jika ada indikasi
Rasional :

Defenisi

Kelainan glandula tyroid dapat berupa gangguan fungsi seperti tiritosikosis atau
perubahan susunan kelenjar dan morfologinya, seperti penyakit tyroid noduler.
Berdasarkan patologinya, pembesaran tyroid umumnya disebut struma (De Jong &
Syamsuhidayat, 1998).

2. Embriologi

Kelenjar tyroid berkembang dari endoderm pada garis tengah usus depan (De Jong &
Syamsuhidayat, 1998). Kelenjar tyroid mulai terlihat terbentuk pada janin berukuran 3,4-
4 cm, yaitu pada akhir bulan pertama kehamilan. Kelenjar tyroid berasal dari lekukan
faring antara branchial pouch pertama dan kedua. Dari bagian tersebut timbul
divertikulum, yang kemudian membesar, tumbuh ke arah bawah mengalami desensus dan
akhirnya melepaskan diri dari faring. Sebelum lepas, berbentuk sebagai duktus
tyroglossus yang berawal dari foramen sekum di basis lidah.

Duktus ini akan menghilang setelah dewasa, tetapi pada keadaan tertentu masih menetap.
Dan akan ada kemungkinan terbentuk kelenjar tyroid yang letaknya abnormal, seperti
persisten duktud tyroglossus, tyroid servikal, tyroid lingual, sedangkan desensus yang
terlalu jauh akan membentuk tyroid substernal. Branchial pouch keempat ikut
membentuk kelenjar tyroid, merupakan asal sel-sel parafolikular atau sel C, yang
memproduksi kalsitonin.(IPD I). Kelenjar tyroid janin secara fungsional mulai mandiri
pada minggu ke-12 masa kehidupan intrauterin. (De Jong & Syamsuhidayat, 1998).
3. Anatomi

Kelenjar tyroid terletak dibagian bawah leher, antara fascia koli media dan fascia
prevertebralis. Didalamruang yang sama terletak trakhea, esofagus, pembuluh darah
besar, dan syaraf. Kelenjar tyroid melekat pada trakhea sambil melingkarinya dua pertiga
sampai tiga perempat lingkaran. Keempat kelenjar paratyroid umumnya terletak pada
permukaan belakang kelenjar tyroid (De Jong & Syamsuhidayat, 1998).

Tyroid terdiri atas dua lobus, yang dihubungkan oleh istmus dan menutup cincin trakhea
2 dan 3. Kapsul fibrosa menggantungkan kelenjar ini pada fasia pretrakhea sehingga pada
setiap gerakan menelan selalu diikuti dengan terangkatnya kelenjar kearah kranial. Sifat
ini digunakan dalam klinik untuk menentukan apakah suatu bentukan di leher
berhubungan dengan kelenjar tyroid atau tidak (Djokomoeljanto, 2001).

Vaskularisasi kelenjar tyroid berasal dari Arteri Tiroidea Superior (cabang dari Arteri
Karotis Eksterna) dan a. Tyroidea Inferior (cabang Arteri Subklavia). Setiap folikel
lymfoid diselubungi oleh jala-jala kapiler, dan jala-jala limfatik, sedangkan sistem
venanya berasal dari pleksus perifolikular (Djokomoeljanto, 2001).

Nodus Lymfatikus tyroid berhubungan secara bebas dengan pleksus trakhealis yang
kemudian ke arah nodus prelaring yang tepat di atas istmus, dan ke nl. Pretrakhealis dan
nl. Paratrakhealis, sebagian lagi bermuara ke nl. Brakhiosefalika dan ada yang langsung
ke duktus thoraksikus. Hubungan ini penting untuk menduga penyebaran keganasan
(Djokomoeljanto, 2001).

4. Histologi

Pada usia dewasa berat kelenjar ini kira-kira 20 gram. Secara mikroskopis terdiri atas
banyak folikel yang berbentuk bundar dengan diameter antara 50-500 µm. Dinding
folikel terdiri dari selapis sel epitel tunggal dengan puncak menghadap ke dalam lumen,
sedangkan basisnya menghadap ke arah membran basalis. Folikel ini berkelompok
sebanyak kira-kira 40 buah untuk membentuk lobulus yang mendapat vaskularisasi dari
end entry. Setiap folikel berisi cairan pekat, koloid sebagian besar terdiri atas protein,
khususnya protein tyroglobulin (BM 650.000) (Djokomoeljanto, 2001)
5. Fisiologi Hormon Tyroid

Kelenjar tyroid menghasilkan hormon tyroid utama yaitu Tiroksin (T4). Bentuk aktif
hormon ini adalah Triodotironin (T3), yang sebagian besar berasal dari konversi hormon
T4 di perifer, dan sebagian kecil langsung dibentuk oleh kelenjar tyroid. Iodida inorganik
yang diserap dari saluran cerna merupakan bahan baku hormon tyroid. Iodida inorganik
mengalami oksidasi menjadi bentuk organik dan selanjutnya menjadi bagian dari tyrosin
yang terdapat dalam tyroglobulin sebagai monoiodotirosin (MIT) atau diiodotyrosin
(DIT). Senyawa DIT yang terbentuk dari MIT menghasilkan T3 atau T4 yang disimpan
di dalam koloid kelenjar tyroid.

Sebagian besar T4 dilepaskan ke sirkulasi, sedangkan sisanya tetap didalam kelenjar yang
kemudian mengalami diiodinasi untuk selanjutnya menjalani daur ulang. Dalam sirkulasi,
hormon tyroid terikat pada globulin, globulin pengikat tyroid (thyroid-binding globulin,
TBG) atau prealbumin pengikat tiroksin (Thyroxine-binding pre-albumine, TPBA) (De
Jong & Syamsuhidayat, 1998).

6. Metabolisme T3 dan T4

Waktu paruh T4 di plasma ialah 6 hari sedangkan T3 24-30 jam. Sebagian T4 endogen
(5-17%) mengalami konversi lewat proses monodeiodonasi menjadi T3. Jaringan yang
mempunyai kapasitas mengadakan perubahan ini ialah jaringan hati, ginjal, jantung dan
hipofisis. Dalam proses konversi ini terbentuk juga rT3 (reversed T3, 3,3',5'
triiodotironin) yang tidak aktif, yang digunakan mengatur metabolisme pada tingkat
seluler (Djokomoeljanto, 2001).

Pengaturan faal tiroid :

Ada 4 macam kontrol terhadap faal kelenjar tiroid : (Djokomoeljanto, 2001)

1. TRH (Thyrotrophin releasing hormone)


Tripeptida yang disentesis oleh hpothalamus. Merangsang hipofisis mensekresi
TSH (thyroid stimulating hormone) yang selanjutnya kelenjar tiroid teransang
menjadi hiperplasi dan hiperfungsi
2. TSH (thyroid stimulating hormone)
Glikoprotein yang terbentuk oleh dua sub unit (alfa dan beta). Dalam sirkulasi
akan meningkatkan reseptor di permukaan sel tiroid (TSH-reseptor-TSH-R) dan
terjadi efek hormonal yaitu produksi hormon meningkat
3. Umpan Balik sekresi hormon (negative feedback).
Kedua hormon (T3 dan T4) ini menpunyai umpan balik di tingkat hipofisis.
Khususnya hormon bebas. T3 disamping berefek pada hipofisis juga pada tingkat
hipotalamus. Sedangkan T4 akan mengurangi kepekaan hipifisis terhadap
rangsangan TSH.
4. Pengaturan di tingkat kelenjar tiroid sendiri.
Produksi hormon juga diatur oleh kadar iodium intra tiroid

Efek metabolisme Hormon Tyroid : (Djokomoeljanto, 2001)

1. Kalorigenik
2. Termoregulasi
3. Metabolisme protein. Dalam dosis fisiologis kerjanya bersifat anabolik, tetapi
dalam dosis besar bersifat katabolik
4. Metabolisme karbohidrat. Bersifat diabetogenik, karena resorbsi intestinal
meningkat, cadangan glikogen hati menipis, demikian pula glikogen otot menipis
pada dosis farmakologis tinggi dan degenarasi insulin meningkat.
5. Metabolisme lipid. T4 mempercepat sintesis kolesterol, tetapi proses degradasi
kolesterol dan ekspresinya lewat empedu ternyata jauh lebih cepat, sehingga pada
hiperfungsi tiroid kadar kolesterol rendah. Sebaliknya pada hipotiroidisme
kolesterol total, kolesterol ester dan fosfolipid meningkat.
6. Vitamin A. Konversi provitamin A menjadi vitamin A di hati memerlukan
hormon tiroid. Sehingga pada hipotiroidisme dapat dijumpai karotenemia.
7. Lain-lain : gangguan metabolisme kreatin fosfat menyebabkan miopati, tonus
traktus gastrointestinal meninggi, hiperperistaltik sehingga terjadi diare, gangguan
faal hati, anemia defesiensi besi dan hipotiroidisme.

7. Klasifikasi Struma

Pembesaran kelenjar tiroid (kecuali keganasan), Menurut American society for Study of
Goiter membagi :

1. Struma Non Toxic Diffusa


2. Struma Non Toxic Nodusa
3. Stuma Toxic Diffusa
4. Struma Toxic Nodusa
Istilah Toksik dan Non Toksik dipakai karena adanya perubahan dari segi fungsi
fisiologis kelenjar tiroid seperti hipertiroid dan hipotyroid, sedangkan istilah nodusa dan
diffusa lebih kepada perubahan bentuk anatomi.

1. Struma non toxic nodusa


Adalah pembesaran dari kelenjar tiroid yang berbatas jelas tanpa gejala-gejala
hipertiroid.
o Etiologi : Penyebab paling banyak dari struma non toxic adalah
kekurangan iodium. Akan tetapi pasien dengan pembentukan struma yang
sporadis, penyebabnya belum diketahui.Struma non toxic disebabkan oleh
beberapa hal, yaitu :
1. Kekurangan iodium: Pembentukan struma terjadi pada difesiensi
sedang yodium yang kurang dari 50 mcg/d. Sedangkan defisiensi
berat iodium adalah kurang dari 25 mcg/d dihubungkan dengan
hypothyroidism dan cretinism.
2. Kelebihan yodium: jarang dan pada umumnya terjadi pada pre-
existing penyakit tiroid autoimun
3. Goitrogen :
 Obat : Propylthiouracil, litium, phenylbutazone,
aminoglutethimide, expectorants yang mengandung
yodium
 Agen lingkungan : Phenolic dan phthalate ester derivative
dan resorcinol berasal dari tambang batu dan batubara.
 Makanan, Sayur-Mayur jenis Brassica ( misalnya, kubis,
lobak cina, brussels kecambah), padi-padian millet,
singkong, dan goitrin dalam rumput liar
4. Dishormonogenesis: Kerusakan dalam jalur biosynthetic hormon
kelejar tiroid
5. Riwayat radiasi kepala dan leher : Riwayat radiasi selama masa
kanak-kanak mengakibatkan nodul benigna dan maligna (Lee,
2004)
2. Struma Non Toxic Diffusa
o Etiologi: (Mulinda, 2005)
1. Defisiensi Iodium
2. Autoimmun thyroiditis: Hashimoto oatau postpartum thyroiditis
3. Kelebihan iodium (efek Wolff-Chaikoff) atau ingesti lithium,
dengan penurunan pelepasan hormon tiroid.
4. Stimulasi reseptor TSH oleh TSH dari tumor hipofisis, resistensi
hipofisis terhadap hormo tiroid, gonadotropin, dan/atau tiroid-
stimulating immunoglobulin
5. Inborn errors metabolisme yang menyebabkan kerusakan dalam
biosynthesis hormon tiroid.
6. Terpapar radiasi
7. Penyakit deposisi
8. Resistensi hormon tiroid
9. Tiroiditis Subakut (de Quervain thyroiditis)
10. Silent thyroiditis
11. Agen-agen infeksi
12. Suppuratif Akut : bacterial
13. Kronik: mycobacteria, fungal, dan penyakit granulomatosa parasit
14. Keganasan Tiroid
3. Struma Toxic Nodusa
o Etiologi : (Davis, 2005)
1. Defisiensi iodium yang mengakibatkan penurunan level T4
2. Aktivasi reseptor TSH
3. Mutasi somatik reseptor TSH dan Protein G
4. Mediator-mediator pertumbuhan termasuk: Endothelin-1 (ET-1),
insulin like growth factor-1, epidermal growth factor, dan
fibroblast growth factor.
4. Struma Toxic Diffusa
Yang termasuk dalam struma toxic difusa adalah grave desease, yang merupakan
penyakit autoimun yang masih belum diketahui penyebab pastinya (Adediji,2004)
o Patofisiologi :
Gangguan pada jalur TRH-TSH hormon tiroid ini menyebabkan
perubahan dalam struktur dan fungsi kelenjar tiroid gondok. Rangsangan
TSH reseptor tiroid oleh TSH, TSH-Resepor Antibodi atau TSH reseptor
agonis, seperti chorionic gonadotropin, akan menyebabkan struma diffusa.
Jika suatu kelompok kecil sel tiroid, sel inflamasi, atau sel maligna
metastase ke kelenjar tiroid, akan menyebabkan struma nodusa (Mulinda,
2005)

Defesiensi dalam sintesis atau uptake hormon tiroid akan menyebabkan


peningkatan produksi TSH. Peningkatan TSH menyebabkan peningkatan
jumlah dan hiperplasi sel kelenjar tyroid untuk menormalisir level hormon
tiroid. Jika proses ini terus menerus, akan terbentuk struma. Penyebab
defisiensi hormon tiroid termasuk inborn error sintesis hormon tiroid,
defisiensi iodida dan goitrogen (Mulinda, 2005)
Struma mungkin bisa diakibatkan oleh sejumlah reseptor agonis TSH.
Yang termasuk stimulator reseptor TSH adalah reseptor antibodi TSH,
kelenjar hipofise yang resisten terhadap hormon tiroid, adenoma di
hipotalamus atau di kelenjar hipofise, dan tumor yang memproduksi
human chorionic gonadotropin (Mulinda, 2005)

DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN

Diagnosis disebut lengkap apabila dibelakang struma dicantumkan keterangan lainnya,


yaitu morfologi dan faal struma.
Dikenal beberapa morfologi (konsistensi) berdasarkan gambaran makroskopis yang
diketahui dengan palpasi atau auskultasi :

1. Bentuk kista : Struma kistik


o Mengenai 1 lobus
o Bulat, batas tegas, permukaan licin, sebesar kepalan
o Kadang Multilobaris
o Fluktuasi (+)
2. Bentuk Noduler: Struma nodusa
o Batas Jelas
o Konsistensi kenyal sampai keras
o Bila keras curiga neoplasma, umumnya berupa adenocarcinoma tiroidea
3. Bentuk diffusa: Struma diffusa
o batas tidak jelas
o Konsistensi biasanya kenyal, lebih kearah lembek
4. Bentuk vaskuler: Struma vaskulosa
o Tampak pembuluh darah
o Berdenyut
o Auskultasi: Bruit pada neoplasma dan struma vaskulosa
o Kelejar getah bening: Para trakheal dan jugular vein

Dari faalnya struma dibedakan menjadi :

1. Eutiroid
2. Hipotiroid
3. Hipertiroid

Berdasarkan istilah klinis dibedakan menjadi :

1. Nontoksik : eutiroid/hipotiroid
2. Toksik : Hipertiroid

Pemeriksaan Fisik :

1. Status Generalis :
o Tekanan darah meningkat
o Nadi meningkat
2. Mata :
o Exopthalmus
o Stelwag Sign: Jarang berkedip
o Von Graefe Sign: Palpebra superior tidak mengikut bulbus okuli waktu
melihat ke bawah
o Morbus Sign : Sukar konvergensi
o Joffroy Sign : Tidak dapat mengerutkan dahi
o Ressenbach Sign : Tremor palpebra jika mata tertutup
3. Hipertroni simpatis : Kulit basah dan dingin, tremor halus
4. Jantung : Takikardi
5. Status Lokalis :
o Inspeksi
 Benjolan
 Warna
 Permukaan
 Bergerak waktu menelan
o Palpasi
 Permukaan, suhu
 Batas :
 Atas : Kartilago tiroid
 Bawah : incisura jugularis
 Medial : garis tengah leher
 Lateral : M. Sternokleidomastoideus

STRUMA NON TOKSIK

Struma non toksik adalah pembesaran kelenjar tiroid pada pasien eutiroid, tidak
berhubungan dengan neoplastik atau proses inflamasi. Dapat difus dan simetri atau
nodular.

Apabila dalam pemeriksaan kelenjar tiroid teraba suatu nodul, maka pembesaran ini
disebut struma nodosa. Struma nodosa tanpa disertai tanda-tanda hipertiroidisme disebut
struma nodosa non-toksik. Struma nodosa atau adenomatosa terutama ditemukan di
daerah pegunungan karena defisiensi iodium. Biasanya tiroid sudah mlai membesar pada
usia muda dan berkembang menjadi multinodular pada saat dewasa.

Struma multinodosa terjadi pada wanita usia lanjut dan perubahan yang terdapat pada
kelenjar berupa hiperplasi sampai bentuk involusi. Kebanyakan penderita struma nodosa
tidak mengalami keluhan karena tidak ada hipotiroidisme atau hipertiroidisme. Nodul
mungkin tunggal tetapi kebanyakan berkembang menjadi multinoduler yang tidak
berfungsi.

Degenerasi jaringan menyebabkan kista atau adenoma. Karena pertumbuhannya sering


berangsur-angsur, struma dapat menjadi besar tanpa gejala kecuali benjolan di leher.
Walaupun sebagian struma nodosa tidak mengganggu pernapasan karena menonjol ke
depan, sebagian lain dapat menyebabkan penyempitan trakea jika pembesarannya
bilateral. Pendorongan bilateral demikian dapat dicitrakan dengan foto Roentgen polos
(trakea pedang). Penyempitan yang berarti menyebabkan gangguan pernapasan sampai
akhirnya terjadi dispnea dengan stridor inspirator (Noer, 1996) .

Manifestasi klinis

Struma nodosa dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa hal (Mansjoer, 2001) :

1. Berdasarkan jumlah nodul: bila jumlah nodul hanya satu disebut struma nodosa
soliter (uninodosa) dan bila lebih dari satu disebut multinodosa.
2. Berdasarkan kemampuan menangkap yodium radoiaktif : nodul dingin, nodul
hangat, dan nodul panas.
3. Berdasarkan konsistensinya : nodul lunak, kistik, keras, atau sangat keras.

Pada umumnya pasien struma nodosa datang berobat karena keluhan kosmetik atau
ketakutan akan keganasan. Sebagian kecil pasien, khususnya yang dengan struma nodosa
besar, mengeluh adanya gejala mekanis, yaitu penekanan pada esophagus (disfagia) atau
trakea (sesak napas) (Noer, 1996). Gejala penekanan ini data juga oleh tiroiditis kronis
karena konsistensinya yang keras (Tim penyusun, 1994). Biasanya tidak disertai rasa
nyeri kecuali bila timbul perdarahan di dalam nodul (Noer, 1996).

Keganasan tiroid yang infiltrasi nervus rekurens menyebabkan terjadinya suara parau
(Tim penyusun, 1994).

Kadang-kadang penderita datang dengan karena adanya benjolan pada leher sebelah
lateral atas yang ternyata adalah metastase karsinoma tiroid pada kelenjar getah bening,
sedangkan tumor primernya sendiri ukurannya masih kecil. Atau penderita datang karena
benjolan di kepala yang ternyata suatu metastase karsinoma tiroid pada kranium (Tim
penyusun, 1994).
Diagnosis

Anamnesa sangatlah pentinglah untuk mengetahui patogenesis atau macam kelainan dari
struma nodosa non toksika tersebut. Perlu ditanyakan apakah penderita dari daerah
endemis dan banyak tetangga yang sakit seperti penderita (struma endemik). Apakah
sebelumnya penderita pernah mengalami sakit leher bagian depan bawah disertai
peningkatan suhu tubuh (tiroiditis kronis). Apakah ada yang meninggal akibat penyakit
yang sama dengan penderita (karsinoma tiroid tipe meduler) (Tim penyusun, 1994).

Pada status lokalis pemeriksaan fisik perlu dinilai (Mansjoer, 2001) :

1. jumlah nodul
2. konsistensi
3. nyeri pada penekanan : ada atau tidak
4. pembesaran gelenjar getah bening

Inspeksi dari depan penderita, nampak suatu benjolan pada leher bagian depan bawah
yang bergerak ke atas pada waktu penderita menelan ludah. Diperhatikan kulit di atasnya
apakah hiperemi, seperti kulit jeruk, ulserasi.

Palpasi dari belakang penderita dengan ibu jari kedua tangan pada tengkuk penderita dan
jari-jari lain meraba benjolan pada leher penderita.

Pada palpasi harus diperhatikan :

• lokalisasi benjolan terhadap trakea (mengenai lobus kiri, kanan atau keduanya)
• ukuran (diameter terbesar dari benjolan, nyatakan dalam sentimeter)
• konsistensi
• mobilitas
• infiltrat terhadap kulit/jaringan sekitar
• apakah batas bawah benjolan dapat diraba (bila tak teraba mungkin ada bagian
yang masuk ke retrosternal)

Meskipun keganasan dapat saja terjadi pada nodul yang multiple, namun pada umumnya
pada keganasan nodulnya biasanya soliter dan konsistensinya keras sampai sangat keras.
Yang multiple biasanya tidak ganas kecuali bila salah satu nodul tersebut lebih menonjol
dan lebih keras dari pada yang lainnya.
Harus juga diraba kemungkinan pembesaran kelenjar getah bening leher, umumnya
metastase karsinoma tiroid pada rantai juguler (Tim penyusun, 1994).

Pemeriksaan penunjang meliputi (Mansjoer, 2001) :

1. Pemeriksaan sidik tiroid


Hasil pemeriksaan dengan radioisotop adalah teraan ukuran, bentuk lokasi, dan
yang utama ialah fungsi bagian-bagian tiroid. Pada pemeriksaan ini pasien diberi
Nal peroral dan setelah 24 jam secara fotografik ditentukan konsentrasi yodium
radioaktif yang ditangkap oleh tiroid. Dari hasil sidik tiroid dibedakan 3 bentuk
o Nodul dingin bila penangkapan yodium nihil atau kurang dibandingkan
sekitarnya. Hal ini menunjukkan sekitarnya.
o Nodul panas bila penangkapan yodium lebih banyak dari pada sekitarnya.
Keadaan ini memperlihatkan aktivitas yang berlebih
o Nodul hangat bila penangkapan yodium sama dengan sekitarnya. Ini
berarti fungsi nodul sama dengan bagian tiroid yang lain.
2. Pemeriksaan Ultrasonografi (USG)
Pemeriksaan ini dapat membedakan antara padat, cair, dan beberapa bentuk
kelainan, tetapi belum dapat membedakan dengan pasti ganas atau jinak.
Kelainan-kelainan yang dapat didiagnosis dengan USG :
o Kista
o Adenoma
o Kemungkinan karsinoma
o Tiroiditis
3. Biopsi aspirasi jarum halus (Fine Needle Aspiration/FNA)
Mempergunakan jarum suntik no. 22-27. Pada kista dapat juga dihisap cairan
secukupnya, sehingga dapat mengecilkan nodul (Noer, 1996).

Dilakukan khusus pada keadaan yang mencurigakan suatu keganasan. Biopsi


aspirasi jarum halus tidak nyeri, hampir tidak menyababkan bahaya penyebaran
sel-sel ganas. Kerugian pemeriksaan ini dapat memberikan hasil negatif palsu
karena lokasi biopsi kurang tepat, teknik biopsi kurang benar, pembuatan preparat
yang kurang baik atau positif palsu karena salah interpretasi oleh ahli sitologi.
4. Termografi
Metode pemeriksaan berdasarkan pengukuran suhu kulit pada suatu tempat
dengan memakai Dynamic Telethermography. Pemeriksaan ini dilakukan khusus
pada keadaan yang mencurigakan suatu keganasan. Hasilnya disebut panas
apabila perbedaan panas dengan sekitarnya > 0,9o C dan dingin apabila <0,9o C.
Pada penelitian Alves didapatkan bahwa pada yang ganas semua hasilnya panas.
Pemeriksaan ini paling sensitif dan spesifik bila dibanding dengan pemeriksaan
lain.
5. Petanda Tumor
Pada pemeriksaan ini yang diukur adalah peninggian tiroglobulin (Tg) serum.
Kadar Tg serum normal antara 1,5-3,0 ng/ml, pada kelainan jinak rataa-rata 323
ng/ml, dan pada keganasan rata-rata 424 ng/ml.

Penatalaksanaan

Indikasi operasi pada struma nodosa non toksika ialah (tim penyusun, 1994) :

1. Keganasan
2. Penekanan
3. Kosmetik

Tindakan operasi yang dikerjakan tergantung jumlah lobus tiroid yang terkena. Bila
hanya satu sisi saja dilakukan subtotal lobektomi, sedangkan kedua lobus terkena
dilakukan subtotal tiroidektomi. Bila terdapat pembesaran kelenjar getah bening leher
maka dikerjakan juga deseksi kelenjar leher fungsional atau deseksi kelenjar leher
radikal/modifikasi tergantung ada tidaknya ekstensi dan luasnya ekstensi di luar kelenjar
getah bening.

Radioterapi diberikan pada keganasan tiroid yang :

1. Inoperabel
2. Kontraindikasi operasi
3. Ada residu tumor setelah operasi
4. Metastase yang non resektabel

Hormonal terapi dengan ekstrak tiroid diberikan selain untuk suplemen juga sebagai
supresif untuk mencegah terjadinya kekambuhan pada pasca bedah karsinoma tiroid
diferensiasi baik (TSH dependence). Terapai supresif ini juga ditujukan terhadap
metastase jauh yang tidak resektabel dan terapi adjuvan pada karsinoma tiroid
diferensiasi baik yang inoperabel.

Preparat : Thyrax tablet


Dosis : 3x75 Ug/hari per-oral

STRUMA TOKSIKM

1. Struma difus toksik (Grave's Disease)


Grave's disease adalah bentuk umum dari tirotoksikosis. Penyakit Grave's terjadi akibat
antibodi reseptor TSH (Thyroid Stimulating Hormone) yang merangsangsang aktivitas
tiroid itu sendiri (Mansjoer, 2001).

Manifestasi klinis

Pada penyakit Graves terdapat dua gambaran utama yaitu tiroidal dan ekstratiroidal.
Keduanya mungkin tidak tampak. Ciri-ciri tiroidal berupa goiter akibat hiperplasia
kelenjar tiroid dan hipertiroidisme akibat sekresi hormon tiroid yang berlebihan (Price
dan Wilson, 1994).

Gejala-gejala hipertiroidisme berupa manifestasi hipermetabolisme dan aktivitas simpatis


yang berlebihan. Pasien mengeluh lelah, gemetar, tidak tahan panas, keringat semakin
banyak bila panas, kulit lembab, berat badan menurun, sering disertai dengan nafsu
makan meningkat, palpitasi, takikardi, diare, dan kelemahan serta atrofi otot.

Manifestasi ekstratiroidal berupa oftalmopati dan infiltrasi kulit lokal yang biasanya
terbatas pada tungkai bawah. Oftalmopati ditandai dengan mata melotot, fisura palpebra
melebar, kedipan berkurang, lid lag (keterlambatan kelopak mata dalam mengikuti
gerakan mata), dan kegagalan konvergensi. Jaringan orbita dan dan otot-otot mata
diinfltrasi oleh limfosit, sel mast dan sel-sel plasma yang mengakibatkan eksoltalmoa
(proptosis bola mata), okulopati kongestif dan kelemahan gerakan ekstraokuler (Price dan
Wilson, 1994).

Diagnosis

Sebagian besar pasien memberikan gejala klinis yang jelas, tetapi pemeriksaan
laboratorium tetap perlu untuk menguatkan diagnosis. Pada kasus-kasus subklinis dan
pasien usia lanjut perlu pemeriksaan laboratorium yang cermat untuk membantu
menetapkan diagnosis hipertiroidisme. Diagnosis pada wanita hamil agak sulit karena
perubahan fisiologis pada kehamilan pembesaran tiroid serta manifestasi hipermetabolik,
sama seperti tirotoksikosis.
Menurut Bayer MF, pada pasien hipertiroidisme akan didapatkan Thyroid Stimulating
Hormone sensitive (TSHs) tak terukur atau jelas subnormal an Free T4 (FT4) meningkat
(Mansjoer, 2001).

Penatalaksanaan

Tujuan pengobatan hipertiroidisme adalah membatasi produksi hormon tiroid yang


berlebihan dengan cara menekan produksi (obat antitiroid) atau merusak jaringan tiroid
(yodium radioaktif, tiroidektomi subtotal).

1. Obat antitiroid
Indikasi :
o Terapi untuk memperpanjang remisi atau mendapatkan remisi yang
menetap, pada pasien muda dengan struma ringan sampai sedang dan
tirotoksikosis.
o Obat untuk mengontrol tirotoksikosis pada fase sebelum pengobatan, atau
sesudah pengobatan pada pasien yang mendapat yodium aktif.
o Persiapan tiroidektomi
o Pengobatan pasien hamil dan orang lanjut usia
o Pasien dengan krisis tiroid

Obat antitiroid yang sering digunakan :

Obat Dosis awal (mg/hari) Pemeliharaan (mg/hari)

Karbimazol 30-60 5-20

Metimazol 30-60 5-20

Propiltourasil 300-600 5-200

2. Pengobatan dengan yodium radioaktif


Indikasi :
o Pasien umur 35 tahun atau lebih
o Hipertiroidisme yang kambuh sesudah penberian dioperasi
o Gagal mencapai remisi sesudah pemberian obat antitiroid
o Adenoma toksik, goiter multinodular toksik
3. Operasi
Tiroidektomi subtotal efektif untuk mengatasi hipertiroidisme. Indikasi :
o Pasien umur muda dengan struma besar serta tidak berespons terhadap
obat antitiroid.
o Pada wanita hamil (trimester kedua) yang memerlukan obat antitiroid
dosis besar
o Alergi terhadap obat antitiroid, pasien tidak dapat menerima yodium
radioaktif
o Adenoma toksik atau struma multinodular toksik
o Pada penyakit Graves yang berhubungan dengan satu atau lebih nodul

2. Struma nodular toksik

Struma nodular toksik juga dikenal sebagai Plummer's disease (Sadler et al, 1999). Paling
sering ditemukan pada pasien lanjut usia sebagai komplikasi goiter nodular kronik.

Manifestasi klinis

Penderita mungkin mengalami aritmia dan gagal jantung yang resisten terhadap terapi
digitalis. Penderita dapat pula memperlihatkan bukti-bukti penurunan berat badan, lemah,
dan pengecilan otot. Biasanya ditemukan goiter multi nodular pada pasien-pasien tersebut
yang berbeda dengan pembesaran tiroid difus pada pasien penyakit Graves.

Penderita goiter nodular toksik mungkin memperlihatkan tanda-tanda mata (melotot,


pelebaran fisura palpebra, kedipan mata berkurang) akibat aktivitas simpatis yang
berlebihan. Meskipun demikian, tidak ada manifestasi dramatis oftalmopati infiltrat
seperti yang terlihat pada penyakit Graves (Price dan Wilson, 1994). Gejala disfagia dan
sesak napas mungkin dapat timbul. Beberapa goiter terletak di retrosternal (Sadler et al,
1999)

Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat, pemeriksaan fisik dan didukung oleh tingkat
TSH serum menurun dan tingkat hormon tiroid yang meningkat. Antibodi antitiroid
biasanya tidak ditemukan (Sadler et al, 1999)

Penatalaksanaan

Terapi dengan pengobatan antitiroid atau beta bloker dapt mengurangi gejala tetapi
biasanya kurang efektif dari pada penderita penyakit Graves. Radioterapi tidak efektif
seperti penyakit Graves karena pengambilan yang rendah dan karena penderita ini
membutuhkan dosis radiasi yang besar. Untuk nodul yang soliter, nodulektomi atau
lobektomi tiroid adalah terapi pilihan karena kanker jarang terjadi. Untuk struma
multinodular toksik, lobektomi pada satu sisi dan subtotal lobektomi pada sisi yang lain
adalah dianjurkan (Sadler et al, 1999)

PENYAKIT TIROID YANG LAIN

Tiroiditis

Ditandai dengan pembesaran, peradangan dan disfungsi kelenjar tiroid.

Klasifikasi (Noer, 1996) :

1. Akut (supuratif)
Disebut juga infective thyroiditis, infeksi oleh bakteri atau jamur. Bentuk khas
infeksi bakterial ini ialah tiroiditis septik akut. Kuman penyebab antara lain
Staphylococcus aureus, Streptococcus hemolyticus, dan Pneumococcus. Infeksi
terjadi melalui aliran darah, penyebaran langsung dari jaringan sekitarnya, saluran
getah bening, trauma langsung dan duktus tiroglosus yang persisten. Kelainan
yang tejadi dapat disertai abses atau tanpa abses.

Gejala klinis berupa nyeri di leher mendadak, malaise, demam, menggigil, dan
takikardi. Nyeri bertambah pada pergerakan leher dan gerakan menelan. Daerah
tiroid membengkak dengan tanda-tanda radang lain dan sangat nyeri tekan.
Pemeriksaan laboratorium menunjukkan leukositosis, LED meninggi, sidikan
tiroid menunjukkan nodul dingin. Pengobatan utama adalah antibiotik. Kokus
gram positif biasanya diatasi dengan penisilin atau derivatnya, tetrasiklin atan
kloramfenikol. Apabila terjadi abses melibatkan satu lobus diperlukan lobektomi
(dengan lindungan antibiotik). Jika infeksi sudah menyebar melalui kapsul dan
mencapai jaringan sekitarnya, diperlukan insisi dan drainage.
2. Subakut
Etiologi umumnya diduga oleh virus. Pada beberapa kasus dijumpai antibodi
autoimun. Pasien mengeluh di leher bagian depan menjalar ke telinga, demam,
malaise, disertai hipertiroidisme ringan atau sedang. Pada pameriksaan fisik
ditemukan tiroid membesar, nyeri tekan, biasanya disertai takikardi berkeringat,
demam, tremor dan tanda-tanda lain hipertiroidisme. Pemeriksaan laboratorium
sering di jumpai leukositosis, laju endap darah meningkat.

Pada 2/3 kasus kadar hormon tiroid meninggi karena penglepasan yang berlebihan
akibat destruksi kelenjar tiroid oleh proses inflamasi. Penyakit ini biasanya
sembuh sendiri sehingga pengobatan yang diberikan bersifat simtomatis. Dapat
diberikan asetosal untuk mengurangi nyeri. Pada keadaan berat dapat diberikan
glukokortokoid misalnya prednison dengan dosis awal 50 mg/hari.
3. Menahun
o Limfositik (Hashimoto)
Merupakan suatu tiroiditis autoimun dengan nama lain yaitu struma
limfomatosa, tiroiditis autoimun. Umumnya menyerang wanita berumur
30-50 tahun. Kelenjar tiroid biasanya membesar lambat, tidak terlalu
besar, simetris, regular dan padat. Kadang-kadang ada nyeri spontan dan
nyeri tekan. Bisa eutiroid atau hipotiroid dan jarang hipertiroid. Kelainan
histopatologisnya antara lain infiltrasi limfosit yang difus, obliterasi
folikel tiroid dan fibrosis. Diagnosis hanya dapat ditegakkan dengan pasti
secara histologis melalui biopsi. Bila kelenjar tiroid sangat besar mungkin
diperlukan pengangkatan, tetapi operasi ini sebaiknya ditunda karena
kelenjar tiroid dapat mengecil sejalan denagn waktu. Pemberian tiroksin
dapat mempercepat hal tersebut.
o Non spesifik
Fibrous-invasif (Riedel)

DAFTAR PUSTAKA

1. Anonim, 1994., Struma Nodusa Non Toksik., Pedoman Diagnosis dan Terapi.,
Lab/UPF Ilmu Bedah., RSUD Dokter Sutomo., Surabaya
2. Adediji., Oluyinka S.,2004., Goiter, Diffuse Toxic., eMedicine.,
3. Davis, Anu Bhalla., 2005, Goiter, Toxic Nodular., eMedicine.,
4. De Jong. W, Sjamsuhidajat. R., 1998., Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Revisi.,
EGC., Jakarta
5. Djokomoeljanto, 2001., Kelenjar Tiroid Embriologi, Anatomi dan Faalnya.,
Dalam : Suyono, Slamet (Editor)., 2001., Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.,FKUI.,
Jakarta
6. http://www.emedicine.com/med/topic917.htm
7. http://www.emedicine.com/med/topic920.htm
8. http://www.emedicine.com/med/topic919.htm
9. http://www.emedicine.com/MED/topic916.htm
10. Lee, Stephanie L., 2004., Goiter, Non Toxic., eMedicine.,
11. Mansjoer A et al (editor) 2001., Struma Nodusa Non Toksik., Kapita Selekta
Kedokteran., Jilid 1, Edisi III., Media Esculapius., FKUI., Jakarta
12. Mulinda, James R., 2005., Goiter., eMedicine.,
13. Sadler GP., Clark OH., van Heerden JA., Farley DR., 1999., Thyroid and
Parathyroid., In : Schwartz. SI., et al., 1999.,Principles of Surgery. Vol 2., 7th
Ed., McGraw-Hill., Newyork

You might also like