Professional Documents
Culture Documents
Oleh imrannito
Struma adalah pembesaran kelenjar gondok yang disebabkan oleh penambahan jaringan
kelenjar gondok yang menghasilkan hormaon tiroid dalam jumlah banyak sehingga
menimbulkan keluhan seperti berdebar – debar, keringat, gemetaran, bicara jadi gagap,
mencret, berat badan menurun, mata membesar, penyakit ini dinamakan hipertiroid
(graves’ disease). Ada juga struma yang tidak menimbulkan gejala seperti itu bahkan
tidak ada gejala sama sekali sehingga pasien datang berobat hanya karena keluhan merasa
takut atau risih karena gondoknya membesar, hal ini bisa disebabkan oleh cairan tiroid
(kista tiroid) dan kanker kelenjar tiroid. Struma juga bisa disebakan oleh asupan mineral
yodium yang kurang dalam waktu yang lama (gondok endemik). Pemeriksaan yang
dilakukan adalah mengetahui dulu status horman tiroid dengan pemeriksaan FT4 dan
TSH, USG kelenjar tiroid dan scanning kelenjar tiroid. Pengobatan dari struma ini
tergantung dari status horman tiroid (hipertiroid, eutiroid atau hipotiroid), dari USG
apakah mengandung cairan (kista tiroid) dan dari scanning tiroid (HOT atau COLD)
nodul.
PENGERTIAN
Struma nodosa non toksik merupakan pembesaran kelenjar tiroid yang teraba sebagai
suatu nodul ,tanpa disertai tanda – tanda hipertiroidisme,berdasarkan jumlah nodul
,dibagi :
• Struma mononodosa non toksik
• Struma multinodosa nontoksik
Pemeriksaan fisik ;
• Umum
• Local ;
o Nodul tunggal atau majemuk,atau difus
o Nyeri tekan
o Konsistensi
o Permukaan
o Perlekatan pada jaringan sekitarnya
o Pendesakan atau pendorongan trakea
o Pembesaran kelenjar getah bening regional
o Pemberton’s sign
namnesis dan pemeriksaan fisik yang meningkatkan kecurigaan kearah keganasan tiroid :
• Umur < 20 tahun atau > 70 tahun
• Gender laki- laki
• Nodul disertai disfagi ,serak atau obstruksi jlan napas
• Pertumbuhan nodul cepat ( beberapa minggu – bulan )
• Riwayat radiasi daerah leher waktu usia anak – anak atau dewasa ( juga meningkatkan
insiden penyakit nodul tiroid jinak )
• Riwayat keluarga kanker tiroid meduler
• Nodul yang tunggal ,berbatas tegas ,keras,irregular dan sulit digerakan
• Paralysis pita suara
• Temuan limpadenofati servikal
• Metastasis jauh ( paru-paru ),DLL
DIAGNOSIS BANDING
• Struma nodosa yang terjadi pada peningkatan kebutuhan terhadap tiroksin saat masa
pertumbuhan ,pubertas laktasi,menstruasi,kehamilan menopause,infeksi,stes lain .
• Tiroiditis akut
• Tiroiditis subakut
• Tiroiditis kronis,limpositik (hashimoto),fibrous-invasif ( riedel )
• Simple goiter
• Struma endemic
• Kista tiroid,kista degenerasi
• Adenoma
• Karsinoma tiroid primer,metastatik
• Limfoma
PEMEIKSAAN PENUNJANG
• Laboratorium : T4 atau T3, dan TSHs
• Biosi aspirasi jarum halus ( BAJAH ) nodul tiroid
o Bila hasil laboratorium; non –toksik
o Bila hasil lab,(awal ) toksik,tetapi hasil scan : cold nodule – syrat sudah menjadi
eutiroid,
• USG tiroid
o Pemantau kasus nodul yang tidak diopersi
o Pemendu pada BAJAH
• Sidik tiroid :
o Bila klinis ganas,tetapi hasil sitologi dengan BAJAH ( 2 X );jinakm ,
o Hasil sitologi dengan BAJAH : curiga ganas
• Petanda keganasan tiroid ( bila ada riwayat keluarga dengan karsinoma tiroid
medular,diperiksakan kalsitonik)
• Pemeriksaaan antitiroglobulin bila TSHs meningkat,curiga penyakit hashimoto
TERAPI
Sesuai hasil BAJAH ,maka terapi :
A, Ganas ;------- operasi tirodektomi near total ;
B, curiga ;-------- operasi dengan lebih dulu melakukan potong beku (VC)
Bila hasil = ganas ---- operasi tiroidektomi near total
Bila hasil = jinak ----- operasi lobektomi,atau tiroidektomi near
Total.
--- alternatif ; sidik tiroid,bila hasil = cold nodule --- operasi
C, tak cukup / sediaan tak representatif
Jika nodul solid ( saat BAJAH ); ulang BAJAH.♣
♣ Bila klinis curiga ganas tinggi ----- operasi lobektomi
Bila♣ klinis curiga ganas rendah ----- observasi
Jika nodul kistik (saat♣ BAJAH ) ;aspirasi
Bila kista regresi ---- observasi♣
Bila♣ kista rekurens,klinis curiga ganas rendah ---- observasi
Bila♣ kista rekurens, klinis curiga ganas tinggi ----- operasi lobektomi
D,jinak
* terapi dengan levo-tiroksin ( LT 4) dosis subtoksis .
• Dosis dititrasi mulai 2 x 25 ug ( 3 hari )
• Dilanjutkan 3 x 25 ug ( 3 – 4 hari )
• Bila tidak ada efek samping atau tanda toksis ; dosis - menjadi 2 x 100 ug sampai 4 --- 6
minggu , kemudian evaluasi TSH ( target 0,1 - 0,3 ulU /L)
• Supresi TSH dipertahankan selama 6 bulan
• Evaluasi dengan USG : apakah nodul berhasil mengecil atau tidak ( berhasil bila
mengecil > 50 % dari volume awal )
o Bila nodul mengecil atau tetap --- L – tiroksin dihentikan dan diobservasi;
o Bila setelah itu struma membesar lagi ,maka L-tiroksin dimulsi lagi ( target TSH 0,1 –
0,3 ul U/L )
o Bila setelah 1- tiroksin dihentikan ,struma tidak berubah ,diobservasi saja.
o Bila nodul membesar dalam 6 bulan atau saat terapi supresi --- obat dihentikan dan
operasi tiroidektomi dan dilakukan pemeriksaan histopatologi --- hasi PA :
♣ Jinak teapi dengan L_tiroksin ; target TSH 0,5 – 3,0 uI U/L
Ganas♣ terapi L-tiroksin
• Individu dengan risiko ganas tinggi :target TSH < 0,01 – 0,05 uI U/L
• Individu dengan risiko ganas rendah : target TSH 0,05 – 0,1 uI U / L
STRUMA
Disusun Oleh
Muhammad Akbar
Defenisi
Kelainan glandula tyroid dapat berupa gangguan fungsi seperti tiritosikosis atau
perubahan susunan kelenjar dan morfologinya, seperti penyakit tyroid noduler.
Berdasarkan patologinya, pembesaran tyroid umumnya disebut struma (De Jong &
Syamsuhidayat, 1998).
Embriologi
Kelenjar tyroid berkembang dari endoderm pada garis tengah usus depan (De
Jong & Syamsuhidayat, 1998). Kelenjar tyroid mulai terlihat terbentuk pada janin
berukuran 3,4-4 cm, yaitu pada akhir bulan pertama kehamilan. Kelenjar tyroid berasal
dari lekukan faring antara branchial pouch pertama dan kedua. Dari bagian tersebut
timbul divertikulum, yang kemudian membesar, tumbuh ke arah bawah mengalami
desensus dan akhirnya melepaskan diri dari faring. Sebelum lepas, berbentuk sebagai
duktus tyroglossus yang berawal dari foramen sekum di basis lidah.
Duktus ini akan menghilang setelah dewasa, tetapi pada keadaan tertentu masih
menetap. Dan akan ada kemungkinan terbentuk kelenjar tyroid yang letaknya abnormal,
seperti persisten duktud tyroglossus, tyroid servikal, tyroid lingual, sedangkan desensus
yang terlalu jauh akan membentuk tyroid substernal. Branchial pouch keempat ikut
membentuk kelenjar tyroid, merupakan asal sel-sel parafolikular atau sel C, yang
memproduksi kalsitonin.(IPD I). Kelenjar tyroid janin secara fungsional mulai mandiri
pada minggu ke-12 masa kehidupan intrauterin. (De Jong & Syamsuhidayat, 1998).
Anatomi
Kelenjar tyroid terletak dibagian bawah leher, antara fascia koli media dan fascia
prevertebralis. Didalamruang yang sama terletak trakhea, esofagus, pembuluh darah
besar, dan syaraf. Kelenjar tyroid melekat pada trakhea sambil melingkarinya dua pertiga
sampai tiga perempat lingkaran. Keempat kelenjar paratyroid umumnya terletak pada
permukaan belakang kelenjar tyroid (De Jong & Syamsuhidayat, 1998).
Tyroid terdiri atas dua lobus, yang dihubungkan oleh istmus dan menutup cincin
trakhea 2 dan 3. Kapsul fibrosa menggantungkan kelenjar ini pada fasia pretrakhea
sehingga pada setiap gerakan menelan selalu diikuti dengan terangkatnya kelenjar kearah
kranial. Sifat ini digunakan dalam klinik untuk menentukan apakah suatu bentukan di
leher berhubungan dengan kelenjar tyroid atau tidak (Djokomoeljanto, 2001).
Histologi
Pada usia dewasa berat kelenjar ini kira-kira 20 gram. Secara mikroskopis terdiri
atas banyak folikel yang berbentuk bundar dengan diameter antara 50-500 µm. Dinding
folikel terdiri dari selapis sel epitel tunggal dengan puncak menghadap ke dalam lumen,
sedangkan basisnya menghadap ke arah membran basalis. Folikel ini berkelompok
sebanyak kira-kira 40 buah untuk membentuk lobulus yang mendapat vaskularisasi dari
end entry. Setiap folikel berisi cairan pekat, koloid sebagian besar terdiri atas protein,
khususnya protein tyroglobulin (BM 650.000) (Djokomoeljanto, 2001)
Kelenjar tyroid menghasilkan hormon tyroid utama yaitu Tiroksin (T4). Bentuk
aktif hormon ini adalah Triodotironin (T3), yang sebagian besar berasal dari konversi
hormon T4 di perifer, dan sebagian kecil langsung dibentuk oleh kelenjar tyroid. Iodida
inorganik yang diserap dari saluran cerna merupakan bahan baku hormon tyroid. Iodida
inorganik mengalami oksidasi menjadi bentuk organik dan selanjutnya menjadi bagian
dari tyrosin yang terdapat dalam tyroglobulin sebagai monoiodotirosin (MIT) atau
diiodotyrosin (DIT). Senyawa DIT yang terbentuk dari MIT menghasilkan T3 atau T4
yang disimpan di dalam koloid kelenjar tyroid.
Metabolisme T3 dan T4
Glikoprotein yang terbentuk oleh dua sub unit (alfa dan beta). Dalam sirkulasi
akan meningkatkan reseptor di permukaan sel tiroid (TSH-reseptor-TSH-R) dan
terjadi efek hormonal yaitu produksi hormon meningkat
3. Umpan Balik sekresi hormon (negative feedback).
Kedua hormon (T3 dan T4) ini menpunyai umpan balik di tingkat hipofisis.
Khususnya hormon bebas. T3 disamping berefek pada hipofisis juga pada tingkat
hipotalamus. Sedangkan T4 akan mengurangi kepekaan hipifisis terhadap
rangsangan TSH.
1. Kalorigenik
2. Termoregulasi
3. Metabolisme protein. Dalam dosis fisiologis kerjanya bersifat anabolik, tetapi
dalam dosis besar bersifat katabolik
4. Metabolisme karbohidrat. Bersifat diabetogenik, karena resorbsi intestinal
meningkat, cadangan glikogen hati menipis, demikian pula glikogen otot menipis
pada dosis farmakologis tinggi dan degenarasi insulin meningkat.
5. Metabolisme lipid. T4 mempercepat sintesis kolesterol, tetapi proses degradasi
kolesterol dan ekspresinya lewat empedu ternyata jauh lebih cepat, sehingga pada
hiperfungsi tiroid kadar kolesterol rendah. Sebaliknya pada hipotiroidisme
kolesterol total, kolesterol ester dan fosfolipid meningkat.
6. Vitamin A. Konversi provitamin A menjadi vitamin A di hati memerlukan
hormon tiroid. Sehingga pada hipotiroidisme dapat dijumpai karotenemia.
7. Lain-lain : gangguan metabolisme kreatin fosfat menyebabkan miopati, tonus
traktus gastrointestinal meninggi, hiperperistaltik sehingga terjadi diare, gangguan
faal hati, anemia defesiensi besi dan hipotiroidisme.
Klasifikasi Struma
Pembesaran kelenjar tiroid (kecuali keganasan)
Istilah Toksik dan Non Toksik dipakai karena adanya perubahan dari segi fungsi
fisiologis kelenjar tiroid seperti hipertiroid dan hipotyroid, sedangkan istilah nodusa dan
diffusa lebih kepada perubahan bentuk anatomi.
Adalah pembesaran dari kelenjar tiroid yang berbatas jelas tanpa gejala-gejala
hipertiroid.
Etiologi : Penyebab paling banyak dari struma non toxic adalah kekurangan
iodium. Akan tetapi pasien dengan pembentukan struma yang sporadis,
penyebabnya belum diketahui. Struma non toxic disebabkan oleh beberapa hal,
yaitu :
1. Defisiensi Iodium
2. Autoimmun thyroiditis: Hashimoto oatau postpartum thyroiditis
3. Kelebihan iodium (efek Wolff-Chaikoff) atau ingesti lithium, dengan
penurunan pelepasan hormon tiroid.
4. Stimulasi reseptor TSH oleh TSH dari tumor hipofisis, resistensi hipofisis
terhadap hormo tiroid, gonadotropin, dan/atau tiroid-stimulating
immunoglobulin
5. Inborn errors metabolisme yang menyebabkan kerusakan dalam
biosynthesis hormon tiroid.
6. Terpapar radiasi
7. Penyakit deposisi
8. Resistensi hormon tiroid
9. Tiroiditis Subakut (de Quervain thyroiditis)
10. Silent thyroiditis
11. Agen-agen infeksi
12. Suppuratif Akut : bacterial
13. Kronik: mycobacteria, fungal, dan penyakit granulomatosa parasit
14. Keganasan Tiroid
2. Struma Toxic Nodusa
Yang termasuk dalam struma toxic difusa adalah grave desease, yang merupakan
penyakit autoimun yang masih belum diketahui penyebab pastinya (Adediji,2004)
Patofisiologi :
Gangguan pada jalur TRH-TSH hormon tiroid ini menyebabkan perubahan dalam
struktur dan fungsi kelenjar tiroid gondok. Rangsangan TSH reseptor tiroid oleh TSH,
TSH-Resepor Antibodi atau TSH reseptor agonis, seperti chorionic gonadotropin, akan
menyebabkan struma diffusa. Jika suatu kelompok kecil sel tiroid, sel inflamasi, atau sel
maligna metastase ke kelenjar tiroid, akan menyebabkan struma nodusa (Mulinda, 2005)
Struma mungkin bisa diakibatkan oleh sejumlah reseptor agonis TSH. Yang
termasuk stimulator reseptor TSH adalah reseptor antibodi TSH, kelenjar hipofise yang
resisten terhadap hormon tiroid, adenoma di hipotalamus atau di kelenjar hipofise, dan
tumor yang memproduksi human chorionic gonadotropin (Mulinda, 2005)
DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN
Mengenai 1 lobus
Bulat, batas tegas, permukaan licin, sebesar kepalan
Kadang Multilobaris
Fluktuasi (+)
Batas Jelas
Konsistensi kenyal sampai keras
Bila keras curiga neoplasma, umumnya berupa adenocarcinoma
tiroidea
1. Eutiroid
2. Hipotiroid
3. Hipertiroid
1. Nontoksik : eutiroid/hipotiroid
2. Toksik : Hipertiroid
Pemeriksaan Fisik :
Status Generalis :
Exopthalmus
Stelwag Sign : Jarang berkedip
Von Graefe Sign : Palpebra superior tidak mengikut bulbus okuli
waktu melihat ke bawah
Morbus Sign : Sukar konvergensi
Joffroy Sign : Tidak dapat mengerutkan dahi
Ressenbach Sign : Temor palpebra jika mata tertutup
Status Lokalis :
1. Inspeksi
Benjolan
Warna
Permukaan
Bergerak waktu menelan
2. Palpasi
Permukaan, suhu
Batas :
Lateral : M. Sternokleidomastoideus
Struma non toksik adalah pembesaran kelenjar tiroid pada pasien eutiroid, tidak
berhubungan dengan neoplastik atau proses inflamasi. Dapat difus dan simetri atau
nodular.
Apabila dalam pemeriksaan kelenjar tiroid teraba suatu nodul, maka pembesaran
ini disebut struma nodosa. Struma nodosa tanpa disertai tanda-tanda hipertiroidisme
disebut struma nodosa non-toksik. Struma nodosa atau adenomatosa terutama ditemukan
di daerah pegunungan karena defisiensi iodium. Biasanya tiroid sudah mlai membesar
pada usia muda dan berkembang menjadi multinodular pada saat dewasa. Struma
multinodosa terjadi pada wanita usia lanjut dan perubahan yang terdapat pada kelenjar
berupa hiperplasi sampai bentuk involusi. Kebanyakan penderita struma nodosa tidak
mengalami keluhan karena tidak ada hipotiroidisme atau hipertiroidisme. Nodul mungkin
tunggal tetapi kebanyakan berkembang menjadi multinoduler yang tidak berfungsi.
Degenerasi jaringan menyebabkan kista atau adenoma. Karena pertumbuhannya sering
berangsur-angsur, struma dapat menjadi besar tanpa gejala kecuali benjolan di leher.
Walaupun sebagian struma nodosa tidak mengganggu pernapasan karena menonjol ke
depan, sebagian lain dapat menyebabkan penyempitan trakea jika pembesarannya
bilateral. Pendorongan bilateral demikian dapat dicitrakan dengan foto Roentgen polos
(trakea pedang). Penyempitan yang berarti menyebabkan gangguan pernapasan sampai
akhirnya terjadi dispnea dengan stridor inspirator (Noer, 1996) .
Manifestasi klinis
1. Berdasarkan jumlah nodul : bila jumlah nodul hanya satu disebut struma nodosa
soliter (uninodosa) dan bila lebih dari satu disebut multinodosa.
2. Berdasarkan kemampuan menangkap yodium radoiaktif : nodul dingin, nodul
hangat, dan nodul panas.
3. Berdasarkan konsistensinya : nodul lunak, kistik, keras, atau sangat keras.
Pada umumnya pasien struma nodosa datang berobat karena keluhan kosmetik
atau ketakutan akan keganasan. Sebagian kecil pasien, khususnya yang dengan struma
nodosa besar, mengeluh adanya gejala mekanis, yaitu penekanan pada esophagus
(disfagia) atau trakea (sesak napas) (Noer, 1996). Gejala penekanan ini data juga oleh
tiroiditis kronis karena konsistensinya yang keras (Tim penyusun, 1994). Biasanya tidak
disertai rasa nyeri kecuali bila timbul perdarahan di dalam nodul (Noer, 1996).
Diagnosis
1. jumlah nodul
2. konsistensi
3. nyeri pada penekanan : ada atau tidak
4. pembesaran gelenjar getah bening
Inspeksi dari depan penderita, nampak suatu benjolan pada leher bagian depan
bawah yang bergerak ke atas pada waktu penderita menelan ludah. Diperhatikan kulit di
atasnya apakah hiperemi, seperti kulit jeruk, ulserasi.
Palpasi dari belakang penderita dengan ibu jari kedua tangan pada tengkuk
penderita dan jari-jari lain meraba benjolan pada leher penderita.
Meskipun keganasan dapat saja terjadi pada nodul yang multiple, namun pada
umumnya pada keganasan nodulnya biasanya soliter dan konsistensinya keras sampai
sangat keras. Yang multiple biasanya tidak ganas kecuali bila salah satu nodul tersebut
lebih menonjol dan lebih keras dari pada yang lainnya.
Pemeriksaan ini dapat membedakan antara padat, cair, dan beberapa bentuk
kelainan, tetapi belum dapat membedakan dengan pasti ganas atau jinak.
Kelainan-kelainan yang dapat didiagnosis dengan USG :
o kista
o adenoma
o kemungkinan karsinoma
o tiroiditis
Mempergunakan jarum suntik no. 22-27. Pada kista dapat juga dihisap cairan
secukupnya, sehingga dapat mengecilkan nodul (Noer, 1996).
4. Termografi
5. Petanda Tumor
Pada pemeriksaan ini yang diukur adalah peninggian tiroglobulin (Tg) serum.
Kadar Tg serum normal antara 1,5-3,0 ng/ml, pada kelainan jinak rataa-rata
323 ng/ml, dan pada keganasan rata-rata 424 ng/ml.
Penatalaksanaan
Indikasi operasi pada struma nodosa non toksika ialah (tim penyusun, 1994) :
1. keganasan
2. penekanan
3. kosmetik
Tindakan operasi yang dikerjakan tergantung jumlah lobus tiroid yang terkena. Bila
hanya satu sisi saja dilakukan subtotal lobektomi, sedangkan kedua lobus terkena
dilakukan subtotal tiroidektomi. Bila terdapat pembesaran kelenjar getah bening leher
maka dikerjakan juga deseksi kelenjar leher funsional atau deseksi kelenjar leher
radikal/modifikasi tergantung ada tidaknya ekstensi dan luasnya ekstensi di luar kelenjar
getah bening.
1. inoperabel
2. kontraindikasi operasi
3. ada residu tumor setelah operasi
4. metastase yang non resektabel
Hormonal terapi dengan ekstrak tiroid diberikan selain untuk suplemen juga
sebagai supresif untuk mencegah terjadinya kekambuhan pada pasca bedah karsinoma
tiroid diferensiasi baik (TSH dependence). Terapai supresif ini juga ditujukan terhadap
metastase jauh yang tidak resektabel dan terapi adjuvan pada karsinoma tiroid
diferensiasi baik yang inoperabel.
Grave’s disease adalah bentuk umum dari tirotoksikosis. Penyakit Grave’s terjadi
akibat antibodi reseptor TSH (Thyroid Stimulating Hormone) yang merangsangsang
aktivitas tiroid itu sendiri (Mansjoer, 2001).
Manifestasi klinis
Pada penyakit Graves terdapat dua gambaran utama yaitu tiroidal dan
ekstratiroidal. Keduanya mungkin tidak tampak. Ciri- ciri tiroidal berupa goiter akibat
hiperplasia kelenjar tiroid dan hipertiroidisme akibat sekresi hormon tiroid yang
berlebihan (Price dan Wilson, 1994).
Diagnosis
Sebagian besar pasien memberikan gejala klinis yang jelas, tetapi pemeriksaan
laboratorium tetap perlu untuk menguatkan diagnosis. Pada kasus-kasus subklinis dan
pasien usia lanjut perlu pemeriksaan laboratorium yang cermat untuk membantu
menetapkan diagnosis hipertiroidisme. Diagnosis pada wanita hamil agak sulit karena
perubahan fisiologis pada kehamilan pembesaran tiroid serta manifestasi hipermetabolik,
sama seperti tirotoksikosis. Menurut Bayer MF, pada pasien hipertiroidisme akan
didapatkan Thyroid Stimulating Hormone sensitive (TSHs) tak terukur atau jelas
subnormal dan Free T4 (FT4) meningkat (Mansjoer, 2001).
Penatalaksanaan
1. Obat antitiroid
Indikasi :
Indikasi :
1. pasien umur muda dengan struma besar serta tidak berespons terhadap
obat antitiroid.
2. pada wanita hamil (trimester kedua) yang memerlukan obat antitiroid
dosis besar
3. alergi terhadap obat antitiroid, pasien tidak dapat menerima yodium
radioaktif
4. adenoma toksik atau struma multinodular toksik
5. pada penyakit Graves yang berhubungan dengan satu atau lebih nodul
Struma nodular toksik juga dikenal sebagai Plummer’s disease (Sadler et al,
1999). Paling sering ditemukan pada pasien lanjut usia sebagai komplikasi goiter nodular
kronik.
Manifestasi klinis
Penderita mungkin mengalami aritmia dan gagal jantung yang resisten terhadap
terapi digitalis. Penderita dapat pula memperlihatkan bukti-bukti penurunan berat badan,
lemah, dan pengecilan otot. Biasanya ditemukan goiter multi nodular pada pasien-pasien
tersebut yang berbeda dengan pembesaran tiroid difus pada pasien penyakit Graves.
Penderita goiter nodular toksik mungkin memperlihatkan tanda-tanda mata (melotot,
pelebaran fisura palpebra, kedipan mata berkurang) akibat aktivitas simpatis yang
berlebihan. Meskipun demikian, tidak ada manifestasi dramatis oftalmopati infiltrat
seperti yang terlihat pada penyakit Graves (Price dan Wilson, 1994). Gejala disfagia dan
sesak napas mungkin dapat timbul. Beberapa goiter terletak di retrosternal (Sadler et al,
1999)
Diagnosis
Penatalaksanaan
Terapi dengan pengobatan antitiroid atau beta bloker dapt mengurangi gejala
tetapi biasanya kurang efektif dari pada penderita penyakit Graves. Radioterapi tidak
efektif seperti penyakit Graves karena pengambilan yang rendah dan karena penderita ini
membutuhkan dosis radiasi yang besar. Untuk nodul yang soliter, nodulektomi atau
lobektomi tiroid adalah terapi pilihan karena kanker jarang terjadi. Untuk struma
multinodular toksik, lobektomi pada satu sisi dan subtotal lobektomi pada sisi yang lain
adalah dianjurkan (Sadler et al, 1999)
Tiroiditis
1. Akut (supuratif)
Disebut juga infective thyroiditis, infeksi oleh bakteri atau jamur. Bentuk khas
infeksi bakterial ini ialah tiroiditis septik akut. Kuman penyebab antara lain
Staphylococcus aureus, Streptococcus hemolyticus, dan Pneumococcus. Infeksi
terjadi melalui aliran darah, penyebaran langsung dari jaringan sekitarnya, saluran
getah bening, trauma langsung dan duktus tiroglosus yang persisten. Kelainan
yang tejadi dapat disertai abses atau tanpa abses. Gejala klinis berupa nyeri di
leher mendadak, malaise, demam, menggigil, dan takikardi. Nyeri bertambah
pada pergerakan leher dan gerakan menelan. Daerah tiroid membengkak dengan
tanda-tanda radang lain dan sangat nyeri tekan. Pemeriksaan laboratorium
menunjukkan leukositosis, LED meninggi, sidikan tiroid menunjukkan nodul
dingin. Pengobatan utama adalah antibiotik. Kokus gram positif biasanya diatasi
dengan penisilin atau derivatnya, tetrasiklin atan kloramfenikol. Apabila terjadi
abses melibatkan satu lobus diperlukan lobektomi (dengan lindungan antibiotik).
Jika infeksi sudah menyebar melalui kapsul dan mencapai jaringan sekitarnya,
diperlukan insisi dan drainage.
2. Subakut
Etiologi umumnya diduga oleh virus. Pada beberapa kasus dijumpai antibodi
autoimun. Pasien mengeluh di leher bagian depan menjalar ke telinga, demam,
malaise, disertai hipertiroidisme ringan atau sedang. Pada pameriksaan fisik
ditemukan tiroid membesar, nyeri tekan, biasanya disertai takikardi berkeringat,
demam, tremor dan tanda-tanda lain hipertiroidisme. Pemeriksaan laboratorium
sering di jumpai leukositosis, laju endap darah meningkat. Pada 2/3 kasus kadar
hormon tiroid meninggi karena penglepasan yang berlebihan akibat destruksi
kelenjar tiroid oleh proses inflamasi. Penyakit ini biasanya sembuh sendiri
sehingga pengobatan yang diberikan bersifat simtomatis. Dapat diberikan asetosal
untuk mengurangi nyeri. Pada keadaan berat dapat diberikan glukokortokoid
misalnya prednison dengan dosis awal 50 mg/hari.
3. Menahun
1. limfositik (Hashimoto)
2. Non spesifik
3. fibrous-invasif (Riedel)
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1994., Struma Nodusa Non Toksik., Pedoman Diagnosis dan Terapi., Lab/UPF
Ilmu Bedah., RSUD Dokter Sutomo., Surabaya
http://www.emedicine.com/med/topic917.htm
De Jong. W, Sjamsuhidajat. R., 1998., Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Revisi., EGC.,
Jakarta
http://www.emedicine.com/med/topic919.htm
http://www.emedicine.com/MED/topic916.htm
Sadler GP., Clark OH., van Heerden JA., Farley DR., 1999., Thyroid and Parathyroid., In
: Schwartz. SI., et al., 1999., Principles of Surgery. Vol 2., 7th Ed., McGraw-Hill.,
Newyork.
1.
(Sri Hartini, Ilmu Penyakit Dalam, jilid I, hal. 461, FKUI, 1987).
1.
1.
Etiologi
1.
1.
Defisiensi iodium
1.
1.
1.
Patofisiologi
Iodium merupakan semua bahan utama yang dibutuhkan tubuh
untuk pembentukan hormon tyroid. Bahan yang mengandung iodium
diserap usus, masuk ke dalam sirkulasi darah dan ditangkap paling
banyak oleh kelenjar tyroid. Dalam kelenjar, iodium dioksida menjadi
bentuk yang aktif yang distimuler oleh Tiroid Stimulating Hormon
kemudian disatukan menjadi molekul tiroksin yang terjadi pada fase sel
koloid. Senyawa yang terbentuk dalam molekul diyodotironin
membentuk tiroksin (T4) dan molekul yoditironin (T3). Tiroksin (T4)
menunjukkan pengaturan umpan balik negatif dari sekresi Tiroid
Stimulating Hormon dan bekerja langsung pada tirotropihypofisis,
sedang tyrodotironin (T3) merupakan hormon metabolik tidak aktif.
Beberapa obat dan keadaan dapat mempengaruhi sintesis, pelepasan
dan metabolisme tyroid sekaligus menghambat sintesis tiroksin (T4)
dan melalui rangsangan umpan balik negatif meningkatkan pelepasan
TSH oleh kelenjar hypofisis. Keadaan ini menyebabkan pembesaran
kelenjar tyroid.
1.
Gejala-gejala
1.
Diagnosis
1.
1.
Pencegahan
2. Penatalaksanaan
Edukasi
Penyuntikan lipidol
1.
1.
Tindakan operasi
Pada struma nodosa non toksik yang besar dapat dilakukan tindakan
operasi bila pengobatan tidak berhasil, terjadi gangguan misalnya :
penekanan pada organ sekitarnya, indikasi, kosmetik, indikasi
keganasan yang pasti akan dicurigai.
1.
Pengkajian
1.
1.
1.
Perencanaan keperawatan/intervensi
1.
1.
Resiko tinggi terjadi ketidakefektivan bersihan jalan
nafas berhubungan dengan obstruksi trakea,
pembengkakan, perdarahan dan spasme laryngeal.
Rencana tindakan/intervensi
Rasional :
Rasional :
Rasional :
Rasional :
Rasional :
Lakukan pengisapan lendir pada mulut dan trakea sesuai indikasi, catat
warna dan karakteristik sputum.
Rasional :
Rasional :
Rasional :
Rasional :
Pembedahan tulang
Rasional :
1.
1.
Rencana tindakan/intervensi
Rasional :
Rasional :
Rasional :
Rasional ;
Rasional :
Rasional :
1.
1.
Rencana tindakan/intervensi
Rasional :
Manipulasi kelenjar selama pembedahan dapat mengakibatkan
peningkatan pengeluaran hormon yang menyebabkan krisis
tyroid.
Rasional :
Rasional :
Rasional :
Kolaborasi
Rasional ;
1.
1.
Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan tindakan
bedah terhadap jaringan/otot dan paska operasi.
Rencana tindakan/intervensi :
Kaji tanda-tanda adanya nyeri baik verbal maupun non verbal, catat
lokasi, intensitas (skala 0 – 10) dan lamanya.
Rasional :
Rasional :
Rasional :
Letakkan bel dan barang yang sering digunakan dalam jangkauan yang
mudah.
Rasional :
Rasional :
Rasional :
Kolaborasi
Rasional :
1.
1.
Rencana tindakan/intervensi :
Rasional ;
Diskusikan kebutuhan diet yang seimbang, diet bergizi dan bila dapat
mencakup garam beriodium.
Rasional :
Rasional :
Rasional :
Latihan dapat menstimulasi kelenjar tyroid dan produksi hormon
yang memfasilitasi pemulihan kesejahteraan.
1.
Pelaksanaan keperawatan
1.
Evaluasi
Sumber:
PENGERTIAN
Struma Diffusa toxica adalah salahsatu jenis struma yang disebabkan oleh sekresi
hormon-hormon thyroid yang terlalu banyak. Histologik keadaan ini adalah sebagai suatu
hipertrofi dan hyperplasi dari parenchyn kelenjar.
ETIOLOGI
Hyperthyroid disebabkan oleh hyperskresi dari hormon-hormon thyroid tetapi yang
mempengaruhiadalah faktor : umur, temperatur, iklim yang berubah, kehamilan, infeksi,
kekurangan yodium dan lain-lain.
ANATOMI
Kelenjar thyroid terletak di depan trakhea dan di bawah laryng yang terdiri atas dua lobus
yang terletak disebelah dan kiri trakhea dan diikat bersama oleh secarik jaringan disebuit
istmus yang melintasi pada cincin tulang trakhea dua dan tiga.
Strktur thyroid terdiri atas sejumlah besar folikel dilapisi oleh cuboid epitelium
membentuk ruang yang disebut koloid yaitu lumen substansi protein.
Regulasi sekresi hormon tyroid dipengaruhioleh sistim kerja balik antara kelenjar
hipofisis atau pituitari lobus anterior dan kelenjarthyroid. Lobus anterior hipofisis
mensekresi TSH yang berfungsi meningkatkan iodine, meningkatkan sintesis dan sekresi
hormon thyroiid, meningkatkan ukuran kelenjar thyroid.
Apabila terjasi penurunanhormon thyroid, hipofisis anterior merangsang peningkatan
sekresi TSH dan mempengaruhi kelenjar thyroid untuk meningkatkan sekresi hormon
rthyroid.
Fungsi utama kelenjar thyroid adalah memproduksi hormon tiroxin yang berguna untuk
mengontrol metabolisme sel. Dalam produksinya sangat erat hubungannya dengan proses
sintesa tyroglobulin sedbagai matrik hormon, yodium dari luar, thyroid stimuliting
hormon dari hip[ofise.
PATOFISIOLOGI
Dengan bertambahnya produksi TSH dari hipofisis ( gambar a), oleh karena banyak
sekali T3 dan T4 beredar di dalam darah, maka hipofisis mengurangkan produksi TSH.
Seharusnya hyperaktivitas dari thyroid berhenti akan tetapi di dalam sdarah telah
terbentuk suatu zat yang disebut Long- acting Thyroid Stimulator (LATS) sebagai akibat
dari suatu reaksi imunologik dan LATS ,ini merangsang thyroid untuk tetap
memproduksi hormon yang banyak (gambar b).
PENGKAJIAN
Pengumpulan data
1. Anamnese
Dari anamnese diperoleh:
1) Identifikasi klien.
Pada klien post operasi thyroidectomy keluhan yang dirasakan pada umumnya adalah
nyeri akibat luka operasi.
6) Riwayat psikososial
Akibat dari bekas luka operasi akan meninggalkan bekas atau sikatrik sehingga ada
kemungkinan klien merasa malu dengan orang lain.
PEMERIKSAAN FISIK
1) Keadaan umum
Pada umumnya keadaan penderita lemah dan kesadarannya composmentis dengan tanda-
tanda vital yang meliputi tensi, nadi, pernafasan dan suhu yang berubah.
2) Kepala dan leher
Pada klien dengan post operasi thyroidectomy biasanya didapatkan adanya luka operasi
yang sudah ditutup dengan kasa steril yang direkatkan dengan hypafik serta terpasang
drain. Drain perlu diobservasi dalam dua sampai tiga hari.
3) Sistim pernafasan
Biasanya pernafasan lebih seak akibat dari penumpukan sekret efek dari anestesi, atau
karena adanya darah dalam jalan nafas.
4) Sistim Neurologi
Pada pejmeriksaan reflek hasilnya positif tetapi dari nyeri ajkandipaspatkan ekspresi
wajah yang tegang dan gelisah karena menahan sakit.
5) Sistim gastrointestinal
Komplikasi yang paling sering adalah mual akibat peningkatan asam lambung akibat
anestesi umum, dan pada akhirnya akan hilang sejalan dengan efek anestesi yang hilang.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1) Pemeriksaan penunjang
• Human thyrologlobulin( untuk keganasan thyroid)
• Kadar T3, T4
Nilai normal T3=0,6-2,0 , T4= 4,6-11
• Darah rutin
• Endo Crinologiie minimal tiga hari berturut turut (BMR) nilai normal antara –10s/d +15
• Kadar calsitoxin (hanya pada pebnderita tg dicurigai carsinoma meduler).
2) Pemeriksaan radiologis
• Dilakukan foto thorak posterior anterior
• Foto polos leher antero posterior dan laterl dengan metode soft tissu technig .
• Esofagogram bila dicurigai adanya infiltrasi ke osofagus.
DIOAGNOSA KEPERAWATAN
Adapun diagnosa yang sering timbul pada penderita post operasi theroidectomy adalah
1) Gangguan jalan nafas yang berhubungan dengan obstruksi trakhea secunder terhadap
perdarahan, sopasme laring yang ditandai dengan sesak nafas, pernafasan cuping hidung
sampai dengan sianosis.
2) Ganggiuan komunilasi verbal sehubungan dengan nyeri, kerusakan nervus laringeal
yang ditandai dengan klien sulit berbicara dan hilang suara.
3) Gangguan rasa nyaman (nyeri) sehubungan dengan dampak pembedahan, udema otot,
terputusnya jaringan syaraf, yang ditandai ekspresi wajah tampak tegang.
4) Kurangnya pengetahuan yang berhubungan dengan salah interprestasi yang ditandai
dengan sering bertanya tentang penyakitnya.
5) Potensial terjadinya perdarahan berhubungan dengan terputusnya pembulu darah
sekunder terhadap pembedahan.
PERENCANAAN
Rencana tindakan yang dilakukan pada klien post operasi thyroidectomy meliputi :
Diagnosa pertama
1.Tujuan:
Jalan nafas klien efektif
2. Kriteria:
Tiadak ada sumbatan pada trakhea
3. Rencana tindakan:
1) Monitor pernafasan dan kedalaman dan kecepatan nafas.
2) Dengarkan suara nafas, barangkali ada ronchi.
3) Observasi kemungkinan adanya stridor, sianosis.
4) Atur posisi semifoler
5) Bantu klien dengan teknik nafas dan batuk efektif.
6) Melakukan suction pada trakhea dan mulut.
7) Perhatikan klien dalam hal menelan apakah ada kesulitan.
4. Rasional
1) Pengetahui perkembangan dari gangguan pernafasan.
2) Ronchi bisa sebagai indikasi adanya sumbatan jalan nafas.
3) Indikasi adanya sumbatan pada trakhea atau laring.
4) Memberikan suasana yang lebih nyaman.
5) Memudahkan pengeluaran sekret, memelihara bersihan jalan nafas.dan ventilsassi
6) Sekresi yang menumpuk mengurangi lancarnya jalan nafas.
7) Mungkin ada indikasi perdarahan sebagai efek samping opersi.
1. Tujuan :
Klien dapat komunikasi secara verbal
2. Kriteria hasil:
Klien dapat mengungkapkan keluhan dengan kata-kata.
3. Rencana tindakan:
1) Kaji pembicaraan klien secara periodik
2) Lakukan komunikasi dengan singkat dengan jawaban ya/tidak.
3) Kunjungi klien sesering mungkin
4) Ciptakan lingkungan yang tenang.
4. RASIONALISASI:
1) Suara parau dan sakit pada tenggorokan merupakan faktor kedua dari odema jaringan /
sebagai efek pembedahan.
2) Mengurangi respon bicara yang terlalu banyak.
3) Mengurangi kecemasan klien
4) Klien dapat mendengar dengan jelas komunikasi antara perawat dan klien.
1. Tujuan:
Rasa nyeri berkurang
2. Kriteria hasil:
Dapat menyatakan nyeri berkurang, tidak adanya perilaku uyg menunjukkan adanya
nyeri.
3. Rencana tindakan
1) Atur posisi semi foler, ganjal kepala /leher dengan bantal kecil
2) Kaji respon verbal /non verbal lokasi, intensitas dan lamanya nyeri.
3) Intruksikan pada klien agar menggunakan tangan untuk menahan leher pada saat alih
posisi .
4) Beri makanan /cairan yang halus seperti es krim.
5) Lakukan kolaborasi dengan dokter untuk pemberian analgesik.
4. Rasionalisasi
1) Mencegah ghyperekstensi leher dan melindungi integritas pada jahitan pada luka.
2) Mengevaluasi nyeri, menentukan rencana tindakan keefektifan terapi.
3) Mengirangi ketegangan otot.
4) Makanan yang halus lebih baik bagi klien yang menjalani kesulitan menelan.
5) Memutuskan transfusi SSP pada rasa nyeri.
1. Tujuan:
Pengetahuan klien bertambah.
2. Kriteria hasil:
Klien berpsartisipasi dalam program keperawatan
3. Rencana tindakan:
1) Diskusikan tentang keseimbangan nutrisi.
2) Hindari makanan yang banyak mengandung zat goitrogenik misalnya makanan laut,
kedelai, Lobak cina dll.
3) Konsumsikan makanan tinggi calsium dan vitamin D.
4. Rasionalisasi:
1) Mempertahankandaya tahan tubuh klien.
2) Kontra indikasi pembedahan kelenjar thyroid.
3) Memaksimalkan supli dan absorbsi kalsium.
1. Tujuan
Perdarahan tidak terjadi.
2. Kriteria hasil
Tidak terdapat adanya tanda-tanda perdarahan.
3. Rencana tindakan:
1) Observasi tanda-tanda vital.
2) Pada balutan tidak didapatkan tanda-tanda basah karena darah.
3) Dari drain tidak terdapat cairan yang berlebih.( > 50 cc).
4. Rasionalisasi:
1) Dengan mengetahui perubahan tanda-tanda vital dapat digunakan untuk mengetahui
perdarahan secara dini.
2) Dengan adanya balutan yang basah berartiadanya perdarahan pada luka operasi.
3) Cairan pada drain dapat untuk mengetahui perdarahan luka operasi.
PELAKSANAAN
Merupakan implikasi dari rencana tindakan dengan maksut agar kebutuhanklien
terpenuhi.
EVALUASI
1) teruskan bila masalah masih ada.
2) Revisi/modifikasi bila masalah ada tetapi rencana dirubah.
3) Terpecahkan jika masalah berhasil dipecahkan.
A S K E P S TR U M A
A.
Defenisi
Kelainan glandula tyroid dapat berupa gangguan fungsi seperti tiritosikosis atau
perubahan susunan kelenjar dan morfologinya, seperti penyakit tyroid noduler.
Berdasarkan patologinya, pembesaran tyroid umumnya disebut struma (De Jong &
Syamsuhidayat, 1998).
2. Embriologi
Kelenjar tyroid berkembang dari endoderm pada garis tengah usus depan (De Jong &
Syamsuhidayat, 1998). Kelenjar tyroid mulai terlihat terbentuk pada janin berukuran 3,4-
4 cm, yaitu pada akhir bulan pertama kehamilan. Kelenjar tyroid berasal dari lekukan
faring antara branchial pouch pertama dan kedua. Dari bagian tersebut timbul
divertikulum, yang kemudian membesar, tumbuh ke arah bawah mengalami desensus dan
akhirnya melepaskan diri dari faring. Sebelum lepas, berbentuk sebagai duktus
tyroglossus yang berawal dari foramen sekum di basis lidah.
Duktus ini akan menghilang setelah dewasa, tetapi pada keadaan tertentu masih menetap.
Dan akan ada kemungkinan terbentuk kelenjar tyroid yang letaknya abnormal, seperti
persisten duktud tyroglossus, tyroid servikal, tyroid lingual, sedangkan desensus yang
terlalu jauh akan membentuk tyroid substernal. Branchial pouch keempat ikut
membentuk kelenjar tyroid, merupakan asal sel-sel parafolikular atau sel C, yang
memproduksi kalsitonin.(IPD I). Kelenjar tyroid janin secara fungsional mulai mandiri
pada minggu ke-12 masa kehidupan intrauterin. (De Jong & Syamsuhidayat, 1998).
3. Anatomi
Kelenjar tyroid terletak dibagian bawah leher, antara fascia koli media dan fascia
prevertebralis. Didalamruang yang sama terletak trakhea, esofagus, pembuluh darah
besar, dan syaraf. Kelenjar tyroid melekat pada trakhea sambil melingkarinya dua pertiga
sampai tiga perempat lingkaran. Keempat kelenjar paratyroid umumnya terletak pada
permukaan belakang kelenjar tyroid (De Jong & Syamsuhidayat, 1998).
Tyroid terdiri atas dua lobus, yang dihubungkan oleh istmus dan menutup cincin trakhea
2 dan 3. Kapsul fibrosa menggantungkan kelenjar ini pada fasia pretrakhea sehingga pada
setiap gerakan menelan selalu diikuti dengan terangkatnya kelenjar kearah kranial. Sifat
ini digunakan dalam klinik untuk menentukan apakah suatu bentukan di leher
berhubungan dengan kelenjar tyroid atau tidak (Djokomoeljanto, 2001).
Vaskularisasi kelenjar tyroid berasal dari Arteri Tiroidea Superior (cabang dari Arteri
Karotis Eksterna) dan a. Tyroidea Inferior (cabang Arteri Subklavia). Setiap folikel
lymfoid diselubungi oleh jala-jala kapiler, dan jala-jala limfatik, sedangkan sistem
venanya berasal dari pleksus perifolikular (Djokomoeljanto, 2001).
Nodus Lymfatikus tyroid berhubungan secara bebas dengan pleksus trakhealis yang
kemudian ke arah nodus prelaring yang tepat di atas istmus, dan ke nl. Pretrakhealis dan
nl. Paratrakhealis, sebagian lagi bermuara ke nl. Brakhiosefalika dan ada yang langsung
ke duktus thoraksikus. Hubungan ini penting untuk menduga penyebaran keganasan
(Djokomoeljanto, 2001).
4. Histologi
Pada usia dewasa berat kelenjar ini kira-kira 20 gram. Secara mikroskopis terdiri atas
banyak folikel yang berbentuk bundar dengan diameter antara 50-500 µm. Dinding
folikel terdiri dari selapis sel epitel tunggal dengan puncak menghadap ke dalam lumen,
sedangkan basisnya menghadap ke arah membran basalis. Folikel ini berkelompok
sebanyak kira-kira 40 buah untuk membentuk lobulus yang mendapat vaskularisasi dari
end entry. Setiap folikel berisi cairan pekat, koloid sebagian besar terdiri atas protein,
khususnya protein tyroglobulin (BM 650.000) (Djokomoeljanto, 2001)
5. Fisiologi Hormon Tyroid
Kelenjar tyroid menghasilkan hormon tyroid utama yaitu Tiroksin (T4). Bentuk aktif
hormon ini adalah Triodotironin (T3), yang sebagian besar berasal dari konversi hormon
T4 di perifer, dan sebagian kecil langsung dibentuk oleh kelenjar tyroid. Iodida inorganik
yang diserap dari saluran cerna merupakan bahan baku hormon tyroid. Iodida inorganik
mengalami oksidasi menjadi bentuk organik dan selanjutnya menjadi bagian dari tyrosin
yang terdapat dalam tyroglobulin sebagai monoiodotirosin (MIT) atau diiodotyrosin
(DIT). Senyawa DIT yang terbentuk dari MIT menghasilkan T3 atau T4 yang disimpan
di dalam koloid kelenjar tyroid.
Sebagian besar T4 dilepaskan ke sirkulasi, sedangkan sisanya tetap didalam kelenjar yang
kemudian mengalami diiodinasi untuk selanjutnya menjalani daur ulang. Dalam sirkulasi,
hormon tyroid terikat pada globulin, globulin pengikat tyroid (thyroid-binding globulin,
TBG) atau prealbumin pengikat tiroksin (Thyroxine-binding pre-albumine, TPBA) (De
Jong & Syamsuhidayat, 1998).
6. Metabolisme T3 dan T4
Waktu paruh T4 di plasma ialah 6 hari sedangkan T3 24-30 jam. Sebagian T4 endogen
(5-17%) mengalami konversi lewat proses monodeiodonasi menjadi T3. Jaringan yang
mempunyai kapasitas mengadakan perubahan ini ialah jaringan hati, ginjal, jantung dan
hipofisis. Dalam proses konversi ini terbentuk juga rT3 (reversed T3, 3,3',5'
triiodotironin) yang tidak aktif, yang digunakan mengatur metabolisme pada tingkat
seluler (Djokomoeljanto, 2001).
1. Kalorigenik
2. Termoregulasi
3. Metabolisme protein. Dalam dosis fisiologis kerjanya bersifat anabolik, tetapi
dalam dosis besar bersifat katabolik
4. Metabolisme karbohidrat. Bersifat diabetogenik, karena resorbsi intestinal
meningkat, cadangan glikogen hati menipis, demikian pula glikogen otot menipis
pada dosis farmakologis tinggi dan degenarasi insulin meningkat.
5. Metabolisme lipid. T4 mempercepat sintesis kolesterol, tetapi proses degradasi
kolesterol dan ekspresinya lewat empedu ternyata jauh lebih cepat, sehingga pada
hiperfungsi tiroid kadar kolesterol rendah. Sebaliknya pada hipotiroidisme
kolesterol total, kolesterol ester dan fosfolipid meningkat.
6. Vitamin A. Konversi provitamin A menjadi vitamin A di hati memerlukan
hormon tiroid. Sehingga pada hipotiroidisme dapat dijumpai karotenemia.
7. Lain-lain : gangguan metabolisme kreatin fosfat menyebabkan miopati, tonus
traktus gastrointestinal meninggi, hiperperistaltik sehingga terjadi diare, gangguan
faal hati, anemia defesiensi besi dan hipotiroidisme.
7. Klasifikasi Struma
Pembesaran kelenjar tiroid (kecuali keganasan), Menurut American society for Study of
Goiter membagi :
1. Eutiroid
2. Hipotiroid
3. Hipertiroid
1. Nontoksik : eutiroid/hipotiroid
2. Toksik : Hipertiroid
Pemeriksaan Fisik :
1. Status Generalis :
o Tekanan darah meningkat
o Nadi meningkat
2. Mata :
o Exopthalmus
o Stelwag Sign: Jarang berkedip
o Von Graefe Sign: Palpebra superior tidak mengikut bulbus okuli waktu
melihat ke bawah
o Morbus Sign : Sukar konvergensi
o Joffroy Sign : Tidak dapat mengerutkan dahi
o Ressenbach Sign : Tremor palpebra jika mata tertutup
3. Hipertroni simpatis : Kulit basah dan dingin, tremor halus
4. Jantung : Takikardi
5. Status Lokalis :
o Inspeksi
Benjolan
Warna
Permukaan
Bergerak waktu menelan
o Palpasi
Permukaan, suhu
Batas :
Atas : Kartilago tiroid
Bawah : incisura jugularis
Medial : garis tengah leher
Lateral : M. Sternokleidomastoideus
Struma non toksik adalah pembesaran kelenjar tiroid pada pasien eutiroid, tidak
berhubungan dengan neoplastik atau proses inflamasi. Dapat difus dan simetri atau
nodular.
Apabila dalam pemeriksaan kelenjar tiroid teraba suatu nodul, maka pembesaran ini
disebut struma nodosa. Struma nodosa tanpa disertai tanda-tanda hipertiroidisme disebut
struma nodosa non-toksik. Struma nodosa atau adenomatosa terutama ditemukan di
daerah pegunungan karena defisiensi iodium. Biasanya tiroid sudah mlai membesar pada
usia muda dan berkembang menjadi multinodular pada saat dewasa.
Struma multinodosa terjadi pada wanita usia lanjut dan perubahan yang terdapat pada
kelenjar berupa hiperplasi sampai bentuk involusi. Kebanyakan penderita struma nodosa
tidak mengalami keluhan karena tidak ada hipotiroidisme atau hipertiroidisme. Nodul
mungkin tunggal tetapi kebanyakan berkembang menjadi multinoduler yang tidak
berfungsi.
Manifestasi klinis
1. Berdasarkan jumlah nodul: bila jumlah nodul hanya satu disebut struma nodosa
soliter (uninodosa) dan bila lebih dari satu disebut multinodosa.
2. Berdasarkan kemampuan menangkap yodium radoiaktif : nodul dingin, nodul
hangat, dan nodul panas.
3. Berdasarkan konsistensinya : nodul lunak, kistik, keras, atau sangat keras.
Pada umumnya pasien struma nodosa datang berobat karena keluhan kosmetik atau
ketakutan akan keganasan. Sebagian kecil pasien, khususnya yang dengan struma nodosa
besar, mengeluh adanya gejala mekanis, yaitu penekanan pada esophagus (disfagia) atau
trakea (sesak napas) (Noer, 1996). Gejala penekanan ini data juga oleh tiroiditis kronis
karena konsistensinya yang keras (Tim penyusun, 1994). Biasanya tidak disertai rasa
nyeri kecuali bila timbul perdarahan di dalam nodul (Noer, 1996).
Keganasan tiroid yang infiltrasi nervus rekurens menyebabkan terjadinya suara parau
(Tim penyusun, 1994).
Kadang-kadang penderita datang dengan karena adanya benjolan pada leher sebelah
lateral atas yang ternyata adalah metastase karsinoma tiroid pada kelenjar getah bening,
sedangkan tumor primernya sendiri ukurannya masih kecil. Atau penderita datang karena
benjolan di kepala yang ternyata suatu metastase karsinoma tiroid pada kranium (Tim
penyusun, 1994).
Diagnosis
Anamnesa sangatlah pentinglah untuk mengetahui patogenesis atau macam kelainan dari
struma nodosa non toksika tersebut. Perlu ditanyakan apakah penderita dari daerah
endemis dan banyak tetangga yang sakit seperti penderita (struma endemik). Apakah
sebelumnya penderita pernah mengalami sakit leher bagian depan bawah disertai
peningkatan suhu tubuh (tiroiditis kronis). Apakah ada yang meninggal akibat penyakit
yang sama dengan penderita (karsinoma tiroid tipe meduler) (Tim penyusun, 1994).
1. jumlah nodul
2. konsistensi
3. nyeri pada penekanan : ada atau tidak
4. pembesaran gelenjar getah bening
Inspeksi dari depan penderita, nampak suatu benjolan pada leher bagian depan bawah
yang bergerak ke atas pada waktu penderita menelan ludah. Diperhatikan kulit di atasnya
apakah hiperemi, seperti kulit jeruk, ulserasi.
Palpasi dari belakang penderita dengan ibu jari kedua tangan pada tengkuk penderita dan
jari-jari lain meraba benjolan pada leher penderita.
• lokalisasi benjolan terhadap trakea (mengenai lobus kiri, kanan atau keduanya)
• ukuran (diameter terbesar dari benjolan, nyatakan dalam sentimeter)
• konsistensi
• mobilitas
• infiltrat terhadap kulit/jaringan sekitar
• apakah batas bawah benjolan dapat diraba (bila tak teraba mungkin ada bagian
yang masuk ke retrosternal)
Meskipun keganasan dapat saja terjadi pada nodul yang multiple, namun pada umumnya
pada keganasan nodulnya biasanya soliter dan konsistensinya keras sampai sangat keras.
Yang multiple biasanya tidak ganas kecuali bila salah satu nodul tersebut lebih menonjol
dan lebih keras dari pada yang lainnya.
Harus juga diraba kemungkinan pembesaran kelenjar getah bening leher, umumnya
metastase karsinoma tiroid pada rantai juguler (Tim penyusun, 1994).
Penatalaksanaan
Indikasi operasi pada struma nodosa non toksika ialah (tim penyusun, 1994) :
1. Keganasan
2. Penekanan
3. Kosmetik
Tindakan operasi yang dikerjakan tergantung jumlah lobus tiroid yang terkena. Bila
hanya satu sisi saja dilakukan subtotal lobektomi, sedangkan kedua lobus terkena
dilakukan subtotal tiroidektomi. Bila terdapat pembesaran kelenjar getah bening leher
maka dikerjakan juga deseksi kelenjar leher fungsional atau deseksi kelenjar leher
radikal/modifikasi tergantung ada tidaknya ekstensi dan luasnya ekstensi di luar kelenjar
getah bening.
1. Inoperabel
2. Kontraindikasi operasi
3. Ada residu tumor setelah operasi
4. Metastase yang non resektabel
Hormonal terapi dengan ekstrak tiroid diberikan selain untuk suplemen juga sebagai
supresif untuk mencegah terjadinya kekambuhan pada pasca bedah karsinoma tiroid
diferensiasi baik (TSH dependence). Terapai supresif ini juga ditujukan terhadap
metastase jauh yang tidak resektabel dan terapi adjuvan pada karsinoma tiroid
diferensiasi baik yang inoperabel.
STRUMA TOKSIKM
Manifestasi klinis
Pada penyakit Graves terdapat dua gambaran utama yaitu tiroidal dan ekstratiroidal.
Keduanya mungkin tidak tampak. Ciri-ciri tiroidal berupa goiter akibat hiperplasia
kelenjar tiroid dan hipertiroidisme akibat sekresi hormon tiroid yang berlebihan (Price
dan Wilson, 1994).
Manifestasi ekstratiroidal berupa oftalmopati dan infiltrasi kulit lokal yang biasanya
terbatas pada tungkai bawah. Oftalmopati ditandai dengan mata melotot, fisura palpebra
melebar, kedipan berkurang, lid lag (keterlambatan kelopak mata dalam mengikuti
gerakan mata), dan kegagalan konvergensi. Jaringan orbita dan dan otot-otot mata
diinfltrasi oleh limfosit, sel mast dan sel-sel plasma yang mengakibatkan eksoltalmoa
(proptosis bola mata), okulopati kongestif dan kelemahan gerakan ekstraokuler (Price dan
Wilson, 1994).
Diagnosis
Sebagian besar pasien memberikan gejala klinis yang jelas, tetapi pemeriksaan
laboratorium tetap perlu untuk menguatkan diagnosis. Pada kasus-kasus subklinis dan
pasien usia lanjut perlu pemeriksaan laboratorium yang cermat untuk membantu
menetapkan diagnosis hipertiroidisme. Diagnosis pada wanita hamil agak sulit karena
perubahan fisiologis pada kehamilan pembesaran tiroid serta manifestasi hipermetabolik,
sama seperti tirotoksikosis.
Menurut Bayer MF, pada pasien hipertiroidisme akan didapatkan Thyroid Stimulating
Hormone sensitive (TSHs) tak terukur atau jelas subnormal an Free T4 (FT4) meningkat
(Mansjoer, 2001).
Penatalaksanaan
1. Obat antitiroid
Indikasi :
o Terapi untuk memperpanjang remisi atau mendapatkan remisi yang
menetap, pada pasien muda dengan struma ringan sampai sedang dan
tirotoksikosis.
o Obat untuk mengontrol tirotoksikosis pada fase sebelum pengobatan, atau
sesudah pengobatan pada pasien yang mendapat yodium aktif.
o Persiapan tiroidektomi
o Pengobatan pasien hamil dan orang lanjut usia
o Pasien dengan krisis tiroid
Struma nodular toksik juga dikenal sebagai Plummer's disease (Sadler et al, 1999). Paling
sering ditemukan pada pasien lanjut usia sebagai komplikasi goiter nodular kronik.
Manifestasi klinis
Penderita mungkin mengalami aritmia dan gagal jantung yang resisten terhadap terapi
digitalis. Penderita dapat pula memperlihatkan bukti-bukti penurunan berat badan, lemah,
dan pengecilan otot. Biasanya ditemukan goiter multi nodular pada pasien-pasien tersebut
yang berbeda dengan pembesaran tiroid difus pada pasien penyakit Graves.
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat, pemeriksaan fisik dan didukung oleh tingkat
TSH serum menurun dan tingkat hormon tiroid yang meningkat. Antibodi antitiroid
biasanya tidak ditemukan (Sadler et al, 1999)
Penatalaksanaan
Terapi dengan pengobatan antitiroid atau beta bloker dapt mengurangi gejala tetapi
biasanya kurang efektif dari pada penderita penyakit Graves. Radioterapi tidak efektif
seperti penyakit Graves karena pengambilan yang rendah dan karena penderita ini
membutuhkan dosis radiasi yang besar. Untuk nodul yang soliter, nodulektomi atau
lobektomi tiroid adalah terapi pilihan karena kanker jarang terjadi. Untuk struma
multinodular toksik, lobektomi pada satu sisi dan subtotal lobektomi pada sisi yang lain
adalah dianjurkan (Sadler et al, 1999)
Tiroiditis
1. Akut (supuratif)
Disebut juga infective thyroiditis, infeksi oleh bakteri atau jamur. Bentuk khas
infeksi bakterial ini ialah tiroiditis septik akut. Kuman penyebab antara lain
Staphylococcus aureus, Streptococcus hemolyticus, dan Pneumococcus. Infeksi
terjadi melalui aliran darah, penyebaran langsung dari jaringan sekitarnya, saluran
getah bening, trauma langsung dan duktus tiroglosus yang persisten. Kelainan
yang tejadi dapat disertai abses atau tanpa abses.
Gejala klinis berupa nyeri di leher mendadak, malaise, demam, menggigil, dan
takikardi. Nyeri bertambah pada pergerakan leher dan gerakan menelan. Daerah
tiroid membengkak dengan tanda-tanda radang lain dan sangat nyeri tekan.
Pemeriksaan laboratorium menunjukkan leukositosis, LED meninggi, sidikan
tiroid menunjukkan nodul dingin. Pengobatan utama adalah antibiotik. Kokus
gram positif biasanya diatasi dengan penisilin atau derivatnya, tetrasiklin atan
kloramfenikol. Apabila terjadi abses melibatkan satu lobus diperlukan lobektomi
(dengan lindungan antibiotik). Jika infeksi sudah menyebar melalui kapsul dan
mencapai jaringan sekitarnya, diperlukan insisi dan drainage.
2. Subakut
Etiologi umumnya diduga oleh virus. Pada beberapa kasus dijumpai antibodi
autoimun. Pasien mengeluh di leher bagian depan menjalar ke telinga, demam,
malaise, disertai hipertiroidisme ringan atau sedang. Pada pameriksaan fisik
ditemukan tiroid membesar, nyeri tekan, biasanya disertai takikardi berkeringat,
demam, tremor dan tanda-tanda lain hipertiroidisme. Pemeriksaan laboratorium
sering di jumpai leukositosis, laju endap darah meningkat.
Pada 2/3 kasus kadar hormon tiroid meninggi karena penglepasan yang berlebihan
akibat destruksi kelenjar tiroid oleh proses inflamasi. Penyakit ini biasanya
sembuh sendiri sehingga pengobatan yang diberikan bersifat simtomatis. Dapat
diberikan asetosal untuk mengurangi nyeri. Pada keadaan berat dapat diberikan
glukokortokoid misalnya prednison dengan dosis awal 50 mg/hari.
3. Menahun
o Limfositik (Hashimoto)
Merupakan suatu tiroiditis autoimun dengan nama lain yaitu struma
limfomatosa, tiroiditis autoimun. Umumnya menyerang wanita berumur
30-50 tahun. Kelenjar tiroid biasanya membesar lambat, tidak terlalu
besar, simetris, regular dan padat. Kadang-kadang ada nyeri spontan dan
nyeri tekan. Bisa eutiroid atau hipotiroid dan jarang hipertiroid. Kelainan
histopatologisnya antara lain infiltrasi limfosit yang difus, obliterasi
folikel tiroid dan fibrosis. Diagnosis hanya dapat ditegakkan dengan pasti
secara histologis melalui biopsi. Bila kelenjar tiroid sangat besar mungkin
diperlukan pengangkatan, tetapi operasi ini sebaiknya ditunda karena
kelenjar tiroid dapat mengecil sejalan denagn waktu. Pemberian tiroksin
dapat mempercepat hal tersebut.
o Non spesifik
Fibrous-invasif (Riedel)
DAFTAR PUSTAKA
1. Anonim, 1994., Struma Nodusa Non Toksik., Pedoman Diagnosis dan Terapi.,
Lab/UPF Ilmu Bedah., RSUD Dokter Sutomo., Surabaya
2. Adediji., Oluyinka S.,2004., Goiter, Diffuse Toxic., eMedicine.,
3. Davis, Anu Bhalla., 2005, Goiter, Toxic Nodular., eMedicine.,
4. De Jong. W, Sjamsuhidajat. R., 1998., Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Revisi.,
EGC., Jakarta
5. Djokomoeljanto, 2001., Kelenjar Tiroid Embriologi, Anatomi dan Faalnya.,
Dalam : Suyono, Slamet (Editor)., 2001., Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.,FKUI.,
Jakarta
6. http://www.emedicine.com/med/topic917.htm
7. http://www.emedicine.com/med/topic920.htm
8. http://www.emedicine.com/med/topic919.htm
9. http://www.emedicine.com/MED/topic916.htm
10. Lee, Stephanie L., 2004., Goiter, Non Toxic., eMedicine.,
11. Mansjoer A et al (editor) 2001., Struma Nodusa Non Toksik., Kapita Selekta
Kedokteran., Jilid 1, Edisi III., Media Esculapius., FKUI., Jakarta
12. Mulinda, James R., 2005., Goiter., eMedicine.,
13. Sadler GP., Clark OH., van Heerden JA., Farley DR., 1999., Thyroid and
Parathyroid., In : Schwartz. SI., et al., 1999.,Principles of Surgery. Vol 2., 7th
Ed., McGraw-Hill., Newyork